Anda di halaman 1dari 20

Emile Durkheim merupakan tokoh sosiologi klasik yang terkenal dengan teori bunuh dirinya.

Dalam bukunya SUICIDE Emile mengemukakan dengan jelas bahwa yang menjadi penyebab bunuh diri adalah pengaruh dari integrasi social. Teori ini muncul karena Emile melihat didalam lingkungannya terdapat orang-orang yang melakukan bunuh diri. Yang kemudian menjadikan Emile tertarik untuk melakukan penelitian diberbagai Negara mengenai hal ini. Peristiwa bunuh diri merupakan kenyataankenyataan social tersendiri yang karena itu dapat dijadikan sarana penelitian dengan menghubngkannya terhadap struktur social dan derajat integrasi social dari suatu kehidupan. Terdapat empat alasan orang bunuh diri menurut Emile Durkheim, yaitu: a. Karena alasan agama Dalam penelitiannya, Durkheim mengungkapkan perbedaaan angka bunuh diri dalam penganut ajaran Katolik dan Protestan. Penganut agama Protestan cenderung lebih besar angka bunuh dirinya dibandingkan dengan penganut agama Katolik. Perbedaan ini dikarenakan adanya perbedaan kebebasan yang diberiakn oleh kedua agama tersebut kepada penganutnya. Penganut agama Protestan memperoleh kebebasan yang jauh lebih besar untuk mencari sendiri hakekat ajaranajaran kitab suci, sedangkan pada agama Katolik tafsir agama ditentukan oleh pemuka Gereja. Akibatnya kepercayaan bersama dari penganut Protestan berkurang sehingga menimbulkan keadaan dimana penganut agama Protestan tidak lagi menganut ajaran/tafsir yang sama. Integrasi yang rendah inilah yang menjadi penyebab laju bunuh diri dari penganut ajaran ini lebih besar daripada penganut ajaran bagama Katolik. b. Karena alasan keluarga Semakin kecil jumlah anggota dari suatu keluarga, maka akan semakin kecil pula keinginan untuk terus hidup. Kesatuan social yang semakin besar, semakin besar mengikat orang-orang kepada kegiatan social di antara anggota-anggota kesatuan tersebut. Kesatuan keluarga yang lebih besar biasanya lebih akan terintegrasi. c. Karena alasan politik

Durkheim disini mengungkapkan perbedaan angka bunuh diri antara masyarakat militer dengan masyarakat sipil. Dalam keadaan damaiangka bunuh diri pada masyarakat militer cenderung lebih besar daipada masyarakat sipil. Dan sebaliknya, dalam situasi perang masyarakat militer angka bunuh dirinya rendah. Didalam situasi perang masyarakat militer lebih terintegrasi dengan baik dengan disipilin yang keras dibandingkan saat keadaan damai di dalam situasi ini golongan militer cenderung disiplinnya menurun sehingga integrasinya menjadi lemah. d. Karena alasan kekacauan hidup (anomie) Bunuh diri dengan alas an ini dikarenakan bahwa orang tidak lagi mempunyai pegangan dalam hidupnya. Norma atau aturan yang ada sudah tidak lagi sesuai dengan tuntutan jaman yang ada. Jenis-jenis bunuh diri a. Bunuh diri Egoistic Adalah suatu tindak bunuh diri yang dilakukan seseorang karena merasa kepentingannya sendiri lebih besar daripada kepentingan kesatuan sosialnya. Seseorang yang tidak mampu memenuhi peranan yang diharapkan (role expectation)di dalam role performance (perananan dalam kehidupan sehari-hari), maka orang tersebut akan frustasi dan melakukan bunuh diri. b. Bunuh diri Anomie c. Bunuh diri Altruistic Orang melakukan bunuh diri karena merasa dirinya sebagai beban dalam masyarakat. Contohnya adalah seorang istri yang melakukan bunuh diri yang telah ditinggal mati oleh suaminya. Serta juga bunuh diri yang dilakukan oleh orang Jepang hara kiri, yaitu bunuh diri yang dilakukan oleh anggota militer demi membela negaranya. d. Bunuh diri Fatalisme Adalah bunuh diri yang dilakukan karena rasa putus asa. Tidak ada lagi semangat untuk melanjutkan hidup.

sumber: Siahaan, Hotman M. 1986. Pengantar Ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta: Penerbit Erlangga. romaromantika.wordpress.com/.../teori-bunuh-diri

