Anda di halaman 1dari 40

Laporan Kasus

SIROSIS HEPATIS + ANEMIA NORMOKROM


NORMOSITIK EC. PERDARAHAN

Oleh:
Nabilla Oktavia K 04084821820001

Fadya Ulviana K 04054821820133

Claudia Jasmine 04084821921148

Pembimbing : dr. Mumasi Sp.PD

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD DR. H. M. RABAIN MUARA ENIM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2019
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

SIROSIS HEPATIS + ANEMIA NORMOKROM

NORMOSITIK EC. PERDARAHAN

Oleh:
Nabilla Oktavia K 04084821820001

Fadya Ulviana K 04054821820133

Claudia Jasmine 04084821921148

Telah diterima dan disetujui untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. H. M. Rabain
Muara Enim Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 20 Mei – 29 Juli
2019.

Palembang, Agustus 2019

Pembimbing

dr. Mumasi, SpPD

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT karena atas rahmat
dan berkat-Nya case yang berjudul “ Sirosis Hepatis + Anemia Normokrom
Normositik ec. Perdarahan” ini dapat diselesaikan tepat waktu. Case ini dibuat
untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUD Rabain Muara
Enim.

Penulis juga ingin menyampaikan terimakasih kepada dr. Mumasi, Sp.PD


atas bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih baik. Penulis menyadari
masih banyak kekurangan dalam penulisan case ini. Oleh karena itu saran dan
kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk penulisan yang lebih baik
di masa yang akan datang.

Muara Enim, Agustus 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i

HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................. ii

KATA PENGANTAR ............................................................................................ iii

DAFTAR ISI ........................................................................................................... iv

BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

BAB II. STATUS PASIEN ...................................................................................... 3

BAB III. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 14

BAB IV. ANALISIS KASUS .................................................................................. 28

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 32

iv
v
BAB I

PENDAHULUAN

Sirosis merupakan penyebab meningkatnya morbiditas dan mortalitas di


negara-negara maju. Berdasarkan data WHO (2013) sirosis hepatik merupakan
penyebab kematian ke dua belas di dunia dengan prevalensi 1,8 %. Di Amerika
sirosis hepatik menyebabkan kematian pada 33.539 pasien per tahunnya (Hoyert
dan Xu, 2014). Rata-rata prevalensi sirosis hepatik di Indonesia sebesar 3,5 % dari
seluruh pasien yang dirawat di bangsal penyakit dalam (Kusumobroto, 2013).
Penyebab utama sirosis di negara maju adalah infeksi virus hepatitis C,
penyalahgunaan alkohol dan penyakit hepar non-alkohol (Tsochatzis, 2014). Di
Indonesia, sirosis banyak disebabkan oleh virus hepatitis B yaitu sebesar 40-50%
kasus, diikuti oleh virus hepatitis C dengan 30-40% kasus, sedangkan 10-20%
sisanya disebabkan oleh hal lain yang bukan termasuk kelompok virus hepatitis B
dan C (Nurdjanah, 2009).

Sirosis didefinisikan sebagai suatu keadaan patologis yang


menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif
yang ditandai dengan distorsi arsitektur hepar dan pembentukan nodul
regeneratif (Goldberg dan Chopra, 2015). Metabolisme obat yang
umumnya diperantarai oleh enzim P450 terutama CYP1A, 2C19 dan 3A
menjadi terganggu pada kondisi sirosis karena kerusakan hepatoseluler
(Liddle dan Stedman, 2007).

Penyebab sirosis hepatis dapat berupa infeksi seperti virus hepatitis,


penyakit herediter dan metabolic seperti defisiensi α1-antitripsin, penyakit
Wilson, hemokromatosis, akibat obat dan toksin seperti alcohol, amiodaron dan
obstruksi bilier, penyakit perlemakan hati non alkoholik serta sirosis bilier primer.
Gejala klinis yang ditimbulkan berupa mudah lelah, berat badan menurun,

1
2

anoreksia, dyspepsia, nyeri abdomen, ikterus, muntah darah, warna urine gelap,
melena. Pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada
membesar. Gejala yang ditimbulkan ini tentunya menurunkan kualitas hidup
penderitanya sehingga pasien tidak beraktivitas seperti biasa (Idrus, Alwi, dkk.
2015).
Pada fase awal kebanyakan sirosis hepatis tidak menunjukkan gejala-
gejala klinis. Bila sudah menampakkan gejala berarti pasien dalam stadium lanjut.
Pasien dengan stadium lanjut memiliki prognosis yang buruk dengan harapan
hidup tidak lebih dari 1 tahun. Oleh karena itu, diperlukan keahlian yang baik bagi
seorang dokter agar mampu mendiagnosis dan mengobati pasien sirosis hepatis
sehingga angka kejadian dan kematian penderitanya dapat menurun.
BAB II
STATUS PASIEN

I. IDENTIFIKASI PASIEN
a. Nama : Ny. Musdalinah
b. Umur : 36 tahun
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Agama : Islam
e. Pekerjaan : IRT
f. Alamat : Muara Enim
g. No Registrasi : 242087
h. Tgl masuk RS : 23 Juli 2019

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama
BAB darah dan muntah darah sejak 3 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang


Sejak 6 bulan yang lalu pasien mengeluh kuning pada mata dan
seluruh tubuh. Keluhan gatal diseluruh tubuh tidak ada, BAK seperti warna
teh tua tidak ada, BAB dempul tidak ada. Keluhan ini diikuti dengan perut
membesar. Perut juga terasa kencang dan senap. Keluhan disertai demam
(+), demam naik perlahan dan menetap. Keluhan demam hilang timbul (-),
mual (+), muntah (-), nyeri ulu hati (-) sembab pada kaki (-) mata bengkak
(+) nafsu makan menurun (+). Pasien kemudian berobat ke RS Rabain dan
dirawat hingga keadaan membaik.

Sejak 2 minggu SMRS pasien mengeluh perut dirasakan


membesar, terasa kencang dan penuh (+), nyeri bila ditekan (+), mual (+)
muntah (-), terasa senap (-), bengkak pada kaki (-). Pasien mengeluh kuning

3
4

pada mata dan seluruh tubuh. Keluhan gatal diseluruh tubuh (-), BAK
seperti warna teh tua (+), BAB dempul (-). Badan lemas (+), pandangan
berkunang kunang (-), badan sempoyongan (-), nafsu makan menurun (+),
demam (-). Pasien berobat ke klinik dokter dan diberi obat, keluhan
berkurang.

Sejak  3 hari SMRS, pasien mengeluh BAB hitam, frekuensi 2-


3x/hari, konsistensi cair seperti aspal. Pasien juga mengeluh muntah darah
dengan frekuensi 3x/hari sebanyak kurang lebih seperempat gelas
belimbing. Pasien juga mengeluh perut dirasakan semakin membesar, teraba
kencang dan penuh (+), perut terasa kembung (+), perut terasa lebih cepat
penuh (+), nyeri pada seluruh perut (+), sensasi seperti terbakar di ulu hari (-
), mata dan seluruh tubuh kuning (+), bengkak pada kaki (+), mual (+),
muntah (-) nafsu makan menurun (+). Demam (+), sesak (-), batuk (-) nyeri
dada (-). badan lemas (+), pandangan berkunang-kunang (+), badan
sempoyongan (+), mimisan (-), gusi berdarah (-), lebam pada kulit (-), titik
titik perdarahan di kulit (-), BAK berwarna seperti teh tua (+). Kemudian
pasien berobat ke RS Rabain.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat sakit yang sama sebelumnya (-)
- Riwayat penyakit kuning (+)
- Riwayat darah tinggi (-)
- Riwayat malaria (-)
- Riwayat transfusi darah (-)
Riwayat Penyakit dalam Keluarga
- Riwayat keluarga menderita darah tinggi disangkal.
- Riwayat keluarga menderita kencing manis disangkal.
- Riwayat keluarga menderita sirosis hati disangkal.
- Riwayat keganasan dalam keluarga disangkal.
Riwayat Pekerjaan, Kebiasaan, Sosial Ekonomi dan Lingkungan
5

- Riwayat merokok disangkal


- Riwayat konsumsi alkohol disangkal.
- Riwayat mengkonsumsi obat-obatan disangkal.
- Riwayat penggunaan jarum suntik berulang disangkal
- Riwayat konsumsi jamu disangkal

Riwayat Gizi

Makan teratur 3 kali sehari, porsi tiap makan  1 piring dengan lauk berupa
ikan atau ayam ditambah sayur.

