Anda di halaman 1dari 21

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2023


UNIVERSITAS HASANUDDIN

SELF HARM IN YOUNG PEOPLE

DISUSUN OLEH:

Annisa Al-Maghfirah
C014212231

RESIDEN PEMBIMBING:
dr. Nurul Nadya

SUPERVISOR PEMBIMBING:
dr. Erlyn Limoa, Sp.KJ, Ph.D

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:


Nama : Annisa Al-Maghfirah
NIM : C014212231
Judul Referat : Self Harm in Young People

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada


Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Makassar, Februari 2023

Supervisor Pembimbing,
Residen Pembimbing,

dr. Erlyn Limoa, Sp.KJ, Ph.D


dr. Nurul Nadya

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur tidak henti-hentinya kami panjatkan atas segala limpahan
rahmat, hidayah, kesehatan, kekuatan dan kasih sayang Allah SWT oleh karena-
Nya kami dapat menyelesaikan tugas referat ini yang berjudul “Self Harm in
Young People”. Sepanjang penyusunan referat ini, berbagai pihak telah
mengontribusikan banyak waktu, ide, dan tenaga, sehingga referat ini dapat
selesai tepat pada waktunya. Untuk itu, tidak ada yang dapat kami sampaikan
kecuali rasa terima kasih mendalam kepada semua pihak yang telah membantu,
khususnya kepada anggota kelompok kami, residen pembimbing kami, dr. Nurul
Nadya serta supervisor pembimbing kami, dr. Erlyn Limoa, Sp.KJ, Ph.D
Kami menyadari penyusunan referat ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun
demi kesempurnaan pembuatan referat di masa yang akan datang.

Makassar, Februari 2023

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................ii
KATA PENGANTAR...........................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I.......................................................................................................................5
PENDAHULUAN...................................................................................................5
BAB II.....................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................6
1. Definisi..........................................................................................................6
2. Bentuk dan Kriteria Self Harm.....................................................................7
3. Faktor Risiko.................................................................................................9
4. Diagnosis Psikiatri yang Berhubungan.......................................................12
5. Penatalaksanaan..........................................................................................15
6. Analisis Psikometri.....................................................................................15
BAB III..................................................................................................................17
KESIMPULAN.....................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................18

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Self-harm, terlepas dari motivasi atau tujuan yang berhubungan dengan


tindakan tersebut merupakan fenomena yang cukup sering pada populasi usia
muda. Data dari penelitian yang dilakukan oleh Hawton et al melaporkan bahwa
self-harm paling sering dijumpai pada usia 15-24 tahun, dengan frekuensi
perempuan lebih besar disbanding laki-laki. Namun, data yang dilaporkan tersebut
merupakan data berdasarkan pada temuan di rumah sakit, yang memiliki
kecenderungan “tip of iceberg”, diprediksikan bahwa ada lebih banyak kasus
pasien self-harm yang tidak terlapor dan mencari pertolongan medis, berdasarkan
studi komunitas diestimasikan sekitar 10% populasi usia muda melakukan self-
harm. (1)

Self-harm merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius


dan memiliki dampak signifikan, diakibatkan karena masalah fisik baik dalam
jangka waktu dekat maupun panjang yang menjadi konsekuensi. self-harm dapat
merupakan reaksi jangka pendek terhadap sebuah stressor tanpa ada implikasi
jangka panjang, namun juga dapat mengidinkasikan masalah kesehatan mental,
termasuk suicide. (2)

Self-harm biasanya dilakukan berulang, sekitar setengah pasien usia muda


yang masuk ke rumah sakit karena self-harm memiliki riwayat sebelumnya. 18%
akan mengulanginya dalam waktu satu tahun. Self-harm memiliki hubungan erat
dengan percobaan bunuh diri, sebesar 40-60% pasien yang meninggal karena
bunuh diri memiliki riwayat self-harm sebelumnya.(3)

Menurut Owens et al, risiko bunuh diri pada populasi pasien self-harm
ratusan kali lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum. Bunuh diri
merupakan penyebab kedua tersering kematian pada usia muda secara global. (3)

