Anda di halaman 1dari 16

Referat

HALAMAN JUDUL
UPAYA PENCEGAHAN BUNUH DIRI

Disusun oleh:
Dokter Muda Stase Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
Periode 7 Oktober – 10 November 2019

Katheline Tamara T, S.Ked. 040848219221167


M. Ammar Luthfi, S.Ked. 0408482192
Nabilla Oktavia K, S.Ked 04084821921141

Pembimbing:
dr., Sp KJ, MARS

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA RS ERNALDI BAHAR/


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Referat

Upaya Pencegahan Bunuh Diri


Oleh:

Katheline Tamara T, S.Ked. 040848219221167


M. Ammar Luthfi, S.Ked. 0408482192
Nabilla Oktavia K, S.Ked 04084821921141

Telah diterima dan disetujui untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa RS Ernaldi Bahar Palembang
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 7 Oktober – 10 November 2019.

Palembang, Oktober 2019

dr., Sp KJ, MARS

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan berkat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Upaya Pencegahan Bunuh Diri”. Laporan kasus ini diajukan untuk memenuhi
salah satu syarat ujian kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa RS
Ernaldi Bahar Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr., Sp KJ,. selaku
pembimbing, serta kepada semua pihak yang telah membantu hingga tulisan ini
menjadi lebih baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan laporan kasus
ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat
diharapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Penulis berharap laporan kasus
ini dapat memberi ilmu dan manfaat bagi pembaca.

Palembang, Oktober 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..............................................................................................i


HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................ii
KATA PENGANTAR..........................................................................................iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................2
BAB III KESIMPULAN......................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................11

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Beberapa waktu belakangan ini kita melihat semua berita membahas


mengenai bunuh diri yang dilakukan oleh seorang artis korea. Berbagai stasiun
televisi dan media sosial langsung mengangkat berbagai acara dengan topik bunuh
diri. Tidak sampai disitu, bahkan elite politik dan kalangan muda pun kini banyak
yang bergerak menggelar “campaign” mengenai pencegahan bunuh diri (Aida,
2019).
Bunuh diri adalah salah satu penyebab kematian yang terjadi di seluruh
dunia. Bunuh diri sering terjadi pada pria daripada wanita. Metode bunuh diri
berbeda di setiap negara. Metode yang paling umum digunakan adalah
menggantung diri, meracuni diri sendiri dengan pestisida, dan menggunakan
senjata tajam. Mayoritas kasus bunuh di seluruh dunia terkait dengan penyakit
kejiwaan. Depresi dan psikosis merupakan faktor yang paling sering
menyebabkan bunuh diri. Bukan hanya itu saja, namun gangguan kepribadian,
anxietas, penggunaan alkohol dan zat lain (NAPZA) serta gangguan mental
organik juga dapat menjadi faktor penyebab upaya bunuh diri (Bachmann, 2018).
Upaya bunuh diri dapat dicegah dengan membatasi akses orang untuk
bunuh diri yaitu dengan cara melatih dokter layanan primer dan petugas kesehatan
untuk mengidentifikasi populasi berisiko serta menilai dan memberi perawatan
bagi populasi risiko tersebut. Bunuh diri merupakan masalah sosial dan
memerlukan perawatan kesehatan dari berbagai pihak, oleh karena itu harus
diberikan edukasi secara menyeluruh mengenai upaya pencegahan bunuh diri
dengan salah satunya mengenali populasi yang berisiko bukan hanya pada petugas
kesehatan namun pada masyarakat sekitar agar segera melapor pada petugas
kesehatan. Masyarakat sekitar dan keluarga juga memiliki andil besar untuk
melakukan pencegahan bunuh diri

