Anda di halaman 1dari 81

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Depresi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius.

Gangguan depresi merupakan kelainan psikiatrik yang paling sering

dijumpai. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa pada tahun

2017 lebih dari 300 juta orang hidup dengan depresi, menunjukan

peningkatan lebih dari 18% dibandingkan dengan periode tahun 2005 sampai

tahun 2015. WHO juga memprediksi bahwa pada tahun 2020 depresi akan

menjadi penyebab penyakit kedua terbanyak di dunia setelah penyakit

kardiovaskular (World Health Organization, 2017; Davison, 2010).

Depresi merupakan gangguan kejiwaan pada alam perasaan

(affective/mood disorder) yang ditandai dengan gejala kemurungan, kelesuan,

tidak ada gairah hidup, merasa tidak berguna, kekecewaan yang mendalam,

rasa putus asa, pikiran kematian, dan keinginan bunuh diri. Individu dapat

dikatakan menderita gangguan depresi jika lima (atau lebih) gejala depresi

telah ada selama periode dua minggu dan merupakan perubahan dari keadaan

biasa seseorang. Telah dipastikan bahwa satu dari lima orang mempunyai

resiko untuk menderita episode depresi dalam satu waktu di kehidupan

mereka (Hawari, 2010; American Psychiatric Association, 2000; Gilbert,

2004).

1
Survei yang dilakukan Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa

(PDSKJ) pada tahun 2007 menyebutkan sekitar 94% masyarakat Indonesia

mengidap depresi dari mulai tingkat ringan hingga paling berat. Berdasarkan

Data Riskerdas tahun 2007 di Indonesia, prevalensi gangguan mental

emosional seperti gangguan kecemasan dan depresi sebesar 11,6% dari

populasi orang dewasa. Berarti dengan jumlah populasi orang dewasa

Indonesia lebih kurang 150.000.000 ada 1.740.000 orang yang saat ini

mengalami gangguan mental emosional (Sutarto, 2007; Depkes, 2009).

Prevalensi gangguan depresi yang terjadi di mahasiswa lebih tinggi

dibandingkan dengan populasi pada umumnya. Mahasiswa merupakan

individu yang berada pada masa usia perkembangan dewasa awal, yang

merupakan periode yang penuh dengan tantangan, penghargaan, dan krisis.

Mahasiswa rentan terhadap gangguan depresi, karena mahasiswa akan

mengalami proses penyesuaian untuk menjadi individu yang lebih mandiri,

menyebabkan mahasiswa harus menyesuaikan diri dengan banyak hal, yaitu

yang berhubungan dengan kematangan emosional, mengembangkan

ketertarikan terhadap lawan jenis, kematangan sosial, kemandirian di luar

rumah, kematangan mental, permulaan dari kemandirian secara finansial,

menggunakan waktu luang secara tepat atau yang disebut dengan proper uses

of leisure, cara memandang kehidupan, dan identifikasi diri sendiri.

Perubahan lingkungan belajar serta tuntutan akademik juga menjadi salah

satu faktor pencetus depresi pada mahasiswa (Hariyanto, 2010; Cynthia,

2009; Kumaraswamy, 2013).

2
Masalah-masalah yang dihadapi oleh mahasiswa bersifat akademis dan

non akademis yang tentunya berisiko menimbulkan gangguan mental

emosional. Penelitian di Universitas Katolik Atma Jaya oleh Hariyanto

(2010) yang dilakukan kepada mahasiswa angakatan 2007 berusia 18-24

tahun, dengan jumlah mahasiswa yang berpartisipasi sebanyak 126

mahasiswa, didapatkan data bahwa sebanyak 82 reponden (65.1%) tidak

mengalami gangguan depresi, 36 responden (28.6%) mengalami gangguan

depresi ringan, 8 responden (6.3%) mengalami gangguan depresi sedang, dan

tidak didapatkan responden yang mengalami gangguan depresi berat.

Sedangkan Hasil penelitian Michael (2006) kepada 1445 mahasiswa

mendapatkan mahasiswa mengalami gejala depresi sejak awal kuliah dengan

berbagai penyebab masalah, seperti masalah akademik, kesendirian, masalah

ekonomi, dan sulit membangun hubungan. Masalah- masalah yang dihadapi

mahasiswa bersifat akademis dan non akademis yang dapat menimbulkan

gangguan mental emosional seperti depresi (Untari, 2005; Hariyanto, 2010;

Michael, 2006).

Menurut Cooper (2010) mahasiswa di fakultas kedokteran bisa dua

sampai lima kali lebih beresiko mengalami depresi dibandingkan mahasiswa

jurusan lain. Para peneliti menganalisis hampir 200 penelitian terhadap 129

ribu mahasiswa di fakultas kedokteran di 47 negara. Hasilnya, sebanyak 27

%, sekitar sepertiga mengalami depresi berikut gejalanya, sementara 11 %

lain berpikir untuk melakukan bunuh diri selama masa kuliah (Cooper, 2010;

Lisa, 2016).

3
Penelitian yang dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas

Maret Surakarta pada bulan Mei 2010, dari 60 sampel mahasiswa kedokteran

yang telah memenuhi kriteria subjek penelitian diperoleh hasil yang

menyebutkan bahwa terdapat perbedaan tingkat depresi yang bermakna

antara mahasiswa kedokteran preklinik dan koasisten, mahasiswa koasisten

memiliki rata-rata skor BDI II yang lebih tinggi, dengan kata lain lebih

depresif dari pada mahasiswa kedokteran preklinik (BDI II t=-2,410,

P=0,019). Pada penelitian ini dikatakan bahwa mahasiswa fakultas

kedokteran harus menjalani tahap studi preklinik di universitas terlebih

dahulu sebelum menjadi koasisten (dokter muda) dirumah sakit. Studi pada

tahap preklinik relatif lebih mudah dibandingkan pada tahap koasisten, pada

tahap koasisten mahasiswa langsung berhadapan dengan pasien dan

mendapat kesempatan untuk melakukan tindakan medis, sehingga mahasiswa

pada tahap koasisten harus mempertanggungajawabkan segala yang telah

dipelajarinya semasa menjadi mahasiswa pada tahap preklinik, sementara

mahasiswa tahap preklinik tidak terbebani oleh hal-hal tersebut (Widosari,

2010). Sedangkan pada penelitian Rahmawati (2012) yang dilaksanakan di

Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

pada bulan Januari – Agustus tahun 2012, dari 144 sampel yang memenuhi

kriteria subjek penelitian ditemukan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat

depresi yang bermakna antara mahasiswa kedokteran preklinik dengan

koasisten di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012

(P=0,191).

4
Mahasiswa di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram

harus menjalani tahap studi preklinik di universitas terlebih dahulu sebelum

menjadi koasisten di rumah sakit. Mahasiswa yang mengambil program studi

kedokteran akan menempuh metode pembelajaran KBK (Kurikulum Berbasis

Kompetensi) seperti PBL (Problem Based Learning) yaitu proses

pembelajaran yang menuntut pendidikan yang penuh kompetensi dan praktek

klinik yang ketat. Kondisi tersebut menuntut mahasiswa kedokteran untuk

dapat menyesuaikan diri terhadap metode pengajaran yang diterapkan

tersebut. Selain program-program yang telah disebutkan di atas, mahasiswa

kedokteran juga harus mengikuti kuliah pakar, tutorial, praktikum

laboratorium dasar, praktikum di skill lab, data searching and collecting,

kerja lapangan, konsultasi pakar, evaluasi dan penelitian akhir. Tidak sedikit

dari mahasiswa kedokteran mengeluh kurang istirahat karena menghabiskan

waktu untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah dan menempuh mata kuliah

yang dianggap cukup sulit dan membutuhkan konsentrasi tinggi (Hariyanto,

2010; Widosari, 2010).

Kondisi tersebut menunjukkan banyaknya masalah yang dihadapi

mahasiswa kedokteran, yang harus diatasi. Jika banyak masalah yang tidak

teratasi, sangat mungkin menyebabkan mahasiswa kedokteran menjadi

merasa kecewa, menjadi tidak menghargai diri sendiri serta menganggap

dirinya sebagai orang yang gagal atau tidak mampu. Kondisi ini jika

berkelanjutan akan dapat menyebabkan depresi pada mahasiswa kedokteran

(Christyanti, 2010).

5
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian mengenai perbedaan tingkat depresi antara mahasiwa

kedokteran preklinik dan koasisten di Fakultas Kedokteran Universitas Islam

Al-Azhar Mataram tahun 2018. Penelitian ini penting dilakukan untuk

memberikan gambaran perbedaan tingkat depresi pada mahasiwa kedokteran

preklinik dan koasisten, mengingat sampai saat ini belum ada penelitian yang

menilai mengenai perbedaan tingkat depresi pada mahasiswa kedokteran

preklinik dan koasisten di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar

Mataram.

1.2 Rumusan Masalah

Menelaah dari hal di atas, maka dapat dimengerti bahwa mahasiswa

kedokteran pada tahap studi koasisten mempunyai tingkat depresi yang

berbeda dibandingkan dengan mahasiswa kedokteran pada tahap studi

preklinik.

Untuk itu peneliti ingin mengetahui apakah terdapat “Perbedaan tingkat

depresi antara mahasiswa preklinik dan koasisten di Fakultas Kedokteran

Universitas Islam Al-Azhar Mataram”.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui perbedaan tingkat depresi antara mahasiswa

preklinik dan koasisten di Fakultas Kedokteran Universitas Islam

Al-Azhar Mataram tahun 2018.

6
1.3.2 Tujuan Khusus

1) Untuk mengetahui distribusi frekuensi tingkat depresi pada

mahasiswa preklinik di Fakultas Kedokteran Universitas Islam

Al-Azhar Mataram tahun 2018.

2) Untuk mengetahui distribusi frekuensi tingkat depresi pada

mahasiswa koasisten di Fakultas Kedokteran Universitas Islam

Al-Azhar Mataram tahun 2018.

3) Menganalisis perbedaan tingkat depresi antara mahasiswa preklinik

dan koasisten di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar

Mataram tahun 2018.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi

Pembimbing Akademik (PA), psikiater, psikolog, mahasiswa dan

berbagai pihak yang terkait guna membantu kelancaran proses belajar

mengajar mahasiswa dalam menyelesaikan studi dan sebagai bahan

referensi untuk menyusun rancangan pembelajaran yang dapat

mengurangi tingkat depresi pada mahasiswa terutama di Fakultas

Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram. Selain itu hasil

penelitian ini dapat dijadikan masukan dan pertimbangan dalam

membuat kebijakan-kebijakan dibidang kesehatan di masa

mendatang.

7
1.4.2 Manfaat Bagi Mahasiswa/Akademisi

Memberi informasi dan menambah wawasan mahasiswa di

bidang ilmu kedokteran jiwa terutama mengenai tingkat depresi pada

mahasiswa preklinik dan koasisten di Fakultas Kedokteran

Universitas Islam Al-Azhar Mataram.

1.4.3 Manfaat Bagi Peneliti Selanjutnya

Sebagai acuan serta diharapkan dapat menjadi data dasar bagi

peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian yang lebih spesifik

mengenai hubungan beberapa faktor risiko lainnya terutama faktor

risiko dalam bidang non akademis yang dapat menjadi penyebab dari

perbedaan tingkat depresi yang antara mahasiswa preklinik dan

koasisten di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar

Mataram.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Depresi

2.1.1 Definisi Depresi

Depresi merupakan gangguan mental yang umum terjadi, ditandai

dengan kesedihan yang terus-menerus dan kehilangan minat terhadap

aktivitas yang biasanya dinikmati, disertai ketidakmampuan untuk

melakukan aktivitas sehari-hari, setidaknya selama dua minggu. Selain

itu, orang dengan depresi biasanya mengalami beberapa tanda dan

gejala, seperti kehilangan energi, perubahan nafsu makan, tidur lebih

atau kurang, gelisah, konsentrasi berkurang, ragu-ragu, perasaan tidak

berharga (perasaan bersalah serta putus asa), dan pikiran untuk

menyakiti diri sendiri atau bunuh diri. Depresi adalah penyebab utama

kesehatan dan kecacatan di seluruh dunia (World Health Organization,

2017).

Gangguan depresi adalah penyakit yang melibatkan tubuh, mood,

dan pikiran. Hal ini menyebabkan gejala parah yang mempengaruhi

perasaan, berpikir, dan aktivitas sehari-hari, seperti tidur, makan, atau

bekerja, seperti yang dirasakan seseorang tentang menilai diri sendiri,

dan proses berpikir tentang suatu hal. Tanpa pengobatan, gejala dapat

menetap dalam hitungan minggu, bulan, hingga tahun (National

Institute of Mental Health, 2004).

9
Depresi adalah suatu perasaan kesedihan yang psikopatologis,

disertai perasaan yang sedih, kehilangan minat dan kegembiraan,

berkurangnya energi yang menuju kepada meningkatnya keadaan

mudah lelah yang sangat nyata sesudah bekerja sedikit saja, dan

berkurangnya aktivitas yang bisa jadi menandakan adanya gangguan

kesehatan (Tarigan, 2003; Untari, 2005).

Depresi merupakan kondisi emosional yang biasanya ditandai

dengan kesedihan yang amat sangat, perasaan tidak berarti dan

bersalah, menarik diri dari orang lain, dan tidak dapat tidur, kehilangan

selera makan, hasrat seksual, dan minat serta kesenangan dalam

aktivitas yang biasa dilakukan (Davison et all, 2006).

Depresi adalah gangguan mood yang ditandai oleh adanya

disregulasi mood, gangguan aktivitas psikomotor, gangguan pada

bioritme dan gangguan fungsi kognitif. Depresi adalah gangguan

perasaan atau mood yang disertai komponen psikologi berupa sedih,

susah, tidak ada harapan dan putus asa disertai komponen biologis atau

somatik misalnya anoreksia, konstipasi dan keringat dingin. Depresi

dikatakan normal apabila terjadi dalam situasi tertentu, bersifat ringan

dan dalam waktu yang singkat. Bila depresi tersebut terjadi diluar

kewajaran dan berlanjut maka depresi tersebut dianggap abnormal

(Akiskal, 2005; Atkinson, 1993).

