Anda di halaman 1dari 19

KONSEP PSIKONEUROIMUNOLOGI

PADA ASUHAN KEPERAWATAN PALIATIF

OLEH
KELOMPOK 3
1. KRISTINA NATALIA
2. EKA
3. NI PUTU SEKAR SANTIDEWI
4. PUTU YUDA MAHESA DARMA
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat, karunia,
serta taufik dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah
yang berjudul "Konsep Psikoneuroimunologi pada Keperawatan Paliatif untuk memenuhi tugas
mata kuliah Paliatif diprodi kemenkes kesehatan Denpasar.Dengan ini kami ucapkan terima
kasih kepada Bapak Surasta selaku Dosen mata kuliah Paliatif.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai persiapan pelaksanaan pemeriksaan dan data-data penunjang
keperawatan sebagai calon Perawat. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah
ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna Oleh karena itu, kami berharap adanya
kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat dimasa yang akan datang.
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang lain
yang membacanya Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalah kata-kata yang
kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang memebangun demi perbaikan di masa
depan

Denpasar, 04 Agustus 2023

Penyusun

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia pada umumnya memilik reaksi yang berbeda-beda ketika
merasakan sakit. Ada yang merasa kurang nyaman ketika merasakan sedikit infeksi, ada
juga yang merasa tidak sama sekali (Lasselin, 2021). Seseorang yang mudah merasa
kurang nyaman ketika merasakan sakit dapat menimbulkan stres. Selama lebih dari
empat dekade, penelitian tentang stress kerja menjadi perhatian penting dalam bidang
psikologi industri organisasi. ndividu yang mengalami stres berisiko mengalami
kelelahan emosional,depersonalisasi, ketidakpuasan, komitmen kerja menurun, sehingga
memicu tindakan kontra-produktif (Febriana et al., 2022). Sehingga diperlukan sebuah
studi yang mempelajari keterkaitan antara ketahanan imun dan sistem saraf manusia yaitu
psikoneuroimunologi.Psikoneuroimunologi merupakan fungsi regulasi sistem imun,
neuro dan endokrin untuk mempertahankan homeostasis. Gangguan kesehatan
yang berhubungan dengan gangguan sistem imun seperti penyakit menular,
kanker,autoimun, alergi, dan penyembuhan luka (Nurarifah et al., 2021).
Dibutuhkanperawatan paliatif guna melakukan pendekatan untuk meningkatkan kualitas
pasien dan keluarga dalam menghadapi penyakit yang menyebabkan stress sehingga
mengancam jiwa, dengan cara meringankan penderitaan tersebut dan memberikan
dukungan fisik, psikososial, dan spiritual pada pasien.Data kasus paliatif berdasarkan
prevalensi WHO tahun 2011menunjukkan bahwa dari 29 miliar kasus paliatif
sebanyak 20,4 miliar kasusmembutuhkan pelayanan paliatif. Pelaksanaan perawatan
paliatif di Eropa mulai digalakkan sejak tahun 2005, walaupun saat itu sebagian rumah
sakit di Eropa tidak memiliki tim paliatif rumah sakit. Pelaksana perawatan paliatif
kemudian dilakukan sendiri oleh klinisi yang sudah mengikuti
pelatihan.Penerapan perawatan paliatif tersebut dilaporkan dapat meningkatkan mutu
perawatan akhir hayat pasien dan memberi keuntungan bagi pasien, keluarga dan klinisi
juga dapat mengurangi tangkat stress melalui pendekatan
psikoneuroimunologi.Intervensi untuk mengatasi masalah psikologis (depresi dan
ansietas)antara lain teknik relaksasi, hipnoterapi dan mindfulness. Terapi mindfulness

1
bertujuan untuk meningkatkan suasana hati dan kemampuan problem solving atas
kekacauan pikiran sehingga dapat mempengaruhi sistem imunitas tubuh.

B. Rumusan Masalah
1 . Apakah pengertian dari psikoneuroimunologi?
2. Bagaimana konsep stres dalam psikoneuroimunologi?
3. Apakah peran sistem imun dalam tubuh manusia?
4. Bagaimana hubungan antara sistem saraf dan sistem imun?
5. Bagaimana modulasi respon imun terhadap stresor?
6. Bagaimana penggunaan teknik penurunan stres dan ansietas dalamperawatan
menjelang ajal dan paliatif?

