Oleh:
Preseptor:
PADANG
2019
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas berkat,
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas Referat dengan judul “Aspek
Neurobiologi pada Bunuh Diri”. Referat ini disusun sebagai salah satu tugas dalam
kepaniteraan klinik Ilmu Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Andalas RSUP Dr. M.
Djamil Padang.
Ucapan terima kasih sebesar-besarnya tak lupa penulis sampaikan kepada Dr. dr.
Amel Yanis, Sp.KJ(K) selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan
dalam penyusunan Referat ini. Penulis menyadari bahwa Referat ini masih memiliki banyak
kekurangan, maka dari itu dengan segala kerendahan hati penulis menerima semua saran dan
kritik yang membangun guna penyempurnaan tugas referat ini. Akhir kata, semoga Referat
ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Penulis
Halaman
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang................................................................................................................ 1
1.2 Batasan Masalah ............................................................................................................. 2
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................................ 2
1.4 Metodologi Penulisan ..................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. 3
2.1 Bunuh Diri ...................................................................................................................... 3
2.1.1 Epidemiologi ............................................................................................................. 3
2.1.2 Etiologi dan Faktor Risiko ........................................................................................ 4
2.1.3 Tahap Upaya Bunuh Diri ........................................................................................... 8
2.1.4 Gambaran Klinis dan Diagnosis Bunuh Diri ........................................................... 10
2.1.5 Tatalaksana Bunuh Diri ........................................................................................... 12
2.2 Aspek Neurobiologi pada Bunuh Diri ........................................................................ 16
2.2.1 Sistem Serotonergik ................................................................................................. 17
2.2.2 Sistem Dopaminergik .............................................................................................. 18
2.2.3 Sistem Noradrenergik .............................................................................................. 19
2.2.5 Hipotalamic Pituitary Adrenal Axis (HPA Axis) .................................................... 20
2.2.6 Metabolisme Lipid ................................................................................................... 21
2.2.7 Brain Derived Neurotropic Factor ........................................................................... 21
2.2.8 Neuroimmune System (Sitokin) .............................................................................. 22
BAB III KESIMPULAN........................................................................................................ 24
PENDAHULUAN
Badan kesehatan dunia, WHO telah mendeklarasikan bahwa upaya mengurangi angka
kematian akibat bunuh diri merupakan hal yang penting dan perlu mendapat perhatian secara
global. Hal tersebut bertolak belakang dengan tradisi yang tabu pada beberapa masyarakat
yang telah lama menerapkan tradisi perilaku bunuh diri. Latar belakang budaya, nilai moral
serta pandangan yang pesimistik terhadap terapi dan pencegahan bunuh diri merupakan
faktor-faktor yang dapat menghambat pasien dan klinisi dalam mengidentifikasi pikiran atau
ide bunuh diri. Sekitar 45% pelaku bunuh diri ternyata pernah berkonsultasi dengan dokter
layanan primer dalam 1 bulan sebelum kematiannya, namun sangat jarang yang tercatat
memiliki ide bunuh diri pada saat konsultasi. 3
Berdasarkan paparan di atas pada referat ini akan dibahas epidemiolgi, faktor risiko,
diagnosis hingga penatalaksanaan dan pencegahan bunuh diri secara umum serta aspek
neurobiologi sebagai faktor yang mempengaruhi bunuh diri secara khusus.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Epidemiologi
Belum ada data yang akurat dan presisi mengenai angka kejadian bunuh diri di dunia.
