Anda di halaman 1dari 29

Referat

Hari/Tanggal : Jumat/ 14 Juni 2019

ASPEK NEUROBIOLOGI PADA BUNUH DIRI

Oleh:

Azaria Zhafirah. D P 2729 A

Dinda Puan Rizka Wiranti P 2733 A

Preseptor:

Dr. dr. Amel Yanis, Sp.KJ(K)

BAGIAN PSIKIATRI FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ANDALAS / SMF PSIKIATRI

RSUP DR. M. DJAMIL

PADANG

2019

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas i


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas berkat,
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas Referat dengan judul “Aspek
Neurobiologi pada Bunuh Diri”. Referat ini disusun sebagai salah satu tugas dalam
kepaniteraan klinik Ilmu Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Andalas RSUP Dr. M.
Djamil Padang.

Ucapan terima kasih sebesar-besarnya tak lupa penulis sampaikan kepada Dr. dr.
Amel Yanis, Sp.KJ(K) selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan
dalam penyusunan Referat ini. Penulis menyadari bahwa Referat ini masih memiliki banyak
kekurangan, maka dari itu dengan segala kerendahan hati penulis menerima semua saran dan
kritik yang membangun guna penyempurnaan tugas referat ini. Akhir kata, semoga Referat
ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Padang, 14 Juni 2019

Penulis

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas ii


DAFTAR ISI

Halaman

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang................................................................................................................ 1
1.2 Batasan Masalah ............................................................................................................. 2
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................................ 2
1.4 Metodologi Penulisan ..................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. 3
2.1 Bunuh Diri ...................................................................................................................... 3
2.1.1 Epidemiologi ............................................................................................................. 3
2.1.2 Etiologi dan Faktor Risiko ........................................................................................ 4
2.1.3 Tahap Upaya Bunuh Diri ........................................................................................... 8
2.1.4 Gambaran Klinis dan Diagnosis Bunuh Diri ........................................................... 10
2.1.5 Tatalaksana Bunuh Diri ........................................................................................... 12
2.2 Aspek Neurobiologi pada Bunuh Diri ........................................................................ 16
2.2.1 Sistem Serotonergik ................................................................................................. 17
2.2.2 Sistem Dopaminergik .............................................................................................. 18
2.2.3 Sistem Noradrenergik .............................................................................................. 19
2.2.5 Hipotalamic Pituitary Adrenal Axis (HPA Axis) .................................................... 20
2.2.6 Metabolisme Lipid ................................................................................................... 21
2.2.7 Brain Derived Neurotropic Factor ........................................................................... 21
2.2.8 Neuroimmune System (Sitokin) .............................................................................. 22
BAB III KESIMPULAN........................................................................................................ 24

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas iii


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bunuh diri merupakan suatu kegawatdaruratan psikiatri yang merupakan tindakan
destruktif yang dapat merusak intergritas diri. Setiap tahun, terdapat 800.000 kematian yang
disebabkan oleh bunuh diri, dengan kata lain terdapat satu kasus bunuh diri setiap 40 detik.
World Health Organization (WHO) memperkirakan tingkat mortalitas tahunan secara umum
berkisar 10.7/100.000 populasi, dengan berbagai variasi menurut kelompok usia dan negara. 1
Pada laki-laki prevalensi bunuh diri tiga kali lebih sering dibandingkan dengan wanita,
karena laki laki lebih sering menggunakan alat yang lebih efektif untuk bunuh diri seperti
pistol, menggantung diri, atau lompat dari gedung yang tinggi. Sedangkan wanita lebih sering
menggunakan zat psikoaktif overdosis atau racun. Selain itu wanita lebih sering memilih cara
menyelamatkan dirinya sendiri atau diselamatkan orang lain. 1 Secara umum, bunuh diri
merupakan penyebab kedua kematian dini pada individu rentang usia 15 – 29 tahun, dan
nomor ketiga pada kelompok usia 15 tahun.2 Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku
bunuh diri (suicidal behaviour) seperti usia, jenis kelamin, daerah geografik dan kondisi
sosiopolitik. Walaupun belum ada algoritma pasti yang dapat memprediksi kejadian bunuh
diri dalam praktik klinis, dengan meningkatkan pemahaman dan deteksi dini terhadap gejala
klinis, faktor psikologis, sosial, dan bilogis akan membantu klinisi mendeteksi dini individu
dengan risiko tinggi serta membantu dalam pemilihan terapi.

Badan kesehatan dunia, WHO telah mendeklarasikan bahwa upaya mengurangi angka
kematian akibat bunuh diri merupakan hal yang penting dan perlu mendapat perhatian secara
global. Hal tersebut bertolak belakang dengan tradisi yang tabu pada beberapa masyarakat
yang telah lama menerapkan tradisi perilaku bunuh diri. Latar belakang budaya, nilai moral
serta pandangan yang pesimistik terhadap terapi dan pencegahan bunuh diri merupakan
faktor-faktor yang dapat menghambat pasien dan klinisi dalam mengidentifikasi pikiran atau
ide bunuh diri. Sekitar 45% pelaku bunuh diri ternyata pernah berkonsultasi dengan dokter
layanan primer dalam 1 bulan sebelum kematiannya, namun sangat jarang yang tercatat
memiliki ide bunuh diri pada saat konsultasi. 3

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 1


Diatesis dari stress menunjukkan bahwa pada bunuh diri terdapat interaksi dari
stressor lingkungan dengan diatesis karakter bawaan seseorang atau kerentanan untuk
melakukan bunuh diri serta gangguan psikiatrik. Temuan dari studi post-mortem yang telah
dilakukan pada otak dan neuroimaging in vivo mengindikasikan adanya dasar biologis dari
diatesis tersebut dan menunjukkan pentingnya skrining dan intervensi neurobiologi sebagai
tambahan setelah dilakukan intevensi terhadap mood dan kognitif dalam upaya pencegahan
bunuh diri. Gangguan pada usia dini dan mekanisme epigenetik dapat menjelaskan
bagaimana hubungan antara bunuh diri dengan abnormalitas pada sirkuit otak dan
neurokemistri.4

Berdasarkan paparan di atas pada referat ini akan dibahas epidemiolgi, faktor risiko,
diagnosis hingga penatalaksanaan dan pencegahan bunuh diri secara umum serta aspek
neurobiologi sebagai faktor yang mempengaruhi bunuh diri secara khusus.

1.2 Batasan Masalah


Clinical Science Session ini membahas tentang epidemiologi, faktor risiko, diagnosis,
pencegahan serta tatalaksana bunuh diri secara umum dan aspek neurobiologi secara khusus.

1.3 Tujuan Penulisan


Clinical Science Session ini bertujuan mengetahui epidemiologi, faktor risiko,
diagnosis, pencegahan serta tatalaksana bunuh diri secara umum dan aspek neurobiologi
secara khusus.

1.4 Metodologi Penulisan


Metode penulisan referat ini berupa tinjauan kepustakaan merujuk kepada berbagai
literatur.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 2


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bunuh Diri


Hasil diskusi dari berbagai penelitian mengenai perilaku bunuh diri telah
menghasilkan berbagai nomenklatur dan definisi dari bunuh diri yang dirangkum dalam
Columbia Classifiaction Algorithm of Suicide Assesment. Bunuh diri adalah suatu tindakan
melukai atau mencederai diri sendiri yang bersifat fatal disertai bukti adanya keinginan untuk
mati. Percobaan bunuh diri (attempt suicide) adalah perilaku yang berpotensi untuk melukai
atau mencederai diri sendiri disertai adanya keinginan untuk mati.5

2.1.1 Epidemiologi
Belum ada data yang akurat dan presisi mengenai angka kejadian bunuh diri di dunia.
Hanya 35% dari seluruh anggota WHO yang telah melaporkan data 5 tahun terakhir. Secara
global, diperkirakan terdapat 11,4 kejadian bunuh diri per 100.000 orang setiap tahunnya
dengan total diperkirakan 804.000 kematian setiap tahunnya. Kejadian bunuh diri bervariasi
antar daerah dalam satu negara juga antar negara, dengan perbedaan hingga satu banding
sepuluh antar daerah. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan latar belakang
budaya. Pengaruh budaya lebih besar dibanding pengaruh geografik, hal ini dibuktikan
dengan kejadian bunuh diri pada imigran lebih berhubungan dengan darimana negara asalnya
dibanding negara mana yang ditempatinya.5

