Anda di halaman 1dari 45

MAKALAH

TERAPI PERAN BIDAN DALAM MENCEGAH GANGGUAN PSIKOSIS

Mata Kuliah :

PSIKOLOGI DALAM PRAKTEK KEBIDANAN

Dosen Pengampu :

DEBORA LESTARI SIMAMORA,SST,MKM

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 9

Dea Tri Ananda 2115201040

PROGRAM STUDI SARJANA KEBIDANAN

UNIVERSITAS IMELDA MEDAN

T.A 2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Segala puji bagi Allah yang telah


memberikan saya kemudahan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Tanpa
pertolongan-Nya mungkin saya tidak akan sanggup menyelesaikannya dengan baik.
Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yakni
Nabi Muhammad SAW.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang "TERAPI
PERAN BIDAN DALAM MENCEGAH PSIKOSIS” yang saya sajikan berdasarkan
data dari berbagai sumber buku dan jurnal. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan
berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari
luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya
makalah ini dapat terselesaikan.

Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada ibu Debora Lestari


Simamora,SST,MKM yang telah membimbing penyusun agar dapat mengerti tentang
bagaimana cara menyusun makalah yang baik dan sesuai kaidah.

Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas kepada
pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun
membutuhkan kritik dan saran dari pembaca yang membangun. Terima kasih.

Medan, 6 April 2023

Penulis
DAFTAR ISI

COVER .......................................................................................................

KATA PENGANTAR .................................................................................

DAFTAR ISI ...............................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................

A. Latar Belakang ..................................................................................


B. Rumusan Masalah .............................................................................
C. Tujuan ..........................................................................................

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................

A. Pengertian Psikosis Postpartum .........................................................


B. Faktor Pemicu Psikosis Postpartum ...................................................
C. Gejala dan Patofiologi Psikosis Postpartum .......................................
D. Pertimbangan Diagnostik ..................................................................
E. Pencegahan .......................................................................................
F. Gangguan Psikosis ............................................................................
G. Penanganan dalamAspek Kebidanan .................................................
H. Penatalaksanaan Psikosis Postpartum ................................................
I. Pengobatan ........................................................................................
J. Komplikasi ........................................................................................
K. Prevalensi ..........................................................................................

BAB III PERBANDINGAN JURNAL .......................................................

BAB IV PENUTUP .....................................................................................

A. Kesimpulan .......................................................................................
B. Saran .................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Kesehatan jiwa di Indonesia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang


penting dan harus mendapatkan perhatian. Gangguan jiwa berat memberi beban
pemerintah, keluarga dan masyarakat. Produktivitas pasien menurun dan
menimbulkan beban biaya besar bagi pasien dan keluarga. Bagi pemerintah,
gangguan jiwa menjadi beban layanan kesehatan karena menghabiskan biaya yang
besar. Gangguan jiwa masih dianggap penyakit memalukan dan menjadi aib pasien
dan keluarga. Persepsi masyarakat yang negatif mengakibatkan penderita tak
jarang mendapatkan perlakuan yang tidak mendukung kesembuhan. Survei riset
kesehatan dasar tahun 2013 menunjukkan angka pemasungan mencapai 14,3%.
Peningkatan kesehatan ibu dan anak merupakan prioritas dari
pengembangan kesehatan di beberapa negara berkembang dan belum berkembang,
khususnya di Indonesia. Pengembangan tersebut diarahkan kepada peningkatan
kesehatan fisik dan mental ibu. Salah satu masalah ibu postpartum adalah masalah
psikologis yang menyangkut depresi postpartum dan merupakan salah satu faktor
yang berkontribusi terhadap kesehatan ibu secara tidak langsung.
Perubahan psikologis selama masa nifas berkaitan dengan meningkatnya
kesehatan ibu. kebanyakan ibu yang baru melahirkan akan tampak gembira, penuh
cinta kasih dan sangat tenang. Kenyataannya tidak semua ibu menunjukkan
gambaran emosi yang sama.
Psikosis postpartum (PP) kondisi keadaan mental yang parah, dengan
elemen psikosis dan gangguan mood yang terjadi setelah melahirkan dan sering
digambarkan sebagai darurat psikiatri. Psikosis postpartum terjadi pada 1 hingga
2 per 1000 kelahiran dengan puncak onset dalam dua minggu pertama setelah
kelahiran. Timbulnya psikosis postpartum biasanya tiba-tiba, tak terduga, dan
parah.
National institute for Health and Care Excellene (NICE) saat ini membahas
mengenai perawatan kesehatan mental sebelum dan sesudah kelahiran dan
merekomendasikan agar para profesional layanan kesehatan waspada terhadap
kemungkinan gejala psikosis postpartum dalam dua minggu pertama setelah
melahirkan. Namun, hanya setengah dari perempuan yang memiliki akses ke
layanan kesehatan mental spesialis p erinatal, dan hambatan pribadi dan tingkat
layanan untuk menerima perawatan yang sesuai telah diuraikan. Rekomendasi
NICE lainnya termasuk untuk penyedia layanan kesehatan mental untuk: membuat
rencana perawatan terkoordinasi; menyediakan intervensi medis dan terapi dan
mempertimbangkan peran dukungan pasangan, dan efek potensial dari episode
perinatal pada hubungan pasangan.
Kehamilan dan persalinan adalah saat-saat perubahan yang cukup besar,
menempatkan peningkatan tuntutan pada pasangan. Hubungan yang pasangan
memiliki satu sama lain, dan hubungan yang mereka bangun dengan bayi mereka
selama postnatal, membantu untuk memberikan landasan bagi perkembangan
bayi. Membangun fondasi ini bisa sulit dalam keadaan terbaik, tetapi masalah
kesehatan mental perinatal menyebabkan tantangan tambahan. Perawatan, dan
jalannya pemulihan dari psikosis postartum telah digambarkan sebagai proses
yang panjang dan sulit, sering melibatkan penerimaan psikiatris dari ibu.
Sementara pemahaman tentang dampak masalah kesehatan mental perinatal untuk
ibu mungkin membaik, literatur memberikan sedikit informasi tentang dampak
kesulitan tersebut pada pasangan, atau pada hubungan mereka dengan bayi baru
mereka dan ibu.
Sebagai peristiwa yang tragis tetapi jarang terjadi, kematian ibu merupakan
bagian kecil dari keseluruhan beban kesehatan ibu yang buruk. Morbiditas ibu,
masalah kesehatan yang ditanggung oleh wanita selama kehamilan, persalinan dan
periode postpartum, juga berkontribusi terhadap beban ini secara besar-besaran.
Mengukur beban kehamilan dan morbiditas post-partum terkait sangat penting
untuk mencapai tujuan kesehatan dan pembangunan yang diartikulasikan dalam
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan orang-orang dari Strategi Global
untuk kesehatan Wanita, Anak-anak, dan Remaja. Tingkat keparahan, kejadian,
dan waktu kondisi ibu yang menyebabkan morbiditas, dan pengukuran dampaknya
terhadap kehidupan perempuan, adalah masalah utama dalam konsep tualisasi
morbiditas ibu.
Kesehatan mental adalah kontributor signifikan terhadap beban p eny akit
global. WHO memperkirakan bahwa untuk wanita usia rep roduksi (15-49),
gangguan mental dan perilaku menyumbang sekitar 64 juta global tahun cacat
seumur hidup (DALYs) kecacatan yang hilang antara tahun 2000 dan 2012. Beban
ini juga tampaknya meningkat dari waktu ke waktu. Antara 2000 hingga 2012,
gangguan mental dan perilaku meningkat dari 5,9% menjadi 7,3% sebagai
proporsi dari DALY semua penyebab.
Saat ini nosologi psikiatrik dalam Manual Diagnostik dan Statistik
Gangguan Mental (DSM -5) tidak mengenali psikosis pascapartum sebagai
gangguan yang berbeda; sebaliknya, jika seorang wanita memenuhi kriteria untuk
gangguan psikotik singkat, DSM -5 menyarankan untuk menambahkan "dengan
onset postpartum" sebagai specifier jika onsetnya selama kehamilan atau dalam
waktu 4 minggu postpartum. Beberapa dokter percaya bahwa jangka waktu untuk
specifier postpartum harus diperpanjang hingga 6 bulan setelah melahirkan
berdasarkan pengalaman klinis yang menunjukkan bahwa episode dapat hadir
setelah 4 minggu. Karena psikosis selama periode perinatal biasanya terjadi dalam
4 minggu pertama periode postpartum, maka ulasan ini akan fokus pada psikosis
postpartum sebagai lawan dari perinatal (yang umumnya mencakup periode ante
dan intra-partum) psikosis yang lebih luas.
B. Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu :
1. Apakah pengertian psikosis postpartum ?
2. Apa saja faktor pemicu psikosis postpartum ?
3. Apa gejala dan patofisiologi psikosis postpartum ?
4. Apa pertimbangan diagnostik psikosis postpartum ?
5. Apa saja pencegahan psikosis postpartum ?
6. Apa saja gangguan psikosis ?
7. Bagaimana penanganan dalam aspek kebidanan ?
8. Bagaimana penatalaksanaan psikosis postpartum ?
9. Apa pengobatan psikosis postpartum ?
10. Apa saja komplikasi yang bisa terjadi pada psikosis postpartum ?
11. Bagaimana prevalensi kasus psikosis postpartum ?
C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini merujuk dari rumusan masalah yang ada diatas, yaitu :
1. Untuk memahami pengertian psikosis postpartum
2. Untuk mengetahui faktor pemicu psikosis postpartum
3. Untuk mengetahui gejala dan patofisiologi psikosis postpartum
4. Untuk mengetahui pertimbangan diagnostik yang diambil
5. Untuk mengetahui pencegahan dari psikosis postpartum
6. Untuk mengetahui gangguan psikosis
7. Untuk mengetahui penanganan dalam aspek kebidanan
8. Untuk mengetahui penatalaksanaan psikosis postpartum
9. Untuk mengetahui pengobatan psikosis postpartum
10. Untuk mengetahui komplikasi dari psikosis postpartum
11. Untuk mengetahui prevalensi yang terjadi terkait psikosis postpartum
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Psikosis Postpartum
Psikosis postpartum adalah gangguan psikotik dengan karakteristik
mencakup halusinasi,delusi, agitasi dan kesulitan untuk tidur,menunjukkan sikap
aneh dan tidak masuk akal (irasional). Meskipun, psikosis postpartum cenderung
jarang (1 hingga 2 perempuan per 1000 proses melahirkan), hal ini menunjukkan
adanya emergensi psikiatrik karena baik ibu dan bayi (dan mungkin anak lainnya)
berada dalam kondisi yang mengancam bahaya. Meskipun psikosis postpartum
umumnya dimulai pada minggu pertama postpartum, gangguan ini cenderung
tidak terdeteksi hingga terjadi cedera serius.
Postpartum psikis adalah masalah kejiwaan serius yang dialami ibu selepas
bersalin dan ditandai dengan agitasi yang hebat, pergantian perasaan yang cepat,
depresi dan delusi.
Kasus depresi berat yang disebut Postpartum Psychosis ini merupakan
keadaan yang paling parah sebagai lanjutan dari depresi postpartum, yang
merupakan gangguan jiwa berat yang ditandai dengan waham, halusinasi, dan
kehilangan rasa kenyataan (sense of reality).
Singkatnya, psikosis pascapartum adalah kondisi kejiwaan dengan
mekanisme onset terkait dengan perubahan fisiologis tertentu (misalnya, ritme
hormonal, imunologis, sirkadian) yang menyebabkan penyakit pada wanita yang
rentan secara genetik.
B. Faktor Pemicu Psikosis Postpartum
Pada kasus psikosis postpartum penderita akan bertingkah laku aneh, melihat
sesuatu yang sebenarnya tidak ada, dan membahayakan dirinya dan bayinya.
Kondisi ini sangat berbahaya dan akan semakin buruk bila tidak segera dilakukan
terapi. Hal ini sebagian besar dipicu oleh :
1. Adanya riwayat keluarga menderita kelainan psikiatri
2. Riwayat penyakit dahulu menderita penyakit sikiatri
3. Adanya masalah keluarga dan perkawinan.
Faktor risiko yang telah diidentifikasi termasuk memiliki masalah kesehatan
mental yang sudah ada sebelumnya (seperti Bipolar Disorder), primipara, konflik
perkawinan, kurangnya dukungan sosial, dan adanya peristiwa kehidupan yang
penuh tekanan.
Dalam jurnal Florio. A.D, factor yang mempengaruhi psikosis postpartum
ialah :
1. Faktor genetik
Ada bukti kuat bahwa kerentanan terhadap memicu psikosis afektif
oleh agregat kelahiran di Indonesia berhubungan dengan keluarga dan
dapat menentukan subtipe yang relevan secara genetis dari gangguan
bipolar. Bukti dari penelitian dalam keluarga menunjukkan hal itu episode
PP adalah penanda untuk bentuk yang lebih kekeluargaan dari BD dan
bahwa kerentanan spesifik terhadap pemicu nifas BD bersifat keluarga.
Bukti dari studi hubungan menunjukkan kemungkinan lokasi gen
kerentanan pada kromosom. Gen kandidat tertentu, seperti yang terlibat
dalam serotoninergik, hormonal dan inflamasi jalur, juga telah diselidiki.
2. Faktor-faktor hormonal
Kurangnya bukti yang melibatkan faktor psikososial dan
pertimbangan timbulnya tiba-tiba selama waktu utama perubahan
fisiologis menunjukkan bahwa secara biologis, mungkin hormonal adalah
faktor penting. Peran beberapa hormon (termasuk estrogen, progesteron,
prolaktin, hormon perangsang folikel dan hormon lutein) telah
dipertimbangkan, tetapi bukti menunjuk pada hormon dalam etiologi PP
sebagian besar masih bersifat tidak langsung.
3. Kurang tidur
Hipotesis yang masuk akal adalah bahwa kurang tidur selama
persalinan. Para peneliti telah secara konsisten melaporkan bahwa wanita
dengan psikosis memiliki gangguan tidur yang parah, yang sering
menunjukkan gejala psikotik pada periode postpartum. Gangguan tidur
akibat persalinan dan persalinan dapat memulai gangguan sirkadian dan
berkontribusi pada munculnya episode mania atau keadaan campuran.
Penyebab psikotik postpartum
Para ahli tidak benar-benar yakin mengapa postpartum kejiwaan terjadi.
Namun, mereka menawarkan berbagai penjelasan mengenai terjadinya disorder
dengan perubahan hormone. Alasan yang lain dapat dikemukakan atau factor yang
turut berkontribusi termasuk kurangnya dukungan social dan emosional, rasa
rendah diri karena perempuan postpartum memiliki rasa kurang memadai sebagai
seorang ibu, merasa terpencil dan sendiri, mengalami masalah keuangan, serta
terjadi perubahanyang besar dalam kehidupan, seperti pindah rumah atau memulai
pekerjaan baru.
C. Gejala dan Patofisiologi Psikosis Postpartum
Postpartum psychosis (PP) adalah gangguan kejiwaan yang parah yang
mempengaruhi sekitar satu atau dua dari setiap 1.000 wanita segera setelah
melahirkan (paling sering dalam 6 minggu). Gejala utama termasuk halusinasi,
delusi, disorganisasi kognitif, dan kelainan suasana hati . Risiko PP sangat dapat
diprediksi, dengan risiko yang baru-baru ini dilaporkan sebesar 35% untuk wanita
dengan riwayat gangguan afektif bipolar atau PP sebelumnya. Meskipun PP terjadi
bersamaan dengan gejala sisa biologis persalinan, dasar neurobiologisnya masih
kurang dipahami.
Gejala awal atau prodromal dari psikosis pascapartum termasuk insomnia,
fluktuasi suasana hati, dan lekas marah, dengan munculnya mania, depresi, atau
keadaan campuran. Meskipun fluktuasi suasana hati yang cepat adalah ciri khas
dari penyakit ini, wanita yang menderita psikosis pascapartum sering memiliki
gejala yang tidak khas pada pasien dengan gangguan bipolar. Misalnya, delusi
mood yang tidak selaras adalah umum dan sering terkait dengan tema persalinan.
Perilaku yang tidak teratur, tidak biasa, dan pikiran obsesif mengenai bayi baru
lahir sering terjadi. Psikosis postpartum terkenal karena penampilannya yang
seperti delirium, dengan gejala kognitif seperti disorientasi, kebingungan,
derealization, dan depersonalisasi. Wanita memiliki insiden gejala yang relatif
rendah seperti penyisipan pikiran, penarikan atau penyiaran, pengalaman pasif,
suara halusinasi yang memberikan komentar berjalan, atau penarikan sosial.
Delusi dari pembunuhan altruistik (seringkali dengan bunuh diri ibu terkait) untuk
"menyelamatkan mereka berdua dari nasib yang lebih buruk daripada kematian"
dapat terjadi dan merupakan eksplorasi penting dalam pemeriksaan klinis. Psikosis
postpartum dikaitkan dengan peningkatan risiko bunuh diri dan pembunuhan bayi.
Perubahan biologis yang paling intensif dipelajari dalam PP adalah yang
terjadi pada hormon reproduksi ibu yang tak lama setelah melahirkan; Namun,
tidak ada perbedaan dalam kadar absolut estrogen atau progesteron yang telah
diidentifikasi pada wanita yang mengembangkan episode PP . Tanggung jawab
genetik terhadap PP juga telah disarankan: studi keterkaitan pada wanita dengan
afektif bipolar dan PP melibatkan daerah kromosom 16p dan 8q (daerah yang
sebelumnya terkait dengan kerentanan gangguan bipolar), sementara studi asosiasi
genetik telah memberikan bukti sugestif, meskipun tidak meyakinkan dan
kurangnya bukti. varian risiko dalam gen kandidat yang terlibat dalam jalur
serotonergik, tergantung hormon, atau respons stres.
Hambatan utama dalam mengidentifikasi risiko biologis dan faktor protektif
untuk PP termasuk prevalensi gangguan rendah, heterogenitas gejala antar pasien
yang tinggi, kurangnya aksesibilitas ke jaringan otak pasien, dan kurangnya
sejarah sistem model yang dapat diterima. Namun, memahami patofisiologi PP
sangat penting untuk mengidentifikasi target terapi baru (untuk obat yang lebih
manjur dengan efek samping yang lebih sedikit) dan biomarker prediktif (untuk
identifikasi wanita yang paling 'berisiko' sebelum, atau selama, kehamilan,
sehingga memfasilitasi sebelumnya, intervensi klinis yang lebih individual).
Bukti terbaru telah menyoroti peran penting yang potensial untuk sistem
kekebalan dalam timbulnya PP: wanita dengan gangguan ini memiliki tingkat
disfungsi tiroid autoimun dan pre-eklampsia yang lebih tinggi (dianggap sebagai
penyakit ketidakcocokan ibu-janin yang imunologis) dan beberapa kasus PP
melibatkan respon autoimun terhadap N-methy l- D reseptor asam -aspartic.
Hubungan antara patofisiologi PP dan sistem kekebalan mungkin tidak
mengejutkan, mengingat bahwa disregulasi sistem kekebalan, ditandai dengan
peningkatan kadar sitokin proinflamasi serum seperti interleukin (IL)-6, IL-1, dan
tumor necrosis factor-α, dan perubahan dalam ekspresi gen yang terkait sekarang
fitur menonjol dalam model patofisiologis depresi (termasuk dalam periode postp
artum) , gangguan afektif bipolar dan psikosis.
Menurut Widyasih, dkk beberapa gejala yang umumnya ditemukan pada
kasus psikosis postpartum yaitu :
1. Gangguan tidur
2. Cepat marah
3. Gaya bicara yang keras
4. Menarik diri dari pergaulan
Gejala psikosis postpartum
1. Perasaan yang diperintah oleh Tuhan atau kekuatan di luar diri untuk
melakukan hal-hal yang tidak biasa dilakukan, seperti merugikan diri
atau bayi
2. Perasaan kebingungan yang intens
3. Melihat atau mendengar hal-hal yang tidak nyata
4. Perubahan mood atau tenaga yang ekstrem
5. Ketidakmampuan untuk merawat bayi
6. Memory lapses (periode kebingungan yang serupa dengan amnesia)
7. Serangan kegelisahan yang tak terkendali
8. Pembicaraannya tidak dapat dipahami atau mengalami gangguan
komunikasi.
D. Pertimbangan Diagnostik
Wanita dengan psikosis pascapersalinan memerlukan perawatan tingkat
tinggi, dan rawat inap psikiatrik rawat inap direkomendasikan untuk penilaian dan
perawatan diagnostik. Gejala klinis sangat bervariasi. Bahkan pada seorang
wanita, fluktuasi gejala yang cepat disebut sebagai "gambaran kaleidoskopik
psikosis pascapartum". Penilaian suasana hati dan gejala psikosis (termasuk
pemikiran pasien yang membahayakan dirinya sendiri atau anak-anaknya) di
beberapa titik waktu postpartum berguna untuk penilaian diagnostik dan
keselamatan ibu dan bayi. Pertimbangan diagnostik yaitu :
1. Mania atau episode campuran (dengan atau tanpa fitur psikotik);
2. Episode depresi dengan fitur psikotik; dan
3. Episode psikotik nonafektif (terjadi pada <10% kasus).
Beberapa wanita (diperkirakan 20% -50%) mengalami episode psikotik hanya
selama periode postpartum, tanpa kekambuhan di luar waktu rentan ini. Gejala
psikosis dapat diabaikan karena mereka berfluktuasi atau disembunyikan. Penting
untuk bertanya kepada pasien dan keluarganya tentang gejala awal psikosis, seperti
ide paranoid, pikiran yang mungkin dianggap tidak biasa oleh orang lain, atau
perasaan bersalah yang kuat. Gejala psikosis yang tertekan sering kali meliputi
pikiran bunuh diri dan pembunuhan bayi (misalnya, anak saya lebih baik
tanpanya), dan pasien seperti itu membutuhkan tingkat perawatan yang lebih tinggi
untuk memastikan keselamatan ibu dan bayi. Penilaian harus mencakup
pertanyaan langsung tentang pemikiran bunuh diri dan pembunuhan bayi. Pasien
mungkin mengalami gangguan persepsi, baik pendengaran dan visual, dengan
perintah langsung untuk tindakan berbahaya. Pemeriksaan harus mencakup
penilaian untuk penyebab psikosis yang dapat diobati, termasuk infeksi akut,
kehilangan darah dan anemia peripartum, dan eksaserbasi prediksi penyakit
endokrin dan / atau autoimun. Pengujian laboratorium harus mencakup hitung
darah lengkap untuk mengevaluasi proses infeksi (termasuk mastitis dan
endometritis), urinalisis untuk menilai sistitis, dan skrining metabolik yang
komprehensif. Hipoparatiroidisme primer telah dilaporkan pada wanita
postpartum yang mengalami psikosis, inkontinensia feses, kejang, dan
hipokalsemia. Penyakit autoimun tiroid terjadi pada 5% -7% wanita selama
periode postpartum, dan persentase lebih tinggi pada wanita dengan psikosis
postpartum (hingga 20%). Pemantauan fungsi tiroid disarankan, terutama pada
pasien dengan antibodi positif peroksidase tiroid karena wanita- wanita ini berada
pada risiko tertinggi untuk disfungsi tiroid. Kami merekomendasikan pengukuran
hormon perangsang tiroid, T4 bebas, dan antibodi peroksidase tiroid baik pada saat
diagnosis dan beberapa bulan kemudian. Ada rebound postpartum yang
didokumentasikan dengan baik dari antibodi peroksidase tiroid selama bulan-
bulan pertama pascapersalinan, dan skrining negatif awal segera pascapersalinan
tidak mengesampingkan penyakit tiroid.
Gejala neurologis, termasuk kejang, penurunan kesadaran, diskinesia, gejala
motorik terbuka, dan gejala ekstrapiramidal meningkatkan indeks kecurigaan
untuk ensefalitis anti- NMDAR. Skrining primer untuk ensefalitis NMDAR dapat
dilakukan dalam serum, tetapi positif palsu sering terjadi, dan analisis CSF lebih
disukai. Gejala neurologis merupakan indikasi bagi MRI untuk mengevaluasi
apakah ada kelainan otak lainnya.
Dalam penilaian untuk diagnostic pasien psikotik biasanya mengalami
gangguan penilaian realita yang berat dan sering disertai disabilitas kognitif dan
emosi sehingga kemampuan berfungsi normal sangat terganggu. Pasien sering
berbicara dan berperilaku aneh, mengalami halusinasi, dan mempertahankan ide-
ide yang tidak sesuai dengan fakta (waham). Mereka sering mengalami
kebingungan dan disorientasi serta sering tidak menyadari penyakitnya (tilikan
kurang).
Terakhir, melahirkan anak adalah tantangan fisiologis untuk jalur
metabolisme yang mungkin menjadi stres oleh keadaan katabolik pasca
melahirkan yang ekstrim. Kesalahan metabolisme bawaan sejak lahir yang
sebelumnya tidak diketahui dapat muncul dengan gambaran klinis yang mirip
dengan psikosis pascapartum. Informasi klinis yang penting dalam diagnosis
banding adalah pemeriksaan neurologis yang abnormal, kejang, dan, pada
gangguan siklus urea, riwayat penghindaran konsumsi protein oleh pasien.
Konsentrasi serum amonia akan mengidentifikasi adanya gangguan siklus urea.
Tes positif dapat diikuti dengan analisis asam amino plasma dan studi lebih lanjut.
Tinjauan terhadap penggunaan alkohol dan narkoba serta penapisan obat harus
dilakukan untuk mengidentifikasi sindrom toksik atau penarikan yang dapat
muncul dengan gejala psikosis.
Pada umumnya diagnosis psikosis masa nifas ditegakkan jika wanita yang
depresi mengutarakan pikiran bunuh diri atau mengalami delusi.
E. Pencegahan
Membimbing wanita berisiko tinggi untuk psikosis melalui kehamilan dan
periode postpartum adalah tantangan bagi para profesional perawatan kesehatan.
Kami merekomendasikan algoritma pengobatan yang berbeda untuk wanita
dengan gangguan bipolar kronis dan wanita dengan riwayat psikosis terbatas pada
periode postpartum. Pada wanita dengan gangguan bipolar, profilaksis selama
kehamilan meningkatkan kemungkinan mempertahankan stabilitas suasana hati
selama kehamilan dan mencegah kekambuhan postpartum. Sebaliknya,
pengobatan profilaksis segera setelah lahir pada wanita dengan riwayat psikosis
terbatas pada periode postpartum adalah tepat.
Untuk mengurangi jumlah penderita ini sebagai anggota keluarga hendaknya
harus lebih memperhatikan kondisi dan keadaan ibu serta memberikan dukungan
psikis agar tidak merasa kehilangan perhatian. Saran kepada penderita untuk :
1. Beristrahat yang cukup
2. Mengkonsumsi makanan dengan gizi yang seimbang
3. Bergabung dengan orang-orang yang baru
4. Bersikap fleksible
5. Berbagi cerita dengan orang terdekat
6. Sarankan untuk berkonsultasi dengan tenaga medis
F. Gangguan psikosis
Gangguan psikotik ini dapat terbagi menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Skizofrenia, disebut juga pemecahan kepribadian
2. Paranoid, kondisi paranoid ditandai oleh adanya kecurigaan yang tak
beralasan yang terus menerus yang pada puncaknya dapat menjadi tingkah
laku agresif
3. Psikosis manis-depresif, menyangkut aspek emosi penderita, penderita mudah
menjadi sangat gembira ataupun sedih, sangat agresif atau diam seperti
patung.
G. Penanganan dalam Aspek Kebidanan
1. Komunikasi terapeutik dalam kebidanan
Keterampilan berkomunikasi bidan dengan klien merupakan suatu
keharusan sebagai bagian dalam kegiatan intervensi kebidanan. Untuk
membentuk hubungan interpersonal antara bidan dan klien, bidan harus
mengerti dan memperhatikan semua komunikasi yang dilakukannya, baik itu
komunikasi verbal maupun nonverbal. Untuk bisa mendengarkan klien, bidan
perlu menghadirkan dirinya secara fisik maupun emosional.
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara
sadar, bertujuan dan dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Komunikasi
terapeutik menggambarkan kemampuan atau keterampilan bidan untuk
membantu pasien beradaptasi dengan stress, gangguan psikologis dan belajar
bagaimana berhubungan dengan orang lain :
 Tujuan komunikasi terapeutik dalam kebidanan ialah
a. Membantu pasien memperjelas dan mengurangi beban perasaan serta
pikirannya
b. Membantu mengambil tindakan yang efektif umtuk pasien
c. Membantu pasien dalam pertumbuhan pribadi, yakni :
1) Realisasi diri, seperti sikap penerimaan diri dan rasa hormat pada
diri sendiri
2) Mengenal identitas diri yang jelas dan integritas yang tinggi
3) Meningkatkan kemampuan klien dalam mencapai tujuan personal
yang realitas
 Tahap interaksi dengan pasien dalam komunikasi terapeutik
a. Preinteraksi
Masa persiapan sebelum mengevaluasi dan berkomunikasi
dengan pasien. Pada masa ini bidan perlu membuat rencana interaksi
dengan pasien, yaitu melakukan evaluasi diri, menetapkan tahapan
hubungan interaksi, atau menjadwalkan interaksi
b. Perkenalan
Kegiatan yang dilakukan saat pertama kali bertemu. Hal yang
perlu dilakukan bidan ialah memberi salam, memperkenalkan diri
menanyakan nama pasien, menyepakati masalah pasien dan
mengakhiri perkenalan
c. Orientasi
Memvalidasi keakuratan data dan mengevaluasi hasil tindakan
yang lalu. Beberapa hal yang harus diperhatikan ialah memberi salam.
d. Fase kerja
Meningkatkan pengertian dan pengenalan pasien tentang diri
sendiri, perasaan, pikiran dan perilakunya, mengembangkan,
mempertahankan dan meningkatkan kemampuan klien secara mandiri,
menyelesaikan masalah yang dihadapi, melaksanakan terapi
kebidanan, melakukan kolaborasi dan melaksanakan observasi dan
pemantauan
e. Fase terminasi
1) Terminasi sementara, yakni akhir dari tiap pertemuan bidan
dengan pasien, terdiri dari tahap evaluasi hasil, tahap tindak lanjut
dan tahap untuk kontrak yang akan dating
2) Terminasi akhir, yakni jika pasien akan pulang dari rumah sakit
yang isi percakapannya meliputi tahap evaluasi, dan tahap
eksplorasi perasaan.
 Langkah kerja komunikasi terapeutik dalam kebidanan
a. Pengkajian
Menentukan kemampuan dalam proses informasi, mengevaluasi
data tentang status mental pasien, mengevaluasi kemampuan pasien
dalam berkomunikasi, mengobservasi kejadian yang terjadi,
mengidentifikasi perkembangan pasien, menentukan sikap pasien.
b. Rencana tujuan
Membantu pasien memenuhi kebutuhan sendiri, membantu pasien
menerima pengalaman, meningkatkan harga diri pasien, memberi
dukungan.
c. Implementasi
Memperkenalkan diri pada pasien, membantu pasien
mendapatkan gambaran pengalamannya, menganjurkan pasien untuk
mengungkapkan perasaannya dan menggunakan komunikasi untuk
meningkatkan harga diri pasien.
d. Evaluasi
Tahap ketika pasien dapat mengembangkan kemampuan dalam
mengkaji dan memenuhi kebutuhan. Komunikasi lebih jelas, terbuka,
dan terfokus pada masalah, membantu menciptakan lingkungan yang
dapat mengurangi kecemasan.
2. Terapi psikologis
Kegiatan terapis psikologis hanya boleh dilakuakn oleh seorang bidan
dalam konteks terbatas, yakni memberikan edukasi psikologis yang berkaitan
dengan aspek kebidanan, bukan pada usaha penyembuhan sakit jiwa
(psikopatologi).
a. Terapi individual
Terapi individual adalah pembentukan hubungan yang terstruktur
antara terapis (bidan) dan klien untuk mencapai perubahan pada diri klien.
Terapis bekerja dalam rangka menyelesaikan konflik, masalah emosional
dan mengembangkan cara yang tepat untuk kebutuhan klien. Terapi ini
ditujukan untuk ibu hamil atau pasca hamil yang mempunyai masalah
psikologis yang berkaitan dengan rasa takut, cemas, stress, frustasi,
depresi atau kegagalan mengambil keputusan.

