Anda di halaman 1dari 12

D

I
S
U
S
U
N
OLEH:
EDELWEIS PANJAITAN
XI IPA 3
“Bunuh Diri”

Sma katolik tri sakti medan


LATAR BELAKANG
Setiap orang pasti mempunyai masalah dalam kehidupannya mulai dari masalah pribadi
maupun masalah dengan orang lain di lingkungan sekitarnya. Namun, dalam urusan pemecahan
masalahnya setiap orang mempunyai caranya masing-masing. Tetapi tidak semua orang mampu
untuk memecahkan masalahnya dengan fikiran dan hati yang tenang. Terkadang apabila
seseorang mengalami permasalahan yang sangat berat jalan pintas dipakai untuk
menyelesaikannya yaitu dengan cara bunuh diri tanpa memikirkan dampak apa yang mereka
lakukan bagi dirinya sendiri serta orang lain. Maraknya kasus bunuh diri belakangan ini menjadi
topik yang hangat untuk diperbincangkan, apalagi pelaku kasus bunuh diri rata-rata berasal dari
kalangan remaja. Berbagai macam alasan digunakan untuk menghalalkan kasus bunuh diri ini.
Mulai dari kasus ekonomi, masalah dalam keluarga dan teman, sampai masalah hubungan
percintaan.Dalam perkembangan psikologi, remaja dikenal sedang dalam fase pencarian jati diri
yang penuh kesukaran dan persoalan. Sejalan dengan perkembangan sosialnya, mereka lebih
konformitas pada kelompoknya dan mulai melepaskan diri dari ikatan dan ketergantungan
kepada orangtuanya dan sering menunjukkan sikap menantang otoritas orangtuanya. &esukaran
dan persoalan yang terjadi pada fase remaja ini bukan hanya muncul pada diri remaja itu sendiri
melainkan juga pada orang tua, guru, dan masyarakat. Sebagaimana yang sering kita lihat
pertentangan antara remaja dengan orang tua, remaja dengan guru, dan remaja dengan
kalangannya sendiri. Semua ini terjadi karena remaja masih berada di dua persimpangan tadi.
Dapat dipastikan bahwa seseorang yang sedang dalam keadaan transisi atau peralihan dari suatu
keadaan ke keadaan yang lain'baru seringkali mengalami gejolak dan goncangan yang terkadang
dapat berakibat buruk bahkan fatal seperti berfikiran untuk mengakhiri hidupnya.

PENDAHULUAN

Pikiran bunuh diri adalah pikiran untuk membunuh diri sendiri tanpa
melakukan bunuh diri secara eksplisit. Sedangkan suicide ideators adalah orang
yang memikirkan atau membentuk intensi untuk bunuh diri yang bervariasi derajat
keseriusannya tetapi tidak melakukan percobaan bunuh diri secara eksplisit atau
bunuh diri (Maris dkk.,2000). Pikiran bunuh diri bervariasi mulai dari yang non-
spesifik (“Hidup ini tidak berarti”), yang spesifik (“Saya berharap saya mati”),
pikiran dengan intensi (“Saya akan membunuh diri saya”), sampai pikiran yang
berisi rencana (“Saya akan membunuh diri saya sendiri dengan pistol”).

Pikiran bunuh diri paling sering diasosiasikan dengan gangguan depresi


(Maris dkk., 2000). Pada akhir-akhir ini fenomena mengambil jalan pintas bunuh
diri menjadi sebuah alternatif yang banyak dipilih tak hanya kalangan orang
dewasa, tetapi juga oleh remaja. Padahal suatu masalah itu ada jalan keluarnya
tanpa harus dengan cara singkat seperti itu, namun lain halnya dengan bunuh diri
karena, untuk membela Negara (Tanah Air). Laporan WHO di tahun 2010
menyebutkan, angka bunuh diri di Indonesia mencapai 1,6 hingga 1,8 per 100.000
jiwa. Pemerintahan Indonesia diminta melakukan investasi pada sektor SDM dan
finansial untuk melakukan upaya pencegahan aksi bunuh diri. Badan itu juga
memperkirakan pada tahum 2020 angka bunuh diri secara global menjadi 2,4 per
100.000 jiwa dibandingkan 1,8 per 100.000 jiwa pada 1998.

