DISUSUN OLEH:
Annisa Al-Maghfirah
C014212231
RESIDEN PEMBIMBING:
dr. Nurul Nadya
SUPERVISOR PEMBIMBING:
dr. Erlyn Limoa, Sp.KJ, Ph.D
Supervisor Pembimbing,
Residen Pembimbing,
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur tidak henti-hentinya kami panjatkan atas segala limpahan
rahmat, hidayah, kesehatan, kekuatan dan kasih sayang Allah SWT oleh karena-
Nya kami dapat menyelesaikan tugas referat ini yang berjudul “Self Harm in
Young People”. Sepanjang penyusunan referat ini, berbagai pihak telah
mengontribusikan banyak waktu, ide, dan tenaga, sehingga referat ini dapat
selesai tepat pada waktunya. Untuk itu, tidak ada yang dapat kami sampaikan
kecuali rasa terima kasih mendalam kepada semua pihak yang telah membantu,
khususnya kepada anggota kelompok kami, residen pembimbing kami, dr. Nurul
Nadya serta supervisor pembimbing kami, dr. Erlyn Limoa, Sp.KJ, Ph.D
Kami menyadari penyusunan referat ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun
demi kesempurnaan pembuatan referat di masa yang akan datang.
iii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................ii
KATA PENGANTAR...........................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I.......................................................................................................................5
PENDAHULUAN...................................................................................................5
BAB II.....................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................6
1. Definisi..........................................................................................................6
2. Bentuk dan Kriteria Self Harm.....................................................................7
3. Faktor Risiko.................................................................................................9
4. Diagnosis Psikiatri yang Berhubungan.......................................................12
5. Penatalaksanaan..........................................................................................15
6. Analisis Psikometri.....................................................................................15
BAB III..................................................................................................................17
KESIMPULAN.....................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................18
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut Owens et al, risiko bunuh diri pada populasi pasien self-harm
ratusan kali lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum. Bunuh diri
merupakan penyebab kedua tersering kematian pada usia muda secara global. (3)
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
6
sosial Perilaku self-injury bukan hal sepele yang dapat diterima secara
sosial dan bukan sebagai sanksi sosial. (6)
8
perasaan atau pikiran yang negatif dan menginduksi perasaan positif.
Respon yang diinginkan dialami selamat atau segera setelah melakukan
self-harm dan individu dapat menunjukkan perilaku ketergantungan.
3. Kriteria C: Kriteria C pada DSM-V menyebutkan bahwa perilaku self-
harm yang dilakukan individu secara sengaja dan berkaitan dengan
kesulitan interpersonal atau perasaan seperti depresi, kecemasan,
ketegangan, kemarahan, tekanan umum atau kritik dan terjadi pada periode
sebelum melakukan perilaku self-harm. Frekuensi untuk melakukan
tindakan self-harm terjadi dengan cepat dan dapat menyebabkan gangguan
yang cukup signifikan secara klinis yang berkatian dengan interpersonal,
akademis dan hal penting lainnya.
4. Kriteria D: Pada kriteria D, perilaku individu bukanlah merupakan
sebagai sanksi sosial seperti tindik badan, tato, bagian dari ritual agama
atau budaya dan perilalu yang sering dilakukan adalah mengelupas bekas
luka dan menggigit kuku.
5. Kriteria E: Perilaku individu yang mengalami self-harm pada kriteria E
tidak memiliki niat untuk melakukan bunuh diri dan menyebabkan
individu gangguan atau interferensi secara klinis dalam interpersonal,
akademis, atau bidak penting lainnya yang berfungsi dalam hidup individu.
6. Kriteria F: Perilaku individu tidak terjadi selama periode psikosis,
delirium, intoksikasi zat, atau penarikan zat. Pada individu dengan neurode
pada gangguan perkembangan, perilaku self-harm bukan bagian dari pola
stereotip berulang. Dan perilaku tersebut juga tidak dapat dipertanggung
jawabkan oleh individu yang mengalami gangguan mental atau medis
seperti gangguan psikotik, autisme, gangguan intelektual, sindrom Lesch-
Nyhan, stereotip movement disorder dan perilaku melukai diri sendiri,
trichotillomania (gangguan menarik atau mencabut rambut) dan gangguan
mengelupas kulit. (6)
Bentuk perilaku self-harm yang paling terkenal seperti (4):
Menggaruk atau mencubit dengan kuku atau menggunakan benda
tajam lainnya sampai terjadinya pendarahan atau membekas pada
kulit.
9
Memotong, merobek, mengukir simbol tertentu pada pergelangan
tangan, lengan, kaki, tubuh atau bagian tubuh lainnya.