b. Terapi kognitif
Terapi kognitif menggunakan beberapa strategi untuk memodifikasi
keyakinan dan sikap klien yang mempengaruhi perasaan dan perilaku
klien. Ketika pandangan negative pasien sudah mengarah ke masalah
psikopatologis, seorang bidan harus mengarahkan klien ke ahlinya
(psikiater). Jadi terapi kognitif yang boleh diberikan atau dilakukan oleh
bidan hanya untuk masalah-masalah ringan
c. Terapi keluarga
Terapi keluarga berarti seluruh anggota keluarga diikutsertakan
dalam usaha membantu penyelesaian klien dimana keluarga memberikan
kontribusi terhadap masalah klien tersebut. Penerapan terapis keluarga
kepada klien yang memiliki masalah dalam relasi social atau kegagalan
klien untuk membina hubungan dengan pasangannya (suami) dan
anggota keluarga.
Secara teoritis, gejala-gejala yang ada pada klien tidak terlepas atau
sebagai dari gejala-gejala yang ada dalam keluarga berupa hubungan
yang disfungsional dan pola komunikasi yang tidak sehat. Perilaku
ekstrem dapat dilihat seperti keterlibatan anggota yang berlebihan atau
sebaliknya kurang.
d. Terapi perilaku
Ada lima Teknik dasar terapi perilaku, sebagaimana disebutkan berikut
ini :
1) Terapi model peran, disini terapis (bidan) memberikan contoh
perilaku yang diinginkan dan klien mempelajarinya melalui praktik
dan imitasi. Model peran sering digunakan untuk pengondisian dan
desensitisasi.
2) Pengondisian operan yang disebut dengan penguatan positif, bidan
memberi penghargaan kepada klien karena telah membuat perubahan
perilaku positif. Modifikasi perilaku terjadi ketika pasien mencapai
tujuan perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya.
3) Terapi desensitisasi, ditujukan kepada klien yang menderita akibat
phobia diperkenalkan secara berulang=ulang kepada stimulus yang
menimbulkan phobia disaat klien berada dalam kondisi rileks. Secara
bertahap meningkatkan stimulus dengan cara mengajarkan klien
untuk mengatasi ketakutan-ketakutan yang ada pada dirinya
4) Terapi pengendalian diri, dalam hal ini klien dilatih untuk belajar
bagaimana mengubah kata-kata negative atau sikap negative dan
membimbungnya sampai klien mampu memperoleh pengendalian
atas tindakannya.
5) Terapi aversi (menghindar) atau terapi reflek terkondisi, terapi ini
didasarkan pada prinsip penguatan negative. Perilaku aneh atau
abnormal yang dipilih disandingkan dengan pengalaman yang tidak
nyaman, dan klien segera belajar untuk tidak mengulangi perilaku
demi menghindari konsekuensi negative akibat perilaku tersebut.
3. Lakukan rujukan
Penanganan terakhir yang dilakukan bidan adalah pedoman menyarankan
bahwa rujukan harus dipertimbangkan untuk mereka dengan gejala sedang
yang berkembang pada akhir kehamilan atau postpartum awal atau gejala
ringan dan keluarga riwayat gangguan bipolar atau psikosis nifas (COG).
Layanan psikiatri harus memiliki jalur perawatan prioritas wanita hamil dan
postpartum dan perawatan secara berganda.
H. Penatalaksanaan Psikosis Postpartum
Postpartum kejiwaan dianggap menjadi darurat kesehatan mental. Oleh karena
itu, memerlukan perhatian segera. Hal ini dikarenakan wanita yang menderita
penyakit kejiwaan tidak selalu mampu atau bersedia untuk berbicara dengan
seseorang tentang disorder-nya, mereka kadang-kadang membutuhkan pasangan
atau anggota keluarga yang lain untuk membantu mereka mendapatkan
penanganan medis yang mereka butuhkan. Kondisi ini biasanya diatasi dengan
pemberian obat, biasanya obat antipsikosis dan terkadang antidepresan dan/atau
antiansietas. Banyak wanita yang juga dapat merasakan manfaat dari konseling
dan dukungan psikologis kelompok. Dengan perawatan yang baik, sebagian besar
perempuan dapat pulih dari kekacauan.
Penatalaksanaan menurut Widyasih (2012)
1. Pemberian anti depresan atau lithium
2. Sebaiknya menyusui dihentikan karena anti depresan disekresi melalui ASI
3. Perawatan di rumah sakit
Penatalaksanaan menurut Sinclair (2010)
1. Buat rujukan ke psikiater
2. Panduan antisipasif : psikiater akan memprogramkan wanita dihospitalisasi
untuk dievaluasi, sebagai langkah antisipasi bunuh diri, dan padaawal terapi.
Terapi dapat meliputi terapi kejut listrik (ECT) dan
pemberianantidepresan,obat-obatan neuroleptik, SSRI, dan litium karbonat
3. Pasangan akan membutuhkan dukungan
4. Pengobatan alternatif : beberapa ahli merekomendasikan terapi homeopatik.
I. Pengobatan
Pengobatan standar untuk psikosis pascapartum termasuk antipsikotik dan
seringkali lithium dan benzodiazepin. Pendekatan perawatan ini sedikit berbeda dari
merawat pasien dengan penyakit psikotik nonpostpartum, yang umumnya tidak
akan menerima penstabil suasana hati, seperti lithium. Termasuk penstabil suasana
hati untuk psikosis pascapartum diperlukan karena hubungan antara psikosis
pascapartum dan gangguan bipolar, yang dirawat dengan penstabil suasana hati.
 Obat Antipsikotik dan Psikotropika Lainnya
Pilihan obat antipsikotik dan psikotropika lain untuk mengobati psikosis
pascapartum didasarkan pada status menyusui pasien. Manfaat pengobatan harus
dipertimbangkan terhadap risiko pajanan bayi yang menyusui terhadap obat.
Karena psikosis pascapartum adalah keadaan darurat psikiatrik, manfaat dari
pengobatan dianggap lebih besar daripada potensi dampak buruk apapun pada
bayi yang menyusui yang terpapar obat. Risiko psikosis pascapartum yang tidak
diobati pada bayi termasuk penolakan bayi, hubungan orangtua yang buruk,
bunuh diri, pembunuhan bayi, kegagalan jangka panjang untuk ikatan dengan
anak, keterlambatan perkembangan bayi, dan kegagalan untuk berkembang.
Banyak ibu termasuk pasien dalam presentasi ini memutuskan bahwa
manfaat pengobatan lebih penting daripada menyusui dan memilih untuk
memberi makan bayi mereka dengan susu formula. Bahkan jika pasien memilih
untuk memberi susu botol kepada bayinya, pertimbangkan untuk memberikan
obat-obatan yang dianggap lebih aman untuk menyusui karena pasien mungkin
perlu melanjutkan psikotropika selama kehamilan berikutnya untuk mencegah
episode psikotik berikutnya. Semua obat psikotropika masuk ke dalam ASI.
Studi tentang efek jangka panjang dari obat-obatan ini pada bayi terbatas,
tetapi para ahli cenderung merekomendasikan olanzapine, quetiapine, dan
risperidone lebih dari aripiprazole dan ziprasidone.
Lithium sering digunakan untuk mengobati psikosis pascapartum. Studi
yang meneliti risiko pada bayi setelah paparan lithium dalam jangka panjang
melalui ASI belum dilakukan, tetapi American Academy of Pediatrics tidak
menganjurkan penggunaannya selama menyusui karena kekhawatiran tentang
toksisitas pada bayi.
Pengaturan tidur penting untuk mengobati gangguan bipolar dan untuk
mencegah episode mendatang. Untuk memastikan keselamatan bayi dan ibu
sebelum pulang, pendidikan keluarga sangat penting untuk membangun tindak
lanjut yang dekat, tidur yang cukup , dan pengurangan stres. Pemisahan dari bayi
mungkin diperlukan setelah keluar, dan seseorang harus memantau bayi setiap
saat sampai penyedia layanan kesehatan mental rawat jalan memastikan bahwa
semua gejala psikotik telah sembuh. Perawatan yang berhasil dari psikosis
pascapersalinan membutuhkan komunikasi yang erat antara penyedia kesehatan
mental, dokter anak, dan dokter kandungan atau penyedia kesehatan wanita.
Karena pendekatan tim erat setelah keluar dari unit psikiatrik akut diperlukan,
perawatan pasien dan anaknya menyediakan kesempatan pendidikan bagi
individu yang bekerja di klinik perawatan terintegrasi.
J. Komplikasi
1. Mengabaikan bayi
Rujukan ke tim perlindungan tidak harus rutin, tetapi harus dilakukan sebagai
hasil dari penilaian risiko. Tambahan kewaspadaan dan perawatan diperlukan
dalam kasus-kasus ini, mungkin meningkatkan risiko kerusakan mental ibu
kesehatan, dan bahkan mengarah pada bunuh diri.
2. Bunuh diri atau pembunuhan bayi
Saat membahas gejala mood rendah, tanyakan secara sensitif apakah wanita itu
merasa hidup itu tidak layak dijalani dan apakah dia pernah berpikir untuk
melukai bayinya memungkinkan dokter untuk menilai aspek risiko paling serius.
Ini penting untuk dicatat bahwa bertanya tentang pikiran bunuh diri tidak tidak
meningkat, melainkan cenderung mengurangi, risiko wanita mengambil
hidupnya.
3. Perulangan non-nifas
Meskipun ada kekurangan informasi tentang tingkat kekambuhan non-nifas,
Robertson et al. Menemukan indeks PP 62% wanita mengalami setidaknya satu
episode afektif non-nifas selama rata-rata 9 tahun masa tindak lanjut.
K. Prevalensi
Pasien dengan gangguan bipolar memiliki risiko episode psikosis tertinggi
selama periode postpartum, dengan sebuah penelitian melaporkan 260 episode
psikosis perpengiriman di antara wanita dengan gangguan bipolar. 13 Studi seperti
ini menunjukkan bahwa episode psikosis postpartum mungkin merupakan varian
atau presentasi atipikal dari gangguan bipolar yang mendasarinya atau
kecenderungan untuk mengembangkan gangguan tersebut. Dalam sebuah penelitian
yang membandingkan 58 pasien dengan psikosis postpartum dengan ke 52 individu
dengan psikosis terkait nonchild bearing, gejala manik lebih umum di antara
kelompok postpartum. 15 Studi keluarga telah menunjukkan bahwa risiko penyakit
kejiwaan di antara kerabat tingkat pertama wanita dengan psikosis pascapartum
adalah 10% hingga 50%, yang lebih tinggi daripada populasi umum.
Brockington dan koleganya menemukan bahwa pasien dengan psikosis
pascapartum memiliki mood mood, distractibility , dan confusion yang lebih tinggi
daripada pasien dengan psikosis yang tidak terkait dengan kehamilan. Pasien
dengan psikosis postpartum lebih cenderung mengalami gangguan sensorium,
kualitas delusi yang aneh, dan kehilangan ingatan. Psikosis dengan onset setelah
persalinan meliputi tingkat disorganisasi pemikiran yang tinggi, delusi referensi,
delusi penganiayaan, dan tingkat yang lebih tinggi dari ide dan perilaku
pembunuhan. Studi ini juga melaporkan gejala seperti halusinasi visual, taktil, dan
penciuman dan presentasi yang mirip dengan delirium.
Chandra dan rekannya menemukan bahwa 53% wanita dengan psikosis
postpartum memiliki delusi tentang bayi, termasuk keyakinan bahwa seseorang
akan membahayakan atau membunuh bayi atau bahwa bayi itu akan dirugikan oleh
ASI mereka. Dibandingkan dengan wanita dengan gangguan bipolar, Oostheuizen
dan rekan menemukan bahwa wanita dengan psikosis postpartum memiliki delusi
kontrol, seperti perasaan di bawah pengaruh kekuatan yang sangat kuat yang
mengendalikan tindakan mereka. Pikiran bayi adalah umum di antara pasien dengan
psikosis pascapartum, dan sekitar 4% wanita melakukan pembunuhan bayi.
BAB III
PERBANDINGAN JURNAL
JURNAL 1
JUDUL JURNAL Sosialisasi penerapan buku pedoman dalam penanganan
gejala depresi postpartum
TAHUN 2022
PENULIS Dewi andariya ningsih, dewi maryani2, tiara indriyani3, siti
hilmi musyarrofah4, siti nurhidayati5
REVIEWER Dea tri ananda
TUJUAN PENULISAN Sosialisasi penerapan buku pedoman dalam penanganan
gejala depresi postpartum.
Latar Belakang: Gangguan emosional pada perempuan
setelah melahirkan memiliki sifat dan tingkat keparahan
yang beragam, yang berhubungan langsung pada perempuan
secara individu, keluarga dan sistem kesehatan.
Secara umum disepakati bahwa selain pengobatan,
pendekatan mental yang komprehensif dapat memberikan
layanan kesehatan mencakup program kesehatan mental dan
mencegah gangguan mental pada masa postpartum (2).
Pentingnya masalah depresi postpartum dikaji dikarenakan
gangguan mood postpartum bukan persoalan sepele.
Dampaknya bisa memporakporandakan kehidupan ibu,
keluarganya, bayi dan anak-anak lainnya karena komplikasi
yang diakibatkannya (3).
Tujuan Penelitian ini adalah dapat meningkatkan
pengetahuan, mengubah sikap dan perilaku ibu agar
memahami tentang psikoedukasi masa nifas, terjadinya
interaksi dan berbagi informasi tentang psikoedukasi masa
nifas dan meningkatkan pemahaman, sikap, dan perilaku ibu
hamil dan menyusui tentang : mengetahui, menerapkan cara
meminimalisir depresi post partum pada masa nifas.
Metode pelaksanaan dengan mengumpulkan ibu bidan, ibu
hamil dan menyusui di kampus fakultas ilmu kesehatan. Hal
tersebut merupakan bagian dari dampak depresis post
partum. Pemberian psikoedukasi yang dilakukan sejak masa
kehamilan merupakan langkah awal yang diperlukan sebagai
strategi koping ibu untuk melewati tahapan masa nifas. Hal
ini juga erat kaitannya dengan peran bidan dalam holistic
care yaitu pelayanan kesehatan yang lebih memperhatikan
keutuhan aspek kehidupan sebagai manusia yang meliputi
kehidupan jasmani, mental, sosial, spiritual yang saling
mempengaruhi. Keberagaman bidan dalam memberikan
konseling kepada ibu nifas sehingga diperlukan adanya buku
pedoman psikoedukasi agar sesuai dengan kebutuhan ibu
nifas secara keseluruhan sehingga perlu dilakukan
persamaan persepsi point-point apa saja yang perlu diketahui
dan disampaikan oleh bidan agar masa nifas ibu sebagai
penerima asuhan dapat berjalan dengan baik.
Kesimpulan: Terdapat peningkatan pengetahuan ibu setelah
memperoleh informasi/pesan tentang
pengetahuan cara mengetahui dan menerapkan psikoedukasi
untuk meminimalisir depresi post partum. Merujuk pada
hasil pengabdian masyarakat ini saran yang dapat diberikan
adalah Perlu penyebarluasan informasi yang lebih luas
kepada masyarakat tentang psikoedukasi masa nifas dengan
menerbitkan video dan diakses oleh masyarakat umum.