Di Indonesia, masalah perekonomian memang masih menjadi faktor utama


penyebab aksi bunuh diri. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup
menyebabkan stres berkelanjutan yang akhirnya memicu depresi berat dan
mendorong seseorang untuk mengakhiri hidupnya. Selain masalah ekonomi,
kebiasaan orang tua di Indonesia untuk memanjakan anak-anak menyebabkan
mereka tumbuh dengan mental yang tidak kuat karena terbiasa dengan segala
permintaan yang selalu dituruti dan disediakan. Akhirnya begitu mereka
mendapatkan suatu tekan, mereka tidak kuat dan menggakiri hidupnya dengan
bunuh diri

PENGERTIAN DAN FAKTOR PENYEBAB BUNUH DIRI

Definisi :

Kata bunuh diri di dalam bahasa Yunani berasal dari kata “apancho” yang
berarti menahan (nafas sampai mati). Menyebabkan kematian dirinya sendiri
dengan menggantung diri (apanchomai), menggantung dirinya sendiri atau
melakukan bunuh diri (Mat. 27:5).Kata “suicide” (bunuh diri) pertama kali
digunakan oleh Walter Charleton (1651) atau Sir Thomas Browne (1642). Selama
berabad-abad, pengertian “bunuh diri” ini memiliki arti yang berbeda menurut
zaman dan konteksnya. Tetapi sejak sidang gereja pada tahun 452, pengertian
bunuh diri dihubungkan dengan dosa dan kejahatan.Menurut Kamus Umum
Bahasa Indonesia, bunuh diri adalah “sengaja mematikan diri sendiri.” Jadi, di
dalam praktek bunuh diri yang berinisiatif dan yang mengambil tindakan adalah
dirinya sendiri

Sedangkan menurut J.P. Moreland menegaskan bahwa bunuh diri adalah


tindakan yang diambil dengan inisiatif sendiri untuk mengakhiri hidupnya baik
melalui tindakan maupun tidak dan bukan karena terpaksa atau pun karena
mengorbankan diri demi orang lain atau karena taat kepada Allah (martir). Karena
di dalam diskusi mengenai bunuh diri ini, ada dua macam bunuh diri yaitu
pertama, bunuh diri yang dengan sukarela dilakukan sebagai tanda “pengorbanan
diri”. Bunuh diri semacam ini adalah dikarenakan tugas militer, mempertahankan
diri, pengorbanan diri sebagai bukti iman dan karena tradisi atau kepercayaan.
Kedua, kebebasan untuk mengambil nyawa sendiri. Dan di dalam tulisan ini,
pengertian kedua yang akan dibahas di mana bunuh diri adalah “tindakan yang
dilakukan dengan sengaja untuk menghentikan kehidupannya sendiri demi
menghindari penderitaan atau kesusahan jika kehidupan dilanjutkan.”

Faktor Penyebab Bunuh Diri

Orang yang melakukan bunuh diri biasanya disebabkan oleh: pertama, sakit
yang telah berlangsung sangat lama, tidak ada harapan sembuh dan telah banyak
menghabiskan biaya hidup keluarga; kedua, stress atau tekanan karena ditinggal
oleh orang yang dikasihi karena kematian; ketiga, penyakit kejiwaan seperti
depresi, skizofrenia, trauma, dsb; keempat, cacat fisik seperti lumpuh, buta;
kelima,penyalahgunaan narkotika; keenam, lingkungan yang tidak menyenangkan
seperti penganiayaan seks/abuse, kemiskinan, tidak memiliki tempat tinggal,
diskriminasi, ketakutan akan pembunuhan atau penyiksaan; ketujuh,mengalami
masalah dalam bidang keuangan seperti bangkrut, pengangguran, kehilangan harta
karena kebakaran, kalah di dalam pasar saham/valas, perjudian, hutang yang tidak
terbayarkan; kedelapan, mengalami masalah dalam keluarga seperti perceraian,
keluarga yang tidak harmonis, perlakuan yang tidak adil, tidak mendapatkan
perhatian dari orang tua; kesembilan, untuk menghindari rasa malu (misalnya
bushido, yaitu jika seorang samurai Jepang gagal di dalam mempertahankan
kehormatannya, maka dia mengambil jalan keluar dengan melakukan
seppuku/bunuh diri)

