Oleh:
Nabilla Oktavia K 04084821820001
2019
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus
Oleh:
Nabilla Oktavia K 04084821820001
Telah diterima dan disetujui untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. H. M. Rabain
Muara Enim Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 20 Mei – 29 Juli
2019.
Pembimbing
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT karena atas rahmat
dan berkat-Nya case yang berjudul “ Sirosis Hepatis + Anemia Normokrom
Normositik ec. Perdarahan” ini dapat diselesaikan tepat waktu. Case ini dibuat
untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUD Rabain Muara
Enim.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
anoreksia, dyspepsia, nyeri abdomen, ikterus, muntah darah, warna urine gelap,
melena. Pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada
membesar. Gejala yang ditimbulkan ini tentunya menurunkan kualitas hidup
penderitanya sehingga pasien tidak beraktivitas seperti biasa (Idrus, Alwi, dkk.
2015).
Pada fase awal kebanyakan sirosis hepatis tidak menunjukkan gejala-
gejala klinis. Bila sudah menampakkan gejala berarti pasien dalam stadium lanjut.
Pasien dengan stadium lanjut memiliki prognosis yang buruk dengan harapan
hidup tidak lebih dari 1 tahun. Oleh karena itu, diperlukan keahlian yang baik bagi
seorang dokter agar mampu mendiagnosis dan mengobati pasien sirosis hepatis
sehingga angka kejadian dan kematian penderitanya dapat menurun.
BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTIFIKASI PASIEN
a. Nama : Ny. Musdalinah
b. Umur : 36 tahun
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Agama : Islam
e. Pekerjaan : IRT
f. Alamat : Muara Enim
g. No Registrasi : 242087
h. Tgl masuk RS : 23 Juli 2019
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama
BAB darah dan muntah darah sejak 3 hari SMRS
3
4
pada mata dan seluruh tubuh. Keluhan gatal diseluruh tubuh (-), BAK
seperti warna teh tua (+), BAB dempul (-). Badan lemas (+), pandangan
berkunang kunang (-), badan sempoyongan (-), nafsu makan menurun (+),
demam (-). Pasien berobat ke klinik dokter dan diberi obat, keluhan
berkurang.
Riwayat Gizi
Makan teratur 3 kali sehari, porsi tiap makan 1 piring dengan lauk berupa
ikan atau ayam ditambah sayur.
PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan Umum
a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Tekanan darah : 90/60 mmHg
d. Nadi : 74x/menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup
e. Pernapasan : 22 x/menit, regular
f. Suhu tubuh : 37,5oC
B. Keadaan Spesifik
a. Kepala
Normosefali, simetris, ekspresi wajar, warna rambut hitam. Alopesia
(-) Wajah sembab (-) Hiperpigmentasi (-) Malar rash (-)
b. Mata
Edema palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik
(+/+), exophthalmus (-), endoftalmus (-), pupil bulat, isokor, diameter
3 mm, refleks cahaya (+/+)
c. Hidung
6
Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), kavum nasi
lapang, sekret (-), epistaksis (-). Napas cuping hidung (-).
d. Mulut
Bibir tidak kering, sianosis (-), sariawan (-), gusi berdarah (-), lidah
berselaput (-), atrofi papil (-), tonsil T2-T2, faring hiperemis (-).
e. Telinga
Tampak luar tidak ada kelainan, kedua meatus acusticus eksterna
lapang, keluar cairan telinga (-), sekret (-), nyeri tekan mastoid (-),
nyeri tarik aurikula (-/-).
f. Leher
JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (-), dan kelenjar tiroid (-).
g. Thoraks
Paru
Inspeksi : bentuk dada normal, retraksi dinding dada (-),
spider nevi (-), venektasi (-)
Statis : simetris kanan sama dengan kiri
Dinamis : tidak ada yang tertinggal
Palpasi : nyeri tekan (-), stem femitus kiri sama dengan
kanan
Perkusi : nyeri ketok (-), sonor pada kedua lapangan paru.
Auskultasi : vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (+).
