I
S
U
S
U
N
OLEH:
EDELWEIS PANJAITAN
XI IPA 3
“Bunuh Diri”
PENDAHULUAN
Pikiran bunuh diri adalah pikiran untuk membunuh diri sendiri tanpa
melakukan bunuh diri secara eksplisit. Sedangkan suicide ideators adalah orang
yang memikirkan atau membentuk intensi untuk bunuh diri yang bervariasi derajat
keseriusannya tetapi tidak melakukan percobaan bunuh diri secara eksplisit atau
bunuh diri (Maris dkk.,2000). Pikiran bunuh diri bervariasi mulai dari yang non-
spesifik (“Hidup ini tidak berarti”), yang spesifik (“Saya berharap saya mati”),
pikiran dengan intensi (“Saya akan membunuh diri saya”), sampai pikiran yang
berisi rencana (“Saya akan membunuh diri saya sendiri dengan pistol”).
Definisi :
Kata bunuh diri di dalam bahasa Yunani berasal dari kata “apancho” yang
berarti menahan (nafas sampai mati). Menyebabkan kematian dirinya sendiri
dengan menggantung diri (apanchomai), menggantung dirinya sendiri atau
melakukan bunuh diri (Mat. 27:5).Kata “suicide” (bunuh diri) pertama kali
digunakan oleh Walter Charleton (1651) atau Sir Thomas Browne (1642). Selama
berabad-abad, pengertian “bunuh diri” ini memiliki arti yang berbeda menurut
zaman dan konteksnya. Tetapi sejak sidang gereja pada tahun 452, pengertian
bunuh diri dihubungkan dengan dosa dan kejahatan.Menurut Kamus Umum
Bahasa Indonesia, bunuh diri adalah “sengaja mematikan diri sendiri.” Jadi, di
dalam praktek bunuh diri yang berinisiatif dan yang mengambil tindakan adalah
dirinya sendiri
Orang yang melakukan bunuh diri biasanya disebabkan oleh: pertama, sakit
yang telah berlangsung sangat lama, tidak ada harapan sembuh dan telah banyak
menghabiskan biaya hidup keluarga; kedua, stress atau tekanan karena ditinggal
oleh orang yang dikasihi karena kematian; ketiga, penyakit kejiwaan seperti
depresi, skizofrenia, trauma, dsb; keempat, cacat fisik seperti lumpuh, buta;
kelima,penyalahgunaan narkotika; keenam, lingkungan yang tidak menyenangkan
seperti penganiayaan seks/abuse, kemiskinan, tidak memiliki tempat tinggal,
diskriminasi, ketakutan akan pembunuhan atau penyiksaan; ketujuh,mengalami
masalah dalam bidang keuangan seperti bangkrut, pengangguran, kehilangan harta
karena kebakaran, kalah di dalam pasar saham/valas, perjudian, hutang yang tidak
terbayarkan; kedelapan, mengalami masalah dalam keluarga seperti perceraian,
keluarga yang tidak harmonis, perlakuan yang tidak adil, tidak mendapatkan
perhatian dari orang tua; kesembilan, untuk menghindari rasa malu (misalnya
bushido, yaitu jika seorang samurai Jepang gagal di dalam mempertahankan
kehormatannya, maka dia mengambil jalan keluar dengan melakukan
seppuku/bunuh diri)
Di dalam Alkitab ada enam orang yang melakukan bunuh diri yaitu :
Samson (Hak. 16:23-31), Raja Saul dan pembawa pedangnya (1Sam. 31:3-5),
Ahitofel – penasihat Raja Daud – yang telah menghianati Raja Daud dengan
mengikuti Absalom (2Samuel 17:23), Raja Israel Zimri (1Raj. 16:18-19), dan
Yudas Iskariot yang menghianati Tuhan Yesus dan kemudian menggantung diti
(Matius 27:3-5). Di dalam Alkitab tidak ada pernyataan baik atau buruk tentang
tindakan-tindakan tersebut. Khusus berkenaan dengan Raja Saul dikatakan bahwa
Tuhan yang telah membunuh dia karena tidak berpegang pada Firman Tuhan dan
telah meminta petunjuk kepada arwah dan bukan minta petunjuk kepada Tuhan
(1Taw. 10:4, 14).Walaupun demikian, di dalam Alkitab kasus tentang bunuh diri
tidak dinyatakan secara tegas dan jelas. Tidak ada juga nasehat atau pernyataan
sikap terhadap orang yang melakukan bunuh diri. Secara tegas hanya yang
berkaitan dengan pembunuhan seperti Hukum Keenam dari Sepuluh Hukum yaitu
:”Jangan Membunuh” (Kel. 20:13). Di dalam Matius 22: 39, orang Kristen tidak
hanya diperintahkan untuk mengasihi orang lain tetapi juga dirinya sendiri. Oleh
karena itu, bunuh diri adalah tindakan yang tidak mengasihi dirinya sendiri tetapi
justru membenci dirinya sendiri. Jadi tindakan tersebut menunjukkan
ketidaktaatan terhadap Firman Tuhan.