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa depresi

adalah keadaan emosional individu dengan perasaan sedih, putus asa,

10
selalu merasa bersalah, dan tidak ada harapan lagi secara berlebihan

tanpa ada bukti-bukti yang rasional.

2.1.2 Epidemiologi Depresi

Depresi lebih sering terjadipada wanita (5,1%) dibandingkan pria

(3,6%). Tingkat prevalensi bervariasi menurut usia, memuncak di usia

lanjut dewasa (di atas 7,5% pada wanita berusia 55-74 tahun, dan di

atas 5,5% pada pria usia dewasa). Depresi juga terjadi pada anak-anak

dan remaja di bawah usia 15 tahun, tapi dengan angka morbiditas yang

lebih rendah dari kelompok usia yang lebih tua. Jumlah masyarakat

yang hidup dengan keadaan depresi di dunia adalah 322 juta jiwa.

Hampir setengah dari orang-orang ini tinggal di wilayah Asia Tenggara

dan Wilayah Pasifik Barat (World Health Organization, 2017).

Pada tahun 2009, American College Health Association-National

College Health Assesment (ACHA-NCHA) melakukan penelitian

terhadap mahasiswa dan mendapatkan ± 30% mahasiswa mengalami

gangguan depresi. Selain penelitian diatas, penelitian lain yang

melibatkan 1.455 mahasiswa juga melaporkan bahwa gejala-gejala

depresi muncul ketika memasuki awal tahun perkuliahan, empat

penyebab utama tersebut adalah masalah akademik, ekonomi,

kesendirian, dan kesulitan dalam bersosialisasi (National Institute of

Mental Health, 2010; Furr et all, 2001).

Mahasiswa pada tahun pertama perkuliahan cenderung mengalami

gangguan depresi dilaporkan dari suatu penelitian di salah satu

11
universitas di Kanada. Pada penelitian tersebut dilaporkan 7%

mahasiswa dan 14% mahasiswi memiliki kriteria-kriteria yang sesuai

dengan gangguan depresi (Price et all, 2006).

2.1.3 Struktur Otak

Studi neuroimaging fungsional mendukung hipotesis bahwa

keadaan depresi dikaitkan dengan penurunan aktivitas metabolisme

dalam struktur neokorteks dan peningkatan aktivitas metabolik dalam

struktur limbik. Neuron serotonergic terlibat dalam gangguan afektif

yang ditemukan dalam dorsal raphe nucleus, sistem limbik, dan kortex

kiri prefrontal (Jerry, 2012).

Sebuah meta-analisis membandingkan struktur otak pada pasien

dengan depresi berat, sehat, dan pada pasien dengan gangguan bipolar

menunjukkan asosiasi antara depresi dan peningkatan ukuran ventrikel

lateral, banyaknya volume cairan cerebrospinal, dan sedikitnya volume

dari ganglia basal, talamus, hipokampus, lobus frontal, korteks

orbitofrontal, dan girus rektus. Pasien yang mengalami depresi

memiliki volume hipokampus yang lebih sedikit (Kempton et all, 2011).

Dalam sebuah penelitian, gambar positron emission tomographic

(PET) menunjukkan menurunnya aktivitas normal di daerah kortex

prefrontal pada pasien dengan depresi unipolar dan depresi bipolar.

Wilayah ini berkaitan dengan respon emosional dan memiliki koneksi

luas dengan otak daerah lain, termasuk daerah yang tampaknya

bertanggung jawab untuk pengaturan dopamin, noradrenalin (locus

12
ceruleus), dan 5-hydroxytryptamine (5-HT) (Jerry, 2012).

Kelainan fungsional dan struktural ditemukan di daerah otak yang

sama selama episode depresi berat. Sebuah penelitian menemukan

peningkatan metabolisme glukosa dalam subgenual dan pregenual

korteks cingulate anterior kanan, selain itu terdapat penurunan volume

gray matter di kortex, dorsal fronto median cortex, dan right

paracingulate cortex (Kempton et all, 2011).

2.1.4 Etiologi Depresi

Gangguan depresi umumnya dicetuskan oleh peristiwa hidup

tertentu. Seperti halnya penyakit lain, penyebab depresi yang

sesungguhnya tidak dapat diketahui secara pasti namun telah ditemukan

sejumlah faktor yang dapat mempengaruhinya. Penyebab terjadinya

depresi dapat dibagi dalam beberapa sudut pandang. Sudut pandang

tersebut yaitu sudut pandang psikologi, sudut pandang kognitif, sudut

pandang biologis, dan sudut pandang interpersonal (Davison et all,

2006).

Menurut sudut pandang psikologi, penyebab depresi menggunakan

pendekatan psikoanalisa. Freud mengemukakan hipotesis bahwa

potensi depresi ditumbuhkan sejak masa anak-anak. Proses

pembentukan depresi berawal setelah anak mengalami kehilangan

seseorang yang sangat dicintainya karena meninggal, perpisahan, atau

penarikan afeksi. Kemudian anak tersebut menggabungkan orang yang

hilang, dan mengidentifikasi diri dengannya. Periode ini diikuti periode

13
berduka, dimana ia akan mengingat kenangan dari orang yang hilang

dan memisahkan diri darinya dengan orang lain tersebut, yang dianggap

meninggalkannya dan melepaskan pula ikatan yang tadinya

digabungkan. Periode berduka akan menjadi periode berkelanjutan

untuk menyiksa diri, menyalahkan diri, dan berakhir pada kondisi

depresi (Fausiah & Widury, 2005).

Pada sudut pandang kognitif terdapat empat pendekatan kognitif

untuk menjelaskan tentang depresi, yaitu teori depresi Beck, teori

learned helplessness, teori atribusi, dan teori hopelessness. Teori

depresi Beck menjelaskan bahwa depresi terjadi karena pemikiran

individu tersebut dibiaskan pada interpretasi negatif. Interpretasi negatif

tentang diri seperti gambaran pesimis tentang diri, dunia, dan masa

depan. Keyakinan negatif dipicu oleh peristiwa-peristiwa hidup yang

negatif seperti asumsi bahwa “saya harus sempurna”. Sikap-sikap

negatif akan membuat bias-bias kognitif dan memicu depresi. Teori

learned helplessness menjelaskan bahwa depresi muncul akibat

peristiwa menyakitkan yang tidak dapat dikontrol. Peristiwa yang

menyakitkan tersebut diperoleh dari pengalaman hidup yang tidak

menyenangkan dan trauma yang gagal dikontrol oleh individu. Kondisi

seperti itu akan menghasilkan ketidakberdayaan yang memicu depresi.

Teori atribusi merupakan penjelasan yang dimiliki seseorang tentang

tingkah laku. Orang akan mengalami depresi apabila mengatribusi

peristiwa negatif dengan atribusi global (mengumumkan semua

14
kegagalan). Selanjutnya muncul perasaan tidak berdaya, tidak ada

respon yang memungkinkan untuk mengatasi situasi dan terjadilah

depresi. Teori hopelessness menjelaskan bahwa munculnya depresi

berawal dari adanya peristiwa yang menyakitkan. Selanjutnya akan

muncul perasaan tidak ada harapan, tidak ada respon yang

memungkinkan untuk mengatasi situasi dan perkiraan. Hasil yang

diharapkan tidak akan terjadi dan terjadilah depresi. Asumsi sudut

pandang interpersonal adalah bahwa individu yang depresi cenderung

memiliki hubungan sosial yang kurang baik dan menganggap mereka

kurang memberikan dukungan. Sedikitnya dukungan sosial dapat

mengurangi kemampuan individu untuk mengatasi peristiwa yang

negatif dan membuat mereka rentan terhadap depresi. Asumsi lainnya

ialah orang-orang yang depresi cenderung mencari-cari kepastian

bahwa bahwa orang lain sungguh-sungguh memperhatikan mereka dan

mereka masih kurang puas (Fausiah & Widury, 2005).

Dasar penyebab depresi yang pasti tidak diketahui. Banyak usaha

untuk mengetahui penyebab dari gangguan ini. Faktor- faktor yang

dihubungkan dengan penyebab dapat dibagi menjadi faktor biologi,

faktor genetik, faktor psikososial dan faktor lingkungan sosial. Keempat

faktor tersebut juga dapat saling mempengaruhi satu dengan yang

lainnya (Kaplan et all, 2010).

1) Faktor biologi

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada

15
metabolic amin biogenik, seperti: 5 HIAA (5-Hidrokxyindoleacetic

acid), HVA (Homovanilic acid), MPGH (5 methoxy-0-hydroksi

phenil glikol), di dalam darah, urin dan cairan serebrospinal pada

pasien gangguan mood. Neurotransmiter yang terkait dengan

patologi depresi adalah serotonin dan epineprin. Penurunan

serotonin dapat mencetuskan depresi, dan pada pasien bunuh diri,

beberapa pasien memiliki serotonin yang rendah. Selain itu, aktivitas

dopamin pada depresi menurun. Hal tersebut tampak pada

pengobatan yang menurunkan konsentrasi dopamin seperti Respirin,

dan penyakit dimana konsentrasi dopamin menurun seperti

Parkinson, disertai gejala depresi. Obat yang meningkatkan

konsentrasi dopamin, seperti tyrosin, amphetamine, dan bupropion,

menurunkan gejala depresi (Kaplan et all, 2010).

Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis neuroendokrin,

menerima input neuron yang mengandung neurotransmiter amin

biogenik. Pada pasien depresi ditemukan adanya disregulasi

neuroendokrin. Disregulasi ini terjadi akibat kelainan fungsi neuron

yang mengandung amin biogenik. Sebaliknya, stres kronik yang

mengaktivasi aksis Hypothalamic – Pituitary – Adrenal (HPA) dapat

menimbulkan perubahan pada amin biogenik central. Aksis

neuroendokrin yang paling sering terganggu yaitu adrenal, tiroid,

dan aksis hormon pertumbuhan. Aksis HPA merupakan aksis yang

paling banyak diteliti (Landefeld, 2004).

16
Hipersekresi CRH merupakan gangguan aksis HPA yang sangat

fundamental pada pasien depresi. Hipersekresi yang terjadi diduga

akibat adanya defek pada sistem umpan balik kortisol di sistem

limbik atau adanya kelainan pada sistem monoaminogenik dan

neuromodulator yang mengatur CRH. Sekresi CRH dipengaruhi

oleh emosi. Emosi seperti perasaan takut dan marah berhubungan

dengan Paraventriculer nucleus (PVN), yang merupakan organ

utama pada sistem endokrin dan fungsinya diatur oleh sistem limbik.

Emosi mempengaruhi CRH di PVN, yang menyebabkan

peningkatan sekresi CRH (Kaplan et all, 2010; Landefeld, 2004).

2) Faktor genetik

Pola genetik penting dalam perkembangan gangguan mood,

akan tetapi pola pewarisan genetik melalui mekanisme yang sangat

kompleks, didukung dengan penelitian-penelitian sebagai berikut:

a. Penelitian keluarga

Dari penelitian keluarga secara berulang ditemukan bahwa

sanak keluarga turunan pertama dari penderita gangguan bipolar,

berkemungkinan 8-18 kali lebih besar untuk terjadi depresi dan 2-

10 kali lebih mungkin untuk menderita gangguan depresi berat

dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki keluarga

yang mengalami gangguan bipolar. Sanak keluarga turunan

pertama dari seorang penderita berat memiliki kemungkinan 1,5-

2,5 kali lebih besar untuk terjadi bipolar dan 2-3 kali lebih

17
mungkin menderita depresi berat dibandingkan dengan seseorang

yang tidak memiliki keluarga yang mengalami gangguan bipolar.

b. Penelitan adopsi

Penelitian ini telah mengungkapkan adanya hubungan faktor

genetik dengan gangguan depresi. Dari penelitian ini ditemukan

bahwa anak biologis dari orang tua yang menderita depresi tetap

berisiko menderita gangguan mood, bahkan jika mereka

dibesarkan oleh keluarga angkat yang tidak menderita gangguan.

c. Penelitian kembar

Penelitian terhadap anak kembar menunjukkan bahwa angka

kesesuaian untuk gangguan bipolar pada anak kembar

monozigotik 33-90 %, untuk gangguan depresi berat angka

kesesuaiannya 50 %. Sebaliknya, angka kesesuaian pada kembar

dizigotik adalah kira-kira 5-25 % untuk gangguan bipolar dan 10-

25 % untuk gangguan depresi berat (Kaplan et all, 2007).

3) Faktor psikologi

Sampai saat ini tak ada sifat atau kepribadian tunggal yang

secara unik mempredisposisikan seseorang kepada depresi. Semua

manusia dapat dan memang menjadi depresi dalam keadaan tertentu.

Tetapi tipe kepribadian dependen-oral, obsesif-kompulsif, histerikal,

mungkin berada dalam risiko yang lebih besar untuk mengalami

depresi daripada tipe kepribadian antisosial, paranoid, dan lainnya

dengan menggunakan proyeksi dan mekanisme pertahanan

18
mengeksternalisasikan yang lainnya. Tidak ada bukti hubungan

gangguan kepribadian tertentu dengan gangguan bipolar pada

kemudian hari. Tetapi gangguan distimik dan gangguan siklotimik

berhubungan dengan perkembangan gangguan bipolar di kemudian

harinya (Kaplan et all, 2007).

