Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Bunuh diri merupakan salah satu dampak yang serius dari gangguan
kejiwaan yang saat ini mendapatkan perhatian global. Fenomena bunuh diri
terjadi di berbagai wilayah di seluruh dunia dan telah menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang mendesak. Data dari World Health Organization
(WHO) mengungkapkan bahwa setiap tahun sekitar 800.000 orang meninggal
akibat bunuh diri, atau dengan kata lain, ada satu orang yang meninggal
karena bunuh diri setiap 40 detik (Nurchayanti 2019) Beban bunuh diri secara
global sebagian besar terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan
menengah, dengan 78% dari total kasus. Namun, beberapa negara maju
seperti Korea Selatan, Jepang, Amerika Serikat, dan Cina menduduki peringkat
tertinggi dalam jumlah kasus bunuh diri di seluruh dunia (WHO 2021). Data ini
menggaris bawahi urgensi untuk meningkatkan kesadaran, pencegahan, serta
perawatan bagi individu yang berisiko tinggi mengalami bunuh diri. Upaya
internasional dan nasional harus terus dilakukan untuk mengatasi masalah
bunuh diri dan mendukung individu yang memerlukan bantuan dalam
mengatasi gangguan kejiwaan yang mungkin menjadi pemicu tindakan bunuh
diri.
Berdasarkan data statistik yang diambil dari penelitian Emory University
tahun 2015 tindakan bunuh diri tampaknya sangat rentan terjadi pada
kelompok usia 18-24 tahun, dan tingkat pemikiran terkait bunuh diri (suicide-
related ideation) juga lebih tinggi pada rentang usia 18-25 tahun (Maulidya
Anita Dewi, 2022). Selain faktor usia, penelitian yang dilakukan oleh King &
Merchant pada tahun 2008 juga mengindikasikan bahwa perasaan kesepian
atau keadaan sosial yang kurang mendukung dapat menjadi salah satu faktor
interpersonal yang meningkatkan risiko bunuh diri pada kalangan remaja
(Simatupang, 2019).
Dalam banyak kasus, tindakan bunuh diri bukanlah akibat dari satu faktor
tunggal, melainkan merupakan hasil dari kombinasi faktor-faktor individu dan
sosial yang kompleks. Hal ini menunjukkan pentingnya pendekatan holistik
dalam mencegah tindakan bunuh diri dan memberikan dukungan kepada
individu yang berisiko.
Usia mahasiswa, khususnya dalam kelompok 18-24 tahun, ternyata
merupakan rentang usia yang sangat rentan terhadap tindakan bunuh diri.
Menurut statistik dari Emory University tahun 2015, tingkat pemikiran terkait
bunuh diri lebih tinggi pada rentang usia 18-25 tahun. Selain usia, perasaan
kesepian dan keadaan sosial yang kurang mendukung juga dapat menjadi
faktor penting yang meningkatkan risiko bunuh diri pada kalangan remaja,
seperti yang ditunjukkan oleh penelitian (Ainunnida, 2022). Penting untuk
memberikan perhatian khusus pada mahasiswa dan menyediakan sistem
dukungan serta sumber daya yang diperlukan untuk membantu mengatasi
perasaan stres dan kesepian, serta mencegah tindakan bunuh diri di kalangan
mereka.
Perlunya program upaya pencegahan dan penanggulangan
bunuh diri di kalangan mahasiswa menjadi semakin mendesak dalam
masyarakat saat ini. Mahasiswa adalah salah satu kelompok
rentanyang mengalami tekanan emosional yang tinggi akibat
tuntutan akademik, pergolakan emosi, serta perubahan sosial yang
signifikan. Program-program ini dapat memberikan pendidikan dan
sumber daya tentang kesehatan mental, membantu mengidentifikasi
depresi dan kecemasan, serta menawarkan akses mudah ke layanan
dukungan kesehatan mental. Selain itu, program-program ini juga
perlu mengurangi stigma yang masih melekatpada masalah
kesehatan mental, sehingga mahasiswa merasa lebih nyaman untuk
mencari bantuan dan berbicara tentang perasaan mereka. Dengan
upaya yang tepat, program-program ini memiliki potensi untuk
menyelamatkan banyak nyawa dan meningkatkan kesejahteraan
mental di kalangan mahasiswa.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah
pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana program pencegahan bunuh diri pada mahasiswa fakultas
kedokteran Universitas Hasanuddin?