tindakan tersebut sebagai martir atau tanda pengorbanan diri demi Allah dan bangsanya.
Menurut teori ini – sesuai dengan arti kata “telos” yang berarti tujuan, hasil–
apa yang secara moral baik atau buruk, benar atau salah, wajib atau dilarang
ditentukan oleh hasil dari tindakan yang dilaksanakan. Jika perbuatan
menghasilkan hal yang baik secara moral, maka tindakan tersebut dapat dibenarkan
secara moral. Dalam hal ini, hasil menentukan tindakan mana yang baik dan yang
tidak baik. Menurut Bentham, manusia menurut kodratnya selalu ingin
menghindari ketidaksenangan dan mencari kesenangan. Seorang akan bahagia jika
memiliki kesenangan dan terlepas dari kesusahan. Oleh karena itu, menurut
Bentham, suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk dapat diukur dengan sejauh
mana dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang.
Baginya, moralitas suatu tindakan harus ditentukan dengan menimbang
kegunaannya untuk mencapai kebahagiaan umat manusia. Akhirnya Betham
menarik satu prinsip kegunaan (the principle of utility) yang berbunyi: “the
greatest happiness of the greatest number” (kebahagiaan terbesar dari jumlah orang
terbesarMenurut pandangan etika utilitarianisme, seseorang yang melakukan
bunuh diri harus mempertimbangkan kesejahteraan dari orang-orang lain yang
terkait dengannya, tidak hanya memikirkan dirinya sendiri. Jika tindakan bunuh
diri tersebut dapat memaksimalkan kegunaan (utility), maka tindakan tersebut
secara moral dapat dibenarkan dan masuk akal. Pertimbangan-pertimbangan yang
dianggap cukup baik untuk melakukan bunuh diri adalah : kondisi dan situasi yang
menyakitkan, penyakit yang tidak dapat disembuhkan (terminal), kehilangan
kehormatan, jatuh miskin; menjadi cacat atau kehilangan kecantikan fisik,
hilangnya kemampuan seksual, kehilangan harapan masa depan, kehilangan orang
tercinta, kecewa dalam cinta, dan kelemahan atau penyakit karena usia terus
meningkat. Pada intinya adalah orang yang melakukan bunuh diri dapat dibenarkan
atau diterima secara moral jika dia melakukan demi tujuan yang baik seperti
menghilangkan atau mengurangi penderitaan atau kesusahan dirinya sendiri
maupun orang lain yang terkait dengan dirinya. Yang penting tujuan tercapai,
bunuh diri tidak menjadi masalah.
2. Etika Deontologikal
Kata “deontological” memiliki akar kata “deon’’ yang berarti sesuatu yang
harus dilakukan sebagai hasil sebuah paksaan, tugas atau kewajiban. Immanuel
Kant, seorang filsuf Jerman pendukung pandangan etika ini, menyatakan bahwa
suatu tindakan dianggap baik adabila didasarkan pada kehendak yang baik.