4) Faktor lingkungan sosial

Berdasarkan penelitian, depresi dapat membaik jika klinisi

memberikan pasien yang terkena depresi suatu rasa pengendalian

dan penguasaan lingkungan. Peristiwa kehidupan dan stressor

lingkungan adalah peristiwa kehidupan yang menyebabkan stres,

lebih sering didahului oleh episode pertama gangguan mood. Para

klinisi mempercayai bahwa peristiwa kehidupan memegang peranan

utama dalam depresi, klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa

kehidupan hanya memiliki peranan terbatas dalam onset depresi.

Stresor lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu

episode depresi adalah kehilangan pasangan. Stressor psikososial

yang bersifat akut, seperti kehilangan orang yang dicintai, atau

stresor kronis misalnya kekurangan finansial yang berlangsung lama,

kesulitan hubungan interpersonal, ancaman keamanan dapat

menimbulkan depresi (Kaplan et all, 2007).

2.1.5 Klasifikasi Depresi

Jenis-jenis depresi dapat digolongkan kedalam beberapa jenis. Jenis

depresi diklasifikasikan berdasarkan penyebab depresi. Penggolongan

19
atau klasifikasi depresi hingga saat ini diakui masih sukar diterima

kalangan psikiater. Depresi dikenal sebagai sindroma yang secara klinik

heterogen, dalam arti tidak terdapat satu cara klasifikasi untuk

penggolongan depresi yang diterima secara universal.

Klasifikasi nosologi dari keadaan depresi telah terbukti bernilai

dalam praktik klinik dan telah dibakukan oleh World Health

Organization (2010). Menentukan suatu kasus depresi pada kategori

nosologi yang tepat merupakan hal yang penting. Untuk mencapai hal

itu diperlukan penilaian yang menyeluruh dari semua fakta yang

diperoleh dari eksplorasi keadaan psikologisnya. Dan tidak kurang

pentingnya adalah yang disebut miieu situation seperti hubungan

penderita dengan lingkungan dimana dia tinggal dan bekerja (Lubis,

2009).

Jenis-jenis depresi menurut World Health Organization (2010),

berdasarkan klasifikasi nosologi dibagi menjadi:

1) Psikogenik

Depresi psikogenik terjadi karena pengaruh psikologis individu.

Biasanya terjadi akibat adanya kejadian yang dapat membuat

seseorang sedih atau stress berat.

Berdasarkan pada gejala dan tanda-tanda, terbagi menjadi: 

a. Depresi reaktif. 

Merupakan istilah yang digunakan untuk gangguan mood depresi

yang ditandai oleh apatis dan retardasi atau oleh kecemasan dan

20
agitasi. Dan yang ditimbukan sebagai reaksi dari suatu

pengalaman hidup yang menyedihkan. Dibandingan dengan

kesedihan biasa, depresi ini lebih mendalam berlangsung lama

tetapi jarang melampaui beberapa minggu.

b. Exhaustion depression.

Merupakan depresi yang ditimbulkan setelah bertahun-bertahun

masa laten, akibat tekanan perasaan yang berlarut-larut,

goncangan jiwa yang berturut atau pengalaman berulang yang

menyakitkan.

c. Depresi neurotic.

Asal mulanya adalah konflik-konflik psikologis masa anak-anak

(seperti keadaan perpisahan dengan ibu pada masa bayi,

hubungan orang tua anak yang tidak menyenangkan) yang selama

ini disimpan dan membekas dalam jiwa penderita. Proses represi

baik yang sebagian maupun yang seluruhnya dari konfik-konflik

tadi merupakan sumber kesulitan yang menetap dan potensial

bagi timbulnya depresi di kemudian hari. Jauh sebelum timbulnya

depresi sudah tampak adanya gejala-gejala kecemasan, tidak

percaya diri, gagap, sering mimpi buruk, dan enuresis. Juga gejala

jasmaniah seperti banyak berkeringat, gemetar, berdebar-debar,

gangguan pencernaan seperti diare dan spasme.

2) Endogenik

Depresi ini diturunkan, biasanya timbul tanpa didahului oleh

21
masalah psikologis atau fisik tertentu, tetap bisa juga dicetuskan oleh

trauma fisik maupun psikis, kebanyakan depresi endogen berupa

suatu depresi unipolar.

3) Somatogenik

Pada depresi ini dianggap bahwa faktor-faktor jasmani berperan

dalam timbulnya depresi, terbagi dalam beberapa tipe: 

a. Depresi organic.

Disebabkan oleh perubahan perubahan morfologi dari otak seperti

arteriosklerosis serebri, demensia senelis, tumor otak, defisiensi

mental, dan lain-lain. Gejala-gejalanya dapat berupa kekosongan

emosional disertai ide-ide hipokondrik. Biasanya disertai dengan

suatu psychosyndrome akibat kelainan lokal atau difusi di otak

dengan gejala kerusakan short term memory, disorientasi waktu,

tempat, dan situasi disertai tingkah laku eksplosif dan mudah

terharu.

b. Depresi simptomatik.

Merupakan depresi akibat atau bersamaan dengan penyakit

jasmaniah seperti penyakit infeksi (hepatitis, influenza,

pneumonia), penyakit endokrin (diabetes mellitus, hipotiroid),

Akibat tindakan pembedahan, Pengobatan jangka panjang dengan

obat-obatan anti hipertensi, Pada fase penghentian kecanduan

narkotika, alkohol dan obat penenang (Lubis, 2009).

22
2.1.6 Tingkatan Depresi

B
eberapa tingkatan depresi dengan gejala yang berbeda, yaitu:

1) Depresi ringan

Setiap individu pasti pernah mengalaminya yang ciri-cirinya lain

bersifat sementara, alamiah adanya rasa sedih perubahan proses

pikir, komunikasi dan hubungan sosial kurang baik dan merasa tidak

nyaman.

2) Depresi sedang

a. Afek: Murung, cemas, kesal, marah, menangis, rasa bermusuhan,

dan harga diri rendah.

b. Proses pikir: Perhatian sempit, berpikir lambat, ragu-ragu atau

bimbang, konsentrasi menurun, berpikir rumit dan putus asa serta

pesimis.

c. Sensasi somatik dan aktivitas motorik: bergerak lamban, tugas-

tugas terasa berat, tubuh lemah dan sakit kepala dan dada, mual,

muntah, konstipasi, nafsu makan dan berat badan menurun, tidur

terganggu.

d. Pola komunikasi: Bicara lambat, berkurang komunikasi verbal

dan komunikasi non verbal meningkat.

e. Partisipasi sosial: Menarik diri, tidak mau bekerja atau sekolah,

mudah tersinggung, bermusuhan, tidak memperhatikan

kebersihan diri.

23
3) Depresi berat

Mempunyai dua episode yang berlawanan yaitu depresi berat

(rasa sedih tertentu dan mania yaitu rasa gembira yang berlebihan

disertai dengan gerakan yang hiperaktif)

a. Gangguan Afek: Pandangan kosong, perasaan hampa, murung,

putus asa dan inisiatif kurang

b. Gangguan Proses Pikir: Halusinasi dan waham, konsentrasi

berkurang, pikiran merusak diri

c. Sensasi Somatik dan aktifitas motorik: Diam dalam waktu lama,

tiba-tiba hiperaktif, bergerak tanpa tujuan, kurangnya perawatan

diri, tidak mau makan dan minum, berat badan menurun, bangun

pagi sekali dengan perasaan tidak enak, tugas ringan terasa berat.

d. Pola Komunikasi: introvert, tidak ada sama sekali komunikasi

verbal.

e. Partipasi Sosial: Kesulitan menjalankan peran sosial, isolasi

sosial/menarik diri (Dalami, 2009).

2.1.7 Faktor Risiko Depresi

1) Jenis Kelamin

Secara umum dikatakan bahwa gangguan depresi lebih sering

terjadi pada perempuan dibandingkan pada laki-laki. Pendapat-

pendapat yang berkembang mengatakan bahwa perbedaan dari kadar

hormonal perempuan dan laki-laki, perbedaan faktor psikososial

berperan penting dalam gangguan depresi (Kaplan et all, 2010).

24
Sebuah diskusi panel yang diselenggarakan oleh American

Psychological Association (2000) menyatakan bahwa perbedaan

gender sebagian besar disebabkan oleh lebih banyaknya jumlah stres

yang dihadapi perempuan dalam kehidupan kontemporer (Nevid et

all, 2005).

2) Umur

Depresi dapat terjadi dari berbagai kalangan umur. Serkitar 7,8%

dari setiap populasi mengalami gangguan mood dalam hidup mereka

dan 3,7% mengalami gangguan mood sebelumnya. (Barlow, 2007)

Depresi umumnya berkembang pada masa dewasa awal, dengan

usia rata-rata onsetnya adalah pertengahan 20 tahun (American

Psychological Association, 2000). Namun gangguan tersebut dapat

dialami bahkan oleh anak kecil, meski hingga usia 14 tahun

risikonya sangat rendah (Nevid et all, 2005).

3) Faktor Sosial-Ekonomi dan Budaya

Tidak ada suatu hubungan antara faktor sosial-ekonomi dan

gangguan depresi, tetapi insiden dari gangguan bipolar lebih tinggi

ditemukan pada kelompok sosial-ekonomi yang rendah. Dari faktor

budaya tidak ada seorang pun mengetahui mengapa depresi telah

mengalami peningkatan di banyak budaya, namun spekulasinya

berfokus pada perubahan sosial dan lingkungan, seperti

meningkatnya disintegrasi keluarga karena relokasi, pemaparan

terhadap perang, dan konflik internal, serta meningkatnya angka

25
kriminal yang disertai kekerasan, seiring dengan kemungkinan

pemaparan terhadap racun atau virus di lingkungan yang dapat

mempengaruhi kesehatan mental maupun fisik (Kaplan et all, 2010;

Nevid et all, 2003).

2.1.8 Gejala Klinis Depresi

Gejala klinis depresi dapat terlihat sebagai salah satu bentuk

gangguan kejiwaan pada alam perasaan (affective/ mood disorder) yang

ditandai dengan kemurungan, kelesuan, ketiadaan gairah hidup,

perasaan tidak berguna, putus asa, dan lain sebagainya. Gejala-gejala

depresi termasuk kesedihan mendalam dan/atau ketidakmampuan untuk

mengalami kenikmatan. Gejala fisik dari depresi juga umum, termasuk

energi kelelahan dan merasa sakit fisik. Meskipun orang-orang dengan

depresi biasanya merasa lelah, mereka mungkin merasa sulit untuk

tertidur, dan mungkin sering terbangun. (Davison et all, 2010)

Individu menderita gangguan depresi jika lima (atau lebih) gejala

depresi telah ada selama periode dua minggu dan merupakan perubahan

dari keadaan biasa seseorang. Gejala depresi ialah keadaan emosi yang

tertekan sebagian besar waktu dalam satu hari, hampir setiap hari, yang

ditandai oleh laporan subjektif (misal: rasa sedih atau hampa) atau

pengamatan orang lain (misal: terlihat seperti ingin menangis) (Keltner

et all, 1999).

Beberapa gejala yang mungkin terjadi pada seseorang yang

mengalami depresi yaitu:

26
a. Kehilangan minat atau rasa nikmat terhadap semua, atau hampir

semua kegiatan sebagian besar waktu dalam satu hari, hampir

setiap hari (ditandai oleh laporan subjektif atau pengamatan orang

lain)

b. Kehilangan berat badan yang signifikan saat tidak melakukan diet

atau bertambahnya berat badan secara signifikan (misal: perubahan

berat badan lebih dari 5% berat badan sebelumnya dalam satu

bulan)

c. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari

d. Kegelisahan atau kelambatan psikomotor hampir setiap hari (dapat

diamati oleh orang lain, bukan hanya perasaan subjektif akan

kegelisahan atau merasa lambat)

e. Perasaan lelah atau kehilangan kekuatan hampir setiap hari

f. Perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang berlebihan

atau tidak wajar (bisa merupakan delusi) hampir setiap hari

g. Berkurangnya kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi, atau

sulit membuat keputusan, hampir setiap hari (ditandai oleh laporan

subjektif atau pengamatan orang lain)

h. Berulang kali muncul pikiran akan kematian (bukan hanya takut

mati), berulang kali muncul pikiran untuk bunuh diri tanpa rencana

yang jelas, atau usaha bunuh diri atau rencana yang spesifik untuk

mengakhiri nyawa sendiri (Keltner et all., 1999).

27
Gejala-gejala dari gangguan depresi sangat bervariasi, gejala-gejala

lain yang juga dapat timbul seperti:

a. Merasa sedih dan bersalah

b. Merasa tidak berguna dan gelisah

c. Merasa cemas dan kosong

d. Merasa mudah tersinggung

e. Merasa tidak ada harapan

f. Merasa tidak ada yang perduli

Selain gejala-gejala diatas, gejala-gejala lain yang dikeluhkan

adalah:

a. Hilangnya ketertarikan terhadap sesuatu atau aktivitas yang dijalani

b. Kekurangan energi dan adanya pikiran untuk bunuh diri

c. Gangguan berkonsentrasi, mengingat informasi dan membuat

keputusan

d. Gangguan tidur, tidak dapat tidur atau tidur terlalu sering

e. Kehilangan nafsu makan atau makan terlalu banyak

f. Nyeri kepala, sakit kepala, kram perut, dan gangguan pencernaan

(National Institute of Mental Health, 2010)

Menurut Setyonegoro (1991), gejala klinis depresi terdiri dari:

1) Simptom psikologi

a. Berpikir: kehilangan konsentrasi, lambat dan kacau dalam

berpikir, pengendalian diri, ragu-ragu, harga diri rendah

b. Motivasi: kurang minat bekerja dan lalai, menghindari kegiatan

28
kerja dan sosial, ingin melarikan diri

c. Perilaku: lambat, mondar-mandir, menangis, mengeluh

2) Simptom biologi

a. Hilang nafsu makan atau bertambahnya nafsu makan

b. Hilang libido

c. Tidur terganggu

d. Lambat atau gelisah

2.1.9 Diagnosis Depresi

Beck Depression Inventory II dibuat oleh Beck (2006), BDI II

merupakan salah satu instrumen yang paling sering digunakan untuk

mengukur derajat keparahan depresi. Para responden akan mengisi 21

pertanyaan, setiap pertanyaan memiliki skor 1-3, setelah responden

menjawab semua pertanyaan kita dapat menjumlahkan skor tersebut,

Skor tertinggi adalah 63 jika responden mengisi 3 poin keseluruhan

pertanyaan. Skor terendah adalah 0 jika responden mengisi poin 0 pada

keseluruhan pertanyaan. Total dari keseluruhan akan menjelaskan

tingkat keparahan penyakitnnya (Beck, 2006).