Membenturkan atau memukul diri sendiri hingga memar atau
mengalami pendarahan (sadar jika melukai diri sendiri).
Menggigit bagian tubuh sampai berdarah atau meninggalkan bekas
pada kulit.
Menarik rambut dengan kuat, mencabuti bulu mata atau alisdengan
niat untuk menyakiti diri sendiri.
Secara sengaja mencegah penyembuhan luka.
Membakar kulit.
Menanamkan benda-benda ke dalam kulit.
Memasukkan sesuatu dan menyakiti urethra atau vagina.
3. Faktor Risiko
1
4. Sebagai gangguan, merangsang untuk meningkatkan perilaku
terburuburu.
5. Untuk mendapatkan perhatian dari orang lain
6. Untuk dapat bergabung dalam suatu komunitas tertentu
Karakteristik dalam melakukan perilaku self-harm berdasarkan dari
beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa karakteristik
psikologis perilaku self-harm adalah:
a. Emosionalitas Negatif
Dibandingkan dengan mereka yang tidak melakukan self-harm, mereka
yang terlibat dalam self-harm mengalami emosi-emosi negatif yang
lebih sering dan lebih intens dalam kehidupan sehari-hari. Pelaku self-
harm ditemukakan menunjukkan skor tinggi pada pengukuran untuk
temperamen negatif, disregulasi emosi, depresi, dan anxietas.
Pengalaman yang intens dalam emosi-emosi negatif merupakan alasan
utama bagi self-harm, dan self-harm pada gilirannya bisa secara
berkala dirasakan oleh subyek meringankan atau mengurangi beban
distres emosional. self-harm juga secara luas dikonseptualisasikan
sebagai problem dalam mengontrol impuls-impuls). Impulsivitas juga
berasosiasi dengan gangguan makan (eating disorders), khususnya
bulimia nervosa dan anorexia nervosa. Kendati terdapat evidensi
bahwa impulsivitas terlibat di dalam asosiasi antara gangguan makan
dan self- harm, meningkatnya impulsivitas sendiri tidak dapat
menjelaskan adanya asosiasi ini. (10,11)
b. Defisit dalam Keterampilan Emosi (Emotion Skill)
Di samping adanya peningkatan emosi negatif, mereka juga mengalami
kesulitan-kesulitan dalam mengelola pengalaman, kesadaran, dan
ekspresi emosi. Contohnya, studi oleh Gratz et al., 2002, dan studi
lainnya oleh Zlotnick et al., 1996, yang dikutip oleh Klonsky dan
Muehlenkamp, menemukakan bahwa subyek self-harm lebih mudah
mengalami periode-periode disosiasif, di mana sepanjang periode ini
pengalaman emosi mengalami hambatan. Subyek sering
mendeskripsikan pengalaman emosional mereka seperti “merasa tidak
1
ada apa-apa” atau “merasa tidak nyata” selama episode disosiatif.
Selain itu subyek cenderung mengalami aleksithimia (kesulitan dalam
mengidentifikasikan atau memahami emosi-emosi mereka sendiri),
serta kurang sadar atau waspada akan emosi mereka. Ciri lainnya
adalah kesulitan untuk mengekspresikan emosi dibandingkan orang
yang tidak melakukan self-harm. Masih sedikit yang kita ketahui
mengenai bagaimana self-harm dipengaruhi oleh, dan pada gilirannya
mempengaruhi, aspek-aspek lain dalam kesehatan mental selama masa
perkembangan: sejauh mana sebenarnya problem-problem psikologis
bertindak sebagai faktor resiko untuk self-harm dan sebaliknya. (12)
c. Derogasi Diri
Subyek dengan self-harm sering melakukan derogasi-diri. Yang
dimasudkan dengan karakteristik ini adalah pengalaman emosional
yang intens untuk mengkritik, mengecam, menghukum, membenci,
atau marah terhadap diri sendiri. Menurut Klonsky, individu yang
tinggi dalam emosionalitas negatif maupun derogasi-diri beresiko
tinggi pula untuk self-harm, kendati riset sejauh ini belum secara
spesifik menggali lebih jauh kombinasi kedua karakteristik dalam
kaitannya dengan terjadinya self-harm. Temuan oleh Ross dan Heath,
menyimpulkan bahwa individu yang melukai-diri memperlihatkan
derajat yang lebih besar untuk rasa kebencian disertai kehendak
menghukum yang diarahkan ke luar diri (extrapunitive) dan rasa
kebencian yang diarahkan untuk menghukum diri (intrapunitive).
