Disusun Oleh:
Nabilah Fitri (1236000114)
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat artikel yang berjudul “ Maraknya Selfharm
di Era Sekarang” dengan lancar dan tepat waktu.
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada ibu Dra. N. Kardinah. M.Pd. selaku dosen
pengampu mata kuliah Bahasa Indonesia. Serta penulis ucapkan terima kasih kepada keluarga
dan teman-teman yang selalu mendoakan penulis.
Penulis minta maaf karena banyaknya kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini,
karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran untuk membuat makalah ini menjadi
lebih baik. Terima kasih sekali lagi atas semua nya.
Penulis
DAFTAR ISI
Rumusan Masalah
1. Pengertian Self-harm?
2. Faktor-faktor penyebab perilaku self-harm?
3. Kenapa self-harm banyak dilakukan oleh remaja?
4. Apa hubungan depresi dan self-harm?
Tujuan Penulisan
1. Mengetahui tentang self-harm dan faktor-faktornya
2. Untuk mengetahui apakah kaitan depresi dan self-harm
3. Mengetahui bahaya self-harm untuk era remaja
Bab II Pembahasan
Self-harm adalah istilah psikologi yang berarti perilaku seseorang yang menyakiti atau
melukai diri sendiri dengan melakukan berbagai hal tanpa mempertimbangkan adanya
keinginan untuk bunuh diri (NICE, 2015; WHO, 2015, Kusumadewi, et al, 2019). Perilaku
self-harm adalah sebuah tindakan seseorang untuk mengatasi perasaan yang menyakitkan
atau tekanan emosional dengan cara yang merugikan diri seperti melukai atau menyakiti diri
sendiri tanpa keinginan untuk mati (Jenney, 2016; Klonsky et al., 2011; Thesalonika &
Apsari, 2021). Tindakan self-harm biasanya merupakan respon seseorang terhadap emosi atau
perasaan yang dirasakan. Self-harm juga merupakan fenomena kesehatan mental yang terjadi
sebagai mekanisme yang tidak beradaptasi yang menggunakan rasa sakit fisik untuk
mengatasi stres atau tekanan emosional (Woodley, 2020; Sibarani et al., 2021). Sehingga
dapat disimpulkan bahwa, self-harm adalah tindakan menyakiti diri sendiri atau melukai diri
yang dilakukan seseorang dengan sengaja sebagai reaksi terhadap emosi yang dirasakan oleh
individu.
Berdasarkan Knigge (1999), bentuk-bentuk perilaku self-harm yang dapat dilakukan
oleh seseorang, yaitu memotong atau menggosok bagian-bagian tertentu dari tubuh, memukul
diri sendiri, memukul dinding atau benda keras lainnya, membakar bagian tubuh tertentu,
mematahkan tulang, dan menganggu penyembuhan luka (Lubis & Yudhaningrum, 2020).
Perilaku self-harm yang paling sering dilakukan adalah menggores atau menyayat kulit
menggunakan benda tajam seperti silet. Perilaku ini biasanya disebut sebagai pemotongan
diri. Bentuk-bentuk lain dari perilaku self-harm dapat termasuk memukul diri sendiri,
menjambak rambut, membakar tubuh, mengorek bekas luka, dan sebagiannya mengonsumsi
zat-zat beracun (Tang et al., 2016).
Perilaku self-harm sebenarnya bukan gangguan mental, tetapi kegagalan seseorang
untuk mengatasi dalam menghadapi stres (Carroll, et al., 2014). Meskipun tidak semua orang
yang melakukan self-harm akan selalu berlanjut menjadi bunuh diri, tapi orang dengan
tingkah laku ini memiliki risiko 168 kali lipat untuk melakukan bunuh diri (Chan M., et al.,
2016). Jika self-harm dilakukan menyebabkan luka yang serius atau disertai dengan pikiran
bunuh diri yang intens, maka self-harm dapat mengakibatkan kematian (Sansone, et al.,
1998).