2. Bagaimana penganggulangan bunuh diri pada mahasiswa fakultas
kedokteran Universitas Hasanuddin?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan
penelitian pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui program pencegahan bunuh diri pada mahasiswa
fakultas kedokteran Universitas Hasanuddin.
2. Untuk mengetahui penganggulangan bunuh diri pada mahasiswa fakultas
kedokteran Universitas Hasanuddin.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah diutarakan, maka kegunaan pada
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan
pengetahui program pencegahan dan penganggulangan bunuh diri pada
mahasiswa fakultas kedokteran universitas hasanuddin 2022.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan kontribusi terhadap pengetahuan
dan pemahaman tentang Financial Distress serta faktor-faktor yang
memengaruhinya pada perusahaan sektor property dan real estate
di Bursa Efek Indonesia. Hasil studi ini dapat menjadi dasar untuk
penelitian selanjutnya dalam eksplorasi yang lebih mendalam
tentang topik ini. Selain itu, penelitian ini juga dapat membantu
peneliti untuk membuat keputusan investasi yang lebih cerdas dan
untuk mengasah keterampilan dalam penggunaan perangkat lunak
seperti Microsoft Word dan Excel dalam analisis keuangan.
a. Bagi Mahasiswa
Penelitian ini memberikan manfaat yang signifikan bagi mahasiswa,
khususnya mereka yang tergabung dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin. Dengan hasil penelitian ini, mahasiswa akan
memiliki akses ke program-program pencegahan dan
penanggulangan bunuh diri yang lebih efektif. Mereka dapat
memanfaatkan sumber daya dan dukungan yang diperlukan untuk
mengatasi stres, depresi, dan tekanan emosional yang seringkali
muncul selama perjalanan akademik mereka. Hal ini dapat
meningkatkan kesejahteraan mental mahasiswa, membantu mereka
meraih sukses akademik, dan memberikan perasaan dukungan dan
pemahaman dalam mengatasi masalah kesehatan mental.
b. Bagi Universitas
Penelitian ini memberikan manfaat penting bagi Universitas
Hasanuddin. Dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang
kebutuhan mahasiswa dan upaya pencegahan bunuh diri, universitas
dapat merancang dan mengimplementasikan program-program
kesehatan mental yang lebih efektif dan berfokus pada kebutuhan
mahasiswa. Ini dapat meningkatkan reputasi universitas sebagai
lembaga yang peduli terhadap kesejahteraan mahasiswa dan
memberikan lingkungan yang lebih mendukung. Selain itu, upaya
pencegahan bunuh diri yang berhasil juga dapat mengurangi dampak
negatif dari peristiwa bunuh diri pada citra universitas..
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Pengertian Bunuh Diri
Menurut Keliat (2020) bunuh diri merujuk pada tindakan sabotase diri
yang dilakukan dengan enggan untuk menghadapi situasi yang tampaknya
takteratasi. Bunuh diri dapat dianggap sebagai tindakan agresif yang
merusak diri sendiri, yang mencerminkan situasi darurat psikiatrik pada
individu yang mengalami tekanan tinggi dan mungkin menggunakan strategi
koping yang maladaptif.
Reber dan Reber memberikan definisi bunuh diri sebagai tindakan
seseorang yang dengan niatan dan kesengajaan mengakhiri hidupnya atau
melakukan tindakan untuk mengambil nyawanya sendiri (Amelia, 2023).
Menurut Beurs tindakan bunuh diri adalah hasil dari interaksi antara
motivasi, terutama yang berkaitan dengan kegagalan dan kondisi
kekurangan, serta impulsifitas ide terhadap keberanian menghadapi
kematian. Bunuh diri, atau suicide, didefinisikan sebagai upaya seseorang
untuk mengakhiri hidupnya sendiri secara sengaja (Darmayanti et al., n.d.).
Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditarik kesimpulan, Bunuh diri
adalah tindakan ekstrem yang dilakukan oleh seseorang dengan niatan dan
kesengajaan untuk mengakhiri hidupnya. Ini adalah manifestasi dari
keputusasaan yang mencapai puncak, di mana individu merasa bahwa tidak
ada jalan keluar dari beban psikologis atau masalah yang mereka hadapi.