JURNAL 2
JUDUL JURNAL Peningkatan pengetahuan ibu nifas akan bahaya depresi
postpartum pada bpm fauzia hatta
TAHUN 2023
PENULIS Iilustri, sekolah kesehatan bina husada palembang
REVIEWER Dea tri ananda
TUJUAN PENULISAN Peningkatan pengetahuan ibu nifas akan bahaya depresi
postpartum pada bpm fauzia hatta.
Latar Belakang: Depresi postpartum adalah suatu depresi
yang ditemukan pada perempuan setelah melahirkan, yang
terjadi dalam kurun waktu 4 (empat) minggu, beberapa
bulan bahkan beberapa tahun bila tidak diatasi dengan baik.
Secara umum ada tiga gangguan psikologis utama pasca
persalinan, dari yang ringan sampai berat, yaitu postpartum
blues, depresi post partum dan post partum psikosis. Ibu
postpartum yang tidak dapat beradaptasi
dengan peran barunya dapat terjadi depresi postpartum.
Tujuan Penelitian ini adalah memberikan peningkatan
pengetahuan ibu postpartum dalam mengatasi bahaya
depresi postpartum.
Metode yang dilakukan dengan cara memberikan penjelasan
sejelas-jelasnya dengan memberikan kesempatan bertanya
bagi para peserta penyuluhan yang belum paham.
Menambah pengetahuan peserta terhadap hal-hal apa saja
yang dapat mengatasi dampak bahaya depresi postpartum.
Salah satu upaya untuk mengurangi dampak depresi
postpartum dengan cara datang ke BPM terdekat dengan
mendapatkan pelayanan asuhan nifas dengan
konseling dan melakukan skrining depresi postpartum
sehingga kita dapat mengetahui lebih awal dampak depresi
postpartum dan dapat melakukan tindakan pencegahan
sedini mungkin Saran diharapkan untuk melakukan skrining
EPDS di pusat layanan kesehatan terdekat.
Kesimpulan: Hasil penyuluhan ini adalah untuk menambah
pengetahuan peserta terhadap faktor- faktor apa saja yang
dapat menimbulkan tingkat depresi postpartum itu sendiri.
Salah satu upaya untuk mengurangi dampak depresi
postpartum dengan cara datang ke BPM dengan
mendapatkan pelayanan asuhan nifas dengan konseling dan
melakukan skrining depresi postpartum sehingga kita dapat
mengetahui lebih awal dampak depresi postpartum dan dapat
melakukan tindakan pencegahan sedini mungkin.
Saran bagi ibu nifas untuk mengurangi tingkat depresi
dengan melakukan skrining EPDS di pusat layanan
kesehatan terdekat.

