Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN JIWA KEGAWATDARAURATAN

PSIKIATRI

Di Bimbing oleh

Oleh kelompok 1

1. Alwi Hasan (2018.01.001)


2. Johana Dita Widiasari (2018.01.011)
3. Maria Anjelina Lawan (2018.01.017)
4. Matilda Ladus Amal (2018.01.019)
5. Windy Chrisnia Aldinus (2018.01.031)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WILLIAM BOOTH


SURABAYA
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang maha Esa karena atas rahmat dan karunia-nya makalah yang
berjudul “Keperawatan Kegawat daruratan Psikiatri” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Keberhasilan kami dalam penulisan makalah ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai
pihakkususnya teman-teman kelompok. Untuk itu kami menyampaikan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih
banyak kekurangan yang masih perlu diperbaiki, untuk itu kami mengharapkan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini, sehingga dapat bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya.

Surabaya,26 november 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul.................................................................................................. i
Kata Pengantar.................................................................................................. ii
Daftar Isi........................................................................................................... iii

BAB I Pendahuluan..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................ 2

BAB II Tinjaun Teori ................................................................................... 3


2.1 Definisi Kegawat daruratan Psikiatrik ........................................... 3
2.2 Faktor- Faktor Penyebab Kegawat daruratan Psikiatrik................. 3
2.3 Macam Tanda dan Gejala Kegawat daruratan Psikiatrik ............... 4
2.4 Dasar Hukum Pelayanan Kedaruratan Psikiatri ............................ 7
2.5 Data Tentang Psikosis..................................................................... 10

BAB III Tinjauan askep teori......................................................................... 12


3.1 Asuhan keperawatan teori ........................................................ 12
BAB IV Penutup............................................................................................ 19
4.1.1 Kesimpulan................................................................... 19
4.1.2 Saran ............................................................................ 19
Daftar Pustaka................................................................................................... 20

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Instalasi rawat darurat (IRD) merupakan tempat yang penuh dengan kesibukan
dimana sindrom psikiatrik akut seringkali muncul dan menimbulkan kesulitan dalam
diagnostik dan manajemen. Ruang kedaruratan di rumah sakit awalnya digunakan
untuk mengatasi dan memberikan pelayanan segera pada pasien dengan kondisi medis
atau trauma akut. Peran ini kemudian meluas dengan memberikan pelayanan segara
pada tipe kondisi lain, termasuk pasien yang mengalami kedaruratan psikiatri. (Petit,
2004; Trent, 2013) Kedaruratan psikiatri merupakan keadaan yang tak terduga dengan
potensi katastrophic, dengan demikian diharapkan praktisi kesehatan mental harus
siap untuk mengatasi krisis seperti keinginan bunuh diri, agitasi dan agresi, serta
keadaan confusional state. Berdasarkan data yang dikumpulkan pada tahun 2001,
didapatkan 30% pasien dengan depresi unipolar, 26% psikosis, 20% dengan
penyalahgunaan zat, 14% bipolar, 4% gangguan penyesuaian, 3% gangguan cemas,
dan 2% dengan demensia. Sekitar 40 persen dari semua pasien terlihat di ruang gawat
darurat psikiatri memerlukan rawat inap. Sebagian besar kunjungan terjadi selama
jam malam, dan tidak ada perbedaan antara hari, minggu, bulan, atau tahun. (Allen et
al., 2002; Sadock and Sadock, 2010).
Banyak penyakit medis umum yang memberikan gejala gangguan perilaku
dan dapat menyebabkan perubahan dalam berpikir dan mood. Berbagai gejala tersebut
menyebabkan peningkatan keterlibatan psikiatri dalam pelayanan kedaruratan. Saat
ini juga telah banyak pasien dengan alasan medis yang datang dengan ciri-ciri
kepribadian dan mekanisme koping yang maladaptif yang dapat mempersulit
penatalaksanaan medisnya. Dalam semua situasi ini, peran psikiater sebagai konsultan
dan penghubung dapat menjadi sangat penting dalam memfasilitasi perawatan yang
tepat. Psikiater hendaknya mampu dalam mengelola pasien yang mengalami
kegawatdaruratan, mengelola masalah sistem rumah sakit, informasi tentang penyakit
medis dan psikiatris, terampil dalam konflik resolusi, etis dan legal tentang tanggung
jawab untuk keamanan pasien, dan mampu melayani sebagai pemimpin tim yang bisa
terjun langsung dalam krisis. (Riba, et al., 2010)
Secara keseluruhan, kedaruratan psikiatri merupakan bidang yang masih terus
berkembang. Klinisi diharapkan memiliki kemampuan atau keahlian pada

1
consultation-liaison psychiatry, manajemen krisis, brief psychotherapy, risk
assessment dan pengetahuan yang luas mengenai pengobatan, sistem pelayanan
rumah sakit dan kesehatan, serta psikiatri secara umum. (Riba et al., 2010)
1.2 Rumusan Masalah
1. Jelaskan Definisi Kegawat daruratan Psikiatrik
2. Jelaskan Faktor- Faktor Penyebab Kegawat daruratan Psikiatrik
3. Jelaskan Macam Tanda dan Gejala Awal pada Kegawat daruratan Psikiatrik
4. Jelaskan Dasar Hukum Pelayanan Kedaruratan Psikiatri
5. Jelaskan Data Tentang Psikosis Kedaruratan Psikiatri
1.3 Tujuan
1. Untuk Mengetahui dan Memahami Definisi Kegawat daruratan Psikiatrik
2. Untuk Mengetahui dan Memahami Faktor- Faktor Penyebab Kegawat daruratan
Psikiatrik
3. Untuk Mengetahui dan Memahami Macam Tanda dan Gejala Awal pada Kegawat
daruratan Psikiatrik.
4. Untuk Mengetahui dan Memahami Dasar Hukum Pelayanan Kedaruratan
Psikiatri
5. Untuk Mengetahui dan Memahami Data Tentang Psikosis Kedaruratan Psikiatri