Berdasarkan hubungan tersebut, sangat penting bagi praktisi kesehatan


untuk melakukan penemuan kasus dan penatalaksanaan self-harm terhadap pasien
usia muda.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Self-harm adalah suatu bentuk perilaku menyakiti diri sendiri yang


dilakukan individu karena permasalahan yang kompleks dan rumit, ingatan
yang menyakitkan, atau keadaan yang diluar kendali, sebagai cara untuk
mengatasi tekanan secara emosional atau rasa sakit secara psikis yang
tidak tertahankkan, dialami oleh individu dengan melukai diri sendiri tanpa
berniat untuk melakukan bunuh diri, namun dapat mengancam jiwa
individu Perilaku yang cenderung merugikan diri sendiri untuk mengatasi
rasa sakit secara emosional karena permasalahan dan tekanan psikologis
adalah bentuk dari perilaku self-harm yang dapat mengarah kepada
perilaku bunuh diri dan menyebabkan kematian. (4)
The International Society For Study Self Injury mendifinisikan self
harm adalah suatu perilaku menyakiti diri sendiri yang dilakukan dengan
sengaja dan menghancurkan diri sendiri yang mengakibatkan kerusakan
langsung pada jaringan tubuh, bukan sebagai sanksi sosial dan tanpa
maksud untuk melakukan bunuh diri. (5)
Dalam DSM-V (Diagostic and Statistical Manual of Mental
Disorders edisi kelima) self harm telah diklaim sebagai gangguan yang
tidak bergantung dengan gangguan mental lainnya atau dapat dikatakan
terpisah dari gangguan mental lainnya, berbeda dari DSM IV-TR
(Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV- Text Revision)
self-harm masih belum dipisahkan dari gangguan lainnya. Gangguan ini
disebut sebagai non- sucidal self injury (NSSI). Dalam DSM-V
menyebutkan kriteria non- suicidal self injury (NSSI) antara lain :
1) Individu sudah melakukan perilaku self-harm, selama kurang lebih dua
belas bulan terakhir, dan dilakukan pada lima hari yang berbedabeda.
2) Self injury adalah perilaku yang cukup berbahaya dan bukanlah hal
yang sepele dan tidak merupakan bagian dari sebuah praktek yang diterima
secara

6
sosial Perilaku self-injury bukan hal sepele yang dapat diterima secara
sosial dan bukan sebagai sanksi sosial. (6)

2. Bentuk dan Kriteria Self Harm

Berdasarkan studi dengan sampel nontreatment yang terbesar


sejauh ini, bentuk perilaku yang paling umum adalah menggaruk atau
mencakar secara berlebihan. Untuk bentuk perilaku menggaruk ini, area-
area tubuh yang paling cenderung mengalami luka adalah lengan,
kemudian jari-jari tangan, pergelangan tangan, paha, dan perut. Sedangkan
dari sampel treatment, bentuk perilaku yang paling lazim adalah mengiris
atau menyayat kulit, yang diperbuat oleh lebih dari 70% dari subyek yang
melukai diri (7) Penting untuk diperhatikan bahwa pada kebanyakan
individu ini,
cara atau metode melukai diri bisa lebih dari satu. Di samping itu,
perbuatan ini dilakukan hanya sekali atau beberapa kali saja. Namun ada
kalangan mereka dalam jumlah yang lebih kecil terlibat dalam perlaku ini
secara kronis. Pelaku kronis seringkali mengalami dorongan-dorongan
yang kuat untuk melukai diri dan pada saat yang bersamaan mereka juga
berupaya keras untuk menahannya (8)
Kriteria perilaku self-harm menurut DSM-V memiliki 6 kriteria
yaitu:
1. Kriteria A: Kriteria A dalam DSM-V berdasarkan dari beberapa tahun
terakhir individu melakukan self-harm setidaknya 5 hari atau lebih yang
terlibat dalam perilaku merusak diri atau menyaikiti diri sendiri yang
dilakukan secara sengaja pada permukaan tubuh individu tersebut, perilaku
self-harm yang dilakukan pada kriteria A dapat menginduksi pendarahan,
memar, nyeri, perih seperti perilaku memotong, membakar, menikam,
memukul, menyayat, dan menggosok dengan berlebihan. Perilaku self-
harm ini tidak memiliki tujuan sebagai sanksi sosial, namun perilaku ini
dilakukan dengan harapan jika cedera yang dilakukan hanya menyebabkan
kerusakan fisik ringan atau sedang dan tidak.
2. Kriteria B: Pada kriteria B individu melakukan perilaku self-harm
dengan disengaja dan berhubungan dengan kesulitan interpersonal,
7
mengkontrol

