Anda di halaman 1dari 15

MARAKNYA SELFHARM TERJADI DI ERA SEKARANG

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Bahasa Indonesia


Dosen Pengampu: Dra. N. Kardinah. M.Pd.

Disusun Oleh:
Nabilah Fitri (1236000114)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat artikel yang berjudul “ Maraknya Selfharm
di Era Sekarang” dengan lancar dan tepat waktu.
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada ibu Dra. N. Kardinah. M.Pd. selaku dosen
pengampu mata kuliah Bahasa Indonesia. Serta penulis ucapkan terima kasih kepada keluarga
dan teman-teman yang selalu mendoakan penulis.
Penulis minta maaf karena banyaknya kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini,
karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran untuk membuat makalah ini menjadi
lebih baik. Terima kasih sekali lagi atas semua nya.

Bandung, 06 Desember 2023

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................................... 2


Daftar Isi ............................................................................................................................. 3
Bab I Pendahuluan .............................................................................................................. 4
Latar Belakang Masalah ......................................................................................... 4
Rumusan Masalah .................................................................................................. 5
Tujuan Penulisan .................................................................................................... 5
Bab II Pembahasan ............................................................................................................ 6
Bab III Penutupan ............................................................................................................. 13
Kesimpulan ........................................................................................................... 13
Saran ..................................................................................................................... 13
Daftar Pustaka .................................................................................................................. 14
Bab I Pendahuluan

Latar Belakang Masalah


Perilaku self-harm akhir-akhir ini banyak di lakukan oleh remaja dan di pamerkan di
media sosial. Orang-orang yang melakukan self-harm biasanya terjebak pada kondisi frustasi,
stress, dan sudah tidak memiliki tujuan hidup. Self-harm tidak hanya menggangu mental tapi
mengganggu fisik juga. Biasanya pelaku yang paling banyak melakukan self-harm adalah
para remaja. Self-harm yang paling populer dilakukan adalah menyayat tangan. Self-harm
juga terjadi dalam bentuk membakar tubuh, memukul diri, mengorek bekas luka, menjambak
rambut, dan juga mengonsumsi zat-zat beracun (Tang, et al., 2016). Bentuk-bentuk lain yang
didasarkan pada hasil konsesus ahli kuesioner self-harm inventory (SHI) yaitu, overdosis,
membenturkan kepala dengan sengaja, mengonsumsi alkohol berlebihan, mencakar tubuh,
tidak merawat luka, sengaja membuat kondisi medis memburuk, memilih berhubungan
seksual dengan siapa saja, menyalahkan resep pengobatan, menjauhkan diri dari Tuhan
sebagai hukuman, menempatkan diri pada hubungan yang ditolak, terlibat dengan hubungan
yang toxic dengan pasangan secara emosional/psikis, terlibat dengan hubungan yang
menyiksa pasangan secara seksual, meninggalkan pekerjaan secara intensif, melakukan
percobaan bunuh diri, dan menyiksa diri dengan pemikiran yang menyalahkan diri sendiri
(Randy Sansone et al., 2011).
Pada kenyataannya jumlah data perilaku self-harm pada kenyataannya sangat sulit
untuk diidntifikasi karena data dan penelitian yang dilakukan tidak mengungkapkan realitas
dari apa yang sebenarnya terjadi. Fenomena ini dipandang sebagai gunung es, yang di mana
sebenarnya kasus yang belum terungkap jumlahnya sangat besar (Hawton, O’Connor, dan
Saundres, 2012). Masalah ini adalah pribadi, jadi banyak kasus yang tidak terdeteksi oleh
pekerja kesehatan, kecuali mereka yang dirawat untuk kondisi psikologi (Sivasankari, Shaiju,
& Rahman, 2016).
Tidak semua orang menyakiti diri sendiri dengan sengaja memiliki keinginan untuk
melakukannya. Menurut Wilson (2012), beberapa penelitian telah membuktikan bahwa
keinginan untuk melakukan menyakiti diri dikaitkan dengan kemungkinan tinggi untuk
melakukan perilaku tersebut. Ideasi bunuh diri juga diprediksi memengaruhi perilaku yang
menyakiti diri dan mungkn, keinginan untuk menyakiti diri sendiri juga dapat memengaruhi
tingkah laku ini. Dari sana, dapat disimpulkan bahwa keinginan untuk menyakiti diri sendiri
sangat mungkin terkait dengan bagaimana seseorang dapat mengatur emosi atau dapat
memperkuat keyakinan tentang merugikan diri sendiri dapat mengubah keadaan
emosionalnya.
Fenomena self-harm menurut berbagai sumber umumnya terjadi di kalangan remaja.
Prevalensi data perilaku self-harm menurut studi oleh Favazza dan Conteiro (1988), sekitar
1.800 per 100.000 orang melakukan self-harm di rentang usia 15-35 tahun. Jumlah remaja
yang melakukan penyayatan diri di Amerika Serikat setiap tahunnya adalah sekitar dua juta
individu, dari 1.000 hingga 100.000 orang muda mengakui pernah menyayat diri, seperti
dikatakan oleh Plante (2007; dalam Larsen 2009).
Sementara itu, di Indonesia sendiri, menurut hasil Survei Kekerasan Terhadap Anak
Indonesia Tahun 2013, data populasi remaja usia 18-24 tahun yang melakukan self-harm
sebagai akibat dari kekerasan yang dialami sebelum usia 18 tahun adalah 6,06% dalam
kategori dampak kekerasan fisik (dari mana 53,44% dilakukan oleh kerabat lain, 35,53% oleh
ayah, dan 11,03% oleh ibu) dan 42,9% dalam kategori dampak kekerasan emosional (yang
mana 68,94% dilakukan oleh ibu, 19,63% dilakukan oleh ayah, dan 11,43% lainnya oleh
kerabat lain) dan semuanya adalah perempuan. Selain itu, data populasi tentang remaja usia
13-17 tahun yang melakukan self-harm adalah akibat dari kekerasan yang dialami dalam 12
bulan terakhir adalah 13% anak perempuan remaja yang mengalami kekerasan fisik di
antaranya 66,34% oleh ibu, 21,58% oleh ayah, dan sisanya 12,08% oleh kerabat lain
(Kurniasari et al,. 2013). Dari data ini, jelas bahwa perempuan Indonesia, baik di usia awal
remaja (13-17 tahun) maupun remaja (18-24 tahun), cenderung berisiko mengalami perilaku
kesulitan menyesuaikan diri yang menyebabkan kerusakan diri yang disebabkan oleh
kekerasan fisik dan emosional oleh orang tua dan kerabat lainnya.

