Anda di halaman 1dari 12

Menjelang berakhirnya tahun 2013 masyarakatkan Kepulauan Riau dikejutkan dengan beberapa

pemberitaan di media massa mengenai kasus bunuh diri yang terjadi di beberapa daerah, baik itu
pemberitaan melalui media cetak maupun media online. Misalnya, pada Tanggal 26 Desember 2013 para
Penghuni Asrama SMK Negeri Kelautan Senayang dihebohkan dengan adanya peristiwa bunuh diri yang
dilakukan oleh Irman Syahputra yang juga merupakan siswa dari sekolah tersebut, sebelumnya di
Karimun juga terdapat kasus bunuh diri pada tanggal 4 Desember yang dilakukan oleh seorang pramusaji
sebuah hotel yang bernama Rudi dengan cara menggantungkan dirinya menggunakan seutas tali yang di
ikat di pohon bakau. Selain itu di daerah Kundur tepatnya di bulan September 2013 juga terjadi peristia
bunuh diri yang dilakukan seorang Siswi SMAN 1 yang bernama Indahsari, dan masih banyak lagi kasus-
kasus bunuh diri yang tidak bisa penulis sajikan di artikel ini.
Peristiwa demi Peristia bunuh diri tersebut tentu membuat kita prihatin terlebih lagi bahwa orang yang
nekad melakukan tindakan tersebut masih tergolong muda yang sejatinya masih memiliki harapan yang
panjang untuk melanjutkan hidup.
Kasus bunuh diri memang menjadi perhatian yang sangat serius, di Indonesia sendiri angka persitiwa
bunuh diri selalu meningkat dari tahun ke tahunnya. Bahkan WHO atau Organisasi Kesehatan Dunia
pada Tahun 2010 melaporkan angka bunuh diri di Indnesia mencapai 16 hingga 18 per 100.000 jiwa
WHO uga memperkirakan bahwa pada tahun 2020 angka bunuh diri secara global menjadi 2,4 per
100.000 Jiwa di bandingkan 1,8 per 100.000 jiwa pada Tahun 1998 (republika.co.id), dengan tingginya
angka kasus bunuh diri tersebut maka tidak heran jika posisi Indonesia hampir mendekati negara-negara
bunuh diri seperti jepang dengan tingkat bunuh diri mencapai lebih dari 30.000 orang pertahun dan China
yang mencapai 250.000 per tahun (viva.co.id).
Perspektif Sosiologis
Pada hakikatnya bunuh diri merupakan cara seserang untuk mengakhiri penderitaan hidup yang sedang
dialaminya dengan kata lain bunuh diri terjadi tatkala seseorang sudah merasa putus asa menghadapi
suatu masalah yang membebaninya baik dengan cara menggantungkan dirinya dengan seutas tali,
meminum racun, menyayat nadi ataupun membakar diri.
Alasan seseorang melakukan bunuh diri begitu beragam ada yang dikarenakan masalah pereknomian,
penderitaan yang disebabkan oleh sebuah penyakit tertentu, percintaan, politik, agama, bahkan ada juga
yang dilatarbelakangi sebuah kepercayaan (mitos) di tengah-tengah masyarakat.
Untuk lebih jelasnya Emil Durkheim seorang sosiolog ternama francis di dalam bukunya yang berjudul
Le Sucide menjlaskan secara spesifik bahwa bunuh diri terdiri dari empat jenis yaitu pertama bunuh diri
egoistic yakni lemahnya integrasi antara individu seseorang dengan masyarakat dilingkungannya yang
menyebabkan dirinya merasa terisolasi atau dengan kata lain bahwa seseorang tersebut merasa tidak
memiliki tempat di lingkungan masyarakat sekitar. Kedua bunuh diri Alturistik, untuk tipe ini merupakan
kebalikan dari tipe yang pertama tadi karena jenis bunuh diri alturistik ini terjadi tatkala tingginya
integrasi antara seseorang dengan masyarakat sehingga ia merasa bahwa kepentingan masyarakat lebih
utama ketimbang dirinya sendiri sehingga tatkala ada situasi atau kondisi yang menurutnya merugikan
masyarakat dan jalan keluarnya adalah suatu pengrbanan maka orang tersebut tidak akan ragu untuk
melakukan bunuh diri demi kepentingan masyarakat lainnya.
Ketiga Bunuh diri Fatalistik dalam hal ini Durkheim menjelaskan bahwa bunuh diri Fatalistik terjadi
tatkala adanya sebuah kebijakan atau peraturan yang sangat tinggi yang membuat seseorang merasa tidak
sanggup menanggung beban aturan tersebut karena merasa tertekan dan putus asa di bawah bayang-
bayang regulasi yang mencengkramnya. Dan yang keempat ialah bunuh diri Anomic yang merupakan
kebalikan dari tipe bunuh diri Fatalistik yakni terjadinya bunuh diri diakibatkan karena adanya regulasi
yang lemah yang menyebabkan terganggunya sistem kehidupan sisal karena kurangnya aturan yang
mengawasinya.
Perspekti Agama (Islam)
Apapun motiv yang dilakukan seseorang untuk bunuh diri tentu kita sepakat bahwa hal tersebut
