Anda di halaman 1dari 41

BAB 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Puskesmas merupakan fasilitas umum pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan upaya untuk mencapai kesehatan perseorangan tingkat

pertama, dan mengutamakan upaya promotif dan preventif untuk mencapai derajat

kesehatan masyarakat tertinggi di bagian wilayah kerjanya (Widgago, 2016).

Puskesmas berperan dalam mewujudkan masyarakat dengan perilaku sehat,

mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, hidup dalam lingkungan

yang sehat, dan memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik individu, keluarga,

kelompok dan masyarakat (Putri, dkk., 2017)

Program yang menjadi dasar pelayanan kesehatan di puskesmas adalah

memberikan perawatan primer yang berkualitas tinggi, kompeten secara budaya,

komprehensif, serta memberikan layanan pendukung seperti pendidikan

kesehatan. Jenis dan jumlah tenaga kesehatan dan nonkesehatan dihitung

berdasarkan analisis beban kerja dengan mempertimbangkan pelayanan yang

diselenggarakan, jumlah penduduk, luas wilayah kerja serta ketersedianaan

fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama lainnya di bagian wilayah kerja dan

pembagian waktu kerja. Jenis tenaga kesehatan di puskesmas terdiri atas dokter,

dokter gigi, perawat, bidan, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan

lingkungan, ahli laboratorium medik, tenaga gizi, tenaga kefarmasian dan tenaga

1
2

nonkesehatan yang mendukung kegiatan ketatausahaan serta administrasi

keuangan (Widgago, 2016).

Saat menjalani tugas pelayanan, ada banyak tenaga kesehatan yang

mengalami stress. Karena adanya paparan stres yang terus-menerus dan luar biasa

berat pada petugas kesehatan, akibatnya stres yang dialami memberikan efek pada

kualitas pelayanan sehingga tenaga kesehatan dapat mengalami depresi, kelelahan

ekstrim bahkan merasa kurang terampil dalam menjalankan tugas. Akibat dari

stress kerja, ada banyak tenaga kesehatan yang mengalami peningkatan masalah

tidur, kelelahan fisik, kelelahan emosional, dan ketakutan terkait dengan

pekerjaan (Mental Health America, 2021). Risiko lain yang juga sangat berpotensi

mempengaruhi kualitas hidup dan produktivitas pelayanan medis tenaga

kesehatan adalah aspek kesehatan mental termasuk risiko burnout syndrome atau

keletihan mental.

Burnout adalah jenis khusus dari stres terkait dengan pekerjaan atau

keadaan kelelahan fisik/emosional yang melibatkan berkurangnya produktifitas

atau pencapaian dan hilangnya identitas pribadi. Menurut Mental Health America

(2021), burnout mengacu pada kelelahan dan sikap apatis yang dirasakan

seseorang ketika berhadapan dengan stres di tempat kerja yang berkepanjangan.

Ada tiga area utama gejala yang dianggap sebagai tanda burnout, diantaranya

kelelahan, mengasingkan diri dari kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaan dan

penurunan kinerja (National Center for Biotechnology Information, 2020).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Denning, dkk (2021) pada tenaga

kesehatan di United Kingdom, Poland, and Singapore, dari 3.537 petugas

kesehatan yang berpartisipasi dalam penelitian, 2.364 diantaranya mengalami


3

kelelahan, 701 lainnya mengalami kecemasan, dan 389 mengalami depresi.

Penelitian kepada tenaga kesehatan Indonesia yang dilakukan oleh tim peneliti

dari Program Studi Magister Kedokteran Kerja Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia mendapatkan hasil bahwa sebanyak 83% tenaga kesehatan yang ada di

Indonesia telah mengalami burnout. Berdasarkan penelitian dari Maramis dan

Cong (2019) yang dilakukan kepada perawat di Rumah Sakit Advent Manado,

ditemukan hasil bahwa dari 51 responden, 26 diantaranya memiliki burnout

rendah dan 25 lainnya memiliki burnout sedang. Untuk menghadapi burnout,

tenaga kesehatan dapat mengandalkan kemampuan individu beradaptasi dalam

mengatasi situasi yang sulit sehingga dapat mengurangi gejala burnout (Pangestu,

2017). Kemampuan individu dalam melakukan adaptasi yang baik dengan

lingkungan atau permasalahan dikenal dengan resilience.

American Psychological Association (2012) mendefinisikan resilience

sebagai proses adaptasi yang baik dalam menghadapi kesulitan, trauma, ancaman,

atau sumber stress yang signifikan seperti masalah keluarga, masalah kesehatan,

stresor di tempat kerja atau masalah keuangan. Berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh Setiawati dkk (2020), ditemukan bahwa semakin rendah

resilience, maka semakin tinggi kecemasan yang dialami petugas kesehatan

sehingga dapat meningkatkan resiko burnout (Setiawati, dkk., 2020). Dengan

meningkatnya resilience, individu akan mampu mengatasi masalah dan berbagai

situasi negatif dan dapat meningkatkan kemampuan dalam bekerja agar dapat

meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan dalam pekerjaan

sehingga mengurangi resiko burnout.


4

Teori keperawatan yang mendukung dalam penelitian ini adalah

adaptation theory model yang dikemukakan oleh Sister Callista Roy. Dalam teori

ini, Roy menjelaskan bahwa adaptasi terjadi saat seseorang merespon secara

positif terhadap perubahan yang terjadi, dan itu merupakan proses dan hasil dari

individu yang menggunakan kesadaran, refleksi diri dan pilihan untuk

menciptakan perubahan dan beradaptasi. Proses pemecahan masalah yang berhasil

membuat individu beradaptasi dan mengakibatkan peningkatan pencapaian tujuan

individu yang mencakup kelangsungan hidup, pertumbuhan, reproduksi dan

integritas (Budiono, 2016). Dalam teori ini, resilience merupakan suatu hal positif

yang sangat membantu individu dalam melakukan pekerjaan. Individu yang

memiliki resilience baik adalah individu yang dapat beradaptasi dengan

lingkungan kerja atau tekanan kerja sehingga segala pekerjaan dapat dilakukan

dengan baik, sehingga menurunkan resiko burnout.

Dari hasil wawancara yang dilakukan pada Agustus dan November 2021

di Puskesmas Koya dan Tonsea Lama Tondano pada 10 orang, mendapatkan hasil

bahwa 10 orang tenaga kesehatan mengalami stress saat bekerja dan 8 dari 10

tenaga kesehatan mengatakan mampu beradaptasi. Perbedaan penelitian ini

dengan penelitian yang lain yaitu penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh

Mirad (2019) dilakukan di rumah sakit kepada perawat, sedangkan penelitian ini

akan dilakukan di puskesmas dengan responden seluruh tenaga kesehatan di

puskesmas koya dan puskesmas tonsea lama tondano. Berdasarkan hal tersebut,

maka peneliti melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Resilience dengan

Burnout pada Tenaga Kesehatan di Puskesmas Koya dan Tonsea Lama Tondano”.
5

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah pada penelitian ini

adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah gambaran resilience pada tenaga kesehatan di Puskesmas

Koya dan Tonsea Lama Tondano?

2. Bagaimanakah gambaran burnout pada tenaga kesehatan di Puskesmas

Koya dan Tonsea Lama Tondano?

3. Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara resilience dengan

burnout pada tenaga kesehatan di Puskesmas Koya dan Tonsea Lama

Tondano?

Tujuan Penelitian

Setelah meninjau latar belakang dan masalah yang ada, maka tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan Resilience dengan Burnout pada

Tenaga Kesehatan di Puskesmas Koya dan Tonsea Lama Tondano.

Kegunaan Penelitian

Bagi Tenaga Kesehatan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai burnout

dan resilience dan membantu tenaga kesehatan meningkatkan resilience sehingga

dapat menurunkan resiko burnout


6

Bagi Institusi Pendidikan

Penelitian ini dapat digunakan sebagai bacaan dan referensi tambahan di

perpustakaan Universitas Klabat khususnya bagi mahasiswa Fakultas

Keperawatan yang akan melakukan penelitian selanjutnya mengenai resilience

dan burnout.

Bagi Perkembangan Ilmu Penelitian

Penelitian ini dapat menambah informasi pengetahuan tentang resilience

dengan burnout pada tenaga kesehatan. Dengan pengetahuan dan pengalaman

melalui penelitian keperawatan, maka diharapkan dapat digunakan sebagai acuan

untuk memperkecil kemungkinan burnout

Bagi Peneliti

Penelitian ini memberikan ilmu dan pengalaman yang berkesan bagi

peneliti dan menjadi tugas akhir sebagai syarat untuk lusus dan mencapai gelar

sarjana keperawatan. Penelitian ini juga dapat menjadi acuan bagi penelitian

selanjutnya agar dapat menemukan ide baru.

Cakupan dan Batasan Masalah

Cakupan dalam penelitian ini adalah semua tenaga kesehatan yang bekerja

di Puskesmas Koya dan Tonsea Lama Tondano. Batasan dalam penelitian ini

adalah semua tenaga kesehatan yang bekerja di Puskesmas Koya dan Tonsea

Lama Tondano yang bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini melalui

penandatanganan informed consent. Penelitian dilakukan pada semester 7,

Desember 2021.
7

Definisi Istilah yang Digunakan dalam Penelitian

Burnout

Burnout adalah keadaan dimana seseorang merasa stress dan mengalami

kelelahan secara emosional dan secara fisik dalam lingkungan pekerjaan. Burnout

dapat ditinjau berdasarkan tiga aspek, yaitu kelelahan, depersonalisasi dan

penurunan pencapaian diri. Burnout dapat dikategorikan berdasarkan interpretasi

yaitu rendah, sedang dan tinggi.

Resilience

Resilience diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan

kemampuan penyesuaian diri yang tinggi saat dihadapkan pada tekanan internal

maupun eksternal. Resilience dapat ditinjau berdasarkan tujuh aspek, yaitu

regulasi emosi, kontrol impuls, optimisme, analisa kasual, empati, efikasi diri, dan

pencapaian. Resilience dapat dikategorikan berdasarkan interpretasi yaitu rendah,

sedang dan tinggi.

Puskesmas Koya

Puskesmas koya adalah salah satu pusat kesehatan masyarakat yang berada

di kelurahan Koya, Tondano Barat, Minahasa.

Puskesmas Tonsea Lama

Puskesmas tonsea lama adalah salah satu pusat kesehatan masyarakat yang

berada di kelurahan tonsea lama, Tondano Selatan, Minahasa.


8

Tenaga Kesehatan

Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam

bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui

pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan

kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Menurut Peraturan Mentri

Kesehatan Republik Indonesia nomor 43 tahun 2019 tentang Pusat Kesehatan

Masyarakat, persyaratan ketenagaan di puskesmas mencakup dokter sebagai

layanan primer, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga promosi kesehatan dan ilmu

perilaku, tenaga sanitasi lingkungan, nutrisionis, tenaga apoteker dan/atau tenaga

teknis kefarmasian dan ahli teknologi laboratorium medi


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan membahas tentang teori dan konsep yang berhubungan

dengan variabel dalam penelitian ini, yaitu tentang hubungan resilience dengan

burnout pada tenaga kesehatan, kerangka konseptual dan hipotesis penelitian.

Burnout

Definisi

Burnout merupakan fenomena pekerjaan yang berkaitan dengan sindrom

yang diakibatkan oleh stress kronis di tempat kerja (WHO, 2019). Istilah burnout

pertama kali digunakan oleh seorang psikolog Amerika Herbert Freudenbergrer

pada tahun 1970 untuk menggambarkan stress berat yang mengakibatkan

kelelahan dan lesu yang berakhir dengan ketidakmampuan untuk mengatasi stress

yang dialami (Institute for Quality and Efficiency in Health Care, 2020). Menurut

Fraga (2019), burnout adalah kondisi dimana terjadi kelelahan mental dan fisik

yang menyebabkan kehilangan kesenangan dari karir, pertemanan dan interaksi

dengan keluarga. Burnout dapat diakibatkan oleh paparan terus-menerus terhadap

situasi yang menyebabkan stres.

Menurut Scott (2020), saat seseorang merasa lelah, tidak menyukai

pekerjaannya, dan merasa kurang mampu dalam melakukan pekerjaan di tempat

9
kerja, itu menunjukan tanda-tanda burnout. Individu yang terpapar stress tingkat

tinggi secara terus-menerus sangat berpotensi mengalami burnout. Pada

umumnya, orang yang rentan mengalami burnout adalah orang yang bekerja

dalam membantu professional, seperti perawatan dalam keadaan darurat medis,

yaitu dokter dan perawat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Maharani &

Triyoga (2012) yang dilakukan kepada perawat dengan lama kerja 1-5 tahun, dari

53 responden 84,8% perawat mengalami kejenuhan dalam pekerjaan.

Penyebab

Burnout telah digambarkan sebagai stres jangka panjang terkait pekerjaan

yang tidak dapat diselesaikan yang mengarah pada kelelahan, sinisme, perasaan

terlepas dari tanggung jawab pekerjaan seseorang, dan kurangnya rasa pencapaian

pribadi (Kane, 2020). Burnout yang terjadi pada tenaga kesehatan diakibatkan

oleh rasa tanggungjawab karena menghadapi rasa sakit dan penderitaan sesama

manusia, tingkat kurang tidur yang tinggi yang dapat menyebabkan kelelahan,

serta adanya pandemi Covid-19 yang menghambat perawatan dan meningkatkan

beban kerja tenaga kesehatan (Mental Health America, 2021). Burnout sangat

berpengaruh terhadap hasil kerja dan dapat meregangkan hubungan dengan orang-

orang sekitar serta dapat mengakibatkan penurunan kesehatan (Nareza, 2020).

Penyebab dari burnout dapat dibagi menjadi dua faktor, yaitu faktor

personal dan lingkungan. Faktor personal meliputi kepribadian, harapan,

demografi, kontrol fokus, dan tingkat efisiensi dari pekerjaan. Faktor lingkingan

diantaranya beban kerja, penghargaan, kontrol, kepemilikan, keadilan dan nilai

(Nursalam, 2013). Penyebab lain yang dapat meningkatkan risiko burnout

termasuk terlalu banyak bekerja secara terus-menerus tanpa istirahat yang cukup,

10
berada di bawah tekanan waktu, atau memiliki konflik dengan rekan kerja

(IQEHC, 2020).