Faktor bunuh diri Sunday, 30 January 2011 00:02 | Written by DR. KHAIDZIR ISMAIL | MENGAMBIL nyawa sendiri atau bunuh diri adalah tindakan yang salah dalam agama Islam dan juga agama-agama lain. Masalah remaja bunuh diri adalah gejala yang berlaku dalam masyarakat kita tetapi sukar difahami mengapa. Angkanya meningkat tetapi tidak pula dikongsi. Untuk mencegah gejala ini dalam kalangan remaja, kita perlu memahami pengaruhnya dalam tingkah laku remaja yang ingin bunuh diri yang mungkin terdiri daripada kehidupan keluarga dalam kepesatan budaya teknologikal, perasaan disisihkan daripada tanggungjawab dewasa, atau ketiadaan kemahiran mengurus hubungan interpersonal. Ini antara sebab yang menyumbang kepada gejala ini. Di negara maju seperti Amerika Syarikat (AS), gejala bunuh diri adalah punca kematian yang ketiga tertinggi dalam kalangan remaja. Ia dijangka meningkat jika tidak dibendung awal. Negara seperti Jepun turut mengalami fenomena ini terutama kalangan remaja mereka. Malah, tidak mustahil akan berlaku di Malaysia dan sudah pun ada tetapi masih kecil bilangannya. Adakah amalan agama yang cetek yang mendorong remaja Islam kita terjebak dalam gejala bunuh diri ini? Faktor dan ciri-ciri Kebanyakan remaja daripada budaya dan agama mana pun suka kepada kehidupan mereka, rasa gembira sepanjang masa dan gemar membina jaringan sosial. Mereka mempunyai fikiran positif mengenai perkembangan dan masa depan. Dalam kepantasan perubahan ini sesetengahnya dapat menyesuaikan diri dan mengalami suasana yang menggembira dan menyeronokkan. Namun, ada yang tidak berkongsi keseronokan proses keremajaan dan berhadapan dengan penuh ketegangan, kesunyian dan kesedihan.

Mereka datang daripada keluarga bermasalah, masalah kemiskinan, tempat tinggal yang kurang memuaskan dan juga kelemahan personaliti kendiri. Interpersonal, Keluarga dan Ciri Psikososial 1. Kehilangan dan perpisahan Remaja yang terlibat dalam gejala ini lebih cenderung mengalami kehilangan ibu atau bapa atau kedua-duanya akibat perpisahan, penceraian atau kematian. Sesetengah mereka juga mengalami pengalaman dalam putus persahabatan atau percintaan. Dalam kesedihan ini, sangat perlukan kekuatan dan kemahiran menangani merupakan salah satu keperluan dalaman. 2. Keluarga Bermasalah dan Masalah Keluarga Kebanyakan remaja yang terjebak dalam gejala ini datang daripada keluarga bermasalah atau mempunyai masalah keluarga. Sesetengah ibu bapa tidak mempunyai kemahiran keibubapaan, komunikasi, dan disiplin. Hubungan keluarga yang bercirikan kemarahan, tidak stabil emosi dan ketidakterimaan juga boleh menyebabkan tingkah laku merosakkan diri remaja itu sendiri. 3. Kurang Kemahiran Komunikasi Kanak-kanak yang membesar dalam keluarga yang bermasalah biasanya datang daripada sistem keluarga yang mempunyai kelemahan dalam kemahiran berkomunikasi. Kanak-kanak yang tidak diberi peluang dalam keluarga untuk berkomunikasi atau meluahkan perasaan biasanya akan menyimpan perasaan dan apabila tidak dapat dikawal atau dipikulnya akan membawa kepada ketegangan dan bebanan sehingga menjadikan tingkah laku yang kurang menyenangkan. 4. Pencapaian Akademik Kegagalan dalam mencapai keputusan akademik yang baik dan yang diharap boleh membawa kepada gejala bunuh diri. Akibat ketakutan atau ketidakpuasan hati dan tekanan yang tinggi dengan keputusan telah banyak meragut nyawa kalangan remaja.

