Anda di halaman 1dari 51

KEPERAWATAN KRITIS

“MAKALAH PSIKOLOGIS PADA


PASIEN DAN KELUARGA DI AREA KRITIS”

Disusun Oleh :

1. Lina Siti N 88170007


2. Mela Deliani 88170009
3. Ida Nursolihah 88170013
4. Ajeng Dwi Lestari 88170025
5. Irma Ika Sari 88170026

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


ARS UNIVERSITY
BANDUNG
2020

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun tugas mata
kuliah Keperawatan Kritis yang berjudul “Makalah Psikologis Pasien dan
Keluarga di Area Kritis” tepat pada waktunya. Tidak lupa kita kirimkan shalawat
beserta salam kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW karena atas
berkat dari beliaulah kita dapat merasakan alam yang penuh dengan pengetahuan
dan teknologi seperti saat ini.
Penyusun menyadari bahwa makalah tugas ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.
Akhir kata, semoga penyusunan tugas ini dapat memberi manfaat bagi kita semua
dan siapa saja yang membacanya.

Bandung, November 2020

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Table of Contents
KATA PENGANTAR......................................................................................................2
BAB I.................................................................................................................................5
PENDAHULUAN.............................................................................................................5
1.1 Latar Belakang.................................................................................................5
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................6
1.3 Tujuan...............................................................................................................6
BAB II...............................................................................................................................6
TINJAUAN TEORI.........................................................................................................6
2.1 Keperawatan Kritis, Pasien Kritis dan Psikologi...........................................7
2.1.1 Definisi.......................................................................................................7
2.1.2 Prioritas Pasien Kritis..............................................................................7
2.1.3 Karakteristik Pasien Kritis......................................................................8
2.2 Pendekatan Holistik.....................................................................................8
2.1.1 Respon Keluarga terhadap Kondisi Pasien Kritis.................................9
2.1.2 Teori Stress Keluarga...............................................................................9
2.1.3 Koping Keluarga....................................................................................10
2.3 Permasalahan pada Pasien Kritis.................................................................11
BAB III............................................................................................................................12
PEMBAHASAN.............................................................................................................12
3.1 Perawatan Psikologis Pasien Kritis...............................................................13
3.1.1 Kecemasan..............................................................................................13
3.1.2 Delirium...................................................................................................17
3.1.3 Sedasi.......................................................................................................18
3.1.4 Nyeri........................................................................................................21
3.1.5 Tidur........................................................................................................23
3.2 Perawatan Keluarga Pasien Kritis................................................................26
3.2.1 Tinjauan Model Keperawatan...............................................................26
3.2.2 Pertimbangan Religi...............................................................................27
3.2.3 Pertimbangan Budaya............................................................................28
3.2.4 End Of Life Issues...................................................................................29
3.3 Upaya untuk Mengatasi Masalah Psikologis pada Pasien dan Keluarga. . .30

3
3.4 Intervensi Perawatan Psikologis Pasien Kritis.............................................31
3.4.1 Kecemasan..............................................................................................31
3.4.2 Delirium...................................................................................................37
3.4.3 Sedasi.......................................................................................................38
3.4.4 Nyeri........................................................................................................40
3.4.5 Tidur........................................................................................................44
3.5 Intervensi Perawatan Keluarga Pasien Kritis..............................................46
3.5.1 Tinjauan Model Keperawatan...............................................................46
3.5.2 Pertimbangan Religi...............................................................................47
3.5.3 Pertimbangan Budaya............................................................................48
3.5.4 End Of Life Issues...................................................................................48
BAB IV............................................................................................................................50
PENUTUP.......................................................................................................................50
4.1 Kesimpulan.....................................................................................................50
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................51

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ruang Intensif Care Unit (ICU) merupakan ruangan khusus untuk
merawat pasien yang dalam keadaan kritis. Ruangan ini digambarkan sebagai
ruangan yang penuh stress tidak hanya bagi pasien dan keluarganya, tetapi
juga bagi tenaga kesehatan yang bekerja di ruangan tersebut (Jastremski,
2000). Karena itu bagi perawat dan tenaga kesehatan lainnya yang bekerja di
ruangan ICU perlu memahami tentang stressor (penyebab stress) di ruangan
ini dan juga tentang bagaimana mengatasi stress tersebut.
Ketika merawat pasien kritis perawat dituntut untuk secara seimbang
memenuhi kebutuhan fisik dan emosional dirinya maupun pasien dan
keluarganya. Untuk mencapai keseimbangan ini perawat harus mempunyai
pengetahuan tentang bagaimana keperawatan kritis yang dialami
mempengaruhi kesehatan psikososial pasien, keluarga dan petugas kesehatan.
Dalam keperawatan, keadaan sehat dan sakit jiwa merupakan suatu
rentang yang dinamis dari kehidupan seseorang. Keadaaan penyakit kritis
sangat besar pengaruhnya terhadap kedinamisan dari rentang sehar sakit jiwa
karena dalam keadaan mengalami penyakit kritis, seseorang mengalami stress
yang berat dimana pasien mengalami kehilangan kesehatan, kehilangan
kemandirian, kehilangan rasa nyaman dan rasa sakit akibat penyakit yang
dideritanya. Semua keadaan tersebut bisa memperburuk status kesehatan
mereka.
Sebagai seorang perawat kritis, perawat harus mampu mengatasi
berbagai masalah kesehatan pasien termasuk masalah psikososialnya. Perawat
tidak boleh hanya berfokus pada masalah fisik yang dialami pasien.
Kegagalan dalam mengatasi masalah psikososial pasien bisa berdampak pada
semakin memburuknya keadaan pasien karena pasien mungkin akan
mengalami kecemasan yang semakin berat dan menolak pengobatan.
Sebuah penelitian di Norwegia yang mereview beberapa penelitian
kualitatif tentang menemukan 3 tema besar antara lain: pasien yang dirawat di
ruang ICU mengalami stress yang berkaitan dengan tubuh mereka, dengan
ruangan ICU serta relationship dengan orang lain. Stres yang berkaitan
dengan tubuh antara lain reaksi stres tubuh, menurunnya kontrol terhadap diri
sendiri, reaksi emosi berkaitan dengan prosedur tindakan, dan loss of
meaning (kehilangan makna hidup). Stres yang berkaitang dengan ruangan

5
antara lain berkaita dengan situasi dan kondisi yang terjadi di ruangan ICU
dan yang berkaitan dengan relationship yaitu perpisahan dengan orang yang
penting dalam hidupnya.
Latar belakang diatas membuat penulis menyusun langkah seperti apa
yang perlu diambil perawat dalam menuntaskan permasalahan
psikologis/psikososial pada pasien kritis dan juga keluarga untuk mencapai
Asuhan Keperawatan yang memuaskan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, kita dapat
memahami tentang “Makalah Psikologis Pasien dan Keluarga di Area Kritis”.
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui cara perawatan psikologis pada pasien dan
keluarga pasien di area kritis.

BAB II
TINJAUAN TEORI

6
2.1 Keperawatan Kritis, Pasien Kritis dan Psikologi
2.1.1 Definisi
Kritis adalah penilaian dan evaluasi secara cermat dan hati-hati
terhadap suatu kondisi krusial dalam rangka mencari penyelesain atu
jalan keluar .keperawatan kritis merupakan salah satu spesialisasi di
bidang keperawatan yang secara khusus menangani respon manusia
terhadap masalah yang mengancam hidup.seorang peran kritis adalah
perawat profesional yang bertangung jawab untuk menjamin pasien yang
kritis dan akut beserta keluarganya mendapatkan pelayanan perawatan
yang optimal.
Pasien kritis menurut AACN (American Association of Critical
Nursing) didefinisikan sebagai pasien yang berisiko tinggi untuk masalah
kesehatan aktual ataupun potensial yang mengancam jiwa. Semakin kritis
sakit pasien, semakin besar kemungkinan untuk menjadi sangat rentan,
tidak stabil dan kompleks, membutuhkan terapi yangintensif dan asuhan
keperawatan yang teliti (Nurhadi, 2014).
Psikologi berasal dari Bahasa Yunani yaitu psyche dan logos,
pshyce berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu. Jadi psikolologi artinya
ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik macam macam gejala maupun
latar belakangnya.
2.1.2 Prioritas Pasien Kritis
A. Pasien Prioritas 1
Pasien prioritas 1 merupakan pasien sakit kritis, tidak stabil, yang
memerlukan perawatan intensif, dengan bantuan alat-alat ventilasi,
monitoring dan obat-obatan vasoaktif kontinyu dan obat anti nyeri.
Passion prioritas 1 ini meliputi pasien bedah kardiotorasik, atau
pasien shock septik. Pasien prioritas 1 ini perlu di pertimbangkan
derajat hipoksemia, hipotensi, dibawah tekanan darah tertentu.
B. Pasien Prioritas 2
Pasien prioritas 2 merupakan pasien yang memerluakn pelayanan
pemantauan canggih dari ICU. Jenis pasien ini beresiko sehingga
memerlukan terapi segera, sehingga pemantauan intensif
menggunakan metoda seperti pulmonary arteri cateteter sangat
menolong. Pasien yang tergolong prioritas 2 misalnya pada pasien
penyakit jantung, paru, ginjal, yang telah mengalami pembedahan
mayor. Pasien prioritas 2 umumnya tidak terbatas macam terapi yang
diterimanya.

7
C. Pasien Prioritas 3
Pasien prioritas 3 merupakan jenis pasien yang kritis dan tidak stabil
dari status kesehatan sebelumnya. Kondisi ini karena penyakit yang
mendasarinya atau penyakit akutnya, baik masing-masing atau
kombinasinya, yang sangat mengurangi kemungkinan sembuh dan
atau mendapat manfaat dari terapi ICU. Contoh – contoh pasien ini
adalah pasien dengan keganasan metastasik disertai penyulit infeksi
pericardial tamponade atau sumbatan jalan napas atau pasien
menderita penyakit jantung atau paru terminal disertai komplikasi
penyakit akut berat. Pasien-pasien prioritas 3 kemungkinan mendapat
terapi intensif untuk mengatasi penyakit akut berat, tetapi usaha
terapi mungkin tidak sampai melakukan intubasi dan resusitasi kardio
pulmoner.
2.1.3 Karakteristik Pasien Kritis
1. Pasien-pasien yang secara fisiologis tidak stabil dan memerlukan
dokter, perawat, perawatan nafas yang terkoordinasi dan
berkelanjutan, sehingga memerlukan perhatian 43 yang teliti agar
dapat di lakukan pengawasan yang konstan dan titrasi terapi.
2. Pasien-pasien yang dalam bahaya mengalami dekompensasi fisiologis
dan karena itu memerlukan pemantauan konstan dan kemampuan tim
intensive care untuk melakukan intervensi segera untuk mencegah
timbulnya penyakit yang merugikan.
3. Pasien sakit kritis membutuhkan pemantauan dan tunjangan hidup
khusus yang harus dilakukan oleh suatu tim, termasuk diantaranya
dokter yang mempunyai dasar pengetahuan keterampilan teknis
komitmen waktu dan secara fisik selalu berada di tempat untuk
melakukan perawatan titrasi dan berkelanjutan. Perawatan ini harus
berkelanjutan dan bersifat proaktif yang menjamin pasien di kelola
dengan cara yang aman, manusiawi dan efektif.
2.2 Pendekatan Holistik
Pendekatan holistik pada keperawatan kritis mencakup keluarga
pasien. Keluarga dalam lingkup ini diartikan sebagai orang yang berbagi
secara intim dan rutin sepanjang hari kehidupan dalam proses asuhan
keperawatan. Orang-orang tersebut mengalami gangguan homeostasisnya
oleh karena masuknya pasien ke area kritis. Siapa saja yang merupakan
bagian penting dari pola hidup normal pasien dipertimbangkan sebagai
anggota keluarga. Di area keperawatan kritis keterlibatan keluarga merupakan

8
bagian integral dari perawatan pasien di ICU dan telah memiliki kontribusi
positif terhadap kesembuhan pasien (Wardah, 2013).
2.1.1 Respon Keluarga terhadap Kondisi Pasien Kritis
Respon dalam kamus bahasa berarti jawaban, balasan, tanggapan.
Respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan sakit dan penyakit,
sistem pelayanan kesehatan, makna serta lingkungan disebut dengan
perilaku kesehatan. Respon atau reaksi manusia baik bersifat pasif
(pengetahuan, persepsi dan sikap) maupun bersikap aktif (tindakan nyata
atau praktis). Adapun stimulus atau rangsangan disini terdiri dari 4 unsur
pokok yaitu: sakit, penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan lingkungan.
Terkait dengan respon keluarga pada anggota keluarga yang dirawat di
ruang intensif, keluarga seringkali merasakan stress ataupun cemas.
Kecemasan yang tinggi muncul akibat beban yang harus diambil dalam
pengambilan keputusan dan pengobatan yang terbaik bagi pasien. Respon
keluarga terhadap stres bergantung pada persepsi terhadap stress,
kekuatan, dan perubahan gaya hidup yang dirasakan terkait dengan
penyakit kritis pada anggota keluarga. Pada titik kritis ini, fungsi
keluarga inti secara signifikan berisiko mengalami gangguan (Nurhadi,
2014).
Tugas keluarga pasien kritis yang utama adalah untuk
mengembalikan keseimbangan dan mendapatkan ketahanan.
Menurut Mc. Adam, dkk (2008), dalam lingkungan area kritis
keluarga memiliki beberapa peran yaitu:
1. Active Presence, yaitu keluarga tetap di sisi pasien,
2. Protector, yaitu memastikan perawatan terbaik telah diberikan,
3. Facilitator, yaitu keluarga memfasilitasi kebutuhan pasien ke
perawat,
4. Historian, yaitu sumber informasi rawat pasien,
5. Coaching, yaitu keluarga sebagai pendorong dan pendukung pasien.
Pasien yang berada dalam perawatan kritis menilai bahwa keberadaan
anggota keluarga di samping pasien memiliki nilai yang sangat tinggi
untuk menurunkan level kecemasan dan meningkatkan level
kenyamanan (Holly, 2012).
2.1.2 Teori Stress Keluarga
Respon keluarga terhadap stress yang dirasakan ketika
menghadapi anggota keluarga mendapatkan perawatan kritis, dapat
dijelaskan melalui Stres Keluarga Hill. Teori tersebut dikenal dengan
model ABCX. Kerangka ABCX memiliki dua bagian. Pertama adalah