8
perasaan atau pikiran yang negatif dan menginduksi perasaan positif.
Respon yang diinginkan dialami selamat atau segera setelah melakukan
self-harm dan individu dapat menunjukkan perilaku ketergantungan.
3. Kriteria C: Kriteria C pada DSM-V menyebutkan bahwa perilaku self-
harm yang dilakukan individu secara sengaja dan berkaitan dengan
kesulitan interpersonal atau perasaan seperti depresi, kecemasan,
ketegangan, kemarahan, tekanan umum atau kritik dan terjadi pada periode
sebelum melakukan perilaku self-harm. Frekuensi untuk melakukan
tindakan self-harm terjadi dengan cepat dan dapat menyebabkan gangguan
yang cukup signifikan secara klinis yang berkatian dengan interpersonal,
akademis dan hal penting lainnya.
4. Kriteria D: Pada kriteria D, perilaku individu bukanlah merupakan
sebagai sanksi sosial seperti tindik badan, tato, bagian dari ritual agama
atau budaya dan perilalu yang sering dilakukan adalah mengelupas bekas
luka dan menggigit kuku.
5. Kriteria E: Perilaku individu yang mengalami self-harm pada kriteria E
tidak memiliki niat untuk melakukan bunuh diri dan menyebabkan
individu gangguan atau interferensi secara klinis dalam interpersonal,
akademis, atau bidak penting lainnya yang berfungsi dalam hidup individu.
6. Kriteria F: Perilaku individu tidak terjadi selama periode psikosis,
delirium, intoksikasi zat, atau penarikan zat. Pada individu dengan neurode
pada gangguan perkembangan, perilaku self-harm bukan bagian dari pola
stereotip berulang. Dan perilaku tersebut juga tidak dapat dipertanggung
jawabkan oleh individu yang mengalami gangguan mental atau medis
seperti gangguan psikotik, autisme, gangguan intelektual, sindrom Lesch-
Nyhan, stereotip movement disorder dan perilaku melukai diri sendiri,
trichotillomania (gangguan menarik atau mencabut rambut) dan gangguan
mengelupas kulit. (6)
Bentuk perilaku self-harm yang paling terkenal seperti (4):
 Menggaruk atau mencubit dengan kuku atau menggunakan benda
tajam lainnya sampai terjadinya pendarahan atau membekas pada
kulit.

9
 Memotong, merobek, mengukir simbol tertentu pada pergelangan
tangan, lengan, kaki, tubuh atau bagian tubuh lainnya.
 Membenturkan atau memukul diri sendiri hingga memar atau
mengalami pendarahan (sadar jika melukai diri sendiri).
 Menggigit bagian tubuh sampai berdarah atau meninggalkan bekas
pada kulit.
 Menarik rambut dengan kuat, mencabuti bulu mata atau alisdengan
niat untuk menyakiti diri sendiri.
 Secara sengaja mencegah penyembuhan luka.
 Membakar kulit.
 Menanamkan benda-benda ke dalam kulit.
 Memasukkan sesuatu dan menyakiti urethra atau vagina.

3. Faktor Risiko

Berdasarkan dari beberapa penlitian yang meneliti mengenai


selfharm, faktor yang menyebabkan individu melakukan perilaku melukai
diri sendiri atau self-harm adalah faktor mekanisme pertahanan diri dalam
strategi coping yang negatif. Masa kecil individu yang mengalami trauma
psikologis, kurangnya komunikasi dalam keluarga individu, tidak adanya
keharmonisan dan kehangatan dalam keluarga, permasalahan yang terjadi
di sekolah, permasalahan dalam hubungan percintaan, permasalahan
dengan teman, kejadian buruk yang pernah dialami dan stres dalam
menjalani kehidupan. Masa lalu yang tidak menyenangkan dan
mengakibatkan individu mengalami trauma, keluarga yang tidak harmonis
dan tidak mendukung, permasalahan dengan pergaulan sosial adalah
penyebab utama individu melakukan perilaku self-harm. Selain dari
beberapa faktor diatas faktor yang menyebabkan remaja melakukan self-
harm juga bisa disebabkan (9):