PEMERIKSAAN FISIK

A. Keadaan Umum
a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Tekanan darah : 90/60 mmHg
d. Nadi : 74x/menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup
e. Pernapasan : 22 x/menit, regular
f. Suhu tubuh : 37,5oC

B. Keadaan Spesifik
a. Kepala
Normosefali, simetris, ekspresi wajar, warna rambut hitam. Alopesia
(-) Wajah sembab (-) Hiperpigmentasi (-) Malar rash (-)

b. Mata
Edema palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik
(+/+), exophthalmus (-), endoftalmus (-), pupil bulat, isokor, diameter
3 mm, refleks cahaya (+/+)

c. Hidung
6

Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), kavum nasi
lapang, sekret (-), epistaksis (-). Napas cuping hidung (-).

d. Mulut
Bibir tidak kering, sianosis (-), sariawan (-), gusi berdarah (-), lidah
berselaput (-), atrofi papil (-), tonsil T2-T2, faring hiperemis (-).
e. Telinga
Tampak luar tidak ada kelainan, kedua meatus acusticus eksterna
lapang, keluar cairan telinga (-), sekret (-), nyeri tekan mastoid (-),
nyeri tarik aurikula (-/-).
f. Leher
JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (-), dan kelenjar tiroid (-).
g. Thoraks
Paru
 Inspeksi : bentuk dada normal, retraksi dinding dada (-),
spider nevi (-), venektasi (-)
Statis : simetris kanan sama dengan kiri
Dinamis : tidak ada yang tertinggal
 Palpasi : nyeri tekan (-), stem femitus kiri sama dengan
kanan
 Perkusi : nyeri ketok (-), sonor pada kedua lapangan paru.
 Auskultasi : vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (+).
Jantung
 Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
 Palpasi : iktus cordis tidak teraba
 Perkusi : batas atas jantung ICS II
batas kanan jantung ICS V linea sternalis dextra
batas kiri jantung ICS V linea midclavicularis
sinistra
 Auskultasi : HR= 78x/menit, BJ I-II reguler, murmur (-),
gallop (-).
7

h. Abdomen
 Inspeksi : Cembung. Venektasi (-). Caput medusae (-).
 Palpasi : Kencang, hepar dan lien tidak teraba. Ballotement
sulit dinilai. Nyeri tekan (+)
 Perkusi : redup, undulasi (+)
 Auskultasi : bising usus (+) menurun.
i. Genitalia : tidak diperiksa
j. Ekstremitas :
 Inspeksi
Superior : Akral hangat (-), krepitasi (-/-), Deformitas (-),
kemerahan (-), edema (-), koilonikia (-) sianosis (-), jari tabuh (-).
Inferior : Akral hangat (-), Edema pretibial (+/+) , krepitasi (-/-) ,
Deformitas (-)

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Laboratorium (23 Juli 2019)
Hemotologi
Hemoglobin (Hb) : 3.8 g/dL
Leukosit (WBC) : 24.08 x 103/mm3
Hematokrit (HT) : 12.5%
Eritrosit (RBC) : 1.32 x 106/ μL
Trombosit : 301 x 103/μL
MCV : 94.7
MCH : 28.8
Diff. Count : 0/0/75/15/9

Kimia Klinik
Hati
Protein total : 5.5 mg/dL
Albumin : 2.7 mg/dL
8

Globulin : 2.8 mg/dL


Kolesterol total : 149 mg/dL
Bilirubin total :
Bilirubin direk :
Bilirubin indirek :
SGOT : 63 U/L
SGPT : 93 U/L

Metabolisme Karbohidrat
GDS : 118 mg/dL

Ginjal
Ureum : 58 mg/dL
Kreatinin : 0.9 mg/dL

IV. Diagnosis
Sirosis Hepatis + Anemia normokrom normositer ec. Perdarahan

V. Diagnosis Banding
- Sirosis Hepatis + Anemia normokrom normositer ec. Penyakit hati
kronik

VI. Tatalaksana
a. Non Farmakologis
 Transfusi 3 kolf
 Istirahat
 Diet rendah garam
 Edukasi
9

- Edukasi mengenai penyakit yang diderita pasien.


- Batasi intake cairan
b. Farmakologis
 IVFD D5 gtt XX/m
 Inj omeprazole 1x1
 inj Cefotaxime 2x1 gr iv
 letonal 2x100mg tab po
 propranolol 2x10 mg tab po
 dexanta syr 3x1 c
 lamivudine 1x1 tab po
 furosemide 2x1
VII. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3. 1 Anatomi Hepar
Hepar adalah kelenjar terbesar dalam tubuh. Hepar normal orang dewasa
yang sehat beratnya sekitar 1,3-1,5 kg. Hepar menyumbang sekitar 2% dari berat
badan pada orang dewasa, dan 5% dari berat badan di anak- anak (Dancygier,
2010). Pada pria dewasa beratnya antara 1,4-1,6 kg (1/36 berat badan), sedangkan
pada wanita dewasa antara 1,2-1,4 kg. Ukuran hepar normal pada dewasa yaitu
panjang kanan-kiri = 15 cm, tinggi bagian yang paling kanan (ukuran superior-
inferior) = 15-17 cm, tebal (ukuran anterior-posterior) setinggi ren dekstra yaitu
12-15 cm (Sofwanhadi, 2012). Organ ini terletak di kuadran kanan atas rongga
perut dan terletak langsung di bawah diafragma di region hipokondria dan
dilindungi oleh tulang rusuk (Dancygier, 2010). Warna permukaan hepar adalah
cokelat kemerahan dan konsistensinya padat kenyal. Hepar mempunyai 5
permukaan, yaitu fasies superior, fasies dektra, fasies anterior, fasies posterior,
dan fasies inferior (Sofwanhadi, 2012).

Gambar 1 Anatomi hepar dalam posisi anterior dan posterior (Gibson, 2002)

14
15

Hepar memiliki dua lobus yaitu lobus kanan dan lobus kiri. Lobus kanan
yang lebih besar terdiri dari lobus kaudat (permukaan posterior) dan lobus kuadrat
(permukaan inferior). Dua lobus anterior dipisahkan oleh ligamentum falciformis,
posterior oleh ligamentum venosum dan inferior oleh ligamentum teres. Vena
hepatika berada diantara lobus kanan dan kiri. Hepar dapat dibagi lagi menjadi
delapan segmen berdasarkan pembagian vena hepatika kanan dan kiri. Saluran
empedu bagian kanan dan kiri keluar dari hepar dan bersatu di hilus untuk
membentuk duktus hepatika. Kantong empedu terletak di atas usus besar.
Kantong empedu menyempit sebelum menjadi duktus kistik kemudian bergabung
untuk membentuk saluran empedu (Joshi et al., 2015).