2.1.10 Sindrom Depresi Pada Mahasiswa

Gangguan mood melibatkan sebuah interaksi yang kompleks antara

biologis dengan psikososial. Gangguan depresi disebabkan oleh

beberapa hal, seperti: genetik, biologis, lingkungan, dan faktor-faktor

psikologik. Peristiwa kehidupan yang penuh tekanan seperti kehilangan

orang yang dicintai, putusnya hubungan, sakit fisik, masalah dalam

29
pernikahan dan hubungan, kesulitan ekonomi, dan tekanan pada

pekerjaan seperti aktivitas yang padat dan hubungan sosial pada bangku

perkuliahan (National Institute of Mental Health, 2010; Nevid et all,

2003).

Depresi disebabkan oleh berbagai macam stressor. Stressor adalah

hal-hal yang dapat memicu terjadinya stres. Stres merupakan suatu

perasaan emosional yang negatif yang disertai oleh gangguan

biomechanical, kognitif, perubahan perilaku. Meski stres sering

berimplikasi pada depresi, tidak semua orang stres yang mengalami

depresi. Faktor-faktor seperti keterampilan coping, bawaan genetik, dan

ketersediaan dukungan sosial memberikan kontribusi pada

kecenderungan depresi saat menghadapi kejadian yang penuh tekanan

(Nevid et all, 2003).

Stres berkaitan dengan 2 sistem yang berkorelasi dengan fungsi

tubuh. Sistem yang berkaitan tersebut adalah sympathetic-

adrenomedullary (SAM) dan hypothalamic-pituitary-adrenocortical

axis. Stres yang berkepanjangan dan tidak mendapatkan penanganan

yang tepat akan berpeluang besar untuk menjadi gejala-gejala depresi

dan juga bisa menjadi gangguan depresi (Taylor, 2006).

Seperti halnya pada pelajar setelah lulus dari sekolah menengah

atas, mereka akan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi,

yaitu perkuliahan, ada yang merasa senang dan antusias tetapi tidak

sedikit juga yang merasa cemas akan perubahan (transisi) dari

30
pendidikan sekolah menengah atas ke jenjang perkuliahan (Furr et all,

2001).

Menurut Gabriel dalam New York Times (2010), survei nasional

menunjukkan hampir setengah dari mahasiswa mengunjungi pusat-

pusat konseling untuk mengatasi penyakit mental yang serius, dan lebih

dari dua kali lipat mahasiswa mengkonsumsi obat-obatan untuk

mengatasi gangguan kejiwaan. Beberapa mahasiswa juga mengalami

keadaan darurat dan memerlukan tindakan segera. Hal-hal serius seperti

ancaman bunuh diri dan overdosis juga salah satu kejadian yang sering

terjadi pada mahasiswa perkuliahan saat ini (Rahmawati, 2012).

2.2 Mahasiswa Kedokteran

2.2.1 Gambaran Umum Mahasiswa Kedokteran

Mahasiswa kedokteran adalah individu yang sedang menempuh

pendidikan di bidang ilmu kedokteran pada perguruan tinggi dalam

kurun waktu lima setengah tahun yang terdiri dari 2 tahap, yaitu:

1) Program Studi Sarjana Kedokteran/Preklinik selama empat tahun,

yaitu dari semester satu sampai dengan semester delapan.

Program studi Sarjana Kedokteran/Preklinik terdiri dari dua tahap

yaitu:

a. Tahap 1: yaitu program pendidikan awal pada semester satu dan

dua. Menggunakan sistem pembelajaran secara CBL (Concept

Based Learning) yaitu pelaksanaan proses pembelajaran sampai

31
memiliki kemampuan untuk menjelaskan konsep-konsep yang

harus dipelajari.

b. Tahap 2: yaitu program pendidikan lanjut pada semester tiga

sampai delapan. Menggunakan sistem pembelajaran secara PBL

(Problem Based Learning) yaitu pelaksanaan proses

pembelajaran berdasarkan problem klinik yang ada sampai

memiliki kemampuan untuk mengkonsepkan penatalaksanaan

problem klinik yang dihadapi (Christyanti et all, 2010).

2) Program Studi Profesi Dokter/Koasisten selama satu setengah

tahun, yaitu dari semester sembilan sampai dengan semester

sebelas.

2.2.2 Metode Belajar Mahasiswa Kedokteran

Berbeda dengan kurikulum belajar fakultas lainnya, pada Fakultas

Kedokteran menggunakan kurikulum belajar Problem-Based Learning

(PBL), PBL adalah sebuah metode belajar yang menantang peserta

didik untuk belajar melalui kasus atau masalah yang dapat ditemukan

dalam pekerjaan sehari-hari. PBL menempatkan siswa untuk berperan

aktif dalam memecahkan masalah yang dihadapkan dengan situasi yang

kurang terstruktur sehingga mensimulasikan jenis masalah yang akan

dihadapi di masa depan dengan berbagai masalah yang kompleks.

Proses ini bertujuan untuk menggunakan pemecahan masalah yang

melibatkan para peserta didik dan meningkatkan pembelajaran dengan

32
memotivasi bahwa masalah tersebut akan terjadi di lapangan

(Christyanti et all, 2010).

2.3 Proses Belajar

Mahasiswa kedokteran dibagi menjadi dua kelompok, yaitu mahasiswa

yang menempuh program sarjana/Preklinik dan mahasiswa yang menempuh

profesi kedokteran/Koasisten. Untuk menempuh jenjang profesi, mahasiswa

harus menyelesaikan program sarjana terlebih dahulu. Dengan demikian,

mahasiswa kedokteran dituntut untuk melaksanakan proses belajar dengan

baik. Beberapa definisi belajar adalah sebagai berikut :

2.3.1 Definisi Belajar

Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang

terhadap suatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya

yang berulang-ulang dalam situasi itu. Dimana perubahan tingkah laku

itu tidak dapat dijelaskan atas dasar kecenderungan respon bawaan,

kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang (Hilgard et all,

1997).

Morgan (1987) dalam Introduction to Psychology mengemukakan

bahwa belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam

tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau

pengalaman.

2.3.2 Fase-fase Belajar

Menurut Wiltig (1981) dalam Psychology of Learning, proses

33
belajar berlangsung dalam tiga tahapan:

1) Perolehan atau penerimaan informasi (Acquasition)

2) Penyimpanan informasi (Storage)

3) Mendapatkan kembali informasi (Retrieval)

Pada tingkatan acquisition seorang siswa mulai menerima

informasi sebagai stimulus dan melakukan respon terhadapnya,

sehingga menimbulkan pemahaman dan perilaku baru. Pada tahap ini

terjadi pula asimilasi antara pemahaman dengan perilaku baru dalam

keseluruhan perilakunya. Proses acquisition dalam belajar merupakan

tahap paling mendasar. Kegagalan dalam tahap ini akan mengakibatkan

kegagalan pada tahap-tahap berikutnya. Pada tingkatan storage seorang

siswa secara otomatis akan mengalami proses penyimpanan

pemahaman dan perilaku baru yang ia proleh ketika menjalani proses

acquitision. Peristiwa ini sudah tentu melibatkan fungsi short term dan

long term memori. Pada tingkatan retrieval seorang siwa akan

mengaktifkan kembai fungsi-fungsi sistem memorinya, misalnya ketika

ia menjawab pertanyaan atau memecahkan masalah. Proses retrieval

pada dasarnya adalah upaya atau peristiwa mental dalam

mengungkapkan dan memproduksi kembali apa-apa yang tersimpan

dalam memori berupa informasi, simbol, pemahaman dan perilaku

tertentu sebagai respons atau stimulus yang sedang dihadapi (Widosari,

2010).

34
Proses belajar berlangsung dalam 3 fase yaitu:

1) Fase informasi (penerimaan materi)

2) Fase transformasi (pengubahan materi)

3) Fase evaluasi (penilaian materi)

Dalam tahap informasi, seorang siswa yang sedang belajar

memperoleh sejumlah keterangan mengenai materi yang sedang

dipelajari. Di antara informasi yang diperoleh itu ada yang sama sekali

baru dan berdiri sendiri, ada pula yang berfungsi menambah,

memperhalus dan memperdalam pengetahuan yang sebelumnya telah

dimiliki. Dalam tahap transformasi, informasi yang telah diperoleh itu

dianalisis, diubah atau ditransformasikan menjadi bentuk yang abstrak

atau konseptual supaya kelak pada gilirannya dapat dimanfaatkan bagi

hal-hal yang lebih luas. Bagi pemula, tahap ini akan berlangsung sulit

apabila tidak disertai dengan bimbingan orang yang diharapkan

kompeten dalam mentransfer strategi kognitif yang tepat untuk

melakukan pembelajaran tertentu. Dalam tahap evaluasi, seseorang

menilai sendiri sampai sejauh mana informasi yang telah

ditransfornasikan tadi dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala atau

memecahkan masalah yang dihadapi. Tak ada penjelasan rinci

mengenai cara evaluasi ini, tetapi agaknya analog dengan peristiwa

retrieval untuk merespon lingkungan yang sedang dihadapi

(Rahmawati, 2012).

35
2.3.3 Faktor Yang Mempengaruhi Belajar

Terdapat 2 faktor yang mempengaruhi proses belajar, yaitu:

1) Faktor internal

a. Aspek fisiologis

Kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang

menandai tingkat hubungan organ-organ tubuh dan sendi-

sendinya dapat mempengaruhi semangat dan intensitas belajar.

b. Aspek psikologis

Banyak faktor psikologis yang mempengaruhi kualitas dan

kuantitas belajar. Namun faktor-faktor yang esensial adalah

tingkat kecerdasan, sikap, bakat, minat, dan motivasi.

2) Faktor eksternal

a. Lingkungan sosial

Lingkungan sosial mahasiswa contohnya dosen, staf

administrasi, teman-teman kuliah, masyarakat, tetangga, serta

teman-teman di tempat kos. Lingkungan sosial yang lebih

banyak mempengaruhi kegiatan belajar adalah orang tua dari

mahasiswa.

b. Lingkungan non-sosial

Contoh lingkungan non-sosial adalah gedung tempat belajar dan

letaknya, rumah tinggal dan letaknya, alat-alat belajar, serta

keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan (Muhibbin,

2006).

36
2.3.4 Faktor pendekatan belajar

Faktor pendekatan belajar adalah segala cara atau strategi yang

digunakan dalam menunjang efektivitas dan efisiensi proses

pembelajaran materi tertentu. Strategi dalam hal ini adalah langkah

operasional yang direkayasa sedemikian rupa untuk memecahkan

masalah atau mencapai tujuan belajar tertentu (Lawson, 1995).

2.4 SRRS (Social Readjusment Rating Scale)

Social Readjustment Rating Scale (SRRS) atau yang biasa dikenal

dengan Holmes and Rahe Stress Scale merupakan sebuah daftar 43 stressor

kehidupan yang dapat berkontribusi terhadap kesehatan terutama terhadap

terjadinya depresi (Holmes, 1967).

Untuk mengukur stres, jumlah nilai yang berlaku untuk peristiwa-

peristiwa dalam satu tahun terakhir dari kehidupan individu ditambahkan,

kemudian skor akhir akan memberikan perkiraan kasar tentang bagaimana

stres mempengaruhi kesehatan (Holmes, 1967).

Tabel 2.1 The Social Readjustment Rating Scale (SRRS)


Peristiwa kehidupan Nilai
Kematian pasangan hidup 100
Perceraian 73
Perpisahan dalam pernikahan 65
Dipenjara 63
Menderita penyakit 53
Pernikahan 50
Dihentikan dari pekerjaan 47
Pemulihan hubungan pernikahan 45
Pension 45
Perubahan kesehatan yang berat pada anggota 44
Keluarga
Hamil 40
Kesulitan dalam bidang seksual 39
Kehadiran anggota keluarga baru 39

37
Penyesuaian kembali dalam bisnis 39
Perubahan situasi keuangan 38
Kematian teman dekat 37
Perubahan bidang pekerjaan 36
Perubahan seringnya terjadi pertengkaran 35
dalam pernikahan
Pengadaian atau peminjaman untuk pembelian 31
kebutuhan primer
Pencabutan hak mendapatkan pinjaman atau 30
Pengadaian
Masalah dengan mertua 29
Anak meninggalkan rumah 29
Perubahan tanggungjawab dalam pekerjaan 29
Prestasi pribadi menurun 28
Mulai atau berhenti bekerja 26
Mulai atau mengakhiri sekolah 26
Perubahan dalam kondisi kehiudpan 25
Perubahan kebiasaan pribadi 24
Masalah dengan bos 23
Perubahan kondisi kerja atau jam kerja 20
Pindah rumah 20
Pindah sekolah 20
Perubahan kebiasaan rekreasi 19
Perubahan dalam aktivitas beribadah 19
Perubahan dalam kegiatan social 18
Pinjaman untuk pembelian barang-barang 17
Sekunder
Perubahan dalam kebiasaan tidur 16
Perubahan dalam jumlah pertemuan keluarga 15
Perubahan pola makan 15
Liburan 13
Perayaan hari besar umat beragama 12
Pelanggaran hokum 11
Sumber : Holmes & Rahe, 1967

Skor >300 : Sangat berisiko terkena penyakit.