Definisi ini mencerminkan bahwa bunuh diri seringkali dipicu oleh
ketidakmampuan untuk mengatasi kesulitan dalam kehidupan, sehingga
individu mencari cara radikal untuk mengakhiri penderitaan mereka. Selain
itu, bunuh diri juga bisa menjadi upaya ekstrem untuk melarikan diri dari
kenyataan atau kembali ke keadaan yang dianggap lebih nyaman dan bebas
dari tekanan, sering kali mirip dengan perasaan keamanan dan ketenangan
seperti saat berada dalam kandungan.

2. Jenis-Jenis Bunuh Diri


Menurut Kartini Kartono, bunuh diri dapat diklasifikasikan menjadi dua
tipe utama (Muhammad, 2009).:
a. Bunuh diri konvensional adalah tipe bunuh diri yang dipengaruhi oleh
tradisi, tekanan opini publik, serta kebutuhan untuk memenuhi norma
sosial dan tuntutan masyarakat.
b. Bunuh diri personal adalah tipe bunuh diri yang lebih umum terjadi pada
era modern, di mana individu merasa lebih bebas dan cenderung
menolak untuk terikat oleh tradisi dan konvensi sosial. Orang-orang
dalam kategori ini cenderung mencari solusi terhadap kesulitan hidup
mereka dengan pendekatan yang lebih individualistik dan sering kali
tidak terpengaruh oleh tekanan sosial yang ketat atau norma
konvensional.
Menurut Émile Durkheim, salah seorang sosiolog terkemuka pada abad
ke-19, terdapat tiga tipe bunuh diri yang membentuk dasar teorinya tentang
fenomena bunuh diri dalam masyarakat. Maka jenis bunuh dirinya yaitu
sebagai berikut (Wicaksono, 2018):
a. Bunuh diri egoistis (egoistic suicide)
Bunuh diri egoistis (egoistic suicide) yang terjadi ketika seseorang
merasa terisolasi dari kelompok atau komunitasnya. Individu yang
mengalami bunuh diri egoistis cenderung kehilangan integrasi sosial
dan memiliki sedikit keterikatan dengan keluarga, teman, atau
masyarakat.
Tipe bunuh diri ini disebabkan oleh melemahnya atau terlepasnya
individu dari ikatan sosial. Oleh karena itu, individu yang merasa kurang
terintegrasi dengan keluarga, agama, atau komunitas cenderung
memiliki risiko lebih tinggi untuk melakukan bunuh diri.
b. Bunuh diri altruistik (altruistic suicide)
Bunuh diri altruistik (altruistic suicide) yang terjadi ketika seseorang
mengambil tindakan bunuh diri demi menyelamatkan nyawa atau
kehormatan kelompok atau komunitasnya. Dalam kasus ini, individu
meletakkan pengintegrasian dengan kelompok di atas hidupnya sendiri.
Tipe bunuh diri altruistik berbeda dengan tipe sebelumnya, karena ini
terjadi karena individu terlalu terikat pada kohesivitas sosial dalam
kelompoknya. Menurut Durkheim, gejala bunuh diri altruistik
cenderungterjadi di dalam komunitas yang masih memiliki struktur
sosial mekanis, atau dalam kata lain, komunitas yang lebih primitif
dalam hal perkembangan sosial.
c. Bunuh diri anomis (anomic suicide)
Bunuh diri anomis (anomic suicide) yang terjadi saat seseorang
mengalami ketidakstabilan moral dalam hidupnya. Ini bisa disebabkan
oleh kehilangan tujuan, norma, atau cita-cita yang jelas. Dalam situasi
anomis, individu mungkin merasa kebingungan dan kehilangan arah
dalam hidup mereka.
Bunuh diri tipe anomis disebabkan oleh perubahan sistem dalam
masyarakat, terutama dalam hal sistem ekonomi dan sistem sosial yang
mengganggu tatanan kolektif. Durkheim mengilustrasikan bahwa krisis
ekonomi berperan penting dalam meningkatkan angka bunuh diri. Hal
ini terjadi karena ketidakpastian hidup yang muncul akibat kesulitan
dalam memenuhi kebutuhan dasar, yang pada gilirannya menciptakan
ketakutan. Selain krisis ekonomi, fenomena lain yang berpotensi
meningkatkan bunuh diri tipe anomik adalah revolusi sosial dan
bencana alam besar, yang mengguncang tatanan sosial dan
menghasilkan kebingungan serta perasaan kehilangan arah dalam hidup
individu.