Kejadian non-fatal suicide lebih tinggi dibanding bunuh diri. Berdasarkan data yang
dipublikasikan oleh WHO pada tahun 2014 menunjukkan bahwa angka kematian akibat
bunuh diri paling tinggi di Korea Selatan dan Jepang, yaitu 30 kematian tiap 100.000 orang
dan 20 kematian tiap 100.000 orang. Ide untuk bunuh diri paling tinggi di Amerika Serikat
dan Selandia Baru dengan prevalensi 15%. Insidensi ide bunuh diri dan perilaku bunuh diri
paling tinggi pada remaja dan dewasa muda dengan insidensi 12,1-33% untuk ide bunuh diri
dan 4,1-9,3% untuk perilaku bunuh diri. Jenis kelamin juga mempengaruhi angka kejadian
perilaku bunuh diri. Pada perempuan, ide bunuh diri lebih tinggi dibanding laki-laki,
sementara kematian akibat bunuh diri secara umum lebih tinggi pada laki-laki dibanding
perempuan dengan perbandingan 15:8 per 100.000 orang.5

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 3


Perbandingan kejadian bunuh diri pada negara dengan pendapatan tinggi dibanding
negara dengan pendapatan rendah hingga menengah yaitu 3,5 banding 1,6. Perbandingan
kejadian bunuh diri pada negara-negara eropa amerika dengan negara-negara asia pasifik
yaitu 0,9 banding 1,6. Musim juga mempengaruhi variasi angka kejadian bunuh diri dengan
kejadian terbanyak pada musim semi dan musim panas, diperkirakan angka kejadian bunuh
diri juga berhubungan dengan ketinggian daratan dan paparan sinar matahari pada daerah
tersebut.5

Gambar 1. Epidemiologi Bunuh Diri4

2.1.2 Etiologi dan Faktor Risiko


Kejadian bunuh diri pada negara maju paling banyak terjadi pada orang dengan
gangguan mental. Kematian akibat bunuh sebesar 1,4% dari seluruh kematian di dunia.
Risiko bunuh diri secara umum diperkirakan dipengaruhi oleh faktor sosiodemografi,
psikologis dan faktor-faktor klinis, gaya hidup dan ketersedian pelayanan kesehatan mental.6

a. Faktor Geografis

Beberapa temuan menunjukkan bahwa kondisi lingkungan dan urbanisasi


menjadi faktor yang dapat menjadi latar belakang dan faktor yang berpotensi memicu,
mengurangi dan menguatkan motivasi seseorang untuk bunuh diri. Berbagai studi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 4


epidemiologi telah mempelajari bagaimana gangguan mental seperti depresi dipengaruhi
oleh kondisi lingkungan, seperti jumlah lingkungan hijau, ruang terbuka, rumput, hutan
dan taman. Berbagai studi telah menghasilkan penjelasan mengenai bagaimana stimulus
alam mengurangi pikiran negatif dan suasana perasaan yang buruk dan membantu
penyembuhan stress. Sebuah studi yang dilakukan di Belanda tahun 2014 menunjukkan
bahwa semakin tinggi paparan terhadap lingkungan hijau dan ruang terbuka semakin
rendah risiko bunuh diri.4

Pemukiman urban walaupun sering diasumsikan memiliki sedikit lingkungan


hijau dan ruang terbuka, berdasarkan studi tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan antara urbanisasi dengan jumlah lingkungan hijau dan ruang terbuka serta
tidak terdapat hubungan antara pemukiman urban dengan jumlah kejadian bunuh diri.
Lingkungan yang hijau dan ruang terbuka mempengaruhi fungsi psikologis seseorang
dengan membuat individu tersebut menjadi tidak rentan terhadap peristiwa dalam hidup
yang dapat menjadi stressor, mengurangi stress serta membantu individu tersebut
merefleksikan hidupnya, sehingga dapat diartikan bahwa individu tersebut lebih sedikit
berpeluang untuk memilki ide bunuh diri.4

b. Faktor Biologis

Studi mengenai faktor risiko herediter bunuh diri seperti keluarga, kembar, dan
adopsi. Sebagian besar riwayat bunuh diri di dalam keluarga dapat dijelaskan dengan
adanya temuan risiko gangguan mental. Studi lainnya juga menunjukkan bagaimana
transmisi bunuh diri di dalam keluarga walaupun telah dilakukan kontrol terhadap
gangguan mood dan gangguan psikotik. Hingga saat ini para peneliti belum menemukan
lokus genetik untuk bunuh diri berdasarkan studi genetik molekuler yang telah dilakukan.
Studi faktor biologis yang telah ada menunjukkan bahwa bunuh diri dapat dipengaruhi
oleh interaksi lingkungan dan genetik (gene-environment). 6

Faktor biologi yang paling berhubungan dengan bunuh diri adalah gangguan
dalam fungsi neurotransmitter inhibitor; serotonin. Orang yang meninggal akibat bunuh
diri memiliki kadar metabolit serotonin yang lebih rendah di dalam cairan serebrospinal,
kadar serotonin receptor binding yang lebih tinggi di dalam trombosit, jumlah transporter
serotonin presinaps yang lebih sedikit dan lebih banyak reseptor serotonin postsinaps
pada beberapa area tertentu di otak, seperti pada korteks prefrontal. Temuan-temuan
tersebut menunjukkan rendahnya kemampuan individu tersebut dalam menginhibisi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 5


perilaku impulsif. Kondisi defisit pada fungsi dari serotonergik juga ditemukan pada
perilaku impulsif dan agresif lainnya seperti perilaku kekerasan dan membakar, sehingga
temuan tersebut tidak spesifik hanya untuk bunuh diri.6

c. Faktor Psikiatri
Pengetahuan mengenai mengapa individu bunuh diri telah diperoleh dari penelitian
otopsi psikologis korban bunuh diri pada populasi umum. Sebagai contoh, penelitian di
St Louis melaporkan 134 kasus bunuh diri, 98 persen diantaranya dengan penyakit klinis
(94 persen dengan gangguan psikiatri), dan 68 persen menderita satu atau dua gangguan
psikiatri, 45 persen gangguan mood dan 23 persen alkoholisme (penyalahgunaan alkohol
atau ketergantungan alkohol). Terdapat perbedaan bermakna antara korban bunuh diri
usia muda dengan usia tua. Penelitian di San Diego dan Rochester menunjukkan bahwa
gangguan penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian antisosial, stressor penyakit
fisik ditemukan lebih sering pada korban bunuh diri usia 30 tahun ke atas. Faktor
predisposisi yang berhubungan dengan bunuh diri pada usia dibawah 30 tahun yaitu,
pengangguran, penolakan, dan masalah hukum.7
Gangguan Depresi adalah diagnosis kejiwaan yang paling umum terkait dengan
bunuh diri, dan dengan demikian depresi adalah salah satu faktor risiko terpentinguntuk
bunuh diri. Misalnya, dalam satu penelitian populasi umum, 45 persen bunuh dirikorban
didiagnosis memiliki gangguan depresi primer, seperti halnya 30persen dalam studi
kedua dan 64 persen dalam studi ketiga. Laporan studi tindak lanjutbahwa sekitar satu
dari enam pasien depresi (15 persen) meninggal karena bunuh diri,meskipun banyak dari
studi ini dilakukan sebelum profilaksis lithiumtersedia.Karakteristik pasien dengan
gangguan depresi mayor yang melakukan bunuh diridiperiksa oleh Pusat Penelitian
Bunuh Diri Finlandia. Laki-laki terlalu terwakilikarena 45 dari 71 korban bunuh diri
yang tertekan adalah laki-laki (63 persen) dan 26 orangperempuan (37 persen). Dengan
demikian, jenis kelamin laki-laki merupakan faktor risiko untuk bunuh diri di kalangan
yang tertekanmata pelajaran. Usia rata-rata adalah 50 tahun. Mayoritas (85 persen) rumit
kasus depresi dengan diagnosa komorbiditas, dan komorbiditas bervariasi berdasarkan
jenis kelamin dan usia.7
Risiko bunuh diri tinggi di antara pasien skizofrenia, hingga 10% meninggal karena
bunuh diri. Kebanyakan orang dengan skizofrenia, bunuh diri pada beberapa tahun
pertama penyakit mereka. Dengan demikian, bunuh diri pada skizofrenia cenderung
relatif lebih muda dan sekitar 75 persen adalah pria yang belum menikah; sekitar 50