Dimensi

Burnout tidak hanya terkait pada faktor tunggal. Burnout muncul dari hasil

interaksi antara beberapa faktor. Ada tiga dimensi burnout menurut Nursalam

(2013), yaitu kelelahan, depersonalisasi dan penurunan pencapaian diri :

Kelelahan. Akibat dari kelelahan salah satunya yaitu tidak responsive

terhadap orang-orang dan merasa pekerjaan yang dikerjakan sebagai penyiksaan

karena berpikir tidak mampu menaggung hari-harinya dalam menjalankan tugas

dan selalu merasa tegang. Kelelahan fisik yang dialami seseorang merupakan

tanda awal burnout.

Depersonalisasi. Hal ini merupakan bagaimana seseorang berkembang

dalam sikap dan perasaan negatif terhadap penerima pelayanan. Depersonalisasi

biasanya ditandai dengan sikap yang sinis kepada oranglain, sikap kasar, menjaga

jarak dengan rekan di lingkungan pekerjaan serta menarik diri (Maslach dan

Jackson, 1996).

Penurunan pencapaian diri. Seseorang cenderung mengevaluasi dirinya

sendiri sebagai hal yang negatif dan mulai melihat melihat diri sendiri sebagai

orang yang tidak berhasil. Orang dengan kecenderungan ini akan berpikir bahwa

mereka tidak membuat kemajuan dan akan gagal dalam pekerjaan yang mereka

lakukan (Nursalam, 2013).

11
Gejala

Menurut Nareza (2020) ada beberapa gejala umum dari burnout yang

paling sering muncul. Gejala tersebut diantaranya kelelahan dan hilang semangat

bekerja, benci dengan pekerjaan, performa kerja menurun, mudah marah, menarik

diri dari lingkungan, dan mudah sakit.

Kelelahan dan hilang semangat bekerja. Saat mengalami burnout,

seseorang dapat kehilangan semangat karena bosan menjalani rutinitas yang sama

setiap hari. Akibat dari kehilangan semangat, seseorang akan merasa lelah dengan

apa yang dikerjakannya, sehingga itu dapat berpengaruh pada kehidupan sehari-

hari terlebih pada hasil kerja (Fadli, 2021)

Benci dengan pekerjaan. Orang yang mengalami burnout cenderung

mengasingkan diri dari aktivitas di tempat kerja karena merasa bahwa

pekerjaannya membuat stress dan frustasi. Akibat dari hal tersebut, orang dengan

burnout akan membenci pekerjaan yang dilakukan karena ingin menghindar dari

hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan (Rofiqoh, 2021).

Performa kerja menurun. Burnout dapat memicu hilangnya minat

seseorang terhadap pekerjaan yang sedang dikerjakan. akibat dari kehilangan

minat tersebut sehingga orang yang mengalami burnout tidak mau terlibat dengan

pekerjaan yang sedang dilakukan. Hal tersebut mengakibatkan penurunan

performa dalam melakukan pekerjaan (Nareza, 2020).

Mudah marah. Orang yang mengalami burnout akan cenderung mudah

marah. Karena orang dengan burnout tidak hanya mereasa lelah secara fisik,

namun juga merasa lelah secara emosional karena pengaruh pekerjaan. Akibat

12
dari kelelahan secara emosional tersebut, sehingga seseorang dengan burnout

akan mudah tersinggung dan marah (Harsimi, 2020)

Menarik diri dari lingkungan. Seseorang yang mengalami burnout akan

ditandai dengan sikap sinis kepada rekan kerja. Hal tersebut akan mengakibatkan

rasa tidak nyaman saat berada dalam lingkungan pekerjaan, dan orang dengan

burnout akan merasa lebih nyaman untuk berada pada lingkungan yang jauh dari

pekerjaan atau rekan kerja (Dewi, dkk., 2021).

Mudah sakit. Burnout yang berkepanjangan dan tidak diatasi dengan

baik dapat mengakibatkan imun tubuh menurun. Imun tubuh yang menurun

mengakibatkan individu dengan burnout rentan terkena penyakit seperti flu, pilek,

sakit kepala, dan gangguan pencernaan. Selain itu penderita burnout juga dapat

mengalami gangguan tidur dan depresi (Nareza, 2020).

Gejala lain yang dapat ditemukan pada individu yang mengalami burnout

adalah kehilangan nafsu makan, perubahan pola tidur, berhenti bersosialisasi,

cepat marah, penurunan sistem kekebalan tubuh sehingga lebih rentan terhadap

pilek, flu, dan insomnia. Burnout juga dapat menyebabkan masalah kesehatan

mental seperti depresi dan kecemasan. Dalam kasus yang parah, penderita

burnout melarikan diri dari pekerjaan dan stress dengan berfantasi lewat obat-

obatan, alkohol, atau makanan sebagai cara untuk mematikan rasa sakit emosional

mereka (Fraga, 2019).

13
Faktor Risiko

Menurut Mayo Clinic (2021), ada beberapa faktor yang dapat

meningkatkan risiko burnout. Faktor-faktor tersebut diantaranya yaitu kurang

kontrol, harapan jabatan atau pekerjaan, dinamika tempat kerja yang

disfungsional, aktifitas ekstrim, kurangnya dukungan sosial dan

ketidakseimbangan kehidupan kerja.

Kurang kontrol. Karena banyaknya tuntutan pekerjaan dan keinginan

untuk melakukan pekerjaan dengan sempurna, maka seseorang dapat kehilangan

kendali dengan apa yang sedang dikerjakan. hal tersebut mengakibatkan tugas

yang dikerjakan tidak sesuai dengan harapan atau tidak terselesaikan

(Robinson,2015).

Harapan jabatan atau pekerjaan. Tidak dapat memenuhi tuntutan atau

harapan dari atasan atau teman kerja berkontribusi besar pada stress yang

mengakibatkan burnout. Hal ini juga dapat disebabkan olej job desc atau tuntutan

pekerjaan yang tidak sesuai dengan apa yang menjadi pekerjaan utama (Maslach

dan Leither, 2001).

Dinamika tempat kerja yang disfungsional. Saat seseorang berada

dalam lingkungan kerja yang tidak nyaman seperti diganggu saat bekerja,

memiliki rekan kerja atau atasan yang sering meremehkan pekerjaan atau yang

memantau kerja karyawan secara ketat dapat mengakibatkan burnout (Mayo

Clinic, 2021).

14
Aktivitas ekstrim. Pekerjaan dengan tenggat waktu yang singkat juga

merupakan salah satu fakor risiko yang dapat menyebabkan burnout. Dalam

melakukan pekerjaan, terkadang orang ingin mengejar target atau memaksakan

diri untuk menyelesaikan pekerjaan (Wigert dan Agrawal, 2018).

Kurangnya dukungan sosial. Saat mengalami stress dan tidak ada

dukungan dari lingkungan, keluarga, teman dan lainnya dapat mengakibatkan

stress yang lebih berat. Stres juga dapat mengakibatkan seseorang terisolasi dari

dunia luar (Eatough, 2021).

Ketidakseimbangan kehidupan kerja. Saat seseorang menghabiskan

lebih banyak waktu untuk pekerjaan mereka, maka akan menguras semua energi

dan waktu sehingga tidak ada energi dan waktu yang digunakan untuk rekreasi

Bersama keluarga atau teman. Hal tersebut dapat menimbulkan stress

(MayoClinic, 2021).