3. Faktor Penyebab bunuh Diri


Menurut Husain, terdapat berbagai faktor yang dapat memicu upaya
bunuh diri, termasuk (Mukarromah & Nuqul, 2014):
a. Gangguan Psikologis
Faktor ini sering kali terkait dengan percobaan bunuh diri,
khususnya dalam kasus depresi dan skizofrenia, yang dapat
menyebabkan perilaku berbahaya.
b. Penggunaan Alkohol dan Narkotika
Penggunaan alkohol dan narkotika merupakan faktor penting
dalam upaya bunuh diri, seperti yang terlihat dalam beberapa kasus di
Indonesia.
c. Krisis Kepribadian (Personality Disorder)
Meskipun hubungan antara krisis kepribadian dan bunuh diri masih
diperdebatkan, beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa krisis
kepribadian dapat menjadi faktor penting dalam upaya bunuh diri.
d. Penyakit Fisik
Penyakit-penyakit fisik, terutama pada orang-orang tua, seringkali
menjadi penyebab bunuh diri.
e. Faktor Genetik
Meskipun tindakan bunuh diri oleh anggota keluarga atau kerabat
tidak secara langsung menjadi penyebab bunuh diri, namun individu
yang memiliki riwayat keluarga dengan depresi atau penyakit lain
cenderung lebih rentan terhadap bunuh diri.
f. Perubahan dalam Bursa Kerja
Perubahan ekonomi dan teknologi global telah berdampak positif
dan negatif, termasuk meningkatnya jumlah pengangguran yang dapat
menyebabkan bahaya serius dalam masyarakat.
g. Kondisi Keluarga
Banyak remaja yang mencoba bunuh diri mengalami masalah
keluarga, yang memengaruhi harga diri dan perasaan mereka.
Kehilangan cinta dalam keluarga, baik karena kematian, perceraian,
atau faktor lainnya, juga dapat berperan dalam peningkatan risiko
bunuh diri pada remaja.
Ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi keinginan seseorang
untuk melakukan bunuh diri (Hartini, 2018) :
Pertama, tingkat keimanan atau religiusitas individu memiliki pengaruh
yang signifikan. Individu yang memiliki tingkat keimanan yang tinggi
cenderung kurang memiliki keinginan untuk melakukan bunuh diri, karena
mereka merasa bertanggung jawab kepada Tuhan di akhirat.
Selain itu, faktor kedua adalah profesi atau jabatan seseorang. Individu
yang memiliki profesi atau jabatan yang rendah seringkali lebih rentan
terhadap keinginan untuk bunuh diri.
Faktor ketiga berkaitan dengan usia. Peristiwa bunuh diri cenderung
terjadi pada usia remaja, pubertas, hingga usia pertengahan (14-40 tahun).
Ini disebabkan oleh masa-masa stres dan ketidakstabilan emosi yang sering
dialami pada periode ini. Selain itu, faktor sosiologis juga memainkan peran
penting. Ketidakstabilan sosial dan disorganisasi dapat mengakibatkan
ketidakstabilan pribadi, terutama dalam situasi krisis dan perubahan norma
serta nilai-nilai sosial.
Faktor ekonomi dapat mencakup status ekonomi individu, depresi
ekonomi, atau penurunan ekonomi yang drastis. Ketika seseorang
mengalami stres akibat ketidakmampuan untuk mengatasi masalah
ekonomi, ini dapat memicu inisiatif untuk melakukan percobaan bunuh diri.
Faktor politik juga memiliki dampak signifikan. Perubahan dalam iklim
politik, tekanan politik, degradasi politik, atau perubahan peran dalam dunia
politik dapat memengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Situasi
politik yang tidak stabil dan tekanan politik dapat menjadi pemicu untuk
berpikir tentang bunuh diri.
Faktor pendidikan. Kegagalan dalam studi akademik, terutama pada
remaja atau pelajar, dapat membuat mereka cenderung merasa terbebani
oleh kesulitan dan aib yang tidak dapat mereka tanggung. Ini bisa mengarah
pada pemikiran untuk melakukan percobaan bunuh diri sebagai upaya untuk
menghindari situasi sulit tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh MCGee dan rekan-rekannya,
sebagaimana disitat dalam Hadriami (2018) menyatakan bahwa perasaan
tidak berharga atau harga diri yang rendah, serta perasaan putus asa dan
pesimisme mengenai masa depan merupakan variabel yang signifikan dalam
memicu munculnya ide percobaan bunuh diri. Temuan ini menunjukkan
bahwa faktor-faktor kepribadian yang mencakup harga diri, optimisme, dan
perasaan putus asa memainkan peran penting dalam perilaku dan
kecenderungan bunuh diri seseorang. Penelitian ini mendorong peneliti lain
untuk lebih mendalam dalam mengidentifikasi latar belakang kepribadian
individu yang berisiko bunuh diri, memahami berbagai bentuk perilaku
bunuh diri, dan mengkaji dampaknya terhadap keluarga dan masyarakat
secara lebih mendalam.