1. Untuk mengatur intensitas emosi negatif yang ada pada individu


2. Untuk membangkitan emosi ketika merasa mati rasa
3. Untuk melakukan kontrol diri dan menghukum diri sendiri

1
4. Sebagai gangguan, merangsang untuk meningkatkan perilaku
terburuburu.
5. Untuk mendapatkan perhatian dari orang lain
6. Untuk dapat bergabung dalam suatu komunitas tertentu
Karakteristik dalam melakukan perilaku self-harm berdasarkan dari
beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa karakteristik
psikologis perilaku self-harm adalah:
a. Emosionalitas Negatif
Dibandingkan dengan mereka yang tidak melakukan self-harm, mereka
yang terlibat dalam self-harm mengalami emosi-emosi negatif yang
lebih sering dan lebih intens dalam kehidupan sehari-hari. Pelaku self-
harm ditemukakan menunjukkan skor tinggi pada pengukuran untuk
temperamen negatif, disregulasi emosi, depresi, dan anxietas.
Pengalaman yang intens dalam emosi-emosi negatif merupakan alasan
utama bagi self-harm, dan self-harm pada gilirannya bisa secara
berkala dirasakan oleh subyek meringankan atau mengurangi beban
distres emosional. self-harm juga secara luas dikonseptualisasikan
sebagai problem dalam mengontrol impuls-impuls). Impulsivitas juga
berasosiasi dengan gangguan makan (eating disorders), khususnya
bulimia nervosa dan anorexia nervosa. Kendati terdapat evidensi
bahwa impulsivitas terlibat di dalam asosiasi antara gangguan makan
dan self- harm, meningkatnya impulsivitas sendiri tidak dapat
menjelaskan adanya asosiasi ini. (10,11)
b. Defisit dalam Keterampilan Emosi (Emotion Skill)
Di samping adanya peningkatan emosi negatif, mereka juga mengalami
kesulitan-kesulitan dalam mengelola pengalaman, kesadaran, dan
ekspresi emosi. Contohnya, studi oleh Gratz et al., 2002, dan studi
lainnya oleh Zlotnick et al., 1996, yang dikutip oleh Klonsky dan
Muehlenkamp, menemukakan bahwa subyek self-harm lebih mudah
mengalami periode-periode disosiasif, di mana sepanjang periode ini
pengalaman emosi mengalami hambatan. Subyek sering
mendeskripsikan pengalaman emosional mereka seperti “merasa tidak

1
ada apa-apa” atau “merasa tidak nyata” selama episode disosiatif.
Selain itu subyek cenderung mengalami aleksithimia (kesulitan dalam
mengidentifikasikan atau memahami emosi-emosi mereka sendiri),
serta kurang sadar atau waspada akan emosi mereka. Ciri lainnya
adalah kesulitan untuk mengekspresikan emosi dibandingkan orang
yang tidak melakukan self-harm. Masih sedikit yang kita ketahui
mengenai bagaimana self-harm dipengaruhi oleh, dan pada gilirannya
mempengaruhi, aspek-aspek lain dalam kesehatan mental selama masa
perkembangan: sejauh mana sebenarnya problem-problem psikologis
bertindak sebagai faktor resiko untuk self-harm dan sebaliknya. (12)
c. Derogasi Diri
Subyek dengan self-harm sering melakukan derogasi-diri. Yang
dimasudkan dengan karakteristik ini adalah pengalaman emosional
yang intens untuk mengkritik, mengecam, menghukum, membenci,
atau marah terhadap diri sendiri. Menurut Klonsky, individu yang
tinggi dalam emosionalitas negatif maupun derogasi-diri beresiko
tinggi pula untuk self-harm, kendati riset sejauh ini belum secara
spesifik menggali lebih jauh kombinasi kedua karakteristik dalam
kaitannya dengan terjadinya self-harm. Temuan oleh Ross dan Heath,
menyimpulkan bahwa individu yang melukai-diri memperlihatkan
derajat yang lebih besar untuk rasa kebencian disertai kehendak
menghukum yang diarahkan ke luar diri (extrapunitive) dan rasa
kebencian yang diarahkan untuk menghukum diri (intrapunitive).
Contoh dari yang pertama adalah sikap sinis, membenci, atau mudah
menjadi marah, sedangkan contoh yang kedua adalah meragukan diri-
sendiri, rasa bersalah, dan mengecam diri-sendiri. Tendensi untuk
menjadi mudah marah atau gusar, dan pada saat yang bersamaan
mengalami kebencian-diri serta rasa bersalah bisa berakibat pada
menjadikan diri sendiri sebagai target dari perasaan- perasaan negatif
ini. (13)