Rumusan Masalah
1. Pengertian Self-harm?
2. Faktor-faktor penyebab perilaku self-harm?
3. Kenapa self-harm banyak dilakukan oleh remaja?
4. Apa hubungan depresi dan self-harm?

Tujuan Penulisan
1. Mengetahui tentang self-harm dan faktor-faktornya
2. Untuk mengetahui apakah kaitan depresi dan self-harm
3. Mengetahui bahaya self-harm untuk era remaja
Bab II Pembahasan

Self-harm adalah istilah psikologi yang berarti perilaku seseorang yang menyakiti atau
melukai diri sendiri dengan melakukan berbagai hal tanpa mempertimbangkan adanya
keinginan untuk bunuh diri (NICE, 2015; WHO, 2015, Kusumadewi, et al, 2019). Perilaku
self-harm adalah sebuah tindakan seseorang untuk mengatasi perasaan yang menyakitkan
atau tekanan emosional dengan cara yang merugikan diri seperti melukai atau menyakiti diri
sendiri tanpa keinginan untuk mati (Jenney, 2016; Klonsky et al., 2011; Thesalonika &
Apsari, 2021). Tindakan self-harm biasanya merupakan respon seseorang terhadap emosi atau
perasaan yang dirasakan. Self-harm juga merupakan fenomena kesehatan mental yang terjadi
sebagai mekanisme yang tidak beradaptasi yang menggunakan rasa sakit fisik untuk
mengatasi stres atau tekanan emosional (Woodley, 2020; Sibarani et al., 2021). Sehingga
dapat disimpulkan bahwa, self-harm adalah tindakan menyakiti diri sendiri atau melukai diri
yang dilakukan seseorang dengan sengaja sebagai reaksi terhadap emosi yang dirasakan oleh
individu.
Berdasarkan Knigge (1999), bentuk-bentuk perilaku self-harm yang dapat dilakukan
oleh seseorang, yaitu memotong atau menggosok bagian-bagian tertentu dari tubuh, memukul
diri sendiri, memukul dinding atau benda keras lainnya, membakar bagian tubuh tertentu,
mematahkan tulang, dan menganggu penyembuhan luka (Lubis & Yudhaningrum, 2020).
Perilaku self-harm yang paling sering dilakukan adalah menggores atau menyayat kulit
menggunakan benda tajam seperti silet. Perilaku ini biasanya disebut sebagai pemotongan
diri. Bentuk-bentuk lain dari perilaku self-harm dapat termasuk memukul diri sendiri,
menjambak rambut, membakar tubuh, mengorek bekas luka, dan sebagiannya mengonsumsi
zat-zat beracun (Tang et al., 2016).
Perilaku self-harm sebenarnya bukan gangguan mental, tetapi kegagalan seseorang
untuk mengatasi dalam menghadapi stres (Carroll, et al., 2014). Meskipun tidak semua orang
yang melakukan self-harm akan selalu berlanjut menjadi bunuh diri, tapi orang dengan
tingkah laku ini memiliki risiko 168 kali lipat untuk melakukan bunuh diri (Chan M., et al.,
2016). Jika self-harm dilakukan menyebabkan luka yang serius atau disertai dengan pikiran
bunuh diri yang intens, maka self-harm dapat mengakibatkan kematian (Sansone, et al.,
1998).
Menurut hasil studi yang dilakukan oleh Iva Buresova et al (2015) dari 1.446
responden dalam rentang usia 11-16 tahun di Republik Ceko, pola asuh otoriter dan aturan
yang ketat memicu perilaku self-harm pada remaja. Gaya pola asuh menentukan sebagian
besar suasana dan komunikasi dalam keluarga, yang memengaruhi proses perkembangan
remaja di masa kecil. Dalam studi Larsen (2009) dikatakan bahwa berbagai kondisi keluarga
yang memengaruhi pola asuh juga menyebabkan anak melakukan self-harm: 1). Tekanan
finansial, 2). Pekerjaan/pengangguran, 3). Ketidakmampuan, 4). Gangguan emosional, 5).
Orang tua alcoholic, 6). Penggunaan narkoba, 7). Perceraian, 8). Dan kematian orang yang
dicintai. Kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak menyebabkan anak mulai merasa
sedih dan bersalah karna dia berpikir telah melakukan kesalahan. Selain itu, ada faktor
invalidasi dari orang tua pada anak juga menyebabkan masalah besar bagi mereka yang
berperilaku self-harm (Larsen, 2009).
Maidah (2013) juga menemukan bahwa perilaku self-harm adalah bentuk saluran
emosi negatif yang timbul dari rasa sakit secara psikologis yang dirasakan oleh pelaku yang
sulit diungkapkan dengan kata-kata. Beberapa situasi yang dirasakan untuk mendukung
melakukan self-harm adalah kesepian dan perasaan didiskriminasi oleh lingkungan dan
perasaan tidak dianggap. Penelitian Marshal dan Yazdani (1999) tentang beberapa wanita
Asia yang melukai dirinya sendiri menunjukkan bahwa mereka melukai diri mereka sendiri
sebagai tanda bahwa tubuh itu milik mereka, bukan keluarga mereka. Mereka melakukan itu
untuk melampiaskan rasa kesal karna diharuskan memenuhi harapan keluarga agar nama
keluarga dapat di pandang positif dalam masyarakat karna di Asia, kebanyakan individu
hidup dengan keluarga sebagai fokus utama mereka.
Orang yang melakukan self-harm biasanya menyimpan perilaku melukai diri sendiri
mereka sebagai rahasia karna mereka malu dan takut apa yang orang lain katakan dan
pikirkan tentang perilaku mereka dan takut bahwa orang-orang di sekitar mereka akan
menjauhi mereka (Maidah, 2013). Bahkan sampai sekarang banyak orang awam berpikir
bahwa perilaku self-harm adalah perilaku manipulatif dan hanya dilakukan untuk mencari
perhatian (Clarke dan Whittaker, 1999).Meskipun begitu, perilaku self-harm memiliki potensi
tinggi terhadap keinginan bunuh diri. Ada setidaknya 814.000 orang meninggal karna