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Keperawatan Kegawat Daruratan (emergency Nursing) Adalah bagian dari
keperawatan dimana perawat memberikan asuhan kepada klien yang sedang
mengalami keadaan yang mengancam kehidupan karena sakit atau kecelakaan.
Kondisi pada keadaan kegawat daruratan psikiatrik meliputi percobaan bunuh diri,
ketergantungan obat, intoksikasi alkohol, depresi akut, adanya delusi, kekerasan,
serangan panik, dan perubahan tingkah laku yang cepat dan signifikan, serta beberapa
kondisi medis lainnya yang mematikan dan muncul dengan gejala psikiatriks umum.
Kegawatdaruratan psikiatrik ada untuk mengidentifikasi dan menangani kondisi ini.
Kemampuan dokter untuk mengidentifikasi dan menangani kondisi ini sangatlah
penting. Keperawatan Gawat Darurat adalah pelayanan profesional yg didasarkan
pada ilmu keperawatan gawat darurat & tehnik keperawatan gawat darurat berbentuk
pelayanan bio-psiko-sosio- spiritual yang komprehensif ditujukan pada semua
kelompok usia yang sedang mengalami masalah kesehatan yang bersifat urgen , akut
dan kritis akibat trauma, proses kehidupan ataupun bencana.
Berdasarkan konsensus yang dikembangkan oleh American Psychiatric
Association (APA) menyebutkan bahwa kedaruratan psikiatri adalah gangguan yang
bersifat akut, baik pada pikiran, perilaku, atau hubungan sosial yang membutuhkan
intervensi segera yang didefinisikan oleh pasien, keluarga pasien, atau masyarakat.
(Trent, 2013)
Secara keseluruhan, kedaruratan psikiatri merupakan bidang yang masih terus
berkembang. Klinisi diharapkan memiliki kemampuan atau keahlian pada
consultation-liaison psychiatry, manajemen krisis, brief psychotherapy, risk
assessment dan pengetahuan yang luas mengenai pengobatan, sistem pelayanan
rumah sakit dan kesehatan, serta psikiatri secara umum. (Riba et al., 2010)
2.2 Faktor Penyebab Gadar Psikiatri
Kondisi Kedaruratan Adalah suatu kondisi dimana terjadi gangguan integritas
fisiologis atau psikologis secara mendadak. Semua masyarakat berhak mendapat
perawatan kesehatan gawat darurat, pencegahan, primer, spesialistik serta kronik.
Perawatan GD harus dilakukan tanpa memikirkan kemampuan pasien untuk
membayar. Semua petugas medis harus diberi kompensasi yang adekuat, adil dan

3
tulus atas pelayanan kesehatan yang diberikannya. Diperlukan mekanisme
pembayaran penggantian atas pelayanan gratis, hingga tenaga dan sarana tetap tejaga
untuk setiap pelayanan. Ini termasuk mekanisme kompensasi atas penderita yang
tidak memiliki asuransi, bukan penduduk setempat atau orang asing. Semua pasien
harus mendapat pengobatan, tindakan medis dan pelayanan memadai yang diperlukan
agar didapat pemulihan yang baik dari penyakit atau cedera akut yang ditindak secara
gawat darurat.
Tempat rujukan layanan kegawatdaruratan psikiatrik biasanya dikenal sebagai
Psychiatric Emergency Service, Psychiatric Emergency Care Centres, atau
Comprehensive Psychiatric Emergency Programs. Tenaga kesehatan terdiri dari
berbagai disiplin, mencakup kedokteran, ilmu perawatan, psikologi, dan karya sosial
di samping psikiater. Untuk fasilitas, kadang dirawat inap di rumah sakit jiwa, bangsal
jiwa, atau unit gawat darurat, yang menyediakan perawatan segera bagi pasien selama
24 jam. Di dalam lingkungan yang terlindungi, pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik
diberikan untuk memperoleh suatu kejelasan diagnostik, menemukan solusi alternatif
yang sesuai untuk pasien, dan untuk memberikan penanganan pada pasien dalam
jangka waktu tertentu. Bahkan diagnosis tepatnya merupakan suatu prioritas sekunder
dibandingkan dengan intervensi pada keadaan kritis. Fungsi pelayanan
kegawatdaruratan psikiatrik adalah menilai permasalahan pasien, memberikan
perawatan jangka pendek, memberikan pengawasan selama 24 jam , mengerahkan tim
untuk menyelesaikan intervensi pada tempat kediaman pasien, menggunakan layanan
manajemen keadaan darurat untuk mencegah krisis lebih lanjut, memberikan
peringatan pada pasien rawat inap dan pasien rawat jalan, dan menyediakan pelayanan
konseling lewat telepon.
2.3 Macam Tanda dan Gejala Awal pada
1) Bunuh diri Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan
dapat mengakhiri kehidupan. Perilaku bunuh diri yang tampak pada seseorang
disebabkan karena stress yang tinggi dan kegagalan mekanisme koping yang
digunakan dalam mengatasi masalah (Keliat, 1993). Perilaku bunuh diri atau
destruktif diri langsung terjadi terus menerus dan intensif pada diri kehidupan
seseorang. Perilaku yang tampak adalah berlebihan, gejala atau ucapan verbal
ingin bunuh diri, luka atau nyeri (Rawlin dan Heacock, 1993).
Perilaku bunuh diri atau destruktif diri langsung terjadi terus menerus dan
intensif pada diri kehidupan seseorang. Perilaku yang tampak adalah