Sesetengah remaja yang sentiasa menjadi harapan keluarga atau sekolah tiba-tiba keputusan yang diperolehi tidak seperti yang diharapkan akan mengambil keputusan yang tidak matang dengan mengambil nyawa sendiri akibat gagal memenuhi harapan tinggi mereka. 5, Pandangan worldview Kesan daripada bunuh diri berkluster kadang-kadang membuatkan remaja meniru-meniru gejala ini seperti melihat di Internet atau filem yang merasionalkan tindakan dan keputusan ini. Atau setengah kefahaman global seperti peperangan, keganasan, ancaman penyakit, jenayah dan kebuluran yang menimpa dunia boleh memberi kesan kepada pemikiran remaja dan dengan tidak dapat mengawal perasaan, kesedihan, kebencian maka kadang-kadang mereka mengambil keputusan sendiri dengan menamatkan riwayat mereka. Ciri Psikologikal 1. Kemurungan Faktor kemurungan adalah penyumbang utama dalam gejala bunuh diri dan juga cubaan bunuh diri. Selain itu, remaja yang merasakan dirinya tidak berguna juga merupakan penunjuk kepada gejala bunuh diri. 2. Impulsiviti dan suka kepada cabaran Impulsitiviti merupakan satu tindakan yang meluru dan mengikut gerak hati tanpa berfikir. Madang-kadang desakan dan cabaran dari rakan sebaya dan juga tertarik dengan cara gaya suka kepada cabaran telah menyumbang kepada bunuh diri. 3, Kesunyian Kesunyian dan kepinggiran juga antara yang boleh menyumbang kepada gejala bunuh diri kalangan remaja. Kebiasaan remaja ini tidak mempunyai ramai kawan dan suka menjauhkan diri dalam kontak sosial dan aktiviti. Remaja ini mempunyai masalah bergaul sejak kecil lagi dan amat sensitif dan sekiranya mempunyai masalah dan tidak dapat mengawalnya maka ia boleh membawa kepada cetusan idea membunuh diri.

4. Corak Pemikiran Berfikiran yang salah dan kepercayaan yang tidak rasional yang mempunyai kaitan dengan kemurungan dan penghargaan kendiri yang rendah boleh menyebabkan remaja bertindak mengambil nyawanya sendiri. Sekiranya pemikiran yang salah ini dapat dibendung atau dibetulkan sejak awal lagi kemungkinan dapat membantu. Antara corak pemikiran yang biasa ada pada remaja yang ingin membunuh diri dalah seperti: Ketidakupayaan melihat pilihan dalam penyelesaian masalah, cara yang rigid dalam melihat dan bertindak menangani masalah, dan tidak berupaya melihat setiap masalah dan menganggap semua masalah sukar ditangani dan tiada jalan penyelesaian. 5. Salah Anggapan Terhadap Bunuh Dirii: Orang yang pernah mencuba bunuh diri akan sentiasa ingin membunuh diri ii: Setelah krisis bunuh diri dapat diselesaikan remaja berkenaan sudah tidak dalam berisiko untuk membunuh diri iii: Remaja yang bunuh diri akan meninggalkan nota iv: Bunuh diri berlaku tanpa amaran Remaja yang bercakap mengenai bunuh diri tidak akan melakukannya v: Bunuh diri banyak berlaku di kalangan pendapatan rendah vi: Remaja yang cuba membunuh diri adalah kurang siuman dan kemurungan Tanda dan Amaran Bunuh DiriPerubahan Tingkah LakunMod yang tidak stabil 1. Perubahan dari gembira dan interaktif yang positif kepada menarik diri dan negatif 2, Kurang aktiviti atau mengabaikan hobi/kegemaran yang pada satu ketika dulu menjadi kesukaan 3, Perubahan pada corak tidur dan makan (kurang selera makan dan insomnia

4. Pengambilan dadah atau minuman keras 5. Mesej Lisan Hidup sudah tidak berguna lagi a. Semua orang sudah tidak sayang pada dia b. Saya sudah bosan dengan kehidupan ini c. Saya berdoa cepat mati d. Cuma satu cara sahaja untuk selesaikan masalah Mati e. Semua orang akan menyesal lepas aku dah tidak ada lagi f. Saya dah tak lama lagi hidup g. Bagaimana dengan kehidupan lepas mati? KemurungannMengalami tekanan Kesimpulan Gejala bunuh diri yang banyak berlaku adalah akibat kesan persekitaran dan juga faktor psikologi remaja itu sendiri, bukannya daripada kaum dan agama lain. Ia berlaku pada remaja Islam kita sendiri. Keluarga yang bermasalah banyak menyumbang kepada masalah tidak menjadinya anak muda kita, selain kurang berkomunikasi dengan anak juga melebarkan lagi jurang kasih sayang dalam keluarga. Didikan agama sentiasa diutamakan dalam membina akhlak dan sahsiah anak. Dengan itu ibu bapa perlu menunjukkan contoh akhlak yang baik kepada anak-anak www.al-bakriah.com.my/index.php?