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bunuh Diri


2.1.1 Definisi
Menurut O’Connor dan Nock (2014) bunuh diri mengacu pada pikiran-
pikiran dan perilaku yang terkait dengan intensi individual untuk mengakhiri
hidup mereka sendiri (O’Connor & Nock, 2014). Bridge, Goldstein, dan Brent
(2006) merangkum beberapa terminologi yang sering digunakan dalam
memahami definisi bunuh diri. Ide bunuh diri mengacu pada pikiran-pikiran
tentang menyakiti atau membunuh diri sendiri. Percobaan bunuh diri adalah suatu
tindakan yang tidak fatal, menyakiti diri sendiri dengan maksud eksplisit untuk
kematian. Tindakan bunuh diri adalah tindakan menyakiti diri sendiri yang
bersifat fatal dengan maksud untuk mengakhiri hidup (Bridge et al., 2006).

2.1.2 Epidemiologi
Menurut WHO (World Health Organization), tingkat bunuh diri di
Indonesia pada tahun 2000 adalah 4,3/100.000 orang. Angka itu turun menjadi
4/100.000 orang pada 2010. Pada 2015 angka itu menjadi 3,7/100.000 orang.
Terakhir pada 2016, tingkat bunuh diri Indonesia tetap pada angka 3,7/100.000
orang. Dengan angka 3,7/100.000 orang, Indonesia berada di peringkat 159 dalam
hal tingkat bunuh diri di dunia. Negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi di
dunia adalah Guyana dengan angka 30,2/100.000 orang. Disusul di peringkat
kedua ada Lesotho dengan tingkat bunuh diri 28,9/100.000 orang. Di ranking ke-
3, ada Rusia dengan tingkat bunuh diri 25,5/100.000 orang. (WHO, 2016)

2.1.3 Faktor Risiko


Adapun faktor-faktor yang terkait dengan tindakan bunuh diri adalah:
1. Usia
Angka bunuh diri meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Pada laki-
laki, puncak bunuh diri adalah usia 45 tahun; pada wanita, jumlah terbesar

2
bunuh diri yang berhasil adalah diatas 55 tahun. Orang lanjut usia kurang
sering melakukan usaha bunuh diri dibandingkan orang muda tetapi lebih
sering berhasil. Angka untuk mereka yang berusia 75 tahun atau lebih adalah
lebih dari tiga kali dibandingkan angka untuk orang muda (Sadock, Sadock, &
Ruiz, 2015).
2. Status perkawinan
Perkawinan yang diperkuat oleh anak tampaknya secara bermakna
menurunkan risiko bunuh diri. Orang yang hidup sendirian dan tidak pernah
menikah memiliki angka hampir dua kali lipat angka untuk orang yang
menikah. Tetapi, orang yang sebelumnya pernah menikah menunjukan angka
yang jelas lebih tinggi dibandingkan orang yang tidak pernah menikah.
Menurut penelitian, status pernikahan, terutama mereka yang bercerai memiliki
peningkatan risiko untuk bunuh diri (terutama terjadi pada laki-laki). Bunuh
diri lebih sering pada orang yang memiliki riwayat bunuh diri dalam
keluarganya dan yang terisolasi secara social (Kposowa, 2000).
3. Pasien Psikiatrik
Sekitar 90% orang yang bunuh diri setidaknya menderita satu gangguan
mental. Diagnosis psikiatrik yang memiliki risiko tertinggi untuk bunuh diri
pada kedua jenis kelamin adalah gangguan afektif. Diagnosis depresi yang
melakukan bunuh diri termukan sebanyak 50-65% kasus, lebih sering terjadi
pada wanita daripada pria (Gould, 2001). Faktor psikiatrik yang sangat penting
dalam bunuh diri adalah penyalahgunaan zat, anxietas, gangguan depresif,
skizofrenia, dan gangguan mental lainnya. Secara umum, komorbid gangguan
mental secara substansial meningkatkan risiko bunuh diri (Bilsen, 2018).