JURNAL 3
JUDUL JURNAL Perbandingan pelaksanaan pelayanan kolaborasi masa nifas
terhadap kejadian postpartum blues di puskesmas sewon I &
banguntapan II kabupaten bantul tahun 2020.
TAHUN 2020
PENULIS Dessy Hertati 1* Detty Siti Nurdiati 2 Sulistyaningsih 3
Djaswadi Dasuki 4
REVIEWER Dea tri ananda
TUJUAN PENULISAN Perbandingan pelaksanaan pelayanan kolaborasi masa nifas
terhadap kejadian postpartum blues di puskesmas sewon I &
banguntapan II kabupaten bantul tahun 2020.
Latar Belakang: Postpartum blues merupakan sindrom
gangguan mood ringan yang sering tidak dipedulikan oleh
ibu postpartum, keluarganya atau petugas kesehatan.
Postpartum blues dapat berkembang menjadi depresi bahkan
psikosis. Kejadiannya sangat bervariasi di Asia cukup tinggi
antara 26-85%, sedangkan di Indonesia kejadiannya sekitar
50-70%. Postpartum blues juga mempengaruhi akan
interaksi antara bayi dan ibunya khususnya selama satu
tahun pertama. Dibidang kesehatan mental, praktik
kolaboratif dapat meningkatkan kepuasan pasien dan tim
kesehatan, mengurangi durasi pengobatan, mengurangi biaya
akan perawatan, mengurangi insiden bunuh diri, dan
mengurangi kunjungan rawat jalan.
Tujuannya mengetahui perbedaan perbandingan pelaksanaan
pelayanan kolaborasi masa nifas terhadap kejadian
postpartum blues di Puskesmas Sewon I & banguntapan II
Kabupaten Bantul Tahun 2019.
Metode Penelitian ini adalah secara comparative study
dengan pendekatan cohort prospektif dan teknik
pengambilan sampelnya menggunakan consecutive
sampling. Analisis data menggunakan uji Wilcoxon test,
mann withney dan biner regression. Hasil: uji Wilcoxon test
p= 0,000 artinya ada perbedaan penurunan skor EPDS awal
dan akhir pada kedua Puskesmas dengan kejadian
postpartum blues. Angka kejadian postpartum blues di
Puskesmas Sewon I yaitu 52 (44,83%) sedangkan di
Banguntapan II ada 45 (42,45%). Hasil uji fisher exact test
hubungan kehamilan p= 0,642 dan riwayat depresi p=0,078
artinya tidak ada hubungan. Hasil uji biner regression umur
p= 0,000 dan paritas p= 0,007 ada hubungan. Simpulannya
yaitu Kolaborasi interprofesi merupakan strategi yang efektif
dan efisien untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan hasil
kesehatan pasien dengan semakin beragamnya profesi di
bidang kesehatan dan semakin kompleksnya permasalahan
pasien.
Kesimpulan: Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa tidak ada perbedaan pelaksanaan pelayanan
kolaborasi masa nifas terhadap kejadian postpartum blues di
Puskesmas Sewon I dan Banguntapan II, karena pada kedua
tempat sama-sama dilakukan kolaborasi dan konseling
menurunkan skor EPDS dan kejadian postpartum blues.
Tidak ada hubungan antara kehamilan tidak diinginkan
dengan riwayat depresi dengan kejadian postpartum blues
sedangkan pada umur dan paritas ada terdapat hubungan.
Diharapkan pihak Puskesmas dapat menggunakan kuesioner
EPDS ini sebagai instrument skrinning awal untuk
mendeteksi masalah gangguan psikologis pada ibu nifas
maupun pada masa kehamilan sehingga dapat mencegah
akan terjadinya kejadian kasus yang lebih berat. Kolaborasi
antar tenaga kesehatan juga harus jelas peran dan fungsi
masing-masing sesuai dengan kewenangan dan kompetensi
petugas kesehatan. Saran bagi puskesmas untuk membuat
program yang komprehensif dan kolaboratif dalam
mengatasi kebutuhan perawatan depresi ibu pada masa
perinatal. Bagi ibu nifas yang masih mengalami postpartum
blues agar melanjutkan kunjungan ulang atau follow up
selanjutnya ke Puskesmas. Jumlah sampel pada penelitian ini
masih kurang diharapkan peneliti selanjutnya dapat
melanjutkan dengan jumlah sampel yang lebih banyak.