1
4. Diagnosis Psikiatri yang Berhubungan

a. Borderline Personality Disorder


Di dalam DSM edisi 4, revisi teks (2000), self-harm muncul hanya
sekali sebagai suatu simptom dari borderline personality disorder
(BPD). Hubungan antara self-harm dan gangguan kepribadian ini
tidaklah mengherankan oleh karena emosionalitas negatif dan
disregulasi emosi merupakan karakteristik utama untuk keduanya. Oleh
karena itu terdapat bukti yang kuat bahwa subyek dengan self-harm
memperlihatkan lebih banyak simptom-simptom yang ada pada BPD.
Self-harm sebagai satu kriteria untuk borderline personality disorder di
dalam DSM-IV dinilai oleh Wilkinson dan Goodyer (2011) sebagai
tidak tepat untuk beberapa alasan. Pertama, banyak klinisian percaya
bahwa diagnosis gangguan kepribadian selayaknya tidak diberikan
untuk anak dan remaja oleh karena kepribadian mereka masih
berkembang. Kedua, self-harm sering ditemukan pada pasien dengan
gangguan psikiatrik, termasuk depresi, PTSD, anxietas, conduct
disorder, dan substance misuse disorder. Ketiga, self-harm bisa saja
hadir dan menjadi suatu problem bagi individu yang tidak memenuhi
kriteria diagnostik untuk suatu gangguan mental atau gangguan
kepribadian. Keempat, asumsi mengenai BPD bisa mengarah pada bias
di dalam persepsi klinisian mengenai seorang remaja yang tengah
mengalami gangguan mental. Ada resiko kalau kita sekedar
menerjemahkan informasi mengenai tritmen yang sebenarnya
diperoleh dari populasi usia dan klinis yang berbeda. Perkembangan
yang menggembirakan adalah self-harm telah memperoleh pengakuan
sebagai kategori diagnostik sendiri dan nama yang diusulkan dalam
DSM-V (2010) adalah: non-suicidal self-injury. (4)
b. Gangguan depresi dan kecemasan
Simptom-simptom depresif dan anxietas juga berasosiasi secara
signifikan dengan self-harm. Seperti halnya dengan borderline
personality disorder, depresi dan anxietas ditandai oleh emosionalitas
negatif dan disregulasi emosi. Semakin tinggi tingkat depresi dan