Penanganan

Saat mengalami burnout, seseorang dapat membuat perubahan pada

lingkungan kerja mereka seperti perubahan posisi atau pekerjaan baru sehingga

dapat mengurangi risiko burnout yang lebih parah. Selain itu rekreasi dan liburan

juga dapat memberikan kelegaan dari beban pekerjaan untuk sementara. Untuk

mengatasi burnout, diperlukan istirahat dari pekerjaan yang dijadwalkan secara

teratur serta pembaharuan jadwal harian (Scott, 2020).

Menurut Fraga (2020), stress mungkin tidak dapat dihindari, namun

burnout dapat dicegah. Ada empat cara untuk menghindari burnout, yaitu dengan

latihan, konsumsi makanan yang seimbang, latihan kebiasaan tidur yang baik dan

minta bantuan.

15
Latihan. Olahraga tidak hanya baik untuk kesehatan fisik, tetapi juga

dapat membantu dalam mengurangi stres. Beberapa kegiatan relaksasi juga sangat

membantu dalam mengurangi stres, seperti meditasi dan yoga (Fadila, 2022).

Konsumsi makanan yang seimbang. Makanan yang sehat dapat

memenuhi kebutuhan nutrisi. Makanan sehat yang dipenuhi asam lemak omega-3

dapat menjadi antidepresan alami. Makanan dengan kandungan omega-3 seperti

kenari, dan ikan dapat membantu meningkatkan suasana hati (Fadli, 2020).

Latihan kebiasaan tidur yang baik. Tubuh manusia membutuhkan

waktu untuk beristirahat. Itu sebabnya kebiasaan tidur yang baik sangat penting

untuk manusia. Untuk meningkatkan kualitas tidur lebih baik untuk menghindari

kafein sebelum tidur dan tidur dengan lingkungan yang nyaman (Fraga (2020).

Minta bantuan. Saat mengalami burnout, sangat penting untuk

mendapatkan bantuan. Bantuan yang diperlukan dapat dilakukan dengan

mengajak bicara dengan orang-orang. Dengan berbicara kepada teman, sahabat

atau keluarga dapat membantu melepaskan stress akibat pekerjaan (Fadli, 2020).

Alat Ukur

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur burnout yaitu Maslach

Burnout Inventory (MBI). MBI diciptakan oleh Maslach dan Jackson pada tahun

1981 untuk mengukur burnout pada pekerja. MBI digunakan untuk menilai

apakah seseorang mengalami resiko burnout. Ada beberapa cara untuk mengukur

burnout seseorang menggunakan MBI, diantaranya MBI-HSS (for human services

workers), MBI-ES (for educators), MBI-GS (for general use) dan MBI-GS (for

students). Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan MBI-GS karena

16
pertanyaan dalam MBI-GS bersifat umum dan cocok untuk digunakan kepada

tenaga kesehatan (Maslach, Schaufeli dan Leiter, 2001).

Resilience

Definisi

Resilience diperkenalkan pada tahun 1950-an oleh Blok dengan nama ego-

resiliency (ER) yang artinya kemampuan yang melibatkan penyesuaian diri yang

tinggi dan cekatan saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal

(Wulandari, 2020). Menurut American Psychology Association (2012), resilience

merupakan proses adaptasi yang baik dalam menghadapi kesulitan, kesedihan,

trauma, tragedi, ancaman, atau sumber stres yang signifikan seperti masalah

keluarga dan teman, masalah kesehatan yang serius, atau stresor di tempat kerja

dan masalah keuangan. Seseorang dengan resilience yang baik tidak

memungkinkan seseorang tersebut terhindar dari stress karena ada faktor tertentu

yang menyebabkan tekanan emosional yang cukup besar. Seseorang dengan

resilience yang baik juga mengalami emosi yang membuat mereka stress seperti

marah, sedih, kecewa, cemas, khawatir dan takut seperi orang pada umumnya.

Namun orang yang memiliki resilience yang baik dapat menemukan cara untuk

memulihkan kondisi psikologis mereka dengn segera lalu bangkit dari

keterpurukan sehingga mereka memiliki pemikiran bahwa aka nada hal baik dan

memiliki harapan akan masadepan (Hendriani, 2018).

17
Manfaat

Resilience dapat memberikan seseorang kekuatan emosional dan

kemampuan dalam menemukan masalah serta untuk tetap tenang dalam

menghadapi emosi dan kondisi penuh tekanan serta mengatasi trauma dan

kesulitan (Hurley, 2020). Orang yang memiliki resilience dapat menunjukan

kemampuan intelektual yang baik, kemampuan untuk memecahkan masalah,

memiliki temperamen yang easy-going, memiliki kepribadian yang bisa

beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi, memiliki self image yang positif,

optimis, memiliki nilai pribadi dan nilai budaya yang baik serta mempunyai selera

humor. Individu yang memiliki resiliensi cenderung mudah untuk bersosialisasi

dengan lingkungan sekitar serta memiliki keterampilan berpikir dan keterampilan

bersosial yang baik, memiliki orang sekitar yang mendukung, yakin pada

kemampuan diri sendiri dalam mengambil keputusan serta memiliki spiritualitas

dan religiusitas (Wulandari, 2020).

Dimensi

Menurut Hurley (2020), ada tujuh hal yang menjadi dimensi resilience.

Dimensi tersebut yaitu regulasi emosi, kontrol impuls, optimism, Analisa kasual,

empati, efikasi diri dan pencapaian.

Regulasi emosi. Kemampuan ini untuk mengendalikan emosi. Ini adalah

saat dimana seseorang berada dalam situasi yang menantang, dan berpikir untuk

mengurangi kemarahan atau kecemasan sehingga dapat tetap tenang (Chowdhury,

2022)

18
Kontrol impuls. Kemampuan untuk mengatasi dan memecahkan masalah

dapat membantu seseorang mengatasi tuntutan pekerjaan. Dengan pemecahan

masalah yang baik, seseorang dapat melalui dan mengatasi kesulitan yang

dialami. Dengan begitu, maka akan mampu bersosialisasi dengan lingkungan

dalam pekerjaan (Klein, 2020)

Optimisme. Optimisme merupakan sikap mental yang ditanndai dengan

adanya harapan atau keyakinan akan kesuksesan dan masa depan yang positif.

Orang yang optimis adalah mereka yang mengharapkan hal-hal yang baik akan

terjadi (Scott, 2020).

Analisa kasual. Sebagai kemampuan untuk menganalisa masalah dan

akibat yang akan terjadi. Individu dapat mengembangkan keterampilan untuk

membantu dalam penilaian masalah diri sendiri. Saat mampu mengatasi masalah

sendiri, seseorang dapat membantu orang dalam membuat keputusan yang

bertanggung jawab (Hurley, 2020).

Empati. Empati merupakan salah satu kemampuan untuk memahami apa

yang oranglain rasakan secara emosional, serta melihat sesuatu dari sudut pandang

mereka dan membayangkan diri berada dalam posisi yang dialami oranglain.

Empati pada dasarnya berarti menempatkan diri pada kondisi oranglain (Cherry,

2020).