Menurut hasil studi yang dilakukan oleh Iva Buresova et al (2015) dari 1.446
responden dalam rentang usia 11-16 tahun di Republik Ceko, pola asuh otoriter dan aturan
yang ketat memicu perilaku self-harm pada remaja. Gaya pola asuh menentukan sebagian
besar suasana dan komunikasi dalam keluarga, yang memengaruhi proses perkembangan
remaja di masa kecil. Dalam studi Larsen (2009) dikatakan bahwa berbagai kondisi keluarga
yang memengaruhi pola asuh juga menyebabkan anak melakukan self-harm: 1). Tekanan
finansial, 2). Pekerjaan/pengangguran, 3). Ketidakmampuan, 4). Gangguan emosional, 5).
Orang tua alcoholic, 6). Penggunaan narkoba, 7). Perceraian, 8). Dan kematian orang yang
dicintai. Kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak menyebabkan anak mulai merasa
sedih dan bersalah karna dia berpikir telah melakukan kesalahan. Selain itu, ada faktor
invalidasi dari orang tua pada anak juga menyebabkan masalah besar bagi mereka yang
berperilaku self-harm (Larsen, 2009).
Maidah (2013) juga menemukan bahwa perilaku self-harm adalah bentuk saluran
emosi negatif yang timbul dari rasa sakit secara psikologis yang dirasakan oleh pelaku yang
sulit diungkapkan dengan kata-kata. Beberapa situasi yang dirasakan untuk mendukung
melakukan self-harm adalah kesepian dan perasaan didiskriminasi oleh lingkungan dan
perasaan tidak dianggap. Penelitian Marshal dan Yazdani (1999) tentang beberapa wanita
Asia yang melukai dirinya sendiri menunjukkan bahwa mereka melukai diri mereka sendiri
sebagai tanda bahwa tubuh itu milik mereka, bukan keluarga mereka. Mereka melakukan itu
untuk melampiaskan rasa kesal karna diharuskan memenuhi harapan keluarga agar nama
keluarga dapat di pandang positif dalam masyarakat karna di Asia, kebanyakan individu
hidup dengan keluarga sebagai fokus utama mereka.
Orang yang melakukan self-harm biasanya menyimpan perilaku melukai diri sendiri
mereka sebagai rahasia karna mereka malu dan takut apa yang orang lain katakan dan
pikirkan tentang perilaku mereka dan takut bahwa orang-orang di sekitar mereka akan
menjauhi mereka (Maidah, 2013). Bahkan sampai sekarang banyak orang awam berpikir
bahwa perilaku self-harm adalah perilaku manipulatif dan hanya dilakukan untuk mencari
perhatian (Clarke dan Whittaker, 1999).Meskipun begitu, perilaku self-harm memiliki potensi
tinggi terhadap keinginan bunuh diri. Ada setidaknya 814.000 orang meninggal karna
awalnya mereka melakukan self-harm namun kemudian menjurus ke bunuh diri
(WHO,2001). Konsep keinginan bunuh diri dan keinginan melukai diri sendiri berbeda, tetapi
beberapa penelitian menyatakan adanya korelasi yang sangat erat antara kedua perilaku ini
adalah perilaku self-harm bisa menjadi tanda yang sangat jelas untuk melakukan percobaan
bunuh diri (Kirchner, et al., 2011).
Bahkan penelitian melaporkan 70% percobaan bunuh diri dilakukan oleh individu
yang terlibat NSSI (Non-Suicidal Self Injury) (Tresno et al., 2012). Non-Suicidal Self Injury
(NSSI) adalah perilaku melukai diri sendiri tanpa niatan untuk bunuh diri. Ada juga penelitian
yang menyatakan bahwa bentuk perilaku self-harm pada remaja yang terkait dengan upaya
bunuh diri adalah mengiris pergelangan tangan atau menyayat kulit (Nock, Joiner, Gordon,
Llyod-Richardson, & Pristein, 2006). Di Indonesia, gejala bunuh diri pada remaja tampaknya
meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010, WHO melaporkan tingkat bunuh diri di
Indonesia mencapai 1,6 hingga 1,8 per 100.000 jiwa (Mardani, 2012).
Berdasarka data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian RI, ada 971
kasus bunuh diri di Indonesia sepanjang periode Januari hingga Oktober 2023. Kemudian,
dalam peringkat tingkat bunuh diri di seluruh dunia, Indonesia dan Jepang menduduki posisi
yang sama di tempat sembilan dalam hal tingkat bunuh diri. Diperkirakan setiap tahunnya
mencapai 50 ribu orang dari 220 juta total penduduk di Indonesia (Maharani,2014).