4
berlebihan, gejala atau ucapan verbal ingin bunuh diri, luka atau nyeri (Rawlin
dan Heacock, 1993). Bunuh diri adalah setiap aktivitas yang jika tidak dicegah
dapat mengarah pada kematian (Gail w. Stuart, Keperawatan Jiwa,2007).
Secara garis besar bunuh diri dapat dibagi menjadi 3 kategori besar yaitu;
1. Upaya bunuh diri (Suicide attempt) yaitu sengaja melakukan kegiatan
menuju bunuh diri, dan bila kegiatan itu sampai tuntas akan
menyebabkan kematian
2. Isyarat bunuh diri (Suicide gesture) yaitu bunuh diri yang direncanakan
untuk usaha mempengaruhi perilaku orang lain.
3. Ancaman bunuh diri (Suicide threat) yaitu suatu peringatan baik secara
langsung atau tidak langsung, verbal atau nonverbal bahwa seseorang
sedang mengupayakan bunuh diri

Dikutip dari situs kesehatan mental epigee.org, berikut ini adalah tanda-tanda
bunuh diri yang mungkin terjadi:

1. Bicara mengenai kematian: Bicara tentang keinginan menghilang, melompat,


menembak diri sendiri atau ungkapan membahayakan diri.
2. Baru saja kehilangan: kematian, perceraian, putus dengan pacar atau
kehilangan pekerjaan, semuanya bisa mengarah pada pemikiran bunuh diri
atau percobaan bunuh diri. Kehilangan lainnya yang bisa menandakan bunuh
diri termasuk hilangnya keyakinan beragama dan hilangnya ketertarikan pada
seseorang atau pada aktivitas yang sebelumnya dinikmati.
3. Perubahan kepribadian: seseorang mungkin memperlihatkan tanda-tanda
kelelahan, keraguan atau kecemasan yang tidak biasa.
4. Perubahan perilaku: kurangnya konsentrasi dalam bekerja, sekolah atau
kegiatan sehari-hari, seperti pekerjaan rumah tangga.
5. Perubahan pola tidur: tidur berlebihan, insomnia dan jenis gangguan tidur
lainnya bisa menjadi tanda-tanda dan gejala bunuh diri.
6. Perubahan kebiasaan makan: kehilangan nafsu makan atau bertambahnya
nafsu makan. Perubahan lain bisa termasuk penambahan atau penurunan berat
badan.
7. Berkurangnya ketertarikan seksual: perubahan seperti ini bisa mencakup
impotensi, keterlambatan atau ketidakteraturan menstruasi.

5
8. Harga diri rendah: gejala bunuh diri ini bisa diperlihatkan melalui emosi
seperti malu, minder atau membenci diri sendiri.
9. Ketakutan atau kehilangan kendali: seseorang khawatir akan kehilangan
jiwanya dan khawatir membahayakan dirinya atau orang lain.
10. Kurangnya harapan akan masa depan: tanda bunuh diri lainnya adalah
seseorang merasa bahwa tidak ada harapan untuk masa depan dan segala hal
tidak akan pernah bertambah baik.

2) Perilaku kekerasan Umumnya klien dengan Perilaku Kekerasan dibawa


dengan paksa ke Rumah sakit Jiwa. Sering tampak klien diikat secara tidak
manusiawi disertai bentakan dan pengawalan oleh sejumlah anggota keluarga
bahkan polisi. Perilaku kekerasan adalah perilaku individu yang dapat
membahayakan orang,diri sendiri baik secar fisik, emosional, dan sexualitas
( Nanda, 2005). Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk
perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun. Marah
merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan,
kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman Pengertian
Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk ekspresi kemarahan yang tidak
sesuai dimana seseorang melakukan tindakan-tindakan yang dapat
membahayakan/mencederai diri sendiri, orang lain bahkan dapat merusak
lingkungan. Pada pengkajian awal dapat diketahui alasan utama klien masuk
kerumah sakit adalah perilaku kekerasan di rumah. Dapat dilakukan
pengkajian dengan cara:
1. Observasi:
 Muka merah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara yang
tinggi, berdebat.
 Sering pula tampak klien memaksakan kehendak : merampas
makanan, memukul jika tidak senang.
2. Wawancara Diarahkan pada penyebab marah, perasaan marah, tanda-tanda
marah yang dirasakan klien. Keliat (2002) mengemukakan bahwa tanda
-tanda marah adalah sebagai berikut :
 Emosi : tidak adekuat, tidak aman, rasa terganggu, marah
(dendam), jengkel.

6
 Fisik : muka merah, pandangan tajam, nafas pendek, keringat, sakit
fisik,penyalahgunaan obat dan tekanan darah.
 Intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat,
meremehkan.
 Spiritual : kemahakuasaan, kebajikan/kebenaran diri, keraguan,
tidak bermoral, kebejatan, kreativitas terhambat.
 Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan
dan humor.

3. Gaduh/ Gelisah
Tanda dan gejala pada pasien yang mengalami gaduh gelisah diantaranya:
1. Gelisah
2. Mondar-mandir
3. Berteriak-teriak
4. Loncat-loncat
5. Marah-marah
6. Curiga +++
7. Agresif
8. Beringas.
9. Agitasi
10. Gembira +++.
11. Bernyanyi +++
12. Bicara kacau
13. Mengganggu orang lain
14. Tidak tidur beberapa hari
15. Sulit berkomunikasi

2.4 Dasar Hukum Pelayanan Kedaruratan Psikiatri


Penaturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelayanan gawat
darurat adalah UU No 23/1992 tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan
No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis, dan Peraturan Menteri Kesehatan
No.159b/1988 tentang Rumah Sakit. Dipandang dan segi hukum dan medikolegal,
pelayanan gawat darurat berbeda dengan pelayanan non-gawat darurat karena