awalnya mereka melakukan self-harm namun kemudian menjurus ke bunuh diri
(WHO,2001). Konsep keinginan bunuh diri dan keinginan melukai diri sendiri berbeda, tetapi
beberapa penelitian menyatakan adanya korelasi yang sangat erat antara kedua perilaku ini
adalah perilaku self-harm bisa menjadi tanda yang sangat jelas untuk melakukan percobaan
bunuh diri (Kirchner, et al., 2011).
Bahkan penelitian melaporkan 70% percobaan bunuh diri dilakukan oleh individu
yang terlibat NSSI (Non-Suicidal Self Injury) (Tresno et al., 2012). Non-Suicidal Self Injury
(NSSI) adalah perilaku melukai diri sendiri tanpa niatan untuk bunuh diri. Ada juga penelitian
yang menyatakan bahwa bentuk perilaku self-harm pada remaja yang terkait dengan upaya
bunuh diri adalah mengiris pergelangan tangan atau menyayat kulit (Nock, Joiner, Gordon,
Llyod-Richardson, & Pristein, 2006). Di Indonesia, gejala bunuh diri pada remaja tampaknya
meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010, WHO melaporkan tingkat bunuh diri di
Indonesia mencapai 1,6 hingga 1,8 per 100.000 jiwa (Mardani, 2012).
Berdasarka data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian RI, ada 971
kasus bunuh diri di Indonesia sepanjang periode Januari hingga Oktober 2023. Kemudian,
dalam peringkat tingkat bunuh diri di seluruh dunia, Indonesia dan Jepang menduduki posisi
yang sama di tempat sembilan dalam hal tingkat bunuh diri. Diperkirakan setiap tahunnya
mencapai 50 ribu orang dari 220 juta total penduduk di Indonesia (Maharani,2014).
Keinginan untuk melakukan bunuh diri pada remaja telah terbukti ada hubungannya
dengan kesepian, yaitu ketidaknyamanan psikologis yang dirasakan pelaku karena
kekurangan dalam hubungan sosial seseorang, baik dalam kualitas dan kuantitas hubungan
tersebut. Semakin kesepian yang dirasakan seseorang, semakin besar risiko memiliki pikiran
untuk bunuh diri. Kedua variabel ini memiliki satu variabel penghubung yaitu depresi
(Lasgaard et al., 2011). Orang yang merasa kesepian cenderung memiliki perasaan negatif,
menarik diri dari lingkungan sosial, kurang percaya pada diri sendiri dan orang lain, merasa
dia sering gagal, dan merasa tidak puas dengan hubungan sosial mereka jika dibandingkan
dengan seseorang yang tidak kesepian.
Remaja lebih sering merasa kesepian ketika merasa ditolak, terasing, dan tidak
mampu memiliki peran dalam lingkungan mereka (Rice, 1993). Berdasarkan penelitian yang
dilakukan Kristen (2007) terhadap 234 remaja berusia 13-18 tahun di Australia, ditemukan
bahwa sense of community dan social support memengaruhi tingkat kesepian pada remaja.
Keinginan remaja untuk menjadi bagian dari komunitas sosial dan mendapatkan dukungan
dari lingkungan sosial, jika tidak terpenuhi maka akan memengaruhi tingkat kesepian masa
remaja.
Selain itu, dalam perkembangan sosial mereka, remaja mengalami perubahan dalam
hubungan. Perubahan ini adalah remaja mulai memisahkan diri dari orang tua menuju pada
keintiman dengan teman sebaya. Perubahan dalam lingkungan ini membutuhkan
kesinambungan, perubahan dalam memisahkan diri dari orang tua tanpa menyertainya
perubahan dalam hubungan remaja terhadap teman sebaya akan menyebabkan remaja
mengalami kesepian (Monks, et al., 1999).
Terdapat beberapa pendapat lain menurut para ahli mengenai faktor-faktor penyebab
perilaku self-harm. Menurut Mullis dan Chapman (2000), faktor-faktor yang menyebabkan
perilaku self-harm adalah emotion focus coping. Ini berarti bahwa seseorang cenderung
menyelesaikan masalah dengan meminimalkan tekanan emosional yang dirasakan untuk
mendapatkan rasa nyaman dan perasaan lega, salah satunya dengan menyakiti diri sendiri
(Thesalonika & Apsari, 2021). Kemudian, Sutton (2007) menyatakan bahwa penyebab
perilaku self-harm adalah faktor psikologis, seperti perasaan tidak mampu mengendalikan
emosi, stres, harga diri rendah, depresi atau putus asa (Bidayah, et al., 2013).
Selain itu, menurut Ronka (2013), kesepian dapat menjadi faktor penyebab remaja
terlibat dalam perilaku yang merugikan diri dan merusak diri. Menurut Robert, Weis (2028)
bullying dan cyberbullying adalah prediktor unik dari perilaku self-harm dan bunuh diri. Jadi,
dikatakan bahwa remaja merasa mereka memiliki hubungan yang baik dengan keluarga dan
teman-teman usia, dan di sekolah mereka akan berisiko rendah untuk bunuh diri dan self-
harm. Selain itu, menurut Burešová et al., 2015 menyatakan bahwa ada 2 faktor yang
menyebabkan perilaku merugikan diri, yaitu eksternal dan internal. (Thesalonika & Apsari,
2021).
Faktor eksternal dapat datang dari luar, seperti pola orang tua yang otoriter dan
masalah dalam hubungan romantis atau persahabatan. Sementara itu, faktor internal dapat
menjadi kebutuhan atau kecenderungan neurotik seperti kasih sayang, penerimaan sosial, atau
harga diri sosial seseorang, dan kematangan emosional seseorang. Dengan demikian, ada
banyak faktor yang dapat memicu munculnya perilaku self-harm pada remaja, baik dari
bentuk-bentuk internal pengambilan keputusan menggunakan mekanisme penyelesaian
maladaptif atau eksternal sebagai tindakan mengekspresikan stres dengan stres yang berasal
dari luar individu.