9
pernyataan yang berhubungan dengan penentu krisis keluarga : A
(Peristiwa dan kesulitan terkait) berinteraksi dengan B (Sumber
berhadapan dengan krisis keluarga) yang berinteraksi dengan C (definisi
yang dibuat keluarga mengenai peristiwa tersebut) menghasilkan X
(krisis). Gambar 2.1.Teori Stres Keluarga menurut Hill(Friedman,
2010)Gambar 2.1 menampilkan gambar visual mengenai teori dari
adaptasi model Hill. Faktor A adalah stressor yang atau adanya peristiwa
aktual yang memaksa keluarga mempertahankan dengan cara stereotip
yang diikuti oleh mekanisme koping keluarga (B). Jika keluarga tidak
menggunakan sumber dan mekanisme koping, maka hasilnya sama yakni
seolah-olah keluarga tidak memiliki sumber koping. Intervensi lebih
mudah pada kasus ini karena tidak terlalu sulit untuk membantu keluarga
memanfaatkan pola koping masa lalu dibandingkan membantu keluarga
belajar cara berespon yang baru. Faktor C merupakan persepsi dan
interpretasi keluarga terhadap stressor atau peristiwa stres. Penilaian
keluarga terhadap stressor mempengaruhi apa upaya koping yang
digunakan beserta hasilnya nanti. Keluarga yang fungsional akan mampu
melihat peristiwa sebagai sesuatu yang dapat dipahami dan dapat
dikelola. Stressor keluarga (A) Krisis atau bukan krisis (X) Sumber
Koping (B) Persepsi tentang stressor (C) Faktor X terkait dengan krisis
atau bukan krisis. Terjadinya kecenderungan krisis menunjukkan
bagaimana keluarga mengatasi faktor B dan C. Ketika keluarga terpajan
krisis, maka cenderung mengalami peristiwa stressor dan keparahan yang
lebih besar (A) serta mendefinisikannya lebih sering sebagai krisis (C).
Tipe keluarga seperti ini lebih rentan terhadap peristiwa stressor karena
kurangnya sumber dan kemampuan koping (B) yang mereka miliki.
Selain itu, keluarga yang gagal belajar dari krisis masa lalu,
menyebabkan mereka melihat stressor baru sebagai ancaman dan
pencetus krisis. Faktor X ini, tidak dilihat sebagai hasil akhir melainkan
berpengaruh dalam hubungan dan penampilan peran anggota keluarga
(Friedman, 2010).
2.1.3 Koping Keluarga
Koping keluarga merupakan proses aktif saat keluarga
memanfaatkan sumber keluarga yang ada dan mengembangkan perilaku
serta sumber baru yang akan memperkuat unit keluarga dan mengurangi
dampak peristiwa hidup yang penuh stres. Strategi koping keluarga
ketika menghadapi stres dapat dilakukan melalui pencarian dukungan
sosial (Nurhadi, 2014).Dukungan yang diberikan oleh perawat intensif
kepada anggota keluarga pasien merupakan salah satu bentuk dukungan

10
sosial formal. Dukungan sosial yang diberikan oleh keluarga, teman dan
tetangga disebut ‘informational support’dan dukungan sosial yang
diberikan oleh penyedia layanan formal disebut ‘formal support’.Ketika
kebutuhan pasien dan keluarga bersinergi dengan kompetensi perawat,
maka hasil perawatan pasien akan optimal (Wardah, 2013). Dukungan
sosial didefinisikan sebagai pertukaran informasi pada tingkat
interpersonal yang memberikan empati dukungan yakni dukungan
emosional,harga diri, jaringan, penilaian dan altruistik. Dukungan
emosional merupakan keyakinan bahwa individu dalam keluarga dicintai
dan disayangi. Kebutuhan emosional ini mencakup kebutuhan akan
harapan dan jaminan dukungan spiritual. Pemahaman mengenai
pentingnya pemenuhan kebutuhan keluarga oleh tenaga kesehatan
profesional pada perawatan kritis bermanfaat agar keluarga dapat
mengontrol pada situasi rentan dan hal tersebut juga dapat dilakukan oleh
petugas kesehatan ketika berada pada keadaan yang sama (Brysiewicz,
2006).
2.3 Permasalahan pada Pasien Kritis
Berbagai permasalahan sering dialami oleh pasien kritis yang dirawat
di ruang rawat intensif yang meliputi permasalahan fisiologis maupun
psikologis. Menurut Patient and Family Support Committee of the Society of
Critical Care Medicine (2002) bahwa permasalahan umum yang sering
terjadi pada pasien kritis yang dirawat di ruang rawat intensif antara lain
gangguan neurologis, perdarahan, ketidakstabilan hemodinamik dan cairan
elektrolit, syok, gagal napas akut dan kronik, infeksi nosokomial, gagal
ginjal, nyeri dada, sepsis serta Multiple Organ Dysfunction
Syndrome (MODS). Selain itu pasien kritis juga cepat berkembang ke arah
malnutrisi karena adanya respon inflammatory, stress metabolik, dan bed
rest total yang semuanya menyebabkan perubahan katabolisme tubuh (Berger
& Pichard, 2012).
Gangguan neurologis yang sering dijumpai pada pasien kritis terutama
karena penyakit neurologis antara lain mengantuk, tidak sadar, gelisah dan
rasa kebingungan, sehingga perlu tindakan sedasi dan restrain pada pasien
untuk mencegah bahaya cedera. Selain itu, perdarahan yang sering terjadi
pada pasien kritis adalah stress ulcer, dimana masalah ini bisa juga terjadi
karena medikasi yang diberikan saat perawatan di ICU (Society of Critical
Care Medicine, 2002). Gagal napas juga bisa terjadi pada pasien kritis yang
dirawat lama di ruang ICU karena mengalami kelemahan akibat dari bed
rest total sehingga melemahkan otot pernapasan yang mengakibatkan gagal
napas (Fink et al, 2005).

11
Menurut Society of Critical Care Medicine (2002) permasalahan
pasien kritis berupa sepsis, gagalnya fungsi satu organ bahkan sampai MODS
dapat disebabkan karena adanya infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial yang
diperoleh pasien kritis dipengaruhi oleh imunitas pasien itu sendiri,
kontaminasi lingkungan dan healthcare worker, serta penggunaan prosedur-
prosedur invasive yang tidak steril dan tidak dirawat dengan baik seperti
kateter urin, central vena and arterial catheter, dan intubasi endotrakea. Alat-
alat tersebut bisa mempengaruhi sistem perlindungan normal mukosa kulit
sehingga sangat rentan terjadinya infeksi nosokomial.

BAB III
PEMBAHASAN

12
3.1 Perawatan Psikologis Pasien Kritis
3.1.1 Kecemasan
A. Latar Belakang
Kecemasan merupakan hal yang sering dirasakan pasien
menjalani pengobatan atau prosedur di rumah sakit. Sumber
kecemasan pada pasien yang dirawat di ruang intensif dapat berupa
penyakit yang diderita, perasaan kesepian, rasa takut mengenai ajal,
lingkungan seperti pencahayaan yang terus menerus, suara alat yang
terdengar sepanjang waktu, serta kesiagaan dari petugas medis.
Diperkirakan sekitar 70% sampai 87% pasien kritis mengalami
kecemasan. Kecemasan dapat mengakibatkan adanya perubahan
fisiologis meliputi tekanan darah, heart rate, pernafasan (Biley,
Morgan, & Satherley, 2003), agitasi, peningkatan aktifitas
otot/pergerakan, ketakutan (Chlan & Savik, 2011), ancaman terhadap
lingkungan yang asing dengan kebisingan yang terus menerus,
teknologi yang canggih, kehilangan privasi, ketidakmampuan untuk
berkomunikasi efektif, mobilitas terbatas, gangguan tidur, dan takut
mati atau cacat yang umum untuk pengalaman perawatan kritis.
Perawat meyakini bahwa pengelolaan kecemasan sangat penting
sehingga tidak berubah menjadi ketakutan yang dapat menstimulasi
sistem saraf simpatis sehingga mengakibatkan adanya peningkatan
kerja pernafasan, permintaan oksigen, dan kerja otot jantung (Chlan
& Savik, 2011). National Center for Complementary/ Alternative
Medicine (NCCAM) membuat berbagai terapi dan sistem pelayanan
dimana mind-body therapy memberikan intervensi dengan teknik
untuk memfasilitasi kapasitas berpikir yang mempengaruhi gejala
fisik dan fungsi tubuh misalnya perumpamaan (imagery), yoga, terapi
seni, berdoa, journaling, biofeedback, humor, tai chi, dan terapi musik
(Snyder, M. & Lindquist, 2002). Badan penelitian kesehatan dan
kualitas perawatan kesehatan di Ronchester, Minnesota
merekomendasikan bahwa manajemen kecemasan bisa dilakukan
dengan terapi relaksasi seperti musik dan suara alam (nature sound)
(Cutshall et al., 2011). Nature sounds music merupakan jenis musik
temuan baru akibat modernisasi tehnologi rekaman suara, bentuk
integrative musik klasik dengan suara-suara alam. Komposisi suara
yang dihasilkan oleh fenomena alam, seperti angin, hujan, laut,
sungai, binatang, dan burung. Suara alam juga memiliki tempo yang
berbeda, pitch, dan irama yang umumnya lambat atau nada yang

13
tidak tiba-tiba tinggi. Manusia memiliki hubungan yang erat dan
kontak dengan alam yang bermanfaat bagi kesehatan (Chiang, 2012).
B. Definisi
Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan
menyebar, yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak
berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik.
Ansietas dialami secara subjektif dan dikomunikasikan secara
interpersonal. Ansietas berbeda dengan rasa takut yang merupakan
penilaian intelektual terhadap sesuatu yang berbahaya. Ansietas
adalah respon emosional terhadap penilaian tersebut yang
penyebabnya tidak diketahui. Sedangkan rasa takut mempunyai
penyebab yang jelas dan dapat dipahami (Stuart, 2007). Ansietas
adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh
situasi. Ketika merasa cemas, individu merasa cemas, individu
merasa tidak nyaman atau takut atau mungkin memiliki firasat akan
ditimpa malapetaka padahal ia tidak mengerti mengapa emosi yang
mengancam tersebut terjadi. Tidak ada objek yang dapat
diidentifikasi sebagai stimulus ansietas. Ansietas merupakan alat
peringatan internal yang memberikan tanda bahaya kepada individu
(Viedebeck, 2008).
C. Penyebab-Penyebab Kecemasan
Menurut (Nurarif & Kusuma, 2013) yaitu :
1. Perubahan dalam (status ekonomi, lingkungan, status kesehatan,
pola interaksi, fungsi peran, status peran)
2. Pemajanan toksin
3. Terkait keluarga
4. Herediter
5. Infeksi/kontaminan interpersonal
6. Penularan penyakit interpersonal
7. Krisis maturasi, krisis situasional
8. Stres, ancaman kematian
9. Penyalahgunaan zat
10. Ancaman pada (status ekonomi, lingkungan, status kesehatan,
pola interaksi, fungsi peran, status peran, konsep diri)
11. Konflik tidak disadari mengenai tujuan penting hidup
12. Konflik tidak disadari menenai nilai yang esensial/penting
13. Kebutuhan tidak dipenuhi.
D. Gejala-Gejala Kecemasan

14
Menurut (Nurarif & Kusuma,2013) yaitu :
1. Gejala perilaku dari kecemasan yaitu : penurunan produktivitas,
gerakan yang ireleven, gelisah, melihat sepintas, insomnia, kontak
mata yang buruk, mengekspresikan kekawatiran karena
perubahan dalam peristiwa hidup, agitasi, mengintai dan tampak
waspada.
2. Gejala afektif dari kecemasan yaitu : gelisah, distres, kesedihan
yang mendalam, ketakutan, perasaan tidak adekuat, berfokus pada
diri sendiri, peningkatan kewaspadaan, iritabilitas, gugup senang
berlebihan, rasa nyeri yang meningkatkan ketidakberdayaan,
peningkatan rasa ketidakberdayaan yang persisten, bingung,
menyesal, ragu/tidak percaya diri dan khawatir.
3. Gejala fisiologis dari kecemasan yaitu : wajah tenang, tremor
tangan, peningkatan keringat, peningkatan ketegangan, gemetar,
tremor, suara bergetar.
4. Gejala simpatik dari kecemasan yaitu : anoreksia, eksitasi
kardiovaskular, diare, mulut kering, wajah merah, jantung
berdebardebar, peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut
nadi, peningkatan reflek, peningkatan frekuensi pernapasan, pupil
melebar, kesulitan bernafas, vasokontriksi superfisial, lemah dan
kedutan pada otot.
5. Gejala parasimpatik dari kecemasan yaitu : nyeri abdomen,
penurunan tekanan darah, penurunan denyut nadi, diare, mual,
vertigo, letih, gangguan tidur, kesemutan pada extremitas, sering
berkemih, anyanganyangan, dorongan segera berkemih.
6. Gejala kognitif dari kecemasan yaitu : menyadari gejala
fisiologis, bloking fikiran, konfusi, penurunan lapang persepsi,
kesulitan berkonsentrasi, penurunan kemampuan untuk belajar,
penurunan kemampuan untuk memecahkan masalah, ketakutan
terhadap konsekuensi yang tidak spesifik, lupa, gangguan
perhatian, khawatir, melamun, cenderung menyalahkan orang
lain.
E. Stresor Pencetus
Stresor pencetus dapat berasal dari sumber internal dan eksternal,
stressor pencetus dapat diklasifikasikan dalam dua jenis menurut
(Riyadi & Purwanto, 2009):