Hanya 35% dari seluruh anggota WHO yang telah melaporkan data 5 tahun terakhir. Secara
global, diperkirakan terdapat 11,4 kejadian bunuh diri per 100.000 orang setiap tahunnya
dengan total diperkirakan 804.000 kematian setiap tahunnya. Kejadian bunuh diri bervariasi
antar daerah dalam satu negara juga antar negara, dengan perbedaan hingga satu banding
sepuluh antar daerah. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan latar belakang
budaya. Pengaruh budaya lebih besar dibanding pengaruh geografik, hal ini dibuktikan
dengan kejadian bunuh diri pada imigran lebih berhubungan dengan darimana negara asalnya
dibanding negara mana yang ditempatinya.5
Kejadian non-fatal suicide lebih tinggi dibanding bunuh diri. Berdasarkan data yang
dipublikasikan oleh WHO pada tahun 2014 menunjukkan bahwa angka kematian akibat
bunuh diri paling tinggi di Korea Selatan dan Jepang, yaitu 30 kematian tiap 100.000 orang
dan 20 kematian tiap 100.000 orang. Ide untuk bunuh diri paling tinggi di Amerika Serikat
dan Selandia Baru dengan prevalensi 15%. Insidensi ide bunuh diri dan perilaku bunuh diri
paling tinggi pada remaja dan dewasa muda dengan insidensi 12,1-33% untuk ide bunuh diri
dan 4,1-9,3% untuk perilaku bunuh diri. Jenis kelamin juga mempengaruhi angka kejadian
perilaku bunuh diri. Pada perempuan, ide bunuh diri lebih tinggi dibanding laki-laki,
sementara kematian akibat bunuh diri secara umum lebih tinggi pada laki-laki dibanding
perempuan dengan perbandingan 15:8 per 100.000 orang.5
a. Faktor Geografis
b. Faktor Biologis
Studi mengenai faktor risiko herediter bunuh diri seperti keluarga, kembar, dan
adopsi. Sebagian besar riwayat bunuh diri di dalam keluarga dapat dijelaskan dengan
adanya temuan risiko gangguan mental. Studi lainnya juga menunjukkan bagaimana
transmisi bunuh diri di dalam keluarga walaupun telah dilakukan kontrol terhadap
gangguan mood dan gangguan psikotik. Hingga saat ini para peneliti belum menemukan
lokus genetik untuk bunuh diri berdasarkan studi genetik molekuler yang telah dilakukan.
Studi faktor biologis yang telah ada menunjukkan bahwa bunuh diri dapat dipengaruhi
oleh interaksi lingkungan dan genetik (gene-environment). 6
Faktor biologi yang paling berhubungan dengan bunuh diri adalah gangguan
dalam fungsi neurotransmitter inhibitor; serotonin. Orang yang meninggal akibat bunuh
diri memiliki kadar metabolit serotonin yang lebih rendah di dalam cairan serebrospinal,
kadar serotonin receptor binding yang lebih tinggi di dalam trombosit, jumlah transporter
serotonin presinaps yang lebih sedikit dan lebih banyak reseptor serotonin postsinaps
pada beberapa area tertentu di otak, seperti pada korteks prefrontal. Temuan-temuan
tersebut menunjukkan rendahnya kemampuan individu tersebut dalam menginhibisi
c. Faktor Psikiatri
Pengetahuan mengenai mengapa individu bunuh diri telah diperoleh dari penelitian
otopsi psikologis korban bunuh diri pada populasi umum. Sebagai contoh, penelitian di
St Louis melaporkan 134 kasus bunuh diri, 98 persen diantaranya dengan penyakit klinis
(94 persen dengan gangguan psikiatri), dan 68 persen menderita satu atau dua gangguan
psikiatri, 45 persen gangguan mood dan 23 persen alkoholisme (penyalahgunaan alkohol
atau ketergantungan alkohol). Terdapat perbedaan bermakna antara korban bunuh diri
usia muda dengan usia tua. Penelitian di San Diego dan Rochester menunjukkan bahwa
gangguan penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian antisosial, stressor penyakit
fisik ditemukan lebih sering pada korban bunuh diri usia 30 tahun ke atas. Faktor
predisposisi yang berhubungan dengan bunuh diri pada usia dibawah 30 tahun yaitu,
pengangguran, penolakan, dan masalah hukum.7