C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengertian dari psikoneuroimunologi.
2. Memahami konsep stres dalam psikoneuroimunologi.
3. Mengetahui peran sistem imun dalam tubuh manusia.
4. Mengetahui hubungan sistem saraf dan sistem imun.
5. Mengetahui modulasi respon imun terhadap stresor.
6. Mengetahui penggunaan teknik penurunan stress dan ansietas dalam perawatan
menjelang ajal dan paliatif

D. Manfaat Penelitian
Makalah ini disusun dengan harapan agar dapat menambah wawasan
danpengetahuan pembaca mengenai konsep psikoneuroimunologi dalamperawatan
menjelang ajal dan paliatif. Selain itu, makalah ini juga diharapkandapat menjadi bahan
pembelajaran bagi mahasiswa keperawatan dalam matakuliah Keperawatan Menjelang
Ajal dan Paliatif

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Perawatan Paliatif
Perawatan paliatif adalah jenis perawatan komprehensif yang diberikan kepada
pasien dan keluarga pasien dengan kondisi yang mengancam jiwa oleh tim interdisipliner
ketika penyakit pasien tidak merespon perawatan, perawatan diberikan dan tidak dapat
memperpanjang hidup pasien (Siagian & Perangin-angin, 2020).
Perawatan paliatif adalah metode yang membantu meningkatkan kualitas hidup
pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarganya yang menghadapi masalah terkait
penyakit yang mengancam jiwa. . Ini mencegah dan meringankan penderitaan melalui
identifikasi dini, penilaian, dan pengobatan yang tepat atas rasa sakit dan masalah
lainnya, baik fisik, psikososial, atau spiritual (World Health Organization, 2020).

B. Definisi Psikoneurologi
Definisi Psikoneuroimunologi (PNI) adalah studi tentang bagaimana
psikologis,saraf, dan proses imunologi berinteraksi dan mempengaruhi kesehatan
danperilaku manusia. Menggunakan berbagai teknik in vivo, in situ, dan in vitroyang
berbeda dalam baik sistem model manusia maupun hewan, PNI telahmenghasilkan
banyak penemuan yang membantu untuk memperjelas bagaimana faktor sosial,
psikologis, dan perilaku mempengaruhi aktivitas sistem kekebalan tubuh; bagaimana
sistem kekebalan memengaruhi kognisi,emosi, saraf proses, dan perilaku; dan
bagaimana interaksi dua arah inimembentuk risiko untuk berbagai masalah
kesehatan mental dan fisik,termasuk gangguan kecemasan, depresi, gangguan
stres pasca trauma(PTSD), penyakit kardiovaskular, nyeri kronis, kanker, dan
neurodegenerasi(Slavich, 2020

1. Konsep Stres dalam Psikoneuroimunologi


Selye (1930) mendefinisikan stres adalah kondisi yang merupakan bentuk
konsekuensi psikobiologik dari kegagalan organisme hidup respon yang berhasil untuk
setiap ancaman fisik atau emosional,baik dari ancaman aktual maupun imajinasi, yang

3
berperan sebagai stresor(Nurdin., 2017). Sedangkan untuk manusia sebagai
salah satu organisme kompleks multiseluler, stresor merupakan stimulus yang
ditangkap oleh otakse sebagai ancaman dan memunculkan kondisi disforik atau kondisi
psikologis yang ditandai dengan rasa tak bahagia, tak puas atau frustasi
serta meningkatkan produksi noradrenalin dan adrenalin untuk
mekanismemenghadapi atau menghindari (Nurdin, 2017). Seluruh stresor yang
ditangkap otak mengakibatkan kondisi stres dan memengaruhi fungsi homeostasis
mulaidari kardiovaskular hingga sistem imun (Nurdin, 2017)