Keinginan untuk melakukan bunuh diri pada remaja telah terbukti ada hubungannya
dengan kesepian, yaitu ketidaknyamanan psikologis yang dirasakan pelaku karena
kekurangan dalam hubungan sosial seseorang, baik dalam kualitas dan kuantitas hubungan
tersebut. Semakin kesepian yang dirasakan seseorang, semakin besar risiko memiliki pikiran
untuk bunuh diri. Kedua variabel ini memiliki satu variabel penghubung yaitu depresi
(Lasgaard et al., 2011). Orang yang merasa kesepian cenderung memiliki perasaan negatif,
menarik diri dari lingkungan sosial, kurang percaya pada diri sendiri dan orang lain, merasa
dia sering gagal, dan merasa tidak puas dengan hubungan sosial mereka jika dibandingkan
dengan seseorang yang tidak kesepian.
Remaja lebih sering merasa kesepian ketika merasa ditolak, terasing, dan tidak
mampu memiliki peran dalam lingkungan mereka (Rice, 1993). Berdasarkan penelitian yang
dilakukan Kristen (2007) terhadap 234 remaja berusia 13-18 tahun di Australia, ditemukan
bahwa sense of community dan social support memengaruhi tingkat kesepian pada remaja.
Keinginan remaja untuk menjadi bagian dari komunitas sosial dan mendapatkan dukungan
dari lingkungan sosial, jika tidak terpenuhi maka akan memengaruhi tingkat kesepian masa
remaja.
Selain itu, dalam perkembangan sosial mereka, remaja mengalami perubahan dalam
hubungan. Perubahan ini adalah remaja mulai memisahkan diri dari orang tua menuju pada
keintiman dengan teman sebaya. Perubahan dalam lingkungan ini membutuhkan
kesinambungan, perubahan dalam memisahkan diri dari orang tua tanpa menyertainya
perubahan dalam hubungan remaja terhadap teman sebaya akan menyebabkan remaja
mengalami kesepian (Monks, et al., 1999).
Terdapat beberapa pendapat lain menurut para ahli mengenai faktor-faktor penyebab
perilaku self-harm. Menurut Mullis dan Chapman (2000), faktor-faktor yang menyebabkan
perilaku self-harm adalah emotion focus coping. Ini berarti bahwa seseorang cenderung
menyelesaikan masalah dengan meminimalkan tekanan emosional yang dirasakan untuk
mendapatkan rasa nyaman dan perasaan lega, salah satunya dengan menyakiti diri sendiri
(Thesalonika & Apsari, 2021). Kemudian, Sutton (2007) menyatakan bahwa penyebab
perilaku self-harm adalah faktor psikologis, seperti perasaan tidak mampu mengendalikan
emosi, stres, harga diri rendah, depresi atau putus asa (Bidayah, et al., 2013).
Selain itu, menurut Ronka (2013), kesepian dapat menjadi faktor penyebab remaja
terlibat dalam perilaku yang merugikan diri dan merusak diri. Menurut Robert, Weis (2028)
bullying dan cyberbullying adalah prediktor unik dari perilaku self-harm dan bunuh diri. Jadi,
dikatakan bahwa remaja merasa mereka memiliki hubungan yang baik dengan keluarga dan
teman-teman usia, dan di sekolah mereka akan berisiko rendah untuk bunuh diri dan self-
harm. Selain itu, menurut Burešová et al., 2015 menyatakan bahwa ada 2 faktor yang
menyebabkan perilaku merugikan diri, yaitu eksternal dan internal. (Thesalonika & Apsari,
2021).
Faktor eksternal dapat datang dari luar, seperti pola orang tua yang otoriter dan
masalah dalam hubungan romantis atau persahabatan. Sementara itu, faktor internal dapat
menjadi kebutuhan atau kecenderungan neurotik seperti kasih sayang, penerimaan sosial, atau
harga diri sosial seseorang, dan kematangan emosional seseorang. Dengan demikian, ada
banyak faktor yang dapat memicu munculnya perilaku self-harm pada remaja, baik dari
bentuk-bentuk internal pengambilan keputusan menggunakan mekanisme penyelesaian
maladaptif atau eksternal sebagai tindakan mengekspresikan stres dengan stres yang berasal
dari luar individu.