2.1.4 Gangguan-gangguan yang berisiko terjadinya bunuh diri


1. Gangguan mood
Gangguan mood adalah diagnosis yang paling sering berhubungan
dengan bunuh diri. Pasien laki-laki lebih banyak yang melakukan bunuh
diri dibanding pasien wanita. Kemungkinan orang depresi yang melakukan

3
bunuh meningkat jika tidak menikah, dipisahkan, diceraikan, janda atau
baru saja mengalami kehilangan. (Bilsen, 2018)
2. Skizofrenia
Risiko bunuh diri tinggi diantara pasien skizofrenik; sampai 10
persen meninggal akibat bunuh diri. Usia onset skizofrenia biasanya pada
masa remaja atau dewasa awal dan sebagian besar pasien skizofrenik yang
melakukan bunuh diri melakukannnya selama tahun-tahun pertama
penyakitnya; dengan demikian pasien skizofrenia yang melakukan bunuh
diri cenderung relatif muda (Palmer, Pankratz, & Bostwick, 2005).
3. Ketergantungan Alkohol
Hubungan langsung antara alkoholik dengan bunuh diri dan
perubahan anatomi pada serebri masih diteliti lebih lanjut. Namun telah
diketahui dengan baik bahwa alkoholik berasosiasi dengan disfungsinya
sistem neurotransmitter yang multipel sehingga orang-orang yang
ketergantungan alkohol memiliki risiko lebih tinggi untuk melakukan
bunuh diri. Sekitar 15% orang yang ketergantungan alkohol melakukan
bunuh diri. (Pompili et al., 2010)
4. Ketergantungan Zat Lain .
Penelitian di berbagai negara telah menemukan peningkatan risiko
bunuh diri diantara penyalahgunaan zat. Angka bunuh diri untuk orang
yang tergantung heroin kira-kira 20 kali lebih besar dibandingkan angka
untuk populasi umum. Jadi, faktor risiko untuk bunuh diri diantara orang
dengan ketergantungan zat lain adalah memiliki gangguan psikotik,
riwayat bunuh diri dalam keluarga, gangguan kepribagian ambang dan
lamanya penggunaan zat lain tersebut (Dragisic, Dickov, Dickov, &
Mijatovic, 2015).
5. Gangguan Kepribadian
Sejumlah besar korban bunuh diri memiliki berbagai macam
gangguan kepribadian yang menyertai. Menderita suatu gangguan
kepribadian mungkin merupakan suatu determinan perilaku bunuh diri
dalam beberapa cara : dengan mempredisposisikan pada gangguan mental

4
berat seperti gangguan depresif atau ketergantungan alkohol, dengan
menyebabkan kesulitan dalam hubungan dan penyesuaian sosial, dengan
mencetuskan peristiwa kehidupan yang tidak diinginkan, dengan
mengganggu kemampuan untuk mengatasi gangguan mental atau fisik dan
dengan menarik orang ke dalam konflik dengan orang disekitar mereka,
termasuk anggota keluarga, dokter dan anggota staf rumah sakit (Bilsen,
2018)

2.1.5 Pencegahan Bunuh Diri


Sebagian besar bunuh diri pada pasien psikiatri dapat dicegah.
Beberapa pasien mengalami penderitaan sedemikian berat dan hebatnya,
atau sedemikian kronis dan tidak responsif terhadap terapi, sehingga bunuh
diri dapat dianggap sebagai hal yang tidak terelakkan (Sadock et al., 2015).
pencegahan bunuh diri dapat dibagi menjadi pencegahan primer,
sekunder, dan tersier:
 Pencegahan primer merupakan suatu metode paling ideal yang dapat
melawan keinginan bunuh diri serta memberikan perlindungan pada
masyarakat. Gangguan psikiatri yang ditangani dengan tepat, juga
merupakan salah satu aspek penting dalam upaya pencegahan bunuh diri.
Selain itu, pencegahan primer juga dipengaruhi oleh modifikasi kondisi
sosial, ekonomi, dan biologis, seperti memperbaiki keadaan ekonomi,
kekerasan, perceraian, dan mengubah pola hidup sehat (Greydanus,
Bacopoulou, & Tsalamanios, 2009).
 Pencegahan sekunder lebih ditujukan pada deteksi dini dan memberikan
penanganan yang tepat pada individu yang memliki keinginan untuk
bunuh diri. Tujuannya adalah menurunkan kemungkinan percobaan
bunuh diri pada pasien dengan risiko tinggi (Ganz, Braquehais, & Sher,
2010).
 Pencegahan tersier untuk mengurangi kerusakan yang terjadi saat
percobaan bunuh diri. Pemberian edukasi terhadap tenaga kesehatan
mengenai cara menangani pasien dengan risiko bunuh diri akan