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 6


persen telah melakukan upaya bunuh diri sebelumnya. Gejala depresi sangat berkaitan
dengan bunuh diri; penelitian melaporkan bahwa gejala depresi sterdapat selama periode
kontak terakhir pada dua pertiga pasien skizofrenia yang bunuh diri; hanya sebagian
kecil yang bunuh diri karena halusinasi instruksi atau untuk menghindari waham
persekutori. Sepertiga daribunuh diri skizofrenik terjadi selama beberapa minggu dan
bulan pertama setelahkeluar dari rumah sakit; sepertiga lainnya bunuh diri saat mereka
dirawat inap.7
Orang alkoholik memiliki peningkatan risiko bunuh diri, dengan angka risiko bunuh
diri seumur hidup 2,2 hingga 3,4 persen. Lebih banyak pria daripada wanita. Orang-
orang alkoholik biasanya bunuh diri setelah bertahun-tahun melakukan penyalahgunaan
alkohol. Komorbiditas memainkan peran penting; orang dengan alkoholisme yang
memiliki gangguan depresi komorbid yang berisiko sangat tinggi. Pekerja di St.
Louismeneliti hubungan bunuh diri pada pengguna alkohol dengan kejadian kehidupan
tertentu. Di antara 31 pecandu alkohol yang bunuh diri, 48 persen telah kehilangan orang
yang dicintai selama setahun sebelum mereka berkomitmen bunuh diri, dan 32 persen
telah mengalami kehilangan selama 6 minggu terakhir. St. Louis memeriksa kehidupan
50 korban pecandu alkohol yang bunuh diri lainnya. Berdasarkan hipotesis bahwa bunuh
diri di kalangan pecandu alkohol dapat mewakili reaksi terhadap peristiwa
kehidupan,para peneliti mencatat pendapat mereka tentang alasan paling penting untuk
bunuh diridalam setiap kasus. Kehilangan hubungan dekat adalah yang paling sering
menjadi pencetus; pencetus lainnya termasuk masalah pekerjaan, kesulitan keuangan,
dansedang bermasalah dengan hukum.7

d. Faktor Sosiologi
Emile Durkheim adalah orang pertama yang meneliti bagaimana sosial dan budaya
Mempengaruhi dampak pada risiko bunuh diri. Dia menemukan tingkat bunuh diri di
Eropaberbeda dalam kaitannya dengan berbagai faktor demografi dan sosial, dan
menyimpulkan bahwa “tingkat bunuh diri berbanding terbalik dengan integrasi
kelompok sosial di mana individu membentuk bagian. ”Egoistic Suicide” ditentukan oleh
kurangnya ikatan keluarga yang harmonis atau interaksi sosial. “Anomic Suicide” terjadi
ketikahubungan antara individu dan masyarakat terputus oleh sosial atau
ekonomikesulitan. Sebagai contoh, tingkat bunuh diri meningkat selama Depresi berat

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 7


tahun 1930 dan pada hampir semua negara Eropa selama perang dunia kedua. Altruistic
Suicide” akibat integrasi berlebihan dalam masyarakat (misalnya, harakiri, sati). 7

2.1.3 Tahap Upaya Bunuh Diri


Terdapat 3 tahap dalam terjadinya bunuh diri. Dimulai dari perkembangan dari ide
bunuh diri, kemudian ide kuat bunuh diri dibanding ide moderat bunuh diri, diakhiri dengan
proses dari ide menjadi upaya bunuh diri.8

Gambar 3. Teori 3 Tahap Bunuh Diri9

a. Tahap 1 Bunuh Diri

Menurut teori 3 tahap, langkah pertama menuju ide dimulai dengan rasa
nyeri. Nyeri yang dirasakan adalah nyeri psikologis atau emosional, namun tidak
selalu terjadi. Jika pengalaman hidup seseorang ditandai dengan nyeri, individu ini
pada dasarnya dihukum untuk hidup, yang dapat menurunkan keinginan untuk
hidup.12 Sumber yang berbeda dari rasa sakit dalam kehidupan sehari-hari dapat
menyebabkan keinginan untuk hidup menurun. Namun, rasa sakit saja tidak akan
menyebabkan keinginan bunuh diri. Jika seseorang yang sakit telah berharap
bahwa kondisinya dapat membaik dan rasa sakit dapat dikurangi, individu akan
berusaha untuk mencapai masa depan dengan rasa sakit yang akan berkurang
daripada mempertimbangkan bunuh diri. Untuk alasan ini, putus asa juga

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 8


diperlukan untuk pengembangan ide bunuh diri. Artinya, jika hidup seseorang
diliputi nyeri yang cukup, dan ia merasa putus asa bahwa rasa sakit akan membaik,
ia akan mempertimbangkan mengakhiri hidupnya. Singkatnya, kombinasi rasa
sakit dan putus asa adalah apa yang menyebabkan keinginan bunuh diri. 8

b. Tahap 2 Bunuh Diri

Menurut teori 3 tahap, tahap kedua terhadap perilaku bunuh diri yang
berpotensi mematikan terjadi ketika rasa sakit melebihi keterhubungan..
Keterhubungan dapat berarti koneksi ke orang lain serta minat, peran, proyek, atau
rasa tujuan atau makna yang membuat satu diinvestasikan dalam hidup. Teori 3
tahap menetapkan bahwa seseorang yang mengalami rasa sakit dan putus asa dan
berpikir untuk bunuh diri, maka hanya akan dikatakan memiliki ide bunuh diri
moderate (misalnya, “Kadang-kadang saya pikir saya mungkin lebih baik mati”)
jika keterhubungan tetap lebih besar dari rasa sakit. Namun, ide bunuh diri
menjadi kuat (misalnya, “Saya akan bunuh diri jika aku punya kesempatan”) jika
sakit menguasai rasa keterhubungan. 8

Dalam teori 3 tahap, peran utama keterhubungan adalah untuk melindungi


terhadap meningkatnya keinginan bunuh diri pada mereka yang berisiko karena
rasa sakit dan putus asa. 8

c. Tahap 3 Bunuh Diri

Kebanyakan individu dengan ide bunuh diri tidak membuat usaha Bunuh Diri.
Oleh karena itu, tahap akhir dari teori 3 tahap membahas kondisi di mana ide
bunuh diriyang kuat mengarah ke usaha bunuh diri. Penentu utama untuk tahap 3
ini adalah apakah individu memiliki kapasitas untuk melakukan upaya bunun diri.
Joiner menunjukkan bahwa rasa takut akan kematian adalah naluri yang kuat yang
membuatnya sangat sulit untuk mencoba bunuh diri, bahkan jika mengalami
keinginan bunuh diri yang kuat. Dengan demikian, individu hanya dapat mencoba
bunuh diri jika mereka telah mengembangkan kapasitas untuk mengatasi
hambatan ini.8

Teori 3 tahap memperluas konsep dan mengusulkan tiga kategori variabel


yang berkontribusi terhadap kapasitas bunuh diri yaitu disposisional, diperoleh,
dan praktis. Disposisional mengacu pada variabel yang relevan bahwa kita