Skor 150-299 : Risiko penyakit adalah sedang (berkurang 30% dari
risiko di atas).
Skor<150 : Hanya memiliki sedikit risiko penyakit.

2.5 BDI II (Beck Depression Inventory II)

Beck Depression Inventory II (BDI II) adalah instrumen pengukuran

tingkat depresi yang dibuat oleh dr. Aaron T. Beck. BDI II pertama kali

diterbitkan pada tahun 1961 terdiri dari dua puluh satu pertanyaan tentang

bagaimana perasaan klien pada minggu terakhir terkait tanda dan gejala

depresi. BDI II merupakan salah satu instrumen yang paling banyak

38
digunakan untuk mengukur tingkat keparahan depresi. Instrumen BDI II

dirancang untuk individu yang berusia 13 dan lebih, dan terdiri dari

pertanyaan yang berhubungan dengan gejala depresi seperti keputusasaan dan

marah, kognisi seperti perasaan bersalah atau dihukum, serta gejala fisik

seperti kelelahan, penurunan berat badan, dan kurangnya minat pada seks

(Beck, 2006).

Instrumen BDI II terdiri dari 21 item pernyataan yang akan

mengidentifikasikan tingkat keparahan depresi. Gejala- gejala depresi yang

teridentifikasi dari 21 item pernyataan modifikasi BDI II ialah kesedihan,

pesimis, kegagalan masa lalu, kehilangan kesenangan, perasaan bersalah,

perasaan dihukum, ketidaksukaan terhadap diri, kritikan terhadap diri,

keinginan bunuh diri, menangis, gelisah, kehilangan ketertarikan, sulit

mengambil keputusan, perasaan tidak berharga, kehilangan energi, perubahan

pola tidur, sensitifitas (kemarahan), perubahan pola makan, sulit konsentrasi,

kelelahan, dan kehilangan ketertarikan terhadap seks (Cooper, 2010).

Temuan awal dari BDI II disajikan menjadi faktor kognitif, afektif, dan

somatik. Gejala depresi yang termasuk dalam faktor kognitif ialah kesedihan,

pesimis, kegagalan masa lalu, perasaan bersalah, perasaan dihukum,

ketidaksukaan terhadap diri, kritikan terhadap diri, keinginan bunuh diri, dan

tidak berharga. Range nilai untuk faktor kognitif ialah 0-27. Gejala depresi

yang termasuk dalam faktor afektif ialah kehilangan kenikmatan, menangis,

gelisah, kehilangan ketertarikan, keraguan, iritabilitas, dan kehilangan

ketertarikan terhadap seks. Range nilai untuk faktor afektif ialah 0-21. Gejala

39
depresi yang termasuk pada faktor somatik ialah kehilangan energi,

perubahan pola tidur, perubahan nafsu makan, sulit berkonsentrasi, dan

kelelahan. Range nilai untuk faktor somatik ialah 0-15 (Cooper, 2010).

Jumlah dari semua nilai BDI II menunjukkan tingkat keparahan depresi.

Instrumen ini menetapkan hasil berbeda untuk populasi umum dan untuk

individu yang telah didiagnosis dengan depresi klinis. Untuk populasi umum,

skor 21 atau lebih mewakili depresi. Bagi orang yang telah didiagnosa secara

klinis, skor dari 0-9 mewakili gejala depresi yang minimal atau masih dalam

kondisi normal, 10-16 menunjukkan depresi ringan, nilai 17-29

mengindikasikan depresi sedang, dan 30-63 mengindikasikan depresi berat

(American Psychiatric Association, 2000).

2.6 Hubungan Antara Depresi Dengan Mahasiswa Kedokteran

Morbiditas psikologis di antara mahasiswa kedokteran telah dilaporkan

dalam beberapa penelitian di beberapa Negara Amerika dan Eropa, serta

negara belahan dunia lainnya terutama mengenai kasus cemas dan depresi.

Penelitian dengan modalitas yang berbeda telah dilakukan dengan skala yang

luas untuk mengetahui secara jelas fenomena ini (Inam et all, 2009).

Mahasiswa kedokteran memiliki tingkat stres yang lebih tinggi

dibandingkan mahasiswa lainnya. Kebiasaan membaca selama berjam-jam

dalam sehari secara rutin dan harus memahami pelayanan kesehatan yang

nyata di lapangan. serta pengharapan yang sangat tinggi dari keluarga dan

40
masyarakat merupakan salah satu stressfull yang dialami mahasiswa

kedokteran (Elsenberg, 2007).

Kesehatan jiwa pada dewasa muda memiliki peran dalam kelangsungan

hidup seperti kesuseksan akademis, masa depan pekerjaan dan hubungan

sosial. Gangguan jiwa yang dialami seumur hidup atau bersifat kronis,

sebagian besar timbul pada onset saat usia dewasa muda, tepatnya pada saat

menempuh studi di jenjang pendidikan tinggi, dan hal tersebut bisa

dicetuskan oleh berbagai macam stressor semasa menempuh perkuliahan,

dengan contoh gangguan pola tidur, gangguan dalam hubungan interpersonal,

dan beban tuntutan akademis (Khan et all, 2006).

Mahasiswa kedokteran bisa dua sampai lima kali lebih beresiko

mengalami depresi dibandingkan mahasiswa jurusan lain. Prevalensi depresi

mahasiswa kedokteran berkisar antara 9-56%. Para peneliti menganalisis

hampir 200 penelitian terhadap 129.000 mahasiswa kedokteran di 47 negara.

Hasilnya, sebanyak 27 %, sekitar sepertiga mengalami depresi berikut

gejalanya, sementara 11 % lain berpikir untuk melakukan bunuh diri selama

masa kuliah. Faktor penyebab dari depresi pada mahasiswa kedokteran antara

lain adalah adanya tujuan-tujuan yang tidak tercapai yang menyebabkan

kekecewaan serta adanya kegagalan yang menyebabkan kurangnya

penghargaan terhadap diri (Lisa, 2016; Cooper, 2010).

Mahasiswa kedokteran harus menjalani masa studi preklinik di

universitas terlebih dahulu sebelum menjadi koasisten (dokter muda) dirumah

sakit. Studi preklinik relatif lebih mudah dibandingkan studi koasisten, pada

41
studi koasisten mahasiswa langsung berhadapan dengan pasien dan mendapat

kesempatan untuk melakukan tindakan medis, sehingga mahasiswa koasisten

harus mempertanggungajawabkan segala yang telah dipelajarinya semasa

menjadi mahasiswa preklinik, sementara mahasiswa preklinik tidak terbebani

oleh hal-hal tersebut.

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan perbedaan tingkat depresi

antara mahasiswa preklinik dan koasisten, antara lain :

1) Tuntutan yang tinggi dan beragam pada mahasiswa koasisten

Setiap stase kepaniteraan koasisten membutuhkan pengetahuan

medis dasar dan keahlian yang unik. Mahasiswa koasisten harus

menguasai berbagai macam kemampuan klinis dan keterampilannya

dalam waktu yang singkat. Memang mahasiswa preklinik maupun

koasisten dituntut untuk menguasai berbagai ilmu kedokteran namun

mahasiswa koasisten tidak hanya harus menghadapi ujian sebagai syarat

kelulusan suatu stase, tetapi mahasiswa koasisten juga dituntut untuk

mengaplikasikan ilmu tersebut dengan baik dan bertanggung jawab

terhadap kesehatan dan keselamatan pasien. Tuntutan yang sedemikian

tinggi dan beragam tersebut dapat menimbulkan kekhawatiran yang

tinggi pada mahasiswa koasisten dan rasa frustrasi. Tingkat stres pada

mahasiswa koasisten semakin diperparah, apabila mahasiswa koasisten

tersebut kurang berminat pada stase yang sedang dijalaninya, sehingga

mahasiswa koasisten tersebut merasa segala tuntutan yang harus ia

penuhi sebagai suatu beban yang sangat berat. Ada kalanya tekanan

42
datang dari konsulen, perawat, keluarga pasien, dan pasien itu sendiri,

yang akan semakin menambah beban berat pada mahasiswa koasisten.

Hal–hal tersebut dapat meningkatkan risiko gangguan depresi pada

mahasiswa koasisten dibandingkan dengan mahasiswa preklinik (Chou,

2016).

2) Tingginya persaingan antara mahasiswa koasisten

Suasana belajar di rumah sakit yang berhadapan langsung dengan

pasien adalah lebih kompetitif dibandingkan dengan suasana belajar

mahasiswa preklinik di universitas, karena mereka berhadapan langsung

dengan staf pengajar di rumah sakit dan rekan-rekannya. Mahasiswa

koasisten tidak ingin ketinggalan dari teman temannya dalam

keterampilan menangani pasien. Perasaan takut kalah dalam persaingan,

takut lebih buruk dibandingkan dengan teman temannya, takut tidak

dapat memenuhi ekspetasi yang tinggi dari diri sendiri maupun orang lain

(terutama pengujinya) dapat menimbulkan kekhawatiran, ketakutan, dan

keputusasaan yang tinggi yang pada akhirnya dapat menyebabkan

gangguan depresi pada mahasiswa koasisten (Rahmawati, 2012).

3) Pemaparan terhadap kematian dan penderitaan manusia

Mahasiswa koasisten seringkali dihadapkan pada kondisi pasien

yang sekarat atau dalam sakaratul maut atau kematian. Suatu studi

menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa koasisten merasa

khawatir dan kebingungan dalam menghadapi kondisi akhir kehidupan,

terutama pada pasien meninggal yang pertama kali dihadapi oleh mereka.

43
Ketidaksiapan mahasiswa koasisten menghadapi pasien sekarat dan/atau

kematian pasien dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan

pengalaman mahasiswa koasisten dalam menghadapi pasien dengan

kondisi tersebut. Kurikulum pendidikan kedokteran lebih sering

memfokuskan pendidikan mengenai diagnosis dan pengobatan penyakit

dibandingkan dengan pendidikan tentang akhir kehidupan. Tidak

mengherankan bahwa mahasiswa koasisten akan ketakutan, cemas, ragu-

ragu, dan frustrasi dalam menghadapi pasien dengan kondisi demikian,

yang pada akhirnya dapat meningkatkan risiko gangguan depresi

(Academic Medicine, 2002).

4) Jadwal yang padat

Mahasiswa koasisten menghabiskan waktu lebih banyak di rumah

sakit, sementara itu mahasiswa preklinik lebih banyak menghabiskan

waktu di ruang kuliah. Setiap mahasiswa koasisten memiliki jadwal jaga

masing-masing dan berbagai aktivitas kepaniteraan koasisten yang

menguras tenaga. Setelah melakukan berbagai aktivitas rutin

kepaniteraan koasisten di rumah sakit setiap hari di pagi dan siang hari

seperti morning report, ronda bangsal, tutor, dll, terkadang mereka harus

berlanjut dengan jaga malam. Selain itu mahasiswa koasisten juga harus

belajar untuk ujian dan menyelesaikan berbagai tugas dari konsulen

dalam waktu yang pendek dan terlalu padat itu. Hal ini menimbulkan

kelelahan dan kejenuhan pada mahasiswa koasisten. Sebuah studi

menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa koasisten mengalami

44
penurunan kualitas hidup dan kualitas tidur karena padatnya aktivitas

mereka. Penurunan kualitas tidur pada mahasiswa koasisten dapat

mengganggu metabolisme tubuh seperti penurunan hormon serotonin dan

dopamin yang dihasilkan saat seseorang tertidur. Berdasarkan hasil

penelitian, penurunan hormon serotonin dan dopamin dapat

menyebabkan gangguan depresi pada seseorang. Penurunan kualitas tidur

secara terus menerus juga dapat mengakibatkan penurunan kualitas hidup

seseorang, yang pada gilirannya dapat mengganggu kesehatan mental

mahasiswa koasisten di antaranya adalah gangguan depresi. Performa

akademik mahasiswa klinik juga akan menurun seiring dengan terjadinya

gangguan depresi dan gangguan cemas. Persoalan akan seperti fenomena

bola salju yang akan semakin membesar seiring dengan adanya gangguan

depresi pada mahasiswa koasisten (Goldin et all, 2007; Lubis, 2009;

Kitchen, 2015; Samaranayake et all, 2014).

5) Pelecehan dan diskriminasi pada mahasiswa koasisten

Studi menunjukkan bahwa 50%-85% mahasiswa kedokteran yang

mengalami pelecehan akan mengalami gangguan depresi dan gangguan

cemas dan prevalensinya adalah lebih tinggi pada mahasiswa koasisten.

Pelecehan yang dapat terjadi pada mahasiswa kedokteran antara lain

pelecehan verbal, pelecehan institusional, pelecehan fisik, pelecehan

seksual, dan diskriminasi. Berbagai bentuk pelecehan pada mahasiswa

koasisten dapat menurunkan kepercayaan dan harga dirinya. Mahasiswa

koasisten akan selalu merasa tidak pantas, takut untuk berbuat salah, dan

45
khawatir berlebihan yang pada gilirannya dapat menurunkan performa

belajar dari mahasiswa koasisten. Bila hal ini berlanjut, maka kondisi ini

dapat meningkatkan risiko untuk mengalami gangguan depresi dan

gangguan cemas pada mahasiswa koasisten (Kitchen, 2015; Chou, 2016).

2.7 Kerangka Teori Penelitian

Jenis Kelamin

Faktor Biologi
Faktor Internal
Faktor Psikologi

Faktor Genetik
Faktor Eksternal

Faktor Lingkungan Stressfull

 Sosial
 Ekonomi Proses Belajar
 Budaya

Mahasiswa Kedokteran

Preklinik Koasisten
Depresi

Ringan
Beck Depression Instrumen
Inventory II(BDI II) pengukuran Sedang

Berat
Bagan 2.1. Kerangka Teori
Sumber: Kaplan et all, 2010

46
2.8 Kerangka Konsep Penelitian

Faktor Eksternal Faktor Internal


 Lingkungan Sosial  Biologi
 Psikologi
 Genetik
Pendidikan

Proses belajar

Mahasiswa Kedokteran

Preklinik Koasisten

Depresi

Ringan Sedang Berat

Bagan 2.2. Kerangka Konsep

Keterangan:

Ket. = Variabel yang tidak diteliti


= Variabel yang diteliti

2.9 Hipotesis
Hipotesis adalah pernyataan sebagai jawaban sementara atas pertanyaan

penelitian, pernyataan tentang hubungan yang diharapkan dua variabel atau

lebih yang harus diuji secara empiris (Notoatmodjo, 2012).