Efikasi diri. Hal ini mengacu pada keyakinan individu dalam

melaksanakan perilaku yang diperlukan agar dapat menghasilkan prestasi kinerja

tertentu. Efikasi diri mencerminkan kepercayaan pada kemampuan untuk

melakukan kontrol atas motivasi, perilaku dan lingkungan sosial (Cherry, 2020).

19
Pencapaian. Seseorang yang memiliki resilience akan menggunakan

sumber daya internal dan eksternal dalam menghadapi krisis. Dengan demikian,

akan mampu mengelola stresor secara positif untuk mengatasi dan menyelesaikan

masalah dan mencapai kesuksesan (Hurley, 2020).

Faktor yang Membentuk Resilience

Ada delapan faktor yang dapat mendukung individu dalam meningkatkan

resilience, diantaranya wawasan yaitu proses perkembangan individu dalam

merasa, mengetahui dan memahami masa lalunya untuk mempelajari perilaku

yang tepat, kemandirian yaitu kemampuan untuk mengambil jarak secara

emosional maupun fisik dari sumber masalah atau lingkungan yang bermasalah,

hubungan yaitu mampu mengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung

dan berkualitas serta memiliki panutan yang baik, inisiatif yaitu keinginan yang

kuat untuk bertanggungjawab dalam kehidupannya, kreatifitas yaitu kemampuan

mencoba berbagai pilihan, konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi

tantangan hidup, humor yaitu kemampuan individu dalam mengurangi beban

hidup dan menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun, dan moralitas yaitu

kemampuan individu untuk berperilaku atas dasar hati nuraninya. Seperti

memberikan bantuan kepada orang yang membutuhkan (Wulandari, 2020).

Tenaga kesehatan dengan kemampuan resilience mampu menghadapi

kesulitan dan menghadapi tekanan yang alaminya sehari-hari dan mampu

mengatasi masalah dalam pekerjaannya. Resilience mengakibatkan seseorang

memiliki kemampuan untuk menanggulangi stress yang berkepanjangan sehingga

dapat membuat tenaga kesehatan lebih tangguh lagi menghadapai burnout yang

membuat para tenaga kesehatan tidak fokus dalam mengerjakan pekerjaan

20
pelayanannya. Peryataan ini sehubungan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Jackson (2018) mengenai burnout dan resilience yang dilakukan pada perawat di

Kanada yang menunjukan hasil bahwa ada hubungan positif antara burnout dan

resilience. Resilience dapat membantu tenaga kesehatan untuk melindungi diri

dari situasi penuh tekanan dan beradaptasi dengan lingkungan pekerjaan setelah

mengalami kesulitan sehingga dapat pulih ke keadaan normal lebih cepat (Jeffs,

2020).

Alat Ukur

Untuk mengukur resilience, ada beberapa alat ukur yang digunakan,

diantaranya The Academic Resilience Scale-30 (ARS-30), Resilience Quotionare

Test (RQ-TEST), The Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC), Academic

Resilience Scale, Resilience Factor Inventory. Dalam penelitian ini akan

menggunakan Resilience Quotionare Test (RQ-TEST) yang dibuat oleh Reivich

dan Shatte yang telah diadaptasi oleh Mirad (2019), karena dalam kuesioner

tersebut menanyakan dengan lengkap tentang resilience dan pertanyaan merujuk

kepada pekerja secara umum.

Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual merupakan hubungan antara satu konsep dengan

konsep lain. Penelitian ini memiliki satu variabel bebas dan satu variabel terikat.

Variabel independent (bebas) adalah variabel yang mempengaruhi variabel terikat.

Peran resilience sangat penting untuk mengatasi burnout yang dialami. Penderita

burnout perlu memiliki resilience yang baik, karena resilience dapat menurunkan

stress akibat pekerjaan serta dapat mempengaruhi kinerja dan produktifitas.

21
Dalam penelitian ini, variabel bebas adalah resilience. Variabel dependent

(terikat) adalah variabel yang nilainya dipengaruhi oleh variabel bebas, dan

variabel yang terikat adalah burnout.

Variabel Independen (X) Variabel Dependen (Y)

Resilience Burnout

Gambar 1. Kerangka konseptual

Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian adalah hasil atau jawaban sementara yang

menjadi pedoman peneliti untuk menemukan hubungan antara variabel yang

berbeda (Duli, 2019). Berdasarkan pendahuluan dan tinjauan pustaka yang telah

diuraikan, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah :

Ha : Ada hubungan antara resilience dengan burnout pada tenaga kesehatan di

puskesmas koya dan puskesmas tonsea lama tondano.

22
BAB III

METODE PENELITIAN

Bab ini akan menjelaskan uraian tentang metode penelitian yang sudah di

pilih oleh peneliti untuk mencapai tujuan penelitian melalui perencanaan,

pelaksanaan, dan laporan dari hasil penelitian sehubungan dengan hubungan

resilience dengan burnout pada tenaga kesehatan di Puskesmas Koya dan Tonsea

Lama Tondano. Metode yang digunakan mencakup desain penelitian, analisis

data, penggunaan statistik dalam analisis data, populasi dan sampel, instrumen

penelitian, proses pengumpulan data, lokasi dan waktu, pertimbangan etika

penelitian yang digunakan dalam penelitian dan keterbatasan dalam penelitian.

Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain deskriptif korelasi, dimana penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui hubungan dari variabel yang berkaitan dengan

variabel lainnya berdasarkan koefisien korelasi (Nasrudin, 2019). Pada penelitian

ini menggunakan jenis pendekatan cross sectional, dimana dalam penelitian ini

untuk mengetahui dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek

tertentu dengan model pendekatan point time (Irmawati dan Nurhaedah, 2017).

23
Analisis Data

Untuk menjawab rumusan masalah pertama dan kedua tentang bagaimana

gambaran resilience dan burnout pada tenaga kesehatan di Puskesmas Koya dan

Tonsea Lama Tondano, maka peneliti menggunakan frekuensi dan persentase.

Untuk menjawab rumusan masalah ketiga yaitu untuk mengetahui apakah ada

hubungan yang signifikan antara resilience dengan burnout pada

tenaga kesehatan di puskesmas koya dan tonsea lama Tondano, peneliti

menggunakan rumus Spearman’s rho karena distribusi data tidak normal pada

program SPSS (Statistical product and service solutions). Angka signifikan yang

digunakan setelah dilakukan pengolahan data pada program statistik adalah α = ≤

0.05 (5%).

Sugiyono (2015) memberikan nilai untuk interpretasi mengenai derajat

kekuatan hubungan antara dua variabel yang diberikan yaitu:

Tabel 1.

Korelasi

Interval Koefisien Tingkat Hubungan


0,00-0,199 Sangat rendah
0,20-0,399 Rendah
0,40-0,799 Sedang
0,60-0,799 Kuat
0,80-1,00 Sangat Kuat

Menurut Anshori dan Iswati (2019), hubungan antara variabel ditunjukan

dengan koefisien korelasi yang bergerak dari -1 sampai +1. Korelasi -1 berarti

korelasi negative sempurna, sedangkan korelasi +1 berarti positif sempurna.

Variabel dikatakan berkorelasi positif (+) apabila variasi diikuti sejajar oleh

24
variabel yang lain. Variabel dikatakan berkorelasi negative (-) apabila variasi

suatu variable diikuti terbalik oleh variabel lain.