Lobus hepar terdiri dari unit mikroskopis yang disebut lobulus. Lobulus
merupakan plate hepatosit yang tersusun rapi di sekitar vena sentral dalam bentuk
heksagonal dengan triad porta yang terdiri dari vena porta, arteri hepatika dan
saluran empedu di ujung-ujungnya (Khalili dan Burman, 2014). Asinus adalah
unit struktur fungsional hepar. Asinus berbentuk elips dengan triad portal di pusat,
vena sentral pada setiap pangkal dan memiliki tiga zona yaitu periportal (zona 1)
yang mengandung darah yang banyak oksigen, zona tengah (zona 2) dan
sentrilobular (zona 3) yang paling dekat dengan vena sentral dan yang paling
rentan terhadap kerusakan iskemik (Joshi et al., 2015). Hepatosit zona 1 aktif
dalam glukoneogenesis dan metabolisme energi, juga tempat utama untuk sintesis
urea. Hepatosit zona 3 lebih aktif dalam glikolisis dan lipogenesis. Hepatosit zona
2 menunjukkan aktivitas hepatosit zona 1 dan 3 (Khalili dan Burman, 2014).

Parenkim hepar terdiri dari plate-plate hepatosit yang didukung oleh sel
penyangga yang disebut sel retikuloendotelial. Plate hepatosit ini tebalnya hanya
selapis sel dan masing-masing sel terpisah dari sel yang lain oleh ruang vaskular
yang disebut sinusoid. Dalam sinusoid ini, darah dari arteri hepatika bercampur
dengan darah dari vena porta, dan kemudian menuju ke vena sentral. Sel-sel
retikuloendotelial memiliki tipe sel yang berbeda-beda yaitu sel endotelial yang
membentuk dinding sinusoid, makrofag yaitu sel Kupffer yang berada di ruang
16

sinusoid dan liposit yaitu sel penyimpan lemak yang terlibat dalam metabolisme
vitamin A, berada di antara hepatosit dan sel endotelial (Khalili dan Burman,
2014).

Gambar 2 Lobulus hepar (Gibson, 2002)

Sirkulasi Hepatik

Hepar memiliki suplai darah ganda dari vena portal dan arteri hepatika.
Sekitar 25% dari pasokan darah hepar dipasok oleh arteri hepatika, yang berasal
dari coeliac. Vena portal menyediakan 75% dari pasokan darah hepar dan darah
dari saluran pencernaan dan limpa. Kedua pembuluh darah memasuki hepar
melalui porta hepatika (liver hilus). Di dalam hilus, vena portal dan arteri hepatika
membagi ke dalam cabang kanan dan kiri memasok masing-masing lobus
sebelum didistribusikan ke segmen hepar dan mengalir ke sinusoid melalui
saluran portal. Darah meninggalkan sinusoid dan kemudian memasuki vena
hepatika (tengah, kanan dan kiri) sebelum memasuki vena kava inferior. Lobus
kaudat menerima suplai darah dari vena portal dan arteri hepatika sementara
saluran vena hepatika secara langsung masuk ke dalam vena kava inferior. Arteri
kistik menyediakan suplai darah kantong empedu sedangkan drainase melalui
17

vena kistik. Sebagian besar suplai darah ke saluran-saluran empedu adalah dari
retroduodenal hepar dan arteri kanan (Joshi et al., 2015).

Gambar 3. Struktur dalam hepar yang menunjukkan aliran darah hepar (Gibson,
2002)
18

3. 2 Sirosis Hepatis
3.1.1 Definisi
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium
akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi
dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi
akibat adanya nekrosis hepatoselular (McCormick, 2011).

3.1.2 Etiologi

3.1.3 Epidemiologi
Sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga setelah penyakit
kardiovaskular dan kanker (WHO, 2013). Di seluruh dunia SH menempati urutan
ketujuh penyebab kematian. Penderita SH lebih banyak laki-laki, jika
dibandingkan dengan wanita rasionnya sekitar 1,5:1 (Amico dan Malizia, 2012).
Di Amerika Serikat, sirosis dapat menimbulkan 33.539 kematian per tahun
(Hoyert dan Xu, 2012). Umur rata-rata penderitanya golongan umur 30-59 tahun
dengan puncaknya sekitar umur 40-49 tahun. Penyebab terbanyak yaitu pebyakit
hati alkoholik dan non alkoholik steatohepatitis serta heatitis C. Di Indonesia data
19

prevalensi sirosis hepatis belum ada. Di RS Sardjito Yogyakarta jumlah pasien


sirosis hepatis berkisar 4,1% dari pasien yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam
dalam kurun waktu 1 tahun (data tahun 2004). Lebih dari 40% pasien sirosis
adalah asimptomatis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu
pasien melakukan pemeriksaan rutin atau karena penyakit yang lain.Di Asia
Tenggara, penyebab utama SH adalah hepatitis B (HBV) dan C (HVC). Angka
kejadian SH di Indonesia akibat hepatitis B berkisar antara 21,2-46,9% dan
hepatitis C 38,7-73,9% (Kusumobroto, 2012).

3.1.4 Patogenesis dan Patofisiologi


Gangguan sintesis kolagen dan komponen jaringan ikat atau
membran basal matriks ekstrasel berperan dalam terbentuknya fibrosis.
Fibrosis terjadi pada tiga kondisi, yaitu sebagai suatu respon imun, sebagai
bagian dari proses penyembuhan luka dan sebagai respons terhadap agen
yang menginduksi fibrogenesis primer. HBV dan spesies schistosoma
adalah contoh yang menyebabkan fibrosis dengan dasar imunologis.
Karbon tetraklorida atau hepatitis A yang menyerang hepatosit secara
langsung adalah contoh yang menyebabkan fibrosis sebagai bagian dari
penyembuhan luka. Pada respon imun dan penyembuhan luka, fibrosis
dipicu secara tidak langsung oleh efek sitokin yang dilepaskan oleh sel-sel
radang. Etanol dan zat besi dapat menyebabkan fibrogenesis primer yang
secara langsung meningkatkan transkripsi gen kolagen sehingga
meningkatkan jumlah jaringan ikat yang disekresikan oleh sel (Khalili dan
Burman, 2014).

Penyebab utama dari mekanisme fibrogenesis adalah sel penyimpan


lemak di sistem retikuloendotelial hepar. Fibrosis hepar berlangsung dalam
dua tahap yaitu tahap pertama ditandai oleh perubahan komposisi matriks
ekstrasel dari kolagen yang tidak membentuk fibril menjadi kolagen yang lebih
20

padat. Pada tahap ini, cedera hepar masih reversibel. Tahap kedua melibatkan
pembentukan ikatan-silang kolagen sub endotel, proliferasi sel mioepitel dan
distorsi arsitektur liver dan regenerasi nodul. Tahap kedua ini bersifat irreversibel.
Perubahan pada keseimbangan kolagen berperan dalam perkembangan cedera
hepar kronik dari bentuk reversibel ke irreversibel yang berpengaruh pada fungsi
hepatosit (Khalili dan Burman, 2014).

Transisi dari penyakit hepar kronis menjadi sirosis melibatkan peradangan,


aktivasi sel stellata hepar disertai fibrogenesis, angiogenesis, dan kerusakan
parenkim lesi disebabkan oleh tersumbatnya pembuluh darah. Proses ini
menyebabkan hepar mengalami perubahan mikrovaskuler, ditandai dengan
remodeling sinusoidal (deposisi matriks ekstraseluler dari sel stellata yang aktif
berproliferasi), pembentukan intra hepatic shunt (karena angiogenesis dan
hilangnya sel parenkim), dan disfungsi endotel hepar yang ditandai dengan
rilisnya vasodilator, yaitu nitric oxide. Pelepasan nitric oxide dihambat oleh
rendahnya aktivitas endothelial nitric oxide synthetase (hasil dari insufisiensi
fosforilasi protein kinase-B, kurangnya kofaktor, meningkatnya radical
scavenging akibat oxidative stress dan peningkatan konsentrasi inhibitor endogen
nitric oxide), bersamaan dengan peningkatan produksi vasokonstriktor (terutama
stimulasi adrenergik dan tromboksan A2, aktivasi renin-angiotensin sistem,
hormon antidiuretik dan endotelin). Peningkatan resistensi aliran darah portal
adalah faktor utama terjadinya hipertensi portal pada sirosis (Tsochatzis dan
Burroughs, 2014).