Teori Suicide oleh Emile Durkheim Menurut Durkheim, faktor demografik merupakan faktor terbesar dalam perubahan dan perkembangan masyarakat.faktor demografis tersebut menurutnya adalah pertambahan jumlah penduduk. Menurutnya dengan bertambahnya volume penduduk maka kepadatan penduduk dalam suatu ruang spasial tertentu meningkat. Dengan meningkatnya kepadatan maka menimbulkan kebutuhan akan pembagian kerja yang baru (new division of labour), dengan munculnya spesialisasi kerja baru akan memunculkan struktur baru dalam masyarakat fungsi dan peran baru. Semuanya melalui proses evolusi dan consensus, yaitu mengenai masalah moral dan intelektual masyarakat. Munculnya sruktur baru sangat fungsional bagi masyarakat. Sedangkan dalam membahas peruahan dengan revolusi kekerasan seperti di Perancis tahun 1789, Durkheim cenderung menyebutnya kelainan atau anomali, yang artinya individu kehilangan pegangan (kekaburan norma/tanpa norma). Durkheim kemudian membagi dua jenis masyarakat, yaitu masyarakat bersolidaritas mekanik (masyarakat primitif homogen)dan masyarakat bersolidaritas organis (masyarakat heterogen-modern). Masyarakat bersolidaritas mekanik tersusun karena semua posisi dan peran yang dijalankan masyarakatnya sama sehingga muncul hubungan yang mekanik. Sedangkan masyarakat bersolidaritas organis tersusun karena rasa saling tergantung satu sama lain sehingga membentuk ikatan organis. Pada model masyarakat organis ini maka tidak ada tempat bagi konflik dan ketegangan. Konflik hanya dianggap sebagai suatu penyakit (patologi) dan hanya merupakan suatu kondisi yang sementara. Masyarakat selalu memiliki pengaturan yang membuat dirinya tetap bertahan dan tidak terjadi disintegrasi. Masyarakat menurut pendekatan ini selalu mengusahakan terjadinya suatu posisi seimbang. Dengan logika tersebut maka menurut Durkheim hierarki sosial dan konsentrasi kekuasaan menjadi berguna bagi berthannya masyarakat. Gagasan ini disebut gagasan struktural fungsional.

Durkheim menolak dengan tegas anggapan-anggapan tentang penyebab bunuh diri disebabkan oleh penyakit kejiwaan, akibat imitasi atau peniruan. Ia juga menolak teori ras, teori klim, teori yang menhubungkan bunuh diri dengan alkoholisme, dan juga menolak teori yang menghubungkan bunuh diri dengan kemiskinan. Menurut Durkheim, peristiwa-peristiwa bunuh diri sebenarnya merupakan kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang karena itu dapat dijadikan sarana penelitian dengan menghubungkannya terhadap struktur sosial dan integrasi sosial dari suatu kehidupan masyarakat. Durkheim menyatakan bahwa dibalik bergelimangnya sebuah kemakmuran dalam masyarakat modern - sesuatu keadaan yang kurang ada pada masyarakat tradisional-, pada mereka banyak juga bermunculan penderitaan-penderitaan yang tidak ada pada masyarakat tradisional . Karena itu dalam masyarakat modern banyak dijumpai terjadi bunuh diri. Dalam mengkaji persoalan bunuh diri,Durheim melakukan distribusi penggolongan fenomena bunuh diri, sebagai contoh menurutnya bunuh diri di Protestan lebih tinggi daripada di Katholik, karena kebebasan di Protestan lebih dihargai. Durkheim juga menyatakan bahwa orang yang tidak menikah mempunyai tingkat bunuh diri yang lebih tinggi daripada yang sudah menikah, jumlah keluarga dengan anak yang banyak akan sedikit bunuh dirinya daripada kelurga yang mempunyai anak sedikit. Dia juga menyatakan bahwa adanya krisis politik dan perang yang bisa menjadikan keterlibatan partisipasi masyarakat akan menyebabkan tingkat integrasi yang tinggi, sehingga tingkat bunuh dirinya pun relatif rendah. Durkheim membagi bunuh diri menjadi beberapa kelompok, pertama bunuh diri egoistis, yaitu bunuh iri yang disebabkan kelakuan seseorang yang bersifat egois. Bunuh diri egoistis adalah bunuh diri yang terjadi karena indivudualisasi berlebihan yang terjadi bila individu tercerabut dari kesadaran kolektif yang memberi arah dan makna kehidupan. Kedua,bunuh diri altruistik, bunuh diri yang biasanya ada pada masyarakat tradisional, yaitu bunuh diri yang dilakukan karena ingin berkorban untuk kesejahteraan umum (obligatory altruistic suicide) ,