merupakan jalan yang salah untuk mengakhiri suatu permasalahan, karena pada hakikatnya bunuh diri
merupakan sikap mendahuli takdir yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. Bahkan Allah sendiri
mengharamkan syurga bagi pelaku bunuh diri tersebut sebagaimana Firman-Nya di dalam Hadits Qudsi
yang telah disabdakan oleh Rasulullah Saw;
Sebelum kamu, pernah ada seorang laki-laki luka, kemudian marah sambil mengambil sebilah pisau dan
dipotongnya tangannya, darahnya terus mengalir sehingga dia mati. Maka berkatalah ALLAH: Hamba-
Ku ini mau mendahulukan dirinya dari (takdir)-Ku. Oleh karena itu Kuharamkan syurga atasnya. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Di dalam al-Quran Allah juga memberikan larangan pada hmaba-hamba-Nya untuk melakukan bunuh
diri melalui firman-Nya, Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka
di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu. ( Q.S An-Nissa: 29)
Nabi juga bersabda yang diriwayatkan oleh Muslim Dari Tsabit bin Dhahhak ra, katanya Nabi Saw.,
bersabda : Siapa yang bersumpah menurut cara suatu agama selain Islam, baik sumpahnya itu dusta
maupun sengaja, maka orang itu akan mengalami sumpahnya sendiri. Siapa yang bunuh diri dengan
suatu cara, Allah akan menyiksanya di neraka jahanam dengan cara itu pula.
Selain dalil-dalil yang telah disebutkan di atas masih banyak lagi nash-nash yang mengharamkan
seseorang untuk bunuh diri meskipun begitu dari dalil-dalill diatas sudah jelas bagi kita bahwa bunuh diri
merupakan hal yang sangat tercela yang dapat menyebabkan seseorang masuk neraka dan terhalang untuk
memasuki syurga.
Lantas bagaimana jika orang yang bunuh diri dengan tujuan untuk jihad ? jawabannya sama saja, karena
para ulama juga telah sepakat bahwa bunuh diri adalah haram seperti yang difatwakan oleh Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Syaikh Sholih bin Fauzan Al Fauzan Asy Syaikh Ubaid bin
Abdullah Al Jabiri dan lain sebagainya.
Peran Keluarga
Jika merujuk pada kajian-kajian ilmiah yang dilakukan oleh para ahli mengenai sebab musabab terjadinya
bunuh diri maka kita dapat menyimpulkan bahwa bunuh diri terjadi karena adanya penyimpangan
sosial yang menghinggapi seseorang. Kasus bunuh diri yang selalu membayangi masyarakat tidak bisa
dihentikan begitu saja hal itu dikarenakan dengan semakin berkembangnya jaman yang serba menuntut
sungguh mustahil menghilangkan paradigma bunuh diri itu sendiri, namun yang bisa kita lakukan adalah
dengan cara pencegahan yang dalam hal ini menuntut peran keluarga karena bagaiamanapun keluarga
merupakan labolatorium paling efektif untuk membina anggota keluarganya supaya terhindar dari
adanya keinginan untuk bunuh diri.
Sebagaimana diketahui bahwa keluarga merupakan entitas terkecil dari masyarakat namun memiliki
peran begitu besar dalam membina karakter seseorang, hal itu dikarenakan fungsi dari sebuah keluarga
tidak hanya sebagai repsduksi dan ekonomi saja namun juga menyangkut masalah pendidikan yang dalam
hal ini peran dan fungsi orang tua dalam mendidik anak-anaknya.
Orang tua yang memiliki kewajiban mendidik anak-anaknya harus menjadi figure yang dapat di tiru dan
di gugu oleh anak-anaknya, tidak hanya memberikan pendidikan melalui lisan tetapi juga melalui
perbuatan yang positif sehingga dapat menjadi panutan anak-anaknya. Selain itu memberikan motivasi
juga merupakan salah satu cara yang sangat penting untuk menanamkan karakter yang teguh dan tidak
mudah menyerah tatkala menghadapi masalah. Misalnya ketika si anak gagal dalam ujian maka tidak lah
pantas orang tua menyalahkan dan mengolok-olok si anak yang gagal dan menuntut mereka meraih nilai
yang sempurna di sekolahnya, tetapi hendaklah orang tua memberikan sepirit supaya bangkit dari
keterpurukan.
Pendidikan spiritual juga menjadi hal yang sangat urgen yang harus diberikan kepada anak-anak, orang
tua wajib memberikan pemahaman kepada si anak bahwa agama melarang seseorang untuk bunuh diri.
Kesimpulannya keluarga merupakan fondasi paling utama untuk membentuk pribadi tangguh terlebih
bagi anak-anak dengan harapan kelak dikala dewasa sudah terbiasa dengan keteguhan dikala mengadapi
sebuah permasalahan sebesar apapun. ***
Oleh: Denda Anggia S.H.I