5
membantu deteksi dini dan membatasi kerusakan yang terjadi. Hal yang
dapat dilakukan yaitu menilai keluarga mana yang mungkin terpengaruh
tindakan tersebut sehingga ingin ikut-ikutan bunuh diri.
Evaluasi potensi bunuh diri melibatkan anamnesis riwayat psikiatrik
yang lengkap, pemeriksaan menyeluruh mengenai keadaan mental pasien,
dan pertanyaan mengenai gejala depresif, pikiran, niat, rencana, dan
percobaan bunuh diri. Keputusan untuk merawat pasien di rumah sakit
bergantung pada diagnosis, keparahan depresi dan gagasan bunuh diri,
kemampuan pasien dan keluarga untuk menghadapi masalah, situasi hidup
pasien, ketersediaan dukungan sosial, dan tidak adanya atau adanya faktor
risiko bunuh diri (Sadock et al., 2015).
Perlunya untuk merawat pasien dengan gagasan bunuh diri di rumah
sakit merupakan suatu keputusan yang paling penting untuk dibuat. Tidak
semua pasien dengan gagasan bunuh diri perlu perawatan di rumah sakit,
beberapa dari mereka dapat diterapi dengan rawat jalan. Tetapi tidak adanya
sistem dukungan sosial yang kuat, riwayat perilaku impulsif, dan rencana
tindakan bunuh diri adalah indikasi perawatan. Untuk memutuskan apakah
terapi rawat jalan dapat dilakukan, klinisi harus menggunakan pendekatan
klinis langsung (Sadock et al., 2015).
Berdasarkan teori Psikodinamika oleh Sigmund Freud, fungsi Ego
sangat berhubungan erat dengan pertimbangan yang melibatkan kemampuan
menghadapi akibat dari suatu tindakan seseorang. Ego dipakai dalam
memecahkan masalah pribadi orang tersebut, khususnya bila terjadi konflik
dengan dunia realitas atau bila terdapat ketidaksesuaian antara keinginan
yang tidak sinkron secara internal.
Bunuh diri menjadi tindakan yang diambil pada orang-orang yang
mengalami gangguan kejiwaan seperti depresi akibat Ego tidak cukup kuat
menahan desakan ataupun dorongan-dorongan yang muncul dari dalam
dirinya sehingga ia akan mengembangkan mekanisme pertahanan diri.
Mekanisme pertahanan diri ini sebenarnya upaya ego untuk menyalurkan
dorongan dari dalam dirinya dan bisa tetap berhadapan dengan lingkungan.