15
1. Ancaman terhadap integritas seseorang meliputi ketidakmampuan
fisiologis yang akan terjadi atau menurunkan kapasitas untuk
melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Pada ancaman ini, stressor
yang berasal dari sumber eksternal adalah faktor-faktor yang
dapat menyebabkan gangguan fisik (misal; infeksi virus, polusi
udara). Sedangkan yang menjadi sumber internalnya adalah
kegagalan 12 mekanisme fisiologi tubuh (misal; sistem jantung,
sistem imun, pengaturan suhu dan perubahan, fisiologi selama
kehamilan).
2. Ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat membahayakan
identitas, harga diri dan fungsi sosial yang terintegrasi seseorang.
Ancaman yang berasal dari sumber eksternal yaitu kehilangan
orang yang berarti (meninggal, perceraian, pindah kerja) dan
ancaman yang berasal dari sumber internal berupa gangguan
hubungan interpersonal dirumah, tempat kerja atau menerima
peran baru.
F. Alat Ukur Kecemasan
1. Hamilton Anxiety Rating Scale (HAM-A atau HARS)
HAM-A atau HARS merupakan salah satu skala penilaian
pertama yang dikembangkan untuk mengukur tingkat gejala
kecemasan. Skala ini terdiri dari 14 item, meliputi gejala dan
mengukur tingkat kecemasan psikis (agitasi mental dan tekanan
psikologis) dan kecemasan somatik (Hamilton, 1959) terdiri dari
suasana hati yang cemas, ketegangan (respon terkejut, kelelahan,
kegelisahan), ketakutan (termasuk kegelapan, orang asing, orang
banyak), insomnia, intelektual (kesulitan berkonsentrasi), suasana
hati depresi, gejala somatik (nyeri, kaku, bruksisme), sensoris
(tinnitus, penglihatan kabur), kardiovaskular (takikardi, palpitasi),
pernapasan (sesak dada, tersedak), gastrointestinal (termasuk
gejala tipe iritasi usus), genitourinary (frekuensi kencing,
hilangnya libido), otonom (mulut kering, sakit kepala, tegang),
dan perilaku yang diamati saat wawancara (Thompson, 2015).
Skala penilaian pada setiap gejala kuesioner HARS antara 0
sampai 4 dengan rincian:
0: tidak ada gejala sama sekali
1: terdapat satu gejala dari yang ada
2: separuh dari gejala yang ada
3: lebih dari separuh dari gejala yang ada
4: semua gejala ada

16
Nilai akhir dari kuesioner ini dapat dikategorikan menjadi:
≤ 14 : tidak ada kecemasan
15 - 20 : ringan
21- 27 : sedang
28 - 41 : berat
42- 56 : panik
3.1.2 Delirium
A. Latar Belakang
Delirium adalah gangguan mental serius yang ditandai dengan
penurunan kesadaran terhadap lingkungan sekitar. Penyebabnya
adalah perubahan fungsi otak akibat penyakit fisik atau mental.
Kondisi ini berdampak pada gangguan berpikir, mengingat,
berkonsentrasi, dan tidur. Delirium bersifat akut, berubah-ubah
(fluktuatif), dan biasanya terjadi singkat jika segera mendapatkan
penanganan yang tepat. Namun jika dibiarkan dan tidak dilakukan
penanganan delirium, kondisi ini bisa menurunkan kualitas hidup
pengidap dan memicu keinginan bunuh diri.
Diagnosis delirium dilakukan melalui pemeriksaan fisik dan
neurologis, pemeriksaan kondisi kejiwaan, dan pemeriksaan
penunjang (seperti tes darah, tes urine, dan tes pemindaian). Setelah
diagnosis ditetapkan, pengobatan dilakukan untuk menangani
penyebab munculnya delirium. Misalnya delirium akibat konsumsi
obat-obatan tertentu, diobati dengan menghentikan atau mengurangi
dosis obat tersebut. Gejala kecemasan, rasa takut, dan halusinasi
diobati dengan pemberian obat penenang.
Delirium juga ditangani dengan terapi pendukung untuk
mencegah komplikasi. Caranya dengan membantu pengidap delirium
untuk tetap menjaga jalan napas, menyediakan cairan dan nutrisi
yang dibutuhkan, menggerakkan tubuh, dan mengurangi nyeri.
Jangan mengisolasi pengidap delirium karena pada kasus tertentu,
pengidap gangguan mental (termasuk delirium) dipasung atau diikat
karena dianggap membahayakan orang di sekitarnya.
Delirium ditandai dengan perubahan status mental, tingkat
kesadaran, serta perhatian yang akut dan fluktuatif. Keadaan ini
merupakan kelainan yang serius berhubungan dengan pemanjangan
lama perawatan di Intensive Care Unit (ICU), biaya yang lebih tinggi,
memperlambat pemulihan fungsional, serta peningkatan morbiditas
dan mortalitas. Tujuan penelitian adalah mengetahui angka kejadian

17
delirium dan faktor risiko terjadinya delirium di ICU Rumah Sakit
Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Pengambilan sampel dilakukan
selama tiga bulan (Januari–Maret 2015) di ICU RSHS Bandung.
Metode penelitian ini deskriptif observasional secara kohort
prospektif, menggunakan alat ukur Confusion Assessment Method-
Intensive Care Unit (CAM-ICU), sebelumnya dilakukan penilaian
dengan Richmond agitation-sedation scale (RASS) pada pasien yang
tersedasi. Hasil penelitian ini dari 105 pasien, 22 pasien
dieksklusikan, dari 83 pasien didapatkan 31 pasien positif delirium,
angka kejadian 37%. Faktor-faktor risiko pada pasien positif delirium
terdiri atas geriatri 15 dari 31, pemakaian ventilator 12 dari 31,
pemberian analgesik morfin 9 dari 31, sepsis atau infeksi 9 dari 31,
kelainan jantung 8 dari 31, acute physiology and chronic health
evaluation (APACHE) II skor tinggi 8 dari 31, kelainan ginjal 7 dari
31 laboratorium abnormal 7 dari 31, pemberian sedasi midazolam 6
dari 31 kelainan endokrin 5 dari 31, pemberian analgesik fentanil 2
dari 31, dan strok 1 dari 31. Simpulan, angka kejadian delirium di
ICU RSHS Bandung cukup tinggi sebesar 37% dengan faktor risiko
terbesar adalah pasien geriatrik.
3.1.3 Sedasi
A. Latar Belakang
Pasien dengan sakit kritis di ruang perawatan intensif akan
mengalami rasa cemas, agitasi, ketakutan, serta nyeri. Penggunaan
bantuan ventilasi mekanis akan menambah perasaan tidak nyaman,
sehingga pemberian sedasi dan analgesia sangat penting agar pasien
merasa nyaman, dilihat dari sudut pandang psikologi dan juga
fisiologi. Prinsip utama dari perawatan di ruang rawat intensif (ICU)
adalah memberikan rasa nyaman sehingga pasien dapat mentoleransi
lingkungan ICU yang tidak bersahabat. Hal ini dapat dilakukan
dengan mengidentifkasi dan mengatasi penyakit dasar dan faktor
pencetus, menggunakan metode non farmakologi untuk
meningkatkan rasa nyaman dan pemberian terapi sedasi dan analgesia
sesuai dengan konsep kerja. Pada umumnya, lingkungan ruang rawat
intensif (ICU) dapat menimbulkan rasa takut dan stres terhadap
pasien. Agitasi dapat terjadi pada 71% pasien di ICU. Kebanyakan
dari pasien yang dirawat di ICU, tidak dapat mengkomunikasikan apa
yang mereka rasakan dan butuhkan. Prosedur -prosedur seperti
intubasi endotrakhea, ventilasi mekanik, suction dan fsioterapi tidak
dapat

18
ditoleransi tanpa pemberian sedasi yang adekuat. Akan tetapi,
pemberian sedasi yang terus menerus dapat memperpanjang lama
penggunaan ventilasi mekanik dan perawatan di ICU.
Terdapat 2 istilah, sedasi dan analgesia, yang digunakan di
ICU. Sedasi adalah istilah untuk hipnotik dan ansiolisis, sedangkan
analgesia istilah untuk menghilangkan nyeri dan supresi dari
respiratory drive. (Reade C, Finfer Simon, 2014)
B. Definisi
Sedasi adalah penurunan iritabilitas atau hilangnya agitasi
yang dilakukan melalui pemberian obat sedativa, pada umumnya
untuk mendukung prosedur medis atau prosedur diagnostik.
The American Society of Anesthesiologists (ASA) menggunakan
definisi berikut untuk sedasi :
a) Sedasi Minimal
Suatu keadaan dimana selama terinduksi obat, pasien berespon
normal terhadap perintahverbal. Walaupun fungsi kognitif dan
koordinasi terganggu, tetapi fungsi kardiovaskuler dan ventilasi
tidakdipengaruhi.
b) Sedasi Sedang (Sedasi Sadar)
Suatu keadaan depresi kesadaran setelah terinduksi obat di mana
pasien dapat berespon terhadap perintah verbal secara spontan
atau setelah diikuti oleh rangsangan taktil cahaya.
Tidakdiperlukan intervensi untuk menjaga jalan napas paten dan
ventilasi spontan masih adekuat. Fungsikardiovaskuler biasanya
dijaga.
c) Sedasi Dalam
Suatu keadaan di mana selama terjadi depresi kesadaran setelah
terinduksi obat, pasien sulitdibangunkan tapi akan berespon
terhadap rangsangan berulang atau rangsangan sakit. Kemampuan
untukmempertahankan fungsi ventilasi dapat terganggu dan
pasien dapat memerlukan bantuan untuk menjaga jalannapas
paten. Fungsi kardiovaskuler biasanya dijaga.
C. Pengukuran Skala Sedasi
1. Pemantauan Sedasi : Skala Ramsay Sedation Scale (RSS)

19
Dipublikasikan pertama kali oleh Ramsay et al tahun 1974
untuk mengukur tingkat sedasi dan masih digunakan secara luas
hingga sekarang. Skala terdiri dari 6 tingkatan. Bertumpu pada
perubahan tanda vital sebagai indikator utama nyeri dapat
mengecoh karena perubahan ini juga ditunjukan untuk mendasari
kondisi patofisiologis, perubahan homeostatistik dan obat-obatan.
Tidak adanya penigkatan tanda vital bukan berarti tidak adanya
rasa nyeri. Pengukuran rasa nyeri pada penderita yang tidak dapat
berkomunikasi secara efektif untuk beberapa alasan seperti
intubasi trakeal, penurunan level kesadaran, sedasi, dll dapat
menggunakan Behavioral Pain Scale (BPS).
2. Riker Sedation Agitation Scale (SAS)
Skala ini lebih digunakan untuk mengukur agitasi, terdiri dari
7 tingkatan yaitu skala 1-3 merupakan tingkat sedasi, skala 4
berarti kooperatif, dan skala 5-7 menunjukkan tingkat agitasi.
3. Richmond Agitation Sedation Scale (RASS)
RASS terdiri dari 10 poin, skala terdiri dari skala agitasi (+1
sampai +4) dan kesadraan (skala -1 sampai -5) serta skala 0 untuk
sadar baik. Sedasi dalam diukur dengan 2 tahap yaitu tes respon
terhadap instruksi verbal seperti buka mata dan diikuti tes respon
kognitif seperti penderita dapat fokus melihat mata pemberi
perintah. Skala pengukuran tersebut memiliki korelasi yang baik
dengan proses elektroensefalografi, sama baiknya dengan
akselerasi dan gerakan ekstremitas.
D. Manajemen Pemberian Sedasi
Menurut Suhandoko dkk (2017) dalam penilaian skala sedasi,
tujuan dari sedasi di ICU adalah pasien tenang namun dapat mudah
dibangunkan. Kegunaan dari skala sedasi adalah memudahkan
petugas kesehatana untuk mencapai tujuan pemberian sedasi dengan
menggunakan dosis obat sedatif seminimal mungkin. Dengan
demikian akan mengurangi resiko terhadap pasien.
Saat ini tidak ada obat sedatif yang ideal. Hampir semua obat
sedatif memiliki efek samping yang hampir sama. Akumulasi obat
akibat pemberian berkepanjangan dapat mengakibatkan
keterlambatan penyapihan dukungan organ dan memperlama
perawatan di ICU. Efek samping terhadap sirkulasi dan tekanan darah
dapat mengakibatkan pasien membutuhkan dukungan obat inotropik.
Efek terhadap pembuluh darah paru-paru dapat menyebabkan

20
ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi sehingga kebutuhan
dukungan ventilasi mekanik meningkat serta beresiko terhadap
pneumonia nosokomial. Selain itu penggunaan yang lama dapat
menyebabkan toleransi dari pasien dan gejala withdrawl saat obat
sedasi dihentikan.
Obat sedatif tidak menghasilkan tidur rapid eye movement
sehingga dapat mengakibatkan psikosis pada pasien yang dirawat di
ICU. Disamping itu, efek terhadap motilitas usus dapat mengganggu
penyerapan makanan dan obat enternal.
Obat sedatif yang ideal harus memiliki sifat sebagai berikut :
hipnotik, ansiolitik, anti kejang, tidak mudah terakumulasi, tidak
toksik, metabolisme tidak melalui hepar dan ginjal, efek minimal
pada sistem kardiovaskuler, mula dan lama kerja yang singkat, tidak
berefek terhadap fungsi memori dan fisiologi, tidak berinteraksi
dengan obat lain, dan murah.
Pemilihan obat-obat sedatif harus disesuaikan dengan panduan lokal
dan efisiensi dari biaya. Kombinasi obat-obat sedatif dengan
mekanisme kerja yang berbeda lebih efektif dibandingkan dengan
obat tunggal dosis tinggi.
3.1.4 Nyeri
A. Latar Belakang
Nyeri merupakan masalah penting pada pasien yang
dikelola pada unit perawatan kritis (ICU). Dalam studi terbaru 49-
64% pasien melaporkan sakit parah. Namun, hanya 14,9% tidak puas
dengan manajemen nyeri yang mereka terima. International Society
for the Study of Pain mendefinisikan nyeri sebagai 'pengalaman
sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan
dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial, atau yang dapat
digambarkan dalam hal kerusakan tersebut'. Oleh karena itu, persepsi
nyeri dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kepribadian, latar
belakang budaya, lingkungan yang tidak dikenalnya dan ketakutan.
Hal ini membuat penilaian nyeri sulit, terutama dalam ICU karena
pasien dapat dibius, diintubasi, takut, bingung atau pada usia lansia.
Pasien di area perawatan kritis (ICU dan HCU) mungkin
memiliki rasa sakit tidak hanya timbul dari penyakit utama mereka
tetapi juga dari prosedur terapi (misalnya suction, endotrakeal). Tidur
yang terganggu dan kecemasan dapat meningkatkan persepsi nyeri
dan imobilitas berkepanjangan dapat menyebabkan nyeri sendi,