Bunuh Diri di dalam Alkitab

Di dalam Alkitab ada enam orang yang melakukan bunuh diri yaitu :
Samson (Hak. 16:23-31), Raja Saul dan pembawa pedangnya (1Sam. 31:3-5),
Ahitofel – penasihat Raja Daud – yang telah menghianati Raja Daud dengan
mengikuti Absalom (2Samuel 17:23), Raja Israel Zimri (1Raj. 16:18-19), dan
Yudas Iskariot yang menghianati Tuhan Yesus dan kemudian menggantung diti
(Matius 27:3-5). Di dalam Alkitab tidak ada pernyataan baik atau buruk tentang
tindakan-tindakan tersebut. Khusus berkenaan dengan Raja Saul dikatakan bahwa
Tuhan yang telah membunuh dia karena tidak berpegang pada Firman Tuhan dan
telah meminta petunjuk kepada arwah dan bukan minta petunjuk kepada Tuhan
(1Taw. 10:4, 14).Walaupun demikian, di dalam Alkitab kasus tentang bunuh diri
tidak dinyatakan secara tegas dan jelas. Tidak ada juga nasehat atau pernyataan
sikap terhadap orang yang melakukan bunuh diri. Secara tegas hanya yang
berkaitan dengan pembunuhan seperti Hukum Keenam dari Sepuluh Hukum yaitu
:”Jangan Membunuh” (Kel. 20:13). Di dalam Matius 22: 39, orang Kristen tidak
hanya diperintahkan untuk mengasihi orang lain tetapi juga dirinya sendiri. Oleh
karena itu, bunuh diri adalah tindakan yang tidak mengasihi dirinya sendiri tetapi
justru membenci dirinya sendiri. Jadi tindakan tersebut menunjukkan
ketidaktaatan terhadap Firman Tuhan.

PRO DAN KONTRA TERHADAP BUNUH DIRI

• Pro Bunuh Diri


Di dalam agama-agama orang-orang Eskimo dan suku-suku di Afrika terdapat anjuran
untuk melakukan bunuh diri ketika seseorang mengalami kondisi dan situasi yang sulit seperti
masalah ekonomi, atau karena mendapatkan malu. Di dalam agama Sinto di Jepang, jika
seseorang melakukan kesalahan dan kehilangan kehormatan, maka ia dianjurkan untuk
melakukan upacara “hara-kiri” atau bunuh diri untuk memulihkan kehormatannya. Di dalam
tradisi agama Hindu, seorang janda yang menceburkan diri ke dalam api yang membakar jenasah
suaminya yang telah meninggal dipuji karena dipandang sebagai pengorbanan yang
mulia.Menurut David Hume, tindakan bunuh diri tidak melanggar akan kedaulatan Allah atau
kepemilikan Allah di dalam hidupnya. Bagi Hume, Allah tidak mencampuri semua urusan
manusia termasuk di dalam penderitaan manusia. Oleh karena itu, bunuh diri bukanlah bangkit
dari kesombongan manusia tetapi karena ingin mengurangi atau menghilangkan rasa sakit dan
penderitaan. Baginya yang paling penting melalui bunuh diri dapat memberikan kebebasan dari
rasa ketidakbahagiaan jika hidup tetap diteruskan.Pandangan dari kalangan etika liberal
menyatakan bahwa tindakan bunuh diri secara moral dapat dibenarkan asalkan tindakan tersebut
tidak membawa akibat yang buruk bagi orang lain dan tetap di dalam kemerdekaan secara
individu. Bunuh diri juga dibenarkan karena dapat memberikan pembebasan dari kesusahan baik
bagi si pelaku bunuh diri maupun bagi orang lain jika tidak jadi bunuh diri.
• Kontra Bunuh Diri
Di dalam agama-agama suku primitif ada pandangan bahwa roh orang yang melakukan
bunuh diri menjadi roh yang jahat yang selalu gelisah dan tidak mendapatkan ketenteraman serta
mengganggu orang-orang yang masih hidup.Plato di dalam Phaedo menunjukkan bahwa
tindakan bunuh diri harus dikutuk atau disalahkan dengan keras sebagai kejahatan yang
mengerikan terhadap dirinya sendiri. Seseorang yang ingin melakukan tindakan bunuh diri
adalah mempersiapkan pemakaman yang tercela yang dianggap sama dengan melakukan
pembunuhan terhadap anggota keluarganya sendiri. Bagi Plato, tindakan bunuh diri merupakan
tindakan perlawanan terhadap aturan negara dan dewa-dewa. Plato menyatakan bahwa kita ini
bukan milik kita sendiri tetapi milik para dewa. Sikap Plato terhadap tindakan bunuh diri juga
didukung oleh muridnya yaitu Aristoteles yang menyatakan bahwa tindakan bunuh diri adalah
tindakan yang melawan huk um dan nilai-nilai moral.Aquinas mendasarkan pada tiga alasan
untuk menentang tindakan bunuh diri yaitu pertama, tindakan tersebut tidak natural karena
berlawanan dengan kecenderungan alam di mana semuanya berkeinginan untuk
mempertahankan hidup dan berlawanan dengan kemurahan hati (belas kasihan) karena semua
orang harus mengasihi dirinya sendiri; kedua, tindakan bunuh diri merupakan serangan melawan
dan sebuah luka bagi sebuah komunitas karena seseorang milik dari sebuah komunitas dan
ketiga, sebuah tindakan perampasan terhadap kuasa Allah yang memiliki hak untuk memberikan
dan mengambil kembali kehidupan.Dalam banyak agama, bunuh diri juga dipandang sebagai
suatu perbuatan yang tercela dan berdosa kepada Allah-nya. Di dalam tradisi agama Katolik,
kehidupan merupakan pemberian dari Sang Pencipta dan oleh karena itu kita harus
menggunakannya sebagai pelayanan dan bukan sebagai dominasi. Artinya tindakan bunuh diri
dianggap sebagai dosa melawan kedaulatan Allah.Sedangkan di dalam tradisi agama Yahudi
(Yudaisme), tindakan bunuh diri dilarang karena pertama, melawan akan kedaulatan Allah atau
kepemilikan Allah dalam hidup kita. Seorang manusia adalah milik Allah dan tidak memiliki
hak untuk menghancurkan kehidupannya melalui bunuh diri. Kedua,karena manusia diciptakan
segambar dan serupa dengan Allah (Kej. 1:26-28). Walaupun demikian,di dalam tradisi Yahudi,
tindakan bunuh diri dapat dibenarkan jika