Populasi dan Sampel

Menurut Riadi (2020) populasi merupakan keseluruhan, total, atau

generalisasi dari satuan, individu, objek atau subjek yang mempunyai

karakteristik tertentu untuk diteliti seperti orang, benda, institusi, peristiwa dan

lainnya yang dapat diperoleh atau dapat memberikan informasi yang akan ditarik

kesimpulannya. Sedangkan menurut Siyoto dan Sodik (2015) sampel adalah

jumlah sebagian besar atau sebagian kecil dari populasi yang akan diteliti.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh tenaga kesehatan yang bekerja di

Puskesmas Koya dan Tonsea Lama Tondano. Dalam penelitian ini menggunakan

cara pengambilan sampel total sampling yang merupakan teknik pengambilan

sampel dimana semua anggota populasi digunakan sebagai sampel (Sugiyono,

2017). Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 57 responden. Dalam penelitian

ini, peneliti menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi yaitu

seluruh tenaga kesehatan di Puskesmas Koya dan Tonsea Lama Tondano yang

bersedia dan menyetujui informed consent. Sedangkan kriteria eksklusi yaitu

tenaga kesehatan yang bekerja dibawah satu tahun, tidak mengisi kuesioner secara

keseluruhan dan yang tidak mengembalikan kuesioner.

25
Tabel 2.

Populasi dan Sampel

Jabatan Populasi (N) Sampel (n)


Dokter Umum 8 8
Dokter Gigi 1 1
Perawat 16 16
Bidan 17 17
Tenaga Gizi 2 2
Tenaga Kefarmasian 2 2

Tenaga Kesehatan 2 2
Lingkungan
Tenaga Kesehatan 5 5
Masyarakat
Ahli Laboratorium 3 3
Medik

Ahli Fisioterapi 1 1

Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan skala resilience yang di buat

oleh Reivich dan Shatte (2002) dan diadopsi dari skripsi Mirad (2019) dengan

nilai cronbach alpha sebesar 0,880. Kategorisasi resiliensi perawat terdiri dari tiga

skor yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Pengkategorian dilakukan dengan cara hasil

mean dari hasil perhitungan SPSS. Rumus mengenai pembagian kategori skor

variabel resiliensi adalah sebagai berikut : Rendah jika : X< (Mean-SD), Sedang :

(Mean-SD)≤X≤(Mean+SD), Tinggi : X≥(Mean+SD). Pengumpulan data dalam

penelitian ini menggunakan Kuesioner Resilience dimana item –item pada

kuesioner penelitian ini diadaptasi dari Resilience Quotient Test (RQ Test) oleh

Reivich dan Shatte. Test RQ ini memiliki 5 alternatif jawaban.

26
Tabel 3.

Skala Respon Instrument Resilience Quotient Test (RQ Test)

Respon Skor Skor


Favorable Unfavorable
Sangat tidak setuju 1 5
Tidak setuju 2 4
Tidak pasti 3 3
Setuju 4 2
Sangat setuju 5 1

Kuesioner berisi 56 item pernyataan, terdiri dari 28 item favourable dan 28

item unfavourable. Skala resilience digunakan dalam penelitian ini menggunakan

skala resilience yang dibuat oleh Reivich dan Shatte (2002), memaparkan tujuh

aspek dari resilience, aspek-aspek tersebut adalah regulasi emosi (emotional

regulation), kontrol impuls (impulse control), optimisme (optimism), analisis

kausal (causal analysis), empati (empathy), efikasi diri (self efficacy), dan

pencapaian (reaching out).

Tabel 4.

Kisi-kisi kuesioner resilience

Dimensi Indikator Jumlah Nomor Nomor


butir pertanyaan pertanyaan
pertanyaan Favorable Unfavorabl
e
Regulasi Kemampuan untuk tetap tenang dengan kondisi 3 1,3 5
emosi yang penuh tekanan

Kemampuan dapat mengendalikan emosi, 5 2, 4 6, 7, 8


perhatian, dan perilakunya
Kontrol Kemampuan beradaptasi dalam menghadapi 3 9, 11, 13
impuls kesedihan

27
Mampu mengembangkan kemampuan sosial 5 10, 12 14. 15,16

Optimisme Yakin bahwa berbagai hal dapat beruba menjadi 3 20, 17, 22
lebih baik lagi

Memiliki harapan akan masa depan 3 19 21, 24


Dapat mengontrol kehidupannya 2 18 23
Analisis Mampu memperkirakan penyebab dari 5 25,26 29, 30, 31
kasual permasalahannya
Mengetahui suatu hal yang terjadi akan 3 27, 28 32
mengakibatkan terjadinya hal lain sebagai
akibatnya
Empati Dapat membaca, menggambarkan dan 2 33, 35
merasakan emosi orang lain
Kemampuan untuk memahami perasaan dan 6 34, 36, 37, 38,
pikiran orang lain 39, 40
Efikasi diri Keyakinan bahwa dapat memecahkan masalah 6 41, 43, 44 45, 46, 47

Keyakinan seseorang untuk mencapai 2 42 48


kesuksesan
Pencapaian Kemampuan mencapai cita-cita 3 52 54, 56

Kemampuan/keberanian seseorang untuk 5 49, 50, 51 53, 55


mengatassi masalah dan meningkatkan aspek
positif dalam diri
Total 56
pertanyaan

Instrumen yang digunakan untuk mengukur burnout menggunakan Burnout

Self-Test oleh Maslach dan Jackson (1996) yang diadopsi dari Andriani (2019)

dengan nilai cronbach alpha sebesar 0,902. Kategorisasi burnout terdiri dari tiga

skor yaitu rendah, sedang, cukup dan tinggi. Interval mean mengenai pembagian

kategori skor variabel burnout adalah sebagai berikut : Rendah (1,00≤a≤1,75),

sedang (1,76<a≤2,50, cukup : (2,51<a≤3,25) tinggi (3,26<a≤4,00). Pengumpulan

data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Kuesioner Burnout

dimana item–item pada kuesioner penelitian ini diadaptasi dari Maslach Burnout

Inventory (MBI). Test MBI ini memiliki 4 alternatif jawaban.

28
Tabel 5.

Skala Respon Instrumen Maslcah Burnout Inventory (MBI)

Respon Skor
Tidak Pernah 1
Jarang 2
Sering 3
Selalu 4

Kuesioner MBI memiliki 21 item pernyataan. Burnout dalam penelitian ini

diukur menggunakan skala burnout oleh Maslach dan Jackson yang memaparkan

tiga aspek dari burnout, aspek tersebut adalah kelelahan, depersonalisasi, dan

penurunan pencapaian diri.

Tabel 6.