Contoh dari yang pertama adalah sikap sinis, membenci, atau mudah
menjadi marah, sedangkan contoh yang kedua adalah meragukan diri-
sendiri, rasa bersalah, dan mengecam diri-sendiri. Tendensi untuk
menjadi mudah marah atau gusar, dan pada saat yang bersamaan
mengalami kebencian-diri serta rasa bersalah bisa berakibat pada
menjadikan diri sendiri sebagai target dari perasaan- perasaan negatif
ini. (13)
1
4. Diagnosis Psikiatri yang Berhubungan
1
anxietas maka semakin sering tindak self-harm terjadi. Menurut
Klonsky, anxietas, dan bukan depresi, mempunyai relasi lebih kuat
dengan self-harm. Spekulasi ini didasarkan pada kenyataan bahwa
anxietas lebih bersangkutan dengan emotional arousal ataupun tekanan
emosional yang acapkali mengarah pada self-harm. Studi oleh
Andover, Pepper, Ryabchenko, Orrico dan Gibb mencoba meneliti
perbedaan antara anxietas dan depresi di kalangan pelaku self-harm
dengan bentuk sayatan dan bentuk-bentuk yang lain. Temuan studi ini
menunjukkan bahwa pelaku self-harm secara signifikan memiliki lebih
banyak simptom-simptom depresi dan anxietas dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Apabila dibedakan menurut bentuk self-harm-nya,
mereka yang menyayat diri menunjukkan secara signifikan tingkat
anxietas lebih daripada benuk-bentuk self-harm lainnya, tetapi
keduanya mempunyai tingkat depresi yang sama. (14, 15)
c. Substance Abuse
Self-harm dan substance abuse sama-sama mengandung tindakan yang
merugikan atau menyakiti diri secara fisiologis, dan oleh karena itu
perbuatan keduanya dilatarbelakani oleh proses-proses psikologis yang
mirip. Joiner berteori bahwa penggunaan zat-zat berbahaya berperan
dalam menciptakan habituasi (pembiasaan) dalam individu untuk
melakukan kekerasan yang ditimbulkan oleh diri sendiri. Memang ada
temuan bahwa inidividu dengan subtance disorders lebih banyak
melakukan self-harm daripada bukan pengguna zat terlarang. (16)
d. Childhood Abuse
Relasi antara self-harm dan child abuse sedikit lebih problematik. Ada
sekalangan profesional dalam kesehatan mental yang berpendirian kuat
bahwa pelaku self-harm pernah mengalami abuse pada masa kecil,
khususnya yang berkonotasi seksual. Bagi kalangan ini, self-harm
adalah semacam pengulangan kembali tindak abuse yang pernah terjadi
pada diri subyek. Namun sejumlah riset yang lebih baru menyimpulkan
bahwa child sexual abuse dapat dikonseptualisasikan sebagai sebuah
faktor resiko (proxy risk factor) untuk self-harm. Dengan kata lain,
child
1
sexual abuse dan self-harm bisa berhubungan karena keduanya
berkorelasi dengan faktor-faktor resiko psikologis yang sama. Jadi,
walau child abuse bisa memainkan peranan penting untuk self-harm,
namun banyak dari mereka yang pernah mengalami abuse tidak
mengembangkan self-harm, dan sebaliknya juga bahwa mereka yang
melakukan self-harm belum pernah mengalami abuse. Dalam ranah
abuse ini, temuan oleh Pierro dkk. (2012) terhadap 267 partisipan non-
klinis (188 wanita dan 79 pria; rentang usia 16-19 tahun) di Italia
menarik untuk disebutkan di sini. Temuan lain dari studi mereka juga
disampaikan pada bagian lain dalam artikel ini. Pierro dkk., ingin
melihat hubungan antara self-harm dengan malatritmen (maltreatment)
berupa physical neglect, sexual abuse, dan physical abuse. Mereka
menemukan bahwa sexual abuse berasosiasi dengan adanya self-harm
dan frekuensinya, physical abuse hanya dengan adanya self-harm dan
physical neglect dengan keseriusan (severity) self-harm. Dengan kata
lain, partisipan dengan latar belakang sexual abuse lebih cenderung
daripada populasi “normal” untuk melakukan self-harm dan lebih
banyak melakukan self-harm daripada kelompok partisipan dengan
jenis abuse lainnya. Partisipan dengan physical abuse cenderung untuk
melakukan paling tidak sekali self-harm dalam hidupnya dan jenis
abuse ini tidak memprediksikan severitas self-harm. Berlawanan
dengan physical abuse, adanya physical neglect tidak memperbesar