Alumni Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Domisili di Tanjungbalai Karimun

Bunuh Diri Di Indonesia
By Depeholic
Bunuh Diri Di Indonesia

Bunuh Diri Sebagai Tren Baru
Dalam kultur Indonesia, bunuh diri merupakan hal asing dan sangat tabu untuk dilakukan.
Sayangnya, beberapa tahun belakangan ini angka kematian akibat bunuh diri di Indonesia sungguh-
sungguh menunjukkan fakta yang sangat mengejutkan. Bunuh diri seakan-akan menjadi
suatu tren yang mulai marak kita jumpai di Indonesia. Di Gunung Kidul pada tahun 1999 kasus
bunuh diri ada 39 orang, pada tahun 2002 ada 29 orang, pada tahun 2003 ada 26 orang dan pada
tahun 2004 ada 31 orang. Di DKI Jakarta pada tahun 2003 berjumlah 62 orang sementara pada
tahun 2002 hanya mencapai 19 orang.[1]
Besarnya angka kematian karena bunuh diri di Indonesia kerap kali masih dianggap bukan masalah
yang serius. Padahal sesungguhnya melakukan bunuh diri merupakan keputusan tertinggi yang
diambil oleh seorang manusia untuk menghabisi hidupnya sendiri. Yang lebih luar biasa lagi adalah
bahwa keputusan ini diambil ketika seseorang dalam keadaan sadar dan tidak dalam pengaruh obat-
obatan dan alkohol.
Fenomena ini menjadi semakin menarik ketika kasus bunuh diri yang kita jumpai mulai merengkuh
generasi muda bangsa ini. Generasi muda yang merupakan cerminan masyarakat dan harapan
bangsa ke depan, ternyata malah frustasi dan sangat mudahnya melakukan bunuh diri. Walaupun
tindakan mereka tidak bisa dikatakan mewakili mental remaja kita secara umum, namun fenomena
bunuh diri yang dilakukan oleh beberapa remaja bahkan anak dibawah umur harus disingkapi
secara serius.
Seperti yang diberitakan dalam koran harian Pikiran Rakyat bahwa dalam seminggu ada lima orang
tewas karena gantung diri. Alasan mereka pun sangatlah beragam, ada yang karena tidak mampu
membayar uang SPP, ada yang merasa tidak dipedulikan orang tuanya, dan ada pula karena tidak
naik kelas. Seperti Rahmat Fauzi, seorang pemuda berusia 17 tahun, nekat bunuh diri karena
dikucilkan oleh teman-teman di lingkungan rumahnya. Aksi nekat ini dilakukannya di rumahnya
sendiri.[2]
Sebenarnya faktor apa yang mendorong orang berani memutuskan untuk menghabisi nyawanya
sendiri? Dari berbagai ulasan yang pernah saya baca, keadaan ekonomi yang tak pernah membaik
dari tahun ke tahun membuat sebagian besar rakyat bangsa ini putus asa. Pengeluaran yang besar
tidak disertai dengan pemasukan yang besar, sedangkan tekanan hidup semakin hari semakin berat
rasa-rasanya tak tertangguhkan lagi. Ketika seseorang dihadapkan pada keadaan ini, lama-kelamaan
tingkat stress dan depresi yang mereka terima semakin berat. Pada akhirnya mereka merasa tidak
bisa berbuat apa-apa lagi selain memutuskan untuk mati. Bahkan tak jarang terjadi kasus bunuh diri
yang melibatkan seluruh keluarga.
Mengapa Bunuh Diri
Bunuh diri sebenarnya tidak mencari maut, tapi dialami sebagai jalan penyelesaian masalah-
masalah yang mendesak dalam hidup. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata bunuh diri
memiliki arti sengaja mematikan diri sendiri. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990: 138).
Emile Durkheim, seorang sosiolog Prancis, berpendapat bahwa setiap orang mempunyai suatu
tingkat keterikatan tertentu terhadap kelompok-kelompok dalam masyarakat. Hal ini disebut
sebagai integrasi sosial.[3] Menurutnya, tinggi-rendahnya tingkat integrasi sosial dapat
menghasilkan bertambahnya tingkat bunuh diri.
Dalam bukunya yang berjudul Bunuh Diri, Durkheim menuliskan bahwa masyarakat Katolik
mempunyai tingkat integrasi yang normal, sementara masyarakat Protestan mempunyai tingkat
integritas rendah. Berdasarkan tingkat integrasi sosial yang berbeda-beda tersebut, Durkheim
mengkategorikan kasus bunuh diri ke dalam tiga tipe, yaitu:
1. Altruistic Suicide. Orang-orang dalam kelompok ini melakukan bunuh diri karena integrasi
sosial kemasyarakatan yang dimiliki terlalu kuat. Artinya adalah bahwa seseorang yang
memiliki tingkat integritas kelompoknya tinggi, maka akan semakin tinggi pula kerelaan
anggota berkorban untuk kelompoknya dengan cara bunuh diri. Misalnya, seperti tentara
Kamikaze Jepang pada Perang Dunia II yang rela menabrakkan pesawatnya ke daerah
pertahanan musuh.
2. Egoistic Suicide. Orang-orang dalam kelompok ini melakukan bunuh diri karena integrasi