ketiga bunuh diri anomie, yaitu bunuh diri yang terjadi karena tidak adanya peraturan moral. Bunuh diri semacam ini bisa terjadi bila terjadi perubahan perubahan keadaan, dimana individu tidak siap dengan perubahan tersebut. Dalam kesimpulannya Durkheim sampai pada perumusan-perumusan yang keras bahwa setiap kelompok social mempunyai kecenderungan kolektif ( egoisme, altruisme dan anomi) yang mengadakan paksaan terhadap perilaku manusia untuk bunuh diri, yang merupakan sumber bukannya hasil dari kecenderungankecenderungan individual. Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan dominasi dari suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis hokum seringkali bersifat represif: pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu; hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran. Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organic, hukum bersifat restitutif: ia bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang kompleks. Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena semakin meningkatnya pembagian kerja menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan semakin meningkatnya sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial, yang akhirnya mengakibatkan runtuhnya norma-norma sosial yang mengatur perilaku. Durkheim menamai keadaan ini anomie. Dari keadaan anomie muncullah segala bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol adalah bunuh diri.

bocahdoyanmakan.blogspot.com/.../teori-suicide

Emile Durkheim: Memetakan Bunuh Diri There is but one truly serious philosophical problem, and that is suicide. Judging whether life is or is not worth living amounts to answering the fundamental question of philosophy. Albert Camus

Bapak Emile Durkheim (1858-1917), pelopor ilmu sosiologi asal Prancis, boleh dibilang seorang pemikir yang komplet. Sepanjang hidupnya ia menulis karya-karya berpengaruh terkait kehidupan bermasyarakat: mulai dari perkara religiusitas, perburuhan, hingga teknik penelitian sosial, semua tak lepas dari pengaruhnya.[1] Adapun di Indonesia, nama Durkheim paling terkenal lewat pelajaran sosiologi SMA. Dalam buku pelajaran biasanya nama beliau disebut bersamaan dengan pelopor ilmu sosiologi sezamannya: Auguste Comte dan Max Weber.

Emile Durkheim (1858-1917) Meskipun begitu, dalam tulisan kali ini, kita tidak akan membahas Durkheim sebagaimana umum dijumpai di buku sekolah. Yang akan dibicarakan di sini adalah gagasan Durkheim yang agak lebih gelap dan serius, yaitu bunuh diri sebagai gejala sosial. Mengapa Durkheim tertarik membahas tentang bunuh diri, nah, ini ada ceritanya lagi. Sebagai seorang sosiolog, Durkheim menilai bahwa peristiwa bunuh diri tidak terjadi hanya dipicu kondisi mental. Barangkali benar bahwa orang tertentu punya kecenderungan bunuh diri lebih kuat daripada orang lain. Akan tetapi, Durkheim menambahkan: bahwasanya terdapat variabel eksternal yang berpotensi memicu

orang bunuh diri. Entah itu berupa tuntutan sosial, perubahan zaman, atau lain sebagainya. Hal ini disebutnya sebagai faktor kosmis pemicu bunuh diri.[ 2] Nah, premis di atas kemudian menjadi tulang punggung karya beliau yang berjudul Suicide: A Study in Sociology. Dalam buku tersebut Durkheim menelusuri ada apa di balik kejadian bunuh diri, dan yang tak kalah pentingnya mengapa orang terpicu melakukannya?