Jantung
Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : iktus cordis tidak teraba
Perkusi : batas atas jantung ICS II
batas kanan jantung ICS V linea sternalis dextra
batas kiri jantung ICS V linea midclavicularis
sinistra
Auskultasi : HR= 78x/menit, BJ I-II reguler, murmur (-),
gallop (-).
7
h. Abdomen
Inspeksi : Cembung. Venektasi (-). Caput medusae (-).
Palpasi : Kencang, hepar dan lien tidak teraba. Ballotement
sulit dinilai. Nyeri tekan (+)
Perkusi : redup, undulasi (+)
Auskultasi : bising usus (+) menurun.
i. Genitalia : tidak diperiksa
j. Ekstremitas :
Inspeksi
Superior : Akral hangat (-), krepitasi (-/-), Deformitas (-),
kemerahan (-), edema (-), koilonikia (-) sianosis (-), jari tabuh (-).
Inferior : Akral hangat (-), Edema pretibial (+/+) , krepitasi (-/-) ,
Deformitas (-)
Kimia Klinik
Hati
Protein total : 5.5 mg/dL
Albumin : 2.7 mg/dL
8
Metabolisme Karbohidrat
GDS : 118 mg/dL
Ginjal
Ureum : 58 mg/dL
Kreatinin : 0.9 mg/dL
IV. Diagnosis
Sirosis Hepatis + Anemia normokrom normositer ec. Perdarahan
V. Diagnosis Banding
- Sirosis Hepatis + Anemia normokrom normositer ec. Penyakit hati
kronik
VI. Tatalaksana
a. Non Farmakologis
Transfusi 3 kolf
Istirahat
Diet rendah garam
Edukasi
9
3. 1 Anatomi Hepar
Hepar adalah kelenjar terbesar dalam tubuh. Hepar normal orang dewasa
yang sehat beratnya sekitar 1,3-1,5 kg. Hepar menyumbang sekitar 2% dari berat
badan pada orang dewasa, dan 5% dari berat badan di anak- anak (Dancygier,
2010). Pada pria dewasa beratnya antara 1,4-1,6 kg (1/36 berat badan), sedangkan
pada wanita dewasa antara 1,2-1,4 kg. Ukuran hepar normal pada dewasa yaitu
panjang kanan-kiri = 15 cm, tinggi bagian yang paling kanan (ukuran superior-
inferior) = 15-17 cm, tebal (ukuran anterior-posterior) setinggi ren dekstra yaitu
12-15 cm (Sofwanhadi, 2012). Organ ini terletak di kuadran kanan atas rongga
perut dan terletak langsung di bawah diafragma di region hipokondria dan
dilindungi oleh tulang rusuk (Dancygier, 2010). Warna permukaan hepar adalah
cokelat kemerahan dan konsistensinya padat kenyal. Hepar mempunyai 5
permukaan, yaitu fasies superior, fasies dektra, fasies anterior, fasies posterior,
dan fasies inferior (Sofwanhadi, 2012).
Gambar 1 Anatomi hepar dalam posisi anterior dan posterior (Gibson, 2002)
14
15
Hepar memiliki dua lobus yaitu lobus kanan dan lobus kiri. Lobus kanan
yang lebih besar terdiri dari lobus kaudat (permukaan posterior) dan lobus kuadrat
(permukaan inferior). Dua lobus anterior dipisahkan oleh ligamentum falciformis,
posterior oleh ligamentum venosum dan inferior oleh ligamentum teres. Vena
hepatika berada diantara lobus kanan dan kiri. Hepar dapat dibagi lagi menjadi
delapan segmen berdasarkan pembagian vena hepatika kanan dan kiri. Saluran
empedu bagian kanan dan kiri keluar dari hepar dan bersatu di hilus untuk
membentuk duktus hepatika. Kantong empedu terletak di atas usus besar.
Kantong empedu menyempit sebelum menjadi duktus kistik kemudian bergabung
untuk membentuk saluran empedu (Joshi et al., 2015).