sosial kemasyarakatan yang dimilikinya lemah. Hal ini dikarenakan individu mengalami
krisis kepercayaan terhadap masyarakat dimana ia tinggal. Sehingga ia merasa tidak ada
tempat lain lagi untuk berpijak kecuali rasa kesepian yang begitu menekan. Kasus bunuh diri
ini sering terjadi pada anak remaja yang mengalami rasa malu atau rasa takut yang
berlebihan. Misalnya seperti seorang anak yang gantung diri karena malu belum bisa
membayar uang SPP.
3. Anomic Suicide. Orang-orang dalam kelompok ini melakukan bunuh diri dikarenakan situasi
eksternal yang menekan individu, seperti tekanan ekonomi, politik, dan psikososial lainnya.
Menurut Durkheim jika kita ingin mencari penyebab suatu kasus, maka harus
mempelajari, mengamati situasi, dan kondisi yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa tersebut
lalu membandingkan dengan situasi dan kondisi lain yang melatarbelakangi mengapa peristiwa itu
tidak terjadi.[4]
Pada tahun 2005, tingkat bunuh diri di Indonesia dinilai masih cukup tinggi. Berdasarkan data
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2005, sedikitnya 50.000 orang Indonesia melakukan
tindak bunuh diri tiap tahunnya. Dengan demikian, diperkirakan 1.500 orang Indonesia melakukan
bunuh diri per harinya.
Data ini semakin diperkuat dengan adanya penuturan dari Guru Besar Fakultas Kedokteran
Universitas Trisakti A Prayitno, pada acara peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia di Jakarta,
Senin (8/10). Ia mengatakan bahwa faktor penyebab orang nekat bunuh diri karena kemiskinan
yang terus bertambah, mahalnya biaya sekolah dan kesehatan, serta penggusuran. Semua itu
berpotensi meningkatkan depresi akibat bertambahnya beban hidup.[5]
Jelas ini sangat memprihatinkan, apalagi latar belakang para pelaku bunuh diri karena sakit yang
tak kunjung sembuh ada 5 kasus, terhimpit masalah ekonomi 25 kasus, dan frustasi ada 9 kasus.
Yang membuat miris, justru terbesar dilakukan petani sebanyak 22 kasus, swasta 10 kasus, buruh
dan pelajar masing-masing 5 dan dua kasus.
Sementara untuk tahun 2007, terdapat 12 korban bunuh diri karena terimpit persoalan ekonomi,
delapan kasus lainnya akibat penyakit yang tak kunjung sembuh lantaran tidak punya uang untuk
berobat, dan dua kasus akibat persoalan moral yakni satu orang lantaran putus cinta, dan seorang
akibat depresi.
Tentu saja perubahan-perubahan yang mendadak terjadi dalam masyarakat, seperti krisis ekonomi
yang parah pada umumnya berkaitan dengan meningkatnya kasus bunuh diri. Masalah kemiskinan
biasanya berdampak pada meningkatnya frustasi karena keinginan-keinginan yang diperlukan oleh
masyarakat tak bisa dipenuhi. Akibatnya angka bunuh diri meningkat.
STOP Bunuh Diri
Berdasarkan data-data dan teori yang tertuang pada paragraf di atas, jelas sekali bahwa kemiskinan
di Indonesia adalah faktor utama yang membuat orang nekat memutuskan untuk bunuh diri. Apa
lagi ditambah dengan adanya kerenggangan hubungan dengan kelompok masyarakat tertentu.
Orang melakukan bunuh diri karena merasa tidak diperhatikan, tidak dianggap dan merasa tidak
berarti lagi, sehingga menurutnya tidak ada gunanya lagi ia hidup.
Untuk itu kita perlu mengadakan upaya pencegahan terhadap pelaku bunuh diri, sehingga fenomena
ini tidak menjadi tren di Indonesia. Kalau begitu siapa yang bertanggung jawab untuk
mengupayakan pencegahan tindakan bunuh diri tersebut? Apakah masyarakat, pemerintah, atau
orang yang melakukannya. Kalau dilihat dari latar belakang permasalahan bunuh diri di atas,
memang ketiga-tiganya patut bertanggung jawab. Karena hubungan sosial yang terjalin antara
masyarakat, negara, dan pelaku dalam suatu integrasi sosial adalah suatu kekuatan maha dasyat
yang dapat melindungi masyarakat dari perasaan untuk melakukan tindakan bunuh diri. Oleh sebab
itu mereka wajib mengusahakan upaya ini secara optimal
Daftar Pustaka
Chang, William., Bioetika: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009.
Durkheim, Emile., Suicide. New York: The Free Press, 1966.
Rais, Muhammad., Bunuh Diri Tren Baru Di Kalangan Remaja. Jurnal Keluarga Vol. 01 (2007): 65-
88.
Wibowo, Tri Santoso., 50.000 Orang Indonesia Bunuh Diri. 2007.http://www.vhrmedia.com/vhr-
news/berita-detail.php?.e=883&.g=news&.s=berita (Diunduh pada 28 November 2009).