Menelusuri Bunuh Diri: Empat Skenario Durkheim

Sebagai seorang sosiolog, Durkheim meletakkan faktor sosial sebagai elemen penting pendorong orang bunuh diri. Oleh karena itu ia menarik kesimpulan: apabila orang melakukan bunuh diri, maka pemicunya takkan jauh dari faktor komunitas dan stabilitas sosial. Secara sederhana dapat digambarkan idenya sebagai berikut:

Empat tipe bunuh diri menurut Durkheim

Skenario Bunuh Diri I Bunuh Diri Egoistis

Skenario pertama menurut Durkheim adalah bunuh diri egoistis. Dalam hal ini orang melakukan bunuh diri karena ia merasa terpisah dari masyarakat. Orang macam ini menjalani hidupnya cenderung menyendiri, sebab memang dia tidak punya ikatan yang kuat ke masyarakat. Ibaratnya seperti layang-layang putus: dia hidup dengan mengacu cuma dirinya sendiri (ego-is) Orang yang detached dari masyarakat ini cenderung bertindak soliter. Akan tetapi sebenarnya, itu mengingkari hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Perlahanlahan ia akan mengalami tekanan batin hal yang, sebagaimana bisa ditebak, bisa berujung ke bunuh diri. Dalam hal ini Durkheim menyorot bunuh diri sebagai sarana pelarian. Orang yang tercerabut dari masyarakat mengabaikan kecenderungan sebagai makhluk sosial, maka dia menderita. Akan tetapi ia tidak punya alasan untuk tinggal di dunia dirasanya tidak ada orang yang akan sedih atau kecewa jika dia meninggal. Oleh karena itu orang jenis ini mudah terdorong mengakhiri hidupnya sendiri.

Skenario Bunuh Diri II Bunuh Diri Altruistik

Berbeda dengan sebelumnya, yang satu ini terjadi karena rasa sosial yang kuat, dan umumnya berkonotasi positif. Orang yang melakukan bunuh diri altruistik dianggap telah berkorban untuk kepentingan orang lain. Sedemikian hingga pengorbanannya jadi nilai plus tersendiri. Contoh yang bagus di sini adalah orangtua yang mengorbankan diri untuk keselamatan anak. Namanya orang tua, sudah pasti tidak ingin anaknya terluka.

Katakanlah misalnya sang anak hendak tertabrak mobil, maka orangtua akan mendorong anak supaya menjauh. Akan tetapi justru ini mengakibatkan orangtua tertabrak dan meninggal secara teknis orangtua telah bunuh diri, akan tetapi, bunuh diri di sini dipandang sebagai suatu kemuliaan. Seorang yang melakukan bunuh diri altruistik adalah orang yang bunuh diri untuk kepentingan orang lain atau masyarakat. Dalam kasus ekstrem misalnya pilot Kamikaze atau aktivis bom bunuh diri. Biarpun tahu akan tewas, mereka percaya pengorbanannya tidak sia-sia dan masyarakat yang dibela pun menghormati. Pada akhirnya bunuh diri di sini jadi bersifat utilitarian dan pragmatis.

Skenario Bunuh Diri III Bunuh Diri Anomik

Manusia adalah makhluk yang menginginkan kontrol. Orang pada umumnya gentar menjalani hidup yang tidak pasti. Oleh karena itu, diusahakan agar hidup dapat dikontrol untuk memenuhi kebutuhannya. Sebagai contoh, orang bekerja untuk mendapatkan keamanan finansial (= kontrol keuangan). Sama halnya dengan orang membangun rumah untuk mengamankan dari marabahaya umpamanya perampok atau hewan liar (= kontrol keselamatan diri). Problemnya adalah ketika kontrol yang biasa dimiliki itu tiba-tiba hilang. Dalam sekejap rasa aman yang sudah dibangun hancur berantakan. Di sini akan timbul sebuah gejala psikologis yang disebut anomi rasa gentar di manaorang takut tidak mampu mengatur jalan kehidupannya. Tanpa kemampuan regulasi orang merasa tidak berdaya. Di sinilah kecenderungan untuk bunuh diri itu mengintai. Anomi terjadi manakala orang tak siap menghadapi perubahan sosial. Sebagai contoh orang yang mengalami post-power syndrome. Dia yang sebelumnya

berpangkat mendadak tak punya orang untuk disuruh. Pada akhirnya dia terjangkit stres.[3] Begitu pula dengan veteran perang yang mengalami PTSD, atau orang kaya yang mendadak jatuh miskin. Pada dasarnya orang yang tak siap menerima perubahan berpotensi terkena anomi. Dan dari situ, jadi cenderung terdorong untuk mengakhiri hidup. (cf: bunuh diri egoistis di skenario I)