tindakan tersebut sebagai martir atau tanda pengorbanan diri demi Allah dan bangsanya.

TINJAUAN ETIKA TERHADAP BUNUH DIRI

Tinjauan Menurut Sistem Etika


Menurut Norman L. Geisler, sistem-sistem etika pada umumnya dapat dibagi ke dalam
dua kategori yaitu teleologikal (berpusat pada tujuan) dan deontologikal (berpusat pada
kewajiban).
1. Etika Teleologikal

Menurut teori ini – sesuai dengan arti kata “telos” yang berarti tujuan, hasil–
apa yang secara moral baik atau buruk, benar atau salah, wajib atau dilarang
ditentukan oleh hasil dari tindakan yang dilaksanakan. Jika perbuatan
menghasilkan hal yang baik secara moral, maka tindakan tersebut dapat dibenarkan
secara moral. Dalam hal ini, hasil menentukan tindakan mana yang baik dan yang
tidak baik. Menurut Bentham, manusia menurut kodratnya selalu ingin
menghindari ketidaksenangan dan mencari kesenangan. Seorang akan bahagia jika
memiliki kesenangan dan terlepas dari kesusahan. Oleh karena itu, menurut
Bentham, suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk dapat diukur dengan sejauh
mana dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang.
Baginya, moralitas suatu tindakan harus ditentukan dengan menimbang
kegunaannya untuk mencapai kebahagiaan umat manusia. Akhirnya Betham
menarik satu prinsip kegunaan (the principle of utility) yang berbunyi: “the
greatest happiness of the greatest number” (kebahagiaan terbesar dari jumlah orang
terbesarMenurut pandangan etika utilitarianisme, seseorang yang melakukan
bunuh diri harus mempertimbangkan kesejahteraan dari orang-orang lain yang
terkait dengannya, tidak hanya memikirkan dirinya sendiri. Jika tindakan bunuh
diri tersebut dapat memaksimalkan kegunaan (utility), maka tindakan tersebut
secara moral dapat dibenarkan dan masuk akal. Pertimbangan-pertimbangan yang
dianggap cukup baik untuk melakukan bunuh diri adalah : kondisi dan situasi yang
menyakitkan, penyakit yang tidak dapat disembuhkan (terminal), kehilangan
kehormatan, jatuh miskin; menjadi cacat atau kehilangan kecantikan fisik,
hilangnya kemampuan seksual, kehilangan harapan masa depan, kehilangan orang
tercinta, kecewa dalam cinta, dan kelemahan atau penyakit karena usia terus
meningkat. Pada intinya adalah orang yang melakukan bunuh diri dapat dibenarkan
atau diterima secara moral jika dia melakukan demi tujuan yang baik seperti
menghilangkan atau mengurangi penderitaan atau kesusahan dirinya sendiri
maupun orang lain yang terkait dengan dirinya. Yang penting tujuan tercapai,
bunuh diri tidak menjadi masalah.