Lobus hepar terdiri dari unit mikroskopis yang disebut lobulus. Lobulus
merupakan plate hepatosit yang tersusun rapi di sekitar vena sentral dalam bentuk
heksagonal dengan triad porta yang terdiri dari vena porta, arteri hepatika dan
saluran empedu di ujung-ujungnya (Khalili dan Burman, 2014). Asinus adalah
unit struktur fungsional hepar. Asinus berbentuk elips dengan triad portal di pusat,
vena sentral pada setiap pangkal dan memiliki tiga zona yaitu periportal (zona 1)
yang mengandung darah yang banyak oksigen, zona tengah (zona 2) dan
sentrilobular (zona 3) yang paling dekat dengan vena sentral dan yang paling
rentan terhadap kerusakan iskemik (Joshi et al., 2015). Hepatosit zona 1 aktif
dalam glukoneogenesis dan metabolisme energi, juga tempat utama untuk sintesis
urea. Hepatosit zona 3 lebih aktif dalam glikolisis dan lipogenesis. Hepatosit zona
2 menunjukkan aktivitas hepatosit zona 1 dan 3 (Khalili dan Burman, 2014).
Parenkim hepar terdiri dari plate-plate hepatosit yang didukung oleh sel
penyangga yang disebut sel retikuloendotelial. Plate hepatosit ini tebalnya hanya
selapis sel dan masing-masing sel terpisah dari sel yang lain oleh ruang vaskular
yang disebut sinusoid. Dalam sinusoid ini, darah dari arteri hepatika bercampur
dengan darah dari vena porta, dan kemudian menuju ke vena sentral. Sel-sel
retikuloendotelial memiliki tipe sel yang berbeda-beda yaitu sel endotelial yang
membentuk dinding sinusoid, makrofag yaitu sel Kupffer yang berada di ruang
16
sinusoid dan liposit yaitu sel penyimpan lemak yang terlibat dalam metabolisme
vitamin A, berada di antara hepatosit dan sel endotelial (Khalili dan Burman,
2014).
Sirkulasi Hepatik
Hepar memiliki suplai darah ganda dari vena portal dan arteri hepatika.
Sekitar 25% dari pasokan darah hepar dipasok oleh arteri hepatika, yang berasal
dari coeliac. Vena portal menyediakan 75% dari pasokan darah hepar dan darah
dari saluran pencernaan dan limpa. Kedua pembuluh darah memasuki hepar
melalui porta hepatika (liver hilus). Di dalam hilus, vena portal dan arteri hepatika
membagi ke dalam cabang kanan dan kiri memasok masing-masing lobus
sebelum didistribusikan ke segmen hepar dan mengalir ke sinusoid melalui
saluran portal. Darah meninggalkan sinusoid dan kemudian memasuki vena
hepatika (tengah, kanan dan kiri) sebelum memasuki vena kava inferior. Lobus
kaudat menerima suplai darah dari vena portal dan arteri hepatika sementara
saluran vena hepatika secara langsung masuk ke dalam vena kava inferior. Arteri
kistik menyediakan suplai darah kantong empedu sedangkan drainase melalui
17
vena kistik. Sebagian besar suplai darah ke saluran-saluran empedu adalah dari
retroduodenal hepar dan arteri kanan (Joshi et al., 2015).
Gambar 3. Struktur dalam hepar yang menunjukkan aliran darah hepar (Gibson,
2002)
18
3. 2 Sirosis Hepatis
3.1.1 Definisi
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium
akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi
dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi
akibat adanya nekrosis hepatoselular (McCormick, 2011).
3.1.2 Etiologi
3.1.3 Epidemiologi
Sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga setelah penyakit
kardiovaskular dan kanker (WHO, 2013). Di seluruh dunia SH menempati urutan
ketujuh penyebab kematian. Penderita SH lebih banyak laki-laki, jika
dibandingkan dengan wanita rasionnya sekitar 1,5:1 (Amico dan Malizia, 2012).
Di Amerika Serikat, sirosis dapat menimbulkan 33.539 kematian per tahun
(Hoyert dan Xu, 2012). Umur rata-rata penderitanya golongan umur 30-59 tahun
dengan puncaknya sekitar umur 40-49 tahun. Penyebab terbanyak yaitu pebyakit
hati alkoholik dan non alkoholik steatohepatitis serta heatitis C. Di Indonesia data
19
padat. Pada tahap ini, cedera hepar masih reversibel. Tahap kedua melibatkan
pembentukan ikatan-silang kolagen sub endotel, proliferasi sel mioepitel dan
distorsi arsitektur liver dan regenerasi nodul. Tahap kedua ini bersifat irreversibel.