Skenario Bunuh Diri IV Bunuh Diri Fatalistik

Yang terakhir adalah skenario bunuh diri keempat, yakni bunuh diri fatalistik. Durkheim menyebut bunuh diri fatalistik ini sebagai kebalikan bunuh diri anomik dalam artian, hidup orang dikacaukan regulasi eksternal yang ketat. Orang yang melakukan bunuh diri fatalistik pada umumnya adalah orang yang merasa kalah dalam hidup. Setiap kali dia berusaha, selalu gagal. Cita-citanya untuk maju selalu terhambat; ke mana pun dia pergi selalu dihantui nasib buruk. Singkat cerita orang ini merasa bahwa dunia selalu kejam padanya. Sebab memang menurutnya semua yang dialami buruk-buruk terus. Dalam hal ini orang tersebut telah mengambil posisi fatalistik. Ia tidak lagi hendak berusaha, melainkan menyerahkan saja apa yang akan terjadi nanti. Dia memiliki ekspektasi buruk pada dunia. Oleh karena itu orang jenis ini jadi terdorong untuk pergi saja dengan kata lain, mengakhiri hidup di dunia yang kejam. Ada banyak contoh orang yang melakukan bunuh diri fatalistik. Barangkali kalau boleh dibilang, hampir semua orang bunuh diri yang masuk berita melakukan bunuh diri jenis ini. Menyerah pada himpitan ekonomi; menyerah karena tak kunjung tamat kuliah; atau lain sebagainya. Kasar-kasarnya: orang yang sudah menyerah dalam

hidup jadi terdorong untuk bunuh diri; dia ingin secepat mungkin mengakhiri penderitaannya. Sebagaimana telah kita lihat bersama, pada dasarnya gagasan Durkheim akan bunuh diri cukup simpel: bunuh diri itu diakibatkan oleh tekanan batin akibat situasi sosial. Dua hal yang krusial mempengaruhinya yakni faktor komunitas dan stabilitas. Seorang yang memiliki ikatan baik ke masyarakat akan jauh dari kemungkinan bunuh diri. Adapun di sisi lain, bunuh diri itu juga bisa dipicu oleh perubahan landscape sosial. Ketika orang tidak siap menghadapi perubahan sosial, maka di situlah stres menyergap. Pada akhirnya itu berpotensi mendorong orang melakukan bunuh diri. Barangkali, kalau saya boleh menafsirkan seenaknya, sebenarnya Durkheim hendak menyampaikan satu hal: bunuh diri itu adalah gejala sosial, oleh karena itu, pemecahannya juga harus bersifat sosial. Orang tidak mengentaskan dirinya dari depresi atau anomi dengan seorang diri. Problem itu harus diselesaikan secara sosial: melalui interaksi dengan masyarakat, maka orang terhindar dari suatu rasa frustrasi dan alienasi.[4] Adapun bunuh diri itu sendiri akhirnya tereduksi jadi pergulatan antara pribadi melawan persepsinya akan dunia. Apakah dunia ini layak dijalani? Atau lebih baik kalau ditinggalkan saja? Kenyataannya tidak ada jawaban mutlak untuk itu. Yang ada hanyalah seberapa penting dunia dan lingkungan sosial itu berarti di mata orang. zenosphere.wordpress.com/.../emile-durkheim

Emile Durkheim lahir di Epinal, Prancis pada tanggal 15 April 1858. Ia adalah seorang yang memiliki keturunan dari orang yahudi. Dia menolak karier akademis tradisional di bidang filsafat dan berusaha memperoleh pelatihan ilmiah yang diperlukan untuk memandu moral masyarakat. Walaupun dia tertarik pada sosiologi ilmiah, namun dimasa itu belum ada disiplin sosiologi, sehingga antara tahun 1882 sampai 1887 dia mengajar filsafat dibeberapa sekolah propinsi di sekitar Paris. Durkheim melakukan perjalanan ke Jerman dimana ia berkenalan dengan psikologi ilmiah yang dirintis oleh Wilhelm Wundt. Durkheim menerbitkan beberapa karya yang melukiskan pengalamannya di Jerman. Publikasi-publikasi ini membantunya memperoleh posisi di departement filsafat di Universitas Bordeaux pada tahun 1887. Tahun 1893 ia menerbitkan tesis doktoral dalam bahasa Prancis, The Division of Labour in Society dan tesisnya dalam bahasa latin Montesquieu. Pernyataan metodologis utamanya, The Rules of Sociologycal Method yang terbit tahun 1895. Pada tahun 1897 diikuti oleh penerapan metode-metode tersebut dalam study empiris dalam buku Le Suicide. Tahun1896 ia menjadi profesor penuh di Bordeaux. Kini Durkheim sering kali disebut sebagai seorang yang berhaluan politik konservatif dan pengaruhnya dalam bidang sosiologi jelas-jelas konservatif. Namun pada zamannya ia dipandang sebagai seorang liberal dan ini tercermin ketika ia secara aktif berperan dalam membela Alfret Dreyfus yang divonis mati karena penghinaan terhadap Tuhan. Durkheim wafat pada tanggal 15 November 1917. Dalam studinya Le Suicide durkheim bermaksud untuk menyelidiki sampai sejauh mana dan bagaimana individu-individu dalam masyarakat modern masih tergantung dan berada di bawah pengaruh masyarakat. Dalam studi ini Durkheim merumuskan beberapa tipe bunuh diri, antara lain : 1. Egoistik Egoisme merupakan sikap seseorang yang tidak berintegrasi dengan kelompoknya dan memilih untuk menyendiri dari kehidupan sekitar yang berinteraksi dengan dirinya, kelompok disini merupakan tempat untuk berhubungan antara individu yang satu dengan individu yang lainnya, terdiri dari keluarga, teman-teman yang dekat,