Vasodilatasi splanknik dengan peningkatan aliran darah ke dalam sistem


vena portal akan memperburuk peningkatan tekanan portal. Vasodilatasi
splanknik adalah respon adaptif terhadap perubahan hemodinamik intrahepatik
pada sirosis dengan mekanisme yang berlawanan dengan peningkatan tonus
pembuluh darah hepar. Pada sirosis tigkat lanjut, vasodilatasi splanknik, sirkulasi
hiperdinamik dan hipertensi portal memiliki peran utama dalam patogenesis
ascites dan hepatorenal syndrome. Vasodilatasi sistemik selanjutnya
21

menyebabkan ventilasi atau perfusi paru, pada kasus yang berat dapat
menyebabkan hepatopulmonary syndrome dan hipoksemia arteri. Hipertensi
portopulmonari ditandai dengan vasokonstriksi paru yang disebabkan oleh
disfungsi endotel paru-paru (Tsochatzis dan Burroughs, 2014).

Pembentukan dan peningkatan ukuran varises karena faktor anatomi,


hipertensi portal dan aliran darah kolateral, faktor angiogenesis sehingga dapat
terjadi perdarahan varises. Pelebaran pembuluh darah mukosa lambung mengarah
pada terjadinya portalhypertensive gastropathy. Selain itu, shunting dari darah
portal ke sirkulasi sistemik melalui portosystemic kolateral adalah penentu utama
terjadinya ensefalopati, penurunan first-pass effect dari obat per oral dan
penurunan fungsi sistem retikuloendotelial. Kapilarisasi sinusoid dan intrahepatic
shunt juga penting karena perubahan ini mengganggu perfusi hepatosit yang
merupakan penyebab utama terjadinya gagal hepar (Tsochatzis dan Burroughs,
2014).

3.1.5 Klasifikasi Sirosis Hepatis


Bacon pada tahun 2010 mengklasifikasikan sirosis hepatis menjadi:

1. Sirosis hepatis kompensata, yang berarti belum adanya gejala klinis yang
nyata
2. Sirosis hepatis dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinik
yang jelas. Sirosis hepar kompensata merupakan kelanjutan dari proses
hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaanya secara
klinis, hanya dapat dibedakan melalui biopsi hepar.

Secara morfologi Sherrlock membagi Sirosis hepar bedasarkan besar kecilnya


nodul, yaitu:

1. Makronoduler (Ireguler, multilobuler)


2. Mikronoduler (reguler, monolobuler)
22

3. Kombinasi antara bentuk makronoduler dan mikronoduler.

Untuk mempermudah pembagian apakah seseorang berada di dalam


stadium sirosis hepatis kompensata ataupun dekompensata, terdapat pembagian
tingkatan sirosis hepatis menjadi 4 stadium. Pembagian ini sesuai dengan
konsensus Baveno IV, dimana klasifikasi sirosis hepatis ini berdasarkan ada
tidaknya varises, asites dan perdarahan varises:
 Stadium 1 : tidak ada varises, tidak ada asites
 Stadium 2 : varises (+), tidak ada asites
 Stadium 3 : asites dengan atau tanpa perdarahan varises
 Stadium 4 : perdarahan varises dengan atau tanpa asites
Stadium 1 dan 2 dimasukkan ke dalam kelompok sirosis kompensata,
sementara stadium 3 dan 4 dimasukkan ke dalam kelompok sirosis hepatis
dekompensata.

3.1.6 Manifestasi klinis


Manifestasi klinis dari disfungsi hepatoseluler yang progresif pada sirosis
mirip dengan hepatitis akut atau kronis dan termasuk gejala dengan tanda
kelelahan, kehilangan semangat, penurunan berat badan, gangguan GI dengan
tanda-tanda mual, muntah, jaundice, hepatomegali dan gejala ekstrahepatik
dengan tanda-tanda eritema palmaris, spider angioma, atrofi otot, parotis dan
pembesaran kelenjar lakrimal, ginekomastia dan atrofi testis pada pria, gangguan
menstruasi pada wanita dan koagulopati (Khalili dan Burman, 2014).

3.1.7 Pemeriksaan Penunjang


Kelainan yang umum pada pasien sirosis yaitu serum bilirubin,
aminotransferase yang abnormal, alkali fosfatase / gammaglutamil transpeptidase
yang tinggi, waktu protrombin yang panjang / rasio INR yang tinggi,
hiponatremia, dan trombositopenia. Berdasarkan Liver Function Tests (LFTs),
Data laboratorium yang dijumpai pada pasien sirosis antara lain:
 Aminotransferase: Aspartat aminotransferase (AST) dan alanin
23

aminotransferase (ALT) biasanya cukup tinggi pada pasien sirosis. AST


lebih sering meningkat daripada ALT. Namun, tidak selalu terjadi
peningkatan pada pasien sirosis (Goldberg dan Chopra, 2015).

 Alkaline fosfatase: Alkaline fosfatase biasanya meningkat pada sirosis,


tetapi kurang dari dua sampai tiga kali dari nilai normal. (Goldberg dan
Chopra, 2015).

 Gammaglutamyl transpeptidase: Gammaglutamyl transpeptidase (GGT)


berkorelasi cukup baik dengan alkali fosfatase pada penyakit hepar dan
bersifat spesifik. GGT biasanya jauh lebih tinggi pada penyakit hepar
kronis yang disebabkan oleh alkohol dibandingkan penyebab lain
(Goldberg dan Chopra, 2015).

 Bilirubin: Pada pasien sirosis terkompensasi kadar bilirubin normal.


Namun, kadar akan meningkat sesuai progresivitas penyakit (Goldberg
dan Chopra, 2015).

 Albumin: Albumin disintesis secara eksklusif di hepar. Kadar albumin


menurun menunjukkan fungsi sintetis dari hepar yang menurun akibat
sirosis. Kadar albumin dapat digunakan untuk mengetahui tingkat
keparahan sirosis. Hipoalbuminemia tidak spesifik untuk penyakit hepar,
karena kondisi lain juga dapat terjadi hipoalbuminemia seperti gagal
jantung, sindrom nefrotik, protein kehilangan enteropati, atau malnutrisi
(Goldberg dan Chopra, 2015).

 Prothrombin time: Sebagian besar protein yang terlibat dalam proses


koagulasi diproduksi di hepar. Waktu protrombin menunjukkan tingkat
disfungsi sintetis di hepar. Prothrombin time yang memanjang berarti
kemampuan hepar untuk mensintesis faktor pembekuan berkurang akibat
sirosis (Goldberg dan Chopra, 2015).

 Tes lain fungsi hati: Kemampuan hati untuk mengangkut anion organik
24

dan memetabolisme obat sehingga terdapat banyak tes untuk menilai


fungsi hati.

 Hiponatremia, umum terjadi pada pasien sirosis. Berbagai faktor dapat


berkontribusi pada terjadinya hiponatremia. Faktor yang paling penting
adalah vasodilatasi sistemik, yang menyebabkan aktivasi vasokonstriktor
endogen termasuk hormon antidiuretik (ADH), ADH menyebabkan retensi
air sehingga terjadi penurunan natrium (Sterns dan Runyon, 2014).