47
Berdasarkan landasan teori di atas, maka dalam penelitian ini dapat

dirumuskan hipotesis bahwa terdapat perbedaan tingkat depresi yang

bermakna antara mahasiswa preklinik dan koasisten di Fakultas Kedokteran

Universitas Islam Al-Azhar Mataram tahun 2018.

48
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan

pendekatan rancangan Cross sectional yaitu peneliti melakukan suatu

pengamatan/observasi terhadap subjek penelitian hanya sekali saja dan

pengukuran dilakukan sekaligus pada suatu periode yang sama

(Notoatmodjo, 2010).

Subjek penelitian yang diamati/diobservasi satu kali pada penelitian ini

adalah tingkat depresi pada mahasiswa preklinik dan koasisten. Pada

penelitian ini yang ingin diketahui oleh peneliti adalah perbedaan tingkat

depresi antara mahasiwa preklinik dengan koasisten di Fakultas Kedokteran

Universitas Islam Al-Azhar Mataram.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi Penelitian merupakan suatu tempat atau wilayah dimana

penelitian akan dilakukan, sedangkan waktu penelitian merupakan kapan saat

penelitian itu dilakukan (Notoatmodjo, 2012).

Penelitian dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-

Azhar Mataram dan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bangli, Provinsi

Bali pada tanggal 11 - 18 Januari tahun 2018.

49
3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian yang diteliti dan

telah memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh peneliti (Notoatmodjo,

2010).

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Fakultas

Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram. Sedangkan populasi

terjangkaunya adalah mahasiswa preklinik angkatan 2014 dan 2015

serta mahasiswa koasisten angkatan 2011 dan 2012 di Fakultas

Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram.

3.3.2 Teknik Pengambilan Sampel

Sampel didefinsikan sebagai bagian jumlah dan karakteristik yang

dimiliki populasi tersebut. Bila populasi besar dan peneliti tidak

mungkin semua yang ada di populasi, misalnya karena keterbatasan

dana, tenaga, dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel

yang diambil dari populasi tersebut. Untuk itu sampel diambil dari

populasi harus benar-benar representative/mewakili (Sugiyono, 2011).

Dalam penelitian ini teknik pengambilan sampel menggunakan

teknik purposive sampling. Pengambilan sampel secara purposive

didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti itu

sendiri, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui

sebelumnya (Notoatmodjo, 2012).

50
Dalam penelitian ini yang dipilih sebagai subjek penelitian hanya

mahasiswa preklinik angkatan 2014 dan 2015, serta mahasiswa

koasisten angkatan 2011 dan 2012 saja. Mahasiswa angkatan 2014 dan

2015 dipilih mewakili kelompok mahasiswa preklinik karena sudah

menjalani pendidikan preklinik lebih dari tiga semester (bukan

mahasiswa baru) sehingga tekanan dari luar dianggap lebih rendah

dibanding mahasiswa baru. Mahasiswa angkatan 2011 dan 2012

dipilih mewakili kelompok mahasiswa koasisten karena masih

menjalani kepaniteraan di rumah sakit. Selain itu pada penelitian ini

yang dipilih sebagai subjek penelitian hanya mahasiswa yang tidak

sedang mengalami keadaan lain yang menyebabkan depresi selama 1

tahun terakhir.

3.3.3 Besar Sampel

Besar atau banyaknya sampel yang digunakan dalam penelitian ini

dihitung dengan menggunakan Formula Lameshow, rumusnya adalah

sebagai berikut (Notoatmodjo, 2012):

( )
n 1=n2= Zα √ 2 PQ + Zβ √ P 1 Q1+ P 2 Q2 ²
P 1−P 2 ¿

Keterangan :

n = Besar sampel

Zα = Kesalahan tipe 1 ditetapkan sebesar 5%, sehingga Zα


= 1,96
Zβ = Kesalahan tipe 2 ditetapkan sebesar 20%, sehingga Zβ

= 0,84

51
P2 = Proporsi depresi, berdasarkan kepustakaan (Widosari, 2010)
= 0,57

Q2 = 1 - P2 = 1 - 0,57 =0,43

P1-P2 = Selisih minimal proposi depresi yang dianggap bermakna,


ditetapkan sebesar 0,2

P1 = P2 + 0,2 = 0,57 + 0,2 =0,77

Q1 = 1 - P1= 1 - 0,77 =0,23

P = (P1 + P2) / 2 = (0,77 + 0,57) / 2 =0,67

Q = 1 - P = 1 - 0,67 =0,33

( )
n 1=n2= 1,96 √ 2 x 0,67 x 0,33+0,84 √ 077 x 0,23+ 0,57 x 0,43 ²
0,2 ¿

= 15

= Sampel minimum sebanyak 15 + 10% = 18

Sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini sebanyak

36 responden pada masing-masing populasi, yaitu populasi mahasiswa

preklinik dan populasi mahasiswa koasisten.

Dengan demikian total jumlah sampel yang diambil sejumlah

72 responden, pada kelompok populasi mahasiswa preklinik diambil

36 responden secara acak (masing-masing tahun angkatan diambil

18 responden) dan pada kelompok populasi mahasiswa koasisten juga

diambil 36 responden secara acak (masing- masing tahun angkatan

diambil 18 responden) yang telah memenuhi kriteria subjek penelitian.

3.4 Kriteria Subjek Penelitian

52
Agar karakteristik sampel tidak menyimpang dari populasinya, maka

sebelum dilakukan pengambilan sampel perlu ditentukan kriteria inklusi,

maupun kriteria eksklusi (Notoatmodjo, 2012).

3.4.1 Kriteria inklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi

oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel.

(Notoatmodjo, 2010)

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah:

a. Telah mengikuti minimal 3 semester kegiatan perkuliahan.

b. Mahasiswa preklinik Fakultas Kedokteran Universitas Islam

Al-Azhar Mataram angkatan 2014 dan 2015 yang masih menjalani

pendidikan preklinik di fakultas kedokteran.

c. Mahasiswa koasisten Fakultas Kedokteran Universitas Islam

Al-Azhar Mataram angkatan 2011 dan 2012 yang masih menjalani

kepaniteraan dirumah sakit.

d. Berjenis kelamin laki-laki atau perempuan

e. Tidak sedang mengalami keadaan lain yang menyebabkan depresi

selama 1 tahun terakhir, yaitu (Holmes, 1967):

1. Kematian salah satu / semua anggota keluarga inti.

2. Perpisahan / perceraian orang tua.

3. Menderita sakit kronis (lebih dari 3 bulan).

f. Bersedia menjadi responden.

3.4.2 Kriteria Eksklusi

53
Kriteria eksklusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat

diambil sebagai sampel (Notoatmodjo,2010).

Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah :

a. Orang yang melakukan penelitian ini.

b. Belum mengikuti minimal 3 semester kegiatan perkuliahan.

c. Mahasiswa preklinik Fakultas Kedokteran Universitas Islam

Al-Azhar Mataram diluar angkatan 2014 dan 2015 yang masih

menjalani pendidikan preklinik di Fakultas Kedokteran.

d. Mahasiswa koasisten Fakultas Kedokteran Universitas Islam

Al-Azhar Mataram diluar angkatan 2011 dan 2012 yang masih

menjalani kepaniteraan dirumah sakit.

e. Sedang mengalami keadaan lain yang menyebabkan depresi selama

1 tahun terakhir, yaitu (Holmes, 1967):

1. Kematian salah satu / semua anggota keluarga inti.

2. Perpisahan / perceraian orang tua.

3. Menderita sakit kronis (lebih dari 3 bulan)

f. Tidak bersedia untuk menjadi responden.

3.5 Variabel dan Definisi Operasional

Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran

yang dimilliki atau didapatkan oleh penelitian tentang suatu konsep

pengertian tertentu (Notoadmodjo, 2012).

3.5.1 Variabel Independen

54
Variabel independen merupakan variabel yang menjadi sebab

perubahan atau timbulnya variabel dependen (terikat). Variabel ini

juga dikenal dengan nama variabel independen artinya bebas dalam

mempengaruhi variabel lain (Notoadmodjo, 2012).

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah mahasiswa kedokteran

preklinik dan koasisten.

3.5.2 Variabel Dependen

Variabel dependen ini merupakan variabel yang dipengaruh atau

menjadi akibat karena variabel bebas (Notoatmodjo, 2012).

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah tingkat depresi.

3.5.3 Definisi Operasional

Tabel 3.1. Definisi Operasional


3.6 Instrumen Penelitian
No. Variabel Definisi Alat ukur Skala Hasil ukur
1. Variabel Tingkat keparahan Beck Interval  <10 = tidak A A
Dependen: depresi yang dialami Depression A depresi
Tingkat oleh individu Inventory II  10-16 = depresi A
Depresi berdasarkan gejala (BDI II) A ringan.
depresi yang  17-29 = depresi A
dirasakannya A sedang.
(Rahmawati, 2012)  30-63 = depresi A
A berat

2. Variabel - Mahasiswa Kuesioner. Interval 1 : Preklinik


Independen: kedokteran yang 1 pertanyaan 2 : Koasisten
Mahasiswa masih menjalani pada formulir
kedokteran pendidikan data
preklinik dan preklinik di karakteristik
koasisten fakultas kedokteran responden
(Rahmawati, 2012)
- Mahasiswa
kedokteran yang
masih menjalani
kepaniteraan
dirumah
sakit/koasisten
(Rahmawati, 2012)

55
Instrumen penelitian adalah alat yang akan digunakan untuk

pengumpulan data (Notoatmodjo, 2012).

Instrumen dalam penelitian ini adalah:

1) Formulir persetujuan (Informed Consent).

Berisi tentang persetujuan responden untuk menjadi sampel pada

penelitian ini.

2) Formulir data karakteristik responden.

Berisi tentang data responden yang meliputi nama, usia, jenis

kelamin, fakultas, semester, tahun angkatan, serta riwayat 1 tahun

terakhir mengenai keadaan lain yang dapat menyebabkan responden

depresi.

3) Kuesioner BDI II (Beck’s Depression Inventory II).

Kuesioner Beck Depression Inventory II (BDI II) merupakan

instrumen yang paling banyak digunakan untuk mengukur tingkat

keparahan depresi dan dirancang untuk individu yang berusia 13 tahun

atau lebih (Beck, 2006).

Instrumen BDI II terdiri dari 21 item pernyataan yang akan

mengidentifikasi tingkat keparahan depresi. Item pernyataan modifikasi

tersebut meliputi : perasaan sedih, perasaan pesimis, perasaan gagal,

kehilangan kesenangan, perasaan bersalah, perasaan dihukum, membenci

diri sendiri, kritikan terhadap diri, keinginan bunuh diri, mudah

menangis, gelisah, kehilangan ketertarikan, sulit mengambil keputusan,

perasaan tidak berharga, kehilangan energi, perubahan pola tidur,

56
sensitifitas (kemarahan), perubahan polamakan, sulit berkonsentrasi,

kelelahan dan kehilanganketertarikan tehadap seks (Cooper, 2010).

Kuesioner ini menggunakan skala Likert, dengan ketentuan jawaban :

a = 0 : tidak ada gejala (tidak pernah)

b = 1 : ada gejala ringan (kadang-kadang)

c = 2 : ada gejala sedang (cukup sering)

d = 3 : ada gejala berat (hampir selalu/selalu)

Menurut American Psychiatric Association (2000) dari 21

pernyataan kuesioner tersebut dapat disimpulkan :

1) Skor 0-9 = tidak depresi

2) Skor 10-16 = depresi ringan

3) Skor 17-29 = depresi sedang

4) Skor 30-63 = depresi berat

Peneliti tidak melakukan validasi pada penelitian ini, dikarenakan

kuesioner BDI II banyak digunakan oleh peneliti sebelumnya dan juga

merupakan tes standar yang telah diuji dan diterima baik didunia

Internasional maupun di Indonesia dengan hasil validitas yang baik

(Maulida, 2012).

Penelitian yang telah menggunakan kuesioner BDI II yaitu

penelitian yang dilakukan oleh Aulia Maulida pada tahun 2012 yang

berjudul “Gambaran Tingkat Depresi pada Mahasiswa Program Sarjana

yang Melakukan Konseling di Badan Konseling Mahasiswa Universitas

Indonesia”.Uji validitas dan reliabilitas instrumen BDI II dilakukan pada

57
mahasiswa tingkat akhir Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas

Indonesia (FIK UI) angkatan 2008 yang sedang melaksanakan skripsi.

Uji validitas dan reliabilitas instrumen dilakukan secara random dengan

jumlah responden sebanyak 31 mahasiswa pada tanggal 15-20 April

2012. Hasil uji terhadap 21 pernyataan tersebut didapatkan nilai Alpha

Cronbach sebesar 0,896 (Maulida, 2012).

3.7 Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu proses pengumpulan karakteristik subjek

yang diperlukan dalam suatu penelitian (Notoatmodjo, 2012).

Jenis data dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder.

3.7.1 Data Primer

Data primer adalah data atau materi yang dikumpulkan sendiri

oleh peneliti pada saat berlangsungnya penelitian (Notoatmodjo,

2012).

Data primer pada penelitian ini antara lain, jenis kelamin

responden, usia responden, tahun angkatan responden, semester

responden, tingkat depresi pada mahasiswa yang diperoleh dari

pengisian data karakterisitik responden serta pengisian kuesioner BDI

II (Beck’s Depression Inventory II).