dan masyarakat luas. Biasanya tipe bunuh diri semacam ini didasari oleh sikap yang tidak terbuka kepada orang lain, sehingga akan menyebabkan perasaan terasing dari masyarakat dan akan menyebabkan orang tersebut untuk memikirkan dan mengusahakan kebutuhannya sendiri tanpa memperhatikan kebutuhan maupun bantuan dari orang lain ataupun masyarakat. Dalam kehidupannya pasti ia tidak memiliki tujuan tujuan bersama dalam kehidupan kelompoknya selain kepentingannya sendiri, sehingga ia akan merasa tersudut yang disebabkan oleh egoisme yang berlebihan dan akan mengakibatkan terjadinya bunuh diri. Dari beberapa hal tersebut dapat di analisis bahwa kondisi integrasi antara pelaku bunuh diri tersebut dengan kelompoknya dapat dikatakan rendah. Misalnya : siswa yang bunuh diri karena tidak lulus sekolah. 2. Altruistik Apabila bunuh diri egoistik disebabkan oleh kurangnya integrasi dengan kelompoknya, sementara bunuh diri altruistik adalah kebalikan dari tipe bunuh diri egoistik. Pengintegrasian antara individu yang satu dan lainnya berjalan secara lancar sehingga menimbulkan masyarakat yang memiliki integrasi yang kuat. Apabila kelompoknya menuntut bahwa mereka harus mengorbankan diri mereka, maka mereka tidak mempunyai jalan lain selain melakukannya karena mereka telah menjadi satu dengan kelompok mereka. Sehingga integrasi yang kuat tersebut akan menekan individualisme anggota kelompoknya ketitik dimana individu dipandang tidak pantas atau tidak penting dalam kedudukannya sendiri. Misalnya : perjuanagan pahlawan Indonesia dalam meraih kemerdekanaan Indonesia. 3. Anomik Anomi adalah keadaan moral dimana orang yang bersangkutan kehilangan cita-cita, tujuan, dan norma dalam hidupnya. Nilai-nilai yang semula memberi motivasi dan arah kepada perilakunya tidak berpengaruh lagi. Keadaan moral dimana orang bersangkutan kehilangan cita-cita, tujuan, dan norma dalam hidupnya sehingga akan menimbulkan kebimbangan pada diri seseorang. Keadaan anomi ini bisa melanda seluruh masyarakat ketika terjadi perubahan pada masyarakat tersebut

secara cepat, tetapi di lain pihak masyarakat tersebut belum bisa mererima perubahan tersebut dikarenakan nilai-nilai lama pada masyarakat tersebut belum begitu mereka pahami sementara nilai-nilai yang baru belum jelas. 4. Fatalistik Tipe bunuh diri ini tidak terlalu banyak dibahas oleh Dukheim. Kalau bunuh diri anomik terjadi dalam situasi di mana nilai dan norma yang berlaku di masyarakat melemah, namun sebaliknya bunuh diri fatalistik ini terjadi ketika nilai dan norma yang berlaku di masyarakat meningkat, sehingga menyebabkan individu ataupun kelompok tertekan oleh nilai dan norma tersebut. Dukheim menggambarkan seseorang yang melakukan bunuh diri fatalistik seperti seseorang yang masa depanya telah tertutup dan nafsu yang tertahan oleh nilai dan norma yang menindas. ardihappytoy.wordpress.com

Anda mungkin juga menyukai