Seseorang dapat memiliki kehendak baik jika melakukan sesuatu karena
kewajiban. Jadi Kant berpendapat bahwa perbuatan adalah baik jika hanya
dilakukan karena wajib dilakukan. Selain itu, Kant juga berpendapat bahwa ada
dua ukuran obyektif untuk menyatakan bahwa suatu tindakan itu benar atau salah
secara etis. Pertama, “bertindaklah atas dalil, bahwa apa yang kita lakukan dapat
berlaku sebagai hukum yang bersifat universal,” yaitu apabila yang kita lakukan di
manapun dan kapan pun adalah yang seharusnya dilakukan oleh siapa pun. Kedua,
apa yang benar adalah apabila kita memperlakukan manusia di dalam setiap
sebagai tujuan, dan bukan sekedar alat atau cara untuk mencapai tujuan.Salah satu
penerapan pandangan etika deontologikal ini adalah absolutisme total. Tindakan
bunuh diri jika ditinjau dari sudut etika ini adalah tindakan yang salah. Mengapa?
Karena tindakan bunuh diri sudah melanggar akan hukum atau norma yang
diberikan Allah kepada manusia yaitu “Jangan Membunuh”. Seseorang yang
melakukan bunuh diri jelas telah melanggar hukum tersebut karena ia telah sengaja
membunuh yaitu dirinya sendiri. Jadi larangan yang seharusnya wajib atau harus
dilakukan, dia langgar dan justru melakukan hal yang bertentangan.
Bunuh diri itu dosa, dikarenakan ia telah menolak keselamatan yang telah
Tuhan Yesus berikan kepada ummatnya. Yudas Iskariot bunuh diri karena ia telah
menyesal terhadap perbuatannya dan tidak bertobat. Ini jelas dosa. Bunuh diri itu
sama dengan membunuh orang lain. Bunuh diri tidak terampunkan bukan karena
bunuh dirinya, tetapi karena penolakan keselamatan. Tetapi ada juga yang
menganggap bunuh diri dapat diampuni, dengan cara didoakan kepada Tuhan.1
Yohanes 1:7 Tetapi jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam
terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain, dan darah Yesus,
Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa Orang bunuh diri tidak hidup
didalam terang, dia hidup dalam gelap dan kejahanaman. Ia telah merasa putus asa
dan tidak percaya kepada Tuhan yang telah menyelamatkan kita.Namun tidak
hanya Bunuh diri saja yang tidak diampuni, namun juga penolakan (berkali-kali)
terhadap Roh Allah.
Tindakan bunuh diri tidak dapat dibenarkan karena hidup seseorang adalah pemberian
dari Tuhan. Ketika Tuhan Allah menciptakan manusia dari debu dan tanah pada saat itu Dia
“menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya” sehingga manusia tersebut menjadi manusia
yang hidup (Kej. 2:7). Nehemia pun mengakui bahwa Tuhan adalah Pencipta dan pemberi hidup
segala yang diciptakan-Nya termasuk manusia (Neh. 9:6). Pengkhotbah 12:7 menyatakan bahwa
“debu kembali menjadi tanah seperti semula dan roh kembali kepada Allah yang
mengaruniakannya.” Ayub menyatakan bahwa di dalam tangan Tuhan terletak segala yang hidup
(Ayub 12:10) dan nafas dari Tuhan yang membuatnya hidup (Ayub 33:4). Dalam Yohanes 14:6
pun Tuhan Yesus menyatakan bahwa diri-Nya adalah “jalan dan kebenaran dan hidup.” Hal ini
dinyatakan setelahTuhan Yesus membangkitkan kembali Lazarus yang telah meninggal dunia
(Yoh. 11:1-44). Jelas, bahwa hidup kita adalah pemberian dari Allah dan Allah sendiri yang
berhak untuk memberi dan mengambilnya kembali.Oleh karena hidup ini adalah milik Tuhan
yang Dia berikan kepada manusia, maka manusia tidak boleh menolaknya yaitu dengan bunuh
diri. Hidup kita – mati atau hidup – adalah di tangan-Nya. Tugas kita adalah bertanggung jawab
atas kehidupan yang telah ia percayakan kepada kita. Dan Tuhan melarang kita menolak hidup
kita sendiri, artinya membunuh diri, sebab hidup dan mati bukan terletak dalam tangan kita,
melainkan dalam Tangan Tuhan. Tetapi pada manusia itu Tuhan telah meletakkan
tanggungdjawab atas hidupnja sendiri. Manusia mempunjai kebebasan mengenai hidupnja
sendiri, tetapi kebebasan itu disertai suatu tanggungdjawab. Ia bertanggung jawab kepada Tuhan
atas segala apa jang diperbuatnja terhadap hidupnya. Manusia dapat menerima karunia jang
disebut hidup itu, tetapi ia pun dapat menolaknya, hal mana merupakan suatu perbuatan yang
amat mengerikan, sebab menolak hidup berarti membunuh diri.