Kesimpulan
Self-harm sebagian besar dilakukan oleh remaja karena usia remaja ini adalah masa
yang penuh konflik yang rentan untuk melakukan self-harm. Mereka dituntut untuk selalu
mampu beradaptasi dengan setiap perubahan yang cepat. Meskipun perilaku menyakiti diri
dianggap sebagai pelanggaran tingkah laku non-suicidal (tidak bertujuan untuk melakukan
bunuh diri), penelitian menunjukkan bahwa mereka melakukan tindakan self-harm memiliki
potensi tinggi untuk bunuh dirinya.
Perilaku self-harm paling sering dilakukan adalah menggores bagian tubuh tertentu
terutama tangan. Seseorang melakukan self-harm disebabkan oleh beberapa faktor, tidak
cuma satu faktor saja. Faktor penyebab yang paling mendominasi adalah emotion focus
coping, seperti melakukan self-harm untuk mengurangi stres yang dirasakan. Ada juga faktor
eksternal dan faktor internal alasan seseorang melukai diri sendiri. Faktor internal termasuk
faktor kepribadian dan faktor biologis, sedangkan faktor eksternal termasuk faktor keluarga,
faktor pertemanan, dan faktor lingkungan. Kemudian, dari faktor inilah seseorang merasa
adanya tekanan psikologis yang dialami oleh seseorang tersebut.
Saran
Fakta bahwa banyaknya remaja yang melakukan self-harm megindikasikan kurangnya
perhatian lingkungan keluarga, sekolah, pertemanan maupun negara untuk mengatasi hal ini.
Demi mengurai perilaku self-harm pada remaja, baik keluarga, sekolah, teman, dan
pemerintah dapat turut berperan untuk membuat tindakan pencegahan dan penyembuhan
untuk pelaku-pelaku self-harm. Pola komunikasi yang baik dengan orang tua sejak kecil
dapat menjadi jalan untuk menghindari remaja melakukan self-harm.
Selain itu, remaja harus menumbuhkan self-talk dan mindset yang positif dan
membangun self-coping yang kuat untuk menghindari perilaku self-harm. Self-talk
memberikan wawasan untuk berpikir secara logis sehingga ego dapat mengatasi id. Selain itu,
lingkungan yang positif dan mendukung dapat menjadi cara untuk menghindari perilaku
merugikan diri.
Daftar Pustaka
Bidayah, A., dkk., (2023). Konseling Kelompok Dengan Menggunakan Pendekatan Rational
Emotive Behaviour Therapy Dalam Mengatasi Perilaku Self Injury Remaja:
Literature Review. Jurnal Ilmu Pendidikan dan Sosial (JIPSI). 1(4), 396-401.
http://dx.doi.org/10.58540/jipsi.v1i4.77
Carroll, R., Metcalfe, C. and Gunnell, D. “Hospital Presenting Self-Harm and Risk of Fatal
and Non-Fatal Repetition: Systematic Review and Meta-Analysis.” PLoS ONE, vol.
9, p.e89944, 2014
Chan, M., Bhatti, H., Meader, N., Stockton, S., Evans, J., O'Connor, R., Kapur, N. and
Kendall, T. “Predicting suicide following self-harm: systematic review of risk factors
and risk scales.” British Journal of Psychiatry, vol. 209 (4), pp: 277-283, 2016
Clarke, L., & Whittaker, M. (1999). „Self mutilation: culture, contexts, and nursing
responses‟ dalam Journal of Clinical Nursing, (7), 129-137. UK: Blackwell Science.
Gilligan, C., & Machoian, L. (2002). Learning to speak the language. A relational
interpretation of an adolescent girl‟s suicidality. Studies Gender Sexuality, (3), 321-
341.
Hurlock, E. B. (2012). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan (terjemahan). Jakarta: Erlangga.
Kirchner, T., Ferrer, L., Forns, M., & Zanini, D. (2011). Self-harm behavior and suicidal
ideation among high school students. Gender differences and relationship with coping
strategies. Actas Espanolas dePsiquiatria, (39), 226-35.