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 9


dilahirkan dengan sensitivitas yang berbeda terhadap rasa sakit. Seseorang yang
lahir dengan sensitivitas nyeri yang lebih rendah akan memiliki kapasitas yang
lebih tinggi untuk melaksanakan usaha bunuh diri. Variabel yang diperoleh,
mengacu pada konsep pembiasaan untuk pengalaman yang berhubungan dengan
rasa nyeri, cedera, rasa takut, dan kematian yang didapat dari waktu ke waktu,
menyebabkan kapasitas yang lebih tinggi untuk usaha bunuh diri. Variabel praktis
adalah faktor kuat yang membuat usaha bunuh diri lebih mudah. Ada banyak jenis
faktor praktis, misalnya, seseorang dengan pengetahuan yang baik dan akses ke
sarana mematikan, seperti dipersenjatai kembali, bisa bertindak atas pikiran untuk
suicide jauh lebih mudah daripada seseorang tanpa pengetahuan dan akses ke
sarana mematikan. Singkatnya faktor disposisional, faktor diperoleh, dan faktor
praktis berkontribusi dalam kapasitas untuk mencoba bunuh diri. 8

2.1.4 Gambaran Klinis dan Diagnosis Bunuh Diri


Penelitian di Amerika Serikat menunjukan bahwa hal-hal berikut ini menunjukan resiko
tinggi terjadinya tindak bunuh diri8

a. Laki-laki
b. Usia semakin tua
c. Isolasi sosial atau hidup seorang diri
d. Riwayat bunuh diri atau percobaan bunuh diri dalam keluarga
e. Riwayat menderita sakit atau nyeri kronik
f. Baru menjalani operasi
g. Tidak mempunyai pekerjaan
h. Sudah menyelesaikan segala urusan duniawinya
i. Akan mengalami ulang tahun (anniversary) suatu kehilangan

Gangguan jiwa yang sering berkaitan dengan bunuh diri adalah gangguan mood,
ketergantungan alkohol, skizofrenia dalam jumlah yang relatif kecil. Ada beberapa kasus
yang melakukan tindakan menyakiti diri sendiri dengan cara yang jelas jelas tidak mematikan.
Motifnya bervariasi antara lain manipulasi yang disengaja, atau kemarahan yang tidak
disadari terhadap orang orang yang bermakna bagi dirinya. Secara diagnostik orang orang
tersebut mungkin memenuhi kriteria gangguan kepribadian antisosial atau ambang, atau
perilaku itu berkaitan dengan suatu ide atau perilaku yang aneh pada skizofrenia. 9

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 10


Yang paling sulit secara klinis dan medikolegal adalah parasuicides, yaitu mereka
yang berulangkali melakukan hal-hal berbahaya tetapi menyangkal adanya ide ide bunuh diri.
Mereka ini biasanya minta dipulangkan segera setelah keadaan fisiknya membaik, atau
sebelum betul betul baik dan sulit bagi terapis untuk memaksa mereka menjalani rawat inap,
tetapi lebih bijaksana untuk tetap merawat mereka secara involonter apabila frekuensi
perilaku parasuicide nya meningkat.9

a. Panduan Wawancara dan Psikoterapi7


1. Pada waktu wawancara pasien mungkin secara spontan menjelaskan adanya ide
bunuh diri. Bila tidak maka tanyakan langsung. Tidak dibenarkan untuk
membicarakan bunuh diri dalam situasi klinik yang dapat mendorong hal itu terjadi.
2. Mulailah dengan menanyakan
• Apakah anda pernah merasa ingin menyerah saja?
• Apakah anda pernah merasa bahwa lebih baik kalau anda mati saja?
Pertanyaan seperti ini biasanya dapat diterima oleh hampir semua orang dan tidak
mengandung stigma
3. Setelah itu tanyakan isi pikiran pasien dan catatlah. Begitu topik ini dibuka gunakan
kata kata seperti “membunuh diri” atau “mati”, bukan “menyakiti diri”, agar pasien
tidak bingung karena sebagian besar pasien tidak ingin menyakiti diri sendiri
meskipun mereka ingin membunuh dirinya sendiri
• Berapa sering pikiran-pikiran bunuh diri ini muncul?
• Apakah pikiran-pikiran tentang bunuh diri ini meningkat?
• Apakah anda hanya memikirkan kematian ataukah anda sudah memikirkan
secara pasti bagaimana anda akan membunuh diri anda?
4. Pertimbangkan faktor umur dan kecanggihan pemikiran pasien, dan apakah niat yang
dinyatakan pasien sesuai dengan metode yang mereka pilih. Misalnya seorang wanita
dengan tingkat intelegensi normal yang bersikeras bahwa ia ingin mati dengan
meminum 6 tablet aspirin dibandingkan dengan seorang anak kecil yang menyatakan
hal yang sama.
5. Berikutnya selidiki mengenai
• Apakah pasien bisa mendapatkan alat atau cara untuk melakukan rencana
bunuh dirinya?
• Apakah mereka sudah mengambil langkah-langkah aktif, misalnya
mengumpulkan obat, menyelesaikan segala urusannya?

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 11


• Seberapa pesimiskah mereka?
• Apakah mereka bisa membayangkan atau memikirkan bahwa kehidupannya
dapat membaik?
6. Pertanyaan terakhir ini dapat membantu assesment dan terapi, karena pasien dapat
mengajukansuatu alternatif untuk memecahkan masalahnya.
• Jika tidak, apakah merasa masa depannya suram dan tidak ada harapan lagi?
• Jika iya apakah ketakutannya itu rasional atau tidak?
Seorang laki laki muda yang merasa tak berdaya karena ditinggalkan istrinya
risikonya lebih kecil dibandingkan seorang laki laki yang yakin tanpa alasan
bahwa ia mengidap kanker dan semua orang menyembunyikan hal ini darinya
• Jika pasien tidak kooperatif cari data dari orang-orang penting dalam
kehidupannya
b. Evaluasi
1. Ketika sedang mengevaluasi pasien dengan kecendrungan bunuh diri, jangan
tinggalkan mereka sendiri di dalam ruangan. Singkirkan benda benda yang dapat
membahayakan diri dari ruangan tersebut.

Ketika mengevaluasi pasien yang baru melakukan percobaan bunuh diri, buatlah
penilaian apakah hal itu direncanakan atau dilakukan secara impulsif. Selain itu tentukan
tingkatan letalitasnya, kemungkinan pasien dipergoki ketika sedang melakukan tindakan
itu (mereka melakukannya sembunyi-sembunyi) atau memperingatkan orang terlebih
dahulu, reaksi pasien ketika diselamatkan (lega atau kecewa), atau apakah faktor faktor
yang mendorong tindakan itu sudah berubah.7

2.1.5 Tatalaksana Bunuh Diri


Evaluasi potensi bunuh diri melibatkan anamnesis riwayat psikiatrik yang lengkap;
pemeriksaan menyeluruh mengenai keadaan mental pasien; dan pertanyaan mengenai gejala
depresif, pikiran, niat, rencana, dan percobaan bunuh diri. Jika dipertimbangkan semuanya,
tidak adanya rencana di masa mendatang, memberikan milik pribadi, membuat surat wasiat,
dan baru-baru ini mengalami kehilangan mengesankan peningkatan resiko bunuh diri.
Keputusan untuk merawat pasien di rumah sakit bergantung pada diagnosis, keparahan
depresi, dan gagasan bunuh diri, kemampuan pasien dan keluarga untuk mengatasi masalah,

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 12


situasi hidup pasien, ketersediaan dukungan sosial, dan tidak adanya atau adanya faktor
resiko bunuh diri.7

Terapi Rawat Inap dan Rawat Jalan

Perlu atau tidak merawat pasien dengan gagasan bunuh diri di rumah sakit
merupakan suatu keputusan yang paling penting untuk dibuat. Tidak semua pasien
dengan gagasan bunuh diri perlu perawatan di rumah sakit, beberapa dari mereka
dapat di terapi dengan rawat jalan. Tetapi tidak adanya sistem dukungan sosial yang
kuat, riwayat perilaku impulsif, dan rencana tindakan bunuh diri adalah indikasi
perawatan. Untuk memutuskan apakah terapi rawat jalan dapat dilakukan, klinisi
harus menggunakan pendekatan langsung. Mereka harus meminta pasien yang
dianggap berpotensi bunuh diri untuk menghubungi saat mereka merasa tidak pasti
mengenai kemampuan untuk mengendalikan impuls bunuh diri. Pasien yang dapat
membuat perjanjian seperti ini dengan dokter yang memiliki hubungan dengan
mereka menguatkan kembali keyakinan bahwa mereka memiliki kekuatan yang cukup
untuk mengendalikan impuls tersebut dan untuk mencari pertolongan. 7