1
anxietas maka semakin sering tindak self-harm terjadi. Menurut
Klonsky, anxietas, dan bukan depresi, mempunyai relasi lebih kuat
dengan self-harm. Spekulasi ini didasarkan pada kenyataan bahwa
anxietas lebih bersangkutan dengan emotional arousal ataupun tekanan
emosional yang acapkali mengarah pada self-harm. Studi oleh
Andover, Pepper, Ryabchenko, Orrico dan Gibb mencoba meneliti
perbedaan antara anxietas dan depresi di kalangan pelaku self-harm
dengan bentuk sayatan dan bentuk-bentuk yang lain. Temuan studi ini
menunjukkan bahwa pelaku self-harm secara signifikan memiliki lebih
banyak simptom-simptom depresi dan anxietas dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Apabila dibedakan menurut bentuk self-harm-nya,
mereka yang menyayat diri menunjukkan secara signifikan tingkat
anxietas lebih daripada benuk-bentuk self-harm lainnya, tetapi
keduanya mempunyai tingkat depresi yang sama. (14, 15)
c. Substance Abuse
Self-harm dan substance abuse sama-sama mengandung tindakan yang
merugikan atau menyakiti diri secara fisiologis, dan oleh karena itu
perbuatan keduanya dilatarbelakani oleh proses-proses psikologis yang
mirip. Joiner berteori bahwa penggunaan zat-zat berbahaya berperan
dalam menciptakan habituasi (pembiasaan) dalam individu untuk
melakukan kekerasan yang ditimbulkan oleh diri sendiri. Memang ada
temuan bahwa inidividu dengan subtance disorders lebih banyak
melakukan self-harm daripada bukan pengguna zat terlarang. (16)
d. Childhood Abuse
Relasi antara self-harm dan child abuse sedikit lebih problematik. Ada
sekalangan profesional dalam kesehatan mental yang berpendirian kuat
bahwa pelaku self-harm pernah mengalami abuse pada masa kecil,
khususnya yang berkonotasi seksual. Bagi kalangan ini, self-harm
adalah semacam pengulangan kembali tindak abuse yang pernah terjadi
pada diri subyek. Namun sejumlah riset yang lebih baru menyimpulkan
bahwa child sexual abuse dapat dikonseptualisasikan sebagai sebuah
faktor resiko (proxy risk factor) untuk self-harm. Dengan kata lain,
child

1
sexual abuse dan self-harm bisa berhubungan karena keduanya
berkorelasi dengan faktor-faktor resiko psikologis yang sama. Jadi,
walau child abuse bisa memainkan peranan penting untuk self-harm,
namun banyak dari mereka yang pernah mengalami abuse tidak
mengembangkan self-harm, dan sebaliknya juga bahwa mereka yang
melakukan self-harm belum pernah mengalami abuse. Dalam ranah
abuse ini, temuan oleh Pierro dkk. (2012) terhadap 267 partisipan non-
klinis (188 wanita dan 79 pria; rentang usia 16-19 tahun) di Italia
menarik untuk disebutkan di sini. Temuan lain dari studi mereka juga
disampaikan pada bagian lain dalam artikel ini. Pierro dkk., ingin
melihat hubungan antara self-harm dengan malatritmen (maltreatment)
berupa physical neglect, sexual abuse, dan physical abuse. Mereka
menemukan bahwa sexual abuse berasosiasi dengan adanya self-harm
dan frekuensinya, physical abuse hanya dengan adanya self-harm dan
physical neglect dengan keseriusan (severity) self-harm. Dengan kata
lain, partisipan dengan latar belakang sexual abuse lebih cenderung
daripada populasi “normal” untuk melakukan self-harm dan lebih
banyak melakukan self-harm daripada kelompok partisipan dengan
jenis abuse lainnya. Partisipan dengan physical abuse cenderung untuk
melakukan paling tidak sekali self-harm dalam hidupnya dan jenis
abuse ini tidak memprediksikan severitas self-harm. Berlawanan
dengan physical abuse, adanya physical neglect tidak memperbesar
peluang terjadinya self-harm namun mempresiksikan severitas self-
harm di kalangan pelaku self-harm. (17)
e. Suicide
Perilaku suisidal berbeda dari self-harm dari segi fenomenologi,
karakteristik, dan intensinya, walaupun mereka memiliki kesamaan
dalam sejumlah faktor-faktor resiko psikologis. Individu dengan self-
harm tidak selalu beresiko untuk bunuh-diri oleh karena banyak pula di
antara mereka yang tidak pernah melakukan percobaan bunuh-diri atau
bahkan tidak berpikiran untuk itu (suicidal thoughts). Tetapi apabila
sampel klinis (inpatients) dan sampel nonklinis dibandingkan,