JURNAL 4
JUDUL JURNAL Dukungan sosial pada ibu postpartum primipara terhadap
kejadian postpartum blues
TAHUN 2020
PENULIS Riani Astri1, Ariani Fatmawati*2, Nina Gartika2
REVIEWER Dea tri ananda
TUJUAN PENULISAN Dukungan sosial pada ibu postpartum primipara terhadap
kejadian postpartum blues
Latar Belakang: Masa nifas merupakan masa semua organ
reproduksi perempuan setelah melahirkan ke kondisi semula
seperti sebelum hamil. Proses pemulihan pada masa nifas
disebut dengan adaptasi postpartum. Adaptasi postpartum
terdiri dari dua yaitu adaptasi fisiologi dan psikologis.
Penyebab postpartum blues belum diketahui secara pasti.
Banyak factor yang dapat menyebabkan postpartum blues,
salah satunya yaitu dukungan sosial. Postpartum Blues
(PPB) jika tidak ditangani akan berkembang menjadi depresi
atau psikosa postpartum. Masalah ini dialami oleh sebagian
ibu postpartum karena peran barunya sebagai seorang ibu.
Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi hubungan
dukungan sosial pada ibu postpartum primipara terhadap
kejadian postpartum blues.
Jenis penelitian adalah kuantitaif dengan pendekatan
deskiptif korelasi, jumlah sampel 106 orang dengan kriteria
inklusi ibu postpartum hari 1-7, semua jenis persalinan, ibu
sadar penuh, primipara dan bersedia menjadi responden.
Penentuan jumlah sampel dengan menggunakan consecutive
sampling dengan tehnik pengumpulan data menggunakan
kuesioner Edinburg Postnatal Depression Scale (EPDS) dan
postpartum support system and family coping quessionaire.
Analisa data dengan chi-square. Ibu postpartum primipara
mendapatkan dukungan sosial baik sebanyak 89.6% dan
sebanyak 40,6% ibu primipara mengalami postpartum blues.
Hasil analisis bivariate didapatkan p-value 0,007 (p- value
<0,005) yang berarti terdapat hubungan antara dukungan
sosial terhadap kejadian postpartum blues pada ibu
primipara di RSKIA Kota Bandung.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penting untuk
deteksi dini kejadian postpartum blues atau depresi
postpartum pada saat ibu hamil.
Kesimpulan: Studi ini menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara dukungan social pada ibu
postpartum primipar dengan kejadian postpartum blues di
RSKIA Kota Bandung. Sebagian besar ibu postpartum
primipara mendapatkan dukungan sosial yang baik dan yang
mengalami postpartum blues kurang dari setengahnya.