Sebagai balasan terhadap komitmen pasien, klinisi harus siap 24 jam bagi
pasien. Jika pasien yang dianggap secara serius ingin bunuh diri tidak dapat membuat
komitmen tersebut, perawatan rumah sakit darurat segera diindikasikan; pasien dan
juga keluarga pasien harus diberi saran. Meskipun demikian, jika pasien akan diterapi
secara rawat jalan, terapis harus mencatat nomor telepon rumah dan kantor pasien
untuk keadaan gawat darurat; kadang-kadang, pasien menutup telepon tiba-tiba saat
telepon di malam hari atau hanya memberikan nama pada layanan penjawab telepon.
Jika pasien menolak perawatan di rumah sakit, keluarga harus bertanggungjawab
untuk berada bersama pasien selama 24 jam dalam sehari.7

Banyak psikiater yakin bahwa pasien yang pernah mencoba bunuh diri, tanpa
memandang letalitasnya, harus dirawat. Meskipun sebagian besar pasien ini secara
voluntar masuk rumah sakit, bahaya pada diri sendiri merupakan salah satu indikasi
yang jelas yang saat ini diterima di semua negara bagian untuk perawatan involuntar.
Di rumah sakit, pasien dapat menerima obat antidepresan atau antipsikotik sesuai
indikasi; terapi individu, terapi kelompok, dan terapi keluarga tersedia; dan pasien
menerima dukungan sosial rumah sakit serta rasa aman. Cara terapeutik lain
bergantung pada diagnosis yang mendasari. Contohnya, jika ketergantungan alkohol

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 13


adalah masalah yang menyertai, terapi harus ditujukan untuk menghilangkan keadaan
tersebut.7

Meskipun pasien yang digolongkan berpotensi bunuh diri akut dapat memiliki
prognosis yang baik, pasien dengan potensi bunuh diri kronis sulit diterapi, dan
mereka melelahkan orang yang merawat mereka. Pengamatan konstan oleh perawatan
khusus, pengasingan, dan pengikatan tidak dapat mencegah bunuh diri saat pasien
yakin melakukannya. Terapi elektrokonvulsi mungkin pelu untuk beberapa pasien
depresi berat, yang dapat memerlukan beberapa kali sesi terapi. Cara berguna untuk
terapi pasien depresi yang dirawat inap dengan kecendrungan bunuh diri mencakup
mencari barang-barang miliknya yang dapat digunakan untuk bunuh diri saat masuk
ke dalam bangsal dan mengulang pencarian saat eksaserbasi gagasan bunuh diri.
Idealnya, ini harus diterapi di bangsal terkunci yang jendelanya tahan pecah, dan
ruang pasien harus ditempatkan di dekat tempat perawat untuk memaksimalkan
observasi oleh perawat. Tim terapi harus mengkaji seberapa banyak harus mengekang
pasien dan apakan akan melakukan pemeriksaan regular atau menggunakan observasi
langsung terus menerus. Terapi dengan obat antidepresan atau antipsikotik yang
intensif harus dimulai.7

Psikoterapi suportif oleh psikiater menunjukkan kepedulian dan dapat


menghilangkan beberapa penderitaan hebat pasien. Beberapa pasien dapat mampu
menerima gagasan bahwa mereka menderita suatu penyakit yang diketahui dan
mereka mungkin akan dapat sembuh sempurna. Pasien harus diminta untuk tidak
membuat keputusan hidup yang penting saat mereka depresi dan ingin bunuh diri,
karena keputusan tersebut sering ditentukan secara morbid dn bisa tidak dapat diubah.
Akibat keputusan buruk tersebut dapat menimbukan kesedihan dan penderitaan lebih
lanjut ketika pasien telah pulih.7

Pencegahan Primer

Pencegahan primer pada bunuh diri, yakni sebagai berikut:3

➢ Langkah paling sederhana menuju pengurangan bunuh diri adalah


pemblokiran akses ke masing-masing sarana: racun, obat yang berpotensi
beracun seperti parasetamol, jembatan, senjata api, dan kereta api.
➢ WHO telah menerbitkan masing-masing sumber untuk jurnalis;

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 14


Langkah lain untuk mengurangi tingkat bunuh diri adalah program kesadaran
masyarakat. Ini biasanya menanamkan bantuan dan pendidikan publik di
tempat kerja dan sekolah untuk menambah pengetahuan dan mengurangi
stigma.
➢ Aspek khusus pencegahan primer mengacu pada internet dan terutama media
sosial, yang menyediakan banyak informasi. Pencari bantuan akan
menemukan banyak informasi, yang tentu saja masuk akal. Jumlah informasi
yang sama, namun, tersedia bagi mereka yang merencanakan bunuh diri: situs
web pro-bunuh diri, blog, atau ruang obrolan, yang memberi instruksi atau
mendukung pakta bunuh diri. Dengan demikian, aspek positif dan negatif dari
media sosial /Internet ada setara, risiko penggunaan harus diatasi dalam
kampanye penyadaran.

Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder pada bunuh diri, yakni sebagai berikut:3

Sehubungan dengan pencegahan sekunder, sistem perawatan kesehatan adalah


yang paling penting. Sejumlah besar 22-88% dari pelaku bunuh diri, sesuai
dengan budaya masing-masing, mencari bantuan sesudahnya dengan pergi ke
rumah sakit atau ke perawatan primer. Setiap petugas kesehatan harus
mengetahui fakta tersebut dan dilatih untuk bereaksi secara memadai.

Terapi Psikofarmaka:

Seseorang yang sedang dalam krisis karena baru ditinggal mati atau baru
mengalami suatu kejadian yang jangka waktunya tak lama, biasanya akan berfungsi
lebih baik setelah mendapatkan transquilizer ringan, terutama bila tidurnya terganggu.
Obat pilihannya adalah golongan benzodiazepin, misalnya lorazepam 3 x 1 mg sehari
selama 2 minggu.

Hati hati memberikan benzodiazepin pada pasien yang hostil, karena


penggunaan benzodiazepin secara teratur dapat meningkatkan iritabilitas pasien.
Jangan memberikan obat dalam jumlah banyak sekaligus dan pasien harus kontrol
dalam beberapa hari. Kemudian diberikan antidepresan kepada pasien.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 15


Terapi Non Farmakologik

Pada pasien yang percobaan bunuh dirinya terkait atau eksaserbasi oleh stres
psikososial yang berat maka psikoterapi suportif dapat memberikan pasien untuk
memulihkan strategi kopingnya dan melihat perspektif lainnya selain bunuh diri.
Terapis harus menghindari pernyataan yang memojokkan, introgatif, serta
menganggap persoalan pasien hal yang ringan. Pada pasien dengan sistem koping
yang maladaptif maka maka dapat diberikan intervensi psikoterapi yang berfokus
pada pengembangan keterampilan dalam penyelesaian masalah seperti cognitive
behavior therapy.10

2.2 Aspek Neurobiologi pada Bunuh Diri


Korelasi biologis antara antara diatesis stress dengan bunuh diri menunjukkan
bahwa bunuh diri merupakan hasil interaksi antara stressor dengan kerentanan untuk
bunuh diri. Korelasi biologis tersebut juga menunjukkan adanya biomarker untuk risiko
bunuh diri yang dapat dibedakan dengan biomarker gangguan psikiatri penyerta dan
dapat membantu memprediksi risiko setelah adanya paparan terhadap stressor seperti
gangguan psikiatri akut dan peristiwa psikososial yang berat. Walaupun perilaku bunuh
diri bersifat heterogen dan terjadi dalam berbagai derajat intensi dan berbagai derajat dari
dampak klinis yang ditimbulkan, namun kematian akibat bunuh diri ataupun upaya
percobaan bunuh diri yang bersifat letal memiliki kesamaan perspektif demografis, klinis
dan neurobiologi sehingga kemungkinan memiliki kesamaan diatesis. 11