Linehan (1993) berpendapat bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya self-


harm adalah faktor keluarga dan lingkungan sosial yang toxic disekitar pelaku self-harm,
termasuk: pertama, tumbuh dalam keluarga yang kacau, kedua, kurangnya kasih sayang atau
kurangnya perhatian, ketiga, mengalami kekerasa dalam keluarga, keempat, ada komunikasi
yang buruk dalam keluarga, kelima, mengekspresikan pengalaman pribadi tidak ditanggap
dengan baik dan sering kali dihukum atau diremehkan, keenam, mengungkapkan perasaan
yang menyakitkan tanpa sengaja.
Menurut Martinson (1999), ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang terlibat
dalam perilaku self-harm, yaitu:
a) Faktor keluarga, kurangnya model peran dalam masa kanak-kanak yang
mengekspresikan emosi serta kurangnya komunikasi antara anggota keluarga.
b) Faktor pengaruh biokimia, pelaku self-harm memiliki masalah spesifik dalam sistem
serotogenik otak yang menyebabkan peningkatan impulsivitas dan agresivitas.
c) Faktor psikologis, pelaku self-harm merasakan kekuatan emosi yang tidak nyaman
dan tidak mampu mengatasinya.
d) Faktor kepribadian, tipe kepribadian yang introvert memiliki kemungkinan yang besar
untuk melakukan self-harm dibandingkan yang ekstrovert ketika memiliki masalah.
Pola perilaku self-harm tergantung dengan mood. Selain itu, adanya harga diri yang
rendah, pola pemikiran yang kaku dan sulitnya mengomunikasikan perasaan menjadi
faktor penunjang untuk seseorang melakukan self-harm.