2. Peran Sistem Imun


Sistem imun adalah kumpulan mekanisme dalam suatu organisme mahluk
hidup yang melindungi organisme tersebut dari infeksi dengan cara mengidentifikasi
dan membunuh patogen. Sistem imun dapat mendeteksi bahan patogen
seperti virus hingga parasit dan membedakannya dari sel normal. Selain
sebagai suatu organ kompleks yang tersusun dari sel-selspesifik, sistem imun
juga suatu sistem sirkulasi yang terpisah dari pembuluh darah yang keseluruhannya
bekerja untuk menghilangkan infeksi. Organsistem imun terletak diseluruh
tubuh dan disebut sebagai organ limfoid(Sudiono, 2014).Pembuluh limfe dan
kelenjar limfe adalah bagian dari sistem sirkulasikhusus yang membawa cairan limfe
yang transparan dan berisi sel darah putihterutama limfosit. Kelenjar limfe yang
berisi jala pembuluh limfemenyediakan media bagi sel dari sistem imun
untuk mempertahakankantubuh terhadap paparan antigen serta media dan tempat bagi
sel sistem imun melawan benda asing (Sudiono, 2014). Sistem imun atau kekebalan
memiliki peran penting dimana melindungi tubuh dari zat berbahaya, kuman dan
perubahan sel yang mengakibatkansakit. Beberapa peran sistem kekebalan tubuh
yaitu :a. Melawan patogen seperti bakteri, virus, parasit atau jamur dan
mengeluarkannya dari tubuh. Mengenali dan menetralisir zat berbahaya dari
lingkungan. Melawan perubahan penyebab penyakit dalam tubuh seperti sel
kankerTerdapat dua respon yang dikeluarkan oleh sistem imun yaitu responimun alami
atau nonspesifik dan respon imun adaptif atau spesifik. Respon imun alami atau
nonspesifik yaitu sel fagosit secara herediter memiliki sejumlah peptida

4
antimikroba dan protein yang dapat membunuh bermacam-macam patogen
sedangkan pada respon imun adaptif atau spesifik,sel limfosit berupa sel T dan sel B
yang merupakan komponen dasar untuk mengenali struktur spesifik pada suatu
patogen sehingga membuat sistem imun dapat merespon lebih cepat dan efektif
disaat terpapar kembali olehpatogen spesifik tertentu (Sudiono., 2014).
Abnormalitas sel sistem imun atau defisiensi komponen sistem imun akan
membantu antigen untuk menghindar dari sel T. Sebaliknya, system imun
juga dapat memberikan reaksi berlebihan dalam bentuk reaksi hipersensitivitas
(alergi) (Sudiono., 2014). Kerja sistem imun pada orang yang lebih tua menurun
dengan jumlah penyakit autoimun meningkat. Pada usia tua sama dengan usia baru
lahir dimana ada penurunan kapasitas antimikroba sel bawaan, penurunan
kapasitas sel dendritik untuk menyajikan antigen, berkurangnya kemampuansel natural
killer, dan kekebalan adaptif yang dikompromikan (Ahmad et al.,2022)

3. Hubungan Sistem Saraf dan Sistem Imun


Kontrol peradangan diwujudkan dalam dua mekanisme utama yaitu
mekanisme kekebalan yang mengendalikan diri dan imunoregulasi yang
diturunkan otak. Sistem saraf pusat mengatur fungsi kekebalan
tubuh,peradangan dan respons patogen terhadap jaringan host melalui
produksisitokin, hormon dan molekul lainnya yang dapat mengirimkan sinyal pada otak
sehingga memberikan efek pengaturan yang kuat pada respons imun.Imuniregulasi otak
dimediasi oleh sistem saraf otonom melalui persarafan saraf simpatis dan
vagus. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa neuron aferen
mengekspresikan reseptor untuk beberapa sitokin pro-inflamasiseperti tumor necrosis
factor (TNF), interleukin 1 (IL-1), mengaktifkan sirkuit refleks saraf yang
mengatur respon imun akut dan kronis. Contoh prototipe sirkuit saraf adalah reflek
inflamasi yang dimediasi oleh saraf vagus dan 7 subunit nikotinik asetilkolin
reseptor (7 nAChR) (Procaccini et al.,2017).