Di dalam Ulangan 32:39 Tuhan Allah menyatakan: ”Lihatlah sekarang, bahwa Aku,
Akulah Dia. Tidak ada Allah kecuali Aku. Akulah yang mematikan dan yang
menghidupkan…”. Hana di dalam doanya mengakui bahwa “TUHAN mematikan dan
menghidupkan” (I Sam. 2:6). Pengkotbah 8:8 menyatakan: ”Tiada seorangpun berkuasa
menahan angin dan tiada seorangpun berkuasa atas hari kematian. Tak ada istirahat dalam
peperangan, dan kefasikan tidak melepaskan orang yang melakukannya.” Jelas bahwa Allah-lah
yang berdaulat atas kehidupan manusia. Allah yang menciptakan hidup manusia dan Allah
sendirilah yang memiliki hak untuk mengambil nyawa manusia. Menurut Walter C. Kaiser,
Allah sendiri adalah pemberi dan pemelihara kehidupan, oleh karena itu hanya Allah saja yang
berhak mengambilnya kembali. Menurut James F. Childress and John Macquarrie, dosa melawan
Allah sebagai Pencipta dan Penebus, juga merupakan penolakan akan kasih dan kedaulatan-Nya.
Dengan demikian, Firman Tuhan juga menolak akan pandangan bahwa manusia memiliki hak
secara individu untuk menentukan nasib hidupnya sendiri termasuk di dalamnya adalah hak
untuk mati (the right to die). Hidup manusia bukanlah milik manusia sendiri (otonom) tetapi
jelas sekali bahwa hidup manusia adalah milik Allah dan Allah sendiri yang memiliki hak untuk
‘mencabut’nya. Selain itu, walaupun manusia memiliki kebebasan, Tuhan juga memberikan
kepada manusia tanggung jawab yaitu bagaimana menggunakan kehidupan yang diberikan oleh-
Nya dengan baik dan penuh tanggung jawab.
➢ Bunuh diri melanggar hukum kasih.
Di dalam Matius 22:39 Tuhan Yesus memberikan hukum kasih yang berbunyi “Kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Paulus pun menyatakan bahwa seorang suami harus
mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri sebab tidak pernah seorang yang membenci
tubuhnya sendiri, tetapi jusru mengasuhnya dan merawatinya (Ef. 5:28-29). Hal ini menegaskan
bahwa jika kita mengasihi diri kita sendiri, mengapa kita tega ‘menyakiti’ tubuh kita dengan
membunuhnya? Tentu ini menegaskan bahwa orang yang melakukan tindakan bunuh diri tidak
mengasihi atau menyayangi akan tubuhnya.Menurut Josh McDowell dan Norman Geisler
menyatakan bahwa mengambil nyawa itu salah, bahkan nyawa diri sendiri. Bunuh diri adalah
tindakan kebencian terhadap diri sendiri, tepat sebagaimana pembunuhan adalah tindakan
kebencian terhadap orang lain. Bunuh diri sama salahnya dengan pembunuhan, sebab melanggar
perintah mengasihi diri sendiri, tepat sebagaimana pembunuhan melanggar perintah mengasihi
orang lain. Kasih bertentangan dengan kedua tindakan ini. Bunuh diri adalah tindakan
mementingkan diri sendiri mengakhiri kesulitan kita tanpa memperdulikan tindakan membantu
orang lain berurusan dengan kesulitan mereka. Seseorang yang berfokus pada tindakan
melindungi dan mencukupi kebutuhan orang lain tidak mempunyai alasan untuk membenci
kehidupannya sendiri. Mengasihi adalah obat penawar bagi godaan menghancurkan diri sendiri.