Self-harm biasanya terjadi karena beberapa faktor yang menyebabkan seseorang


melakukan perilaku self-harm, baik itu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor internal
termasuk faktor kepribadian dan faktor biologis, sedangkan faktor eksternal termasuk faktor
keluarga, faktor pertemanan, dan faktor lingkungan. Kemudian, dari faktor inilah seseorang
merasa adanya tekanan psikologis yang dialami oleh seseorang tersebut.
Masa remaja adalah periode transisi atau transisi dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa (Santrock, 2003). Batas usia remaja menurut WHO adalah 12-24 tahun. (WHO,
2019).Periode ini dimulai ketika individu mengalami pubertas atau kematangan seksual yang
ditandai dengan perubahan atau transisi di kedua aspek hormonal, aspek kognitif, aspek fisik,
dan aspek psikososial. (Santrock, 2009).
Dengan banyak perubahan yang harus dihadapi individu selama periode ini, menurut
Sigmund Freud dalam buku Theories of Developmental, periode ini dipandang sebagai
periode penuh konflik, karena individu yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan
yang sering terjadi akan sering mengalami masalah atau konflik. Situasi ini menunjukkan
bahwa individu dalam periode ini dibutuhkan untuk dapat beradaptasi dengan baik terhadap
perubahan melalui tugas-tugas perkembangan yang harus dihadapi.(Havighurts, in Siti
Rahayu, 1999). Oleh karena itu, tidak jarang orang-orang ini mengalami tekanan atau stres.
Ketidakmampuan remaja untuk mengatasi masalah ini terkait dan dapat dipelajari
dengan menggunakan teori kepribadian yang diusulkan oleh Sigmund Freud. Salah satu dari
tiga konstruksi utama yang membentuk kepribadian individu, yaitu ego, menghasilkan
pemikiran logis yang biasanya digunakan dalam penerapan keterampilan pemecahan masalah
dalam kehidupan sehari-hari (Freud, 1923/1974).Jika remaja tidak memiliki strategi atau
tidak dapat memecahkan masalah, id (keinginan atau kenikmatan) apa yang tidak terpenuhi
dapat di antara melalui ego dengan perilaku yang mengalahkan diri sendiri dan dalam kasus
yang serius, beberapa melakukan percobaan untuk bunuh diri (Bryan, Bryan, Ray-Sannerud,
Etienne, & Morrow, 2014).
Dibandingkan dengan kelompok usia lainnya, risiko NSSI lebih tinggi terjadi pada
remaja. Bukti dari data menurut Swannel, bahwa sekitar 17,2% remaja, 13,4% orang dewasa
muda, dan 5,5% orang dewasa memiliki setidaknya satu episode NSSI dalam sejarah hidup
mereka (Swannel, Martin, Page, Hasking, & St John, 2014). Para peneliti juga mengatakan
bahwa kelompok remaja yang paling banyak melakukan self-harm.
Dua puluh sampai lima puluh persen remaja merasa kesepian sampai batas tertentu
dan kesepian ini umum terjadi terutama pada remaja berusia 12-22 tahun. (Heinrich, 2006;
Laine, 1990).Ini terjadi tidak hanya karena individu remaja terasing atau tidak memiliki
teman, namun individu merasa bahwa mereka telah gagal untuk menjadi bagian dari
hubungan sosial dengan orang-orang di sekitarnya (Larson, 1990; di Lasgaard, et al., 2011)
dan hubungan sosial bervariasi dan berubah membuat sulit bagi individu muda untuk
beradaptasi.(Ronka, 2011).
Menurut penelitian oleh Lykes dan Kemmelmeier (2014), kesepian yang lebih rendah
ditunjukkan oleh negara yang mematuhi budaya individualisme dibandingkan dengan negara-
negara yang bersatu secara budaya dengan kolektivisme. Namun, budaya kolektivisme adalah
memiliki kontak yang baik dan hubungan dengan keluarga menunjukkan lebih banyak tingkat
kesepian yang lebih rendah daripada budaya individualisme hubungan yang baik atau
hubungan dengan teman-teman sebagai penentu perasaan kesendirian.
Weiss (1973) membagi kesepian menjadi dua tema besar, yaitu emotional lonliness
(dikategorikan menjadi family lonliness dan romantic loneliness oleh DiTomasso dan
Spinner, 1993) dan social loneliness. Family Loneliness adalah kesepian yang dirasakan oleh
seseorang sebagai akibat dari pengalaman atau hubungan buruk dengan keluarganya. Ini
terkait dengan faktor lain, yaitu pola komunikasi dengan orang tua dan anak sering
menyebabkan anak merasa tidak berharga atau tidak dipertimbangkan dan kemudian
menyakiti diri sendiri.
Romantic loneliness adalah kesepian yang dialami individu karena perasaan
kurangnya kekuatan dalam hubungan intim dengan individu lain dalam bentuk hubungan
romantis, misalnya ketika berpisah dengan pacar atau ditinggalkan oleh seseorang yang
mereka anggap layak seumur hidup. Sementara itu, social loneliness adalah hasil dari
hubungan sosial yang tidak memadai, ditunjukkan ketika individu tidak memiliki jaringan
hubungan sosial di mana individu melakukan kegiatan sehari-hari. Hal ini mungkin terjadi
sebagai akibat dari individu yang mengalami bullying. Kurangnya hubungan hangat dengan
orang-orang di sekitar mana individu melakukan kegiatan yang memiliki dampak pada isolasi
diri dan juga self-harm.
Tingkat kesulitan yang tinggi dalam menanggapi pengalaman negatif dan tingkat
toleransi yang rendah terhadap masalah yang dihadapi juga menjadi faktor dalam remaja
melukai diri sendiri. Baik anak perempuan maupun anak laki-laki memiliki tingkat kesulitan
yang tinggi dalam menghadapi masalah. Namun, menurut Beautrais AL (2002), remaja putri
cenderung memiliki tingkat self-harm yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja putra.
Meskipun demikian, semakin bertambahnya usia, perbedaan ini bahkan lebih sempit bagi pria
yang mulai menunjukkan perilaku self-harm (bahkan suicide atau bunuh diri) saat dewasa.
Wanita ketika menyakiti diri mereka sendiri dianggap masih memiliki harapan yang
terkait dengan hubungan sosial, sehingga mereka lebih cenderung untuk menuangkan emosi
mereka dalam self-harm daripada bunuh diri. Sementara itu, pria dianggap memiliki kesulitan
mengekspresikan emosi dan kesulitan dalam hubungan sosial yang menyebabkan stres.
Mereka cenderung menyadari keadaan emosional mereka ketika situasi telah memburuk.
Dalam kasus yang lebih serius, pria lebih cenderung memilih untuk mencoba bunuh diri
daripada menyakiti diri sendiri (Gilligan and Machoian, 2002).