Dari berbagai pendapat yang telah disajikan, penelitian dapat
menyimpulkan bahwa tindakan bunuh diri dipengaruhi oleh sejumlah faktor
yang meliputi berbagai aspek kehidupan individu. Faktor-faktor yang dapat
menyebabkan seseorang cenderung melakukan tindakan bunuh diri
termasuk masalah psikis seperti depresi, kehilangan semangat hidup, konflik
batin, dan tekanan emosional. Faktor fisik, seperti penyalahgunaan alkohol,
obat-obatan terlarang, dan kondisi penyakit kronis, juga dapat berkontribusi
pada risiko bunuh diri. Selain itu, faktor sosial yang melibatkan disintegrasi
dan disorganisasi pribadi serta faktor ekonomi yang berkaitan dengan
kesulitan memenuhi kebutuhan dasar juga memiliki dampak signifikan pada
keinginan untuk melakukan bunuh diri. Masalah pendidikan, seperti
kegagalan dalam meraih prestasi akademik, dan faktor agama yang
berkaitan dengan pemahaman agama juga dapat memengaruhi tindakan
bunuh diri. Kondisi keluarga yang tidak harmonis, isolasi sosial, serta
kurangnya dukungan dari lingkungan keluarga juga merupakan faktor
penting dalam masalah ini. Terakhir, faktor kepribadian, khususnya neurotik
dan ekstrovert, juga dapat memainkan peran dalam meningkatkan risiko
bunuh diri. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang faktor-faktor ini,
langkah-langkah pencegahan dan intervensi dapat dirancang lebih efektif
untuk membantu individu yang berisiko dan mengurangi angka bunuh diri.

4. Dampak Bunuh Diri


Kehidupan manusia selalu diwarnai oleh berbagai permasalahan dan
tantangan yang datang silih berganti. Namun, penting untuk diingat bahwa
mengakhiri hidup dengan bunuh diri bukanlah solusi atas permasalahan
tersebut. Sebagai makhluk sosial, setiap tindakan yang diambil oleh individu
memiliki konsekuensi yang dapat memengaruhi masyarakat secara lebih
luas. Oleh karena itu, bunuh diri harus dilihat sebagai suatu tindakan yang
berdampak negatif, bukan hanya pada diri individu yang bersangkutan,
tetapi juga pada masyarakat secara keseluruhan. Sebagai masyarakat, kita
perlu memberikan perhatian dan dukungan kepada individu yang mungkin
merasa terdesak oleh berbagai masalah, sehingga mereka tidak merasa
sendirian dalam menghadapi permasalahan tersebut.
Bunuh diri memiliki dampak yang sangat negatif di lingkungan
masyarakat Beberapa alasan mengapa bunuh diri berdampak buruk adalah
sebagai berikut .(Safari, 2020):
a. Trauma pada Orang Terdekat: Bunuh diri dapat menyebabkan trauma
pada orang-orang yang ditinggalkan, seperti keluarga dan teman-
teman. Mereka seringkali terganggu secara psikis dan berusaha mencari
pemahaman atau alasan atas tindakan tersebut. Hal ini dapat memicu
orang lain untuk juga mempertimbangkan tindakan serupa.
b. Fitnah dan Nilai Negatif: Bunuh diri seringkali memicu fitnah dan pngan
negatif dari masyarakat luas terhadap lingkungan di mana tindakan
tersebut terjadi. Ini bisa menyebabkan persekusi dan memengaruhi
hubungan di lingkungan seperti tempat kerja atau sekolah.
c. Dampak Ekonomi: Jika bunuh diri terjadi di properti bangunan, ini bisa
menurunkan nilai jual atau persewaan properti tersebut. Pemilik
properti dapat mengalami kerugian finansial akibat stigmatisasi yang
melekat pada tempat tersebut.
d. Pemahaman Berbahaya: Seseorang yang melakukan bunuh diri
seringkali meninggalkan pesan terakhir, yang dapat menciptakan diskusi
dan pngan negatif di masyarakat. Pesan tersebut dapat memengaruhi
orang lain untuk mempertimbangkan tindakan serupa.
e. Lari dari Tanggung Jawab: Bunuh diri juga dapat menciptakan masalah
hukum, terutama dalam hal tanggung jawab keuangan, seperti utang
yang ditinggalkan oleh individu yang melakukan bunuh diri.