3.7.2 Data Sekunder

58
Data sekunder adalah data yang dikumpulkan oleh peneliti yang

didapat dari orang lain atau data diperoleh secara tidak langsung

(Notoatmodjo, 2012).

Data sekunder pada penelitian ini yaitu daftar mahasiswa

angkatan tahun 2011, 2012, 2014 dan 2015, yang diperoleh melalui

database kampus dari bagian kemahasiswaan di Fakultas Kedokteran

Universitas Islam Al-Azhar Mataram.

3.8 Cara Kerja dan Alur Penelitian

3.8.1 Cara Kerja

1) Persiapan Penelitian

Persiapan penelitian diawali dengan pengajuan judul penelitian,

kemudian persetujuan pembimbing, lalu pembuatan proposal

penelitian, dan selanjutnya menentukan kuesioner yang akan

digunakan pada penelitian ini.

2) Menentukan Sampel

Pencarian sampling frame yang diperoleh dari database

kampus, kemudian dilakukan purposive sampling untuk

memperoleh sampel tiap kelompok populasi.

3) Informed Consent, Pengisian Biodata dan Data Karakteristik

Responden.

Informed Consent dilakukan dengan penandatanganan formulir

persetujuan oleh responden. Responden akan mendapatkan salinan

lembar persetujuan yang didalamnya tertera formulir biodata serta

59
data karakteristik responden.

4) Memenuhi Kriteria Subjek Penelitian

Sampel harus memenuhi kriteria inklusi yang terdapat dalam

rancangan penelitian.

5) Pembagian Kuesioner Beck’s Depression Inventory II (BDI II).

Peneliti membagikan kuesioner BDI II kemudian diisi oleh

masing-masing responden pada penelitian ini untuk mengetahui

angka depresi dan tingkat depresi.

6) Pengumpulan Data

Peneliti mengumpulkan formulir informed consent, formulir

data karakteristik responden, serta lembar kuesioner BDI II yang

telah dikerjakan oleh responden. Data yang terkumpul segera

diperiksa untuk melihat kelengkapan data. Apabila terdapat data

yang kurang lengkap, segera dilengkapi.

7) Analisis Data

Data diolah dengan tahapan sebagai berikut:

a. Pengkodean (Coding)

Mengklasifikasikan jawaban responden serta melakukan

pengkodean dan dipindah kelembar coding.

b. Edit (Editing)

Meneliti setiap ldembar kuesioner tentang kelengkapan,

kejelasan, dan kesesuaian antara satu dengan yang lain.

c. Tabulasi (Tabulating)

60
Mengelompokkan data sesuai tujuan kemudian memasukkan

kedalam tabel yang telah disiapkan.

d. Analisis Data

Menganalisis data menggunakan program SPSS for windows

17.1

3.8.2 Alur Penelitian

Pengajuan judul penelitian

Persetujuan pembimbing

Pembuatan proposal

Menetapkan Kuesioner

Populasi (Seluruh mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas


Islam Al-Azhar Mataram)

Menentukan sampel

Informed Consent, pengisian formulir data


karakteristik responden

Memenuhi kriteria subjek penelitian

Pembagian kuesioner BDI II

Pengumpulan data

Analisa data

Bagan 3.1. Alur Penelitian

3.9 Analisa Data

61
Analisa data dilakukan setelah semua data sudah dicek kembali dan

sudah terkumpul sesuai dengan target sampel. Data yang sudah terkumpul

selanjutnya akan diolah dan dianalisa. Pada penelitian ini data akan dianalisa

dengan menggunakan analisis univariat dan analisis bivariat.

3.9.1 Analisis Univariat

Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik

masing-masing variabel, baik variabel independen dan variabel

dependen (Notoatmodjo, 2012).

Analisis univariat dalam penelitian ini menggambarkan distribusi

frekuensi berdasarkan karakteristik responden, yaitu jenis kelamin,

kelompok usia, tahap pendidikan, tahun angkatan, semester, dan

tingkat depresi dari total responden pada penelitian ini serta telah

memenuhi kriteria subjek penelitian.

3.9.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan yang

signifikan antara masing-masing variabel independen dengan variabel

dependen (Notoatmodjo, 2012).

Analisis bivariat dalam penelitian ini adalah untuk melihat

perbedaan tingkat depresi mahasiswa preklinik dan koasisten di

Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram.

Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan jenis uji hipotesis

komparatif tidak berpasangan yang bertujuan untuk mengetahui

perbedaan antara 2 kelompok sampel. Uji statistik yang digunakan

62
untuk menganalisis perbedaan diantara 2 kelompok tersebut adalah

teknik analisis uji T sampel bebas atau sering disebut dengan istilah

Independent Sample T Test dengan batas kemaknaan yang ditetapkan

a = 5% (0,05), Ho ditolak dan Ha diterima jika P-value < 0,05,

sedangkan Ho diterima dan Ha ditolak jika P-value > 0,05.

Independent Sample T-Test digunakan untuk menguji perbedaan rerata

(mean) 2 sampel yang independent dengan skala data berupa skala

interval atau skala ratio. Sebelum menggunakan teknik analisis uji

statistik Independent Sample T-Test, peneliti terlebih dahulu harus

melakukan uji normalitas dan uji homogenitas.

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah data pada

suatu penelitian memiliki ditribusi yang normal atau tidak. Uji

normalitas pada penelitian ini menggunakan uji statistik Kolmogorov -

Smirnov yang terdapat pada pada program SPSS for windows versi

17.0 dengan batas kemaknaan yang ditetapkan a = 5% (0,05). Dasar

pengambilan keputusan pada uji normalitas menggunakan uji statistik

Kolmogorov-Smirnov, yaitu jika nilai signifikansi lebih kecil

dibandingkan dengan batas kemaknaan yang ditetapkan (P-value <

0,05) maka data tersebut dikatakan tidak berdistribusi normal

(abnormal). Sedangkan jika nilai signifikansi lebih besar

dibandingkan dengan batas kemaknaan yang ditetapkan (P-value >

0,05) maka data tersebut dikatakan berdistribusi normal. Setelah data

63
pada penelitian ini dikatakan berdistribusi normal, maka akan

dilanjutkan dengan analisis data menggunakan uji homogenitas.

Dalam ilmu statistik, uji homogenitas digunakan untuk

mengetahui varian dari beberapa populasi sama atau tidak, uji ini

dilakukan sebagai prasyarat dalam analisis uji Independent Sample T-

Test. Uji homogenitas digunakan sebagai bahan acuan untuk

menentukan keputusan uji statistik. Sebelum menentukan hasil uji

Independent Sample T-Test, perlu dilakukan uji F untuk mengetahui

variasi data yang diasumsikan apakah sama atau berbeda. Pada uji

homogenitas dibuat hipotesis Ho yang berarti kedua varian

diasumsikan sama (equal variances assumed), dan Ha yang berarti

kedua varian diasumsikan berbeda (equal variances not assumed).

Ho diterima jika P-value > 0,05 dan Ho ditolak jika P-value < 0,05.

(Kusnadi, 2012; Sudjana, 2005)

3.10 Etika Penelitian

Etika Penelitian adalah suatu pedoman etika yang berlaku untuk setiap

kegiatan penelitian yang melibatkan antara pihak peneliti, pihak yang diteliti

dan masyarakat yang memperoleh dampak dari hasil penelitian tersebut

(Notoatmodjo, 2010).

Etika berlangsung dari awal pembuatan proposal sampai dengan peneliti

menuliskan teori dengan benar. Pada penelitian ini etika yang berlaku antara

lain menghormati harkat dan martabat manusia dengan cara peneliti

mempersiapkan formulir persetujuan penelitian kepada obyek penelitian

64
(informed consent); menghormati privasi dan kerahasiaan obyek penelitian

(respect for privacy and confidentiality) dengan cara peneliti tidak

menampilkan informasi mengenai identitas atau kerahasiaan identitas obyek

kepada orang lain; keadilan dan keterbukaan (respect for justice and

inclusiveness) dengan cara peneliti menjelaskan prosedur penelitian;

memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing harms

and benefits) dengan cara kerugian dari penelitian harus diminimalisasi

sekecil mungkin. Selanjutnya, peneliti menerapkan etika penelitian yang

dibuat dengan meminta perizinan kepada pihak Rumah Sakit Umum Daerah

(RSUD) Bangli, Provinsi Bali dimana peneliti akan melakukan penelitian

terhadap mahasiswa koasisten di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)

Bangli, Provinsi Bali dengan membawa surat rekomendasi berupa surat izin

melakukan penelitian dari Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar

Mataram.

65
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 7 hari. Pengambilan data dilakukan

dengan membagikan kuesioner kepada mahasiswa kedokteran preklinik yang

menjalani kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar

Mataram dan mahasiswa kedokteran koasisten yang menjalani kepaniteraan

di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bangli, Provinsi Bali dengan

menggunakan kuesioner berdasarkan instrumen Beck’s Depression Inventory

II (BDI II). Kemudian dipilih 72 responden yang telah memenuhi kriteria

subjek penelitian, 36 responden dari mahasiswa preklinik yang terbagi

menjadi 18 responden pada kelompok tahun angkatan 2014 dan 18 responden

pada kelompok tahun angkatan 2015, serta 36 responden dari mahasiswa

koasisten yang terbagi menjadi 18 responden pada kelompok tahun angkatan

2011 dan 18 responden pada kelompok tahun angkatan 2012 dengan

menggunakan metode purposive sampling dan menggunakan rumus

Lameshow untuk menentukan besar sampel.

Data yang diperoleh antara lain jenis kelamin, usia, tahap pendidikan

kedokteran, tahun angkatan, dan tingkat depresi pada mahasiswa preklinik

dan koasisten di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram

tahun 2018.

66
4.1.1 Distribusi Responden

Tabel 4.1.1 Distribusi responden pada mahasiswa preklinik dan


koasisten di Fakultas Kedokteran Islam Al-Azhar
Mataram tahun 2018.
Jumlah (n) Persentase (%)
Jenis Kelamin
- Laki-laki 36 50.0
- Perempuan 36 50.0

Kelompok Usia
- 17-19 tahun 30 41.7
- 20-22 tahun 8 11.1
- 23-25 tahun 34 47.2

Tahap Pendidikan
- Preklinik 36 50.0
- Koasisten 36 50.0

Tahun Angkatan
- 2011 18 25.0
- 2012 18 25.0
- 2014 18 25.0
- 2015 18 25.0

Tingkat Depresi
- Depresi ringan 7 9.7
- Depresi sedang 28 11.1
- Depresi berat 37 47.2
Sumber : Data Primer tahun 2018 yang diolah oleh peneliti

Berdasarkan hasil penelitian pada 72 responden yang telah

memenuhi kriteria subjek yang ditetapkan pada penelitian ini,

didapatkan distribusi frekuensi responden yang berjenis kelamin laki-

laki dan perempuan memiliki jumlah yang sama, yaitu berjumlah 36

responden (50%) dari total keseluruhan jumlah responden yang akan

diteliti.

67
Santrock (2006) mengatakan rentang usia masa remaja dimulai

dari usia 12 tahun hingga 22 tahun, maka berdasarkan teori tersebut

peneliti membagi responden menjadi 3 kelompok usia, dimana dalam

penelitian ini distribusi frekuensi responden pada kelompok usia 17-

19 tahun berjumlah 30 responden (41,7%), distribusi frekuensi

responden pada kelompok usia 20-22 tahun berjumlah 8 responden

(11,1%), sedangkan distribusi frekuensi responden pada kelompok

usia 23-25 tahun berjumlah 34 responden (47,2%) dari total

keseluruhan jumlah responden yang akan diteliti.

Tahap pendidikan dalam penelitian ini merupakan tahap

pendidikan yang sedang ditempuh responden saat penelitian ini

berlangsung. Dimana tahap pendidikan di Fakultas Kedokteran

Universitas Islam Al-Azhar Mataram Tahun 2018 terbagi menjadi 2

tahap, yaitu tahap pendidikan preklinik dan koasisten. Berdasarkan

data yang diperoleh oleh peneliti, didapatkan bahwa distribusi

frekuensi responden berdasarkan tahap pendidikan preklinik dan

koasisten memiliki jumlah yang sama, yaitu berjumlah 36 responden

(50%) dari total keseluruhan jumlah responden yang akan diteliti.

Distribusi frekuensi responden berdasarkan tahun angkatan memiliki

jumlah yang sama, yaitu berjumlah 18 responden (25%) dari total

keseluruhan jumlah responden yang akan diteliti yang terbagi dalam 4

kelompok tahun angkatan yaitu tahun angkatan 2011, 2012, 2014 dan

2015.

68
Distribusi frekuensi berdasarkan tingkat depresi pada mahasiswa

preklinik dan koasisten di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-

Azhar Mataram tahun 2018 menunjukkan bahwa sebagian besar

responden yaitu berjumlah 37 responden (51,4%) menderita depresi

berat, dengan depresi sedang berjumlah 28 responden (38,9%) dan

depresi ringan berjumlah 7 responden (9,7%) dari total keseluruhan

jumlah responden yang akan diteliti.

4.1.2 Distribusi Frekuensi Tingkat Depresi Berdasarkan Tahun


Angkatan

Tabel 4.1.2 Distribusi frekuensi tingkat depresi berdasarkan tahun


angkatan.
Tingkat Depresi
Ringan Sedang Berat
Tahun Angkatan
- 2011 .0% 5.6% 19.4% 25.0%
- 2012 .0% 4.2% 20.8% 25.0%
- 2014 .0% 13.9% 11.1% 25.0%
- 2015 9.7% 15.3% 0% 25.0%
Total 9.7% 38.9% 51.4% 100.0%
Sumber : Data Primer tahun 2018 yang diolah oleh peneliti

69
Tahun angkatan adalah tahun responden memulai proses

pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar

Mataram yang dimulai dengan tahap pendidikan prekilinik semester

pertama sebagai mahasiswa kedokteran.