peluang terjadinya self-harm namun mempresiksikan severitas self-
harm di kalangan pelaku self-harm. (17)
e. Suicide
Perilaku suisidal berbeda dari self-harm dari segi fenomenologi,
karakteristik, dan intensinya, walaupun mereka memiliki kesamaan
dalam sejumlah faktor-faktor resiko psikologis. Individu dengan self-
harm tidak selalu beresiko untuk bunuh-diri oleh karena banyak pula di
antara mereka yang tidak pernah melakukan percobaan bunuh-diri atau
bahkan tidak berpikiran untuk itu (suicidal thoughts). Tetapi apabila
sampel klinis (inpatients) dan sampel nonklinis dibandingkan,
1
persentasi sampel klinis lebih besar (70%) menunjukkan bahwa
individu dengan self-harm melaporkan percobaan bunuh-diri,
sekurang- kurangnya sekali mencoba, dibandingkan dengan sampel
nonklinis (50%) (18)
Habituasi terhadap rasa sakit fisik dalam interaksi dengan sejumlah
variabel lainnya telah dihipotesiskan sebagai meningkatkan resiko
percobaan bunuh-diri dan self-harm. Model teoretik ini menerangkan
bahwa individu dengan resiko tinggi untuk percobaan bunuh-diri atau
self-harm melalui karakteristik pribadi (traits) yang negatif akan
berkemungkinan lebih besar untuk terlibat dalam self-harm jikalau
mereka sudah terbiasa dengan rasa sakit. Bila memang demikian
halnya, model ini bisa menjelaskan mengapa tidak ada perbedaan
dalam hal variabel ini antara inidividu yang masih melakukan self-
harm dan mereka yang memiliki riwayat self-harm. (18)
5. Penatalaksanaan
6. Analisis Psikometri
1
disabilitas. Deliberate self-harm Inventory (DSHI) disusun pada 2001,
terdiri atas 17 item, pilihan opsi berbentuk yes/no, dengan mencantumkan
frekuensi, durasi, dan severitas self-harm. (20)
Self-harm Inventory (SHI) merupakan kuesioner yang terdiri atas 1
halaman, 22 butir pertanyaan, berbentuk self-report yang mencakup
riwayat self-harm pada responden. SHI dapat digunakan sebagai 1)
instrument skrining untuk melihat prevalensi terhadap 22 item self-harm
tersebut; 2) skrining BPD; 3) prediksi derajat pemanfaatan pusat layanan
kesehatan mental. (21)
1
BAB III
KESIMPULAN
Self harm adalah suatu perilaku menyakiti diri sendiri yang dilakukan
dengan sengaja dan menghancurkan diri sendiri yang mengakibatkan kerusakan
langsung pada jaringan tubuh, bukan sebagai sanksi sosial dan tanpa maksud
untuk melakukan bunuh diri.
Faktor risiko pasien melakukan self-harm antara lain masa kecil individu
yang mengalami trauma psikologis, kurangnya komunikasi dalam keluarga
individu, tidak adanya keharmonisan dan kehangatan dalam keluarga,
permasalahan yang terjadi di sekolah, permasalahan dalam hubungan percintaan,
permasalahan dengan teman, kejadian buruk yang pernah dialami dan stres dalam
menjalani kehidupan.
1
DAFTAR PUSTAKA
1
14. In-Albon, T., Ruf, C., & Schimd, M. (2013). Proposed Diagnostic Criteria
for the DSM-5 of Nonsuicidal Self-Injury in Female
Adolescents:Diagnostic and Clinical Correlates. Hindawi Publishing
Corporation Psychiatry Journal, 1-12.
15. Jenny, S. (2016). Understanding self-harm. Mind.
16. Kanan, L. M., Finger, J., & Plog, A. E. (2008). Self-Injury and Youth: Best
Practices for School Intervention. NASP School Psychology Forum:
Research in Practice VOLUME 2 • ISSUE 2, 67-79.
17. Muehlankamp, J., Quigley , K., & Whitlock, J. (2013). Interpersonal
Features and Functions of Nonsuicidal Self-injury. Suicide and Life-
Threatening Behavior 43 (1), 67-80.
18. Lauw, M., How, C. H., & Loh, C. (2015). Deliberate self-harm in
Adolescent. Singapore Medical Journal, Vol. 56, No. 06, 303-309.
19. Polk, E., & Liss, M. (2009). Exploring themotivations behind self-injury.
Counselling Psychology Quaterly, 22, 233-241.
20. Sansone RA, Sansone LA. (2010). Measuring self-harm behavior with the
self-harm inventory. Psychiatry (Edgmont). PMID: 20508804; PMCID:
PMC2877617.
21. Kusumadewi A., Bambang. (2019). Self-Harm Inventory (SHI) Sebagai
Instrumen Deteksi Dini Perilaku Self-Harm. Surabaya Pschyatry Journal.
https://doi.org/10.20473/
2
2