Self-harm pada awalnya dinilai sebagai perilaku mencari perhatian atau tingkah laku
meniru. Namun, pernyataan ini tidak lagi valid karena perilaku yang self-harm dapat menjadi
mekanisme yang dipilih untuk melepaskan kecemasan seseorang. (Larsen, 2009). Dengan
menyakiti diri sendiri, remaja menyalurkan perasaan kegagalan mereka, kekecewaan dengan
orang lain, atau kurangnya komunikasi hangat dengan orang tua mereka sendiri. (Larsen,
2009). Dengan demikian, dapat disimpulkan, semakin tinggi kesepian, semakin besar
keinginan untuk melukai diri sendiri.
Penjelasan di atas sejalan dengan faktor berikutnya, yaitu mengatasi emotion focus
coping. Menurut Mullis dan Chapman (2000), mengatasi emotion focus coping adalah
memecahkan masalah dengan meminimalkan tekanan yang dirasakan untuk mencapai rasa
nyaman. Remaja cenderung menggunakan cara ini untuk mengatasi masalah mereka,
misalnya dengan perilaku yang merusak atau merusak diri mereka sendiri seperti
mengonsumsi alkohol, merokok, dan bahkan memotong. Upaya ini dilakukan untuk
mencapai rasa nyaman untuk tekanan atau stres yang dialami.
Di dalam Jurnal Keperawatan Jiwa (JKJ): Persatuan Perawat Nasional Indonesia yang
telah melakukan penelitian yang di mana target penelitian itu adalah dewasa muda melalui
media sosial seperti facebook, instagram, dan whatsapp dalam rentang usia 18-40 tahun.
Hasil dari penelitian ini memperoleh data bahwa lebih dari setengah responden adalah
wanita. Hasil dari penelitian ini sesuai dengan O'Connor (2018). Perbedaan antara dua
penelitian mungkin disebabkan oleh fakta bahwa populasi dalam studi saat ini sebagian besar
wanita, sedangkan studi sebelumnya dilakukan pada masyarakat umum di Skotlandia.
Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh tingkat kebutuhan, yaitu jika informasi yang
ingin diketahui memiliki nilai kebutuhan yang tinggi, itu akan dicari secara rinci dan lengkap
(Prijana, 2015). Dalam pola penggunaan internet, wanita lebih tertarik pada chatting dan
terkait dengan belajar, sementara pria lebih terbiasa dengan belajar. berhubungan dengan
pembelajaran, sementara pria lebih tertarik membaca berita online, penggunaan teknis dan
hiburan (Wahid, 2015).
Hasil penelitian ini memperoleh data lebih dari setengahnya (65,4%), yaitu 85
responden tinggal bersama orang tua mereka. Ini sama dengan hasil penelitian O'Connor
(2018). Kesamaan dari dua penelitian ini mungkin karena orang dewasa muda perlu
beradaptasi dengan masalah kehidupan dan menguasai situasi dari waktu ke waktu dan perlu
menyesuaikan diri dengan situasi dengan masalah kehidupan dan menguasai situasi dari
waktu ke waktu dan membutuhkan contoh perilaku seseorang yang dianggap sebagai orang
dewasa (Hurlock, 2018).
Hasil penelitian telah ditemukan bahwa responden rata-rata memiliki risiko rendah
untuk melakukan self-harm. Tingkat self-harm pada orang dewasa muda lebih rendah
daripada pada remaja. Orang dewasa muda lebih cenderung untuk self-harm ketika
didiagnosis dengan depresi, gangguan penggunaan zat, gangguan kepribadian dan diagnosis
dengan ADHD dalam waktu 180 hari sebelum melakukan self-harm (Olfson, 2018). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa usia rata-rata dewasa muda awal lebih tinggi untuk
melakukan self-harm dan lebih rendah pada usia yang lebih tua (O'connor, 2018).
Hasil penelitian ini melaporkan bahwa rata-rata responden memiliki risiko depresi
yang lebih rendah. Trend saat ini adalah peningkatan yang signifikan dalam depresi,
kecemasan, self-harm dan percobaan bunuh diri lebih umum di antara anak perempuan dan
orang dewasa muda (Twenge, 2020). Persamaan ini mungkin terkait dengan pendidikan yang
lebih tinggi, maka risiko depresi lebih rendah. Posisi sosial yang lebih rendah dibandingkan
dengan orang lain diterjemahkan secara negatif menjadi mekanisme psikososial yang
mempengaruhi depresi. Wetherall, 2019).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden rata-rata memiliki risiko rendah
untuk melakukan tindakan self-harm yang serius. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian
sebelumnya (Joanne, 2021). Beberapa tindakan self-harm yang serius dalam kuesioner adalah
percobaan bunuh diri, membakar diri dan overdosis (Kusumadewi, 2019). Bahaya bunuh diri
terjadi setelah peristiwa self-harm dengan metode kekerasan (Olfson, 2018). Hasil analisis
kuisioner self-harm menemukan bahwa lebih banyak responden menjawab "Tidak" pada
jawaban overdosis (9,2%) dan sengaja membakar diri(5,4%).
Hasil penelitian menunjukkan ada korelasi yang signifikan antara self-harm dan
depresi. Risiko tindakan self-harm dapat dipengaruhi oleh kognisi rendah dan depresi suasana
hati. Kehilangan minat dan kesenangan dapat meningkatkan manfaat yang dirasakan dari
self-harm (Zielinski, 2017). Depresi dimulai dengan persepsi negatif dari stres, kemudian
datang fase akumulasi stres yang membuat situasi menjadi lebih buruk dengan menyakiti diri
sendiri dan bunuh diri (Hart, 2017).
Berdasarkan teori, depresi adalah kemarahan yang diarahkan pada diri sendiri,
sehingga orang dengan depresi berisiko untuk melukai diri sendiri atau self-harm (Stuart,
2013). Selain itu, populasi self-harm mungkin sulit untuk menentukan karena sering terjadi
tersembunyi dan rahasia. Namun, ada hubungan antara self-harm dan ide bunuh diri pada
klien yang tertekan (Harris, Beese, & Moore, 2019). Pekerjaan sebagai mahasiswa juga
dikaitkan dengan munculnya gejala depresi. Hasil penelitian pada 1700 siswa berusia 18-29
tahun menunjukkan bahwa 31,3% mengalami gangguan tidur dan 6,54 kali lebih parah ketika
mengalami depresi. (Becker, et al., 2018).
Seseorang yang self-harm untuk mengurangi ketegangan, merasa lebih tenang dari
penolakan yang mengakibatkan ketidaknyamanan (Faried, 2018). Hasil penelitian lainnya
mendukung hasil penelitian ini menunjukkan bahwa self-harm membuat perasaan lebih baik,
dijelaskan para peserta dalam studi merasa lega atau dibebaskan dari emosi atau pikiran
negatif setelah melukai diri sendiri. (Arinda, 2021).
Bab III Penutupan