 Trombositopenia terutama disebabkan oleh hipertensi portal dan


splenomegali kongestif. Pembesaran limpa dapat mengakibatkan
penyerapan trombosit hingga 90 persen. Penurunan kadar trombopoietin
juga dapat berkontribusi terjadinya trombositopenia (Goldberg dan
Chopra, 2015).

 Anemia biasanya akut dan terjadi karena perdarahan kronis


gastrointestinal, defisiensi folat, toksisitas langsung karena alkohol,
hipersplenisme, penekanan sumsum tulang (anemia aplastik), anemia
penyakit kronis (inflamasi), dan hemolisis (Goldberg dan Chopra, 2015).

 Leukopenia dan neutropenia karena hipersplenisme dengan marginasi


limpa (Goldberg dan Chopra, 2015).

 Globulin cenderung meningkat pada sirosis karena peralihan antigen


bakteri dalam darah vena porta keluar dari hepar ke jaringan limfoid
menginduksi produksi immunoglobulin (Goldberg dan Chopra, 2015).

Pada pasien yang diduga menderita sirosis, gambaran abdominal (biasanya


USG) diperlukan untuk mengevaluasi parenkim hepar dan untuk mendeteksi
manifestasi ekstrahepatik dari sirosis. Biopsi hepar diperlukan untuk
mengkonfirmasikan diagnosis. Namun, umumnya tidak diperlukan jika data
klinis, laboratorium, dan radiologis memberikan gambaran tentang adanya sirosis.
Serologi noninvasif dan metode radiografi juga untuk mendiagnosis sirosis yang
25

saat ini telah banyak dikembangkan (Goldberg dan Chopra, 2015).

3.1.8 Komplikasi

 Hipertensi portal

Hipertensi portal didefinisikan sebagai gradien tekanan vena porta lebih
besar dari 5 mmHg. Hipertensi portal terjadi karena kenaikan resistensi
vaskuler intrahepatik. Tekanan darah dalam sinusoid meningkat
ditransmisikan kembali ke pembuluh darah portal. Karena vena portal
tidak memiliki katup, tekanan tinggi ini ditransmisikan kembali ke
vaskular lainnya, sehingga terjadi splenomegali, portal-to-systemic
shunting, dan komplikasi sirosis lainnya (Khalili dan Burman, 2014)
 Ascites

Ascites adalah akumulasi cairan dalam rongga peritoneal. Penyebab paling
umum adalah hipertensi portal yang berhubungan dengan sirosis.
Peningkatan resistensi intrahepatik menyebabkan peningkatan tekanan
portal, tetapi juga terjadi vasodilatasi dari sistem arteri splanknikus,
mengakibatkan arus masuk vena porta meningkat. Perubahan
hemodinamik ini menyebabkan retensi natrium oleh aktivasi sistem renin-
angiotensin- aldosteron dan terjadi hiperaldosteronisme. Peningkatan
aldosteron menyebabkan retensi natrium yang berkontribusi terhadap
ascites. Retensi natrium menyebabkan akumulasi cairan dan ekspansi
volume cairan ekstraseluler sehingga terjadi edema perifer dan asites.
Hipoalbuminemia dan tekanan onkotik plasma berkurang sehingga
berkontribusi juga pada hilangnya cairan dari kompartemen vaskular ke
dalam rongga peritoneum. Hipoalbuminemia terjadi akibat penurunan
fungsi sintetis dalam sirosis (Bacon, 2010).
 Spontaneous bacterial peritonitis (SBP)

SBP merupakan infeksi yang paling umum terjadi pada pasien sirosis,
dengan prevalensi sekitar 3,5% dari pasien sirosis kompensata dan 10%
sampai 30% pada pasien sirosis dekompensata. Mortalitas di rumah sakit
26

diperkirakan mencapai 10% sampai 30% (Gustot dan Moreau, 2015a).


Terjadinya SBP diduga karena mekanisme translokasi bakteri yang
melintasi usus ke kelenjar getah bening mesenterika, menyebabkan
bakteremia dan infeksi pada cairan asites. Organisme penyebab yang
paling umum adalah Escherichia coli dan bakteri usus lainnya (Bacon,
2010).
 Hepatorenal syndrome

Hepatorenal syndrome (HRS) adalah bentuk fungsional gagal ginjal tanpa
patologi ginjal yang terjadi pada sekitar 10% pasien dengan sirosis lanjut
atau gagal hepar akut. Ada gangguan yang ditandai dalam sirkulasi arteri
ginjal pada pasien dengan HRS, termasuk peningkatan resistensi
pembuluh darah disertai oleh penurunan resistensi vaskular sistemik
(Bacon, 2010). Insiden HRS pada pasien dekompensasi penyakit hepar
adalah 18% dalam waktu 1 tahun dan hingga 40% dalam 5 tahun.
Gangguan ini umumnya terjadi pada pasien sirosis dan ascites yang
ditandai oleh kenaikan progresif kreatinin serum (> 1,5 mg / dL) dengan
tidak ada perbaikan setelah 48 jam (Khalili dan Burman, 2014).
 Hipoalbuminemia dan edema perifer

Memburuknya fungsi hepatoseluler yang progresif pada sirosis dapat
mengakibatkan penurunan konsentrasi albumin dan protein lainnya yang
disintesis oleh hepar. Konsentrasi protein plasma yang menurun
menyebabkan tekanan onkotik plasma juga menurun sehingga
keseimbangan dari kekuatan hemodinamik terganggu yang mengakibatkan
berkembangnya edema perifer dan ascites (Khalili dan Burman, 2014).
 Ensefalopati hepatik

Ensefalopati didefinisikan sebagai perubahan status mental atau
neuropsikiatrik dan fungsi kognitif yang terjadi karena gagal hati (Bacon,
2010). Perubahan pola tidur dimulai dengan hipersomnia dan pembalikan
siklus tidur-bangun seringkali merupakan tanda awal. Perubahan kognitif
dari kebingungan, apatis dan agitasi, obtundation, dan bahkan koma
27

(Khalili dan Burman, 2014). Pemicu umum ensefalopati adalah timbulnya


perdarahan GI, peningkatan intake protein dan meningkatnya katabolik
akibat infeksi termasuk SBP (Khalili dan Burman, 2014). Salah satu
mekanisme terjadinya ensefalopati hepatik terkait racun dalam usus seperti
ammonia yang berasal dari metabolisme protein atau degradasi urea,
glutamin yang berasal dari degradasi ammonia, atau merkaptan yang
berasal dari degradasi senyawa yang mengandung sulfur dan mangan.
Paparan racun ini dapat menyebabkan pembengkakan astrosit dan
perubahan struktural dalam neuron (Khalili dan Burman, 2014).

 Koagulopati
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap koagulopati pada sirosis yaitu
kehilangan faktor pembekuan. Hepatosit secara fungsional terlibat dalam
pemeliharaan dari kaskade koagulasi normal melalui penyerapan vitamin
K yang diperlukan untuk aktivasi dari beberapa faktor pembekuan (II, VII,
IX, X). Tanda dari keparahan penyakit hepar adalah koagulopati yang
tidak merespon vitamin K parenteral, menunjukkan kekurangan sintesis
faktor pembekuan dan gangguan penyerapan vitamin K karena
malabsorpsi lemak. Akhirnya, kapasitas hepar untuk menghilangkan
aktivasi faktor-faktor pembekuan berkurang (Khalili dan Burman,
2014).