[1] http://berbagi.net/content/view/627/137/ (diunduh pada tanggal 29 November 2009).
[2] Pikiran Rakyat 26/7/2006
[3] Anonim., Bunuh Diri Tren Baru Di Kalangan Remaja. Jurnal KeluargaVol.01 (2007): Hlm.160.
[4]Rais, Muhammad., Ibid, Hlm.67.
[5] http://www.vhrmedia.com/vhr-news/berita-detail.php?.e=883&.g=news&.s=berita (diunduh
pada tanggal 28 november 2009)
Fenomena Bunuh Diri pada Anak Kecil
Akhir-akhir ini banyak sekali berita tentang anak yang melakukan bunuh diri. Berikut
tinjauan psikologis dari perilaku bunuh diri pada anak dan tindakan prevensi yang
sebaiknya dilakukan.
A. Penyebab Bunuh Diri

Bunuh diri adalah bukan disebabkan sebuah kondisi sesaat sebelum bunuh diri
(precipitating event), namun merupakan akumulasi dari kondisi psikologis yang dialami
anak (Rahmawati, 2004).
Santrock (dalam Rahmawati, 2004) mengatakan bahwa bunuh diri disebabkan oleh depresi
yang melanda pelakunya. Depresi didahului oleh frustasi, dan frustasi didahului oleh stres.
Depresi dapat terjadi pada anak karena berbagai faktor antara lain faktor kognitif,
biogenetis, dan lingkungan sosial.
B. Penyebab Masalah
Psikoanalisa memandang tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh individu adalah
agresifitas yang tinggi dalam menyerang dirinya sendiri. Konsep ini didasarkan pada teori
Freud tentang insting mati (death instinct) atau thanatos. Freud menyatakan bahwa
kehilangan kontrol ego individu, menjadi penyebab individu tersebut melakukan bunuh
diri. Bunuh diri merujuk pada suatu manifestasi kemarahan kepada orang lain yang
dialihkan kepada diri sendiri (Hall, 1993).
Menurut logoterapi, sindroma ketidakbermaknaan adalah sumber dari masalah. Menurut
Frankl (2003), seseorang yang tidak menemukan makna hidup akan mengalami sindroma
ketidakbermaknaan (syndrom of meaninglessness). Sindroma ini terdiri dari dua tahapan
yaitu kevakuman eksistensi (existential vacum) dan neurosis noogenik. Kevakuman
eksistensial terjadi ketika hasrat akan makna hidup tidak terpenuhi. Gejala-gejala yang
ditimbulkan dari kevakuman eksistensial ini antara lain perasaan hampa, bosan, kehilangan
inisiatif, dan kekosongan dalam hidup. Fenomena ini merupakan fenomena yang menonjol
pada masyarakat modern saat ini. Hal ini dikarenakan pola masyarakat modern yang sudah
terlalu jauh meninggalkan hal-hal yang bersifat religius dan moralitas. Frankl menekankan
bahwa kevakuman eksistensialis bukanlah sebuah penyakit dalam pengertian klinis. Frankl
menyimpulkan bahwa frustasi eksistensi adalah sebuah penderitaan batin ketika
pemenuhan akan hasrat untuk mempunyai hidup yang bermakna terhambat (Bastaman,
2007).
Neurosis noogenik merupakan sebuah gejala yang berakar pada kevakuman eksistensialis.
Neurosis ini terjadi apabila kevakuman eksistensialis disertai dengan simptom-simptom
klinis. Permasalahan patologis tersebut berakar pada dimensi spiritual dan noologis yang
berbeda dengan neurosis somatogenik (neurosis yang berakar pada fisiologis) maupun
neurosis psikogenik (neurosis yang berakar pada permasalahan psikologis). Neurosis
noogenik itu sendiri dapat timbul dengan berbagai neurosis klinis seperti depresi,
hiperseksualitas, alkoholisme, narkoba, dan kejahatan (Koeswara, 1990).
Pada kasus anak yang bunuh diri, anak menemukan kebuntuan dalam hidupnya karena
tidak dapat menemukan makna dari penderitaan yang dialaminya. Anak secara naluriah