5
4. Modulasi Respon Imun terhadap Stresor
Respon imun merupakan respon tubuh atau antibodi berupa urutan
kejadian yang kompleks untuk melawan atau mengeliminasi antigen.Berbagai
macam sel dan protein, terutama sel makrofag, sel limfosit,komplemen dan
sitokin yang saling berinteraksi secara kompleks dapat terlibatkan dalam respon
ini (Mauruh et al., 2022). Tahapan respon imun yaitu:
a. Deteksi dan mengenali benda asing
b. Komunikasi dengan sel lain untuk merespon
c. Rekruitmen bantuan dan koordinasi respon
d. Destruksi atau supresi penginvasi fungsi respon imun
e. Pertahanan (defense): terhadap benda asing/mikroba
f. Homeostasis: eliminasi sel tak berguna/debris

5. Initial Brief Alarm Reaction sebagai sebagai respon terhadap stress akut
Pada initial brief alarm reaction terjadi peningkatan tajam kadar
glukokortikoid dalam darah akibat aktifitas otak melalui aksis hypothalamic-pituitary-
adrenal (HPA), selanjutnya melalui reaksi cassade akan terjadi aktifitas
amigdala dan hippocampus, sistem kardiovaskular, sistem respirasi,sirkulasi darah,
sistem pencernaan, sistem imun, mukosa, dan kulit secarasistematis sebagai berikut
(Nurdin, 2015):
 Aktifitas otak pada initial brief alarm reaction
a. Aktivasi aksis hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA)
b. Aktivasi aksis hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) merupakanrespon
cepat terhadap stressor yang dianggap berbahaya, seperti menghadapi
binatang buas atau gempa bumi.
c. Aktivasi system Lokus Sereleus (LS)-Noradrenalin (NA).
d. Pelepasan hormone steroid dan hormone stress utama kortisol. Aksis HPA
meningkatkan produksi dan pelepasan glukokortikoid termasuk hormon.
Hormon kortisol tersebut akan memobilisasi aktifitas hampir semua system
homeostatis.

6
e. Pelepasan katekolamin. Aksis HPA melepaskan hormon katekolamin
yang juga berperan sebagai neurotransmitter, yaitu dopamine (DA),
adrenalin (A), dan ninadrenalin (NA).
f. Aktivitas amigdala. Katekolamin mengaktifkan nucleus amigdala yang
mencetuskan respon emosional terhadap stressor, misalnya takut terhadap
gempa atau marah marah terhadap musuh.
g. Pelepasan peptide S. Otak melepaskan neuropeptide S, suatu mikro protein
yang memodulasistress dengan menekan keinginan tidur, meningkatkan
kewaspadaandan perasaan kuatir. Akibatnya timbul keinginan urgent untuk
perilakumelawan atau lari (fight or flight)
h. Efek pencetus perilaku instinctual. Dalam keadaan stress akut,
katekolamin menekan secara sekuensialfungsi korteks prefrontalis yang
berkaitan dengan memori jangkapendek, inhibisi, kontrasepsi, dan
pola pikir rasional. Hal tersebutmemungkinkan seorang untuk bereaksi
cepat untuk melawan atau larisecara individual tanpa memikirkan kewajiban
sosial dan norma.
i. Efek pada memori jangka Panjang. Kerja otak ini dapat memengaruhi
bagaimana menentukan keputusan untuk menghindari ancaman berbahaya di
masa depan.
j. Penekanan fungsi “rem” perilaku otak. Dalam kondisi stress akut neuron
otak dengan sengajamenginterpretasikan sinyal kimiawi neurotransmitter
untuk inhibitorsecara salah sehingga yang seharusnya menginterpretasikan
sinyal “off”justru diinterpretasikan “on”. Sehingga “rem” perilaku tidak
berfungsi.Seseorang akan melakukan apa saja sebagai upaya melawan atau lari.
k. Efek pada memori jangka Panjang Kerja otak ini dapat memengaruhi
bagaimana menentukan keputusanuntuk menghindari ancaman berbahaya di
masa depan.
l. Penekanan fungsi “rem” perilaku otak. Dalam kondisi stress akut neuron
otak dengan sengajamenginterpretasikan sinyal kimiawi neurotransmitter
untuk inhibitorsecara salah sehingga yang seharusnya menginterpretasikan

7
sinyal “off”justru diinterpretasikan “on”. Sehingga “rem” perilaku tidak
berfungsi.Seseorang akan melakukan apa saja sebagai upaya melawan atau lari