Gangguan Depresi adalah diagnosis kejiwaan yang paling umum terkait dengan
bunuh diri, dan dengan demikian depresi adalah salah satu faktor risiko terpentinguntuk
bunuh diri. Misalnya, dalam satu penelitian populasi umum, 45 persen bunuh dirikorban
didiagnosis memiliki gangguan depresi primer, seperti halnya 30persen dalam studi
kedua dan 64 persen dalam studi ketiga. Laporan studi tindak lanjutbahwa sekitar satu
dari enam pasien depresi (15 persen) meninggal karena bunuh diri,meskipun banyak dari
studi ini dilakukan sebelum profilaksis lithiumtersedia.Karakteristik pasien dengan
gangguan depresi mayor yang melakukan bunuh diridiperiksa oleh Pusat Penelitian
Bunuh Diri Finlandia. Laki-laki terlalu terwakilikarena 45 dari 71 korban bunuh diri
yang tertekan adalah laki-laki (63 persen) dan 26 orangperempuan (37 persen). Dengan
demikian, jenis kelamin laki-laki merupakan faktor risiko untuk bunuh diri di kalangan
yang tertekanmata pelajaran. Usia rata-rata adalah 50 tahun. Mayoritas (85 persen) rumit
kasus depresi dengan diagnosa komorbiditas, dan komorbiditas bervariasi berdasarkan
jenis kelamin dan usia.7
Risiko bunuh diri tinggi di antara pasien skizofrenia, hingga 10% meninggal karena
bunuh diri. Kebanyakan orang dengan skizofrenia, bunuh diri pada beberapa tahun
pertama penyakit mereka. Dengan demikian, bunuh diri pada skizofrenia cenderung
relatif lebih muda dan sekitar 75 persen adalah pria yang belum menikah; sekitar 50
d. Faktor Sosiologi
Emile Durkheim adalah orang pertama yang meneliti bagaimana sosial dan budaya
Mempengaruhi dampak pada risiko bunuh diri. Dia menemukan tingkat bunuh diri di
Eropaberbeda dalam kaitannya dengan berbagai faktor demografi dan sosial, dan
menyimpulkan bahwa “tingkat bunuh diri berbanding terbalik dengan integrasi
kelompok sosial di mana individu membentuk bagian. ”Egoistic Suicide” ditentukan oleh
kurangnya ikatan keluarga yang harmonis atau interaksi sosial. “Anomic Suicide” terjadi
ketikahubungan antara individu dan masyarakat terputus oleh sosial atau
ekonomikesulitan. Sebagai contoh, tingkat bunuh diri meningkat selama Depresi berat
Menurut teori 3 tahap, langkah pertama menuju ide dimulai dengan rasa
nyeri. Nyeri yang dirasakan adalah nyeri psikologis atau emosional, namun tidak
selalu terjadi. Jika pengalaman hidup seseorang ditandai dengan nyeri, individu ini
pada dasarnya dihukum untuk hidup, yang dapat menurunkan keinginan untuk
hidup.12 Sumber yang berbeda dari rasa sakit dalam kehidupan sehari-hari dapat
menyebabkan keinginan untuk hidup menurun. Namun, rasa sakit saja tidak akan
menyebabkan keinginan bunuh diri. Jika seseorang yang sakit telah berharap
bahwa kondisinya dapat membaik dan rasa sakit dapat dikurangi, individu akan
berusaha untuk mencapai masa depan dengan rasa sakit yang akan berkurang
daripada mempertimbangkan bunuh diri. Untuk alasan ini, putus asa juga
Menurut teori 3 tahap, tahap kedua terhadap perilaku bunuh diri yang
berpotensi mematikan terjadi ketika rasa sakit melebihi keterhubungan..
Keterhubungan dapat berarti koneksi ke orang lain serta minat, peran, proyek, atau
rasa tujuan atau makna yang membuat satu diinvestasikan dalam hidup. Teori 3
tahap menetapkan bahwa seseorang yang mengalami rasa sakit dan putus asa dan
berpikir untuk bunuh diri, maka hanya akan dikatakan memiliki ide bunuh diri
moderate (misalnya, “Kadang-kadang saya pikir saya mungkin lebih baik mati”)
jika keterhubungan tetap lebih besar dari rasa sakit. Namun, ide bunuh diri
menjadi kuat (misalnya, “Saya akan bunuh diri jika aku punya kesempatan”) jika
sakit menguasai rasa keterhubungan. 8
Kebanyakan individu dengan ide bunuh diri tidak membuat usaha Bunuh Diri.