JURNAL 5
JUDUL JURNAL Pengalaman babyblues syndrome pada ibu postpartum
dikabupaten marauke
TAHUN 2023
PENULIS Sitti Asma Kurniyati Laitupa*, Endah Purwanti, Laili Nur
Hidayati
REVIEWER Dea tri ananda
TUJUAN PENULISAN Pengalaman babyblues syndrome pada ibu postpartum
dikabupaten marauke.
Latar Belakang: Postpartum Blues atau lebih dikenal dengan
baby blues merupakan gangguan mood ringan yang sering
dialami ibu dalam minggu pertama paska melahirkan dan
memuncak pada hari ketiga sampai kelima. Hal ini dapat
dipicu oleh perasaan ibu yang belum siap menghadapi
lahirnya bayi ataupun kesadaran akan tanggung jawab
menjadi ibu. Baby blues di Indonesia banyak dialami ibu
nifas terutama pada ibu dengan usia risiko dan ibu
primipara..Kurangnya kesadaran masyarakat terkait baby
blues berdampak kurangnya dukungan yang diberikan pada
ibu sehingga ibu merasa diabaikan dan sendirian. Jika baby
blues tidak ditangani dengan baik maka dapat berlanjut
menjadi depresi postpartum dan psikosis postpartum.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perasaan ibu
yang mengalami baby blues dan upaya mengatasinya
Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif
melalui pendekatan fenomenologi. Partisipan dipilih dengan
teknik purposive sampling selanjutnya dilakukan wawancara
bagi ibu yang bersedia.
Hasil penelitian ini menemukan 4 tema yakni perasaan ibu
saat mengalami baby blues, faktor penyebab, upaya yang
dilakukan ibu dan harapan ibu yang mengalami baby blues.
Simpulan setiap ibu nifas berisiko mengalami baby blues
dan upaya terbaik yang dapat dilakukan dengan memberi
dukungan sosial seperti dukungan informasi, emosional,
instrumental dan penilaian.
Kesimpulan: Setiap ibu nifas berisiko mengalami baby blues
dan banyak ibu tidak menyadarinya. Hal ini dikarenakan
tanda dan gejala baby blues dianggap sebagai sesuatu yang
wajar. Baby blues dipengaruhi oleh faktor internal (coping
stress dan penyesuaian diri) dan eksternal (dukungan sosial).
Pengaruh dukungan sosial sangat besar pada koping stress
yang digunakan ibu dan juga kemampuan menyesuaikan diri
dengan perannya sehingga tidak adanya dukungan
berdampak ibu merasa sendiri dan terbebani sehingga rentan
stres.

JURNAL 6
JUDUL JURNAL Pendidikan literasi komunikasi kesehatan dalam pencegahan
babyblues syndrome dan postpartum depression
TAHUN 2022
PENULIS Wahyu utamidewi, Yanti tayo, Pamungkas satya putra,
Mohamad febrianto, Achmad naufal hafids
REVIEWER Dea tri ananda
TUJUAN PENULISAN Pendidikan literasi komunikasi kesehatan dalam pencegahan
babyblues syndrome dan postpartum depression.
Latar Belakang: Gangguan perasaan biasanya sering sekali
terjadi pada waktu awal setelah persalinan. Gejala pada
kondisi ini bisa bergejala ringan seperti babyblues syndrom
dan yang bergejala berat yaitu postpartum depression.
Postpartum depression merupakan salah satu wujud
hambatan suasana perasaan yang lebih berat dibanding
babyblues syndrome serta bisa mengusik ibu dalam
melaksanakan peranan serta kedudukannya mengurus anak.
Minimnya pemahaman ibu sesudah kelahiran tentang
babyblues syndrome serta postpartum depression, setidaknya
tentang data yang dipunyai oleh ibu bisa berdampak pada hal
yang pengaruhi kesehatan psikologis sesudah melahirkan.
Kondisi ini membuat ibu sesudah melahirkan tidak mudah
memperoleh data yang lebih eksklusifnya mengenai
babyblues syndrome dan postpartum depression.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan
penyuluhan terkait literasi komunikasi kesehatan dalam
pencegahan babyblues syndrome dan postpartum depression.
Tim dalam pengabdian kepada masyarakat ini terdiri dari
tiga dosen dan beberapa mahasiswa Ilmu Komunikasi
Universitas Singaperbangsa Karawang. Penyuluhan ini
diharapkan dapat menambah tingkat pemahaman serta
kesadaran tentang berartinya kesehatan psikologis pada ibu
sesudah kelahiran. Sebelum penyuluhan dimulai tim
melalukan pretest, setelah penyuluhan dilaksanakan post-test
untuk mengetahui seberapa besar peningkatan pengetahuan
ibu mengenai pencegahan babyblues syndrome dan
postpartum depression. Setelah dilakukan pelaksanaan
kegiatan penyuluhan dapat diambil simpulan bahwa terjadi
peningkatan pengetahuan ibu hamil mengenai pencegahan
babyblues syndrome dan postpartum depression.
Metode Penelitian Minimnya pemahaman ibu sesudah
persalinan hal babyblues syndrome serta postpartum
depression, bisa mempengaruhi pada pemahaman ibu yang
masih sedikit, usia ibu yang sangat belia melangsungkan
perkawinan bisa mempengaruhi pada kesiapan ibu untuk
menyongsong kedatangan anak baik raga serta kejiwaan dan
pembelajaran yang kurang serta tidak terdapatnya pekerjaan
jadi salah satu terbentuknya babyblues syndrome serta
postpartum depression. Kondisi ini membuat ibu sesudah
persalinan tidak dapat memperoleh pemahaman dan
informasi yang lebih serta mendetail tentang babyblues
syndrome serta postpartum depression.
Oleh sebab itu kami membuat konseling tentang babyblues
syndrome serta postpartum depression. Lewat program ini
diharapkan bisa tingkatkan pemahaman, penjelasan dan
pemahaman akan berartinya kesehatan psikologis pada ibu
sesudah kelahiran. Dengan aktivitas berupa konseling, dan
berhubungan dengan partisipan diharapkan bisa tingkatkan
pemahaman serta dapat memperjuangkan diri dalam upaya
menghindari terbentuknya kesehatan psikologis pada ibu
sesudah melahirkan.
Kesimpulan: Penyuluhan terkait literasi komunikasi
kesehatan dalam pencegahan babyblues syndrome serta
postpartum depression pada ibu mengandung ialah usaha
buat menaikkan data serta wawasan hal kesehatan psikologis
paling utama untuk pasangan suami istri yang mempunyai
umur muda serta baru memiliki anak. Disebabkan belum
terdapatnya pengalaman dalam menjaga bayinya kadangkala
menghasilkan terjadi stress pada ibu. Apabila kurang support
dari suami, sepertinya besar dapat muncul babyblues
syndrome sampai berjalan postpartum depression pada
ibunya.
Hasil aktivitas konseling terpaut literasi komunikasi
kesehatan dalam penangkalan babyblues syndrome serta
postpartum depression pada ibu mengandung diperoleh
kenaikan pemahaman sebesar 40%. Hasil ini bisa
menunjukkan jika ada kenaikan yang lumayan positif dari
pemahaman serta data hal babyblues syndrome serta
postpartum depression, sesudah konseling terjalin kenaikan
pemahaman. Kenaikan pemahaman hal babyblues syndrome
serta postpartum depression diharapkan, masyarakat bisa
lebih hati- hati akan peristiwa babyblues syndrome serta
postpartum depression pada ibu yang habis melahirkan,
paling utama untuk pendamping terkini. Maka peristiwa
yang tidak di idamkan bisa dilindungi.