6. Respon imun terhadap stress akut.


Paradox cortisol Peningkatan kortisol pada aksis HPA menekan fungsi
imun pada Sebagian sistem imun, sehingga sel imun spesifik seperti leukosit dan
sitokin mengalami reposisi. Sel tersebut dikirim ke bagian tubuh yangberisiko terluka
atau infeksi, seperti kulit dan kelenjar limfe. Penekanan fungsi imun atau paradox
kortisol yang bersifat vital di sebabkan semuaproses homeostatis dimobilisasikan
untuk persiapan reaksi melawanatau lari.
a. Peningkatan aktifitas sitokin proinflamatoriSubstrat biomolekuler yang meningkat
pada respon stress ialah molekulsitokin proinflamatori, terdiri dari:
1) Interleukin-1 (IL-1)
2) Interleukin-2 (IL-2)
3) Interleukin-6 (IL-6)
4) Interleukin-10 (IL-10)
5) Interleukin-12 (IL-12)
6) Interferon-gamma (IFN-Gamma) dan tumor necrosis factor alpha(TNR-
α)
7) Sel imun makrofag yang merupakan sel pertama tiba pada lokasiinfeksi
apapun, memproduksi molekul-molekul diatas ini

b. Respon sakit
Penelitian membuktikan bahwa molekul sitokin pro-inflamatori ini
berfungsi langsung dalam otak dengan pembentukan mikroglia dan astrosit (sel
glia) untuk mencetuskan respon sakit (sickness response).Sitokin diproduksi local juga
dalam otak, terutama pada hipotalamus.Karena itu sitokin memberi kontribusi pada
efek perilaku akibat stress fisik dan mental.

c. Penekanan T helper (Th1) dan peningkatan T helper (Th2)

8
Terjadi disregulasi neuron hormone yang berekspresi dan supresi respon imun
anti tumor

d. Mediasi sitokin pada respin stress dan inflamantori melalui otak


Sitokin memediasi dan mengendalikan respon imun pada stress dan
inflamantori sehingga tubuh dapat adaptif dalam mempertahankan homeostasis.
Reaksi inflamasi sistemik menyebabkan stimulasi terhadap empat fungsi utama
yaitu: reaksi fase akut, sindroma sakit,nyeri, respon stress.

7. Respon stress akut pada mukosa


Cairan rubuh dialihkan dari okasi non essensiel seperti mulut
dantenggorokan. Maka dari itu mulut dan tenggorokan menjadi kering

8. Respon stress akut pada kulit


Efek stress akut memindahkan aliran darah dari kulit untuk mendukungjaringan
otot lurik dan otot jantung. Hal tersebut menjadi vital karena jikadalam reaksi melawan
atau lari terjadi luka, maka perdarahan yang terjaditidak begitu hebat.

9. Respon stress akut terhadap fungsi digestivus


Stress akut akan menghambat pencernaan. Bila stressor tidak
teratasi,maka kondisi stress berlanjut menjadi stress kronik, respon
menjadiperiode resistensi berlanjut

9
BAB III
PEMBAHASAN

A. Teknik Penurunan Stres dan Ansietas pada Perawatan Menjelang Ajal dan Paliatif
Dalam penelitian Shinall et al. (2021) disebutkan bahwa dari 50 pasien paliatif yang
mengikuti wawancara, hampir seluruhnya memiliki komentar mengenai stresor psikososial.
Di antara mereka menyebutkan stresor dari perawatan paliatif adalah berkaitan dengan
operasi termasuk kekhawatiran tentang ketidakpastian keberhasilan operasi, pemulihan pasca
operasi, serta kekhawatiran adanya komplikasi. Stresor lain yang kerap kali muncul adalah
dampak kanker pada kehidupan mereka yang mencakup kekhawatiran tentang keterbatasan
fungsi sosial dan pekerjaan, kekambuhan atau kematian akibatkanker, dampak kanker pada
keluarga mereka, dan tekanan eksistensial atauspiritual. Banyak yang menyebutkan terdapat
stresor yang tidak berkaitandengan operasi atau kanker mereka diantaranya termasuk
stres akibatpenyakit atau kelemahan anggota keluarga dan hubungan keluarga yang
menegang. Ketika ditanya mengenai stresor, beberapa pasien menjelaskan mekanisme
koping yang mereka gunakan, seperti dukungan dari keluarga,teman, dan dukungan agama
atau spiritual.Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perawatan paliatif ini membuat
pasien mengalami stres dan depresi yang mencakup berbagai aspekbaik fisik, psikologis,
sosial, maupun spiritual. Berdasarkan beberapa penelitian, terdapat beberapa teknik
penurunan stres dan ansietas dalam perawatan menjelang ajal dan paliatif.