Pandangan etika teleologikal tampaknya memberikan jalan keluar bagi


mereka yang mengalami penderitaan dan kesusahan. Dengan mengakhiri hidup
mereka sendiri, tampaknya juga masalah telah selesai. Selain itu, tindakan bunuh
diri untuk menghindari kesusahan orang lain kemudian – misalnya akibat biaya
rumah sakit yang besar – tampaknya memberikan jalan keluar yang heroik.

Hanya saja kalau kita pikirkan kembali, pandangan utilitarianisme tidaklah


memberikan jalan keluar yang terbaik. Justru orang-orang yang mengambil
keputusan untuk bunuh diri dengan alasan untuk mengurangi penderitaan dan
kesusahan atau pun demi kesejahteraan orang lain adalah tindakan yang pengecut
dan tidak ksatria. Tentu saja mereka tidak dibenarkan dan tindakan mereka secara
moral salah karena telah melakukan kejahatan.

2. Etika Deontologikal

Kata “deontological” memiliki akar kata “deon’’ yang berarti sesuatu yang
harus dilakukan sebagai hasil sebuah paksaan, tugas atau kewajiban. Immanuel
Kant, seorang filsuf Jerman pendukung pandangan etika ini, menyatakan bahwa
suatu tindakan dianggap baik adabila didasarkan pada kehendak yang baik.
Seseorang dapat memiliki kehendak baik jika melakukan sesuatu karena
kewajiban. Jadi Kant berpendapat bahwa perbuatan adalah baik jika hanya
dilakukan karena wajib dilakukan. Selain itu, Kant juga berpendapat bahwa ada
dua ukuran obyektif untuk menyatakan bahwa suatu tindakan itu benar atau salah
secara etis. Pertama, “bertindaklah atas dalil, bahwa apa yang kita lakukan dapat
berlaku sebagai hukum yang bersifat universal,” yaitu apabila yang kita lakukan di
manapun dan kapan pun adalah yang seharusnya dilakukan oleh siapa pun. Kedua,
apa yang benar adalah apabila kita memperlakukan manusia di dalam setiap
sebagai tujuan, dan bukan sekedar alat atau cara untuk mencapai tujuan.Salah satu
penerapan pandangan etika deontologikal ini adalah absolutisme total. Tindakan
bunuh diri jika ditinjau dari sudut etika ini adalah tindakan yang salah. Mengapa?
Karena tindakan bunuh diri sudah melanggar akan hukum atau norma yang
diberikan Allah kepada manusia yaitu “Jangan Membunuh”. Seseorang yang
melakukan bunuh diri jelas telah melanggar hukum tersebut karena ia telah sengaja
membunuh yaitu dirinya sendiri. Jadi larangan yang seharusnya wajib atau harus
dilakukan, dia langgar dan justru melakukan hal yang bertentangan.

Bunuh Diri Menurut Pandangan Etika Kristen

Bunuh diri itu dosa, dikarenakan ia telah menolak keselamatan yang telah
Tuhan Yesus berikan kepada ummatnya. Yudas Iskariot bunuh diri karena ia telah
menyesal terhadap perbuatannya dan tidak bertobat. Ini jelas dosa. Bunuh diri itu
sama dengan membunuh orang lain. Bunuh diri tidak terampunkan bukan karena
bunuh dirinya, tetapi karena penolakan keselamatan. Tetapi ada juga yang
menganggap bunuh diri dapat diampuni, dengan cara didoakan kepada Tuhan.1
Yohanes 1:7 Tetapi jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam
terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain, dan darah Yesus,
Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa Orang bunuh diri tidak hidup
didalam terang, dia hidup dalam gelap dan kejahanaman. Ia telah merasa putus asa
dan tidak percaya kepada Tuhan yang telah menyelamatkan kita.Namun tidak
hanya Bunuh diri saja yang tidak diampuni, namun juga penolakan (berkali-kali)
terhadap Roh Allah.

Tinjauan Menurut Firman Tuhan / Alkitab


➢ Hidup ini adalah milik Tuhan yang dianugerahkan-Nya kepada manusia.