belum mampu untuk memodifikasi sikap dan mempertahankan diri terhadap penderitaan
yang dialami. Hal ini diperkuat dengan kondisi anak yang lemah secara psikologis,
kurangnya dukungan sosial, maupun buruknya kondisi lingkungan di sekitar anak.
Kondisi anak yang lemah psikologis, misalnya adalah anak yang berpendidikan rendah,
memiliki pemahaman religius yang rendah, tidak stabil, dan kemungkinan mengalami
mood disorder. Bunuh diri sering kali diasosiasikan dengan gangguan mood. Paling kurang,
15 % individu dengan depresi, sukses melakukan bunuh diri (www.mentalhelath.net). Lebih
dari 60 % kasus bunuh diri (75 % bunuh diri pada remaja) diasosiasikan dengan adanya
gangguan mood. Lebih lanjut, meskipun ditemukan jika depresi dan bunuh diri sangatlah
terikat erat satu sama lainnya, namun depresi dan bunuh diri masih berdiri sendiri.
Kebanyakan, perasaan terisolasi dan kehilangan harapan (bagian dari depresi) adalah hal
yang sangat bisa menyebabkan terjadinya bunuh diri.
Kurangnya dukungan sosial, misalnya orang tua yang selalu menyalahkan, terlalu banyak
menuntut, kurang perhatian, tidak memberikan dukungan keuangan yang cukup kepada
anak karena miskin, atau orang-orang terdekat yang sering mengejek atau menghina
kekurangan si anak.
Buruknya kondisi lingkungan di sekitar anak, misalnya pengaruh siaran televisi yang
menyiarkan hedonisme, konsumerisme, kekerasan, atau situasi lain yang mendukung
adanya sarana untuk bunuh diri (situasi rumah yang sepi, ketersediaan bahan-bahan untuk
bunuh diri, dll).
C. Prevensi
1. Primary Prevention Practice
Dalam merancang prevensi terhadap kasus bunuh diri pada anak, tulisan ini menggunakan
skema dari Martin Bloom (1996), yang menjadi dasar dari prevensi dan intervensi kasus-
kasus penyimpangan individu.
a. Meningkatkan kekuatan individu (Increasing individual strengths) dan mengurangi
kelemahan individu (decreasing individual limitation)
Saya mengusulkan memasukkan pendidikan mental positif semacam search for meaning
berbasis logoterapi pada anak. Bukti penelitian ada pada disertasi Wimberly (2006).
Sebuah penelitian yang tercantum dalam disertasi yang berjudul Impact of Logotherapy on
At-Risk African American Elementary Students yang dilakukan oleh Wimberly (2006).
Penelitian ini dilakukan pada anak kelas 5 dan 6 SD keturunan Afrika-Amerka yang
berresiko untuk memiliki masalah kenakalan remaja di kota-kota yang berpopulasi sedang
di Amerika bagian selatan. Sebelum dikenakan treatment konseling, kelompok treatment
dan kelompok kontrol dikenakan pretes yang berupa PIL (Purpose in Life) test dan NSLOC
(Nowicki Strickland Locus of Control) test. Setelah itu kelompok treatment mendapatkan
konseling selama delapan minggu, dan kelompok kontrol tidak mendapatkan konseling itu.
Kemudian setelah delapan minggu, kedua kelompok dites kembali. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kelompok treatment mendapatkan hasil yang signifikan dalam
peningkatan skor PIL, NSLOC, dan berdasar hasil observasi guru terhadap perilaku dalam
kelas mereka, menunjukkan perubahan positif setelah menjalani treatment logoterapi.
Sedangkan pada kelompok kontrol yang tidak menerima treatment justru menunjukkan
hasil penurunan skor dan perubahan negatif dalam perilaku kelas.
Pemerintah dan swasta bekerjasama untuk menyediakan beasiswa atau program orangtua