Kesimpulan
Self-harm sebagian besar dilakukan oleh remaja karena usia remaja ini adalah masa
yang penuh konflik yang rentan untuk melakukan self-harm. Mereka dituntut untuk selalu
mampu beradaptasi dengan setiap perubahan yang cepat. Meskipun perilaku menyakiti diri
dianggap sebagai pelanggaran tingkah laku non-suicidal (tidak bertujuan untuk melakukan
bunuh diri), penelitian menunjukkan bahwa mereka melakukan tindakan self-harm memiliki
potensi tinggi untuk bunuh dirinya.
Perilaku self-harm paling sering dilakukan adalah menggores bagian tubuh tertentu
terutama tangan. Seseorang melakukan self-harm disebabkan oleh beberapa faktor, tidak
cuma satu faktor saja. Faktor penyebab yang paling mendominasi adalah emotion focus
coping, seperti melakukan self-harm untuk mengurangi stres yang dirasakan. Ada juga faktor
eksternal dan faktor internal alasan seseorang melukai diri sendiri. Faktor internal termasuk
faktor kepribadian dan faktor biologis, sedangkan faktor eksternal termasuk faktor keluarga,
faktor pertemanan, dan faktor lingkungan. Kemudian, dari faktor inilah seseorang merasa
adanya tekanan psikologis yang dialami oleh seseorang tersebut.

Saran
Fakta bahwa banyaknya remaja yang melakukan self-harm megindikasikan kurangnya
perhatian lingkungan keluarga, sekolah, pertemanan maupun negara untuk mengatasi hal ini.
Demi mengurai perilaku self-harm pada remaja, baik keluarga, sekolah, teman, dan
pemerintah dapat turut berperan untuk membuat tindakan pencegahan dan penyembuhan
untuk pelaku-pelaku self-harm. Pola komunikasi yang baik dengan orang tua sejak kecil
dapat menjadi jalan untuk menghindari remaja melakukan self-harm.
Selain itu, remaja harus menumbuhkan self-talk dan mindset yang positif dan
membangun self-coping yang kuat untuk menghindari perilaku self-harm. Self-talk
memberikan wawasan untuk berpikir secara logis sehingga ego dapat mengatasi id. Selain itu,
lingkungan yang positif dan mendukung dapat menjadi cara untuk menghindari perilaku
merugikan diri.
Daftar Pustaka