Perubahan pada keseimbangan kolagen berperan dalam perkembangan cedera
hepar kronik dari bentuk reversibel ke irreversibel yang berpengaruh pada fungsi
hepatosit (Khalili dan Burman, 2014).
menyebabkan ventilasi atau perfusi paru, pada kasus yang berat dapat
menyebabkan hepatopulmonary syndrome dan hipoksemia arteri. Hipertensi
portopulmonari ditandai dengan vasokonstriksi paru yang disebabkan oleh
disfungsi endotel paru-paru (Tsochatzis dan Burroughs, 2014).
1. Sirosis hepatis kompensata, yang berarti belum adanya gejala klinis yang
nyata
2. Sirosis hepatis dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinik
yang jelas. Sirosis hepar kompensata merupakan kelanjutan dari proses
hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaanya secara
klinis, hanya dapat dibedakan melalui biopsi hepar.
Tes lain fungsi hati: Kemampuan hati untuk mengangkut anion organik
24
3.1.8 Komplikasi
Hipertensi portal
Hipertensi portal didefinisikan sebagai gradien tekanan vena porta lebih
besar dari 5 mmHg. Hipertensi portal terjadi karena kenaikan resistensi
vaskuler intrahepatik. Tekanan darah dalam sinusoid meningkat
ditransmisikan kembali ke pembuluh darah portal. Karena vena portal
tidak memiliki katup, tekanan tinggi ini ditransmisikan kembali ke
vaskular lainnya, sehingga terjadi splenomegali, portal-to-systemic
shunting, dan komplikasi sirosis lainnya (Khalili dan Burman, 2014)
Ascites
Ascites adalah akumulasi cairan dalam rongga peritoneal. Penyebab paling
umum adalah hipertensi portal yang berhubungan dengan sirosis.
Peningkatan resistensi intrahepatik menyebabkan peningkatan tekanan
portal, tetapi juga terjadi vasodilatasi dari sistem arteri splanknikus,
mengakibatkan arus masuk vena porta meningkat. Perubahan
hemodinamik ini menyebabkan retensi natrium oleh aktivasi sistem renin-
angiotensin- aldosteron dan terjadi hiperaldosteronisme. Peningkatan
aldosteron menyebabkan retensi natrium yang berkontribusi terhadap
ascites. Retensi natrium menyebabkan akumulasi cairan dan ekspansi
volume cairan ekstraseluler sehingga terjadi edema perifer dan asites.
Hipoalbuminemia dan tekanan onkotik plasma berkurang sehingga
berkontribusi juga pada hilangnya cairan dari kompartemen vaskular ke
dalam rongga peritoneum. Hipoalbuminemia terjadi akibat penurunan
fungsi sintetis dalam sirosis (Bacon, 2010).
Spontaneous bacterial peritonitis (SBP)
SBP merupakan infeksi yang paling umum terjadi pada pasien sirosis,
dengan prevalensi sekitar 3,5% dari pasien sirosis kompensata dan 10%
sampai 30% pada pasien sirosis dekompensata. Mortalitas di rumah sakit
26
40% pasien dengan sirosis dan merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada pasien. Perdarahan GI dari varises dan sumber-sumber lain
(misalnya ulkus duodenum dan gastritis) pada pasien dengan sirosis sering
diperburuk oleh koagulopati (Khalili dan Burman, 2014).