Gambar 2. Diatesis Bunuh Diri11

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 16


Studi post mortem pada orang yang meninggal akibat bunuh diri menunjukkan
perubahan pada beberapa tipe sel (sel neuron dan glial seperti astrosit dan oligodendrosit)
pada area kortikal dan subkortikal pada otak. Pada batang otak, bunuh diri berhubungan
dengan ditemukan lebih banyaknya neuron serotonin dan lebih banyak ekspresi gen
triptofan hidroksilase 2 (TPH 2) sehingga kemungkinan akan didapatkan konsentrasi
serotonin yang lebih tinggi dibanding individu yang meninggal mendadak yang
diakibatkan oleh kondisi lain selain bunuh diri dan gangguan psikiatri. Studi
neuroimaging mempelajari hubungan sirkuit pada otak dengan perubahan terlokalisir
pada neurokemistri yang mengatur mood, agresifitas yang reaktif dan komponen dalam
mengambil keputusan dari diatesis.11

Pencitraan MRI fungsional dapat menunjukkan aktivitas pada beberapa regio


otak dan penggunaan teknik neuroimaging molekuler dapat membantu mengkuantifikasi
jumlah neurotransmitter spesifik pada orang yang telah melakukan percobaan bunuh diri
namun tidak meninggal dan membandingkannya dengan individu yang mengalami
gangguan psikiatri untuk menginvestigasi langsung diatesis dari bunuh diri. 11

2.2.1 Sistem Serotonergik


Kebanyakan studi neuroimaging berfokus pada sistem serotonin. Dua regio otak,
yang pertama pada bagian anterior cingulate dan korteks prefrontal media yang kedua
pada bagian lateral korteks prefrontal menunjukkan adanya aktifitas yang berhubungan
dengan tingkat letalitas dari perilaku bunuh diri pada orang dengan depresi berat. Studi
ini dilakukan dengan mengukur uptake Fluorodeoksiglukosa-18 (FDG) menggunakan
PET. Studi melalui PET menunjukkan adanya defisit transporter serotonin binding pada
neuron serotonin dari orang yang mengalami depresi dan telah melakukan percobaan
bunuh diri dibanding orang dengan depresi yang tidak melakukan bunuh diri maupun
terhadap orang yang sehat.12

Sistem serotonergik berhubungan dengan depresi dan perilaku impulsif serta


agresif, dua kondisi klinis tersebut berhubungan dengan bunuh diri dan menjadi faktor
yang mendukung pada bunuh diri. Serotonin [5-hidroksitriptamin (5-HT)] disintesis dari
triptofan melalui triptofan hidroksilase (TH) pada ujung syaraf serotonin dan sel-sel
lainnya kecuali trombosit. Serotonin berperan dalam mengatur mood, kecemasan, tidur,
kognisi, memori dan agresi. Triptofan (TH) sering dijadikan sebagai determinan dari

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 17


aktifitas 5-HT. Individu yang mengalami depresi berat dan bunuh diri pada regio kortikal
dan subkortikal otaknya terjadi penurunan transmisi serotonin serta elevasi ekspresi
mRNA dari TH2 dapat dikenali sebagai mekanisme kompensasi akibat penurunan
transmisi serotonin sentral atau akibat meningkatnya respons stress. 12

2.2.2 Sistem Dopaminergik


Sintesis katekolamin pada manusia dimulai dengan asam amino tirosin, L-tirosin yang
terkonsentrasi pada otak dan sistem syaraf simpatis kemudian dikonversikan menjadi L-
DOPA oleh enzim tirosin hidroksilase. L-DOPA akan dikonversikan menjadi dopamin.
Norepinefrin dan epinefrin disintesis dari dopamin. Dopamin dimetabolisme oleh katekol-O-
metil transferase (COMT) dan enzim monoamin oksidase (MAO) menjadi asam 3,4-
dihiroksifenilasetat (DOPAC) dan asam homovanilik (HVA). Dopamin bekerja dengan
berikatan pada lima subreseptor (D1, D2, D3, D4, D5) dan memiliki peran penting terhadap
mood, agresi, motivasi, reward dan atensi. Jumlah penelitian terkait sistem dopaminergik
pada bunuh diri lebih sedikit dibanding neurotransmitter lainnya.12
Studi sebelumnya mempelajari metabolit dopamin, reseptor dopamin dan respon
Growth Hormone (GH) terhadap apomorfin (agonis reseptor dopamin). Pada pasien yang
telah melakukan percobaan bunuh diri ditemukan peningkatan kadar HVA pada hipokampus,
namun kondisi tersebut tidak ditemukan pada bagian korteks. Studi yang dilakukan oleh
Ohmori et al (1992) yang membandingkan kadar HVA pada korteks pasien yang telah
melakukan percobaan bunuh diri terhadap pasien yang mengalami sakit fisik, didapatkan
tingginya kadar HVA pada korteks frontal dari pasien yang melakukan percobaan bunuh diri.
Studi yang mempelajari aktivitas dopamin dengan mengukur kadar metabolit dopamin di
dalam cairan serebrospinal menunjukkan bahwa kadar HVA lebih rendah pada kelompok
yang melakukan bunuh diri dibanding kelompok kontrol.12
Perbandingan respons GH terhadap apomorfin antara 8 laki-laki yang merupakan
pasien depresi dan meninggal akibat bunuh diri terhadap 18 pasien depresi yang tidak
melakukan bunuh diri, didapatkan puncak respon apomorfin terhadap GH yang secara
signifikan lebih rendah bila dibanding dengan pasien yang melakukan bunuh diri. Temuan
tersebut dapat diinterpretasikan bahwa terjadi disfungsi dopaminergik pada orang yang telah
melakukan bunuh diri.12

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 18


2.2.3 Sistem Noradrenergik
Adrenalin (epinefrin) disintesis dari tirosin dan fenilalanin pada kelenjar adrenal
danotak. Adrenalin memiliki efek fisiologis dan berepean dalam fungsi kognitif.
Adrenalin juga berperan pada mood dan bunuh diri. Noradrenalin disintesis oleh neuron
locus coeruleus (LC). Terdapat penurunan intensitas pigmen dan jumlah total neuron LC
pada hemisfer kiri otak pada individu yang melakukan bunuh diri. Ada dua jenis
reseptor adrenergik, yaitu α dan β. Reseptor alfa-adrenergik lebih sering diteliti dalam
studi terkait bunuh diri. Studi tersebut telah menunjukkan bahwa terdapat peningkatan
konsentrasi ikatan reseptor α2-adrenergik pada hipotalamus dan korteks frontal pasien
depresi yang telah menjadi korban bunuh diri dibanding kelompok kontrol. Studi terkini
juga menunjukkan adanya peningkatan ikatan reseptor α2-adrenergik pada korteks
frontal pasien bunuh diri akibat depresi.12

2.2.4 Sistem Gabaergik


Gamma-aminobutyric acid (GABA) merupakan neurotransmitter inhibitor dan
bekerja melalui reseptor GABA-A dan GABA-B. Terdapat penurunan ekspresi alfa1,
alfa3, alfa4 dan subunit delta mRNA dari subunit GABA-A pada korteks lobus frontal
individu yang bunuh diri. Studi lainnya menunjukkan bahwa terdapat penurunan
ekspresi subunit GABA-A pada struktur kortikal. Ekspresi reseptor GABA-A
dikoordinasikan oleh regio tertentu pada otak manusia dan pengaturan ini seringkali
mengalami perubahan terutama pada regio otak yang resisten terhadap stressor yang
berlebihan seperti pada bagian amigdala dan hipokampus, pada kasus bunuh diri
akibat depresi regio tersebut mengalami inhibisi dalam persinyalan yang berperan
dalam pengaturan GABA-A subunit dan berhubungan dengan kasus depresi serta
bunuh diri.12