Kisi-kisi kuesioner burnout

Dimensi Indikator Jumlah Nomor


butir Pertanyaan
pertanyaan
Kelelahan Mengalami kelelahan secara emosional 7 1, 2, 3, 4,
5, 6, 7
Depersonalisas Adanya sikap yang sinis terhadap orang-orang 6
i yang berada dalam lingkup pekerjaan
Kecenderungan tidak peduli terhadap penerima 8, 9, 10,
layanan 11, 12, 13
Mengurangi keterlibatan diri dalam bekerja

Penurunan Adanya perasaan tidak berdaya 8 14, 15, 16,


capaian diri 17, 18, 19,
Tidak mampu melakukan sesuatu yang 20, 21
bermanfaat
Menganggap tugas-tugas yang dibebankan
terlalu berlebihan sehingga tidak sanggup lagi
menerima tugas yang baru
Jumlah 21

29
Proses Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti pada tenaga

kesehatan di Puskesmas Koya dan Tonsea Lama Tondano dengan langkah-

langkah sebagai berikut:

1. Memperoleh surat izin pengumpulan data dengan mengajukan surat

permohonan izin pada Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Klabat..

2. Peneliti meminta izin untuk melakukan penelitian yang ditujukan kepada

dosen yang bertanggung jawab.

3. Memilih atau menetapkan subjek penelitian yaitu tenaga kesehatan di

Puskesmas Koya dan Tonsea Lama Tondano.

4. Peneliti menggunakan protokol kesehatan saat mengambil data ke setiap

responden. Seperti menggunakan masker dan mencuci

tangan/menggunakan hand sanitizer saat mengunjungi Puskesmas Koya

dan Tonsea Lama Tondano.

5. Peneliti menjelaskan kepada responden tentang tujuan penelitian,

manfaat, langkah-langkah, dan syarat-syarat yang harus dipatuhi.

6. Peneliti memberikan informed consent dan meminta persetujuan dari

responden dengan menandatangani informed consent melalui kertas yang

dibagikan kepada responden.

7. Meminta responden mengisi lembaran yang berisi kuesioner yang telah

dibagikan menggunakan kertas.

8. Setelah responden mengisi kuesioner, peneliti mengucapkan terima kasih

kepada responden yang telah berpartisipasi.

30
9. Peneliti melakukan tabulasi dan pengolahan data serta menyajikan hasil

penelitian.

Proses Pengolahan Data

1. Memberikan nomor pada kuesioner yang telah diisi oleh responden.

2. Melakukan pemeriksaan ulang pada setiap lembar kuesioner untuk melihat

apakah ada data yang tidak lengkap. Jika data tidak lengkap, maka data

tersebut termasuk dalam kategori eksklusi.

3. Memasukan setiap hasil dari lembar kuesioner ke dalam data yang

berbentuk excel.

4. Mengubah skor untuk pertanyaan yang bersifat unfavourable.

5. Setelah selesai memasukan data ke excel, maka akan di import ke SPSS

untuk dilakukan pengolahan data statistik

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi peneliti melakukan penelitian yaitu di Puskesmas Koya dan Tonsea

Lama Tondano pada tenaga kesehatan. Waktu penelitian dilakukan pada bulan

Desember 2021.

31
Pertimbangan Etika dalam Penelitian

Penelitian ini harus dilaksanakan dengan memiliki sikap ilmiah dan

menggunakan prinsip-prinsip dalam etika penelitian, yaitu:

Otonomy (autonomy)

Subjek penelitian bebas untuk menentukan pilihan untuk mengikuti

penelitian atau tidak. Peneliti menjelaskan dengan baik tujuan dari penelitian yang

dilakukan agar tenaga kesehatan dapat mengambil keputusan untuk menjadi

responden dalam penelitian dengan menandatangani informed consent.

Bermanfaat (Beneficience)

Penelitian yang dilakukan harus memiliki manfaat yang baik bagi subjek

penelitian, dalam hal ini mengetahui hubungan resilience dan burnout pada tenaga

kesehatan.

Keadilan (Justice)

Memperlakukan subjek penelitian secara adil, yaitu dengan

memberikan kuesioner yang sama, menghargai hak responden, serta

berterimakasih karena telah berpastisipasi dalam penelitian ini.

Privasi/kerahasiaan (Confidentialy)

Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh subyek dijamin oleh

peneliti. Peneliti tidak menyebarluaskan data yang ada selain untuk kepentingan

penelitian.

Kejujuran (Veracity)

Penelitian yang dilakukan di jelaskan dengan jujur dan benar kepada

subjek penelitian agar dapat tercipta hubungan yang saling percaya.

32
Tidak merugikan ( Non maleficience)

Penelitian yang dilakukan memiliki tujuan yang baik dan sebisa

mungkin tidak merugikan dan membahayakan subjek penelitian.

Menepati janji (Fidelity)

Peneliti mampu bertanggung jawab, mampu menepati janji atau

kesepakatan yang telah dibuat dengan subjek penelitian.

Hambatan dan Keterbatasan Penelitian

Hambatan dan keterbatasan penelitian ini adalah adanya pandemi Covid-19

sehingga peneliti sulit dalam melakukan pengumpulan data secara langsung.

33
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan membahas mengenai hasil penelitian, dan interpretasi data

yang diolah dengan program statistik untuk menjawab rumusan masalah yang ada.

Gambaran Resilience pada Tenaga Kesehatan

Untuk menjawab rumusan masalah pertama yaitu bagaimana gambaran

resilience pada tenaga kesehatan di Puskesmas Koya dan Tonsea Lama Tondano,

penelitian ini menggunakan rumus frekuensi dan persentase, dan hasilnya dapat

dilihat pada tabel berikut.

Tabel 6.

Gambaran Resilience pada Tenaga Kesehatan di Puskesmas Koya dan Tonsea

Lama Tondano

Resilience Frekuensi Persentase (%)


Tinggi 5 11.4
Sedang 35 79.5
Rendah 4 9.1
Total 44 100
dalam kategori resilience sedang yaitu sebanyak 35 orang (79,5%), resilience

tinggi sebanyak 5 orang (11,4%), dan resilience rendah sebanyak 4 orang (9,1%).

Menurut American Psychology Association (2012) resilience merupakan

kemampuan seseorang dalam mengatasi, melalui, dan kembali pada keadaan

semula setelah mengalami suatu kejadian yang menekan. Menurut Wulandari

34
(2020), ada delapan faktor yang dapat mendukung individu dalam resilience,

diantaranya wawasan yaitu proses perkembangan individu dalam merasa,

mengetahui dan memahami masa lalunya untuk mempelajari perilaku yang tepat,

kemandirian yaitu kemampuan untuk mengambil jarak secara emosional maupun

fisik dari sumber masalah atau lingkungan yang bermasalah, hubungan yaitu

mampu mengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung dan berkualitas

serta memiliki panutan yang baik, inisiatif yaitu keinginan yang kuat untuk

bertanggungjawab dalam kehidupannya, kreatifitas yaitu kemampuan mencoba

berbagai pilihan, konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup,

humor yaitu kemampuan individu dalam mengurangi beban hidup dan

menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun, dan moralitas yaitu kemampuan

individu untuk berperilaku atas dasar hati nuraninya.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kuswardani dan

Nurtjahjanti (2016), menunjukan bahwa dari 82 sampel, terdapat 23,15% tenaga

keperawatan memiliki kategori resilience Sangat Tinggi, 73,2% berada pada

kategori Tinggi dan hanya 3,65% yang berada pada kategori Rendah. Hal tersebut

diakibatkan oleh dukungan psikologis dari berbagai sumber dan rendahnya work-

family confilct pada tenaga keperawatan yang diteliti.