asuh untuk anak-anak miskin yang berresiko untuk mengalami depresi. Sekolah-sekolah
mengadakan asesmen dan melakukan pendataan pada anak-anak yang berresiko depresi
dan mengalami kecenderungan bunuh diri.
Menambah kualitas pendidikan agama yang diberikan pada anak di sekolah. Pendidikan
agama ini diharapkan memberikan pemahaman tentang makna hidup, dan menumbuhkan
harapan pada Tuhan.
b. Meningkatkan dukungan sosial (increasing social support) dan mengurangi tekanan
sosial (decreasing social stresses)
Memberikan penyuluhan dan pengertian pada orang tua tentang adanya kenyataan
permasalahan ini. Begitu juga figur pengganti orang tua seperti tetangga, guru, dan teman.
Memberikan bekal kepada orang tua untuk tidak terlalu menuntut hal-hal yang tidak
mungkin kepada anak. Menyebarluaskan kesadaran pada masyarakat agar tidak
memberikan tekanan berlebih kepada anak.
c. Meningkatkan kemudahan yang ditimbulkan dari lingkungan fisik dan mengurangi
kesulitan yang ditimbulkan dari lingkungan fisik
Menanamkan kewaspadaan kepada semua pihak akan besarnya kemungkinan terjadinya
kasus bunuh diri pada anak, sehingga dapat bekerja sama menanggulangi hal tersebut.
Menyaring tayangan-tayangan kekerasan dan kriminal yang menyebabkan anak terbiasa
untuk melihat kematian.
Dalam psikologi lingkungan dikenal istilah environmental numbness (ketumpulan terhadap
lingkungan). Ketika seseorang sudah terbiasa pada keburukan lingkungannya, maka ia
menjadi tidak lagi terpengaruh oleh keburukan itu. Contohnya seseorang yang tinggal di
dekat pasar, lama kelamaan tidak lagi merasakan bahwa pasar itu ribut atau bau, karena
sudah terbiasa. Begitu pula dalam kasus kekerasan dan kriminalitas. Ketika seseorang
begitu sering melihat adegan kekerasan, kriminal, dan kematian maka ia tidak lagi
memandang hal itu sebagai sebuah tragedi atau peristiwa yang luar biasa. Maka perlulah
semua pihak mengontrol lingkungan agar tidak memberi pengaruh negatif pada anak.
2. Pendekatan Sistem
Diperlukan pula pendekatan sistem dalam kasus bunuh diri pada anak ini. Secara makro
pemerintah perlu mengoreksi berbagai kebijakan dalam hal kurikulum pendidikan yang
terlalu berat dan menimbulkan stres, biaya pendidikan yang sangat mahal, biaya hidup
yang melonjak, program kesehatan mental masyarakat, seleksi penyiaran yang lebih ketat
pada media cetak dan elektronik, pendidikan keagamaan yang baik, dan perbaikan situasi
ekonomi secara keseluruhan.
Daftar Pustaka
Bastaman, H. D. (2007). Logoterapi: Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan
Meraih Hidup Bermakna. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Bloom, M. (1996). Primary Prevention Practises, Issues in Children's and Families'
Lives Volume 5. California: Sage Publications.
Frankl, V.E. (2003). Logoterapi, Terapi Psikologi melalui Pemaknaan Eksistensi.
Alihbahasa oleh Murtadio. Yogyakarta: KreasiWacana.
Hall, C.S., Lindzey, G. (1993). Teori-teori Psikodinamik (Klinis). Editor Dr. A.
Supraktinya. Yogyakarta: Kanisius.
Koeswara, E. (1992). Logoterapi, Psikoterapi Viktor Frankl. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Rahmawati, N. (2004). Mengapa Anak Nekat Bunuh Diri?, Suara Merdeka, Wacana,
6 Agustus 2004.
Wimberly, C.L. (2006). Impact of Logotherapy on At-Risk African American
Elementary Students. A Dissertation in Counselor Education. Texas Tech University.