Tindakan bunuh diri tidak dapat dibenarkan karena hidup seseorang adalah pemberian
dari Tuhan. Ketika Tuhan Allah menciptakan manusia dari debu dan tanah pada saat itu Dia
“menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya” sehingga manusia tersebut menjadi manusia
yang hidup (Kej. 2:7). Nehemia pun mengakui bahwa Tuhan adalah Pencipta dan pemberi hidup
segala yang diciptakan-Nya termasuk manusia (Neh. 9:6). Pengkhotbah 12:7 menyatakan bahwa
“debu kembali menjadi tanah seperti semula dan roh kembali kepada Allah yang
mengaruniakannya.” Ayub menyatakan bahwa di dalam tangan Tuhan terletak segala yang hidup
(Ayub 12:10) dan nafas dari Tuhan yang membuatnya hidup (Ayub 33:4). Dalam Yohanes 14:6
pun Tuhan Yesus menyatakan bahwa diri-Nya adalah “jalan dan kebenaran dan hidup.” Hal ini
dinyatakan setelahTuhan Yesus membangkitkan kembali Lazarus yang telah meninggal dunia
(Yoh. 11:1-44). Jelas, bahwa hidup kita adalah pemberian dari Allah dan Allah sendiri yang
berhak untuk memberi dan mengambilnya kembali.Oleh karena hidup ini adalah milik Tuhan
yang Dia berikan kepada manusia, maka manusia tidak boleh menolaknya yaitu dengan bunuh
diri. Hidup kita – mati atau hidup – adalah di tangan-Nya. Tugas kita adalah bertanggung jawab
atas kehidupan yang telah ia percayakan kepada kita. Dan Tuhan melarang kita menolak hidup
kita sendiri, artinya membunuh diri, sebab hidup dan mati bukan terletak dalam tangan kita,
melainkan dalam Tangan Tuhan. Tetapi pada manusia itu Tuhan telah meletakkan
tanggungdjawab atas hidupnja sendiri. Manusia mempunjai kebebasan mengenai hidupnja
sendiri, tetapi kebebasan itu disertai suatu tanggungdjawab. Ia bertanggung jawab kepada Tuhan
atas segala apa jang diperbuatnja terhadap hidupnya. Manusia dapat menerima karunia jang
disebut hidup itu, tetapi ia pun dapat menolaknya, hal mana merupakan suatu perbuatan yang
amat mengerikan, sebab menolak hidup berarti membunuh diri.

➢ Bunuh diri melanggar Hukum keenam “Jangan Membunuh”


Tindakan bunuh diri adalah tindakan yang tidak berkenan di hadapan Tuhan karena
bunuh diri sendiri telah melanggar perintah Tuhan di dalam Sepuluh Hukum yaitu Hukum
Keenam yang berbunyi “Jangan Membunuh” (Kel. 20:13; Ul. 5: 17). Geisler sendiri
menegaskan hal ini “Karena bunuh diri juga merupakan suatu bentuk pembunuhan, maka juga
termasuk pelanggaran.” Robertson McQulkin juga menyatakan bahwa bunuh diri salah atau dosa
karena itu adalah pelanggaran akan larangan mengambil nyawa manusia. Di dalam Katekismus
Singkat Westminster berkenaan dengan perintah keenam menyatakan: Apakah yang dituntut
dalam perintah keenam? Perintah keenam menuntut kita untuk melakukan segala usaha yang
dibenarkan untuk memelihara kehidupan kita dan kehidupan orang lain. Apa yang dilarang
dalam perintah keenam? Perintah keenam melarang kita mengambil nyawa kita sendiri (Kis.
16:28) atau pun sesama kita secara tidak adil, atau melakukan perbuatan apa pun yang
mempunyai kecenderungan demikian. Mengapa manusia tidak boleh membunuh dan dibunuh?
Karena sebagai manusia yang diciptakan oleh Allah segambar dan serupa dengan-Nya, maka kita
adalah ciptaan yang sangat berharga di mata-Nya. Manusia yang diciptakan Allah menurut
gambar dan rupa-Nya juga menyatakan bahwa manusia adalah wakil Allah di mana terpancar
akan karakter dan sifat Allah di dalamnya. Oleh karena itu, ketika seseorang membunuh
‘gambar Allah’, maka dia melakukan kekerasan terhadap Tuhan sendiri. Kejadian 9:6
menyatakan “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia,
sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri.”. Oleh karena itu, kita tidak
boleh membunuh diri kita sendiri karena kita adalah ciptaan Allah yang agung dan mulia.