Komplikasi paru-paru
Sepertiga pasien dengan sirosis dekompensasi memiliki masalah terkait
dengan oksigenasi yang ditandai dengan sesak napas. Tiga komplikasi
utama paru-paru yaitu hepatopulmonary syndrome, portopulmonary
syndrome, dan hepatic hydrothorax. Selain itu, hipoksemia ringan dapat
disebabkan oleh besarnya asites, dengan elevasi diafragma dan
ventilasi/perfusi mismatch. Hepatopulmonary syndrome terdiri dari triad
gagal hepar yaitu hipoksemia, pelebaran pembuluh darah intrapulmonary
dan shunting. Penyebab vasodilatasi prekapiler dan kapiler paru tidak
diketahui, tetapi nitric oxide, endotelin dan asam arakidonat diperkirakan
terlibat. Sebagai hasil dari ketidakseimbangan ventilasi-perfusi, pasien
sering mengalami platypnea dan dyspnea yang memburuk dalam posisi
tegak. Portopulmonary syndrome mengacu pada hipertensi pulmonal pada
pasien dengan penyakit hepar lanjut dan hipertensi portal. Pasien
mengalami hipoksia, dyspnea saat aktivitas, kelelahan, dan bahkan tanda-
tanda gagal jantung kanan (Khalili dan Burman, 2014).
3.1.10 Tatalaksana
Sirosis hati secara klinis fungsional dibagi atas:
penyebab yang tersering adalah HBV dan HCV. Untuk HBV kronis bisa
diberikan preparat interferon secara injeksi atau secara oral dengan preparat
analog nukleosida jangka panjang. Preparat nukelosida analog ini juga bisa
diberikan pada SH dekompensata akibat HBV kronis selain penanganan untuk
komplikasinya. Sedang untuk SH akibat HCV kronis diberikan preparat
interferon. Namun pada SH dekompensata pemberian preparat interferon ini tidak
direkomondasikan (Tjokroprawiro, A, et al. 2010)
1. Simptomatis
2. Supportif, yaitu :
a. Istirahat yang cukup
b. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang; misalnya : cukup
kalori, protein 1gr/kgBB/hari dan vitamin. NB : diet hati III (masih
baik dalam penerimaan protein, lemak, mineral dan vitamin). Diet
rendah garam I (jika asites).
c. Pengobatan berdasarkan etiologi. Misalnya pada sirosis hati akibat
infeksi virus hepatitis C dapat dicoba dengan interferon. Sekarang
telah dikembangkan perubahan strategi terapi bagian pasien
dengan hepatitis C kronik yang belum pernah mendapatkan
pengobatan IFN seperti a) kombinasi IFN dengan ribavirin, b) terapi
induksi IFN, c) terapi dosis IFN tiap hari
a) Terapi kombinasi IFN dan Ribavirin terdiri dari IFN 3 juta
unit 3 x seminggu dan RIB 1000-2000 mg perhari tergantung
berat badan (1000mg untuk berat badan kurang dari 75kg)
yang diberikan untuk jangka waktu 24-48 minggu.
b) Terapi induksi Interferon yaitu interferon diberikan dengan dosis
yang lebih tinggi dari 3 juta unit setiap hari untuk 2-4
30
ANALISIS KASUS
Riwayat penyakit 6 bulan yang lalu dengan keluhan kuning pada mata dan
seluruh tubuh dapat dipikirkan apakah ini disebabkan dari pre hepatic, intra
hepatic, dan post hepatic. Perbedaan penyebab tersebut dapat dibedakan
berdasarkan keluhan dan klinis pada pasien. Pada pasien ini tidak temukan adanya
keluhan badan lemas, sempoyongan, pandangan berkunang-kunang, lebam pada
kulit, dan titik-titik perdarahan yang merupakan keluhan yang sering ditemukan
pada kasus anemia hemolitik. Keluhan kulit berwarna kuning hingga kehijauan
32
tidak ada, gatal diseluruh tubuh tidak ada, BAB dempul juga tidak ada hal ini
dapat menyingkirkan kemungkinan kuning yang disebabkan oleh obstruksi post
hepatik. Keluhan kuning yang disertai demam dapat disebabkan oleh adanya
infeksi (hepatitis), koledokolitiasis dengan kolesistitis, kolangitis, dan malaria.
Namun kemungkinan malaria dapat kita singkirkan karena tidak ditemukan
adanya trias malaria dan riwayat berpergian keluar daerah endemis malaria.
Keluhan BAB hitam dan muntah darah disertai perut yang semakin
membesar dan bengkak pada kaki. Riwayat sakit dahulu ditemukan sakit kuning
(+) 6 bulan yang lalu dan sakit kuning disertai demam pada 1 tahun yang lalu.