Jadi, tindakan bunuh diri bertentangan dengan hukum kasih yang telah diajarkan oleh Yesus
kepada kita
Menurut Hauerwas seseorang tidak boleh memiliki keinginan untuk bunuh diri karena
kewajibannya terhadap orang lain di dalam masyarakat. Seseorang tidak boleh berpikir bahwa
dia seorang pribadi yang terpisah dari masyarakat. Keberadaan seseorang tergantung pada
interaksi dengan sesama di dalam masyarakat. Kesediaan mereka untuk hidup dalam
menghadapi kesakitan, kebosanan dan penderitaan adalah : pertama, sebuah pelayanan moral
untuk satu dengan lainnya; kedua, tanda bahwa kehidupan dapat dipikul; ketiga,sebuah
kesempatan untuk mengajarkan kepada yang lainnya bagaimana untuk mati, bagaimana untuk
menghadapi kehidupan, bagaimana hidup baik dan bagaimana seorang bijak memahami
hubungan antara kebahagiaan dan kejahatan. Sebuah tindakan bunuh diri menunjukkan
kegagalan sebuah komunitas untuk mempedulikan orang yang bunuh diri ketika orang tersebut
membutuhkan pertolongan dan itu menjadi tanda ketiadapedulian terhadap komunitas.
Karena umumnya bunuh diri dihubungkan dengan penderitaan dan kesusahan, maka
dalam ini orang yang melakukan bunuh diri tidak mempercayai hidupnya pada Tuhan. Mereka
sering kali merasa bahwa sudah tidak ada lagi harapan di dalam dunia ini bagi masa depan
mereka. Di sisi lain, Allah bagi mereka sudah ‘tidak ada lagi’ karena mereka tidak mendapatkan
pertolongan dari Tuhan. Oleh karena itu, di dalam kedepresian mereka, mereka mengambil
keputusan untuk melakukan bunuh diri. Hanya saja, tampak bahwa mereka yang melakukan
tindakan bunuh diri tidak sepenuhnya menyerahkan hidup mereka kepada pemeliharaan Tuhan
yang hidup dan mahakuasa. Menurut Bonhoeffer, tindakan bunuh diri adalah tindakan yang
berdosa di hadapan Tuhan karena menunjukkan hidup yang kurang beriman. R.C. Sproul juga
menekankan bahwa “Allah tidak membenarkan kita untuk bunuh diri. Bunuh diri, dalam
ungkapannya yang penuh, melibatkan seorang yang menyerah pada keputusasaan. Apapun
kerumitan bunuh diri yang terlibat dalam penghakiman Allah, kita tahu bahwa bunuh diri tidak
diberikan pada kita sebagai pilihan untuk kematian.
❖ Kesimpulan
Dari apa yang telah diuraikan di atas, penulis mengambil kesimpulan: pertama, tindakan
bunuh diri pada umumnya didorong oleh rasa frustasi dan depresi yang membuat seseorang
merasa tidak memiliki jalan keluar untuk segala macam permasalahan mereka; kedua, tindakan
bunuh diri termasuk tindakan ‘pemberontakan’ terhadap kedaulatan Tuhan; jadi bunuh diri
adalah dosa; ketiga, tindakan bunuh diri secara etis tidak dapat dibenarkan walaupun dengan
alasan menghindari dari penderitaan dan kesusahan dan keempat,tindakan bunuh diri secara etis
tidak dapat dibenarkan karena telah melanggar salah satu dari Sepuluh perintah Tuhan yaitu
hukum keenam : Jangan Membunuh.
Sikap kita di dalam menghadapin mereka yang mengambil tindakan bunuh diri adalah yang
pertama, terhadap mereka yang melakukan bunuh diri, kita jangan hanya melakukan pendekatan
secara etika – benar atau salah – tetapi juga melakukan pendekatan secara empatik dan
psikologis yaitu dengan melihat dan memahami apa yang menjadi pergumulan dan alasannya
untuk melakukan bunuh diri; kedua, janganlah kita mengambil sikap ‘menghakimi’ mereka yang
hendak dan telah mengambil tindakan bunuh diri, karena hak untuk menghakimi hanya pada
Allah saja; ketiga, terhadap mereka yang hendak melakukan bunuh diri, kita harus menjaga
dirinya dengan baik, memberikan perhatian dan kasih yang cukup serta berkomunikasi dengan
mereka; keempat, ketika kita berada di dalam pergumulan yang berat, bersandar penuh pada
Allah yang memelihara kehidupan kita. Allah tahu apa yang terbaik bagi kita demi kebaikan kita
sendiri (Roma 8:28).