➢ . Bunuh diri melanggar akan kedaulatan Tuhan

Di dalam Ulangan 32:39 Tuhan Allah menyatakan: ”Lihatlah sekarang, bahwa Aku,
Akulah Dia. Tidak ada Allah kecuali Aku. Akulah yang mematikan dan yang
menghidupkan…”. Hana di dalam doanya mengakui bahwa “TUHAN mematikan dan
menghidupkan” (I Sam. 2:6). Pengkotbah 8:8 menyatakan: ”Tiada seorangpun berkuasa
menahan angin dan tiada seorangpun berkuasa atas hari kematian. Tak ada istirahat dalam
peperangan, dan kefasikan tidak melepaskan orang yang melakukannya.” Jelas bahwa Allah-lah
yang berdaulat atas kehidupan manusia. Allah yang menciptakan hidup manusia dan Allah
sendirilah yang memiliki hak untuk mengambil nyawa manusia. Menurut Walter C. Kaiser,
Allah sendiri adalah pemberi dan pemelihara kehidupan, oleh karena itu hanya Allah saja yang
berhak mengambilnya kembali. Menurut James F. Childress and John Macquarrie, dosa melawan
Allah sebagai Pencipta dan Penebus, juga merupakan penolakan akan kasih dan kedaulatan-Nya.
Dengan demikian, Firman Tuhan juga menolak akan pandangan bahwa manusia memiliki hak
secara individu untuk menentukan nasib hidupnya sendiri termasuk di dalamnya adalah hak
untuk mati (the right to die). Hidup manusia bukanlah milik manusia sendiri (otonom) tetapi
jelas sekali bahwa hidup manusia adalah milik Allah dan Allah sendiri yang memiliki hak untuk
‘mencabut’nya. Selain itu, walaupun manusia memiliki kebebasan, Tuhan juga memberikan
kepada manusia tanggung jawab yaitu bagaimana menggunakan kehidupan yang diberikan oleh-
Nya dengan baik dan penuh tanggung jawab.
➢ Bunuh diri melanggar hukum kasih.

Di dalam Matius 22:39 Tuhan Yesus memberikan hukum kasih yang berbunyi “Kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Paulus pun menyatakan bahwa seorang suami harus
mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri sebab tidak pernah seorang yang membenci
tubuhnya sendiri, tetapi jusru mengasuhnya dan merawatinya (Ef. 5:28-29). Hal ini menegaskan
bahwa jika kita mengasihi diri kita sendiri, mengapa kita tega ‘menyakiti’ tubuh kita dengan
membunuhnya? Tentu ini menegaskan bahwa orang yang melakukan tindakan bunuh diri tidak
mengasihi atau menyayangi akan tubuhnya.Menurut Josh McDowell dan Norman Geisler
menyatakan bahwa mengambil nyawa itu salah, bahkan nyawa diri sendiri. Bunuh diri adalah
tindakan kebencian terhadap diri sendiri, tepat sebagaimana pembunuhan adalah tindakan
kebencian terhadap orang lain. Bunuh diri sama salahnya dengan pembunuhan, sebab melanggar
perintah mengasihi diri sendiri, tepat sebagaimana pembunuhan melanggar perintah mengasihi
orang lain. Kasih bertentangan dengan kedua tindakan ini. Bunuh diri adalah tindakan
mementingkan diri sendiri mengakhiri kesulitan kita tanpa memperdulikan tindakan membantu
orang lain berurusan dengan kesulitan mereka. Seseorang yang berfokus pada tindakan
melindungi dan mencukupi kebutuhan orang lain tidak mempunyai alasan untuk membenci
kehidupannya sendiri. Mengasihi adalah obat penawar bagi godaan menghancurkan diri sendiri.
Jadi, tindakan bunuh diri bertentangan dengan hukum kasih yang telah diajarkan oleh Yesus
kepada kita

➢ Bunuh diri melanggar kewajiban di dalam masyarakat.