Keluhan BAB hitam dan muntah darah pada pasien ini diakibatkan oleh pecahnya
varises gastroesofagus. Varises gastroesofagus adalah pelebaran pembuluh darah
33
di gaster atau esofagus yang semakin besar. Pecahnya varises tersebut akan
menimbulkan perdarahan. Varises gastroesofagus merupakan akibat langsung
hipertensi porta karena peningkatan tahanan aliran porta dan peningkatan aliran
darah yang masuk ke vena porta. Hal tersebut sejalan dengan hukum Ohm yang
menyebutkan bahwa tekanan vena porta adalah hasil dari tahanan vaskular (R)
dan aliran darah (Q) pada bagian porta (P = Q x R).
Peningkatan tahanan (R) terjadi melalui dua cara yaitu mekanik dan
dinamik. Tahanan mekanik disebabkan oleh gangguan struktur vaskular hati
akibat fibrosis, nodul regeneratif dan deposisi kolagen di ruang disse, sedangkan
tahanan dinamik dikarenakan peningkatan tonus vaskular hati yang dimodulasi
oleh vasokonstriksi endogen seperti norepinefrin, endotelin I, angiotensi II,
leukotrien, dan tromboksan A2. Peningkatan vasokonstriktor endogen diakibatkan
oleh disfungsi endotel serta penurunan bioavaibilitas nitrit oksida.
34
Dari hasil pemeriksaan fisik, didapatkan hipotensi (90/60) mmHg,
pemeriksaan fisik keadaan spesifik abdomen, didapatkan hasil inspeksi yaitu perut
cembung, pada palpasi terdapat nyeri tekan pada seluruh abdomen dan pada
pemeriksaan perkusi diperoleh undulasi (+) yang menandakan adanya
penumpukan cairan (asites) masif pada rongga peritoneum, serta edema pretibia
(+).
Keluhan perut membesar seperti ini disertai bengkak pada kedua tungkai
dapat diakibatkan oleh gangguan tekanan onkotik ataupun hidrostatik pada
kelainan hati, ginjal ataupun jantung. Namun, umumnya kelainan pada jantung
akan menyebabkan terjadinya manifestasi pitting edema/edema pretibial terlebih
dahulu, sedangkan pada kelainan ginjal, umumnya manifestasi utamanya adalah
edema anasarka yang dimulai dari edema pada kelopak mata. Untuk kelainan pada
hepar, umumnya manifestasi yang timbul terlebih dahulu adalah ascites kemudian
diikuti dengan pitting edema/edema pretibial. Dari riwayat perjalanan penyakitnya
maka, kemungkinan asites dan edema pretibia disebabkan oleh gangguan hepar.
Pada pasien juga ditemukan adanya BAK berwarna teh tua, hal ini
menandakan bahwa warna gelap pada BAK yang dialami pasien mengarah pada
penyakit hepar atau bilier. Namun, pada gangguan obstruksi biler umumnya
didapatkan gambaran klinis berupa BAB dempul. Oleh karena itu, pada kasus
BAK kuning tua ini cendrung mengarah ke penyakit hati. BAK berwarna kuning
tua berkaitan dengan peningkatan kadar bilirubin direct, hal ini disebabkan karena
bilirubin direct bersifat larut dalam air. Pada keadaan normal, bilirubin direct akan
diubah oleh flora normal usus menjadi urobilinogen yang sebagian besar akan
diekskresikan melalui feses dan sebagian kecilnya akan kembali masuk ke
sirkulasi darah dan diekskresi oleh ginjal ke dalam urin, namun jika kadar
bilirubin direct tinggi maka bilirubin direct dapat masuk ke dalam sirkulasi dan
diekskresikan dalam urin sehingga urin berwarna lebih pekat sepeti teh tua.