Bunuh diri memiliki dampak yang sangat berat pada keluarga yang
ditinggalkan oleh korban. Beberapa dampak bunuh diri bagi keluarga,
seperti yang dijelaskan oleh Hartini (2018), adalah:
a. Beban yang Berat: Keluarga yang ditinggalkan oleh korban bunuh diri
harus menanggung beban emosional dan ekonomi yang sangat berat.
Terutama jika korban adalah kepala keluarga yang bertanggung jawab
atas memenuhi kebutuhan keluarga dan anak-anak. Anak-anak yang
ditinggalkan akan menjadi yatim, dan istri yang ditinggalkan harus
mencari nafkah untuk keluarganya. Hal ini dapat mengakibatkan situasi
keuangan yang sulit dan tekanan emosional yang besar pada keluarga
yang ditinggalkan.
b. Tanggungan Hutang: Jika korban bunuh diri memiliki hutang yang belum
terbayar, tanggungan tersebut akan dibebankan pada keluarga atau ahli
warisnya. Hutang tersebut menjadi masalah serius yang harus dihadapi
oleh keluarga yang ditinggalkan.
c. Dampak pada Nama Baik Keluarga: Bunuh diri juga berdampak pada
nama baik keluarga. Tindakan bunuh diri dianggap sebagai aib, dan
stigma ini tidak hanya menimpa korban, tetapi juga keluarga dan
keturunannya. Keluarga yang ditinggalkan mungkin harus menghadapi
pngan negatif dan penghakiman dari masyarakat.
Dengan demikian, Bunuh diri adalah suatu tindakan yang tragis dengan
dampak yang merambah jauh ke dalam berbagai aspek kehidupan. Tidak
hanya berdampak pada individu yang melakukan tindakan tersebut, tetapi
juga berdampak luas pada masyarakat dan keluarga korban. Dalam
masyarakat, bunuh diri dapat menciptakan trauma dan kecemasan,
menghasilkan fitnah dan pngan negatif terhadap lingkungan, serta
menurunkan nilai properti di sekitarnya. Terlebih lagi, meninggalkan pesan
terakhir sering kali memicu tanggapan dan komentar yang berpotensi
membawa dampak negatif dan mempengaruhi orang lain untuk melakukan
hal serupa. Dampak buruk ini juga memengaruhi keluarga yang ditinggalkan
oleh korban. Mereka harus menanggung beban emosional dan ekonomi
yang berat, terutama jika korban adalah kepala keluarga yang bertanggung
jawab atas memenuhi kebutuhan keluarga. Selain itu, hutang yang belum
terbayar oleh korban akan menjadi tanggungan keluarga atau ahli warisnya.
Bunuh diri juga mengenai nama baik keluarga, menciptakan stigmatisasi
yang berdampak pada hubungan sosial dan persepsi masyarakat. Oleh
karena itu, penting untuk mendekati isu bunuh diri dengan pemahaman
yang mendalam dan upaya pencegahan yang serius untuk mengurangi
dampak tragis ini pada individu, keluarga, dan masyarakat secara
keseluruhan.

5. Karakteristik Bunuh Diri


Kartono mengidentifikasi beberapa karakteristik yang sering
ditemukan pada individu yang memiliki kecenderungan atau telah
melakukan bunuh diri (Mukharromah, 2014):.
a. Pertama, mereka sering mengalami ambivalensi, yaitu perasaan yang
bercampur antara keinginan untuk hidup dan keinginan untuk mati, baik
yang disadari maupun yang tidak.
b. Kedua, mereka merasa tanpa harapan, bahwa hidup ini sia-sia, dan
mereka merasa tidak mampu mengatasi kesulitan yang ada, sehingga
merasa terjebak dalam situasi tanpa jalan keluar.
c. Ketiga, individu tersebut merasa telah mencapai batas kekuatannya,
baik secara fisik maupun mental.
d. Keempat, perasaan negatif seperti cemas, tegang, takut, depresi,
marah, dendam, dosa, atau perasaan bersalah selalu menghantui
mereka.
e. Kelima, kepribadian mereka mengalami kekacauan, disorganisasi, dan
disintegrasi personal tanpa kemampuan untuk keluar dari situasi buntu
tersebut atau memperbaikinya.