21
kontraktur atau ulkus dekubitus. Kegagalan untuk mengatasi rasa
sakit secara efektif dapat mengakibatkan peningkatan dorongan
simpatik menyebabkan ketidakstabilan kardiovaskular, vasokontriksi,
atelektasis basal, peningkatan konsumsi oksigen dan iskemia jaringan
(Chong C & Burchett K, 2003).
B. Definisi
Rasa nyaman berupa terbebas dari rasa yang tidak
menyenangkan adalah suatu kebutuhan individu. Nyeri merupakan
perasaan yang tidak menyenangkan yang terkadang dialami individu.
Kebutuhan terbebas dari rasa nyeri itu merupakan salah satu
kebutuhan dasar yang merupakan tujuan diberikannya asuhan
keperawatan pada seorang pasien di rumah sakit(Perry & Potter,
2009). Nyeri diartikan berbeda-beda antar individu, bergantung pada
persepsinya.Walaupun demikian, ada satu kesamaan mengenai
persepsi nyeri. Secara sederhana, nyeri dapat diartikan sebagai suatu
sensasi yang tidak menyenangkan baik secara sensori maupun
emosional yang berhubungan dengan adanya suatu kerusakan
jaringan atau faktor lain, sehingga individu merasa tersiksa,
menderita yang akhirnya akan mengganggu aktivitas sehari-hari,
psikis, dan lain-lain (Perry & Potter, 2009).
C. Alat Pengkajian yang digunakan di Ruang ICU
Berdasarkan hasil review dari beberapa jurnal dan hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa untuk alat pengkajian nyeri yang
digunakan di ruang perawatan kritis adalah The behavioral pain scale
dan the Critical-Care Pain Observation Tool adalah alat penilaian
nyeri yang valid dan handal yang dapat digunakan untuk menilai
nyeri nonverbal pasien dewasa dengan fungsi motorik utuh.
Sedangkan skala FLACC baik digunakan untuk pasien anak-anak.
D. Manajemen Nyeri
Menurut Bar J dkk (2013) dalam manajemen nyeri di ruang
ICU mereka merekomendasikan bahwa intervensi
nonpharmacologic (misalnya, relaksasi) bisa diberikan untuk
mengurangi rasa sakit pada pasien ICU dewasa sebelum
pengangkatan selang dada, Sebaiknya dalam pemberian obat
intravenous (iv) opioid dianggap sebagai kelas obat pilihan lini
pertama untuk mengobati nyeri neuropatik pada pasien kritis. Kami
juga menyarankan bahwa analgesik nonopioid dipertimbangkan
untuk mengurangi jumlah opioid yang diberikan (atau

22
menghilangkan kebutuhan untuk iv opioid sama sekali) dan untuk
mengurangi efek samping opioid terkait.
Berdasarkan hasil review dari beberapa jurnal dan hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa manajemen nyeri di ruang
perawatan kritis adalah Manajemen nyeri di ICU memerlukan
pemilihan yang cermat obat-obatan dan rute administrasi. Terapi
farmakologi yang menjadi andalan adalah opioid.
Perawat berperan penting dalam memberikan peredaan
nyeri. Meskipun intervensi farmakologis adalah strategi yang
paling sering digunakan, penatalaksanaan keperawatan terhadap
nyeri juga mencakup tindakan fisik, kognitif dan perilaku. Selain
memberikan obat-obatan atau memberikan terapi alternatif, peran
perawat meliputi mengukur respon pasien terhadap terapi tersebut.
Karena nyeri dapat berkurang atau pola nyeri dapat berubah,
penyesuaian terapi perlu dilakukan sebelum terlihat perbaikan.
Pemeriksaan Nyeri Psikologi Pemeriksaan untuk
mengetahui nyeri psikologi dilakukan dengan cara wawancara dan
psikotes. Menurut Kristyawati (2005) untuk wawancara, psikolog
memberikan pertanyaan sedemikian rupa sehingga tidak hanya
sekedar menjawab “ya” atau “tidak” saja. Berikut ini pedoman
singkat yang dipakai tahap wawancara : 1. Faktor sosial dan
ekonomi Seperti : adakah problem pekerjaan, kesukaran ekonomi
(terkena PHK, terlalu banyak angsuran), pekerjaan yang tidak tentu
serta bagaimana hubungan dengan anggota keluarga dan orang
lain. 2. Faktor perkawinan Bagaiman hubungan dengan pasangan,
adakah perselisihan, perceraian atau kekecewaan dalam hubungan
seksual 3. Faktor kesehatan Adakah penyakit menahun yang
seringkali menimbulkan perasaan takut mati, adakah penyakit
berbahaya seperti : kanker, kecacatan menetap 4. Faktor psikologi
Adakah anxiety, mood disorder, adjustment disorder atau depresi
Pada psikotes yang digunakan untuk mengungkapkan adanya
ganggguan psikologi, antara lain : Beck Depresion Invetory (BDI),
Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS), Tes Rorschach, Tes
Grafis, Thematic Aperception Test (TAT).
3.1.5 Tidur
A. Latar Belakang
Tidur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang
termasuk kedalamkebutuhan fisiologi. Tidur sebagai salah satu

23
kebutuhan dasar yang bersifat Universal (Kozier, 2009). Dikatakan
universal oleh karena pada umumnya semua individu dimanapun dia
berada membutuhkan tidur dan tidak pernah ada individu yang
selama hidupnya tidak tidur, hal ini mengindikasikan bahwa tidur
memiliki peranan penting bagi manusia. Menurut Berger dan Wiliam
(1992) mengatakan bahwa tidur memiliki peranan esensial bagi
kualitas hidup seseorang. Hal ini dinyatakan oleh Priharjo (1996)
yaitu tidur merupakan kebutuhan dasar bagi setiap makhluk hidup,
tidur juga merupakan salah satu mekanisme untuk memperbaiki atau
memulihkan tubuh dan juga berfungsi untuk mempertahankan
kesehatan, selain itu Potter dan Perry (2006) juga mengatakan bahwa
kebutuhan untuk istirahat dan tidur adalah penting bagi kualitas hidup
semua orang, namun demikian tiap individu memiliki kebutuhan
yang berbeda dalam jumlah tidurnya (Potter & Perry, 2006).
B. Definisi
Tidur merupakan suatu keadaan tidak sadar dimana persepsi dan
reaksi individu terhadap lingkungan menurun atau hilang, dan dapat
dibangunkan kembali dengan indra atau rangsangan yang cukup. Tidur
ditandai dengan aktivitas fisik minimal, tingkat kesadaran yang bervariasi,
terjadi perubahan proses fisiologis tubuh serta penurunan respon terhadap
rangsangan dari luar (Asmadi, 2008).
C. Fisiologi Tidur
Aktivitas tidur diatur dan dikontrol oleh dua sistem pada
batang otak, yaitu Reticular Activating System (RAS) dan Bulbar
Synchronizing Region (BSR). RAS merupakan sistem yang mengatur
seluruh tingkatan kegiatan susunan saraf pusat termasuk
kewaspadaan dan tidur. RAS ini terletak dalam mesenfalon dan
bagian atas pons. Selain itu RAS dapat memberi rangsangan visual,
pendengaran, nyeri dan perabaan juga dapat menerima stimulasi dari
korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan proses pikir. Dalam
keadaan sadar, neuron dalam RAS akan melepaskan katekolamin
seperti norephinephrine. Demikian juga pada saat tidur, disebabkan
adanya pelepasan serum serotonin dari sel khusus yang berada di
pons dan batang otak tengah, yaitu BSR (Potter & Perry, 2005).
D. Tahap-Tahap Tidur
Dalam prosesnya, tidur dibagi menjadi dua jenis. Pertama,
jenis tidur yang disebabkan oleh menurunnya kegiatan dalam sistem
pengaktivasi reticularis, disebut dengan tidur gelombang lambat atau

24
NREM (Non Rapid Eye Movement). Dalam tidur gelombang lambat
masih dibagi lagi menjadi empat tahapan, yaitu:
1. Tahap I
Merupakan tahap transisi antara bangun dan tidur dengan ciri
sebagai berikut:
 Rileks
 Masih sadar dengan lingkungan
 Merasa mengantuk
 Bola mata bergerak dari samping ke samping
 Frekuensi nadi dan napas sedikit menurun, dan
 Dapat bangun segera selama tahap ini berlangsung selama 5
menit
2. Tahap II
Merupakan tahap tidur ringan dan proses tubuh terus menurun
dengan ciri sebagai berikut:
 Mata pada umumnya menetap
 Denyut jantung dan frekuensi napas menurun
 Temperatur tubuh menurun
 Metabolisme menurun
 Berlangsung pendek dan berakhir 10-15 menit
3. Tahap III
Merupakan tahap tidur dengan ciri denyut nadi dan frekuensi
napas dan proses tubuh lainnya lambat, disebabkan oleh adanya
dominasi sistem saraf parasimpatis dan sulit untuk bangun.
4. Tahap IV
Tahap IV merupakan tahap tidur dalam dengan ciri kecepatan
jantung dan pernapasan turun, jarang bergerak dan sulit
dibangunkan, gerak bola mata cepat, sekresi lambung menurun,
dan tonus otot menurun. Kedua, jenis tidur yang disebabkan oleh
penyaluran abnormal dari isyarat-isyarat dalam otak meskipun
kegiatan otak mungkin tidak tertekan secara berarti, disebut
dengan tidur paradoks atau REM (Rapid Eye Movement). Tidur
jenis ini dapat berlangsung pada tidur lama yang terjadi selama 5-
20 menit, rata-rata timbul 90 menit. Periode pertama terjadi
selama 80-100 menit, akan tetapi apabila kondisi orang sangat
lelah, maka awal tidur sangat cepat bahkan jenis tidur ini tidak

25
ada (Hidayat, 2006). Menurut Guyton (2005), adapun ciri dari
tidur paradoks antara lain :
 Biasanya disertai dengan mimpi aktif
 Orang tersebut bahkan lebih sulit untuk dibangunkan daripada
selama tidur nyenyak gelombang lambat
 Tonus otot diseluruh tubuh sangat tertekan, yang
menunjukkan inhibisi kuat proyeksi spinal atas sistem
pengaktivasi retikularis
 Frekuensi jantung dan pernapasannya biasanya menjadi tidak
teratur, yang merupakan ciri keadaan mimpi
 Elektroensefalogram (EEG) memperlihatkan suatu pola
desinkronisasi gelombang beta voltase rendah yang mirip
dengan yang terjadi selama keadaan waspada
E. Kualitas Tidur
Persepsi tidur seseorang yang dinilai berdasarkan bagaimana kondisi
diri sebelum tidur hingga bangun tidur, Kuesioner RCSQ, dengan
hasil ukur :
 Sangat baik: 76-10
 Baik: 51-75
 Buruk: 26-50
 Sangat buruk: 1-25
3.2 Perawatan Keluarga Pasien Kritis
3.2.1 Tinjauan Model Keperawatan
Pasien dengan keadaan kritis tidak hanya mengalami berbagai
masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat badan,
gangguan aktivitas tetapi juga mengalami gangguan psikososial dan
spiritual, sehingga perlu adanya dukungan terhadap kebutuhan
psikologis, sosial dan spiritual. Proses pemenuhan kebutuhan ini, tidak
hanya dilakukan oleh tenaga medis, perawat maupun fisioterapi, tetapi
juga memerlukan kemitraan keluarga. Pelayanan keperawatan
mengusahakan sumber dukungan dari keluarga pasien dengan penerapan
model Patient-Family Centered Care (PFCC) di ICU. Patient-Family
Centered Care (PFCC) merupakan paradigma baru dalam pelayanan
kesehatan yang menempatkan pasien dan keluarga sebagai fokus
pemberian asuhan keperawatan (Beer, 2017).
Keuntungan dari implementasi PFCC antara lain : pasien dan
keluarga menjadi pusat pelayanan keperawatan dan aktifitas pelayanan,

26
sehingga pemberian pelayanan lebih efektif dengan orang yang tepat dan
waktu yang tepat; meningkatkan kontinuitas perawatan dan integrasi
tenaga kesehatan profesional dalam berkolaborasi untuk kepentingan
pasien. Hal ini akan meningkatkan otonomi pasien dan keluarga dalam
perawatan kesehatan dan meningkatkan kontinuitas dalam pelayanan.
Akan tetapi, hal ini belum sepenuhnya dipahami dan dapat diterapkan
bahwa Kemitraan keluarga adalah komponen penting dalam perawatan
pasien di ICU.
Fenomena terkait pelibatan keluarga dalam perawatan pasien di
ICU adalah hal kompleks dan perlu perhatian khusus. Meningkatnya
kecemasan pasien, adanya batasan jam kunjung, kebutuhan informasi
tentang perawatan, dan dampak hospitalisasi pasien di ICU terhadap
keluarga pasien juga merupakan fokus pemberian asuhan keperawatan
(Baning, 2012). Hal ini merupakan landasan penting dalam penerapan
PFCC, dimana keterlibatan keluarga memiliki peran penting dalam
pemeberian asuhan, dengan harapan dapat meinngkatkan otonomi pasien
dan keluarga dalam pengambilan keputusan tentang perawatan dan
meningkatkan kontinuitas dalam peyanan kesehatan.
3.2.2 Pertimbangan Religi
Pengalaman keluarga saat pengambilan keputusan pada pasien
kritis bukan hal yang mudah. Ditemukan banyak masalah yang dialami
keluarga saat pengambilan keputusan seperti masalah fisiologis,
psikologis, spiritual, sosial, dan budaya. Keluarga dan pasien kritis yang
di rawat di ruang ICU (Intensive Care Unit) akan mengalami beberapa
masalah psikologis yang disebabkan akibat proses perawatan, perubahan
kondisi fisik, dan keparahan penyakit. Review bertujuan untuk
mendapatkan informasi tentang dukungan spiritual yang diberikan pada
keluarga dan pasien kritis yang dirawat di ICU.Bentuk dukungan
spiritual dapat berupa diskusi, komunikasi, memfasilitasi ibadah,
relaksasi seperti mendengarkan do’a dan ayat suci Al-Qur’an. Dukungan
spiritual diberikan untuk menurunkan kecemasan, menurunkan stress dan
tingkat nyeri, menstabilkan hemodinamik, meningkatkan skor Glasgow
Coma Scale (GCS) dan dapat lebih mudah mengambil keputusan
perawatan pada keluarga dan pasien kritis. Dukungan spiritual yang
diberikan akan meningkatkan dopamin di otak memberikan efek rileks,
senang dan bahagia. Sehingga masalah psikologis akan menurun dalam
perawatan pasien dan keluarga pasien di ruang icu
Dukungan spiritual ini dapat mengurangi kecemasan yang dialami
keluarga pasien. Keterlibatan spiritual dan keagamaan tersebut

27
berkontribusi dalam hal mengurangi gejala depresi dan kecemasan Orang
yang mendekatkan diri kepada Tuhan akan memperoleh kenyamanan dan
dapat mengatasi stres.Kedekatan dengan Tuhan akan memberi kekuatan
lebih, kepercayaan diri serta kenyamanan. Sehinga memberi manfaat
terhadap kesehatan termasuk mengurangi depresi,kesepian,meningkatkan
kematangan dalam berhubungan , kompetensi social dan penilaian
psikososial yang lebih baik dalam menghadapi stres Dalam sebuah studi
tentang kebutuhan keluarga pasien menunggu keluarganya dengan
perawatan ICU ada beberapa hal penting yang dibutuhkan yaitu
kebutuhan untuk dihubungi kerumah bila terjadi perubahan pada kondisi
pasien, kebutuhan untuk mengetahui prognosa penyakit, kebutuhan untuk
mendapat jawaban yang jujur atas pertanyaan keluarga, kebutuhan untuk
menerima informasi tentang pasien sekali sehari, kebutuhan untuk
mendapat penjelasan terhadap sesuatu yang tidak dimengerti, dan
kebutuhan untuk mendapat jaminan bahwa pasien mendapat kenyamanan
(Campbell,2009 ) meskipun kebutuhan keluarga pasien yang menunggu
keluarganya dengan perawatan ICU tampak  mudah, namun adalah
kesalahan bila menganggap bahwa semua staf yang  bekerja di unit ICU
mengetahui dan mencoba memenuhi apa yang menjadi kebutuhan
mereka (Henneman and Cardin, 2002 ).
3.2.3 Pertimbangan Budaya
Rencana Keperawatan adalah tindakan keperawatan untuk
memastikan kelangsungan semua perawatan medis yang ditentukan dan
modalitas intervensi lain untuk pasien geriatri. Penilaian klinis adalah
keterampilan keperawatan yang penting dalam proses ini karena
memungkinkan identifikasi yang akurat dari diagnosis keperawatan.Para
profesional perawatan kesehatan di seluruh dunia diminta untuk
memberikan perawatan untuk semakin banyak pasien yang beragam
secara budaya dan bahasa. Masalah yang terkait dengan masalah bahasa
dan budaya diakui sebagai ancaman terhadap keselamatan pasien di
rumah sakit dan konsep kompetensi budaya telah mendapat perhatian
sebagai strategi untuk menyediakan layanan kesehatan yang setara dan
berkualitas untuk kelompok pasien yang beragam budaya. Kompetensi
budaya dikenal sebagai konstruksi multi-dimensi, tetapi biasanya
mengacu pada sensitivitas atau sikap budaya seseorang, kesadaran
budaya dan pengetahuan dan keterampilan budaya.
Dalam pengaturan layanan kesehatan, kompetensi budaya
didefinisikan sebagai pemahaman tentang bagaimana faktor sosial dan
budaya mempengaruhi kepercayaan kesehatan dan perilaku pasien dan

28
bagaimana faktor-faktor ini dipertimbangkan pada tingkat yang berbeda
dari sistem pengiriman layanan kesehatan untuk memastikan layanan
kesehatan yang berkualitas.Meskipun saat ini hanya ada sedikit bukti
tentang efektivitas pelatihan kompetensi budaya pada hasil terkait pasien,
ada bukti yang jelas tentang efek positif dari intervensi ini pada sikap,
pengetahuan dan perilaku profesional kesehatan sehubungan dengan
crosscross. perawatan budaya.
Namun, lebih banyak pengetahuan masih diperlukan untuk
menentukan model pendidikan mana yang paling efektif dan layak dalam
konteks dan kelompok spesifik apa dan berapa banyak sumber daya
yang harus dialokasikan untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Penelitian kualitatif ini dilakukan untuk menguji persepsi perawat
tentang konten, utilitas dan implementasi pelatihan kompetensi budaya
yang bertujuan untuk memudahkan pertemuan lintas budaya dengan
meningkatkan kesadaran akan fitur budaya sendiri.
3.2.4 End Of Life Issues
Fase end of life terjadi melalui suatu tahapan proses mulai dari
penurunan kondisi fisik, psikososial, dan spiritual pasien hingga akhirnya
kematian. Pasien pada kondisi tersebut akan membutuhkan perawatan
yang lebih intensif, waktu perawatan yang panjang, dan obat-obatan
khusus. Biaya pengobatan yang dibutuhkan pun relatif mahal,
disesuaikan dengan pelayanan yang diberikan. Selain itu, pasien yang
dirawat juga memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi (Fitria, 2010;
Heidenreich dkk., 2012). Kompleksitas masalah yang dialami pasien
pada fase end of life memberikan beban tersendiri pada keluarga yang
terlibat langsung dalam perawatan karena pasien membutuhkan
perawatan total selama 24 jam. Apabila stresor ini berlangsung dalam
waktu yang lama, dapat memunculkan respons emosional. Respons
emosional yang paling sering ditemui ialah kecemasan (McAdam, dkk.,
2012).
Kecemasan yang dialami keluarga dapat terlihat dari seringnya
keluarga bertanya tentang penyakit yang dialami kepada perawat dan
dokter meskipun sudah dijelaskan berulang kali. Selain itu, pikiran
keluarga hanya ditujukan pada hal-hal yang dapat membuat pasien
mendapatkan perawatan yang baik dan dapat segera pulih sehingga
mereka sering mengabaikan kondisi kesehatan mereka sendiri. Pada
waktu itu, keluarga sudah merasa kelelahan, kurang tidur, sakit kepala,
bahkan mengalami penurunan nafsu makan. Hal tersebut tidak mereka
ceritakan kepada anggota keluarga lainnya. Apabila ditanya, mereka

29
mengatakan kondisinya baik-baik saja. Hal ini dilakukan keluarga agar
dapat terus mendampingi pasien.
Pengalaman dalam merawat keluarga dengan kondisi yang sama
tidak membuat keluarga dapat siap untuk menerima kondisi pasien saat
ini. Keluarga juga berusaha mencari solusi dan dukungan dari berbagai
pihak dalam upaya mengurangi kecemasannya dan berharap pasien
memperoleh perawatan yang terbaik. Upaya tersebut misalnya rutin
berkonsultasi dengan dokter dan perawat di ruangan, juga mencari
dukungan dari keluarga lainnya, baik anakanak, saudara, maupun kerabat
terkait transportasi dan bantuan biaya perawatan serta hadir menjenguk
pasien setiap hari. Anggota keluarga lainnya juga turut saling bergantian
dalam mendampingi pasien di rumah sakit apabila keluarga sudah terlihat
kelelahan. Berdasarkan fenomena tersebut, mendampingi orang yang
dicintai dalam fase end of life di rumah sakit menimbulkan beban
tersendiri bagi keluarga karena membawa banyak perubahan dalam
sistem keluarga, baik peran, status kesehatan keluarga, maupun tanggung
jawab keuangan. Segala perubahan inilah memunculkan kecemasan.
Keluarga berupaya untuk mengatasi kecemasannya walaupun mengalami
kendala. Tujuan dilakukannya penelitian ini ialah menggali makna dari
pengalaman respons kecemasan keluarga selama mendampingi pasien
pada fase end of life. Kecemasan yang dirasakan oleh keluarga :
 Memiliki pikiran yang tidak menentu tentang kesembuhan pasien
 Mengalami ketidakstabilan kondisi fisik
 Mengalami perasaan hati tidak tenang
 Mengalami perasaan hati ketidakpastian baik medis, pelaksanaan
tugas, psikososial dan spiritual
3.3 Upaya untuk Mengatasi Masalah Psikologis pada Pasien dan Keluarga
3.3.1 Pada Pasein Secara Umum
1. Perawat harus mengatasi dulu masalahnya sendiri,ebelum mampu
mengatasi stress pada pasien yang dirawat, seorang perawat ICU
harus mampu mengatasi stressnya sendiri. Perawat yang bertugas di
ruang ICU mempunyai stress yang lebih tinggi daripada perawat yang
bertugas di ruangan lain. Menurut hasil penelitian pakar ICU dari
Texas Amerika Serikat, Barr dan Bush (1998), ada 4 faktor yang
dapat mendukung perawat untuk mengatasi stressnya. Pertama adalah
dukungan dari teman, atasan dan keluarga. Seorang perawat ICU
akan merasa berarti kalau mendapatkan pujian dari temannya atau
atasannya.

30
2. Kedua adalah adanya perawat yang menjadi model. Seorang perawat
senior tentu bisa menjadi model bagi perawat lainnya. Seorang role
model mempunyai sikap yang baik terhadap pekerjaannya dan
pasiennya. Mereka biasanya mempunyai sikap kind, emphatic and
thoughtful tentang pasien dan orang lain disekitarnya. Ketika dia
punya masalah dia tidak memperlihatkannya kepada temanya dan
juga pasiennya.
3. Ketiga adalah melihat perkembangan pasien yang positif dan
interaksi yang positif dengan pasien dan keluarga. Seorang perawat
mengatakan bahwa sebaiknya keluarga lebih sering berkunjung
sehingga kita lebih bisa memahami kebutuhan pasien.
4. Keempat adalah perawat ICU harus mendapatkan saleri yang pantas
sesuai dengan tanggung jawabnya. Jika penghasilannya kecil maka
performance mereka menjadi menurun.
3.4 Intervensi Perawatan Psikologis Pasien Kritis
3.4.1 Kecemasan
1. Modifikasi Lingkungan
Pertama adalah merubah lingkungan ICU. Lingkungan ICU
sebaiknya senantiasa dimodifikasi supaya lebih fleksibel walaupun
menggunakan banyak sekali peralatan dengan teknologi canggih,
serta meningkatkan lingkungan yang lebih mendukung kepada proses
recovery (penyembuhan pasien) (Jastremski, 2000). Konsep
pelayanan yang berfokus pada pasien memungkinkan untuk
mempromosikan the universal room. Ketersediaan alat yang portable
dan lebih kecil meningkatkan keinginan untuk mendekatkan
pelayanan pada pasien daripada pasien yg datang ke tempat
pelayanan. Kemungkinan untuk membuat work statiun kecil
(decentralization of nursing activities) untuk tiap pasien akan
mengurangi stress bagi pasien (Jastremski, 2000). Peralatan yang
super canggih seperti remote monitoring untuk semua pasien melalui
monitor pada semua tempat tidur pasien yang bisa dimonitor lewat
TV. Jadi perawat bisa memonitor pasien Bed 1 walau sedang berada
dekat pasien Bed 2 (Jastremski, 2000).
Disamping menggunakan tekhnologi canggih seperti diatas
untuk efisiensi dan efektifitas pelayanan kepada pasien, lingkungan
yang menyembuhkan (healing environtment) juga perlu diciptakan.
Fleksibilitas dari lingkungan tempat tidur (bedside environtment) bisa

31
dimaksimalkan ketika semua lingkungan yang terkontrol disedikan
di ruangan pasien.
Thermostats, light switches, sound systems, window blinds dan
lain2 harus bisa dikontrol secara terpisah untuk setiap pasien
(Jastremski, 2000). Pengontrollen level suara (noise) dan promoting
normal sleep penting sebagai pengaturan fluid intake.
2. Melibatkan Kelurga dan Memfasilitasi Keluarga dalam Perawatan
Pasien Kritis
Lingkungan ICU harus mampu mengakomodasi kebutuhan
pasien dan keluarganya (Jastremski, 2000). Pasien tentunya sangat
mengharapkan dukungan emosional dari keluarganya (Olsen, Dysvik
& Hansen, 2009) karenanya jam besuk harus lebih fleksibel. Selama
ini jam bezuk hanya 2 kali sehari. Hal ini perlu dimodifikasi terutama
untuk seseorang yang sangat berarti bagi pasien. Disamping itu
keluarga perlu diberikan ruangan tunggu yang nyaman dengan
fasilitas kamar mandi, TV dan internet connection (Hamilton, 1999).

32
Gambar 1. Ruang tunggu keluarga yang kurang mendukung

Gambar 2. Contoh ruang tunggu keluarga yang mendukung


3. Komunikasi Terapeutik
Perawat dan tenaga kesehatan lainnya sering lupa atau kurang
perhatian terhadap masalah komunikasinya dengan pasien dan
keluarganya. Berdasarkan sistematic review yang dilakukan oleh
Lenore & Ogle (1999) terhadap penelitian tentang komunikasi
perawat pasien di ruang ICU di Australia menemukan bahwa
komunikasi perawat di ruang ICU masih sangat kurang meskipun
mereka mempunyai pengetahuan yang sangat tinggi tentang
komunikasi terapeutik. Hal ini juga dialami oleh teman dekat penulis
ketika anaknya di rawat di ICU. Dia merasa perawat ICU di rumah
sakit K tersebut sangat ttdak mempertimbangkan perasaan dia dan
pasien ketika berkomunikasi. Sangat tidak supportive dan cenderung
apathy. Penelitian lain oleh McCabe (2002) di Ireland dengan
pendekatan phenomenology juga menunjukkan hal yang sama. Akan
tetapi, perawat bisa melakukan komunikasi yang baik dan efektif
dengan pasien ketika perawat menggunakan pendekatan person-
centered care.

33
Gambar 3. Perawat berkomunikasi dengan pasien kritis
Person-centred care adalah istilah yang digunakan dalam
pelayanan kesehatan untuk menggambarkan pendekatan pilosofis
untuk a particular mode of care (model tertentu dalam
keperawatan). Konsep utama dari person-centred care adalah
sebuah komitmen untuk menemukan kebutuhan pelayanan
keperawatan individu dalam konteks pengalaman sakit,
kepercayaan pribadi, budaya, situasi keluarga, gaya hidup dan
kemampuan untuk memahami apa yang sedang dirasakan oleh
pasien. Pendekatan ini membutuhkan perawat untuk pindah dari
sekedar hanya memenuhi kebutuhan kesehatan pasien kepada
kemampuan untuk memahami dan responsif terhadap the inner
world of the individual – their personal world of experiences and
what this means to them (Hasnain, et al., 2011; Clift, 2012).
4. Terapi Musik
Disamping modifikasi lingkungan seperti diuraikan diatas,
cara lain untuk menurunkan stress pada pasien yang dirawat di ICU
adalah terapi musik. Tujuan therapy musik adalah menurunkan
stress, nyeri, kecemasan dan isolasi. Beberapa penelitian telah
meneliti efek musik pada physiology pasien yang sedang dirawat
dan menemukan bahwa terapi musik dapat menurunkan heart rate,
komplikasi jantung dan meningkatkan suhu ferifer pada pasien
AMI. Juga ditemukan bahwa terapi musik dapat menurunkan stress
pasien (Jastremski, 2000; Harvey, 1998; White, 1999). Musik yang
digunakan bisa berupa suara air, suara hujan, suara angin atau

34
suara alam (Jastremski,1998). Masing - masing pasien diberikan
headset untuk mendengarkannya. Pengurangan cahaya di malam
hari juga akan mengurangi stressor bagi pasien.
Menurut Potter & Perry, 2007 Kecemasan pasien dapat
diobati dengan menggunakan tehnik farmakologis dan non-
farmakologis. Ada banyak jenis teknik non farmakologis yang
biasa di gunakan untuk menurunkan kecemasan pada pasien,
seperti intervensi relaksasi otot progresif, pelatihan autogenik,
terapi musik, pernapasan berirama, dan latihan relaksasi lainnya.
Berdasarkan hasil review dari beberapa jurnal dan hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa terapi musik memiliki manfaat
yang besar dalam pengobatan. Musik dapat menstimulasi sistem
saraf pusat untuk memproduksi endorfin, dimana endorfin ini dapat
menurunkan tekanan darah, heart rate dan respiratory rate dan
menciptakan suasana yang menyenangkan sehingga dapat
meminimalkan rasa takut dan cemas. Selain itu musik dapat
memberikan perasaan yang positif dan meningkatkan mood
sehingga secara otomatis dapat meningkatkan kemampuan
memperbaiki diri secara klinis seperti nyeri dan kecemasan.
Sumber kecemasan yang dirasakan oleh responden adalah rasa
nyeri, kematian, tidak mengetahui tentang prosedur yang
dilaksanakan, ancaman tentang kondisi tubuh, cemas terhadap hasil
akhir dari prosedur tertentu, perubahan dalam lingkungan rumah
sakit, hilangnya kontrol diri, perubahan konsep diri, hilangnya
kemampuan bekerja, hilangnya fungsi peran, kehawatiran akan
masa depan, dan pengalaman pertama dirawat di ICU. Lingkungan
ICU yang menakutkan, peralatan ventilator yang menjadi
penghambat dalam berkomunikasi, prosedur invasif, suara mesin
yang bising dan terus-menerus, kehilangan privasi, gangguan tidur,
nyeri, obat-obatan, isolasi dan kontak minimal dengan orang-orang
terdekat merupakan hal yang membuat perasaan tidak berdaya
memicu terjadinya perasaan cemas pada pasien yang sedang
dirawat diruang perawatan kritis.
5. Distraksi
Merupakan metode untuk menghilangkan kecemasan dengan
cara mengalihkan perhatian pada hal-hal lain sehingga pasien akan
lupa terhadap cemas yang dialami. Stimulus sensori yang
menyenangkan menyebabkan pelepasan endorfin yang 14 bisa
menghambat stimulus cemas yang mengakibatkan lebih sedikit

35
stimuli cemas yang ditransmisikan ke otak (Potter & Perry, 2005).
Salah satu distraksi yang efektif adalah dengan memberikan
dukungan spiritual (membacakan doa sesuai agama dan
keyakinannya), sehingga dapat menurunkan hormon-hormon
stressor, mengaktifkan hormon endorfin alami, meningkatkan
perasaan rileks dan mengalihkan perhatian dari rasa takut, cemas
dan tegang, memperbaiki sistem kimia tubuh sehingga menurunkan
tekanan darah serta memperlambat pernafasan, detak jantung,
denyut nadi dan aktivitas gelombang otak. Laju pernafasan yang
lebih dalam atau lebih lambat tersebut sangat baik menimbulkan
ketenangan, kendali emosi, pemikiran yang lebih dalam dan
metabolisme yang lebih baik.
6. Relaksasi
Terapi relaksasi yang dilakukan dapat berupa relaksasi,
meditasi, relaksasi imajinasi dan visualisasi serta relaksasi
progresif (Isaacs, 2005).
7. Pengetahuan
Memberikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien
tentang proses penyakit yang spesifik, menjelaskan patofisiologi
dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi
dan fisiologi dengan cara yang tepat, menggambarkan proses
penyakit dengan cara yang tepat, mengidentifikasi kemungkinan
penyebab dengan cara yang tepat, menyediakan informasi pada
pasien tentang kondisi dengan cara yang tepat, mendiskusikan
perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah
komplikasi di masa yang akan datang dan atau proses pengontrolan
penyakit, mendiskusikan pilihan terapi atau penanganan,
mendukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan
second opinion dengan cara yang tepat atau diindikasikan, merujuk
pasien pada grup atau agensi di komunitas lokal dengan cara yang
tepat, 15 menginstruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk
melaporkan pada pemberi perawatan kesehatan dengan cara yang
tepat (Nurarif & Kusuma,2013).
Pada penelitian (Riyani, 2013) didapatkan hasil 92% dari
seluruh pasien mengalami kecemasan, 5,4 % lainnya mengalami
ketidakberdayaan, 2,7% mengalami berduka dan 2,7% sisanya
mengalami gangguan citra tubuh. Dalam penelitian ini disebutkan
untuk menyelesaikan masalah ansietas, perawat perlu mengetahui

36
penyebab ansietas klien. Jika penyebabnya merupakan kurangnya
pengetahuan mengenai kondisi kesehatan klien, pemberian
informasi mengenai kondisi klien serta intervensi yang akan
diberikan kepada klien dapat menurunkan ansietas secara
signifikan.
3.4.2 Delirium
Salah satu bentuk pelayanan ruang ICU adalah memberikan
bantuan psikologis pada pasien dan keluarga yang kehidupannya sangat
bergantung pada obat, alat, dan mesin (Direktur Jenderal Bina Upaya
Kesehatan, 2011). Intervensi psikologis pada pasien delirium menjadi
alternatif tindakan non-farmakologis untuk mengurangi prognosis
delirium pada pasien ICU (Wade, et al, 2012). Pemberian reorientasi
merupakan salah satu tindakan keperawatan yang dapat membantu
memperbaiki kondisi psikologis pasien delirium di ruang ICU (Munro, et
al, 2017). Disorientasi menjadi salah satu gambaran yang sering muncul
pada pasien delirium. Stres juga dapat dialami pasien ICU yang
menerima perawatan intensif menggunakan peralatan khusus seperti,
ventilator mekanis (Munro, et al, 2017).
Dukungan dari lingkungan sekitar dapat menjadi pilihan terapi
non-farmakologis pada pasien delirium di ruang ICU (Trzepacz, et al,
2010). Dukungan kognitif dan emosional dari orang-orang terdekat
pasien dapat dilakukan dengan membantu reorientasi pada pasien selama
perawatan (Trzepacz, et al, 2010). Reorientasi yang diberikan pada
pasien delirium akan membantu mengembalikan memori pasien terhadap
lingkungan sekitarnya. Berbeda dengan pasien kelompok kontrol, pasien
kelompok intervensi mengalami perubahan skor RASS yang lebih cepat.
Pemberian pesan reorientasi melalui rekaman yang terjadwal akan
mempercepat proses pengenalan kembali pasien terhadap lingkungannya,
dikarenakan informasi yang diberikan tersturktur dan terjadwal (Munro,
et al, 2017). Reorientasi yang dilakukan orang-orang terdekat pasien
seperti keluarga juga akan membuat pasien lebih merasa aman dan
nyaman (Trzepacz, et al, 2010).
Pemberian rekaman pesan reorientasi menggunakan suara
keluarga dapat digunakan untuk menurunkan gejala deli rium pada
pasien di ruang ICU. Rumah sakit direkomendasikan untuk lebih
memperhatikan kondisi psikologis pasien terutama yang sedang
menjalani perawatan di ICU

37
3.4.3 Sedasi
1. Pemberian Terapi Sedasi
Prinsip utama perawatan di ruang rawat intensif (ICU)
adalah memberikan rasa nyaman sehingga pasien dapat mentoleransi
lingkungan ICU yang tidak bersahabat. Hal ini dapat dilakukan
dengan mengidentifikasi dan mengatasi penyakit dasar dan faktor
pencetus, menggunakan metode non farmakologi dan pemberian
terapi sedasi dan analgesi sesuai dengan konsep kerja.
Pada umumnya, lingkungan ruang rawat intensif (ICU)
dapat menimbulkan rasa takut dan stress terhadap pasien. Agitasi
dapat terjadi pada 71% pasien di ICU. Kebanyakan dari pasien yang
dirawat di ICU, tidak dapat mengkomunikasikan apa yang mereka
rasakan dan butuhkan. Prosedur-prosedur seperti intubasi
endotrakhea, ventilasi mekanik, suction dan fisioterapi tidak dapat
ditoleransi tanpa pemberian sedasi yang adekuat. Akan tetapi,
pemberian sedasi yang terus menerus dapat memperpanjang lama
penggunaan ventilasi mekanik dan perawatan di ICU.
2. Komunikasi Terapeutik dan Modifikasi Lingkungan
Manajemen sedasi dan nyeri yang baik adalah salah satu
hal yang penting dan seringkali sulit tercapai dalam perawatan
intensif. Meskipun terapi utama berupa terapi farmakologi, metode
yang lain tidak boleh diabaikan. Komunikasi yang baik dari staf
keperawatan dapat membantu mengurangi rasa cemas pada pasien.
Sedangkan permasalahan penanganan rasa nyeri yang tidak adekuat
berhubungan dengan pemahaman yang salah mengenai risiko
ketergantuan dari opioid serta dosis yang dibutuhkan untuk mengatasi
rasa nyeri. Hal yang penting dilakukan untuk dapat memberikan
penanganan rasa nyeri yang adekuat terhadap pasien adalah
menghindari rasa takut yang tidak rasional dalam penggunaan opioid.
Pengaturan pada lingkungan seperti suhu, kebisingan dan
pencahayaan dapat menciptakan suatu lingkungan yang nyaman
untuk beristirahat. Pengelolaan rasa haus, konstipasi dan kandung
kencing yang penuh dapat membantu kenyamanan pasien.
3. Manajemen dan Evaluasi Awal
Mengidentifkasi dan mengatasi penyakit dasar dan faktor
pencetus, menggunakan metode non farmakologi untuk
meningkatkan rasa nyaman dan pemberian terapi sedasi dan analgesia

38
sesuai dengan konsep kerja. Hal penting yang harus dijadikan
perhatian adalah mengevaluasi penyakit dasar dan faktor pencetus
dari berbagai bentuk gangguan stres, disertai faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi pengelolaannya. Adanya penyakit dasar yang
menyertai seperti nyeri kronis, artritis, penyakit akut, riwayat alkohol
atau penyalahgunaan obat dan gangguan psikiatrik dapat
mempengaruhi pemilihan obat. Hal yang lain seperti kondisi
postoperatif, intervensi ICU (ventilasi mekanik, pengobatan dan
tindakan rutin seperti mobilisasi dan suctioning), gangguan tidur yang
berkaitan dengan suara bising dan pencahayaan ruangan, dapat
berperan dalam rasa cemas pada pasien. Mengetahui dan mengelola
faktor-faktor ini lebih dini adalah hal yang penting.
Manajemen yang ditujukan terhadap kebutuhan pasien,
menggabungkan beberapa konsep bahwa kebutuhan sedasi dan
analgesia setiap pasien berbeda-beda dan bervariasi setiap saat.
Sebagai contoh, pasien yang mendapatkan pelumpuh otot atau dalam
posisi telungkup membutuhkan sedasi dan analgesia yang adekuat
untuk dapat mensinkronisasi dengan ventilator. Sebaliknya, pasien
dengan ventilasi mekanik dengan volume tidal yang rendah tidak
membutuhkan sedasi yang berlebihan. Hal ini menunjukkan bahwa
kebutuhan sedasi dan analgesia sangat dinamis, menyesuaikan
dengan perkembangan penyakit dan harus dievaluasi secara rutin.
4. Penghentian Sedasi Harian
Penghentian sedasi harian direkomendasikan untuk menilai
tingkat kesadaran dan mengurangi resiko akumulasi obat. Bila tidak
terjadi akumulasi obat, infus obat sedatif dapat dimulai lagi dengan
segera. Akan tetapi, apabila terjadi akumulasi obat, infus dapat
dihentikan beberapa jam untuk membiarkan pembersihan efek dari
obat sedatif sehingga dapat mempersingkat penyapihan dari
dukungan ventilasi mekanik.
Membangunkan pasien setiap hari tidak dapat
menimbulkan depresi atau gangguan stress pada pasien, akan tetap
dapat kontraproduktif pada beberapa pasien (penyakit jantung
iskemia berat). Pengehentian sedasi harian akan berhubungan dengan
berkurangnya penggunaan ventilasi mekanik, waktu perawatan di
ICU dan penggunaan pemerikasaan penunjang untuk menilai tingkat
kesadaran.

39
3.4.4 Nyeri
1. Distraksi
Dengan distraksi, yaitu teknik mengalihkan perhatian klien
ke hal lain terutama hal yang menyenangkan dengan tujuan untuk
menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri bahkan meningkatkan
toleransi terhadap nyeri. Salah satu teknik distraksi adalah dengan
mendengarkan music (Potter & Perry, 2005). Teknik-teknik
pengalihan mengurangi nyeri denganmemfokuskan perhatian pasien
pada stimulus lain dan menjauhi nyeri. Menonton televisi, membaca
buku, mendengarkan musik dan melakukan percakapan adalah
contoh-contoh umum pengalihan (Price & Wilson, 2005). Smeltzer&
Bare (2001) menyatakan bahwa seseorang yang kurang menyadari
adanya nyeri atau memberikan sedikit perhatian mengenai nyeri akan
sedikit terganggu oleh nyeri dan lebih toleransi terhadap nyeri.
Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi nyeri dengan
menstimulasi sistem kontrol desendens, yang mengakibatkan lebih
sedikit stimulasi nyeri yang ditransmisikan ke otak. Perry & Potter
(2005), mengemukakan salah satu distraksi yang paling efektif
Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 1 No. 1, Januari 2010 -86-
adalah musik, yang dapat menurunkan nyeri fisiologis, stres dan
kecemasan dengan megalihkan perhatian seseorang dari
nyeri.Guzzeta dalam (Perry &Potter, 2005), menyatakan bahwa
musik terbukti menunjukkan efek, yaitu menurunkan frekuensi
denyut jantung, mengurangi kecemasan dan depresi, menghilangkan
nyeri, menurunkan tekanan darah dan mengubah persepsi
waktu.Musik harus didengarkan minimal 15 menit agar dapat
memberikan efek terapeutik.
2. Relaksasi
Dasar teori relaksasi ini menurut Kristyawati (2005) adalah
pada system saraf manusia terdapat system saraf pusat dan system
saraf otonom. Fungsi system saraf pusat adalah mengendalikan
gerakangerakan yang dikehendaki, misalnya : gerakan tangan, kaki,
leher, jari-jari dan sebagainya. system saraf otonom berfungsi
mengendalikan gerakan-gerakan yang otomatis, misalnya fungsi
digestif, proses kardiovaskuler, gairah seksual dan sebagainya.
system saraf otonom terdiri dari system saraf parasimptetis yang
kerjanya saling berlawanan.

40
System saraf simpatetis bekerja meningkatkan rangsangan atau
memacu organ-organ tubuh, memacu meningkatnya detak jantung
dan pernafasan, menurunkan temperature kulit dan daya tahan kulit,
dan juga akan menghambat proses digestif dan seksual. System saraf
parasimpatetis menstimulasi turunnya semua fungsi yang dinaikkan
oleh system saraf simpatetis dan menstimulasi naiknya semua fungsi
yang diturunkan oleh system saraf simpatetis. Selama sistem-sistem
berfungsi normal dalam keseimbangan, bertambahnya aktivitas
system yang satu akan menghambat atau menekan efek system yang
lain. Pada waktu individu mengalami ketegangan dan kecemasan
yang bekerja adalah system saraf parasimpatetis dengan demikian
relaksasi dapat menekan rasa tegang dan rasa cemas dengan cara
resiprok sehingga timbul counter conditioning dan penghilangan
(Prawitasari,1988). Apabila individu melakukan relaksasi ketika ia
mengalami ketegangan atau kecemasan, maka reaksi-reaksi fisiologis
yang dirasakan individu akan berkurang sehingga ia akan merasa
rileks. Apabila kondisi fisiknya sudah rileks, maka kondisi psikisnya
juga tenang.
Menurut Brunner & Suddarth (2001) teknik relaksasi ini dapat
dilakukan dengan cara penderita memejamkan matanya dan bernafas
dengan perlahan dan nyaman. Irama yang konstan dapat
dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama
setiap inhalasi( masuknya O2 ke paru-paru ) dan Peranan Psikolog
dalam Menangani Penderita Nyeri Psikologi di RS (Siska APP) -87-
ekshalasi ( keluarnya CO2 dari paru-paru ). Teknik relaksasi ini
sangat efektif terutama pada pasien nyeri kronis. Bentuk relaksasi ada
bermacam-macam, antara lain : relaksasi otot, relaksasi kesadaran
indera, dan relaksasi melalui hipnosa, yoga maupun meditasi
transcendental (Taylor,1995). Relaksasi adalah salah satu teknik
didalam terapi perilaku yang dikenalkan oleh Jacobson seorang
psikolog dari Chicago, teknik yang disebutnya relaksasi progressive
untuk mengurangi ketegangan otot. Jacobson berpendapat bahwa
semua bentuk ketegangan termasuk ketegangan mental didasarkan
pada konstraksi dari otot (Sheridan dan Radmacher,1992).
Jika seseorang dapat diajarkan untuk merelakskan otot mereka,
maka mereka benar-benar rileks.Seseorang yang tetap mengalami
ketegangan mental atau emosional, sementara otot mereka relaks
adalah orang yang mengalami ketegangan semu. Ada banyak manfaat
nyata dari latihan relaksasi. Burn (dalam Utami, 2002) melaporkan

41
beberapa keuntungan yang diperoleh dari latihan relaksasi, antara
lain: 1. Relaksasi akan membuat individu lebih mampu menghindari
reaksi yang berlebihan karena adanya stres. Penelitian yang dilakukan
Dewi (1998) menunjukkan bahwa relaksasi dapat menurunkan
ketegangan pada siswa sekolah penerbang. 2. Masalah-masalah yang
berhubungan dengan stres seperti hipertensi, sakit kepala, insomnia
dapat dikurangi atau diobati dengan relaksasi. Penelitian Hoelscher
dan Lichstein (1986) serta Karyono (1994) menunjukkan bahwa
relaksasi dapat menurunkan tekanan darah systolic dan diastolic pada
penderita hipertensi.Selanjutnya Weil dan Goldfried dan Davidson
(dalam Utami, 2002) bahkan telah membuktikan keberhasilan
penggunaan relaksasi pada penderita insomnia yang berusia 11 tahun.
3. Mengurangi Tingkat Kecemasan
Beberapa bukti telah menunjukkan bahwa individu dengan
tingkat kecemasan yang tinggi dapat menunjukkan efek fisiologis
positif melalui latihan relaksasi. 4. Mengurangi perilaku tertentu yang
sering terjadi selama periode stres seperti mengurangi jumlah rokok
yang dihisap, konsumsi alkohol, pemakaian obat-obatan, dan makan
yang berlebihan. Penelitian yang dilakukan oleh Sutherland, Amit,
Golden dan Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 1 No. 1, Januari
2010 -88- Rosenberger (dalam Walker dkk, 1981) membuktikan
bahwa relaksasi dapat membantu mengurangi meroko. 5.
Meningkatkan penampilan kerja, sosial, dan ketrampilan fisik. Hal ini
mingkin terjadi sebagai hasil pengurangan tingkat ketegangan. 6.
Kelelahan, aktivitas mental, dan atau latihan fisik yang tertunda dapat
diatasi lebih cepat dengan menggunakan latihan relaksasi. 7.
Kesadaran diri tentang keadaan fisiologis seseorang dapat meningkat
sebagai hasil latihan relaksasi, sehingga memungkinkan individu
untuk menggunakan ketrampilan relaksasi untuk timbulnya
rangsangan fisiologis. 8. Relaksasi merupakan bantuan untuk
menyembuhkan penyakit tertentu dan operasi. 9. Konsekuensi
fisiologis yang penting dari relaksasi adalah bahwa tingkat harga diri
dan keyakinan diri individu meningkat.
4. Psikoterapi (Terapi Kognitif)
Psikoterapi yang efektif untuk mengatasi gangguan
psikologi seperti : depresi dan kecemasan yang dianggap sebagai
pencetus nyeri psikologi adalah terapi kognitif.Apa yang dipikirkan
seseorang tentang nyeri yang dialaminya memberikan pengaruh
terhadap kehidupannya dan terhadap seberapa besar nyeri yang dia

42
rasakan. Pikiran negative tentang nyeri akan memfokuskan perhatian
seseorang terhadap aspek yang tidak menyenangkan dan membuat
nyeri yang dirasakan bertambah buruk (DiMetteo, 1991). Pemberian
intervensi terapi kognitif ini adalah untuk meningkatkan cara berfikir
klien dengan mengarahkan klien untuk memahami masalah yang
dihadapinya. Klien diyakinkan bahwa ia memiliki kemampuan untuk
berperilaku normal (Tailor, 1995).
Menurut Beck (dikutip Kristyawati, 2005) secara khusus
mengupas secara kritis peran kognisi pada gangguan neurotic yaitu
teori kognitif untuk gangguan emosional. Sejumlah penelitian
psikoterapi telah menunjukkan efektivitas terapi kognitif untuk
treatmen penderita depresi. Salah satu hasil penelitian mengenai
penderita depresi sedang hingga berat, sebagian besar diantaranya
adalah mengenai bunuh diri dan telah mengalami depresi secara
intermiten atau terus – menerus selama 8 tahun memperlihatkan
bahwa pasien yang diobati dengan terapi kognitif saja mempunyai
angka pemulihan yang lebih besar, angka kegagalan yang lebih kecil
dan angka perbaikan yang lebih cepat dibandingkan penderita yang
diobati dengan terapi antidepresi saja (Rush dalam Herink,1980).
Burns (1988) menyatakan bahwa terapi kognitif merupakan
cara penyembuhan gejala depresi yang revolusioner dibandingkan
dengan psikoterapi konvensional maupun terapi obat-obatan.
Penelitiannya terhadap beberapa kasus depresi berat menunjukkan
berhasil menyembuhkan 74 % kasus selama 12 minggu penanganan
dengan terapi kognitif.Penelitian serupa juga dilakukan oleh
Retnowati (1990) terhadap para mahasiswa yang mengalami depresi,
Majalah Ilmiah Informatika Vol. 1 No. 1, Januari 2010 -90- diberikan
terapi kognitif dengan model pendekatan kelompok.Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat penurunan symptom
depresi dari kategori sedang menjadi normal setelah dilakukan terapi
kognitif secara kelompok selama 6 minggu. Louis dkk (1996)
meneliti dampak terapi kognitif untuk depresi dan hasilnya
menunjukkan aspek khas terapi kognitif yaitu terapis memfokuskan
pada distorsi kognisi berkorelasi dengan depresi.
Demikian juga Adele dan Jennifer (1988) meneliti terapi
kognitif untuk depresi menghasilkan perbaikan pola depresi pada
akhir perawatan.Pengaruh keahlian terapis diteliti oleh Brian dkk
(1999) yang meneliti keahlian terapis berhubungan dengan hasil
perawatan terapi kognitif untuk depresi dan hasilnya kemampuan ahli

43
terapi dapat menurunkan tingkat depresi. Penelitian ini diperkuat oleh
Joyce dan Paykel (dalam Lindsay dan Powel,1995) yang
membuktikan bahwa symptom yang diberi treatmen obat tidak sebaik
treatmen yang menggunakan terapi kognitif untuk gangguan depresi.
Pemberian intervensi terapi kognitif yang dilakukan secara kelompok
hasilnya sama efektif dengan bila diberikan secara individual (Scott
dan Stradling,1990). Terapi kognitif dapat digunakan sendiri dalam
terapi gangguan depresif ringan sampai sedang atau bersamasama
dengan anti depresan untuk gangguan depresif berat. Terapi ini juga
telah digunakan pada kondisi lain seperti : gangguan panic, gangguan
obsessive kompulsif dan gangguan kepribadian paranoid dan
gangguan somatoform (Kaplan dkk,1997).
3.4.5 Tidur
1. Musik Suara Alam
National Center for Complementary/ Alternative Medicine
(NCCAM) menciptakan terapi non farmakologi yang
menggabungkan mind-body therapy sebagai teknik intervensi yang
membentuk proses berpikir sehingga mempengaruhi keadaan
psikologis dan fisik (fungsi tubuh) yaitu imajinasi terpimpin, yoga,
berdoa, pijat, aromaterapi, refleksiologi, hipnosis,pencahayaan,
interaksi pasien dan penyediapsikologis, dan lingkungan yaitu
kebisingan,pelayanan kesehatan serta prosedur
perawatan.psikologis.humor, tai chi, dan terapi musik.relaksasi
seperti musik dan suara alam. (nature sound) Nature sounds music
merupakan jenis musik temuan baru dengan teknologi modern,
bentuk integrative musik klasik dengan suara - suara alam. Suara
alam yang digunakan sebagai terapi seperti angin, hujan, ombak laut,
sungai, binatang, air terjun, suara hutan dan burung. Suara alam
memiliki tempo dan irama yang berbeda, struktur melodi dan ritme
yang lambat sehingga sangat nyaman untuk didengarkan. Manusia
memiliki hubungan yang unik dan istimewa dengan alam sehingga
dapat memberikan efek yang positif terhadap kesehatan manusia itu
sendiri dan interaksinya dengan alam memiliki efek terapeutik dan
pemakaian suara alam tersebut di rumah sakit masih jarang
dilakukan.
2. Foot Massage
Terapi lain yang digunakan adalah terapi komplementer, yang
merupakan terapi tambahan umtuk membantu terapi konvensional

44
yang direkomendasikan oleh penyelenggara kesehatan, seperti
akupunktur, teknik pijatan pada tubuh, mind body techniques, pijat,
dan metode lain yang dapat membantu meringankan gejala dan
meningkatkan fisik serta mental. Selain itu, pijatan kaki selama 10
menit dapat memberikan efek yang baik pada tubuh (Deng &
Cassileth, 2005; Potter & Perry, 2011).
3. Sistem Pencahayaan
Dengan tingkat pencahayaan lingkungan yang tepat dalam
membantu pasien menimbulkan perasaan tenang dan nyaman
(Engwall, Fridh, Johansson, Bergbom & Lindhal, 2015). Cara lain
yang digunakan untuk meningkatkan kualitas tidur dapat dilakukan
dengan cara memodifikasi lingkungan yaitu menurunkan suara
percakapan staf, menurunkan pencahayaan, mengatur kegiatan rutin
perawatan dimalam hari (Hardin, 2009). Massage therapy (MT)
adalah suatu teknik yang dapat meningkatkan pergerakan beberapa
struktur dari kedua otot dan jaringan subkutan, dengan menerapkan
kekuatan mekanik ke jaringan. Pergerakan ini dapat meningkatkan
aliran getah bening dan aliran balik vena, mengurangi pembengkakan
dan memobilisasi serat otot, tendon dengan kulit. Dengan demikian,
massage therapy dapat digunakan untuk meningkatkan relaksasi otot
untuk mengurangi rasa sakit, stres, dan kecemasan yang membantu
pasien meningkatkan kualitas tidur dan kecepatan pemulihan. Selain
itu, massage therapy dapat meningkatkan pergerakan pasien dan
pemulihan setelah operasi, yang memungkinkan pasien untuk
melakukan aktivitas sehari-hari (Anderson & Cutshall, 2007).
Massage tidak hanya mengurangi emosi, gugup, tapi juga
mempertahankan keseimbangan yang baik dari saraf vagus dan
simpatik. Hal ini baik untuk mencegah stres dengan mengurangi
kecemasan (Zhou, Zhang, & Li, 2013). Dari beberapa penelitian
menggambarkan bahwa foot massage adalah salah satu metode yang
paling umum dari terapi komplementer. Terapi pijat dan refleksi
merupakan pendekatan terapi manual yang digunakan untuk
memfasilitasi penyembuhan, kesehatan, dan dapat digunakan oleh
perawat di hampir setiap pelayan perawatan (Kaur, Kaur, &
Bhardwaj, 2012).
4. Relaksasi
Metode terapi komplementer relaksasi diyakini sangat efektif
dalam mengatasi kecemasan dan gangguan tidur. relaksasi yang
digunakan adalah dengan relaksasi yang melibatkan keyakinan

45
(Dobratz, 1995). Bukti empirik melalui hasil penelitian telah
membuktikan bahwa dengan relaksasi dzikir menggunakan ayat-ayat
Al-Qur’an dapat menurunkan berbagai bentuk kecemasan yang
dialami individu, hasilnya menunjukkan bahwa orang yang sering
membaca Al-Qur’an mengalami penurunan kecemasan. Bahwa
relaksasi dzikir dengan bacaan Al-Qur’an berpengaruh besar hingga
97% dalam memberikan ketenangan dan menyembuhkan berbagai
penyakit (sholeh,2005).
3.5 Intervensi Perawatan Keluarga Pasien Kritis
3.5.1 Tinjauan Model Keperawatan
A. Bentuk Pendekatan Perawat Secara Fisik
Hasil penelitian menyatakan bahwa pendekatan perawat
secara fisik berupa tepuk pundak, merangkul keluarga pasien dan
berada di dekat pasien. Tepuk pundak dan merangkul dapat
disamakan dengan memeluk karena sama sama melakukan tindakan
berupa kontak fisik. Memeluk seseorang dapat menurunkan
kecemasaan bahkan stress yang dialami oleh seseorang tersebut
(Jarero & Artigas, 2014). Respon keluarga pada pasien dengan
perawatan intensif menyebabkan keluarga, mudah tersinggung, emosi
yang labil, ketakutan dan kecemasaan sehingga menyebabkan
terganggunya perubahan peran keluarga sehingga perawat harus
memberikan pendampingan yang tepat dan selalu berada di dekat
keluarga (Arafat, 2010)
B. Bentuk Pendekatan Perawat Secara Psikologi
Hasil penelitian menyatakan bahwa pendekatan secara
psikolgi adalah berupa motivasi dan memberikan penjelasan kepada
keluarga. Dukungan ataupun motivasi yang diterima keluraga pasien
akan membuat keluarga merasa diperhatikan sehingga membuat
kecemasaan yang dialami seseorang menurun ( Setyaningsih,
Makmuroch & Andayani, 2011). Menurut (Hidayat, 2009)
memberikan penjelasan ataupun informasi kepada keluarga pasien
dapat menurunkan kecemasaan yang dialami keluarga.
C. Bentuk Pendekatan Perawat Secara Spiritual
Hasil penelitian menyatakan bahwa pendekatan secara
spiritual adalah berupa Sholat dan doa bersama. Ritual sholat
memiliki pengaruh yang sangat luar biasa untuk terapi rasa galau,
gundah, dan cemas yang bersemayam dalam diri manusia, dengan

46
mengerjakan salat secara khusyuk, yakni dengan niat menghadap dan
berserah diri secara total kepada Allah serta meninggalkan semua
kesibukan maupun problematika kehidupan, maka seseorang akan
merasa tenang, tentram, dan damai. Rasa gundah, stress, cemas, dan
galau yang senantiasa menekan kehidupannya akan sirna (Zaini,
2015). Terapi doa dengan pernapasan yang teratur dapat
mempengaruhi kerja otak terutama pada korteks otak. Korteks otak
juga mempengaruhi mental dan tingkah laku, sehingga dapat
menstabilkan korteks cerebri dan berdampak pada kemampuan
menurunkan depresi ataupun cemas (Prayitno, 2015).
D. Bentuk Pendekatan Perawat Secara Sosial
Hasil penelitian menyatakan bahwa pendekatan secara
spiritual adalah interaksi, bentuk interkasi dan memanggil keluarga.
Interaksi ataupun komunikasi diharapkan dapat menurunkan
kecemasaan keluarga pasien karena keluarga merasa bahwa
interaksinya dengan perawat merupakan kesempatan untuk berbagai
pengetahuan, perasaan dan informasi sehingga dapat mengatasi
kecemasaan (Potter & Perry, 2007).
Ketika kondisi pasien yang sedang dirawat di ruang ICU
dalam kondisi kritis, maka bentuk interaksi yang sangat diperlukan
pada saat keluarga sangat cemas, perawat perlu memberikan
perhatian untuk memenuhi kebutuhan keluarga (Rezki,Lestari &
Setyowati, 2016).
3.5.2 Pertimbangan Religi
Dukungan spiritual dapat mengurangi kecemasan serta gejala
depresi yang dialami keluarga pasien (Koenig, 2001). Orang yang
mendekatkan diri kepada Tuhan akan memperoleh kenyamanan dan
dapat mengatasi stres (Young, 2012). Kedekatan dengan Tuhan akan
memberi kekuatan lebih, kepercayaan diri serta kenyamanan, sehingga
memberi manfaat terhadap kesehatan termasuk mengurangi depresi,
kesepian, meningkatkan kematangan dalam berhubungan, kompetensi
sosial dan penilaian psikososial yang lebih baik dalam menghadapi stres
(Hill & Pargament, 2008). Keluarga merupakan supporting system yang
sangat penting dalam proses penyembuhan pasien, apabila dukungan
keluarga tidak didapatkan pasien, maka sangat berpengaruh pada proses
penyembuhan dan pemulihan spiritual (Morton, Fontaine, Hudak, &
Gallo, 2013). Peran keluarga ini didukung dalam beberapa penelitian di
Amerika, bahwa kehadiran keluarga sebagai fasilitator dan sumber

47
informasi mengenai riwayat pasien, sebagai penyemangat, pemberi
harapan, serta dapat membantu memberikan rasa aman dan nyaman bagi
pasien (Mc Adam, Arai, & Puntillo, 2008). Mengingat pentingnya peran
keluarga bagi pasien kritis, pertama kali perawat Nancy Motter
melakukan penelitian pada tahun 1979 tentang kebutuhan keluarga di
ruang ICU, ditujukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga pasien
(Motter, 1979 dalam Freitas, Kimura, & Ferreira, 2007).
3.5.3 Pertimbangan Budaya
Perawat didorong untuk terus-menerus merefleksikan keyakinan
dan nilai budaya Anda dan pasien Anda untuk menentukan apakah atau
bagaimana mereka memengaruhi perawatan yang Anda berikan. Refleksi
semacam itu membantu dalam memberikan perawatan yang berpusat
pada pasien, peka budaya.kesehatan yang setara dan berkualitas untuk
kelompok pasien yang beragam budaya. Kompetensi budaya dikenal
sebagai konstruksi multi-dimensi, tetapi biasanya mengacu pada
sensitivitas atau sikap budaya seseorang, kesadaran budaya dan
pengetahuan dan keterampilan budaya. Dalam pengaturan layanan
kesehatan, kompetensi budaya didefinisikan sebagai pemahaman tentang
bagaimana faktor sosial dan budaya mempengaruhi kepercayaan
kesehatan dan perilaku pasien dan bagaimana faktor-faktor ini
dipertimbangkan pada tingkat yang berbeda dari sistem pengiriman
layanan kesehatan untuk memastikan layanan kesehatan yang
berkualitas.Meskipun saat ini hanya ada sedikit bukti tentang efektivitas
pelatihan kompetensi budaya pada hasil terkaitpasien, ada bukti yang
jelas tentang efek positif dari intervensi ini pada sikap,pengetahuan dan
perilaku profesional kesehatan sehubungan dengan cross-cross.
perawatan budaya.
3.5.4 End Of Life Issues
Keluarga membutuhkan dukungan dalam merawat anggota
keluarga yang berada pada fase end of life. Dukungan tersebut bisa
berasal dari perawat berupa sikap empati dengan selalu mengunjungi
klien dan keluarga. Selain itu perawat juga diharapkan dapat memberikan
informasi yang dibutuhkan oleh keluarga. Hal ini penting untuk keluarga
agar dapat menerima kondisi klien, mengurangi kecemasan dan
berkomitmen dalam mendampingi klien. Pemberian dukungan juga
diharapkan dari anggota keluarga lainnya. Dukungan yang diharapkan
yakni turut mengunjungi selama di rumah sakit, menjadi tempat
konsultasi, menyediakan transportasi, membantu tugas tugas rumah
tangga dan memberikan pengertian pada anak-anak. (McKiernan &

48
McCarthy, 2010; Mosher, et.al., 2013). Beberapa faktor penghambat
dalam memberikan perawatan kepada klien dapat juga meningkatkan
kecemasan pada keluarga.
Dukungan dari petugas kesehatan, dalam hal ini dokter dan
perawat memberikan kontribusi yang cukup besar karena dapat
memberikan jaminan akan keselamatan klien. Bentuk dukungan tersebut
berupa disemangati oleh petugas kesehatan yang ditunjukkan dengan
mendengarkan keluhan, memberikan penguatan serta sebagai tempat
konsultasi dalam upaya mencari solusi untuk penyembuhan klien. Dalam
berbagai hasil penelitian ditemukan bahwa dukungan dari para petugas
kesehatan dalam pemberian informasi yang dibutuhkan maupun
dukungan perhatian lainnya masih dirasakan kurang oleh keluarga
(Coombs, 2015; Henrikson & Arestedt, 2013; McKiernan & McCarthy,
2010)

49
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Ketika merawat pasien kritis perawat dituntut untuk secara seimbang
memenuhi kebutuhan fisik dan emosional dirinya maupun pasien dan
keluarganya. Untuk mencapai keseimbangan ini perawat harus mempunyai
pengetahuan tentang bagaimana keperawatan kritis yang dialami
mempengaruhi kesehatan psikososial pasien, keluarga dan petugas kesehatan.
Dalam keperawatan, keadaan sehat dan sakit jiwa merupakan suatu
rentang yang dinamis dari kehidupan seseorang. Keadaaan penyakit kritis
sangat besar pengaruhnya terhadap kedinamisan dari rentang sehar sakit jiwa
karena dalam keadaan mengalami penyakit kritis, seseorang mengalami stress
yang berat dimana pasien mengalami kehilangan kesehatan, kehilangan
kemandirian, kehilangan rasa nyaman dan rasa sakit akibat penyakit yang
dideritanya. Semua keadaan tersebut bisa memperburuk status kesehatan
mereka.
Dalam memberikan asuhan keperawatan semua KDM manusia harus
terpenuhi agar perawat bisa memberikan asuhan keperawatan yang maksimal
tidak hanya bagi pasien tapi juga anggota keluarga pasien.

50
DAFTAR PUSTAKA

Suhandoko dkk. 2017. Reliabilitas dan Validitas Penilaian Skala Sedai Richmond
Agitation Sedation Scale (RASS) dan Ramsay pada Pasien Kritis dengan Ventilasi
Mekanik di Ruang Perawatan Intensif. Jurnal Anestesi Perioperatif JAP : Artikel
Penelitian ; 2(3) : 186-93.
Sudjud, Reza W. dkk. 2017. Sedasi dan Analgesi di Ruang Rawat Intensif. Jurnal
Komplikasi Anestesi Volume 1 Nomor 3.
Ahlers, S. J. G. M., A. M. v. d. Veen, et al. (2010). "The Use of the
Behavioral Pain Scale to Assess Pain in Conscious Sedated Patients." Critical
Care and Trauma 110.
Ahlers S, Aletta M,Tibboel M, Knibbe C, Pharm D. (2010). “Comparison of
different pain scoring systems in critically ill patients in a general ICU”.
Criticall Care
Alspach, J. (2006). Core Curriculum for Critical Care Nursing. America,
American Association of Critical Care Nursing.
Bar J, Puntillo K, et all. (2013). “Clinical Practice guidelines for the
management of pain, agitation, and delirium in adult patients in the
intensive care unit”. Am J Health- Syat Pharm
Hawari, D. (2011). Manajemen Stres, Cemas dan Depresi. FKUI. Jakarta: Gaya
Baru.
Wardani, Ia Kusuma. (2016). Prevalensi Tingkat Kecemasan Pada Caregiver
Pasien Yang Dirawat Di Ruang Intensive Care Unit (Icu) Rsup Sanglah
Denpasar.
Agustin, Wahyu Rima, dkk (2019). Jurnal Ilmiah Media Husada. Vol 8 (2), 53-58
Morton, Patricia Gonce, dkk. 2011. Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan
Holistik. Jakarta: EGC

51

Anda mungkin juga menyukai