Berdasarkan tabel di atas, hasil analisis distribusi frekuensi

tingkat depresi berdasarkan tahun angkatan menunjukkan bahwa

kelompok responden tahun angkatan 2012 lebih banyak yang

mengalami depresi berat yaitu berjumlah 15 responden (20,8%), dan

yang paling banyak mengalami depresi ringan yaitu kelompok

responden tahun angkatan 2015 berjumlah 7 responden (9,7%),

sedangkan yang paling sedikit mengalami depresi berat yaitu

kelompok responden tahun angkatan 2015 yaitu 0 responden (0%) dan

yang paling sedikit mengalami depresi ringan yaitu kelompok

responden tahun angkatan 2011, 2012, dan 2014 berjumlah

0 responden (0%).

4.1.3 Distribusi Frekuensi Tingkat Depresi Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 4.1.3 Distribusi frekuensi tingkat depresi berdasarkan jenis


kelamin.

70
Distribusi frekuensi Tingkat Depresi Berdasarkan
Jenis kelamin
Jumlah Responden

25

20 Ringan
20
17 17 Linear
(Ringan)
15
11 Sedang
10 Linear
(Sedang )
5
5 Berat
2 Tingkat Depresi Linear
0 (Berat)
Laki-laki Perempuan Total
Ringan
Jenis kelaminSedang Berat
Jenis Kelamin

- Laki-laki 2.8% 23.6% 23.6% 50.0%


- Perempuan 6.9% 15.3% 27.8% 50.0%
Total 9.7% 38.9% 51.4% 100.0%
Sumber : Data Primer tahun 2018 yang diolah oleh peneliti.

Gambar 4.1.3 Distribusi frekuensi tingkat depresi berdasarkan jenis


kelamin.
Sumber : Data Primer tahun 2018 yang diolah oleh peneliti.

71
Berdasarkan tabel dan gambar di atas, hasil analisis distribusi

frekuensi tingkat depresi berdasarkan jenis kelamin pada mahasiswa

kedokteran, dari total 72 responden, ditemukan bahwa jenis kelamin

perempuan yang mengalami depresi berat berjumlah 20 responden

(27,8%), sedangkan pada jenis kelamin laki-laki yang mengalami

depresi berat berjumlah 17 responden (23,6%).

4.1.4 Distribusi Frekuensi Tingkat Depresi Berdasarkan Kelompok Usia

Tabel 4.1.4 Distribusi frekuensi tingkat depresi berdasarkan


kelompok usia.

Tingkat Depresi
Total
Ringan Sedang Berat
Kelompok Usia
- 17-19 tahun 9.7% 25.0% 6.9% 41.7%
- 20-22 tahun .0% 5.6% 5.6% 11.1%
- 23-25 tahun .0% 8.3% 38.9% 47.2%
Total 9.7% 38.9% 51.4% 100.0%
Sumber : Data Primer tahun 2018 yang diolah oleh peneliti.

72
Distribusi frekuensi Tingkat Depresi Berdasarkan
Kelompok usia

Ringan Sedang Berat 28

18

7 6
5 4 4
0 0
17-19 tahun 20-22 tahun 23-25 tahun

Gambar 4.1.4 Distribusi frekuensi tingkat depresi berdasarkan


kelompok usia.
Sumber : Data Primer tahun 2018 yang diolah oleh penelitian.

Berdasarkan tabel dan gambar di atas, hasil analisis distribusi

frekuensi tingkat depresi berdasarkan kelompok usia pada mahasiswa

kedokteran, dari total 72 responden, ditemukan bahwa kelompok usia

17-19 tahun mengalami depresi berat berjumlah 5 responden (6,9%),

kelompok usia 20-22 tahun mengalami depresi berat berjumlah 4

responden (5,6%), sedangkan pada kelompok usia 23-25 tahun

mengalami depresi berat sebanyak 28 responden (38,9%).

73
4.1.5 Perbedaan Tingkat Depresi Mahasiswa Preklinik dan Koasisten

Tabel 4.1.5 Uji normalitas data distribusi frekuensi perbedaan tingkat


depresi mahasiswa preklinik dan koasisten.
Tingkat Depresi
Ringan Sedang Berat
Tahap Pendidikan
- Preklinik 7 (9.7%) 21 (29.2%) 8 (11.1%) 36 (50%)
0,148
- Koasisten 0 (0%) 7 (9.7%) 29 (40.3%) 36 (50%)

Total 7 (9.7%) 28 (38.9%) 37 (51.4%) 72 (100%)


Sumber : Data Primer tahun 2018 yang diolah oleh peneliti.

Berdasarkan tabel di atas, hasil analisis uji normalitas data

distribusi frekuensi perbedaan tingkat depresi mahasiswa preklinik

dan koasisten, ditemukan bahwa mahasiswa koasisten yang

mengalami depresi ringan tidak ada (0,00%) yang mengalami depresi

sedang berjumlah 7 responden (9,7%), dan yang mengalami depresi

berat berjumlah 29 responden (40,3%). Sedangkan pada mahasiswa

preklinik yang mengalami depresi ringan berjumlah 7 responden

(9,7%), yang mengalami depresi sedang berjumlah 21 responden

(29,0%), dan yang mengalami depresi berat berjumlah 8 responden

(11,1%). Berdasarkan hasil uji normalitas data menggunakan uji

74
Kolmogorov-Smirnov didapatkan output yang menunjukkan P-value

Tingkat Depresi Mean SD SE P-value n

- Preklinik 22.22 6.348 1.058 36


0.000*
- Koasisten 34.67 6.284 1.047 36

Sumber : Data Primer tahun 2018 yang diolah oleh peneliti.


sebesar 0,148.

Tabel 4.1.6 Uji statistik Independent Sample T-Test perbedaan


tingkat depresi mahasiswa preklinik dan koasisten.

Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji statistik

Independent Sample T-Test diperoleh output yang menunjukkan

P-value sebesar 0,000, dengan nilai rerata tingkat depresi pada

kelompok mahasiswa preklinik berjumlah 22,22 dari total 36

responden, sedangkan pada kelompok mahasiswa koasisten

berjumlah 34,67 dari total 36 responden.

4.2 Pembahasan

75
Berdasarkan hasil analisis pada tabel 4.1.2, menunjukan bahwa terdapat

perbedaan distribusi frekuensi tingkat depresi berdasarkan tahun angkatan

responden. Kelompok responden tahun angkatan 2012 lebih banyak yang

mengalami depresi berat yaitu berjumlah 15 responden (20,8%) sedangkan

yang paling sedikit mengalami depresi berat yaitu kelompok responden tahun

angkatan 2015 yaitu 0 responden (0%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang

pernah dilakukan oleh Schwenk (2010) mengenai Depression, Stigma and

Suicidal Ideationin Medical Students, pada penelitian tersebut dikatakan

bahwa tahun angkatan yang lebih tua dan telah menjalani kepaniteraan di

rumah sakit lebih rentan mengalami depresi dibandingkan tahun angkatan

yang lebih muda, dikarenakan faktor stresor yang lebih berat serta pada

mahasiswa dengan tahun angkatan yang lebih tua juga berada dalam tahap

transisi dari usia remaja menuju usia dewasa, dimana pada usia dewasa faktor

stresor akan semakin bertambah. Hal ini diperkuat dari hasil analisis pada

tabel 4.1.4, yang menunjukan bahwa terdapat perbedaan distribusi frekuensi

tingkat depresi berdasarkan kelompok usia responden, dimana pada

penelitian ini kelompok responden usia dewasa (23-25 tahun) cenderung

lebih banyak yang mengalami depresi berat, yaitu berjumlah 28 responden

(38,9%) dibandingkan dengan kelompok responden usia remaja (17-22

tahun), yaitu berjumlah 9 responden (12,5%).

Berdasarkan hasil analisis pada tabel 4.1.3, menunjukan bahwa terdapat

perbedaan distribusi frekuensi tingkat depresi berdasarkan jenis kelamin

responden. Dimana pada penelitian ini kelompok mahasiswa berjenis kelamin

76
perempuan cenderung lebih banyak mengalami depresi berat (27,8%)

dibandingkan dengan kelompok mahasiswa berjenis kelamin laki-laki

(23,6%). Davison (2010) dalam Abnormal Psychology mengatakan bahwa

pada pengamatan yang universal terlepas dari kultur atau negara, prevalensi

gangguan depresi berat pada wanita dua kali lebih besar dibanding pria, 20%

dari semua wanita dan 10% dari semua pria akan mengalami masa depresi

berat semasa hidupnya. Hasil pada penelitian ini juga sesuai dengan

penelitian yang dilakukan World Health Organization (2017) yang

mengatakan bahwa depresi lebih sering terjadi pada perempuan (5,1%)

dibandingkan laki-laki (3,6%). Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Deni

(2015) mengenai perbedaan tingkat depresi siswa berdasarkan jenis kelamin,

mengemukakan bahwa siswa berjenis kelamin perempuan lebih banyak

mengalami depresi dibandingkan dengan siswa berjenis kelamin laki-laki.

Berdasarkan hasil analisis perbedaan tingkat depresi mahasiswa preklinik

dan koasisten di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram

tahun 2018 pada tabel 4.1.6 dapat disimpulkan bahwa hasil dari uji statistik

Independent Sample T-Test pada penelitian ini sesuai dengan hipotesis yang

dikemukakan oleh peneliti, yaitu terdapat perbedaan tingkat depresi yang

bermakna antara mahasiswa preklinik dan koasisten di Fakultas Kedokteran

Universitas Islam Al-Azhar Mataram tahun 2018.

Hasil dari penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang

dilakukan oleh Widosari (2010) mengenai perbedaan derajat kecemasan dan

depresi pada mahasiswa kedokteran preklinik dan koasisten, yang

77
menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan tingkat depresi yang bermakna

antara mahasiswa preklinik dan koasisten. Pada penelitian lain yang

dilakukan oleh Chou (2016) mengenai perbedaan proporsi gangguan depresi

dan gangguan cemas antara mahasiswa preklinik dan mahasiswa koasisten di

Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta, yang menyimpulkan bahwa

terdapat perbedaan proporsi gangguan depresi yang bermakna antara

mahasiswa preklinik dan koasisten.

Berdasarkan hasil dan pembahasan pada penelitian ini, peneliti

berpendapat bahwa mahasiswa koasisten cenderung lebih rentan dan lebih

berisiko mengalami depresi berat dibandingkan dengan mahasiswa preklinik

di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar tahun 2018. Hal ini

sesuai dengan hasil analisis uji statistik pada penelitian ini yang

menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan tingkat depresi yang bermakna

antara mahasiswa preklinik dan koasisten di Fakultas Kedokteran Universitas

Islam Al-Azhar tahun 2018 yang menunjukan bahwa distribusi frekuensi

berdasarkan tingkat depresi pada kelompok mahasiswa koasisten didapatkan

lebih banyak responden yang mengalami depresi berat dibandingkan dengan

depresi sedang dan ringan, sedangkan pada kelompok mahasiswa preklinik

didapatkan lebih banyak responden yang mengalami depresi sedang

dibandingkan dengan depresi berat dan ringan.

4.3 Keterbatasan Penelitian

Adapun kelemahan-kelemahan yang terdapat pada penelitian ini adalah

sebagai berikut:

78
1. Dalam proses pengambilan responden pada kelompok mahasiswa

koasisten, peneliti hanya mengambil mahasiswa koasisten yang

menjalani kepaniteraan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bangli,

Provinsi Bali sebagai responden, sedangkan yang menjalankan

kepaniteraan dirumah sakit lain tidak terjangkau oleh peneliti

dikarenakan keterbatasan waktu, biaya dan tenaga dari peneliti.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan mengenai perbedaan tingkat depresi

mahasiswa preklinik dan koasisten di Fakultas Kedokteran Universitas Islam

Al-Azhar Mataram tahun 2018, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

5.1.1 Distribusi frekuensi tingkat depresi pada mahasiswa preklinik di

Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram tahun 2018

menunjukan bahwa mahasiswa preklinik lebih banyak mengalami

depresi sedang (29,0%) dibandingkan dengan depresi ringan (9,7%),

dan depresi berat (11,1%).

5.1.2 Distribusi frekuensi tingkat depresi pada mahasiswa koasisten di

Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram tahun 2018

79
menunjukan bahwa mahasiswa koasisten lebih banyak mengalami

depresi berat (40,3%) dibandingkan dengan depresi sedang (9,7%),

dan depresi ringan (0%).

5.1.3 Terdapat perbedaan tingkat depresi yang bermakna antara mahasiswa

preklinik dan koasisten di Fakultas Kedokteran Universitas Islam

Al-Azhar Mataram tahun 2018 dengan P-value = 0,000.

5.2 Saran

5.2.1 Bagi Ilmu Kedokteran

Perlu dikembangkan lagi penelitian tentang tingkat depresi

mahasiswa preklinik dan koasisten di fakultas kedokteran agar bisa

dijadikan tambahan pengetahuan dalam ilmu kedokteran dan dijadikan

acuan dalam melakukan tindakan pencegahan ataupun penanganan

depresi pada mahasiswa khususnya mahasiswa kedokteran.

5.2.2 Bagi Mahasiswa Kedokteran

Diharapkan bagi mahasiswa kedokteran untuk perlu

meningkatkan kemampuannya dengan giat belajar, berpikir positif,

menjadikan belajar sebagai suatu kebiasaan yang menyenangkan

bukan sebagai tuntutan sehingga diharapkan dapat mengurangi tingkat

depresi pada mahasiswa

80
5.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya

Peneliti selanjutnya diharapkan dapat meneliti variabel-variabel

atau faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya depresi

pada mahasiswa kedokteran preklinik dan koasisten di Fakultas

Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram.

81

Anda mungkin juga menyukai