6
Tetapi jika mekanisme pertahanan diri ini dipergunakan secara kaku, terus
menerus dan berkepanjangan, maka hal ini dapat menimbulkan perilaku
yang tidak adaptif dan tidak realistis seperti keinginan untuk bunuh diri.
Untuk mencegah terjadinya bunuh diri tersebut, maka penanganannya
dengan memberikan kesempatan kepada orang tersebut untuk mengeluarkan
seluruh isi pikiran atau perasaannya yang muncul di dalam dirinya secara
verbal. Dimana Ego akan lebih bebas dan tidak harus terus berlindung di
balik mekanisme pertahanan diri yang dikembangkannya. Adapun cara yang
digunakan oleh Sigmund Freud untuk terapi sekaligus untuk mengumpulkan
data, yaitu (Rihmer, Belsö, & Kalmár, 2001):
1. Metode asosiasi bebas (free association), dimana pasien diminta untuk
berbicara tentang segala sesuatu dan apa saja yang terjadi pada dirinya
dengan leluasa dan tanpa perlu berusaha membuat uraian yang logis,
teratur dan penuh arti. Untuk menjaga agar pengaruh gangguan yang
datang dari luar tetap minimal, biasanya pasien disuruh berbaring diatas
dipan dalam ruangan yang tenang.
2. Analisis tentang mimpi (dream interpretation), dimana pasien diminta
secara spontan teringat tentang mimpi-mimpi mereka dan selanjutnya
melakukan asosiasi bebas tentang mimpi-mimpi tersebut. Mimpi-mimpi
yang dilaporkan dan asosiasi bebas yang mengiringnya merupakan sumber
informasi yang kaya tentang dinamika kepribadian manusia.
Peran Ego yang terpenting adalah sebagai eksekutif organisasi
kepribadian dimana energi digunakan untuk menciptakan integrasi
diantara ketiga sistem. Tujuan dari fungsi integrasi Ego adalah untuk
menciptakan keselarasan batin dalam kepribadian antara Ego dengan
lingkungan sehingga dapat berjalan lancar dan efektif. Caranya, Ego harus
mengendalikan Id dan Superego agar Ego mampu mengarahkan
kepribadian secara bijak supaya bisa berhubungan dengan dunia luar.
Apabila Id menguasai sebagian besar energi, maka tingkah laku akan
menjadi impulsif dan primitif, bila Superego yang menguasai sebagian
besar energi maka fungsi kepribadian akan didominasi oleh pertimbangan-

7
pertimbangan moralistik dari pada pertimbangan-pertimbangan realistic
(Rihmer et al., 2001).
Pada situasi krisis, dimana seseorang ingin melakukan percobahan
bunuh diri, ada beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk mencegah
seseorang melakukan tindakan bunuh diri, adapun beberapa hal yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut (WHO, 2012):
a) Jika seseorang dalam keadaan bahaya, jangan tinggalkan mereka
sendiri.
Jika mereka tampaknya dalam bahaya melukai diri mereka
sendiri, jangan tinggalkan mereka sendirian. Ambil langkah-langkah
untuk menjauhkan mereka dari segala cara yang dapat mereka
gunakan untuk melukai diri sendiri, seperti senjata atau zat beracun
lainnya. Jika penolong tidak dapat membuat orang tersebut setuju
untuk menyerahkan sarana bunuh diri (misalnya, pil, racun, senjata
atau pisau cukur), layanan darurat harus segera dihubungi. Jika ada
risiko untuk keselamatan penolong (misalnya, jika orang yang bunuh
diri memiliki senjata api atau senjata lain atau gelisah). Beri tahu
keluarga dekat orang tersebut tentang niat mereka untuk bunuh diri.
Minta bantuan dari kerabat, teman, atau teman serumah mereka untuk
memastikan orang itu tidak memiliki senjata, racun, atau cara lain
untuk bunuh diri. Lebih baik bekerja secara kolaboratif dengan orang
tersebut dan orang lain untuk memastikan keselamatan mereka,
daripada bertindak sendiri untuk mencegah bunuh diri dengan cara
apa pun (Colucci, Kelly, Minas, & Jorm, 2009).
b) Lihatlah Bunuh Diri sebagai Seruan untuk Bantuan
Ketika seseorang mencoba bunuh diri, ini bukanlah pertanda
bahwa mereka ingin mati. Namun, ini merupakan indikator bahwa
mereka sedang dalam kesakitan emosional, tetapi tidak tahu
bagaimana menghadapinya, sehingga bunuh diri dianggap sebagai
satu-satunya pilihan mereka untuk melarikan diri dari situasi yang
mereka tidak tahu bagaimana mengatasinya. Percobaan bunuh diri