Oleh karena itu, tahap akhir dari teori 3 tahap membahas kondisi di mana ide
bunuh diriyang kuat mengarah ke usaha bunuh diri. Penentu utama untuk tahap 3
ini adalah apakah individu memiliki kapasitas untuk melakukan upaya bunun diri.
Joiner menunjukkan bahwa rasa takut akan kematian adalah naluri yang kuat yang
membuatnya sangat sulit untuk mencoba bunuh diri, bahkan jika mengalami
keinginan bunuh diri yang kuat. Dengan demikian, individu hanya dapat mencoba
bunuh diri jika mereka telah mengembangkan kapasitas untuk mengatasi
hambatan ini.8
a. Laki-laki
b. Usia semakin tua
c. Isolasi sosial atau hidup seorang diri
d. Riwayat bunuh diri atau percobaan bunuh diri dalam keluarga
e. Riwayat menderita sakit atau nyeri kronik
f. Baru menjalani operasi
g. Tidak mempunyai pekerjaan
h. Sudah menyelesaikan segala urusan duniawinya
i. Akan mengalami ulang tahun (anniversary) suatu kehilangan
Gangguan jiwa yang sering berkaitan dengan bunuh diri adalah gangguan mood,
ketergantungan alkohol, skizofrenia dalam jumlah yang relatif kecil. Ada beberapa kasus
yang melakukan tindakan menyakiti diri sendiri dengan cara yang jelas jelas tidak mematikan.
Motifnya bervariasi antara lain manipulasi yang disengaja, atau kemarahan yang tidak
disadari terhadap orang orang yang bermakna bagi dirinya. Secara diagnostik orang orang
tersebut mungkin memenuhi kriteria gangguan kepribadian antisosial atau ambang, atau
perilaku itu berkaitan dengan suatu ide atau perilaku yang aneh pada skizofrenia. 9
Ketika mengevaluasi pasien yang baru melakukan percobaan bunuh diri, buatlah
penilaian apakah hal itu direncanakan atau dilakukan secara impulsif. Selain itu tentukan
tingkatan letalitasnya, kemungkinan pasien dipergoki ketika sedang melakukan tindakan
itu (mereka melakukannya sembunyi-sembunyi) atau memperingatkan orang terlebih
dahulu, reaksi pasien ketika diselamatkan (lega atau kecewa), atau apakah faktor faktor
yang mendorong tindakan itu sudah berubah.7
Perlu atau tidak merawat pasien dengan gagasan bunuh diri di rumah sakit
merupakan suatu keputusan yang paling penting untuk dibuat. Tidak semua pasien
dengan gagasan bunuh diri perlu perawatan di rumah sakit, beberapa dari mereka
dapat di terapi dengan rawat jalan. Tetapi tidak adanya sistem dukungan sosial yang
kuat, riwayat perilaku impulsif, dan rencana tindakan bunuh diri adalah indikasi
perawatan. Untuk memutuskan apakah terapi rawat jalan dapat dilakukan, klinisi
harus menggunakan pendekatan langsung. Mereka harus meminta pasien yang
dianggap berpotensi bunuh diri untuk menghubungi saat mereka merasa tidak pasti
mengenai kemampuan untuk mengendalikan impuls bunuh diri. Pasien yang dapat
membuat perjanjian seperti ini dengan dokter yang memiliki hubungan dengan
mereka menguatkan kembali keyakinan bahwa mereka memiliki kekuatan yang cukup
untuk mengendalikan impuls tersebut dan untuk mencari pertolongan. 7
Sebagai balasan terhadap komitmen pasien, klinisi harus siap 24 jam bagi
pasien. Jika pasien yang dianggap secara serius ingin bunuh diri tidak dapat membuat
komitmen tersebut, perawatan rumah sakit darurat segera diindikasikan; pasien dan
juga keluarga pasien harus diberi saran. Meskipun demikian, jika pasien akan diterapi
secara rawat jalan, terapis harus mencatat nomor telepon rumah dan kantor pasien
untuk keadaan gawat darurat; kadang-kadang, pasien menutup telepon tiba-tiba saat
telepon di malam hari atau hanya memberikan nama pada layanan penjawab telepon.