Klonsky, E. David, dkk, (2011). Nonsuicidal Self Injury. Cambridge: Hogrefe Publishing
Kusumadewi, AF, dkk. (2019). Self-harm Inventory (SHI) Versi Indonesia Sebagai Instrumen
Deteksi Dini Perilaku Self-harm. Jurnal Psikiatri Surabaya, 08(01), 20-25.
https://doi.org/10.20473/jps.v8i1.15009
Lasgaard, M., Goossens, L., Elklit, A. (2011). Loneliness, depressive symptomatology, and
suicide ideation in adolescence: crosssectional and longitudinal analyses. Journal
Abnormal Child Psychology, (39), 137–150.
Larsen, K. (2009). Self injury in teenagers. Research Paper, The Graduate School University
of Wisconsin-Stout.
Lubis, I. Rosalinda & Yudhaningrum, L. (2020). Gambaran Kesepian Pada Remaja Pelaku
Self-harm. Jurnal Penelitian dan Pengukuran Psikologi, 9(1), 14-21.
https://doi.org/10.21009/JPPP.091.03
Maharani, S. (March 26, 2014). Angka bunuh diri di Indonesia setara Jepang. Retrieved
February 8, 2015 from http://www.tempo.co/read/news/201
4/03/26/173565394/Angka-Bunuh-Diri-Indonesia-Setara-Jepang
Maidah. (2013). Self injury pada mahasiswa (studi kasus pada mahasiswa pelaku self injury).
Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas Negeri Semarang, Semarang.
Mardani (June 2, 2012). Kasus bunuh diri di Indonesia sudah memprihatinkan. Retrieved
February 8, 2015 from http://www.merdeka.com/peristiwa/k asus-bunuh-diri-di-
indonesia-sudah-memprihatinkan.html
O‟Connor, R. C., Rasmussen, S., & Hawton, K. (2012). Distinguishing adolescents who
think about self-harm from those who engage in self-harm. The British Journal of
Psychiatry 2012, (200), 330-335.
Rice, P. (1993). The adolecent: development, relationship, and culture. Needham Heghts,
Massachutsetts: Allyn and Bacon
Ronka, A. R., Taanila, A., Koiranen, M., Sunnari, V., & Rautio, A. (2013). Associations of
deliberate self-harm with loneliness, self-rated health and life satisfaction in
adolescence: northern Finland birth cohort 1986 study. International Journal of
Circumpolar Health, (72), 1-7.)
Sansone, R., Wiederman, M. and Sansone, L. “The self-harm inventory (SHI): Development
of a scale for identifying self-destructive behaviors and borderline personality
disorder.” Journal of Clinical Psychology, vol. 54(7), pp. 973-983, 1998
Santrock, J. W. (2003). Adolescence, perkembangan remaja. Jakarta: Penerbit Erlangga
Santrock, J.W. (2009). Child Development. 12th ed. New York: McGraw-Hil.
Sibarani, D. Magdalena, dkk. (2021). Self-harm dan Depresi Pada Dewasa Awal. Jurnal
Keperawatan Jiwa (JKJ): Persatuan Perawat Nasional Indonesia, 9(4), 795 - 802.
https://doi.org/10.26714/jkj.9.4.2021.795-802
Tang, J., Yang, W., Ahmed, N., Ma, Y., Liu, H., Wang, J., Wang, P., Du, Y. and Yu, Y.
“Stressful Life Events as a Predictor for Nonsuicidal Self-Injury in Southern Chinese
Adolescence.” Medicine, vol. 95(9), p.e2637, 2016
Thesalonika & Apsari, N. Cipta. (2021). Perilaku Self-harm atau Melukai Diri Sendiri yang
Dilakukan Oleh Remaja (Self-harm or Self-Injuring Behavior By Adolescents).
Focus: Jurnal Pekerjaan Sosial, 4(2), 213-224.
https://doi.org/10.24198/focus.v4i2.31405
World Health Organization. “Assessment for Self Harm/ Suicide in Persons with Priority
Mental, Neurological and Substance Use Disorders.” 2015. [online].URL: https://
www.who.int/mental_health/mhgap/evidence/suicide/q1/ en/