35
pemeriksaan abdomen, pada inspeksi tampak bentuk abdomen cembung (+). Pada
palpasi abdomen teraba kencang, hepar dan lien sulit dinilai. Pada perkusi
abdomen didapatkan undulasi (+). Dalam pemeriksaan abdomen didapatkan
bahwa terdapat akumulasi cairan masif pada rongga peritoneum sehingga hepar-
lien sulit diraba. Pada pemeriksaan ekstremitas, didapatkan edema pretibial. Pada
kasus sirosis hepatis, terbentuknya jaringan fibrosis pada hepar menyebabkan
penyempitan pada sinusoid sehingga terjadi bendungan pada aliran darah dari
vena hepatica yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan vena porta.
Peningkatan tekanan vena porta hepatica akan menyebabkan terbentuknya
kolateralisasi vena sehingga terbentuk venektasi pada abdomen. Namun pada
kasus ini tidak terdapat venektasi pada abdomen hal ini karena venektasi dapat
terlihat bila peningkatan tekanan vena porta > 20 mmHg, pada kasus ini
kemungkinan belum sampai peningkatan hingga > 20 mmHg. Selain itu,
peningkatan tekanan vena porta menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik
sehingga terjadi transudasi cairan dari intravascular ke jaringan rongga
peritoneum, hal ini menyebabkan terjadinya asites yang menimbulkan manifestasi
berupa perut cembung dan undulasi (+) pada pemeriksaan fisik abdomen.
Mekanisme asites pada kasus dapat juga disebabkan oleh karena hipoalbumin.
Hasil laboratorium menunjukkan kadar albumin yang rendah. Albumin berfungsi
untuk mempertahankan tekanan onkotik, ketika kadar albumin menurun maka
terjadi transudasi cairan ke jaringan rongga peritoneum sehingga terjadi asites.
36
spironolakton ini juga memiliki efek anti aldosteron dan cenderung
mempertahankan kalium sehingga mencegah terjadinya hipokalemi.
37
DAFTAR PUSTAKA
38
10. Khalili, M., & Burman, B. 2014. Liver disease. In: Hammer, G.D.,
McPhee, S.J. Pathophysiology of Disease: An Introduction To Clinical
Medicine, Ed. 7th, USA: The McGraw-Hill Companies, Inc, 385-425.
11. Kusumobroto, H.O., 2012. Sirosis hati. In: Sulaiman, A.H., Akbar, H.N.,
Lesmana, L.A., & Noer, H.M.S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Jakarta:
Sagung Seto, 335-364.
12. Liddle, C., & Stedman, C.A.M. 2007. Hepatic metabolism of drug. In:
Rodes, J., Benhamou, J., Blei, A.T., Reichen, J., & Rizzetto, M. Textbook
of Hepatology From Basic Science to Clinical Practice, 3rd Ed. USA:
Blackwell Publishing Ltd, 241-248.
13. McCormick, P.A. 2011. Hepatic cirrhosis. In: Dooley, J.S., Lok, A.S.F.,
Burrhough, A.K., & Heathcote, E.J. Sherlock’s Diseases of the Liver and
Biliary System, 12th Ed. USA: Wiley Blackwill Publishing, Inc, 103-120.
14. Nurdjanah, S. 2009. Sirosis hati. In: Sudoyo, A.W., Setyohadi, B., Alwi,
I., Simadibrata, Marcellus, K., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi kelima, Jilid I. Jakarta: Interna Publishing, 688-673.
15. Sofwanhadi, R. 2012. Anatomi hati. In: Sulaiman, A.H., Akbar, H.N.,
Lesmana, L.A., & Noer, H.M.S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Jakarta:
Sagung Seto, 1-3.
16. Tjokroprawiro, A, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Fakultas
Kedokteran UNAIR. Airlangga University Press: 2010.
17. Tsochatzis, E. a., Bosch, J., & Burroughs, A. K. (2014). Liver cirrhosis.
The Lancet, 383(14), 1749–1761.
18. WHO, 2013. Global health estimates summary tables: Projection of deaths
by cause, age and sex.
http://www.who.int/healthinfo/global_burden_disease/en/
19. Widjaja, F. and Karjadi, T. (2011) ‘Prevention of Recurrent Bleeding in
Liver Cirrhosis Patient’, Madjalah Kedokteran Indonesia, 61, pp. 417–
424.
39
40