Tidak terdapat perbedaan jumlah ikatan reseptor GABA-B antara korban


bunuh diri dengan kelompok kontrol pada hipokampus dan korteks frontal dan
temporal. Studi yang meneliti bagaimana perbandingan jumlah ikatan reseptor
GABA-A pada LC oleh flunitrazepam menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
yang signifikan antara kelompok kontrol, individu dengan gangguan depresi berat dan
korban bunuh diri. Temuan tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat perubahan
pada tempat berikatan reseptor GABA pada korban bunuh diri. Sangat sedikit
penelitian yang mempelajari hubungan antara GABA dengan bunuh diri, sehingga

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 19


hasil-hasil studi tersebut tidak adekuat untuk menyatakan bahwa terdapat hubungan
antara disfungsi sistem GABA dengan bunuh diri.12

2.2.5 Hipotalamic Pituitary Adrenal Axis (HPA Axis)


Hiperaktifitas hypothalamo-pituitary-adrenal (HPA) dengan peningkatan sekresi
corticotropinereleasing hormone (CRH). Sebuah studi menemukan bahwa reaktivitas kortisol
yang lebih rendah terhadap stres diprediksi meningkatkan tingkat ide bunuh diri pada satu
bulan tindak lanjut dalam kelompok percobaan bunuh diri tetapi tidak pada kelompok ideator
bunuh diri. Temuan ini bertentangan dengan Giletta et al. (2015) ketika menemukan bahwa
peningkatan reaktivitas kortisol terhadap stres adalah prediktor terkuat dari ide bunuh diri
pada tindak lanjut tiga bulan pada wanita remaja yang berisiko.Mungkin saja otak remaja
lebih sensitif terhadap efek kortisol tingkat tinggi dan / atau otak orang dewasa lebih
responsif terhadap efek kortisol tingkat rendah (faktor yang terkait dengan gangguan fungsi
kontrol eksekutif dan kapasitas untuk beradaptasi dengan stresor) ).Para penulis ini
berpendapat bahwa temuan mereka menunjukkan bahwa stres dapat menyebabkan
fleksibilitas kognitif dan penurunan kemampuan untuk mencegah tindakan yang tidak tepat
yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap perilaku bunuh diri. 13

Diskusi Hasil dari meta-analisis mengkonfirmasi bahwa aktivitas sumbu HPA, seperti
yang ditunjukkan oleh variasi tergantung usia dalam tingkat kortisol yang terjadi secara alami,
terkait dengan upaya bunuh diri. Umumnya sampel yang lebih muda, kurang dari 40 tahun,
hubungannya positif, sehingga upaya bunuh diri dikaitkan dengan kadar kortisol yang lebih
besar, tetapi untuk sampel yang lebih lama efeknya terbalik, dengan upaya bunuh diri yang
terkait dengan kadar kortisol yang lebih rendah. Tingkat kortisol yang berfluktuasi secara
alami dapat memberikan indeks untuk jumlah paparan stres yang dialami individu.
Pandangan ini juga konsisten dengan teori yang berpengaruh terhadap perkembangan
hipokortisolisme, yang menunjukkan bahwa fenomena yang terakhir terjadi setelah periode
yang terlalu lama dari hiperaktif aksis HPA karena tekanan kronis. Dengan demikian,
individu yang lebih muda (kurang dari 40 tahun), yang telah terpapar stres serius dan
peristiwa psikososial, cenderung terus menunjukkan respons stres aksis HPA adaptif dalam
jangka pendek hingga menengah (dengan melepas kortisol tingkat tinggi sebagai respons
untuk lingkungan yang merugikan dan penuh tekanan). Sebaliknya, pada individu yang lebih
tua (40 tahun atau lebih tua) dan yang cenderung terpapar stres dan peristiwa traumatis
selama periode yang lebih lama, lebih berkelanjutan, poros HPA mereka mungkin telah
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 20
menjadi tidak terregulasi yang mengarah ke bagian yang lebih rendah dari tingkat kortisol
yang bersirkulasi.14

Sebagai akibatnya, adalah mungkin bahwa pada individu yang berusia di atas 40
tahun, bahwa semakin mereka gagal untuk me respons kortisol yang tepat, semakin besar
risiko bunuh diri. Sebagai contoh, hiporesponsivitas aksis HPA terhadap stressor akut (dan
juga hiperresponsivitas) telah ditemukan mengganggu proses pengambilan keputusan dan
reaktivitas emosional, aspek fungsi kognitif yang berhubungan dengan perilaku bunuh diri.14

2.2.6 Metabolisme Lipid


Kolesterol adalah komponen inti dari sistem saraf pusat (CNS), penting untuk
stabilitas membran sel, dan berfungsinya neurotransmisi dengan baik. Dalam penelitian
ditemukan bahwa kolesterol total, kolesterol LDL, lipid total, dan trigliserida secara
signifikan lebih rendah pada pasien dengan skizofrenia yang melakukan upaya bunuh diri.
Kadar lipid yang lebih rendah pada orang dengan skizofrenia juga dapat berhubungan dengan
terjadinya sindrom metabolik. Sehubungan dengan ini, Vuksan-Cusa et al. mengamati bahwa
prevalensi sindrom metabolik pada orang dengan skizofrenia lebih rendah pada percobaan
bunuh diri dibandingkan pada yang tidak mencoba.15

Ada banyak hipotesis yang telah mencoba menjelaskan mekanisme di mana kadar
kolesterol dapat memengaruhi risiko percobaan bunuh diri. Pandangan yang paling banyak
dipegang adalah bahwa mungkin ada hubungan antara kadar kolesterol serum dan sistem
serotonergik saraf pusat melalui pengurangan aktivitas serotonin otak. Hipotesis lain adalah
bahwa metabolisme fosfolipid hancur, menggabungkan defisit penggabungan asam lemak
jenuh poliun dalam membran dengan peningkatan kerusakan. Kemudian pendapat lain bahwa
kolesterol dapat memengaruhi keadaan dan perilaku penyakit, karena kolesterol dapat
berperan dalam produksi selubung mielin, dalam pertukaran trans-membran, fungsi enzim,
dalam sintesis hormon steroid, dan ekspresi reseptor neurotransmitter.15

2.2.7 Brain Derived Neurotropic Factor


Kesulitan yang muncul di awal kehidupan mungkin menginduksi efek jangka panjang
melalui perubahan epigenetik pada jalur gen.Poros hypothalamic–pituitary–adrenal mengatur
respons fisiologis untuk memfasilitasi mekanisme coping terhadap stres dalam perubahan
lingkungan atau peristiwa yang menantang, terutama melalui pengaturan kortisol. Individu
yang telah mengalami kesulitan di awal kehidupan memiliki Poros hypothalamic–pituitary–
adrenal yang hiperaktif dan peningkatan respon stres, yang sebagian disebabkan oleh

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 21


penurunan ekspresi hipokampus dari reseptor glukokortikoid dan dikaitkan dengan
peningkatan metilasi DNA promoter di kedua jaringan saraf pusat dan jaringan perifer seperti
darah atau air liur. FKBP5 menghambat transduksi sinyal reseptor glukokortikoid dan
mungkin berkontribusi pada risiko perilaku bunuh diri; Varian urutan FKBP5 dikaitkan
dengan peningkatan risiko perilaku bunuh diri, terutama pada orang yang telah mengalami
kesulitan di awal kehidupan.5

Kesulitan di awal kehidupan juga terkait dengan modifikasi epigenetik dari gen yang
terlibat dalam plastisitas neuron, pertumbuhan saraf, dan perlindungan saraf. Hewan
percobaan yang dimunculkan kesulitan di awal kehidupan menunjukkan hipermetilasi dan
akibatnya downregulation BDNF. Studi tentang jaringan otak dari orang yang berhasil bunuh
diri menunjukkan bahwa mRNA mengkode BDNF dan reseptornya TRKB yang diatur di
beberapa daerah otak termasuk korteks prefrontal dan hippocampus. Beberapa studi
melaporkan perubahan metilasi yaitu penurunan brain-derived neurotrophic factor (BDNF)
dan tropomyosin receptor kinase B (TRKB) di otak orang yang meninggal karena bunuh diri
dibandingkan dengan orang yang meninggal karena sebab lain. Studi asosiasi genome orang
dengan depresi atau orang yang meninggal karena bunuh diri diidentifikasi perubahan
metilasi gen yang terkait dengan stres, proses kognitif, dan plastisitas saraf.5