Tenaga Kesehatan di Puskesmas Koya dan Tonsea Lama memiliki

wawasan, hubungan dan humor dalam melakukan pekerjaan, sehingga

menghasilkan resilience yang Sedang. Dari hasil pada tabel 6 menunjukkan

bahwa resilience pada tenaga kesehatan di Puskesmas Koya dan Tonsea Lama

paling banyak berada pada kategori Sedang. Hal tersebut cukup baik, karena

dengan memiliki resilience, seseorang dapat mampu menghadapi stressor.

35
Gambaran Burnout pada tenaga kesehatan

Untuk menjawab rumusan masalah pertama yaitu bagaimana gambaran

burnout pada tenaga kesehatan di Puskesmas Koya dan Tonsea Lama Tondano,

penelitian ini menggunakan rumus frekuensi dan persentase, dan hasilnya dapat

dilihat pada tabel berikut.

Tabel 7.

Gambaran Burnout pada Tenaga Kesehatan di Puskesmas Koya dan Tonsea

Lama Tondano

Burnout Frekuensi Persen (%)


Sedang 7 15.9
Rendah 37 84.1
Total 44 100

Tabel 7 merupakan hasil deskriptif/gambaran burnout pada tenaga

kesehatan di Puskesmas Koya dan Tonsea Lama Tondano yang menunjukan

bahwa dari 44 responden yang bersedia untuk terlibat dalam penelitian ini,

mayoritas termasuk dalam kategori burnout Rendah yaitu sebanyak 37 orang

(84,1%). Untuk sisanya termasuk dalam kategori burnout Sedang yaitu sebanyak

7 orang (15,9%).

Menurut Nareza (2020), burnout merupakan istilah yang digunakan untuk

menggambarkan kondisi dimana seseorang mengalami stres berat yang dipicu

oleh pekerjaan. Menurut Mayo Clinic (2021), ada beberapa faktor yang dapat

meningkatkan risiko burnout, diantaranya yaitu kurang kontrol, harapan jabatan

36
atau pekerjaan, dinamika tempat kerja yang disfungsional, aktifitas ekstrim,

kurangnya dukungan sosial dan ketidakseimbangan kehidupan kerja.

Dari hasil tabel 7, tidak ada tenaga kesehatan di Puskesmas Koya dan

Tonsea Lama yang mengalami burnout tinggi, dan hampir semua berada pada

kategori burnout rendah. Berdasarkan analisa langsung, hal tersebut diakibatkan

oleh dinamika tempat kerja yang fungsional, tingginya dukungan sosial, dan

keseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan sehari-hari. Hal tersebut

sangat baik, dimana dalam melakukan pekerjaan di Puskesmas, tenaga kesehatan

kurang mengalami burnout.

Hubungan Resilience dengan Burnout pada Tenaga Kesehatan

Untuk menjawab rumusan masalah ketiga yaitu adakah terdapat hubungan

yang signifikan antara resilience dengan burnout pada tenaga kesehatan di

Puskesmas Koya dan Tonsea Lama Tondano, telah dilakukan uji statistik dengan

menggunakan rumus spearman’s rho, dan hasilnya dapat dilihat pada tabel

berikut.

Tabel 8.

Korelasi Resilience dengan Burnout pada Tenaga Kesehatan di Puskesmas Koya

dan Tonsea Lama Tondano

Variabel N (r) p-value


Resilience dengan Burnout 44 -0.261 0.087

37
Tabel 8 merupakan hasil uji hubungan resilience dengan burnout pada

tenaga kesehatan di Puskesmas Koya dan Tonsea Lama Tondano. Hasil

menunjukan bahwa nilai signifikan p=0,087 >0,05 dimana tidak terdapat

hubungan antara kedua variabel dan dalam hal ini berarti Ha ditolak, yang berarti

tidak ada hubungan antara resilience dengan burnout pada tenaga kesehatan di

Puskesmas Koya dan Tonsea Lama Tondano.

Menurut Scott (2020), Individu yang terpapar stress tingkat tinggi secara

terus-menerus sangat berpotensi mengalami burnout. Menurut Mayo Clinic

(2021), faktor-faktor yang meningkatkan burnout diantaranya kurang kontrol,

harapan jabatan atau pekerjaan, dinamika tempat kerja yang disfungsional,

aktifitas ekstrim, kurangnya dukungan sosial dan ketidakseimbangan kehidupan

kerja.

Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan

oleh Putra (2019) pada petani di desa Ampel, yang menunjukan bahwa ada

hubungan antara resilience dengan burnout pada petani dengan nilai p value =

0,003. Nilai korelasi sebesar -0,325 menunjukan korelasi negatif dengan kekuatan

hubungan lemah.

Faktor yang mendukung tenaga kesehatan di Puskesmas Koya dan Tonsea

Lama untuk memiliki burnout rendah yaitu dinamika tempat kerja yang

fungsional dan nyaman, aktivitas kerja yang seimbang, tingginya dukungan sosial

dari keluarga dan teman kerja, dan keseimbangan antara kehidupan sehari-hari

dan kehidupan kerja. Akibat dari faktor-faktor tersebut, sehingga tenaga kesehatan

38
di Puskesmas Koya dan Tonsea Lama memiliki burnout pada kategori Sedang

hingga Rendah.

39
BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Pada bab ini berisi kesimpulan dan rekomendasi dari hasil penelitian

mengenai hubungan resilience dengan burnout pada tenaga kesehatan di

Puskesmas Koya dan Tonsea Lama Tondano

Kesimpulan
Setelah dilakukan beberapa uji dan mendapat hasil dari penelitian

ini, peneliti mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Resilience yang dimiliki tenaga kesehatan di Puskesmas Koya dan Tonsea

Lama Tondano mayoritas berada pada kategori Sedang

2. Burnout yang dimiliki tenaga kesehatan di Puskesmas Koya dan Tonsea

Lama Tondano mayoritas berada pada kategori Rendah

3. Tidak adanya hubungan yang signifikan antara resilience dengan burnout

pada tenaga kesehatan di Puskesmas Koya dan Tonsea Lama Tondano

40
Rekomendasi
Bagi Tenaga Kesehatan

Seluruh tenaga kesehatan diharapkan dapat mempertahankan dinamika

tempat kerja yang fungsional dan nyaman, aktivitas kerja yang seimbang,

dukungan sosial dari keluarga dan teman kerja, dan keseimbangan antara

kehidupan sehari-hari dan kehidupan kerja agar dapat menurunkan risiko dari

burnout.

Bagi Institusi Pendidikan

Bagi Universitas Klabat, khususnya Fakultas Keperawatan, diharapkan

bahwa penelitian ini dapat menjadi bahan masukan atau referensi pembelajaran

khususnya mengenai resilience dan burnout pada tenaga kesehatan. Karena hasil

dalam penelitian ini tidak mendukung teori bahwa resilience memiliki hubungan

dengan burnout, maka mahasiswa dapat memperhatikan faktor-faktor lain yang

mempengaruhi burnout.

Bagi Peneliti Selanjutnya

Peneliti selanjutnya dapat memperluas referensi teori sebagai bahan untuk

dapat mengembangkan penelitian dan mengaitkan dengan variabel lainnya, seperti

motivasi, dukungan sosial dan lainnya. Peneliti selanjutnya juga dapat

menggunakan kuesioner yang sesuai dengan responden.

41

Anda mungkin juga menyukai