Fenomena bunuh diri di kalangan remaja
Fenomena bunuh diri di kalangan pelajar saat ini cukup memprihatinkan. Beberapa kasus
terjadi dikarenakan hanya masalah sepele dan kadangkala membuat kita serasa tidak
percaya, kadang kala hanya karena tidak mempunyai uang untuk bayar spp ada yang nekat
sampai bunuh diri, ada yang karena masalah jatah sambel dimakan adiknya saja nekat
gantung. Tragis dan diluar nalar orang dewasa. Sebetulnya hal seperti itu menjadi suatu
tragedy yang perlu dipelajari dan dicarikan solusi supaya para remaja tidak mudah putus
asa dan mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Beberapa kasus bunuh diri dikalangan remaja
yang pernah terjadi belakangan ini antara lain :


1. Siswa SD di Surabaya kelas VI yang bernama Christianus Soa (13 tahun) nekat gantung
diri karena ikut merasakan kondisi ekonomi orang tuanya yang kekurangan (10 desember
2011)

2. Siswa SD di Karanganyar kelas IV yang bernama Agung sri wibowo (11 tahun) nekat
gantung diri dengan tali sepatu hanya karena jatah sambelnya di makan adiknya (19 januari
2012)

3. Siswa SMP 141 Mampang Jakarta yang bernama Rio Septian (15 tahun) nekat gantung
diri juga dengan tali nilon (1 maret 2012)

4. Siswi Madrasah aliyah grobogan yang bernama Nana ribiatun (17 tahun) nekat gantung
diri dengan menggunakan selendang hanya karena tidak mampu melunasi spp untuk syarat
ujian semesternya..

Semoga kasus ke 4 di atas merupakan kasus bunuh diri yang terakhir di negeri ini.
Sungguh miris kalau kita mendengar hal beginian, mereka yang masih muda belia sudah
sebegitu putus asa, apa yang salah coba? Apakah inni karena pendidikan moral yang tidak
terserap atau kurangnya pendidikan moral di sekolah sekolah negeri ini, atau kah sebab
lainnya, diantaranya tidak adanya toleransi sekolahan mengenai biaya sekolah bagi anak
dari keluarga tidak mampu yang ingin tetap bersekolah. Katanya ada BOS dan lain-lain.. itu
pada kemana uangnya? Apa pihak sekolah kalau hanya untuk membantu satu dua orang
siswanya yang bener bener tidak mampu dalam segi biaya tidak bisa?

Makin hari kok seakan negeri ini makin aneh, negeri yang berisi pejabat-pejabat yang korup
dan moral anak bangsa yang semakin hari semakin memprihatinkan. Jangan
sampai fenomenabunuh diri di kalangan remaja menjadi tren baru di negeri ini, Jangan
sampai para penerus negeri ini dipenuhi dengan remaja-remaja yang tanpa moral dan picik
dalam berfikir serta mudah putus asa. Tugas orang tua dan para guru pendidik perlu
digiatkan lagi. Norma pancasila perlu di budayakan lagi karena akhir-akhir ini seakan norma
masyarakat sudah semakin terkikis dan para remaja hanya ingin yang serba mudah, instan
dan enak kepenak.

Bunuh diri bukan jalan akhir, dan bunuh diri hanya akan menyebabkan kesengsaraan di
akherat nanti. Mari kita belajar berpikir jernih, berpikir secara mendalam, belajar merenung
dan belajar mengambil hikmah dari setiap peristiwa di sekitar kita, belajar mengambil
keputusan yang bijak dan bukan mengambil jalan pintas dengan bunuh diri yang hanya
akan merugikan diri kita sendiri serta merupakan perbuatan dosa besar. Bijak dalam
berpikir, bijak dalam bertindak serta bijak dalam mengambil keputusan, kuatkan iman dan
taqwa dengan selalu mendekatkan diri padaNya. Ini mungkin salah satu solusi yang bisa
dilakukan untuk menghentikan aksi bunuh diri di kalangan remaja pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya.

Anda mungkin juga menyukai