Menurut Hauerwas seseorang tidak boleh memiliki keinginan untuk bunuh diri karena
kewajibannya terhadap orang lain di dalam masyarakat. Seseorang tidak boleh berpikir bahwa
dia seorang pribadi yang terpisah dari masyarakat. Keberadaan seseorang tergantung pada
interaksi dengan sesama di dalam masyarakat. Kesediaan mereka untuk hidup dalam
menghadapi kesakitan, kebosanan dan penderitaan adalah : pertama, sebuah pelayanan moral
untuk satu dengan lainnya; kedua, tanda bahwa kehidupan dapat dipikul; ketiga,sebuah
kesempatan untuk mengajarkan kepada yang lainnya bagaimana untuk mati, bagaimana untuk
menghadapi kehidupan, bagaimana hidup baik dan bagaimana seorang bijak memahami
hubungan antara kebahagiaan dan kejahatan. Sebuah tindakan bunuh diri menunjukkan
kegagalan sebuah komunitas untuk mempedulikan orang yang bunuh diri ketika orang tersebut
membutuhkan pertolongan dan itu menjadi tanda ketiadapedulian terhadap komunitas.

➢ Bunuh diri melanggar iman kita kepada-Nya

Karena umumnya bunuh diri dihubungkan dengan penderitaan dan kesusahan, maka
dalam ini orang yang melakukan bunuh diri tidak mempercayai hidupnya pada Tuhan. Mereka
sering kali merasa bahwa sudah tidak ada lagi harapan di dalam dunia ini bagi masa depan
mereka. Di sisi lain, Allah bagi mereka sudah ‘tidak ada lagi’ karena mereka tidak mendapatkan
pertolongan dari Tuhan. Oleh karena itu, di dalam kedepresian mereka, mereka mengambil
keputusan untuk melakukan bunuh diri. Hanya saja, tampak bahwa mereka yang melakukan
tindakan bunuh diri tidak sepenuhnya menyerahkan hidup mereka kepada pemeliharaan Tuhan
yang hidup dan mahakuasa. Menurut Bonhoeffer, tindakan bunuh diri adalah tindakan yang
berdosa di hadapan Tuhan karena menunjukkan hidup yang kurang beriman. R.C. Sproul juga
menekankan bahwa “Allah tidak membenarkan kita untuk bunuh diri. Bunuh diri, dalam
ungkapannya yang penuh, melibatkan seorang yang menyerah pada keputusasaan. Apapun
kerumitan bunuh diri yang terlibat dalam penghakiman Allah, kita tahu bahwa bunuh diri tidak
diberikan pada kita sebagai pilihan untuk kematian.

KESIMPULAN DAN SIKAP KITA

❖ Kesimpulan

Dari apa yang telah diuraikan di atas, penulis mengambil kesimpulan: pertama, tindakan
bunuh diri pada umumnya didorong oleh rasa frustasi dan depresi yang membuat seseorang
merasa tidak memiliki jalan keluar untuk segala macam permasalahan mereka; kedua, tindakan
bunuh diri termasuk tindakan ‘pemberontakan’ terhadap kedaulatan Tuhan; jadi bunuh diri
adalah dosa; ketiga, tindakan bunuh diri secara etis tidak dapat dibenarkan walaupun dengan
alasan menghindari dari penderitaan dan kesusahan dan keempat,tindakan bunuh diri secara etis
tidak dapat dibenarkan karena telah melanggar salah satu dari Sepuluh perintah Tuhan yaitu
hukum keenam : Jangan Membunuh.

❖ Sikap Kita Terhadap Bunuh Diri

Sikap kita di dalam menghadapin mereka yang mengambil tindakan bunuh diri adalah yang
pertama, terhadap mereka yang melakukan bunuh diri, kita jangan hanya melakukan pendekatan
secara etika – benar atau salah – tetapi juga melakukan pendekatan secara empatik dan
psikologis yaitu dengan melihat dan memahami apa yang menjadi pergumulan dan alasannya
untuk melakukan bunuh diri; kedua, janganlah kita mengambil sikap ‘menghakimi’ mereka yang
hendak dan telah mengambil tindakan bunuh diri, karena hak untuk menghakimi hanya pada
Allah saja; ketiga, terhadap mereka yang hendak melakukan bunuh diri, kita harus menjaga
dirinya dengan baik, memberikan perhatian dan kasih yang cukup serta berkomunikasi dengan
mereka; keempat, ketika kita berada di dalam pergumulan yang berat, bersandar penuh pada
Allah yang memelihara kehidupan kita. Allah tahu apa yang terbaik bagi kita demi kebaikan kita
sendiri (Roma 8:28).

Anda mungkin juga menyukai