Jika pasien menolak perawatan di rumah sakit, keluarga harus bertanggungjawab
untuk berada bersama pasien selama 24 jam dalam sehari.7
Banyak psikiater yakin bahwa pasien yang pernah mencoba bunuh diri, tanpa
memandang letalitasnya, harus dirawat. Meskipun sebagian besar pasien ini secara
voluntar masuk rumah sakit, bahaya pada diri sendiri merupakan salah satu indikasi
yang jelas yang saat ini diterima di semua negara bagian untuk perawatan involuntar.
Di rumah sakit, pasien dapat menerima obat antidepresan atau antipsikotik sesuai
indikasi; terapi individu, terapi kelompok, dan terapi keluarga tersedia; dan pasien
menerima dukungan sosial rumah sakit serta rasa aman. Cara terapeutik lain
bergantung pada diagnosis yang mendasari. Contohnya, jika ketergantungan alkohol
Meskipun pasien yang digolongkan berpotensi bunuh diri akut dapat memiliki
prognosis yang baik, pasien dengan potensi bunuh diri kronis sulit diterapi, dan
mereka melelahkan orang yang merawat mereka. Pengamatan konstan oleh perawatan
khusus, pengasingan, dan pengikatan tidak dapat mencegah bunuh diri saat pasien
yakin melakukannya. Terapi elektrokonvulsi mungkin pelu untuk beberapa pasien
depresi berat, yang dapat memerlukan beberapa kali sesi terapi. Cara berguna untuk
terapi pasien depresi yang dirawat inap dengan kecendrungan bunuh diri mencakup
mencari barang-barang miliknya yang dapat digunakan untuk bunuh diri saat masuk
ke dalam bangsal dan mengulang pencarian saat eksaserbasi gagasan bunuh diri.
Idealnya, ini harus diterapi di bangsal terkunci yang jendelanya tahan pecah, dan
ruang pasien harus ditempatkan di dekat tempat perawat untuk memaksimalkan
observasi oleh perawat. Tim terapi harus mengkaji seberapa banyak harus mengekang
pasien dan apakan akan melakukan pemeriksaan regular atau menggunakan observasi
langsung terus menerus. Terapi dengan obat antidepresan atau antipsikotik yang
intensif harus dimulai.7
Pencegahan Primer
Pencegahan Sekunder
Terapi Psikofarmaka:
Seseorang yang sedang dalam krisis karena baru ditinggal mati atau baru
mengalami suatu kejadian yang jangka waktunya tak lama, biasanya akan berfungsi
lebih baik setelah mendapatkan transquilizer ringan, terutama bila tidurnya terganggu.
Obat pilihannya adalah golongan benzodiazepin, misalnya lorazepam 3 x 1 mg sehari
selama 2 minggu.
Pada pasien yang percobaan bunuh dirinya terkait atau eksaserbasi oleh stres
psikososial yang berat maka psikoterapi suportif dapat memberikan pasien untuk
memulihkan strategi kopingnya dan melihat perspektif lainnya selain bunuh diri.
Terapis harus menghindari pernyataan yang memojokkan, introgatif, serta
menganggap persoalan pasien hal yang ringan. Pada pasien dengan sistem koping
yang maladaptif maka maka dapat diberikan intervensi psikoterapi yang berfokus
pada pengembangan keterampilan dalam penyelesaian masalah seperti cognitive
behavior therapy.10
Diskusi Hasil dari meta-analisis mengkonfirmasi bahwa aktivitas sumbu HPA, seperti
yang ditunjukkan oleh variasi tergantung usia dalam tingkat kortisol yang terjadi secara alami,
terkait dengan upaya bunuh diri. Umumnya sampel yang lebih muda, kurang dari 40 tahun,
hubungannya positif, sehingga upaya bunuh diri dikaitkan dengan kadar kortisol yang lebih
besar, tetapi untuk sampel yang lebih lama efeknya terbalik, dengan upaya bunuh diri yang
terkait dengan kadar kortisol yang lebih rendah. Tingkat kortisol yang berfluktuasi secara
alami dapat memberikan indeks untuk jumlah paparan stres yang dialami individu.