2.2.8 Neuroimmune System (Sitokin)


Studi postmortem menunjukkan peningkatan kepadatan mikroglial pada dua
pasien skizofrenia yang telah bunuh diri. Karena itu,hipotesis aktivasi mikroglial
selama psikosis akut diusulkan. Atau, 'bunuh diri' bisa menjadi faktor diagnosis-
independen yang mengarah ke mikrogliosis. Untuk mengklarifikasi pertanyaan ini,
ekspresi HLA-DR mikroglia dianalisis dengan imunohistokimia pada 16 pasien
dengan skizofrenia, 14 pasien depresi dengan gangguan afektif dan 10 kontrol yang
cocok dalam penelitian ini. Subkelompok dari enam penderita skizofrenia dan tujuh
pasien dengan gangguan afektif yang bunuh diri dimasukkan.Imunohistokimia HLA-
DR terpilih menjadi indikator sensitif dari aktivasi mikroglial pada proses
neuroinflamasi dan neurodegeneratif.16

Penelitian melaporkan jumlah CD3- yang sedikit meningkat dan sel T CD4-
positif dalam darah dan peningkatan jumlah makrofag di cairan serebrospinal selama
episode psikotik akut. Selain itu, timbulnya skizofrenia di awal masa dewasa, dengan
progresif, eksaserbasi dan remisi, menunjukkan kesamaan untuk gangguan autoimun

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 22


(mis., multiple sclerosis).Beberapa penelitian telah mengindikasikan deregulasi
sitokin sebagai (co) etiologi pada skizofrenia, karena inflamasi sitokin dapat
mempengaruhi noradrenergik, serotonergik dan neurotransmisi dopaminergik, yang
mengarah ke psikosis atau depresi.16

Sel-sel mikroglial tidak hanya mengekspresikan reseptor untuk kemokin dan


sitokin tetapi juga untuk CRH dan neurotransmiter seperti GABA, glutamat, adrenalin,
noradrenalin dan dopamin. Mikroglia berfungsi sebagai substrat untuk membersihkan
komponen yang dapat mengancam sistem saraf. Dibawah tekanan,sel-sel mikroglial
mengalami transformasi fenotipik, regulasi dari antigen-presenting molecules (MHC-
II / HLA, CD80, CD86 dan CD40), peningkatan produksi sitokin proinflamasi (seperti
interleukin-1ß / IL-1ß, interleukin-2 / IL-2, interleukin-6 / IL-6, tumor necrosis factor
a / TNF-a), dan aktivitas fagositosis. Mekanisme ini mungkin berperan dalam tahap
presuicidal.16

Di sisi lain, IL-1ß dan IL-2 (yang diproduksi oleh sel-sel mikroglial) dapat
memodulasi neurotransmission katekolaminergik. IL-2 dikenal dapat memicu depresi,
episode psikotik sementara atau bahkan bunuh diri dalam kasus yang jarang terjadi
bila diberikan secara terapeutik secara sistemik dalam terapi antikanker. Nitric oxide
(NO) tidak hanya mempengaruhi aktivitas monoaminergik serebral, tetapi juga
menurunkan serotonin dalam kultur jaringan. NO dan metabolitnya juga memainkan
peran penting dalam gangguan afektif dan skizofrenia. Menariknya, baru-baru ini
ditunjukkan bahwa nitrat metabolit oksida (NOX) secara signifikan meningkat di
plasma pasien setelah upaya bunuh diri. Jadi, sitokin mikroglial atau iNOS mungkin
berperan dalam memicu kejadian bunuh diri.16

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 23


BAB III

KESIMPULAN
Bunuh diri merupakan suatu kegawatdaruratan psikiatri yang merupakan tindakan
destruktif yang dapat merusak intergritas diri. Bunuh bisa disebabkan oleh beberapa faktor,
seperti faktor sosiologis, faktor psikologis, faktor biologis, dan faktor genetik. Risiko tinggi
terjadinya tindak bunuh diri adalah laki-laki, usia makin tua, isolasi sosial atau hidup seorang
diri, riwayat bunuh diri atau percobaan bunuh diri dalam keluarga, riwayat menderita sakit
atau nyeri kronik, baru menjalani operasi, tidak mempunyai pekerjaan, sudah membereskan
segala urusan duniawinya dan akan mengalami ulang tahun (anniversary) suatu kehilangan.
Gangguan jiwa yang sering berkaitan dengan bunuh diri adalah gangguan mood,
ketergantungan alkohol, skizofrenia dalam jumlah yang relatif kecil.

Pengenalan risiko tinggi dengan cepat dan penatalaksanaan yang baik dapat
memperbaiki prognosis, namun penanganan yang terlambat dapat memberikan komplikasi
yang dapat menyebabkan kematian.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 24


DAFTAR PUSTAKA

1. WHO Mental Health (2019). Prevention of suicidal behaviours: A task for all.
http://www.who.int/mental_health/prevention/suicide/background
– Diakses Mei 2019.
2. Bertolote JM, Fleischmann A. A global perspective in the epidemiology of suicide.
Suicidology. 2002;7:6-8.
3. Bachmann, Silke. Epidemiology of Suicide and the Psychiatric Prespective. Int J
Environ Res Public Health. 2018; 15. 1425
4. Helbich, Marco. de Beurs, Derek. Po Kwan, Mei. O’ Connor, Rory. Gronewegen,
Peter P. Natural Environtments and Suicide Mortality in the Netherlands: a cross-
sectional, ecological study. Lancet Planet Health. 2018; 2. 134-39.
5. Turecki, Gustavo. Brent, David A. Suicide and Suicidal Behaviour. Lancet. 2009;
373. 1372-81.
6. Nock, Matthew K. Borges, Guilherme. Bromet, Evelyn J. Cha, Christine B. Kessler,
Ronald C. Lee, Sing. Suicide and Suicidal Behaviour. Epidemiol Rev. 2008; 30(1):
133-154.
7. Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of Psychiatry (2 Volume Set) by
Benjamin J. Sadock (Editor), Virginia A. Sadock (Editor) Lippincott Williams &
Wilkins Publishers; 7th ed. 2000.
8. Pallanti S, Rossi NB, Hollander E. Pathological Gambling. In Clinical Manual of
Impulse-Control Disorders. American Psychiatric Publishing: Arlington, VA, USA;
2006. p. 253.
9. Klonsky ED, May AM, Saffer BY. Suicide, suicide attempts, suicidal ideation.
Annual Reviews. 2016;12:1-24.
10. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku ajar psikiatri. 2 nd ed. Badan penerbit fakultas
kedokteran universitas indonesia: Jakarta; 2013.
11. Van Heeringen, Kees. Mann, J John. The Neurobiolgy of Suicide. Lancet Psychiatry.
2014; 1. 63-72.
12. Pandey, Ghanshyam N. Biological Basis of Suicide and Suicidal Behaviour. Bipolar
Disord. 2013; 15(5): 524-541.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 25


13. Dary B, Jessica A, Ferguson E, Ronan E, Rory C. Cortisol reactivity and suicidal
behavior: Investigating the role of hypothalamic-pituitary adrenal axis responses to
stress in suicide attempters and ideators. Psychoneuroendocrinology. 2017;75:183-91.
14. Connora DB, Fergusonb E, Greena JA, Carrollc RE, Connord RC. Cortisol levels and
suicidal behavior: A meta-analysis. Psychoneuroendocrinology. 2016; 63: 370-9
15. Mensi R, Messaoud A, Mhallah A, Azizi I, Salah WH, Douki W, et al. The
association between altered lipid profile and suicide attempt among Tunisian patients
with schizophrenia. Ann Gen Psychiatry. 2016;15:36.
16. Johann S, Hendrik B, Ralf B, Peter D, Oliver U, Christian M, et al. Immunological
aspects in the neurobiology of suicide: Elevated microglial density in schizophrenia
and depression is associated with suicide. J Psychiatr Res. 2008;42:151-7.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 26

Anda mungkin juga menyukai