8
yang mereka lakukan adalah cara mereka untuk menjangkau dan
mengatakan bahwa mereka membutuhkan bantuan.
c) Jangan Takut Bertanya Tentang Perasaan Bunuh Diri Mereka
Meskipun topik ini merupakan hal yang sensitive, tapi kita perlu
menanyakan beberapa hal terkait dengan keinginan bunuh diri
seseorang, seperti permasalahan apa yang menyebabkan mereka ingin
bunuh diri, lalu dampak apa yang akan terjadi apabila aksi bunuh diri
mereka berhasil, lalu apakah permasalahan yang mereka alami dapat
terselesaikan apabila aksi bunuh diri mereka teraealisasikan. Dengan
melakukan hal ini kita mungkin dapat memberi mereka kesempatan
untuk terbuka kepada kita dan memungkinkan kita untuk membantu
mereka.
d) Jadilah pendengar yang baik
Berbicara dengan teman yang peduli dan melepaskan diri dari
masalah, dapat membantu meringankan tekanan yang tak tertahankan
yang dapat mengarah pada upaya bunuh diri. Menjadi pendengar yang
baik tidak memerlukan keterampilan khusus. Bersabar dan menerima,
tetapi hindari berdebat atau mencoba menawarkan solusi yang
sederhana. Hindari komentar "Apakah Anda sudah mencoba X, Y,
atau Z" yang berfokus pada "perbaikan" cepat. Upaya-upaya semacam
itu mungkin terlihat tidak sensitif dan tampaknya meremehkan apa
yang dialami seseorang. Cukup berada di sana dan tunjukkan bahwa
kita peduli.
e) Dorong Mereka untuk Mendapatkan Bantuan untuk Depresi Mereka
Meskipun bunuh diri pada beberapa orang tampaknya muncul
tiba-tiba, sangat mungkin bahwa mereka telah mengalami depresi
untuk waktu yang sangat lama. Mendapatkan bantuan dari psikiater
secepatnya pada tanda-tanda pertama depresi adalah langkah yang
sangat penting dalam mencegah bunuh diri.

9
BAB III
KESIMPULAN

Bunuh diri merupakan masalah sosial yang menjadi tanggung jawab dari
berbagai pihak. Masyarakat dan keluarga memiliki andil besar dalam upaya
pencegahan bunuh diri. Sebagian besar bunuh diri pada psikiatri dapat dicegah.
Dimana depresi menjadi gangguan paling sering yang menyebabkan seseorang
untuk melakukan bunuh diri. Bunuh diri menjadi tindakan yang diambil pada
orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan seperti depresi akibat Ego tidak
cukup kuat menahan desakan ataupun dorongan-dorongan yang muncul dari
dalam dirinya sehingga ia akan mengembangkan mekanisme pertahanan diri.
Untuk mencegah terjadinya bunuh diri tersebut, maka penanganannya
dengan memberikan kesempatan kepada orang tersebut untuk mengeluarkan
seluruh isi pikiran atau perasaannya yang muncul di dalam dirinya secara verbal.
Dimana Ego akan lebih bebas dan tidak harus terus berlindung di balik
mekanisme pertahanan diri yang dikembangkannya. Terdapat beberapa cara yang
digunakan oleh Sigmund Freud untuk terapi sekaligus untuk mengumpulkan data
yaitu metode asosiasi bebas dan analisis tentang mimpi (Rihmer et al., 2001).
Pada situasi krisis, dimana seseorang ingin melakukan percobahan bunuh
diri, ada beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk mencegah seseorang
melakukan tindakan bunuh diri yaitu dengan tidak membiarkan orang tersebut
sendiri dan mencoba menghalangi cara bunuh diri orang tersebut jika aman untuk
dilakukan. Kita dapat berusaha dengan mengulur waktu sambil meminta bantuan
orang sekitar dan menghubungi nomor telpon darurat. Lebih baik bekerja secara
kolaboratif dengan keluarga, kerabat, atau orang sekitar untuk memastikan
keselamatan mereka, daripada bertindak sendiri untuk mencegah bunuh diri
dengan cara apa pun (Colucci et al., 2009).