 Splenomegali dan Hipersplenism
Pembesaran limpa merupakan konsekuensi dari hipertensi portal dan
akibatnya terjadi pembesaran organ. Trombositopenia dan anemia
hemolitik terjadi karena destruksi dari sel-sel darah di limpa (Khalili dan
Burman, 2014).
- Varises gastroesofageal dan perdarahan. Aliran darah
melalui hepar secara progresif terhambat, tekanan vena porta hepatik
meningkat sehingga terjadi penurunan ketebalan dinding pembuluh darah
dan pembesaran pembuluh darah vena portal, pada permukaan usus dan
esofagus bagian bawah. Pembesaran pembuluh darah ini disebut varises
gastroesofageal. Varises gastroesofageal dan perdarahan terjadi pada 25-
28

40% pasien dengan sirosis dan merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada pasien. Perdarahan GI dari varises dan sumber-sumber lain
(misalnya ulkus duodenum dan gastritis) pada pasien dengan sirosis sering
diperburuk oleh koagulopati (Khalili dan Burman, 2014).

 Komplikasi paru-paru
Sepertiga pasien dengan sirosis dekompensasi memiliki masalah terkait
dengan oksigenasi yang ditandai dengan sesak napas. Tiga komplikasi
utama paru-paru yaitu hepatopulmonary syndrome, portopulmonary
syndrome, dan hepatic hydrothorax. Selain itu, hipoksemia ringan dapat
disebabkan oleh besarnya asites, dengan elevasi diafragma dan
ventilasi/perfusi mismatch. Hepatopulmonary syndrome terdiri dari triad
gagal hepar yaitu hipoksemia, pelebaran pembuluh darah intrapulmonary
dan shunting. Penyebab vasodilatasi prekapiler dan kapiler paru tidak
diketahui, tetapi nitric oxide, endotelin dan asam arakidonat diperkirakan
terlibat. Sebagai hasil dari ketidakseimbangan ventilasi-perfusi, pasien
sering mengalami platypnea dan dyspnea yang memburuk dalam posisi
tegak. Portopulmonary syndrome mengacu pada hipertensi pulmonal pada
pasien dengan penyakit hepar lanjut dan hipertensi portal. Pasien
mengalami hipoksia, dyspnea saat aktivitas, kelelahan, dan bahkan tanda-
tanda gagal jantung kanan (Khalili dan Burman, 2014).


3.1.10 Tatalaksana
Sirosis hati secara klinis fungsional dibagi atas:

1. Sirosis hati kompensata


2. Sirosis hati dekompensata, disertai dengan tanda-tanda kegagalan
hepatoselular dan hipertensi portal.
Penanganan SH kompensata ditunjukkan pada penyebab hepatitis kronis.
Hal ini ditujukan untuk mengurangi progresifitas penyakit SH agar tidak semakin
lanjut dan menurunkan terjadinya karsinoma hepatoselular. Di Asia Tenggara
29

penyebab yang tersering adalah HBV dan HCV. Untuk HBV kronis bisa
diberikan preparat interferon secara injeksi atau secara oral dengan preparat
analog nukleosida jangka panjang. Preparat nukelosida analog ini juga bisa
diberikan pada SH dekompensata akibat HBV kronis selain penanganan untuk
komplikasinya. Sedang untuk SH akibat HCV kronis diberikan preparat
interferon. Namun pada SH dekompensata pemberian preparat interferon ini tidak
direkomondasikan (Tjokroprawiro, A, et al. 2010)

Pengobatan sirosis hati pada prinsipnya berupa :

1. Simptomatis
2. Supportif, yaitu :
a. Istirahat yang cukup
b. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang; misalnya : cukup
kalori, protein 1gr/kgBB/hari dan vitamin. NB : diet hati III (masih
baik dalam penerimaan protein, lemak, mineral dan vitamin). Diet
rendah garam I (jika asites).
c. Pengobatan berdasarkan etiologi. Misalnya pada sirosis hati akibat
infeksi virus hepatitis C dapat dicoba dengan interferon. Sekarang
telah dikembangkan perubahan strategi terapi bagian pasien
dengan hepatitis C kronik yang belum pernah mendapatkan
pengobatan IFN seperti a) kombinasi IFN dengan ribavirin, b) terapi
induksi IFN, c) terapi dosis IFN tiap hari
a) Terapi kombinasi IFN dan Ribavirin terdiri dari IFN 3 juta
unit 3 x seminggu dan RIB 1000-2000 mg perhari tergantung
berat badan (1000mg untuk berat badan kurang dari 75kg)
yang diberikan untuk jangka waktu 24-48 minggu.
b) Terapi induksi Interferon yaitu interferon diberikan dengan dosis
yang lebih tinggi dari 3 juta unit setiap hari untuk 2-4
30

minggu yang dilanjutkan dengan 3 juta unit 3 x seminggu


selama 48 minggu dengan atau tanpa kombinasi dengan RIB.
c) Terapi dosis interferon setiap hari.
Dasar pemberian IFN dengan dosis 3 juta atau 5 juta unit
tiap hari sampai HCV-RNA negatif di serum dan jaringan hati.
3. Pengobatan yang spesifik dari sirosis hati akan diberikan jika telah
terjadi komplikasi seperti.
1) Asites
2) Spontaneous bacterial peritonitis
3) Hepatorenal syndrome
4) Perdarahan karena pecahnya varises esofagus
5) Ensefalopati Hepatikum
BAB IV

ANALISIS KASUS

Dari identitas didapatkan Ny. Musdalinah, seorang perempuan berusia 36


tahun dengan pekerjaan sebagai IRT, datang berobat dengan keluhan utama yaitu
BAB hitam dan muntah darah sejak 3 hari yang lalu. Perempuan usia 36 tahun
datang dengan keluhan BAB darah dan muntah darah dapat dipikirkan adanya
akibat dari penggunaan obat-obatan steroid jangka panjang. Namun hal ini dapat
disingkirkan karena dari hasil anamnesis tidak ditemukan adanya keluhan yang
mengarah kepada suatu penyakit autoimun. Berdasarkan data epidemiologi,
penderita sirosis hepatis terbanyak adalah golongan umur 30 – 59 tahun dengan
rasio laki-laki banding wanita adalah 1,6 : 1 (Nurdjanah, 2014). Dari kasus, usia
36 tahun masuk kedalam golongan terbanyak penderita sirossi hepatis.

Riwayat perjalanan penyakit, Sejak  6 bulan yang lalu, pasien mengeluh


kuning pada mata dan seluruh tubuh. Keluhan gatal diseluruh tubuh tidak ada,
BAK seperti warna teh tua tidak ada, BAB dempul tidak ada. Keluhan ini diikuti
dengan perut membesar. Perut juga terasa kencang dan senap. Keluhan disertai
demam (+), demam naik perlahan dan menetap. Keluhan demam hilang timbul (-
), mual (+), muntah (-), nyeri ulu hati (-) sembab pada kaki (-) mata bengkak (+)
nafsu makan menurun (+). Pasien kemudian berobat ke RS Rabain dan dirawat
hingga keadaan membaik.

Riwayat penyakit 6 bulan yang lalu dengan keluhan kuning pada mata dan
seluruh tubuh dapat dipikirkan apakah ini disebabkan dari pre hepatic, intra
hepatic, dan post hepatic. Perbedaan penyebab tersebut dapat dibedakan
berdasarkan keluhan dan klinis pada pasien. Pada pasien ini tidak temukan adanya
keluhan badan lemas, sempoyongan, pandangan berkunang-kunang, lebam pada
kulit, dan titik-titik perdarahan yang merupakan keluhan yang sering ditemukan
pada kasus anemia hemolitik. Keluhan kulit berwarna kuning hingga kehijauan

32
tidak ada, gatal diseluruh tubuh tidak ada, BAB dempul juga tidak ada hal ini
dapat menyingkirkan kemungkinan kuning yang disebabkan oleh obstruksi post
hepatik. Keluhan kuning yang disertai demam dapat disebabkan oleh adanya
infeksi (hepatitis), koledokolitiasis dengan kolesistitis, kolangitis, dan malaria.
Namun kemungkinan malaria dapat kita singkirkan karena tidak ditemukan
adanya trias malaria dan riwayat berpergian keluar daerah endemis malaria.