1
persentasi sampel klinis lebih besar (70%) menunjukkan bahwa
individu dengan self-harm melaporkan percobaan bunuh-diri,
sekurang- kurangnya sekali mencoba, dibandingkan dengan sampel
nonklinis (50%) (18)
Habituasi terhadap rasa sakit fisik dalam interaksi dengan sejumlah
variabel lainnya telah dihipotesiskan sebagai meningkatkan resiko
percobaan bunuh-diri dan self-harm. Model teoretik ini menerangkan
bahwa individu dengan resiko tinggi untuk percobaan bunuh-diri atau
self-harm melalui karakteristik pribadi (traits) yang negatif akan
berkemungkinan lebih besar untuk terlibat dalam self-harm jikalau
mereka sudah terbiasa dengan rasa sakit. Bila memang demikian
halnya, model ini bisa menjelaskan mengapa tidak ada perbedaan
dalam hal variabel ini antara inidividu yang masih melakukan self-
harm dan mereka yang memiliki riwayat self-harm. (18)

5. Penatalaksanaan

Banyak strategi terapetik yang digunakan untuk self-harm adalah


modalitas psikoterapi yang semula digunakan untuk gangguan-gangguan
mental spesifik dan kondisi-kondisi komorbid yang berkaitan dengan self-
harm, misalnya depresi, anxietas dan borderline personality disorder. Oleh
karena itu terbuka ruang cukup lebar bagi pilihan terapeutik untuk
menangani kasus self-harm. Dalam hal ini dapat dilakukan CBT
(Cognitive behavioural therapy), pendekatan psikodinamik, dan
pendekatan kelompok. (19)

6. Analisis Psikometri

Terdapat beberapa psikometri/skoring untuk membantu asesmen self-harm,


antara lain yaitu Chronic Self Destructiveness Scale (CSDS) merupakan
psikometri dengan 73 butir pertanyaan, terdiri atas 2 halaman dengan opsi
respon menggunakan Likert-Style. Self Harm Behaviour Survey terdiri
atas 174+ butir, merupakan survey self-report. Self-Injurious Behavior
Questionnaire (SIB-Q) merupakan kuesionar yang dibuat pada 1997,
terdiri atas 25 butir menggunakan Likert-style, diperuntukkan bagi
perkembangan

1
disabilitas. Deliberate self-harm Inventory (DSHI) disusun pada 2001,
terdiri atas 17 item, pilihan opsi berbentuk yes/no, dengan mencantumkan
frekuensi, durasi, dan severitas self-harm. (20)
Self-harm Inventory (SHI) merupakan kuesioner yang terdiri atas 1
halaman, 22 butir pertanyaan, berbentuk self-report yang mencakup
riwayat self-harm pada responden. SHI dapat digunakan sebagai 1)
instrument skrining untuk melihat prevalensi terhadap 22 item self-harm
tersebut; 2) skrining BPD; 3) prediksi derajat pemanfaatan pusat layanan
kesehatan mental. (21)

1
BAB III

KESIMPULAN

Self harm adalah suatu perilaku menyakiti diri sendiri yang dilakukan
dengan sengaja dan menghancurkan diri sendiri yang mengakibatkan kerusakan
langsung pada jaringan tubuh, bukan sebagai sanksi sosial dan tanpa maksud
untuk melakukan bunuh diri.

self-harm merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius


dan memiliki dampak signifikan, diakibatkan karena masalah fisik baik dalam
jangka waktu dekat maupun panjang yang menjadi konsekuensi.

Faktor risiko pasien melakukan self-harm antara lain masa kecil individu
yang mengalami trauma psikologis, kurangnya komunikasi dalam keluarga
individu, tidak adanya keharmonisan dan kehangatan dalam keluarga,
permasalahan yang terjadi di sekolah, permasalahan dalam hubungan percintaan,
permasalahan dengan teman, kejadian buruk yang pernah dialami dan stres dalam
menjalani kehidupan.

Diagnosis psikiatri yang memiliki hubungan erat dengan perilaku self-


harm antara lain; gangguan kepribadian ambang, gangguan cemas dan depresi,
substance abuse, childhood abuse, dan suicide. Tatalaksana self-harm yaitu CBT,
pendekatan psikodinamik, dan pendekatan kelompok.

Terdapat bebrapa alat skoring/psikometri untuk menilai self-harm antara


lain Chronic Self Destructiveness Scale (CSDS), Self Harm Behaviour Survey,
Self-Injurious Behavior Questionnaire (SIB-Q), Deliberate self-harm Inventory
(DSHI), dan Self Harm Inventory.