1. Terapi Komplementer
Dalam jurnal (Abrahão et al., 2019), terapi komplementer digunakanuntuk
meminimalkan stres dan meningkatkan sistem kekebalan wanita dengan kanker
payudara. Contoh terapi yang dapat dilakukan adalah terapiherbal, homeopati, terapi nutrisi,
tissue salt therapy, aromaterapi,akupunktur, akupresur, refleksologi, dan relaksasi
progresif. Penerapan praktik ini menawarkan manfaat terapeutik yang berbeda,
meliputi pengurangan gejala dan toksisitas obat konvensional, pencegahan kekambuhan
penyakit, dan peningkatan yang signifikan dari system kekebalan tubuh.

10
2. Meditasi
Penelitian sebelumnya mengatakan bahwa intervensi non-farmakologis seperti
yoga dan meditasi dilaporkan tidak memiliki efek samping dan telah menunjukkan
efisiensi yang lebih baik dalam mengurangi stres dan ansietas. Meditasi adalah alat
penting psikoneuroimunologi yang menyeimbangkan aspek mental dan emosional dari
spektrum spiritual (Magan & Yadav, 2022). Menurut (Torkamani etal., 2018), meditasi dapat
memberikan beberapa efek positif pada system kekebalan tubuh serta keadaan emosi individu.
Temuan ini sejalan dengan penelitian serupa yang mendukung efek latihan meditasi pada emosi
dan perasaan, serta menunjukkan adanya peningkatan signifikan dalam tingkatS-IgA pada
kelompok yang mendapatkan pelatihan relaksasi. Beberapa penelitian mengenai
psikoneuroimunologi telah melaporkan bahwa berdoa, hipnotisme, meditasi, dan dukungan
sosial dapat mengarah pada peningkatan fungsi sistem kekebalan tubuh dan mengurangi
kemungkinan perkembangan penyakit fisik. Selain itu, telah dibuktikan pula bahwa
meditasi berpotensi mempengaruhi otak, sistem saraf otonom, system kekebalan
tubuh, dan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan termasuk tidur dan makan.
Beberapa penelitian juga telah membuktikan bahwa peningkatan aktivitas sistem saraf
parasimpatis setelah meditasi dapat menghasilkan peningkatan S-IgA. Dalam penelitian
(Torkamani etal., 2018) ini dikatakan bahwa peningkatan S-IgA dan
perubahanemosional erat kaitannya dengan relaksasi mental dan fisik. Hal tersebut mungkin
berkaitan dengan fakta bahwa system syaraf parasimpatis menjadi lebih aktif setelah
melakukan meditasi.

3. Terapi Psikologis
Adanya hubungan penyakit dengan stres maka dapat ditargetkan secara tidak
langsung dengan memodifikasi persepsi dan penilaian yang memulai respons stres fisiologis.
memulai respons stres fisiologis. Dengan mengubah interpretasi kognitif stres dan
memfasilitasi pemulihan stres, pendekatan ini dapat mengurangitingkat inflamasi secara
keseluruhan dengan mempengaruhi aktivasi sumbu hipotalamus pituitary adrenal (HPA)

11
kronis dan meningkatkan waktu pemulihan antara stres. Salah satu tinjauan baru-baru ini
tentang efek anti-inflamasi dari terapi perilaku kognitif atau cognitive behavioraltherapy
(CBT) pada pasien depresi menemukan bukti awal bahwa pengobatan CBT dikaitkan
dengan perbaikan dalam gejala depresi.Dalam suatu penelitian telah dikembangkan sebuah
intervensi yang menggabungkan CBT dan manajemen stres (Cognitive Behavioral
StressManagement, atau CBSM) untuk individu yang menghadapi penyakit kronis.
CBSM adalah pendekatan terapeutik jangka pendek yang berfokuspada bagaimana pikiran
orang mempengaruhi emosi dan perilaku mereka.Dalam penelitian terhadap laki-laki dengan
HIV, CBSM memberikan efek penurunan depresi, kecemasan, dan stres, serta
peningkatan sel T danpenurunan viral load HIV.

4. Terapi Prososial
Menurut Bower, Radin and Kuhlman (2022), terdapat banyak literatur yang
menunjukkan efek menguntungkan dari hubungan sosialpada kesehatan mental dan fisik,
termasuk peningkatan kekebalan tubuh.Studi awal menemukan bahwa dukungan sosial
dikaitkan denga Peningkatan aktivitas sel Natural Killer (NK) dan fungsi kekebalan
adaptif.Para peneliti secara khusus tertarik pada intervensi yang dirancang untuk meningkatkan
rasa hubungan sosial dan kontribusi. Dalam suatu percobaan, orang dewasa sehat
dipilih secara acak untuk melakukan aktivitas prososial (“tindakan kebaikan”), mereka
yang ikut serta terbukti menunjukkan penurunan gen terkait inflamasi dan peningkatan
genanti virus

5. Terapi Diet
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Alessi and Bennett (2020),perubahan gaya
hidup dan intervensi perilaku dapat menawarkanpendekatan yang lebih aman,
berkelanjutan, dan lebih hemat biaya dalam pengobatan secara terapeutik untuk mencegah
dan mengobati penyakit mental dan fisik kronis. Diet dapat ditargetkan untuk
mengurangi peradangan sistemik, karena pola makan yang buruk dapat secara langsung dan
tidak langsung mempengaruhi inflamasi melalui gangguan mikrobiotadan defisit nutrisi. Diet
yang diproses dengan olahan karbohidrat dan gulatambahan dikaitkan dengan penanda
inflamasi yang lebih tinggi,sementara intervensi diet yang meningkatkan konsumsi buah

12
dan sayuran dikatakan dapat mengurangi adanya inflamasi. Mengubah komposisi diet dari
makanan olahan ke makanan utuh dapat membantu mengurangi peradangan sistemik,
sehingga meningkatkan kekebalan dan kesehatan mental. Di luar modifikasi diet,
bukti tambahan menunjukkan bahwa intervensi yang mempengaruhi waktu konsumsi
makanan (yaitu, puasa intermiten) juga dapat mengurangi peradangan.Suplementasi nutrisi
tunggal dan berbasis luas dapat meningkatkan kesehatan mental. Misalnya, suplementasi
dengan vitamin D, modulatorutama dari sistem kekebalan yang secara luas kekurangan
dalam diet kebarat-baratan, mengurangi gejala depresi serta penanda peradangan pada pasien
dengan cystic fibrosis. Sementara suplementasi dengan nutrisitunggal mungkin
berkhasiat untuk beberapa pengurangan gejala, intervensi multi-nutrisi mungkin lebih mungkin
untuk mendukung fungsi otak dankekebalan secara optimal.Model psikoneuroimunologi dapat
memfasilitasi pencegahan dengan risiko terbesar untuk gangguan terkait stres, tetapi
memerlukan banyak penelitianlebih lanjut untuk meningkatkan upaya tersebut karena
adanya hambatan termasuk pendidikan penyedia layanan kesehatan mental tentang biologi
dasar,fisiologi, dan konsep imunologi dasar, dan pendidikan penyedia
layanankesehatan fisik tentang proses dasar persepsi stres dan koping dasar. Solusiutama
untuk membantu mengurangi penderitaan pasien dengan penyakitterminal adalah
kolaborasi berkelanjutan antara tenaga kesehatan dan sainsdasar dengan penyedia
layanan kesehatan mental dan fisik primer, termasukdokter dan psikolog.

13
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
(PNI) adalah studi tentang bagaimana psikologis,saraf, dan proses imunologi
berinteraksi dan mempengaruhi kesehatan danperilaku manusia. stres adalah kondisi yang
merupakan bentuk konsekuensipsikobiologik dari kegagalan organisme hidup untuk
memberikan responyang berhasil untuk setiap ancaman fisik atau emosional, baik dari
ancamanaktual maupun imajinasi, yang berperan sebagai stresor (Mauruh et al., 2022).Sistem
imun adalah kumpulan mekanisme dalam suatu organisme mahlukhidup yang melindungi
organisme tersebut dari infeksi dengan caramengidentifikasi dan membunuh patogen.
Perawatan paliatif membuat pasienmengalami stres dan depresi yang mencakup berbagai
aspek baik fisik,psikologis, sosial, maupun spiritual. Untuk menurunkan stress
dalamperawatan paliatif dapat dilakukan terapi komplementer, meditasi,
terapipsikologis, terapi prososial, dan terapi diet.

B. Saran
Berdasarkan makalah yang kami buat, penulis menyarankan agar pembaca
selalu memiliki mekanisme koping stress sendiri yang ampuh untuk mengatasi stressornya.
Selain itu penulis juga menyarankan agar pembaca tidak membiarkan stressor menyerang
secara terus menerus karena akan berakibat butuk pada tubuh seperti yang telah di jelaskan
pada makalah pengobatan secara terapeutik untuk mencegah dan mengobati
penyakitmental dan fisik kronis. Diet dapat ditargetkan untuk mengurangiperadangan
sistemik, karena pola makan yang buruk dapat secara langsungdan tidak langsung mempengaruhi
inflamasi melalui gangguan mikrobiotadan defisit nutrisi. Diet yang diproses dengan olahan
karbohidrat dan gulatambahan dikaitkan dengan penanda inflamasi yang lebih
tinggi,sementara intervensi diet yang meningkatkan konsumsi buah dan sayurandikatakan dapat

14
mengurangi adanya inflamasi. Mengubah komposisi dietdari makanan olahan ke makanan
utuh dapat membantu mengurangiperadangan sistemik, sehingga meningkatkan
kekebalan dan kesehatanmental. Di luar modifikasi diet, bukti tambahan
menunjukkan bahwaintervensi yang mempengaruhi waktu konsumsi makanan (yaitu,
puasaintermiten) juga dapat mengurangi peradangan.Suplementasi nutrisi tunggal dan
berbasis luas dapat meningkatkankesehatan mental. Misalnya, suplementasi dengan vitamin
D, modulatorutama dari sistem kekebalan yang secara luas kekurangan dalam
dietkebarat-baratan, mengurangi gejala depresi serta penanda peradangan pada pasien dengan
cystic fibrosis. Sementara suplementasi dengan nutrisitunggal mungkin berkhasiat untuk
beberapa pengurangan gejala, intervensimulti-nutrisi mungkin lebih mungkin untuk mendukung
fungsi otak dankekebalan secara optimal.Model psikoneuroimunologi dapat memfasilitasi
pencegahan dengan risikoterbesar untuk gangguan terkait stres, tetapi memerlukan
banyak penelitianlebih lanjut untuk meningkatkan upaya tersebut karena adanya
hambatantermasuk pendidikan penyedia layanan kesehatan mental tentang biologi
dasar,fisiologi, dan konsep imunologi dasar, dan pendidikan penyedia
layanankesehatan fisik tentang proses dasar persepsi stres dan koping dasar. Solusiutama untuk
membantu mengurangi penderitaan pasien dengan penyakitterminal adalah kolaborasi
berkelanjutan antara tenaga kesehatan dan sainsdasar dengan penyedia layanan kesehatan
mental dan fisik primer, termasukdokter dan psikolog

15
16
DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2015). Pedoman Nasional Program Paliatif


Kanker. In Bakti Husada.
Puspita, Enny, & Rozi, Fahrur. (2020). Modul Pembelajaran Keperawatan Paliatif. Bahan Ajar
Cetak Keperawatan Paliatif, 22(1), 1–13.
Siagian, Ernawati, & Perangin-angin, Morri. (2020). Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Perawat
Tentang Perawatan Paliatif Di Rumah Sakit Advent Bandung. Jurnal Skolastik
Keperawatan, 6(1), 1–9. https://doi.org/10.35974/jsk.v6i1.2231
World Health Organization. (2020). Palliative Care. World Health Organization. Retrieved from
https://www.who.int/cancer/palliative/definition/en/

Anda mungkin juga menyukai