Pandangan ini juga konsisten dengan teori yang berpengaruh terhadap perkembangan
hipokortisolisme, yang menunjukkan bahwa fenomena yang terakhir terjadi setelah periode
yang terlalu lama dari hiperaktif aksis HPA karena tekanan kronis. Dengan demikian,
individu yang lebih muda (kurang dari 40 tahun), yang telah terpapar stres serius dan
peristiwa psikososial, cenderung terus menunjukkan respons stres aksis HPA adaptif dalam
jangka pendek hingga menengah (dengan melepas kortisol tingkat tinggi sebagai respons
untuk lingkungan yang merugikan dan penuh tekanan). Sebaliknya, pada individu yang lebih
tua (40 tahun atau lebih tua) dan yang cenderung terpapar stres dan peristiwa traumatis
selama periode yang lebih lama, lebih berkelanjutan, poros HPA mereka mungkin telah
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 20
menjadi tidak terregulasi yang mengarah ke bagian yang lebih rendah dari tingkat kortisol
yang bersirkulasi.14
Sebagai akibatnya, adalah mungkin bahwa pada individu yang berusia di atas 40
tahun, bahwa semakin mereka gagal untuk me respons kortisol yang tepat, semakin besar
risiko bunuh diri. Sebagai contoh, hiporesponsivitas aksis HPA terhadap stressor akut (dan
juga hiperresponsivitas) telah ditemukan mengganggu proses pengambilan keputusan dan
reaktivitas emosional, aspek fungsi kognitif yang berhubungan dengan perilaku bunuh diri.14
Ada banyak hipotesis yang telah mencoba menjelaskan mekanisme di mana kadar
kolesterol dapat memengaruhi risiko percobaan bunuh diri. Pandangan yang paling banyak
dipegang adalah bahwa mungkin ada hubungan antara kadar kolesterol serum dan sistem
serotonergik saraf pusat melalui pengurangan aktivitas serotonin otak. Hipotesis lain adalah
bahwa metabolisme fosfolipid hancur, menggabungkan defisit penggabungan asam lemak
jenuh poliun dalam membran dengan peningkatan kerusakan. Kemudian pendapat lain bahwa
kolesterol dapat memengaruhi keadaan dan perilaku penyakit, karena kolesterol dapat
berperan dalam produksi selubung mielin, dalam pertukaran trans-membran, fungsi enzim,
dalam sintesis hormon steroid, dan ekspresi reseptor neurotransmitter.15
Kesulitan di awal kehidupan juga terkait dengan modifikasi epigenetik dari gen yang
terlibat dalam plastisitas neuron, pertumbuhan saraf, dan perlindungan saraf. Hewan
percobaan yang dimunculkan kesulitan di awal kehidupan menunjukkan hipermetilasi dan
akibatnya downregulation BDNF. Studi tentang jaringan otak dari orang yang berhasil bunuh
diri menunjukkan bahwa mRNA mengkode BDNF dan reseptornya TRKB yang diatur di
beberapa daerah otak termasuk korteks prefrontal dan hippocampus. Beberapa studi
melaporkan perubahan metilasi yaitu penurunan brain-derived neurotrophic factor (BDNF)
dan tropomyosin receptor kinase B (TRKB) di otak orang yang meninggal karena bunuh diri
dibandingkan dengan orang yang meninggal karena sebab lain. Studi asosiasi genome orang
dengan depresi atau orang yang meninggal karena bunuh diri diidentifikasi perubahan
metilasi gen yang terkait dengan stres, proses kognitif, dan plastisitas saraf.5
Penelitian melaporkan jumlah CD3- yang sedikit meningkat dan sel T CD4-
positif dalam darah dan peningkatan jumlah makrofag di cairan serebrospinal selama
episode psikotik akut. Selain itu, timbulnya skizofrenia di awal masa dewasa, dengan
progresif, eksaserbasi dan remisi, menunjukkan kesamaan untuk gangguan autoimun
Di sisi lain, IL-1ß dan IL-2 (yang diproduksi oleh sel-sel mikroglial) dapat