1
DAFTAR PUSTAKA

1. Townsend E. self-harm in young people. Evid Based Ment Health


[Internet]. 2014 Nov 1 [cited 2022 Aug 21];17(4):97–9. Available from:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/25114299/
2. Moran P, Coffey C, Romaniuk H, Olsson C, Borschmann R, Carlin JB, et
al. The natural history of self-harm from adolescence to young adulthood: a
population-based cohort study. Lancet (London, England) [Internet]. 2012
[cited 2022 Aug 21];379(9812):236–43. Available from:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/22100201/
3. Owens D, Horrocks J, House A. Fatal and non-fatal repetition of self-harm.
Systematic review. Br J Psychiatry [Internet]. 2002 Sep [cited 2022 Aug
21];181(SEPT.):193–9. Available from:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/12204922/
4. Corporate, B. (2004). What School Counselors Should Know About Self
Injury Among Adolescents: A Literature Review. A Research Paper,
University of Wisconsin-Stout.
5. Creswell. (2007). Qualitative inquiry and Research 2nd edition. Thousand
Oaks: Sage Publication.
6. Creswell, J. W. (1998). Penelitian Kualitatif & Desain Riset. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
7. Creswell, J. W. (2014). Research design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,
dan Mixed; edisi ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
8. Ee, G. T., & Mey, S. C. (2011). Type of Self-Hurt Behavior Among
Chinese Adolescents in Malaysia. Procedia - Social and Behavioral
Sciences 29 , 1218 – 1227.
9. Estefan, G., & Wijaya, Y. D. (2014). Gambaran Proses Regulasi Emosi
Pada Pelaku Self-Injury. Jurnal Psikologi Vol. 12, No. 01, 26-33.
10. Fitzgerald, J., & Curtis, C. (2017). Non-suicidal self-injury in a New
Zealand student population: Demographic and self-harm characteristics.
New Zealand Journal of Psychology Vol. 46, No. 3, 156-163.
11. Galanter, C. A., & Jensen, P. S. (2017). DSM-5 CASEBOOK AND
TREATMENT GUIDE for Child Mental Health. American Psychiatric
Association.
12. Gratz, K. L. (2001). Measurement of Deliberate self-harm: Preliminary
Data on the Deliberate self-harm Inventory. Journal of Psychopathology
and Behavioral Assessment, Vol. 23, No. 4, 253-263.
13. Groschwitz, R. C., & Plener, P. L. (2012). The Neurobiology of Non-
suicidal Self-injury (NSSI): A review. Suicidology Onlineopen access
Journal, Vol. 03, 24-32.

1
14. In-Albon, T., Ruf, C., & Schimd, M. (2013). Proposed Diagnostic Criteria
for the DSM-5 of Nonsuicidal Self-Injury in Female
Adolescents:Diagnostic and Clinical Correlates. Hindawi Publishing
Corporation Psychiatry Journal, 1-12.
15. Jenny, S. (2016). Understanding self-harm. Mind.
16. Kanan, L. M., Finger, J., & Plog, A. E. (2008). Self-Injury and Youth: Best
Practices for School Intervention. NASP School Psychology Forum:
Research in Practice VOLUME 2 • ISSUE 2, 67-79.
17. Muehlankamp, J., Quigley , K., & Whitlock, J. (2013). Interpersonal
Features and Functions of Nonsuicidal Self-injury. Suicide and Life-
Threatening Behavior 43 (1), 67-80.
18. Lauw, M., How, C. H., & Loh, C. (2015). Deliberate self-harm in
Adolescent. Singapore Medical Journal, Vol. 56, No. 06, 303-309.
19. Polk, E., & Liss, M. (2009). Exploring themotivations behind self-injury.
Counselling Psychology Quaterly, 22, 233-241.
20. Sansone RA, Sansone LA. (2010). Measuring self-harm behavior with the
self-harm inventory. Psychiatry (Edgmont). PMID: 20508804; PMCID:
PMC2877617.
21. Kusumadewi A., Bambang. (2019). Self-Harm Inventory (SHI) Sebagai
Instrumen Deteksi Dini Perilaku Self-Harm. Surabaya Pschyatry Journal.
https://doi.org/10.20473/

2
2

Anda mungkin juga menyukai