7
memiliki karakteristik khusus. Beberapa isu khusus dalam pelayanan gawat darurat
membutuhkan pengaturan hukum yang khusus dan akan menimbulkan hubungan
hukum yang berbeda dengan keadaan bukan gawat darurat. Ketentuan tentang
pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah tegas diatur dalam pasal 5l
UUNo.29/2004 tentang Praktik Kedokteran, di mana seorang dokter wajib melakukan
pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan. Selanjutnya, walaupun dalam UU
No.23/1992 tentang Kesehatan tidak disebutkan istilah pelayanan gawat darurat
namun secara tersirat upaya penyelenggaraan pelayanan tersebut sebenamya
merupakan hak setiap orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal (pasal
4) Selanjutnya pasal 7 mengatur bahwa “Pemerintah bertugas menyelenggarakan
upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat” termasuk fakir miskin,
orang terlantar dan kurang mampu. Tentunya upaya ini menyangkut pula pelayanan
gawat darurat, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat
(swasta).
Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan
pelayanan gawat darurat 24 jam sehari sebagai salah satu persyaratan ijin rumah sakit.
Dalam pelayanan gawat darurat tidak diperkenankan untuk meminta uang muka
sebagai persyaratan pemberian pelayanan.
Dalam penanggulangan pasien gawat darurat dikenal pelayanan fase pra-
rumah sakit dan fase rumah sakit. Pengaturan pelayanan gawat darurat untuk fase
rumah sakit telah terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang
Rumah Sakit, di mana dalam pasal 23telah disebutkan kewajiban rumah sakit untuk
menyelenggarakan pelayanan gawat darurat selama 24 jam per hari.
Untuk fase pra-rumah sakit belum ada pengaturan yang spesifik. Secara umum
ketentuan yang dapat dipakai sebagai landasan hukum adalah pasal 7 UU No.23/1992
tentang Kesehatan, yang harus dilanjutkan dengan pengaturan yang spesifik untuk
pelayanan gawat darurat fase prarumah sakit Bentuk peraturan tersebut seyogyanya
adalah peraturan pemerintah karena menyangkut berbagai instansi di luar sektor
kesehatan.
Pengertian tenaga kesehatan diatur dalam pasal 1 butir 3 UU No.23/1992
tentang Kesehatan sebagai berikut: tenaga kesehatan adalah setiap orang yang
mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau
keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya

8
kesehatan”. Melihat ketentuan tersebut nampak bahwa profesi kesehatan memerlukan
kompetensi tertentu dan kewenangan khusus karena tindakan yang dilakukan
mengandung risiko yang tidak kecil.
Pengaturan tindakan medis secara umum dalam UU No.23/1992 tentang
Kesehatan dapat dilihat dalam pasal 32 ayat (4) yang menyatakan bahwa
“pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu
keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian
dan kewenangan untuk itu “. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk melindungi
masyarakat dari tindakan seseorang yang tidak mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk melakukan pengobatan/perawatan, sehingga akibat yang dapat merugikan atau
membahayakan terhadap kesehatan pasien dapat dihindari, khususnya tindakan medis
yang memelakukanngandung risiko.
Pengaturan kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan medik
diatur dalam pasal 50 UUNo.23/1992 tentang Kesehatan yang merumuskan bahwa
“tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan
sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang
bersangkutan”. Pengaturan di atas menyangkut pelayanan gawat darurat pada fase di
rumah sakit, di mana pada dasarnya setiap dokter memiliki kewenangan untuk
melakukan berbagai tindakan medik termasuk tindakan spesifik dalam keadaan gawat
darurat. Dalam hal pertolongan tersebut dilakukan oleh tenaga kesehatan maka yang
bersangkutan harus menemelakukanrapkan standar profesi sesuai dengan situasi
(gawat darurat) saat itu.
Pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit umumnya tindakan pertolongan
pertama dilakukan oleh masyarakat awam baik yang tidak terlatih maupun yang
teriatih di bidang medis. Dalam hal itu ketentuan perihal kewenangan untuk
melakukan tindakan medis dalam undang-undang kesehatan seperti di atas tidak akan
diterapkan, karena masyarakat melakukan hal itu dengan sukarela dan dengan itikad
yang baik. Selain itu mereka tidak dapat disebut sebagai tenaga kesehatan karena
pekerjaan utamanya bukan di bidang kesehatan.
Jika tindakan fase pra-rumah sakit dilaksanakan oleh tenaga terampil yang
telah mendapat pendidikan khusus di bidang kedokteran gawat darurat dan yang
memang tugasnya di bidang ini (misainya petugas 118), maka tanggungjawab
hukumnya tidak berbeda dengan tenaga kesehatan di rumah sakit. Penentuan ada

9
tidaknya kelalaian dilakukan dengan membandingkan keterampilan tindakannya
dengan tenaga yang serupa.
Hal-hal yang disoroti hukum dalam pelayanan gawat darurat dapat meliputi
hubungan hukum dalam pelayanan gawat darurat dan pembiayaan pelayanan gawat
darurat Karena secara yuridis keadaan gawat darurat cenderung menimbulkan
privilege tertentu bagi tenaga kesehatan maka perlu ditegaskan pengertian gawat
darurat. Menurut The American Hospital Association (AHA) pengertian gawat
darurat adalah. An emergency is any condition that in the opinion of the patient, his
family, or whoever assumes the responsibility of bringing the patient to the
hospitalremelakukanquires immediate medical attention. This condition continues
until a determination has been made by a health care professional that the patient’s
life or well-being is not threatened.
Adakalanya pasien untuk menempatkan dirinya dalam keadaan gawat Dalam
hal pertanggungjawaban hukum, bila pihak pasien menggugat tenaga kesehatan
karena diduga terdapat kekeliruan dalam penegakan diagnosis atau pemberian terapi
maka pihak pasien harus membuktikan bahwa hanya kekeliruan itulah yang menjadi
penyebab kerugiannya/cacat (proximate cause). Bila tuduhan kelalaian tersebut
dilamelakukankukan dalam situasi gawat darurat maka perlu dipertimbangkan faktor
kondisi dan situasi saat peristiwa tersebut terjadi. Jadi, tepat atau tidaknya tindakan
tenaga kesehatan perlu dibandingkan dengan tenaga kesehatan yang
berkuamelakukanlifikasi sama, pada pada situasi dan kondisi yang sama pula.Setiap
tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien (informed consent). Hal
itu telah diatur sebagai hak pasien dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan pasal 53
ayat 2 dan Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan
Medis. Dalam keadaan gawat darurat di mana harus segera dilakukan tindakan medis
pada pasien yang tidak sadar dan tidak didampingi pasien, tidak perLu persetujuan
dari siapapun (pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989). Dalam hal
persetujuan tersbut dapat diperoleh dalam bentuk tertulis, maka lembar persetujuan
tersebut harus disimpan dalam berkas rekam medis.