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Aida, N. R. (2019, October 14). Sulli Eks F(X) Bunuh Diri. Surat Kabar
Harian Kompas. Retrieved from
https://www.kompas.com/tren/read/2019/10/14/203000365/sulli-eks-f-x-
bunuh-diri-ini-6-nyinyiran-netizen-yang-bikin-depresi?page=all
2. Bachmann, S. (2018). Epidemiology of suicide and the psychiatric
perspective. International Journal of Environmental Research and Public
Health, 15(7), 1425.
3. Bilsen, J. (2018). Suicide and Youth: Risk Factors. Frontiers in
Psychiatry, 9, 540. https://doi.org/10.3389/fpsyt.2018.00540
4. Bridge, J. A., Goldstein, T. R., & Brent, D. A. (2006). Adolescent suicide
and suicidal behavior. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 47(3‐
4), 372–394.
5. Colucci, E., Kelly, C., Minas, H. K., & Jorm, A. F. (2009). Suicide First
Aid Guidelines for India. Melbourne: Center for International Mental
Health & ORYGEN Youth Health Research Center, the University of
Melbourne.
6. Dragisic, T., Dickov, A., Dickov, V., & Mijatovic, V. (2015). Drug
Addiction as Risk for Suicide Attempts. Materia Socio-Medica, 27(3),
188–191. https://doi.org/10.5455/msm.2015.27.188-191
7. Ganz, D., Braquehais, M. D., & Sher, L. (2010). Secondary prevention of
suicide. PLoS Medicine, 7(6), e1000271.
8. Gould, M. S. (2001). Suicide and the media. Annals of the New York
Academy of Sciences, 932(1), 200–224.
9. Greydanus, D. E., Bacopoulou, F., & Tsalamanios, E. (2009). Suicide in
adolescents: a worldwide preventable tragedy. The Keio Journal of
Medicine, 58(2), 95–102.
10. Kposowa, A. J. (2000). Marital status and suicide in the National
Longitudinal Mortality Study. Journal of Epidemiology and Community
Health, 54(4), 254–261. https://doi.org/10.1136/jech.54.4.254

11
11. O’Connor, R. C., & Nock, M. K. (2014). The psychology of suicidal
behaviour. The Lancet Psychiatry, 1(1), 73–85.
12. Palmer, B. A., Pankratz, V. S., & Bostwick, J. M. (2005). The lifetime risk
of suicide in schizophrenia: a reexamination. Archives of General
Psychiatry, 62(3), 247–253.
13. Pompili, M., Serafini, G., Innamorati, M., Dominici, G., Ferracuti, S.,
Kotzalidis, G. D., … Lester, D. (2010). Suicidal behavior and alcohol
abuse. International Journal of Environmental Research and Public
Health, 7(4), 1392–1431. https://doi.org/10.3390/ijerph7041392
14. Rihmer, Z., Belsö, N., & Kalmár, S. (2001). Antidepressants and suicide
prevention in Hungary. Acta Psychiatrica Scandinavica, 103(3), 238.
15. Sadock, B. J., Sadock, V. A., & Ruiz, P. (2015). Synopsis of Psychiatry:
Behavioral Science/ Clinical Psychiatry. Synopsis of Psychiatry:
Behavioral Science/ Clinical Psychiatry 11Th Edition (11th ed.).
Philadelphia: Wolters Kluwer Health/ Lippincott Williams & Wilkins.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
16. WHO. (2012). Public health action for the prevention of suicide: a
framework.
17. WHO. (2016). World health statistics 2016: monitoring health for the
SDGs sustainable development goals. World Health Organization.

12

Anda mungkin juga menyukai