Bidayah, A., dkk., (2023). Konseling Kelompok Dengan Menggunakan Pendekatan Rational
Emotive Behaviour Therapy Dalam Mengatasi Perilaku Self Injury Remaja:
Literature Review. Jurnal Ilmu Pendidikan dan Sosial (JIPSI). 1(4), 396-401.
http://dx.doi.org/10.58540/jipsi.v1i4.77
Carroll, R., Metcalfe, C. and Gunnell, D. “Hospital Presenting Self-Harm and Risk of Fatal
and Non-Fatal Repetition: Systematic Review and Meta-Analysis.” PLoS ONE, vol.
9, p.e89944, 2014
Chan, M., Bhatti, H., Meader, N., Stockton, S., Evans, J., O'Connor, R., Kapur, N. and
Kendall, T. “Predicting suicide following self-harm: systematic review of risk factors
and risk scales.” British Journal of Psychiatry, vol. 209 (4), pp: 277-283, 2016
Clarke, L., & Whittaker, M. (1999). „Self mutilation: culture, contexts, and nursing
responses‟ dalam Journal of Clinical Nursing, (7), 129-137. UK: Blackwell Science.
Gilligan, C., & Machoian, L. (2002). Learning to speak the language. A relational
interpretation of an adolescent girl‟s suicidality. Studies Gender Sexuality, (3), 321-
341.
Hurlock, E. B. (2012). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan (terjemahan). Jakarta: Erlangga.
Kirchner, T., Ferrer, L., Forns, M., & Zanini, D. (2011). Self-harm behavior and suicidal
ideation among high school students. Gender differences and relationship with coping
strategies. Actas Espanolas dePsiquiatria, (39), 226-35.
Klonsky, E. David, dkk, (2011). Nonsuicidal Self Injury. Cambridge: Hogrefe Publishing
Kusumadewi, AF, dkk. (2019). Self-harm Inventory (SHI) Versi Indonesia Sebagai Instrumen
Deteksi Dini Perilaku Self-harm. Jurnal Psikiatri Surabaya, 08(01), 20-25.
https://doi.org/10.20473/jps.v8i1.15009
Lasgaard, M., Goossens, L., Elklit, A. (2011). Loneliness, depressive symptomatology, and
suicide ideation in adolescence: crosssectional and longitudinal analyses. Journal
Abnormal Child Psychology, (39), 137–150.
Larsen, K. (2009). Self injury in teenagers. Research Paper, The Graduate School University
of Wisconsin-Stout.
Lubis, I. Rosalinda & Yudhaningrum, L. (2020). Gambaran Kesepian Pada Remaja Pelaku
Self-harm. Jurnal Penelitian dan Pengukuran Psikologi, 9(1), 14-21.
https://doi.org/10.21009/JPPP.091.03
Maharani, S. (March 26, 2014). Angka bunuh diri di Indonesia setara Jepang. Retrieved
February 8, 2015 from http://www.tempo.co/read/news/201
4/03/26/173565394/Angka-Bunuh-Diri-Indonesia-Setara-Jepang
Maidah. (2013). Self injury pada mahasiswa (studi kasus pada mahasiswa pelaku self injury).
Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas Negeri Semarang, Semarang.
Mardani (June 2, 2012). Kasus bunuh diri di Indonesia sudah memprihatinkan. Retrieved
February 8, 2015 from http://www.merdeka.com/peristiwa/k asus-bunuh-diri-di-
indonesia-sudah-memprihatinkan.html
O‟Connor, R. C., Rasmussen, S., & Hawton, K. (2012). Distinguishing adolescents who
think about self-harm from those who engage in self-harm. The British Journal of
Psychiatry 2012, (200), 330-335.
Rice, P. (1993). The adolecent: development, relationship, and culture. Needham Heghts,
Massachutsetts: Allyn and Bacon
Ronka, A. R., Taanila, A., Koiranen, M., Sunnari, V., & Rautio, A. (2013). Associations of
deliberate self-harm with loneliness, self-rated health and life satisfaction in
adolescence: northern Finland birth cohort 1986 study. International Journal of
Circumpolar Health, (72), 1-7.)
Sansone, R., Wiederman, M. and Sansone, L. “The self-harm inventory (SHI): Development
of a scale for identifying self-destructive behaviors and borderline personality
disorder.” Journal of Clinical Psychology, vol. 54(7), pp. 973-983, 1998
Santrock, J. W. (2003). Adolescence, perkembangan remaja. Jakarta: Penerbit Erlangga
Santrock, J.W. (2009). Child Development. 12th ed. New York: McGraw-Hil.
Sibarani, D. Magdalena, dkk. (2021). Self-harm dan Depresi Pada Dewasa Awal. Jurnal
Keperawatan Jiwa (JKJ): Persatuan Perawat Nasional Indonesia, 9(4), 795 - 802.
https://doi.org/10.26714/jkj.9.4.2021.795-802
Tang, J., Yang, W., Ahmed, N., Ma, Y., Liu, H., Wang, J., Wang, P., Du, Y. and Yu, Y.
“Stressful Life Events as a Predictor for Nonsuicidal Self-Injury in Southern Chinese
Adolescence.” Medicine, vol. 95(9), p.e2637, 2016
Thesalonika & Apsari, N. Cipta. (2021). Perilaku Self-harm atau Melukai Diri Sendiri yang
Dilakukan Oleh Remaja (Self-harm or Self-Injuring Behavior By Adolescents).
Focus: Jurnal Pekerjaan Sosial, 4(2), 213-224.
https://doi.org/10.24198/focus.v4i2.31405
World Health Organization. “Assessment for Self Harm/ Suicide in Persons with Priority
Mental, Neurological and Substance Use Disorders.” 2015. [online].URL: https://
www.who.int/mental_health/mhgap/evidence/suicide/q1/ en/

Anda mungkin juga menyukai