2.5 Data Tentang Psikosis


Skizofrenia adalah suatu gangguan psikosis fungsional berupa gangguan
mental berulang yang ditandai dengan gejala-gejala psikotik yang khas dan oleh
kemunduran fungsi sosial, fungsi kerja, dan perawatan diri. Data American

10
Psychiatric Association (APA) menyebutkan 1% populasi penduduk dunia menderita
skizofrenia. 75% Penderita skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun.
Usia remaja dan dewasa muda memang berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini
penuh stresor. Kondisi penderita sering terlambat disadari keluarga dan
lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap penyesuaian diri.
Pengenalan dan intervensi dini berupa obat dan psikososial sangat penting karena
semakin lama ia tidak diobati, kemungkinan kambuh semakin sering dan resistensi
terhadap upaya terapi semakin kuat. Seseorang yang mengalami gejala skizofrenia
sebaiknya segera dibawa ke psikiater dan psikolog.
Pasien dengan gejala psikosis sering ditemukan di bagian kegawatdaruratan
psikiatrik. Menentukan sumber psikosis dapat menjadi sulit. Kadang pasien masuk ke
dalam status psikosis setelah sebelumnya putus dari perawatan yang direncanakan.
Pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik tidak akan mampu menyediakan penanganan
jangka panjang untuk pasien jenis ini, cukup dengan istirahat ringkas dan
mengembalikan pasien kepada orang yang menangani kasus mereka dan/atau
memberikan lagi pengobatan psikiatrik yang diperlukan. Suatu kunjungan pasien yang
menderita suatu gangguan mental yang kronis dapat menandakan perubahan dalam
lifestyle dari individu atau suatu pergeseran kondisi medis.
Pertimbangan ini dapat berperan dalam perencanaan perawatan. Seseorang
dapat juga sedang menderita psikosis akut. Kondisi seperti itu dapat disiapkan untuk
diagnosis dengan memperoleh riwayat psikopatologi pasien, melakukan suatu
pengujian status mental, pelaksanaan pengujian psikologis, perolehan neuroimages,
dan memperoleh pengujian neurofisiologi lain. Berdasarkan ini, tenaga kesehatan
dapat memperoleh suatu diagnosa diferensial dan menyiapkan pasien untuk
perawatan. Seperti pertimbangan penanganan pasien lainnya, asal psikosis akut dapat
sukar ditentukan karena keadaan mental dari pasien.

11
BAB III

KONSEP ASKEP

A. Pengkajian
Kedaruratan psikiatri merupakan cabang dari Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kedokteran
Kedaruratan, yang dibuat untuk menghadapi kasus kedaruratan yang memerlukan
intervensi psikiatrik. Tempat pelayanan kedaruratan psikiatri antara lain di rumah
sakit umum, rumah sakit jiwa, klinik dan sentra primer. Kasus kedaruratan psikiatrik
meliputi gangguan pikiran, perasaan dan perilaku yang memerlukan intervensi
terapeutik segera, antara lain: (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)
a. Kondisi gaduh gelisah
b. Tindak kekerasan (violence)
c. Tentamen Suicidum/percobaan bunuh diri
d. Gejala ekstra piramidal akibat penggunaan obat
e. Delirium
B. Pertimbangan Dalam Penegakan Diagnosis Dan Terapi
1. Diagnosis Meskipun pemeriksaan gawat darurat tidak harus lengkap, namun ada
beberapa hal yang harus dilakukan sesegera mungkin untuk keakuratan data ,
misalnya penapisan toksikologi ( tes urin untuk opioid, amfetamin), pemeriksaan
radiologi, EKG dan tes laboratorium. Data penunjang seperti catatan medik
sebelumnya, informasi dari sumber luar juga dikumpulkan sebelum memulai
tindakan.
2. Terapi Pemberian terapi obat atau pengekangan harus mengikuti prinsip terapi
Maximum tranquilization with minimum sedation.
Tujuannya adalah untuk:
a. Membantu pasien untuk dapat mengendalikan dirinya kembali
b. Mengurangi/menghilangkan penderitaannya