memodulasi neurotransmission katekolaminergik. IL-2 dikenal dapat memicu depresi,
episode psikotik sementara atau bahkan bunuh diri dalam kasus yang jarang terjadi
bila diberikan secara terapeutik secara sistemik dalam terapi antikanker. Nitric oxide
(NO) tidak hanya mempengaruhi aktivitas monoaminergik serebral, tetapi juga
menurunkan serotonin dalam kultur jaringan. NO dan metabolitnya juga memainkan
peran penting dalam gangguan afektif dan skizofrenia. Menariknya, baru-baru ini
ditunjukkan bahwa nitrat metabolit oksida (NOX) secara signifikan meningkat di
plasma pasien setelah upaya bunuh diri. Jadi, sitokin mikroglial atau iNOS mungkin
berperan dalam memicu kejadian bunuh diri.16
KESIMPULAN
Bunuh diri merupakan suatu kegawatdaruratan psikiatri yang merupakan tindakan
destruktif yang dapat merusak intergritas diri. Bunuh bisa disebabkan oleh beberapa faktor,
seperti faktor sosiologis, faktor psikologis, faktor biologis, dan faktor genetik. Risiko tinggi
terjadinya tindak bunuh diri adalah laki-laki, usia makin tua, isolasi sosial atau hidup seorang
diri, riwayat bunuh diri atau percobaan bunuh diri dalam keluarga, riwayat menderita sakit
atau nyeri kronik, baru menjalani operasi, tidak mempunyai pekerjaan, sudah membereskan
segala urusan duniawinya dan akan mengalami ulang tahun (anniversary) suatu kehilangan.
Gangguan jiwa yang sering berkaitan dengan bunuh diri adalah gangguan mood,
ketergantungan alkohol, skizofrenia dalam jumlah yang relatif kecil.
Pengenalan risiko tinggi dengan cepat dan penatalaksanaan yang baik dapat
memperbaiki prognosis, namun penanganan yang terlambat dapat memberikan komplikasi
yang dapat menyebabkan kematian.
1. WHO Mental Health (2019). Prevention of suicidal behaviours: A task for all.
http://www.who.int/mental_health/prevention/suicide/background
– Diakses Mei 2019.
2. Bertolote JM, Fleischmann A. A global perspective in the epidemiology of suicide.
Suicidology. 2002;7:6-8.
3. Bachmann, Silke. Epidemiology of Suicide and the Psychiatric Prespective. Int J
Environ Res Public Health. 2018; 15. 1425
4. Helbich, Marco. de Beurs, Derek. Po Kwan, Mei. O’ Connor, Rory. Gronewegen,
Peter P. Natural Environtments and Suicide Mortality in the Netherlands: a cross-
sectional, ecological study. Lancet Planet Health. 2018; 2. 134-39.
5. Turecki, Gustavo. Brent, David A. Suicide and Suicidal Behaviour. Lancet. 2009;
373. 1372-81.
6. Nock, Matthew K. Borges, Guilherme. Bromet, Evelyn J. Cha, Christine B. Kessler,
Ronald C. Lee, Sing. Suicide and Suicidal Behaviour. Epidemiol Rev. 2008; 30(1):
133-154.
7. Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of Psychiatry (2 Volume Set) by
Benjamin J. Sadock (Editor), Virginia A. Sadock (Editor) Lippincott Williams &
Wilkins Publishers; 7th ed. 2000.
8. Pallanti S, Rossi NB, Hollander E. Pathological Gambling. In Clinical Manual of
Impulse-Control Disorders. American Psychiatric Publishing: Arlington, VA, USA;
2006. p. 253.
9. Klonsky ED, May AM, Saffer BY. Suicide, suicide attempts, suicidal ideation.
Annual Reviews. 2016;12:1-24.
10. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku ajar psikiatri. 2 nd ed. Badan penerbit fakultas
kedokteran universitas indonesia: Jakarta; 2013.
11. Van Heeringen, Kees. Mann, J John. The Neurobiolgy of Suicide. Lancet Psychiatry.
2014; 1. 63-72.
12. Pandey, Ghanshyam N. Biological Basis of Suicide and Suicidal Behaviour. Bipolar
Disord. 2013; 15(5): 524-541.