Sejak 2 minggu SMRS pasien mengeluh perut dirasakan membesar, terasa


kencang dan penuh (+), nyeri bila ditekan (+), mual (+) muntah (-), terasa senap (-
), bengkak pada kaki (-). Pasien mengeluh kuning pada mata dan seluruh tubuh.
Keluhan gatal diseluruh tubuh (-), BAK seperti warna teh tua (+), BAB dempul (-
). Badan lemas (+), pandangan berkunang kunang (-), badan sempoyongan (-),
nafsu makan menurun (+), demam (-). Pasien berobat ke klinik dokter dan diberi
obat, keluhan berkurang.

Sejak  3 hari SMRS, pasien mengeluh BAB hitam, frekuensi 2-3x/hari,


konsistensi cair seperti aspal. Pasien juga mengeluh muntah darah dengan
frekuensi 3x/hari sebanyak kurang lebih seperempat gelas belimbing. Pasien juga
mengeluh perut dirasakan semakin membesar, teraba kencang dan penuh (+),
perut terasa kembung (+), perut terasa lebih cepat penuh (+), nyeri pada seluruh
perut (+), sensasi seperti terbakar di ulu hari (-), mata dan seluruh tubuh kuning
(+), bengkak pada kaki (+), mual (+), muntah (-) nafsu makan menurun (+).
Demam (+), sesak (-), batuk (-) nyeri dada (-). badan lemas (+), pandangan
berkunang-kunang (+), badan sempoyongan (+), mimisan (-), gusi berdarah (-),
lebam pada kulit (-), titik titik perdarahan di kulit (-), BAK berwarna seperti teh
tua (+). Kemudian pasien berobat ke RS Rabain.

Keluhan BAB hitam dan muntah darah disertai perut yang semakin
membesar dan bengkak pada kaki. Riwayat sakit dahulu ditemukan sakit kuning
(+) 6 bulan yang lalu dan sakit kuning disertai demam pada 1 tahun yang lalu.
Keluhan BAB hitam dan muntah darah pada pasien ini diakibatkan oleh pecahnya
varises gastroesofagus. Varises gastroesofagus adalah pelebaran pembuluh darah

33
di gaster atau esofagus yang semakin besar. Pecahnya varises tersebut akan
menimbulkan perdarahan. Varises gastroesofagus merupakan akibat langsung
hipertensi porta karena peningkatan tahanan aliran porta dan peningkatan aliran
darah yang masuk ke vena porta. Hal tersebut sejalan dengan hukum Ohm yang
menyebutkan bahwa tekanan vena porta adalah hasil dari tahanan vaskular (R)
dan aliran darah (Q) pada bagian porta (P = Q x R).

Peningkatan tahanan (R) terjadi melalui dua cara yaitu mekanik dan
dinamik. Tahanan mekanik disebabkan oleh gangguan struktur vaskular hati
akibat fibrosis, nodul regeneratif dan deposisi kolagen di ruang disse, sedangkan
tahanan dinamik dikarenakan peningkatan tonus vaskular hati yang dimodulasi
oleh vasokonstriksi endogen seperti norepinefrin, endotelin I, angiotensi II,
leukotrien, dan tromboksan A2. Peningkatan vasokonstriktor endogen diakibatkan
oleh disfungsi endotel serta penurunan bioavaibilitas nitrit oksida.

Penyebab peningkatan aliran darah (Q) adalah peningkatan curah jantung


dan penurunan tahanan vaskular sistemik. Hal tersebut mengakibatkan sirkulasi
meningkat dengan vasodilatasi arteri sistemik dan splanknik, yang semakin
memperburuk hipertensi porta. Selain itu, sebagai usaha mendekompresi sistem
vena porta, faktor-faktor angiogenik akan membentuk pembuluh darah kolateral
sehingga terjadi hubungan antara sirkulasi sistemik dengan porta. Hal tersebut
justru menambah aliran darah yang akan memperburuk hipertensi porta.

Peningkatan tekanan porta (hipertensi porta) menyebabkan dilatasi


pembuluh darah sistem portal hepatik yang kemudian menyebabkan varises.
Varises terjadi jika terdapat peningkatan perbedaan tekanan antara vena porta dan
vena hepatika lebih dari 10 mmHg. Varises akan semakin berkembang akibat
peningkatan aliran darah ke tempat varises dan terjadi ruptur. (Widjaja and
Karjadi, 2011)

34
Dari hasil pemeriksaan fisik, didapatkan hipotensi (90/60) mmHg,
pemeriksaan fisik keadaan spesifik abdomen, didapatkan hasil inspeksi yaitu perut
cembung, pada palpasi terdapat nyeri tekan pada seluruh abdomen dan pada
pemeriksaan perkusi diperoleh undulasi (+) yang menandakan adanya
penumpukan cairan (asites) masif pada rongga peritoneum, serta edema pretibia
(+).

Keluhan perut membesar seperti ini disertai bengkak pada kedua tungkai
dapat diakibatkan oleh gangguan tekanan onkotik ataupun hidrostatik pada
kelainan hati, ginjal ataupun jantung. Namun, umumnya kelainan pada jantung
akan menyebabkan terjadinya manifestasi pitting edema/edema pretibial terlebih
dahulu, sedangkan pada kelainan ginjal, umumnya manifestasi utamanya adalah
edema anasarka yang dimulai dari edema pada kelopak mata. Untuk kelainan pada
hepar, umumnya manifestasi yang timbul terlebih dahulu adalah ascites kemudian
diikuti dengan pitting edema/edema pretibial. Dari riwayat perjalanan penyakitnya
maka, kemungkinan asites dan edema pretibia disebabkan oleh gangguan hepar.

Pada pasien juga ditemukan adanya BAK berwarna teh tua, hal ini
menandakan bahwa warna gelap pada BAK yang dialami pasien mengarah pada
penyakit hepar atau bilier. Namun, pada gangguan obstruksi biler umumnya
didapatkan gambaran klinis berupa BAB dempul. Oleh karena itu, pada kasus
BAK kuning tua ini cendrung mengarah ke penyakit hati. BAK berwarna kuning
tua berkaitan dengan peningkatan kadar bilirubin direct, hal ini disebabkan karena
bilirubin direct bersifat larut dalam air. Pada keadaan normal, bilirubin direct akan
diubah oleh flora normal usus menjadi urobilinogen yang sebagian besar akan
diekskresikan melalui feses dan sebagian kecilnya akan kembali masuk ke
sirkulasi darah dan diekskresi oleh ginjal ke dalam urin, namun jika kadar
bilirubin direct tinggi maka bilirubin direct dapat masuk ke dalam sirkulasi dan
diekskresikan dalam urin sehingga urin berwarna lebih pekat sepeti teh tua.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan beberapa gambaran/tanda khas bagi