f. Keenam, suasana hati mereka sering berayun-ayun antara berbagai
emosi.
g. Ketujuh, terjadi pengerutan kognitif, di mana mereka kesulitan melihat
dengan jelas, gagal melihat alternatif lain, dan cenderung merasa
inferior dan lemah.
h. Kedelapan, kegairahan hidup hilang, dan mereka kehilangan minat pada
aktivitas sehari-hari, termasuk kegairahan seksual, serta tidak memiliki
minat terhadap lingkungan sekitar.
i. Kesembilan, penderitaan fisik sering dialami, seperti insomnia,
anoreksia, dan berbagai gejala psikosomatis. Terakhir, individu tersebut
sering telah mencoba bunuh diri sekali atau beberapa kali sebelumnya.
Karakteristik ini memberikan wawasan tentang kondisi psikologis dan
emosional yang dapat berkontribusi pada kecenderungan bunuh diri,
dan pemahaman ini penting dalam upaya pencegahan dan intervensi.
Berdasarkan beragam perspektif dan penelitian yang telah dibahas,
karakteristik individu yang cenderung melakukan bunuh diri dapat
diidentifikasi. Orang yang berpotensi untuk melakukan bunuh diri sering
mengalami ambivalensi antara keinginan untuk hidup dan untuk mati, didorong
oleh perasaan tanpa harapan, sia-sia, dan ketidakberdayaan dalam mengatasi
kesulitan hidup. Mereka merasa telah mencapai batas fisik dan mental, dikelilingi
oleh perasaan negatif seperti cemas, tegang, depresi, dan marah. Kekacauan
dalam kepribadian mereka menciptakan disorganisasi dan disintegrasi pribadi,
sementara pengerutan kognitif mengurangi kemampuan melihat alternatif dan
memunculkan rasa inferior. Mereka kehilangan gairah hidup, minat pada aktivitas
sehari-hari, dan hubungan sosial. Penderitaan fisik juga sering menjadi sahabat
mereka, menciptakan gejala tidur buruk, masalah makan, dan tekanan
psikosomatis. Beberapa dari mereka mungkin telah mencoba bunuh diri
sebelumnya. Semua karakteristik ini memberikan gambaran yang lebih mendalam
tentang kompleksitas kondisi psikologis dan emosional yang dapat mempengaruhi
seseorang untuk memilih tindakan tragis tersebut. Dampak bunuh diri tidak hanya
dirasakan oleh individu yang melakukan tindakan tersebut, tetapi juga berdampak
pada keluarga dan masyarakat secara luas, sehingga perlu upaya serius dalam
pencegahan dan intervensi.

B. Penelitian Terdahulu
Penelitian sebelumnya memiliki peran penting dalam membantu peneliti
memahami lebih dalam topik yang diteliti, serta membedakan penelitian yang
akan dilakukan dengan penelitian sebelumnya. Penelitian sebelumnya
memberikan panduan dan referensi untuk merumuskan kerangka teoritis
dalam penelitian ini. Oleh karena itu, dalam bagian ini, peneliti merangkum
berbagai hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan topik penelitian yang
akan dilakukan, termasuk penelitian yang telah dipublikasikan dan yang masih
dalam tahap penelitian. Hal ini bertujuan untuk memperkaya kerangka
teoritis dan konsep yang digunakan dalam penelitian ini, sekaligus
memberikan gambaran lebih komprehensif mengenai topik yang sedang
dikaji.
Ayu Aryani Mulyani (2018) dalam penelitiannya yang berjudul “Faktor-
faktor Yang Melatarbelakangi Fenomena Bunuh Diri di Gunungkidul”,
disimpulkan bahwa faktor-faktor yang melatarbelakangi fenomena bunuh diri
di wilayah tersebut adalah faktor individu, faktor sosial, dan faktor ekonomi.
Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara
bunuh diri di Gunungkidul dengan mitos pulung gantung, dan persepsi
mengenai pulung gantung diklaim sebagai upaya untuk menyembunyikan
permasalahan yang sebenarnya dialami oleh para korban bunuh diri.
Persamaannya Keduanya memfokuskan perhatian pada fenomena bunuh diri,
walaupun penelitian lebih terfokus pada pengembangan program
pencegahan dan penanggulangan bunuh diri khususnya di lingkungan
mahasiswa fakultas kedokteran Universitas Hasanuddin. Meskipun lokasi
penelitian berbeda, keduanya berkontribusi pada pemahaman dan upaya
pencegahan bunuh diri.