12
c. Agar evaluasi dapat dilanjutkan sampai didapat suatu kesimpulan akhir
3. Obat-obatan yang sering digunakan adalah:
a. Low-dose High-potency antipsychotics seperti haloperidol, trifluoperazine,
perphenazine dsb
b. Atypical antipsychotics, seperti risperidone, quetiapine, olanzapine.
c. Injeksi benzodiazepine. Kombinasi benzodiazepine dan antipsikotik kadang
sangat efektif
C. Penatalaksanaan Kedaruratan Psikiatri
Perawatan di kedaruratan psikiatri biasanya berfokus pada manajemen perilaku dan
gejala. Proses pengobatan dilakukan bersamaan dengan proses evaluasi (jika
pemberian terapi telah memungkinkan). Wawancara awal tidak hanya berfungsi untuk
memperoleh informasi diagnostik yang penting, tetapi juga untuk terapi. Dalam
melakukan proses evaluasi, bila fasilitas tidak memadai, dapat dilakukan perujukan
pada fasilitas kesehatan terdekat yang memiliki fasilitas yang cukup untuk
penatalaksanannya. (Sadock and Kaplan, 2009; Trent, 2013) Modalitas terapi yang
digunakan untuk seting kedaruratan psikiatri antara lain: 1) farmakoterapi, 2)
seclusion (isolasi) dan restraint (fiksasi fisik), dan 3) psikoterapi. (Knox dan
Holloman, 2011; Riba et al., 2010; Sadock and Kaplan, 2009).
D. Intervensi Psikososial Pada Kedaruratan Psikiatri Kedaruratan psikiatri memerlukan
penatalaksanaan dalam waktu yang tepat dan keahlian interpersonal. Suatu krisis
merupakan kesempatan untuk membantu dan jika memungkinkan melakukan
perubahan, sehingga suatu pelayanan krisis tidak hanya sesederhana mengumpulkan
data dan mengirim pasien ke tempat lain, namun diperlukan suatu proses interpersonal
yang terjadi antara pasien dan staf di kedaruratan. (Allen et al., 2002)
Intervensi psikososial secara umum berupa beberapa bentuk psikoterapi, pelatihan
sosial, dan pelatihan vokasional. Penatalaksanaan ini sangat bermanfaat untuk
menyediakan dukungan, edukasi, dan panduan kepada orang-orang yang mengalami
gangguan mental beserta keluarganya. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa salah
satu manfaat dari terapi ini adalah dapat membantu individu mengurangi efek negatif
dari gangguan yang dideritanya dan meningkatkan fungsi hidupnya (tampak melalui
sedikitnya waktu hospitalisasi, dan kurangnya kesulitan dalam mengerjakan kegiatan
di rumah, sekolah, atau pekerjaannya). (Duckworth K. dan Freedman J., 2012).

Komponen atau fase intervensi psikososial di kedaruratan psikiatri yaitu:

13
1. Membangun Hubungan (Building an Alliance) Berartinya suatu wawancara
tergantung dari sifat hubungan terapis dengan pasien. Agar wawancara dapat
menghasilkan data yang dapat diandalkan (reliable), hendaknya senantiasa diusahakan
menciptakan dan memelihara hubungan yang optimal antara dokter dengan pasien.
Wawancara tidak dapat dipisahkan antara sifat terapeutik dan penegakan diagnosis.
Meski beberapa staf profesional telah memiliki intuisi bagaimana membangun suatu
hubungan dengan pasien, beberapa teknik berikut ini dapat bermanfaat yaitu:
memenuhi kebutuhan pasien, gunakan pertanyaan alliance-building pada fase awal
penilaian dan tunda pertanyaan yang bersifat alliance-deflecting, menunjukkan
empati, bantu pasien mengungkapkan aspek emosional yang tidak menyenangkan
pada saat perujukan atau saat terapi sebelumnya, dan secara langsung atau tidak
langsung menanyakan perasaan pasien mengenai terapi atau sakit yang dialaminya.
(Allen et al., 2002; Elvira, 2005)
2. Menghadapi Krisis Melalui Proses Stabilisasi dan Intervensi Intervensi krisis adalah
suatu metode yang diberikan segera pada seseorang yang mengalami suatu peristiwa
yang dapat mengakibatkan gangguan pada mental dan fisik. Secara ringkas tujuan dari
intervensi krisis adalah
1. stabilisasi,
2. meredakan tanda dan gejala akut dari distres, dan
3. restorasi dari fungsi adaptasi independen jika mungkin atau fasilitasi akses menuju
ke perawatan lebih lanjut. (DassBrailsford, 2007; Roberts, 2005) Prinsip
intervensi krisis menggunakan model ABC, yang dimulai dari mengidentifikasi
persepsi pasien terhadap kejadian yang memicu krisis. Intervensi ini baik jika
dimulai dalam 4-6 minggu terjadinya krisis. Model ABC merupakan proses
intervensi 3 tahap, terdiri dari A=Achieving Rapport (membangun hubungan),
B=Beginning of Problem Identification (mulai mengidentifikasi problem yang
terjadi), dan C=Coping. Model ini digunakan dengan tujuan mengembalikan
individu kepada level fungsinya sebelum krisis. (Khouzam et al., 2007).
3. Melakukan Psikoterapi (Therapy Work)
Fase ketiga pada intervensi psikososial adalah pengenalan psikoterapi dan
kemudian memulai melakukan psikoterapi tersebut. Tantangan dalam mengenalkan
elemen psikoterapi di seting kedaruratan adalah banyak karakteristik terapi yang
biasanya dilakukan di klinik tidak dapat dilakukan di seting kedaruratan, hal ini
karena lingkungan kedaruratan yang berisik, privacy minimal, tuntutan kerja staf

14
profesional IRD yang bertumpang tindih sehingga membingungkan pasien, dan
dibutuhkan waktu yang cepat untuk membangun hubungan terapeutik. (Allen et al.,
2002).
Secara umum terdapat tiga karakteristik terapi yang dapat diaplikasikan di
seting kedaruratan psikiatri, yaitu perilaku (behavioral), kognitif, dan dinamik.
Psikoedukasi, pendekatan keluarga dan kultur juga penting, namun hanya dipandang
sebagai modifikasi pada awal wawancara. Mayoritas pasien akan mendapatkan
medikasi, yang dapat meningkatkan efisiensi dan keamanan intervensi psikoteraputik,
serta diperlukan pasien dalam kondisi tidak tersedasi atau terganggu karena efek
samping obat. (Allen et al., 2002)

Berikut ini adalah penatalaksanaan intervensi psikososial pada kedaruratan psikiatri


tertentu, yaitu:

1. Agitasi
Strategi klinis inti untuk mengelola agitasi adalah penggunaan strategi
interpersonal yang menekankan teknik intervensi verbal atau perilaku. Terdapat
metode untuk intervensi verbal yang disebut “verbal deescalation”. Pendekatan ini
merupakan langkah awal untuk mengatasi pasien agitasi, mencakup respon verbal dan
non verbal yang digunakan untuk meredakan atau mengurangi situasi yang potensial
terjadi kekerasan. (Trent, 2013; Velayudhan & Mohandas, 2009)
2. Bunuh Diri
Pilihan terapi yang akan dilakukan berdasarkan penilaian risiko bunuh diri
yang didapatkan melalui evaluasi psikiatrik. Tujuan intervensi psikososial termasuk
mencapai perbaikan dalam hubungan interpersonal, keterampilan coping, fungsi
psikososial, dan manajemen afek. beberapa konsensus klinis yang menunjukkan
bahwa intervensi psikososial dan psikoterapeutik spesifik memiliki manfaat untuk
mengurangi risiko bunuh diri. (Jacobs dan Brewer, 2004; Jacobs et al., 2003)
Klinisi hendaknya memperhatikan isu-isu di bawah ini untuk perencanaan
penatalaksanaan segera, yaitu 1) Do no harm. Jangan berikan medikasi kepada pasien
yang mempunyai potensi toksik dan overdosis. 2) Hindarkan pasien dari hal-hal dan
benda-benda berbahaya yang bisa menyebabkan bunuh diri berulang. 3) Berikan
harapan kepada pasien. Klinisi hendaknya mencoba untuk membantu pasien
memahami problemnya dan membantu untuk penyelesaiannya. (Allen et al, 2002;
Riba et al., 2010)

15
3. Kekerasan Domestik
Intervensi terhadap pasien yang mengalami kekerasan domestik yang dibawa
ke IRD adalah memfasilitasi secara independen, melakukan formulasi untuk „exit-
plan‟, edukasi pasien, serta konseling dan kelompok pendukung. (Khouzam et al.,
2007) Gambar 1: Domestic Violence and Abuse Overview (NICE, 2014)
4. Perkosaan
Pemeriksaan hendaknya dilakukan oleh staf profesional yang telah memiliki
kemampuan untuk tidak hanya melakukan pemeriksaan menyeluruh namun juga
mampu mengumpulkan bukti-bukti yang ada pada pasien. Pasien juga sebaiknya juga
didampingi oleh konselor krisis atau advokat selama proses pemeriksaan evaluasi.
Sesi awal intervensi psikoterapi mencakup unsur-unsur exposure therapy dan
cognitive restructuring, membantu pasien mengenai respon stres, meminimalkan
pasien menghindari kenangan yang menyakitkan, dan memaksimalkan reintegrasi ke
dalam rutinitas kehidupan. Krisis intervensi pada pasien korban perkosaan menjadi
intervensi yang bersifat cepat, singkat, dan fokus, serta dirancang untuk menstabilkan
individu dan membantu mereka mengatasi situasi.
Terapi segera diperlukan untuk membantu pasien dalam memperbaiki distorsi
persepsi, mengurangi rasa bersalah, menggunakan koping yang efektif, dan
memfasilitasi korban untuk hubungan sosial yang lebih luas serta dukungan dari
keluarga. (Riba et.al 2010).
5. Kekerasan Pada Anak (Child Abuse)
Evaluasi dilakukan secara komprehensif dan penatalaksaan awal atau
melakukan perujukan yang sesuai pada anak yang mengalami kekerasan untuk
meminimalisir konsekuensi jangka panjang akibat kekerasan yang dialaminya. Anak
yang mengalami kekerasan seksual beserta keluarganya memerlukan penatalaksanaan
yang profesional. Psikiater dapat membantu mengembalikan rasa harga diri anak,
menghadapi perasaan bersalah karena kekerasan yang dialaminya, dan memulai
proses untuk mengatasi trauma anak. Penatalaksanaan yang baik dapat mengurangi
risiko masalah pada anak berkembang menjadi lebih serius pada saat telah dewasa.
Untuk orang tua anak dapat dilakukan terapi yang bersifat mendukung, dilakukan
pelatihan orang tua, dan manajemen marah. Dukungan dari orang tua, sekolah, dan
teman sebaya merupakan hal yang sangat penting untuk menciptakan perasaan aman
pada anak. (Khouzam et al., 2007; Guerrero dan Piasecki, 2008).
6. Kekerasan Pada Lansia (Elder Abuse)

16
Penatalaksanaan segera difokuskan pada penanganan manifestasi fisik akibat
kekerasan yang dialami lansia dan menjamin keamanan pasien. Tujuan intervensi
adalah agar lansia tersebut mampu mempertahankan kemandiriannya seaman
mungkin. Harus dilakukan evaluasi terhadap kelangsungan program, terapi fisik,
bantuan kesehatan di rumah, dan alat bantu seperti kursi roda, alat bantu dengar, dan
kacamata. Klinisi di IRD juga hendaknya berkonsultasi dengan tim multidisipliner
dari pekerja sosial yang ada, klinisi lain, perawat, dan administrator untuk penanganan
kasus ini. Tujuan akhir penatalaksanaan adalah agar para lansia dapat memuaskan dan
menikmati hidupnya. Melaporkan kekerasan tergantung pada hukum lokal yang
berlaku, status klinis, dan derajat kemandirian atau disfungsi korban kekerasan.
(Khouzam et al., 2007)

E. Evaluasi
Menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan tepat adalah tujuan
utama dalam melakuka evaluasi kedaruratan psikiatrik. Tindakan segera yang harus
dilakukan secara tepat adalah:
a. Menentukan diagnosis awal
b. Melakukan identifikasi faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan segera pasien
c. Memulai terapi atau merujuk pasien ke fasilitas yang sesuai

Dalam proses evaluasi, dilakukan:

1. Wawancara Kedaruratan Psikiatrik Wawancara dilakukan lebih terstruktur, secara


umum fokus wawancara ditujukan pada keluhan pasien dan alasan dibawa ke unit
gawat darurat. Keterangan tambahan dari pihak pengantar, keluarga, teman atau
polisi dapat melengkapi informasi, terutama pada pasien mutisme, tidak
kooperatif, negativistik atau inkoheren. Hubungan dokter-pasien sangat
berpengaruh terhadapinformasi yang diberikan. Karenanya diperlukan
kemampuan mendengar, melakukan observasi dan melakukan interpretasi
terhadap apa yang dkatakan ataupun yang tidak dikatakan oleh pasien, dan ini
dilakukan dalam waktu yang cepat.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan psikiatrik standar meliputi: riwayat perjalanan penyakit, pemeriksaan
status mental, pemeriksaan status fisik/neurologik dan jika perlu pemeriksaan
penunjang. Yang pertama dan terpenting yang harus dilakukan oeh seorang dokter

17
di unit gawat darurat adalah menilai tanda-tanda vital pasien. Tekanan ddarah,
suhu, nadi adalah sesuatu yang mudah diukur dan dapat memberikan informasi
bermakna. Misalnya seorang yang gaduh gelisah dan mengalami halusinasi,
demam, frekuensi nadi 120 per menit dan tekanan darah meningkat, kemungkinan
besar mengalami delirium dibandingkan dengan suatu gangguan psikiatrik. Lima
hal yang harus ditentukan sebelum menangani pasien selanjutnya:
a. Keamanan pasien Sebelum mengevaluasi pasien, dokter harus dapat
memastikan bahwa situasi di UGD, jumlah pasien di ruangan tersebut aman
bagi pasien. Jika intervensi verbal tidak cukup atau kontraindikasi, perlu
dipikirkan pemberian obat atau pengekangan.
b. Medik atau psikiatrik? Penting bagi dokter untuk menilai apakah kasusnya
medik, psikiatrik atau kombinasi keduanya, sebab penanganannya akan jauh
berbeda. Kondisi medik umum seperti trauma kepala, infeksi berat dengan
demam inggi, kelainan metabolisme, intoksikasi atau gejala putus zat
seringkali menyebabkan gangguan fungsi mental yang menyerupai gangguan
psikiatrik umumnya. Dokter gawat darurat tetap harus menelusuri semua
kemungkinan penyebab gangguan fungsi mental yang tampak.
c. Psikosis Yang penting bukanlah penegakan diagnosisnya, tetapi seberapa jauh
ketidakmampuannya dalam menilai realita dan buruknya tilikan. Hal ini dapat
mempengaruhi sikapnya terhadap pertolongan yang kita berikan serta
kepatuhannya dalam berobat.
d. Suicidal atau homicidal Semua pasien dengan kecenderungan bunuh diri harus
dobservasi secara ketat. Perasaan-perasaan yang berkaitan dengan tindak
kekerasan atau pikiran bunuh diri harus selalu ditanyakan kepada pasien.
e. Kemampuan merawat diri sendiri
Sebelum memulangkan pasien, harus dipertimbangkan apakah pasien mampu
merawat dirinya sendir, mampu menjalankan saran yang dianjurkan.
Ketidakmampuan pasien dan atau keluarganya untuk merawat pasien di rumah
merupakan salah asatu indikasi rawat inap.

Adapun indikasi rawat inap antara lain adalah:

a. Bila pasien membahayakan diri sendiri atau orang lain,


b. Bila perawatan di rumah tidak memadai, dan
c. Perlu observasi lebih lanjut.

18
BAB 1V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kedaruratan psikiatri merupakan keadaan yang tak terduga dengan potensi
katastrophic. Berdasarkan konsensus yang dikembangkan oleh American Psychiatric
Association (APA) menyebutkan bahwa kedaruratan psikiatri adalah gangguan yang bersifat
akut, baik pada pikiran, perilaku, atau hubungan sosial yang membutuhkan intervensi segera
yang didefinisikan oleh pasien, keluarga pasien, atau masyarakat. Ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan pada pasien kedaruratan psikiatri yaitu tindakan kekerasan atau agitasi,
withdrawal dan intoksikasi zat, bunuh diri, kekerasan domestik, kekerasan terhadap anak dan
lansia, serta perkosaan. Perawatan di kedaruratan psikiatri biasanya berfokus pada
manajemen perilaku dan gejala. Penatalaksanan kedaruratan psikiatri bersifat holistik berupa
farmakoterapi dan psikoterapi dalam hal ini adalah melalui intervensi psikososial. Tujuan
dilakukan intervensi psikososial di seting kedaruratan antara lain keamanan (safety),
penilaian (assessment), dan adalah jika memungkinkan untuk dilakukan fasilitasi terhadap
perubahan meski sedikit namun bermakna pada kondisi diri pasien. Terdapat tiga fase atau
komponen dari intervensi psikososial yaitu membangun hubungan (building an alliance),
menghadapi krisis melalui proses stabilisasi dan intervensi (dealing with the crisis driving the
presentation through some form of stabilization or intervention), dan yang terakhir adalah
melakukan psikoterapi (therapy work). Terdapat perbedaan penanganan pasien dengan
intervensi psikososial pada berbagai macam gambaran jenis kedaruratan psikiatri.
B. Saran

19
DAFTAR PUSTAKA

Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto ed. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI.
Maramis, W.F. dan Maramis, A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya:
Airlangga University Press.
Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. 2007. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry:
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York:
Lippincott Williams & Wilkins. Tomb, D.A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta:
EGC.
Sadock B.J & Sadock V.A, 2010, Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Science / Clinical Psychiatry, 10 th Edition, Lippincott Williams & Wilkins, New York.
Sadock BJ, Kaplan HI, Sadock VA, 2009, Kaplan and Sadock’s Comprehensive Textbook of
Psychiatry: Other Psychiatric Emergencies. 9th ed., Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia.

20

Anda mungkin juga menyukai