pasien dengan kelainan hati yang bersifat kronis (sirosis hepatis). Pada

35
pemeriksaan abdomen, pada inspeksi tampak bentuk abdomen cembung (+). Pada
palpasi abdomen teraba kencang, hepar dan lien sulit dinilai. Pada perkusi
abdomen didapatkan undulasi (+). Dalam pemeriksaan abdomen didapatkan
bahwa terdapat akumulasi cairan masif pada rongga peritoneum sehingga hepar-
lien sulit diraba. Pada pemeriksaan ekstremitas, didapatkan edema pretibial. Pada
kasus sirosis hepatis, terbentuknya jaringan fibrosis pada hepar menyebabkan
penyempitan pada sinusoid sehingga terjadi bendungan pada aliran darah dari
vena hepatica yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan vena porta.
Peningkatan tekanan vena porta hepatica akan menyebabkan terbentuknya
kolateralisasi vena sehingga terbentuk venektasi pada abdomen. Namun pada
kasus ini tidak terdapat venektasi pada abdomen hal ini karena venektasi dapat
terlihat bila peningkatan tekanan vena porta > 20 mmHg, pada kasus ini
kemungkinan belum sampai peningkatan hingga > 20 mmHg. Selain itu,
peningkatan tekanan vena porta menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik
sehingga terjadi transudasi cairan dari intravascular ke jaringan rongga
peritoneum, hal ini menyebabkan terjadinya asites yang menimbulkan manifestasi
berupa perut cembung dan undulasi (+) pada pemeriksaan fisik abdomen.
Mekanisme asites pada kasus dapat juga disebabkan oleh karena hipoalbumin.
Hasil laboratorium menunjukkan kadar albumin yang rendah. Albumin berfungsi
untuk mempertahankan tekanan onkotik, ketika kadar albumin menurun maka
terjadi transudasi cairan ke jaringan rongga peritoneum sehingga terjadi asites.

Oleh karena itu, pada pasien ini didapatkan ditegakkan diagnosis


utamanya adalah Sirosis Hepatis sehingga pasien mendapatkan terapi berupa
Cefotaxim, omeprazol, letonal, propranolol, dexanta, lamivudine dan furosemide.
Terapi pada sirosis hepatis dengan komplikasi adalah mengurangi cairan yang
terakumulasi dengan diet rendah garam dan pemberian diuretik. Diuretik ini
bekerja dengan menghambat reabsorbsi natrium, sehingga diharapkan natrium
dapat di ekskresikan melalui ginjal dan keluar dengan menarik cairan yang
berlebih didalam tubuh. Diuretik yang diberikan diawali dengan spironolakton
dan bila respons tidak adekuat dapat dikombinasi dengan furosemid. Pemberian

36
spironolakton ini juga memiliki efek anti aldosteron dan cenderung
mempertahankan kalium sehingga mencegah terjadinya hipokalemi.

Terapi antiviral diindikasikan pada semua pasien sirosis hati


dekompensata jika DNA VHB terdeteksi, terlepas dari kadar ALT atau status
HBeAg. Terapi antiviral pilihan adalah nucleosida/tida analog, seperti lamivudine,
telbivudine, adefovir dipifoxil, tenofovir, entecavir. Lama pengobatan biasanya
seumur hidup, dan penghentian terapi dipertimbangkan apabila terdapat risiko
reaktivasi virus, perburukan dekompensasi hati, dan regresi histologis.

Terapi penghambat β-adrenergik nonselektif mempengaruhi laju aliran


porta dengan cara penurunan curah jantung dan vasokonstriktor splanknik.
Penghambat β nonselektif seperti propanolol atau nadolol lebih baik daripada
penghambat beta selektif. Obat tersebut diberikan secara oral dan digunakan
untuk tata laksana jangka panjang hipertensi porta, namun terdapat kontraindikasi
untuk penggunaan obat tersebut yaitu: asma, bradikardi, blok atrioventrikular,
hipotensi dan hiperglikemia yang tidak terkontrol. (Widjaja and Karjadi, 2011)

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Alwi, Idrus dkk. 2015. Sirosis Hepatis. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu


Penyakit Dalam. Panduan Praktik Klinis. Jakarta : Internal Publishing
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam h.268
2. Amico, G.D., & Malizia, G. 2012. Cirrhosis of the liver. In: Hawkey, C.J.,
Bosch, J., Richter, J., Garcia-Tsao, G., & Chan, F. Textbook of Clinical
Gastroenterology and Hepatology. USA: Wiley Blackwell Publishing, Inc,
719-727.
3. Bacon, B.R. 2010. Cirrhosis and its complication. In: Longo, D.L., & Fauci,
A.S. Harrison’s Gastroenterology and Hepatology. USA: The McGraw-
Hill Companies, Inc, 419-433.
4. Dancygier, H. 2010. Clinical Hepatology Principles and Practice of
Hepatobiliary Diseases. USA: Springer International Publishing, 949- 965
5. Gibson, J. 2002. Fisiologi dan Anatomi Hepar. Diterjemahkan oleh
Sugiarto, B. Jakarta: EGC, 207-216.
6. Goldberg, E., & Chopra, S. 2015. Cirrhosis in adults: Etiologies, clinical
manifestations, and diagnosis. Gazy University, 1-25.
7. Gustot, T., & Moreau, R. 2015a. Bacterial infection in patients with
cirrhosis. In: Keaveny, A.P., Cardenas A. Complication of Cirrhosis.
Springer International Publishing, 229-241.
8. Hoyert, D. L., & Xu, J. 2012. Deaths: preliminary data for 2011. National
Vital Statistics Reports : From the Centers for Disease Control and
Prevention, National Center for Health Statistics, National Vital Statistics
System, 61(6), 1–51.
9. Joshi, D., Keane, G., & Brind, A. 2015. Hepatology at Glance. Wiley
Blackwell, 2-4

38
10. Khalili, M., & Burman, B. 2014. Liver disease. In: Hammer, G.D.,
McPhee, S.J. Pathophysiology of Disease: An Introduction To Clinical
Medicine, Ed. 7th, USA: The McGraw-Hill Companies, Inc, 385-425.
11. Kusumobroto, H.O., 2012. Sirosis hati. In: Sulaiman, A.H., Akbar, H.N.,
Lesmana, L.A., & Noer, H.M.S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Jakarta:
Sagung Seto, 335-364.
12. Liddle, C., & Stedman, C.A.M. 2007. Hepatic metabolism of drug. In:
Rodes, J., Benhamou, J., Blei, A.T., Reichen, J., & Rizzetto, M. Textbook
of Hepatology From Basic Science to Clinical Practice, 3rd Ed. USA:
Blackwell Publishing Ltd, 241-248.
13. McCormick, P.A. 2011. Hepatic cirrhosis. In: Dooley, J.S., Lok, A.S.F.,
Burrhough, A.K., & Heathcote, E.J. Sherlock’s Diseases of the Liver and
Biliary System, 12th Ed. USA: Wiley Blackwill Publishing, Inc, 103-120.
14. Nurdjanah, S. 2009. Sirosis hati. In: Sudoyo, A.W., Setyohadi, B., Alwi,
I., Simadibrata, Marcellus, K., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi kelima, Jilid I. Jakarta: Interna Publishing, 688-673.
15. Sofwanhadi, R. 2012. Anatomi hati. In: Sulaiman, A.H., Akbar, H.N.,
Lesmana, L.A., & Noer, H.M.S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Jakarta:
Sagung Seto, 1-3.
16. Tjokroprawiro, A, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Fakultas
Kedokteran UNAIR. Airlangga University Press: 2010.
17. Tsochatzis, E. a., Bosch, J., & Burroughs, A. K. (2014). Liver cirrhosis.
The Lancet, 383(14), 1749–1761.
18. WHO, 2013. Global health estimates summary tables: Projection of deaths
by cause, age and sex.
http://www.who.int/healthinfo/global_burden_disease/en/
19. Widjaja, F. and Karjadi, T. (2011) ‘Prevention of Recurrent Bleeding in
Liver Cirrhosis Patient’, Madjalah Kedokteran Indonesia, 61, pp. 417–
424.

39
40

Anda mungkin juga menyukai