Dalam penelitian Khansa Khairunnisa (2018) berjudul "Pengaruh Dukungan
Sosial Dan Hopelessness Terhadap Ide Bunuh Diri," hasil penelitian tersebut
menunjukkan adanya pengaruh signifikan sebesar 14% dari variabel
dukungan sosial dan hopelessness terhadap ide bunuh diri. Sisanya, sekitar
86%, dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak diselidiki dalam penelitian
ini. Persamaan antara penelitian ini dan penelitian Khansa Khairunnisa (2018)
adalah fokus pada faktor-faktor yang berperan dalam ide bunuh diri. Kedua
penelitian mengidentifikasi dukungan sosial dan tingkat hopelessness sebagai
variabel penting dalam memahami ide bunuh diri. Namun, perbedaan
utamanya adalah bahwa penelitian Khansa Khairunnisa (2018) lebih
mengeksplorasi pengaruh kedua variabel ini secara kuantitatif, sementara
penelitian mungkin lebih berfokus pada pengembangan program
pencegahan bunuh diri dengan melibatkan mahasiswa kedokteran.
Nurchyanti, C. A (2019, 11 September) Surabaya Suicide Update: Dalam 40 hari
detik ada satu orang yang bunuh diri.
Maulidya Anita Dewi, A. (2022). Pengaruh Pemberian Art Drawing
Therapy Terhadap Pasien Risiko Bunuh Diri. Universitas Kusuma Husada
Surakarta.
Keliat, B. A., Wardhani, I. Y., Hargiana, G., Silalahi, M., Wulandari, I. A. P.,
Kustiawan, R., & Fitriani, N. (2020). Program Persebaya Efektif Dalam
Menurunkan Ide Bunuh Diri Pada Remaja Pasca Bencana Di Kota Bogor.
Konferensi Nasional (Konas) Keperawatan Kesehatan Jiwa, 4(1), 190–196.
Simatupang, L. O. G. (2019). Gambaran Kesepian pada Remaja Pelaku Self
Harm. UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA.
Ainunnida, K. A. (2022). HUBUNGAN KESEPIAN DAN IDE BUNUH DIRI
YANG DIMODERASI OLEH DEPRESI PADA REMAJA KORBAN
PERCERAIAN ORANG TUA. Jurnal Ilmu Psikologi Dan Kesehatan
(SIKONTAN), 1(1), 1–12.
Amelia, A. J. (2023). FAKTOR PENYEBAB DAN DAMPAK PERILAKU
BUNUH DIRI DI PEDESAAN (Studi Kasus Bunuh Diri Di Kecamatan
Simpang Pematang).
Darmayanti, K. K. H., Anggraini, E., Winata, E. Y., Fakhriya, S. D., Arini,
D. P., Kristiyani, V., Purwasih, I., & Afifah, S. (n.d.). Level Depresi dan
Dampaknya terhadap Ide Bunuh Diri pada Mahasiswa di Pulau Sumbawa.
Jurnal Psikologi, 18(1), 63–72.
Muhammad, M. (2009). Aspek perlindungan anak dalam tindak kekerasan
(bullying) terhadap siswa korban kekerasan di sekolah (Studi Kasus di SMK
Kabupaten Banyumas). Jurnal Dinamika Hukum, 9(3), 268–274.
Wicaksono, H. (2018). Analisis Kriminologis: Serangan Bom Bunuh Diri di
Surabaya. Deviance Jurnal Kriminologi, 2(2), 88–101.
Mukarromah, L., & Nuqul, F. L. (2014). Dinamika psikologis pada pelaku
percobaan bunuh diri. Psikoislamika: Jurnal Psikologi Dan Psikologi Islam,
11(2).
Hartini. (2018). Bimbingan Konseling Islam Dengan Teknik Self Talk Dalam
Menangani Percobaan Bunuh Diri Seorang Remaja di Desa Pilangsari
Kalitidu Bojonegoro. 51.
Safari, S. G. S. (2020). Peran Depresi Pada Pegaruh Kekerasan Seksual
Berbasis Teknologi Terhadap Ide Bunuh Diri Pada Dewasa Awal.
UNIVERSITAS AIRLANGGA.
Khairunnisa, K. (2018). Pengaruh dukungan sosial dan hopelessness
terhadap ide bunuh diri. Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai