Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rumah sakit merupakan sarana kesehatan yang juga menjadi tempat


terselenggaranya upaya kesehatan yaitu kegiatan memelihara, meningkatkan
kesehatan serta bertujuan mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi
masyarakat. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun
2009, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan serta menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan dan rawat darurat. Untuk melaksanakan
fungsi yang cukup kompleks tersebut, rumah sakit harus memiliki sumber
daya manusia yang profesional baik dalam bidang teknis maupun
administrasi kesehatan.
Salah satu sumber daya dalam rumah sakit yang memiliki jumlah
paling banyak serta memiliki peran yang cukup penting dalam memberikan
layanan kesehatan adalah perawat. Perawat memiliki fungsi untuk
melakukan perawatan terhadap pasien serta selama 24jam berada di dekat
pasien dan melakukan berbagai hal yang berkaitan dengan perawatan
pasien. Menurut informasi yang diberikan DATIN (Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia), perawat merupakan
satu-satunya profesi atau tenaga kesehatan di rumah sakit yang memiliki
jumlah dan kebutuhan paling banyak diantara tenaga kesehatan lainnya.
Selain itu, berdasarkan data dari Badan Pengembangan dan Pemberdayaan
Sumber Daya Manusia Kesehatan (BPPSDMK), persentase jumlah perawat
adalah yang terbesar di antara tenaga kesehatan lain, yaitu 29,66% dari
seluruh rekapitulasi tenaga kesehatan di Indonesia per Desember 2019.
Namun demikian, terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi
perawat yaitu tidak mendapatkan respon dari rekan kerja maupun keluarga
pasien, memiliki gaji yang kecil, menjadi target utama PHK ketika rumah
sakit berusaha mengurangi pengeluaran, serta memiliki waktu kerja yang
panjang (Hajra, 2016). Selain itu, perawat juga melakukan banyak hal
dalam waktu yang bersamaan dan memiliki kecenderungan lebih tinggi
untuk terinfeksi penyakit jika tidak melakukan tindakan pencegahan yang
tepat.
Disisi lain, permasalahan saat ini adalah jumlah perawat dan jumlah pasien
1
tidak seimbang. Kebutuhan tenaga keperawatan secara nasional saat ini
menurut data Kemenkes RI adalah 87,65 perawat untuk melayani per
100.000 penduduk. Hal itu masih jauh dari target tahun 2019 yaitu 180
perawat untuk melayani per 100.000 penduduk (Manalu, 2017). Dengan
perbandingan antara jumlah perawat dan jumlah pasien yang tidak seimbang
mengakibatkan meningkatnya beban kerja perawat. Hal tersebut tentunya
dapat memicu kondisi kelelahan pada perawat, sehingga perawat dapat
mengalami stress kerja.
Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian Demerouti, Bakker,
Nachreiner, dan Schaufeli (2001) bahwa jumlah perawat yang tidak
sebanding dengan tugas yang diberikan rumah sakit dapat menimbulkan
kelelahan dan stres pada perawat, sehingga perawat mengalami kejenuhan
dalam merawat pasien. Selain itu, dampak yang akan timbul adalah
terganggunya kualitas pelayanan yang diberikan perawat kepada pasien. Hal
ini akan memengaruhi kualitas layanan rumah sakit. Penelitian Fatona,
Tarwaka, dan Werdani (2015) mengungkapkan bahwa kelelahan kerja
dalam kategori berat dialami oleh perawat pada shift malam disebabkan
oleh jam kerja yang lebih panjang, jumlah perawat yang lebih sedikit, dan
durasi tidur yang berkurang. Berdasarkan penelitian Sholihah dan Fauzia
(2013) bahwa 62% dari 97 pekerja shift malam mengalami kelelahan kerja
dan 58% dari 97 mengalami stres dalam kategori tinggi.
Salah satu cara untuk mengelola emosi adalah dengan emotionallabor.
Emotional labor merupakan proses regulasi perasaan dan ekspresi yang
dilakukan oleh individu pada saat ia bekerja yang sesuai dengan aturan
perusahaan (Grandey, 2009). Emotional labor dikembangkan karena
semakin kompetitifnya dunia jasa pelayanan. Kompetisi dalam dunia
pelayanan ini telah mendorong untuk menentukan bagaimana dan kapan
seorang karyawan harus mengekspresikan emosinya (Duke,dkk, 2009).
Untuk melaksanakan pekerjaan, kadang karyawan harus menampilkan
emosi yang berbeda dengan perasaan yang dirasakan sebenarnya (Peng et
al., 2009). Saat karyawan melakukan emotional labor, emosi positif dan
negatif ditekan sesuai tuntutan situasi (Van Gelderen et al,. 2011).
Misalnya, karyawan yang mungkin sedang merasakan suasana hati yang
tidak bahagia, tapi dia harus tetap memberikan layanan prima dan sikap
yang ramah pada klien.
Perawat sebagai karyawan yang memiliki peran vital harus mampu

2
mengkombinasikan kecerdasan inteligensi dengan emosi sehingga pasien
tidak hanya merasa puas tetapi menjadi terpikat. Bahkan pasien tersebut
akan memberitahukan kesan baiknya dan mempromosikan rumah sakit
kepada keluarga atau teman-teman (Widajat, 2009).
Psychological well-being yang tinggi pada individu dapat meningkatkan
kesuksesan hubungan pernikahan, pertemanan, kesehatan, dan performa
kerja (Roberts & Cooper, 2010). Hal ini sejalan dengan penelitian Usman
(2017) individu dengan psychological well-being yang tinggi dapat
berfungsi secara penuh dalam mengoptimalkan potensi diri dan berpengaruh
terhadap pengoptimalan performa kerja.
Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa
psychological well-being adalah keadaan dimana individu memiliki keadaan
psikologis yang positif setelah individu tersebut dapat menerima dirinya,
mempunyai hubungan positif terhadap orang lain, mengembangkan potensi
dirinya, memiliki tujuan hidup, memaknai kejadian dalam hidupnya,
mampu mengatur lingkungan sesuai dengan dirinya dan mampu mengambil
tindakannya sendiri. Faktor yang dapat mempengaruhi psychological well-
being adalah usia, jenis kelamin, budaya, religiusitas, dukungan sosial,
pengalaman hidup, pendidikan, pendapatan, pernikahan, dan kepuasan
kerja.

Sebagaimana RSUD. Banggai yang merupakan rumah sakit kelas C


yang terletak di kabupaten Banggai laut yang menjadi satu-satunya pusat
harapan dari setiap puskesmas Kecamatan di Kabupaten tersebut, fasilitas
di RSUD Banggai yaitu terdapat 107 tempat tidur, tenaga keperawatan di
RSUD Banggai di dominasi tenaga kerja dengan Pendidikan D3
keperawatan dan S1 kerewatan yang berjumlah 112 orang selain itu terdapat
10 dokter spesialis, 9 dokter umum dan satu dokter gigi . Dari hasil
wawancara pada tiga perawat instalasi rawat inap di RSUD. Banggai Laut,
didapatkan hasil bahwa jumlah perawat inap dan pasien memiliki rata-rata
perbandingan 1:5. Perbandingan ini dapat meningkat hingga 1:10 ketika
rumah sakit mengalami peningkatan/penumpukan jumlah pasien. Menurut
perawat, beban yang paling berat dialami pada shift pagi dan malam, karena
pada shift pagi perawat harus membuat laporan pasien baru, tindakan terapi
pasien rawat inap dan laporan keadaan pasien, serta pada shift malam
merupakan shift dengan waktu paling lama sehingga menyebabkan perawat

3
instalasi rawat inap RSUD. Banggai Laut harus rela meninggalkan keluarga
serta waktu untuk beristirahat menjadi berkurang.
Hasil wawancara sebelumnya yang dilakukan di diperoleh bahwa
psychologicall well being belum sepenuhnya baik salah satunya terlihat
pada dimensi psychologicall well being yaitu hubungan positif dengan
orang lain. Kondisi tersebut terlihat bahwa hubungan antar perawat tidak
hangat di buktikan dengan adanya konflik antar perawat seperti berdeda
pendapat serta adanya saling mengucilkankan yang di lakukan antar perawat
satu dan lainnya hal tersebut dapat menjadi suatu masalah, mengingat
psychologicall well being sesuatu hal yang penting bagi seorang perawat
dalam menjalankan pekerjaannya. Berdasarkan uraian masalah di atas,
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Hubungan antara
Emotional Labor dengan Psychological Well-Being pada perawat RSUD.
Banggai Laut ”.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah pada

penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara Emotional Labor

dengan Psychological Well-Being pada perawat RSUD. Banggai Laut ?.

1.2 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan antara Emotional Labor dengan

Psychological Well-Being pada perawat RSUD. Banggai Laut.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui Emotional Labor pada perawat di RSUD.

Banggai Laut.

2. Untuk mengetahui Psychological Well-Being pada perawat di


4
RSUD. Banggai Laut.

3. Untuk menganalisis hubungan antara Emotional Labor dengan

Psychological Well-Being pada perawat RSUD. Banggai Laut.

1.3 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini dapat menjelaskan kajian tentang hubungan

Emotional Labor dengan Psychological Well-Being pada perawat.

1.4.2 Manfaat praktis

1. Bagi Mahasiswa

Penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi tambahan terkait

manajemen keperawatan khususnya tentang pengelolaan emosi

dengan cara emotional labor yaitu harus menampilkan emosi yang

berbeda dengan perasaan yang dirasakan.

2. Bagi Rumah Sakit

Hasil tersebut dapat menjadi acuan bagi Rumah sakit untuk lebih

meningkatkan jumlah perawat agar beban kerja perawat itu sendiri

berkurang sehingga ia bisa mengontrol emosinya saat sedang

bekerja.

3. Bagi Profesi Perawat

Sebagai informasi dan masukan dalam peningkatan pelayanan

keperawatan berupa pengelolaan emosi yang baik, sehingga akan

menimbulkan kesejahteraan psikologis (psychological well-being)

terhadap perawat tersebut.

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil peneltian dapat menjadi acuan untuk dikembangkan pada

5
penelitian yang lebih luas, misalnya dengan menambah faktor-faktor

lain yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis (psychological

well-being) atau pengelolaan emosi untuk menciptakan emosi yang

sesuai untuk memenuhi standar yang telah diterapkan.

6
BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS

2.1 Konsep Emotional Labor

1. Definisi

Istilah emotional labor didefenisikan Robbin & Judge (2012)

sebagai kemampuan dimana seorang karyawan memperlihatkan emosi-

emosi yang diinginkan secara organisasi selama transaksi antar personal

ditempat kerja. Sehingganya perlunya hubungan sosial yang

merupakan suatu kemampuan individu untuk mempertahankan

hubungan positif dengan orang lain yang di kaitkan dengan rasa senang

dan suasana hati yang positif, seperti halnya dalam proses komunikasi

menuntut perawat untuk dapat mengelolah emosi dengan baik agar

komunikasi dapat berjalan dengan baik, sehingga kemampuan

mengelolah emosi tersebut disebut emotional labor. Emotional labor

merupakan kemampuan individu dengan memalsukan, menekan dan

memodifikasi emosi untuk memunculkan ekspresi yang di harapkan

dalam pekerjaan (Ivancevich, 2008).

Emotional Labor adalah kontrol perilaku seseorang untuk

menampilkan emosi yang tepat (Chu, 2002), hal ini mununjukkan

bahwa seseorang harus membangkitkan atau menekan emosi tertentu

sehingga harus menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial. Konsep

dari emotional labor ini tidak terbatas hanya pada tempat kerja saja, ini

juga akan terjadi pada setiap aspek kehidupan.

Hochchild (2012) mengatakan bahwa terdapat dua di mensi dalam

7
emotional labor yaitu surface acting merupakan kemampuan individu

dalam meregulasi emosinya dengan menyembunyikan maupun

memanipulasi emosi dan deep acting merupakan keadaan individu

secara sadar mengfatur emosi untuk dapat mengekspresikan suatu

emosi tertentu sehingga benar -benar merasakan emosi tersebut

emotional labor sebagai pengacu pada pengendalian emosi dari

pekerja yang sering kontak dengan pelanggan. Kontrol ini

menghasilkan ekspresi wajah dan gerakan tubuh. Organisasi dan sistem

penghargaan gajinya menentukan bahwa pekerja harus mengontrol

emosi mereka ditempat kerja dan mampu menciptakan suasana kerja

yang kondusif bagi organisasi.

Menurut Grandey (2013) bahwa emotional labor adalah proses

mengatur baik perasaan dan ekspresi untuk tujuan organisasi. Ketika

personal line pertama berinteraksi dengan pelanggan, emotional labor

adalah tindakan mengekspresikan emosi yang tepat, dalam tuntutan

organisasi pekerja harus mengontrol perilaku mereka dan menampilkan

emosi yang sesuai. Guy, Newman & Mastracci (2008) mendefenisikan

emotional labor kemampuan pegaway untuk menekan perasaan pribadi

dan menunjukam emosi yang diinginkan organisasi dalam pekerjaan.

Berdasarkan uraian diatas, maka pengertian dari emotional labor adalah

kesesuaian emosi yang berlaku bagi organisasi sesuai dengan tuntutan

peran yang mengharuskan seseorang untuk menampilkan perilaku

emosional yang menutupi perasaan mereka sebenarnya didalam suatu

perusahaan.

Perspektif lainnya dikemukakan oleh Morris dan Feldman

8
(Grandey, 2013) menyebutkan emotional labor sebagai segala usaha,

perencanaan, dan kontrol yang diperlukan untuk mengekspresikan

segala emosi yang diinginkan organisasi selama transaksi interpersonal

di tempat kerja. Menurut perspektif ini emotional labor lebih ditentukan

oleh lingkungan sosial.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa

emotional labor merupakan kemampuan karyawan untuk menampilkan

emosi positif seperti menampilkan senyum, berkomunikasi lancar dan

baik, berperilaku ramah kepada customer sebagai tuntutan perusahaan.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Emotional Labor

Faktor-faktor yang mempengaruhi emotional labor menurut

Permata (2007) yang dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu :

a. Faktor dari dalam diri individu, mencakup pemahaman akan

tuntutan pekerjaan dan profesionalitas,

b. Faktor lingkungan, dapat dibagi menurut lingkungan organisasi

yang meliputi pengawasan dari atasan dan rekan kerja serta gaji,

dan lingkungan konsumen yakni disebut kepuasan kerja.

Sedangkan Hwa (2009) mengatakan bahwa Faktor-faktor yang

mempengaruhi emotional labour adalah:

a. Kualitas pelayanan

Kualitas pelayanan merupakan totalitas dari bentuk karakteristik

barang dan jasa yang menunjukkan kemampuannya untuk

memuaskan kebutuhan pelanggan, baik yang nampak jelas maupun

yang tersembunyi. Bagi perusahaan yang bergerak di sektor jasa,


9
pemberian pelayanan yang berkualitas pada pelanggan merupakan

hal mutlak yang harus dilakukan apabila perusahaan ingin

mencapai keberhasilan.

b. Kepuasan kerja

Kepuasan kerja adalah sikap positif dan keadaan emosional yang

merupakan hasil dari penilaian seseorang terhadap pekerjaannya

atau pengalaman kerjanya sehingga ketika individu berusaha

mengupayakan kepuasan kerja, terdapat keterlibatan emosi didalam

prosesnya.

c. Komitmen organisasi

Komitmen organisasi adalah sikap yang mencerminkan sejauh

mana seseorang individu mengenal dan terikat pada organisasinya.

d. Kesejahteraan psikologis

Kesejahteraan Psikologis adalah kondisi individu yang ditandai

dengan adanya perasaan bahagia, adanya kepuasan hidup.

3. Aspek-aspek Emotional Labor

Menurut Robbin & Judge (2012) aspek-aspek dari emotional labor

ada lima yaitu sebagai berikut :

a. Surface Acting

Surface acting adalah menyembunyikan perasaan terdalam

seseorang dan menghilangkan ekspresi-ekspresi emosional sebagai

krespons terhadap aturan-aturan penampilan. Surface acting ini

mengekspresikan emosi tanpa merasa bahwa sedang emosi.

10
Surface acting sering juga disebut dengan berpura-pura

menampilkan emosi yang berbeda. Saat suasana hati sedang

negative, karyawan harus bisa menampilkan wajah yang riang,

senyuman, keramahaan dan emosi emosi yang positif. Surface

acting berfokus pada ketidak sesuaian antara emosi yang

sebenarnya dan yang ditampilkan. Surface Acting paling sering

melibatkan emosi negatif, seperti marah, jengkel, sedih kemudian

ketika melihatkan emosi positive seperti bahagia, gembira.

b. Deep Acting

Deep acting adalah berusaha untuk mengubah perasaan seseorang

berdasarkan aturan-aturan penampilan. Deep acting juga sering

disebut dengan berupaya mengelola emosi negative menjadi benar-

benar positive sehingga konsisten antara emosi yang dirasakan dan

emosi yang ditampilkan atau ditunjukkan.

c. Frequence

Frequency telah menjadi yang paling penting pada emotional labor

dan hal ini masih tetap merupakan indikator penting karena

semakin sering sebuah organisasi atau perusahaan membutuhkan

menampilkan emosi yang tepat secara sosial maka semakin besar

juga permintaan tenaga kerja atau karyawan yang harus

menggunakan emotional labor.

d. Variety

Variety merupakan emosi yang sangat luas untuk diekspresikan,

karena karyawan harus menampilakan berbagai macam emosi

11
sesuai dengan aturan dari perusahaan.

e. Intensity

Setiap orang memiliki intensitas dalam mengekspresikan emosi

yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ada individu yang hampir

tidak pernah menunjukkan perasaannya, tetapi ada juga orang yang

sangat emosional.

4. Dampak dari Emotional Labor

Dalam literatur emotional labor, para peneliti membahas hasil yang

tidak menguntungkan. Emotional Labor menyebabkan peningkatan

kelelahan, emosi antara karyawan dengan otonomi kerja yang rendah,

masa kerja lebih lama dan bekerja dengan waktu yang lama.

Menurut Hochchild (2012) mengemukakan bahwa majemen emosi

ini membutuhkan usaha untuk melakukannya. Manajemen emosi ini

dapat menyebabkan kerugian dan tidak menyenangkan bagi kariyawan

sehingga dapat menyebabkan burnout dan stres (Grandey, 2000;

Modekurti-mahato, Kumar & Raju, 2014). Akibatnya, perspektif ini

menyatakan bahwa secara umum dapat membedakan emosi yang

dirasakan oleh seorang karyawan dari emosi yang ia tampilkan, yang

memiliki bentuk ekspresi wajah, gerak isyarat, nada, suara dan bahasa

yang digunakan untuk menyampaikan perasaan (Kurniasari, 2011).

Emotional labor merupakan konsep yang berbeda dengan regulasi

emosi di tempat kerja (Regulation emotion at work). Regulasi emosi di

tempat kerja bersifat lebih luas yaitu kariyawan melakukan manejemen

emosi di tempat kerja bersifat lebih luas yaitu kariyawan melakukan

12
manajemen emosi walaupun tidak di tuntut perusahaan. Pengaturan

emosi dalam dalam konteks emotional labor adalah sesuatu yang

bersifat di tuntut oleh perusahaan dan melakukannya adalah bagian dan

tugas pekerjaan (Grandey, 2000). Emotional labor bagi perawat bagian

pelayanan kesehatan adalah suatu hal yang sangat penting dan

berdapak pada kesuksesan instansi, serta kinerja perawat serta kepuasan

pasien.

Menurut Hochschild, (2012) Emotional labor dapat berdampak

negatif terhadap kariyawan berupa stres burnout, absensi yang tinggi

dan ketidak pastian kerja karena terlalu sering menekan emosi

negatifnya.hal ini terjadi pada sebagian perawat yang mengalami

kesulitan dalam meregulasi emeosinya dan merasa tertekan karena

harus bersikap positif pada setiap pasien. Namun sebaliknya sebagian

kariyawan menunjukan kenaikan kepuasan kerja selama melakukan

ekspresi positif dalam pekerjaannya dan merasa dirinya mencapai

kepuasanpersonal yang baik (Brotheridge & Grandey, 2002).

Individu yang tidak mapu melakukan kontrol dalam mengelola

emosi dan menampilkannya sesuai sesuai dengan tuntutan lembaga

akan berdampak pada performa kerja seperti penurunan kualitas

pelayanan yang di hasilkan, kondisi tersebut dapat akan berpengaruh

terhadap munculnya stress yang akan di rasakan individu dalam

bekerja. Hal itu di tunjang oleh pendapat dari Schulz 2010 (dalam sheila

Amalia hanun, Siswati ) steres yang di alami individu dan tidak

terselesaikan dalam jangka panjang dapat memicu muncunya burnout.

2.2 Konsep Psychological Well-Being

13
1. Definisi

Konsep well-being dilihat secara luas dan mencakup beberapa

konstruk. Menurut kementrian koordinatooar kesejateraan rakyat,

bahwa sejahterah adalah suatu keadaan seseorang sudah terpenuhi

kebutuhan dasarnya yaitu sandang, papan, pangan, pendidikan,

pekerjaan dan sebagainya. Ryff mencoba menintegrasikan beberapa

teori psikologi yang dianggapnya berkaitan dengan konsep kesejateraan

psikologi untuk menambah kelengkapanya. Teori – teori psikologi

klinis yang di gunakan di antaranya yaitu aktualisasi diri milik abraham

maslow, konsep kematangan yang di ambil milik allport, konsep fully

functioning milik rogers dan konsep individuasi dari Jung. Selain itu

juga ada beberapa konsep lain yang di ambil dari teori perkembangan

khususnya psikososial juga konsep mengenai kesehatan mental

(Ramdhani. 2009: 39).

Brunetto et al. (2013) menyatakan bahwa well-being di tempat

kerja merupakan konsep yang relatif baru dalam manajemen (terlebih

manajemen kesehatan) dan terdapat konsep dan definisi yang berbeda-

beda. Menurut Grant, Christianson, & Price (2007) menyatakan bahwa

well-being memiliki 3 dimensi, yaitu psychological well-being, physical

well-being, dan social well-being. Psychological well-being berfokus

pada pengalaman subjektif individu. Physical well-being mengukur

pengalaman fisiologis seseorang secara objektif dan subjektif terkait

kesehatan jasmani (Grant et al., 2007). Social well-being merupakan

kualitas hubungan seseorang dengan orang lain dan komunitasnya.

Well-being merupakan fungsi mental, psikologis, fisik, fisiologis

14
dan keadaan kesehatan seseorang terkait kualitas kerja seseorang

(pengalaman dan keaktifan) yang dapat meningkatkan produktivitas

kerja individu, perusahaan, maupun sosial. Oleh karena well-being

merupakan konsep yang ditandai dengan kualitas hidup pekerja, serta

dilihat sebagai faktor utama yang menentukan produktivitas seseorang,

perusahaan, dan sosial (Schulte & Vainio, 2010), maka psychological

well-being menjadi bagian penting pada kehidupan seseorang dan juga

berdampak bagi organisasi (Zizek, Treven, & Cancer, 2014).

Definisi psychological well-being terdiri dari beberapa karakteristik

(Wright, Cropanzano, Bonett, & Diamond, 2009). Pertama,

psychological well-being merupakan pengalaman subjektif. Seseorang

yang memiliki psychological well-being tinggi, lebih mempercayai

dirinya sendiri. Kedua, psychological well-being termasuk kehadiran

emosi positif dan ketidak-hadiran emosi negatif. Ketiga, psychological

well-being merupakan global judgement, yaitu terkait kehidupan

seseorang secara menyeluruh. Positive psychological well-being terkait

dengan keputusan subjektif dan umum yang dialami seseorang.

Psychological well-being lebih dari tidak adanya keadaan negative

atau adanya perasaan positif subjektif tentang diri seseorang; termasuk

6 dimensi yang penting untuk kehidupan yang secara personal dapat

dimengerti, bertujuan, dan self-fulfilling (Cieciuch, 2014). Menurut

Wright dan Cropanzano (2009), psychological well-being merupakan

keefektifan fungsi psikologis seseorang. Psychological well-being

mengukur hedonic atau dimensi menyenangkan dari perasaan

seseorang. Psychological well-being at work adalah keadaan psikologis

terkait perasaan dan tujuan yang dialami seseorang ketika mereka


15
bekerja (Robertson & Cooper, 2011).

Berdasarkan definisi-definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa

psychological well-being merupakan keadaan psikologis seseorang

terkait pengalaman pada perasaan dan tujuan pribadi yang dialami

seseorang serta kehadiran emosi positif ketika mereka bekerja.

2. Dimensi Psychological Well-Being

Well-being terdiri dari fungsi psikologis, fisik, dan fungsi sosial

seseorang. Grant, Christianson, dan Price (2007) memandang well-

being memiliki tiga dimensi. Dimensi well-being yang pertama yaitu

dimensi psikologis yang mana didalamnya termasuk pemerintahan,

kepuasan, diri dan kemampuan seseorang (Grant et al., 2007).

Psychological well-being bukan hanya perasaan “like ourselves again”.

Ketika seseorang merasa tertekan, mereka mudah untuk mengidealkan

diri yang normal. Ketika kita percaya bahwa kita dapat berhenti untuk

merasa buruk dan tidak bernilai, kita akan baik-baik saja (Karbalaei &

Shirvani, 2015).

Dimensi yang kedua yaitu dimensi fisik yang terdiri atas makanan,

tempat berlindung, kesehatan, pakaian, dan mobilitas (Grant et al.,

2007). Menurut Karbalaei dan Shirvani (2015), tidak ada kebahagiaan

selain bebas dari kondisi kronis yang melelahkan, atau alergi, atau

melihat seseorang yang kita sayangi bebas dari sakitnya. Dimensi yang

ketiga adalah dimensi sosial, yaitu berpartisipasi dalam komunitas,

diterima oleh masyarakat, dan membantu orang lain.

Berbeda dengan Grant, Christianson, dan Price (2007), menurut

Zizek, Treven, dan Cancer (2014) terdapat 6 dimensi psychological

well- being yang lebih komprehensif. Keenam dimensi tersebut yaitu :


16
a. Penerimaan diri (Self-Acceptance)

Dimensi ini merupakan ciri utama kesehatan mental dan

merupakan karakteristik utama dalam aktualisasi diri, berfungsi

optimal dan kematangan. Penerimaan diri yang baik ditandai

dengan kemampuan menerima diri apa adanya. Kemampuan

tersebut memungkinkan seseorang untuk bersikap positif terhadap

diri sendiri dan kehidupan yang dijalaninya. Hal tersebut

menandakan kesejahteraan psikologis yang tinggi. Individu yang

memiliki tingkat penerimaan diri yang baik ditandai dengan sikap

positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai

aspek yang ada dalam dirinya, baik yang positif maupun negatif,

dan memiliki pandangan positif terhadap masa lalu. Demikian pula

sebaliknya, seseorang yang memiliki tingkat penerimaan diri yang

kurang baik dan memunculkan perasaan tidak puas terhadap diri

sendiri, merasa kecewa dengan pengalaman masa lalu, dan

memiliki pengharapan untuk menjadi pribadi yang bukan dirinya,

dengan kata lain tidak menjadi dirinya saat ini.

b. Hubungan positif dengan orang lain (Positive relations with others)

Pada dimensi ini seringnya disebut dimensi yang paling

penting dari konsep kesejahteraan psikologis. Ryff menekankan

pentingnya menjalin hubungan hangat dan saling percaya dengan

orang lain. Dimensi ini juga menekankan adanya kemampuan yang

merupakan salah satu komponen kesehatan mental yaitu

kemampuan untuk mencintai orang lain. Dalam dimensi ini,

individu yang dikatakan tinggi atau baik ditandai dengan adanya

hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan

17
orang lain, dan juga memiliki rasa afeksi dan empati yang kuat

terhadap orang lain. Sementara itu, individu yang dikatakan rendah

atau kurang baik dalam dimensi ini ditandai dengan memiliki

sedikit hubungan dengan orang lain, sulit bersikap hangat dan

enggan memiliki ikatan dengan orang lain.

c. Kemandirian (Autonomy)

Pada dimensi ini menjelaskan tentang kemandirian,

kemampuan untuk menentukan diri sendiri, dan kemampuan untuk

mengatur tingkah laku.Individu yang mampu menolak tekanan

sosial untuk berfikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu,

serta dapat mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal, hal

ini menandakan bahwa individu tersebut baik dalam dimensi ini.

Individu yang kurang baik dalam dimensi ini akan memperhatikan

harapan dan evaluasi dari orang lain, mereka akan membuat

keputusan berdasarkan penilaian orang lain dan cenderung bersikap

konformis. Individu tidak terpengaruh dengan persepsi orang lain

dan tidak bergantung dengan orang lain adalah individu yang

memiliki kemandirian yang baik, sedangkan individu yang mudah

terpengaruh serta bergantung pada orang lain adalah individu yang

memiliki kemandirian yang rendah.

d. Penguasaan lingkungan (Environmental Mastery)

Penguasaan lingkungan adalah seseorang yang mampu

memanipulasi keadaan sehingga sesuai dengan kebutuhan dan

nilai-nilai pribadi yang dianutnya dan mampu untuk

mengembangkan diri secara kreatif melalui aktivitas fisik maupun

mental. Individu dengan kesejahteraan psikologis yang baik

18
memiliki kemampuan untuk memilih dan menciptakan lingkungan

yang sesuai dengan kondisi fisik dan mental pada dirinya. Dengan

kata lain, individu memiliki kemampuan dalam menghadapi

kejadian-kejadian di luar dirinya (lingkungan eksternal). Sementara

itu, Individu yang kurang baik dalam dimensi ini akan

menunjukkan ketidakmampuan untuk mengatur kehidupan sehari-

hari, dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan luar

disekitarnya.

e. Tujuan hidup (Purpose in Life)

Pada dimensi ini menjelaskan kemampuan individu untuk

mencapai tujuan atau arti hidup. Individu yang memiliki makna

dan keterarahan dalam hidup, maka akan memiliki perasaan bahwa

kehidupan baik saat ini maupun masa lalu mempunyai makna,

memiliki kepercayaan untuk mencapai tujuan hidup, dan memiliki

target terhadap harapan yang ingin dicapai dalam hidup, maka

dapat dikatakan bahwa individu memiliki tujuan hidup yang baik.

Sementara, individu yang kurang baik dalam dimensi ini, ditandai

dengan memiliki perasaan tidak ada tujuan yang ingin dicapai

dalam hidup tidak melihat adanya manfaat terhadap kehidupan

masa lalunya, dan tidak mempunyai kepercayaan untuk membuat

hidup berarti.Dimensi ini juga menggambarkan kesehatan mental

(psikologis) seseorang karena individu tidak dapat terlepas dari

keyakinan yang dimiliki mengenai tujuan dan makna kehidupannya

ketika mendefinisikan kesehatan mental.

f. Pengembangan potensi dalam diri (Personal Growth)

Pada dimensi ini menjelaskan tentang kemampuan individu

19
untuk mengembangkan potensi dalam diri dan berkembang sebagai

seorang manusia.Personal growth ini penting untuk dimiliki setiap

individu dalam fungsi secara psikologis.Salah satu hal penting

dalam dimensi ini adalah adanya kebutuhan untuk mengaktualisasi

diri, misalnya keterbukaan terhadap pengalaman.Individu yang

memiliki personal growth yang baik memiliki perasaan untuk terus

berkembang, melihat diri sebagai sesuatu yang bertumbuh,

menyadari potensi dalam diri, dan mampu melihat peningkatan

dalam diri dan tingkah laku dari waktu ke waktu.Sementara itu,

Individu yang kurang baik dalam personal growth ini akan

menunjukkan ketidakmampuan untuk mengembangkan sikap dan

tingkah laku baru, memiliki perasaan bahwa dirinya adalah seorang

pribadi yang monoton dan stagnan, serta tidak tertarik dengan

kehidupan yang dijalaninya.

Hurlock (dalam Snyder dan Lopez, 2002) menjelaskan bahwa

ada beberapa esensi mengenai kebahagiaan atau keadaan sejahtera

(well-being), kenikmatan atau kepuasan, antara lain:

a. Sikap menerima (acceptance)

Sikap menerima orang lain dipengaruhi oleh sikap penerimaan

diri yang timbul dari penyesuaian pribadi maupun penyesuaian

sosial yang baik. Shaver dan Freedman (Hurlock, 1994) lebih

lanjut menjelaskan bahwa kebahagiaan seseorang bergantung

pada sikap penerimaan diri dan menerima keadaaan orang lain,

serta segala sesuatu yang dimilikinya.

b. Kasih sayang (affection)

Cinta atau kasih sayang merupakan hasil normal dari sikap

20
diterima oleh orang lain. Individu yang semakin diterima baik

oleh orang lain, maka semakin banyak harapan mendapatkan

cinta dari orang lain. Cinta atau kasih sayang yang berkurang

memiliki pengaruh yang besar terhadap kebahagiaan seseorang.

c. Prestasi (achievement)

Prestasi berhubungan dengan tercapainya tujuan seseorang.

Individu yang memiliki tujuan tinggi yang tidak terealisasi,

maka akan menimbulkan kegagaalan dan individu tersebut akan

merasa tidak puas dan merasa tidak bahagia. Sementara itu,

individu yang memiliki tujuan yang terealisasi, maka akan

merasa puas dan bahagia. Tujuan seseorang yang hendak dicapai

salah satunya adalah mengenai pencapaian prestasi.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Psychological Well-Being

Sukma Adi Galuh, dkk (2007) menyatakan faktor‐faktor yang

mempengaruhi psychological well‐being dari beberapa ahli. Faktor-

faktor tersebut, antara lain: latar belakang budaya, kelas sosial, tingkat

ekonomi dan tingkat pendidikan, kepribadian, pekerjaan, pernikahan,

anak‐anak, kondisi masa lalu seseorang terutama pola asuh keluarga,

kesehatan dan fungsi fisik, serta faktor kepercayaan dan emosi, jenis

kelamin, serta religiusitas.

Menurut Tia Rahmadani (2016:110) menyatakan faktor-faktor

yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis (psychological well-

being), seseorang menurut Ryff antara lain:

a. Faktor demografis yang mempengaruhi kesejateraan psikologi yaitu

usia, jenis kelamin status sosial, ekonomi dan budaya

b. Dukungan sosial

21
Dukungan sosial sendiri di artikan sebagai rasa nyaman, perhatian,

penghargaan atau pertolongan yang di persepsikan oleh seseorang

individu yang didapat dari berbagai sumber, di antaranya pasangan

keluarga teman, rekan keja, tenaga kesehatan maupun organisasi

sosial.

c. Evaluasi terhadap pengalaman hidup

Pengalaman hidup mencangkup berbagai bidang kehidupan dalam

berbagai periode kehidupan. Evaluasi individu terhadap pengalaman

hiodupnya memiliki pengatruh yang penting terhadap kesejateraan

psikologi.

d. Locus Of Control (LOC)

Locus of control didefinisikan sebagai suatu ukuran harapan umum

seseorang mengenai pengendalian ( kontrol ) terhadap penguatan

(reinforcemernt) yang menikuti perilaku tertentu, dapat memberikan

pengalaman terhadap kesejateraan psikologi ( psychological well

being ).

4. Dampak dari Psychological Well-Being

Meningkatkan well-being dapat mengurangi angka withdrawal atau

penarikan diri (Karbalaei & Shirvani, 2015). Withdrawal yaitu

pekerjaan yang terlewatkan, turnover, tidak ada jaminan cuti saat sakit,

dan stress terkait tuntutan upah, semua hal tersebut merugikan

organisasi. Well-being juga mempengaruhi kinerja sukarela, dimana

pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang dapat mendukung organisasi,

tetapi tidak ada tanggung- jawab pokok dari organisasi (Karbalaei &

Shirvani, 2015).

22
Well-being memiliki dampak signifikan pada performansi dan

kelangsungan hidup organisasi dengan mempengaruhi biaya terkait

dengan penyakit dan kesehatan, ketidakhadiran, turnover, discretionary

effort, organizational citizenship behavior, dan performansi kerja

karyawan (Grant et al., 2007).

Kesejahteraan seseorang menentukan baik maupun buruknya

produktivitas termasuk kehadiran dan absensi seseorang dalam suatu

perusahaan. (Schulte & Vainio, 2010). Kesehatan dan kesejahteraan

berpotensi untuk mempengaruhi pekerja dan juga organisasi secara

negatif. Sebagai contoh, perawat yang bekerja dalam mejalankan

asuhan keperawatan secara konverensif merasa kurang diperhatikan

kesehatan dan kesejahteraannya di tempat kerja yang akan

mengakibatkan menjadi kurang produktif, dan juga keputusan yang

diambil berkualitas renda, cenderung tidak hadir dalam pekerjaannya,

dan kontribusinya terhadap organisasi secara konsisten berkurang.

Well-being di tempat kerja dipengaruhi oleh kesehatan mental dan

fisik, job security, organisasi kerja, worklife benefits, dan upah (Schulte

& Vainio, 2010). Dampak well-being bagi individu berupa dampak

fisik, psikologis, dan perilaku. Dampak well-being bagi organisasi yaitu

biaya asuransi kesehatan, produktivitas atau ketidak- hadiran, dan

compensable disorder atau tuntutan. Psychological well- being

memiliki dampak yang mempengaruhi pekerjaan seseorang (kualitas

dan kuantitas) dan juga berdampak pada hasil yang dicapai oleh

organisasi (Zizek, Treven, & Cancer, 2014).

5. Cara pengukuran kesejahteraan psikologis (Psychological well- being)

Pengukuran kesejahteraan psikologis (psychological well-being)

23
siswa pada penelitian ini berdasarkan dimensi-dimensi yang telah

dijelaskan oleh Ryff & Keyes, bahwa dimensi-dimensi psychological

well-being sebagai pencapaian penuh dari potensi kesejahteraan

psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima

kekuatan dan kelemahan pada dirinya, memiliki hubungan yang positif

dengan orang lain, mampu mengembangkan potensi diri secara

berkelanjutan, mampu mengarahkan dalam hidupnya, mampu mengatur

lingkungan, dan memiliki tujuan hidup. Pada penelitian ini dimensi-

dimensi tersebut, disusun menjadi suatu pernyataan-pernyataan.Pada

setiap pernyataan diberi skala untuk mengukur tinggi rendahnya

kesejahteraan psikologis (psychological well-being).

2.3. Perawat

1. Definisi

Perawat atau Nurse berasal dari bahasa Latin yaitu kata Nutrix

yang berarti merawat atau memelihara. Menurut Undang-undang

Nomor 38 Tahun 2014, perawat adalah seseorang yang telah lulus

pendidikan tinggi keperawatan, baik di dalam maupun luar negeri yang

diakui pemerintah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-

undangan. Perawat adalah seseorang yang berperan dalam merawat atau

memelihara, membantu dan melindungi seseorang karena sakit, injury

dan proses penuaan. Perawat adalah orang yang mengasuh, merawat,

dan melindungi, yang merawat orang sakit, luka dan usia lanjut

(Priharjo, 2008).

Perawat adalah seseorang yang telah menyelesaikan program

24
pendidikan keperawatan, berwenang di negara bersangkutan untuk

memberikan pelayanan dan bertanggung jawab dalam peningkatan

kesehatan, pencegahan penyakit serta pelayanan terhadap pasien.

2. Karakteristik perawat

a. Usia

Menurut Erikson rentang umur 25-45 tahun merupakan tahap

perkembangan generativitas dan stagnasi, dimana seseorang

memperhatikan ide-ide keinginan untuk berbagi pengetahuan, dan

meningkatkan kreativitas (Warsito & Yanti, 2013). Hal tersebut

didukung oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana

(BKKBN) yang menyatakan bahwa usia produktif adalah usia yang

berkisar antara 20-40 tahun.

b. Jenis kelamin

Pekerjaan sebagai perawat masih banyak diminati oleh perempuan

dibandingkan laki-laki karena keperawatan identik dengan

pekerjaan yang cocok dan sesuai dengan sifat perempuan yang

lebih sabar, lemah lembut, dan peduli (Warsito & Yanti, 2013).

c. Masa kerja

Perawat yang telah bekerja dalam periode waktu minimal 2 tahun

dalam keadaan yang baik dipercaya dapat menunjukkan perilaku

engage terhadap organisasi (Rasheed, Khan & Ramzan, 2013).

Perawat juga merupakan salah satu hal yang

terpenting dalam kehidupan bermasyarakat untuk merawat dan

memberikan pelayanan yang baik bagi masyarakat itu sendiri. Di

samping itu perawat juga harus memberikan kesan yang baik

25
terhadap pasien yang sedang memeriksa sehingga pasien merasa

lebih baik dengan adanya kesan baik yang di berikan perawat

terhadap paisen tersebut.

Sebagai hal yang paling urgen perawat dapat menelolah emosinya

walaupun masih banyak kendalah ataupun masalah yang di hadapi

dalam bekerja yang di tandai dgan selalu murah senyum dengan

pasien agar pasien tersebut termotifasi dan merasa akan lebih baik

sesuai dengan apa yang di harapkan bersama, sehingganya dengan

demikian kesejateraan psikologis dapat terpenuhi dengan baik.

2.4 Kerangka Berpikir

2.4.1 Kerangka teori

Psychological well- being


menyatakan bahwa well-being
Emotional Labor adalah
di tempat kerja merupakan
proses mengatur baik
konsep yang relatif baru dalam
perasaan dan ekspresi
manajemen (terlebih
untuk tujuan organisasi.
manajemen kesehatan) dan
terdapat konsep dan definisi
yang berbeda- beda.

Aspek-Aspek
Emotional Labor
menurut Robbin dan
Judge (2012) ;
Surface Acting Dimensi-dimensi
Psychological well- being
Deep Acting
:
Frequency
Penerimaan diri
Variety
Intensity Hubungan positif
dengan orang lain

Kemandirian

Penguasaan
lingkungan

Tujuan hidup
26
Mengembangkan
potensi
(Grandey, 2013 ; Brunetto et al, 2013 ; Judge, 2012)

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Teori

2.4.2 Kerangka konsep

Psychological well-
Emotional Labor being

Gambar 2.2 Bagan Kerangka Konsep

Keterangan :

Variabel Independen

Variabel Dependen

Hubungan variabel yang akan diteliti

2.4 Hipotesis

Rumusan hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara

27
Emotional Labor dengan Psychological Well-Being pada perawat RSUD.

Banggai Laut.

28
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.1.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di RSUD. Banggai Laut.

3.1.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Maret – April

2020.

3.2 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian survey analitik dengan

pendekatan waktu crooss sectional dimana data yang mencakup variabel

bebas dan variabel terikat akan di kumpulkan dan di ukur dalam waktu yang

bersamaan (Notoatmodjo, 2010). Penelitian ini dimaksudkan untuk

menguraikan atau mengetahui Emotional Labor dengan Psychological Well-

Being pada perawat RSUD. Banggai Laut.

3.3 Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang,

objek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2013).

29
3.3.1 Variabel Independen

Variabel Independen Variabel independen (bebas) adalah variabel

yang mempengaruhi atau menjadi sebab perubahannya atau timbulnya

variabel dependen (Sugiyono, 2013). Dalam penelitian ini yang menjadi

variabel bebasnya adalah emotional labor.

3.3.2 Variabel Dependen

Variabel dependen (terikat) adalah variabel yang dipengaruhi oleh

variabel bebas, variabel terikat sering disebut sebagai variabel akibat,

karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2013). Dalam penelitian ini yang

menjadi variabel dependen adalah Psychological Well-Being pada perawat.

3.4 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah suatu definisi yang diberikan kepada suatu

variabel dengan cara memberikan suatu operasional yang diberikan untuk

mengukur variabel tersebut (Notoatmodjo, 2010).

Tabel 3.4 Definisi Operasional

Variabel Definisi Parameter Alat Skala Skor


Operasional Ukur Ukur
Independe Kemampuan Emotional Kuisioner Ordinal Baik=
n: untuk menampil- Labor scale (SS)= 5 >50%
Emotiona kan emosi positif (ELS) terdiri (S)= 4 =
l labor. seperti, senyum, dari frequency, (KD)= 3 Kurang
berkomunikasi intensity, (J)= 2 =< 50%
lancar dan baik, variety, deep (TP)= 1
berperilaku acting dan (Arikuno,
ramah kepada surface acting 2013)
customer sebagai
tuntutan
perusahaan.
asma
dan
penatalaksanaan
Dependen nya, dalam.. Kuisioner Ordinal
: SS= 4 Baik=
Psychologi S= 3 >50%
Dimensi-
cal Well- TS= 2
30
Being Keadaan dimensi: STS= 1 =
pada psikologis 1. Penerimaan Kurang
perawat seseorang terkait diri =< 50%
pengalaman pada 2. Hubungan
perasaan dan positif (Arikuno,
tujuan pribadi dengan orang 2013)
yang dialami
lain
seseorang serta
kehadiran emosi 3. Kemandirian
positif ketika
mereka bekerja. 4. Penguasaan
lingkungan
5. Tujuan
hidup
6. Mengemban
gkan potensi

3.5 Populasi dan Sampel

3.5.1 Populasi

Populasi adalah subyek yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan

(Nursalam, 2013). Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

seluruh perawat yang bekerja di RSUD. Banggai Laut sejumlah 119 orang.

3.5.2 Sampel

Dari data tentang populasi di atas akan di seleksi kriteria sampel yang

terdiri dari kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Sampel yaitu karakteristik

umum subyek penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau dan

akan diteliti (Nursalam, 2013). Teknik pengambilan sampel dalam

penelitian ini adalah total sampling. Total sampling adalah teknik

pengambilan sampel dimana jumlah sampel sama dengan populasi

(Sugiyono, 2013).
31
3.6 Teknik Pengumpulan Data

Menurut Sugiyono (2013) teknik pengumpulan data merupakan

langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari

penelitian adalah mendapatkan data.

3.6.1 Jenis Data

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh peneliti secara langsung

dari responden melalui lembar kuesioner.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari sumber

yang sudah ada pada bagian administrasi RSUD. Banggai Laut.

3.6.2 Prosedur Pengumpulan Data

Merupakan data-data yang menyebar pada masing-masing sumber

data atau subjek penelitian yang perlu dikumpulkan untuk selanjutnya

ditarik kesimpulannya (Imron, 2011). Responden dalam penelitian ini ialah

perawat yang bekerja di RSUD. Banggai Laut. Kemudian akan dibagi

kuesioner untuk menjawab beberapa pertanyaan. Namun sebelum dibagikan

kuesioner, peneliti akan menjelaskan tujuan peneliti dan meminta

persetujuan dari responden.

3.6.3 Instrumental Penelitian

Instrumen penelitian merupakan sebuah alat yang digunakan untuk

mengumpul data atau informasi yang bermanfaat untuk menjawab

permasalahan penelitian. Adapun instrument peneliti gunakan dalam

penelitian ini adalah kuesioner.

32
3.7 Teknik Pengolahan Data

Menurut Notoadmodjo (2010), Pengolahan data dapat dilakukan dengan

langkah-langkah sebagai berikut :

1. Penyuntingan Data (Editing)

Pada tahap ini penulis melakukan penelitian terhadap data yang diperoleh

dari Kuesioner, kemudian diteliti apakah terdapat kekeliruan atau tidak

dalam pengisiannya.

2. Membuat Lembaran Kode atau Kartu Kode (Coding Sheet)

Setelah dilakukan editing, selanjutnya penulis memberikan kode tertentu

pada tiap-tiap data sehingga memudahkan dalam melakukan analisa data.

3. Memberikan Penilaian (Scoring)

Memberikan skor atau bobot pada setiap jawaban dari pertanyaan

kuisioner.

4. Tabulasi (Tabulating)

Pengelompokan data dalam suatu bentuk tabel menurut sifat yang

dimiliki sesuai tujuan penelitian dan disajikan dalam bentuk narasi dan

tabel distribusi frekuensi.

3.8 Teknik Analisis Data

Dalam melakukan analisis, khususnya terhadap data penelitian akan

menggunakan bantuan program SPSS.

1. Analisis univariat

Analisa univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum dengan

cara mendeskripsikan tiap-tiap variabel yang digunakan dalam penelitian

yaitu dengan melihat gambaran distribusi frekuensinya dengan

menggunakan rumus :

33
F
P= x 100%
N
Keteragan :

P : Presentase

F : Jumlah penerapan yang sesuai prosedur

N : Jumlah item observasi (Sugiyono, 2013).

2. Analisis bivariat

Analisis bivariat yaitu yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan atau berkolerasi. Dimana untuk mengetahui adanya

hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Teknik analisis data

yang digunakan pada penelitian ini menggunakan salah satu uji Chi

square test dengan tingkat kemaknaan α = 0,05 (derajat kepercayaan

95%) dengan menggunakan bantuan program SPSS (Sugiyono, 2013).

3.9 Hipotesis Statistik

1. HI : Ada hubungan antara Emotional Labor dengan Psychological

Well-Being pada perawat RSUD. Banggai Laut.

2. H0 : Tidak ada hubungan antara Emotional Labor dengan

Psychological Well-Being pada perawat RSUD. Banggai Laut.

3.10 Etika Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, peneliti mengajukan surat

permohonan izin yang ditujukan ke RSUD. Banggai Laut dalam hal ini

bagian administrasi untuk mendapatkan persetujuan penelitian. Kemudian

melaksanakan penelitian dan menyusun laporan hasil penelitian dengan

memperhatikan hal-hal berikut :

34
1. Informed consent

Informed consent merupakan lembar yang diajukan dalam merekrut

responden terlebih dahulu agar mengetahui maksud dan tujuan yang

diadakan peneliti. Lembar persetujuan ini diberikan sebelum penelitian

dilaksanakan.

2. Anonymity

Nama responden tidak dicantumkan pada lembar instrumen ataupun

hasil. Sebagai gantinya nama responden diganti menggunakan kode inisial

saja seperti “A”, “B” dan seterusnya.

3. Confidentiality

Data berupa usia, jenis kelamin, dan pengetahuan dari pasien dijamin

kerahasiannya oleh peneliti. Data tersebut digunakan untuk memperoleh

hasil dan hanya peneliti yang mengetahuinya.

35
DAFTAR PUSTAKA

Bakker &Heuven. 2006. The effects of emotional labor on employee work


outcomes. Unpublished doctoral dissertation, Virginia Tech,
Blacksburg, Virginia.

Brunetto, Y., Xerri, M., Shriberg, A., Farr-Wharton, R., Shacklock, K., Newman,
S., & Dienger, J. 2013. The impact of workplace relationships on
engagement, well-being, commitment and turnover for nurses in australia
and the USA. Journal of Advanced Nursing.

Danna, K & Griffin, R.W. 1999. Health and well-being in the workplace: A
review and synthesis of the literature. Journal of Management, 25(3),
357-384.

Diefendorf, J. M., Levy, P.E., Dahling, J.J., & Chau, S.L. 2009. A
predictive study of emotional labour and turn over. Journal of
Organization Behavior. 30, 1151-1163.

Duke, A. B,. Goodman, J. M., Treadway. D.C., & Breland. J. W. 2009.


Perceived organizational support as a moderator of emotional
labour/outcome relationship. Journal Applied of Social Psychology,
39, 1013-1034.

Fatona, L., Tarwaka, & Werdani, K. (2015). Perbeedaan tingkat kelelahan


antara shift pagi, sore dan malam pada perawat rawat inap di RS PKU
Aisyiyah Boyolali Naskah Publikasi. Jurnal Fik Uns, 1–14.

Grandey, A. A. 2009. When the show must go on: Surface and deep acting
as determinants of emotional exhaustion and peer-rated service
delivery. Academy of Management Journal, 46, 86-96.

Grandey, A. A, Diefendorff, J. M., Rupp, D. E. 2013. Emotional laborin the


21 Century: diverse perspective on the psychology of emotion
regulation at work. UK: Routledge.

Grant, A.M., Christianson, M.K., & Price, R.H. 2007. Happiness, health, or
relationships? Managerial practices and employee well-being
tradeoffs. Academy of Management Perspective, 51-63.

Hajra, L. 2016. Today.mims.com: Masalah yang dihadapi perawat. Diunduh


dari https://today.mims.com/masalah-yang-sering-dihadapi-perawat

Harmon, K., Sey.R., Hiner, J., Faron, S., & McAdam, A. 2010. Successful
nurse.

36
Hochschild, A. R. 1983. The managed heart: The commercialization of
human feeling.Berkeley: Univ. of California Press.

Hwa, C. 2009. Exploring the dimensionality of emotional labour : The case


of malaysian hspitality industry. International Journal Of Business
Reasearch.

Karbalaei, B., & Shirvani, N.U.K. 2015. Mediating effect of occupational


health and employees well being on organizational performance.
International Journal of Research in Bussiness Management, 3(7), 29-
42.

Kaswan. 2017. Psikologi industry dan organisasi: Mengembangkan


perilaku produktif dan mewujudkan kesejahteraan pegawai di tempat
kerja. Bandung: Alfabeta.

Kurniasari, D., F. 2011. Pengaruh praktik manajerial pada persepsi


karyawan tentang kualitas pelayanan dengan kepuasan emosional
sebagai variabel mediasi. Skripsi. Universitas Sebelas Maret, Solo.

Manalu, L. F. 2017. Sindonews.com: Menyikapi krisis kekurangan


perawat. Diunduh dari https://nasional.sindonews.com
/read/1210047/18/menyikapi-krisis-kekurangan-perawat-
1496348683

Notoadmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka


Cipta.

Nursalam. 2013. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan


Praktis : Jakarta : SalembaMedika.

Priharjo, R. 2008. Konsep & perspektif praktik keperawatan profesional


ed.2. Jakarta: EGC.

Robbins, Judge & Timothy A. 2012. Perilaku organisasi Edisi ke-12,


Jakarta: Salemba Empat.

Robertson, I.T & Cooper, C.L. 2010. Full engagement: The integration of
employee engagement and psychological well-being. Leadership and
Organization Development Journal, 31(4), 324-335.

Ryff, C. D., & Keyes, C. L. 1995. The structure of psychological well-being


revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69(4), 719-
727.

Santosa, T. E. C. 2012. Memahami dan mendorong terciptanya employee


engagement dalam organisasi. Jurnal Manajemen, 11(2), 207-216.

Schulte, P & Vainio, H. 2010. Well-being at work – Overview and


perspective. Scandinavian Journal of Work, Environtment, & Helath,
37
36(5), 422-429.

Sholihah, Q., & Fauzia, R. 2013. Relationship work fatigue related to work
stress on circadian rythm night shift operator employee PT. Indonesia
Bulk Terminal, South Kalimantan. The European Journal of Social &
Behavioural Sciences.

Sugiyono. 2013. Statistika Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.

Usman, A. 2017. The effect of psychological wellbeing on employee Job


performance: Comparison between the employees of projectized and
non-projectized organizations. Journal of Entrepreneurship &
Organization Management.

Van Gederen. 2011. Social Support and emotional intelligence as predictors


of subjective well-being. Personality and Individual Differences, 44
(7), 51-61.

Warsito, B.E., & Yanti, R.I. 2013. Hubungan karakteristik perawat,


motivasi dan supervisi dengan kualitas dokumentasi proses asuhan
keperawatan. Jurnal Manajemen Keperawatan.

Wright, T.A., Cropanzano, R., Bonett, D.G., & Diamond, W.J. 2009. The
role of employee psychological well-being in cardiovascular health:
When the twain shall meet. Journal of Organizational Behavior.

Zizek, S.S., Treven, S., Cancer,V. 2014. Employees in slovenia and their
psychological well-being based on ryff’s model of psychological well-
being. Social Indicators Research.

38
LAMPIRAN

39

Anda mungkin juga menyukai