JURNAL 7
JUDUL JURNAL Konseling Parenting Sebagai Upaya Menurunkan Kejadian
Gangguan Psikologis Post Partum
Counseling Of Parenting To Reduce Post Partum
Psychological Disorder
TAHUN 2020
PENULIS Surati Ningsih
REVIEWER Dea tri ananda
TUJUAN PENULISAN Konseling Parenting Sebagai Upaya Menurunkan Kejadian
Gangguan Psikologis Post Partum
Latar Belakang: Kehamilan dan persalinan menimbulkan
suatu perubahan peran dalam kehidupan wanita yaitu sebuah
peran baru menjadi orang tua. Sebagian wanita berhasil
menyesuaikan diri dengan baik dan bersemangat mengasuh
bayinya, tetapi sebagian lagi tidak berhasil menyesuaikan
diri dan mengalami gangguan psikologis, seperti merasa
sedih, jengkel, lelah, marah, dan putus asa. Perasaan itulah
yang membuat seorang ibu enggan mengurus bayinya yang
oleh para ahli di sebut postpartum blues atau biasa dikenal
dengan baby blues.
Primipara mempuyai kesenderungan mengalami gangguan
psikologis post partumdikarenakan kurangnya pengetahuan
ibu dalam menghadapi peran barunya sebagai orang tua.
50% ibu post partum mempunyai kecenderungan mengalami
post partum blues dan hal ini masih terabaikan oleh tenaga
kesehatan khususnya bidan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan
kejadian ganguan psikologis post partum pada kelompok
perlakuan (dengan konseling parenting) dan kelompok
kontrol.
Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan post tes-only
control group design. Subyek penelitian adalah primigravida
dengan umur kehmilan ≥ 37 minggu di BPM Sri Rahayu
Singkil Boyolali dengan menggunakan simple random
sampling. Instrumen yang digunakan adalah lembar EPDS
(Edinburgh Postnatal Depression Scale) dan analisis data
menggunakan independent sample t-test. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kejadian ganguan psikologis post
partum pada kelompok perlakuan lebih rendah daripada
kelompok kontrol. Analisis menggunakan independent
sampe t-test didapatkan nilai p = 0,01. Kesimpulan :
konseling parenting efektif menurunkan kejadian ganguan
psikologis post partum.
Kesimpulan: Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian
ganguan psikologis post partum pada kelompok perlakuan
lebih rendah daripada kelompok kontrol dan nilai
signifikansi 0,001 < 0,05, sehingga konseling parenting
efektif menurunkan kejadian ganguan psikologis post
partum.

JURNAL 8
JUDUL JURNAL MEDIA EDUKASI TENTANG PENGENALAN DINI
POSTPARTUM BLUES PADA IBU NIFAS DI RSUD DR
DRADJAT PRAWIRANEGARA SERANG BANTEN
TAHUN 2021
PENULIS Umalihayati1, Qonita2
REVIEWER Dea tri ananda
TUJUAN PENULISAN Media edukasi tentang pengenalan dini postpartum blues
pada ibu nifas.
Latar Belakang: Postpartum Blues bisa dialami oleh setiap
wanita yang baru saja melahirkan. Angka kejadian di seluruh
dunia cukup tinggi sekitar 26-85% ibu nifas yang mengalami
Postpartum Blues. Untuk Indonesia sekitar 50-70%, dan
24,7% di RSUD dr.Dradjat Prwairanegara yang mengalami
Postpartum Blues. Hal ini terjadi karena ibu belum siap
memiliki bayi dan belum siap sepenuhnya menjadi seorang
ibu. Postpartum Blues jika dibiarkan dan tanpa solusi, bisa
berdampak serius menjadi depresi postpartum. Sasaran
kegiatan ini adalah seluruh ibu nifas yang dirawat di RSUD
dr.Dradjat Prawiranegara.
Tujuan kegiatan ini adalah memberikan pengetahuan tentang
pengenalan Postpartum Blues.
Metode pelaksanaan melalui tahapan persiapan, pelaksanaan
penyuluhan kesehatan dan penilaian. Pencapaian luaran
berupa buku saku tentang Postpartum Blues dan publikasi
jurnal.
Kesimpulan: 1. Kegiatan pengabdian kepada masyarakat
mengenai pendidikan kesehatan (penyuluhan) tentang
pengenalan Postpartum Blues sudah terlaksana dengan baik.
2. Hasil test menunjukkan bahwa dari 33 responden yang
diberikan soal pre test dan post test ada perbedaan hasil
penilaian yaitu diperoleh nilai pre test responden dengan
pengetahuan kurang ada sebanyak 63,6% dan yang baik ada
36,4 %. Sedangkan hasil post test menunjukan hasil yang
berbeda yaitu responden dengan pengetahuan kurang
menurun ada sebanyak 27,3% dan responden yang memiliki
pengetahuan yang baik meningkat menjadi 72,7%.
3.Responpeserta/pasienbaikdanmenyambutadanyapelaksana
anpenyuluhankesehatanyang diberikan oleh dosen Poltekkes
‘Aisyiyah Banten.

JURNAL 9
JUDUL JURNAL Sosialisasi penggunaan herbal steambath dan massage pada
ibu postpartum terhadap kejadian postpartumblues
TAHUN 2022
PENULIS Vika Tri Zelharsandy*, Titin Apriyani
REVIEWER Dea tri ananda
TUJUAN PENULISAN Sosialisasi penggunaan herbal steambath dan massage pada
ibu postpartum terhadap kejadian postpartumblues
Latar Belakang: Melahirkan adalah momen yang
membahagiakan, tetapi ada beberapa kasus dapat menjadi
menakutkan, hal ini disebabkan wanita yang melahirkan
sering mengalami perasaan sedih dan takut sehingga
mempengaruhi emosional dan sensitifitas ibu yang dikenal
dengan istilah postpartum blues. Pelayanan kebidanan non
konvensional merupakan bagian dari penerapan pengobatan
komplementer dan alternatif dalam pelayanan kebidanan.
Pelayanan kebidanan non konvensional merupakan pilihan
bagi bidan maupun perempuan untuk mengurangi intervensi
medis saat hamil dan melahirkan serta masa nifas, dan
berdasarkan pengalaman hal tersebut cukup membantu.
Pemanfaatan terapi ini dalam bidang kebidanan harus
dibuktikan keamanannya dengan penelitian. Meskipun
pengobatan tradisional/ komplementer relatif lebih aman
namun bukan berarti tidak menimbulkan risiko, untuk itu ibu
harus memiliki pengetahuan yang mumpuni tentang
pemanfaatan terapi komplementer yang aman selama nifas.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan
pengetahuan ibu nifas terkait kasus postpartum blues dan
penggunaan terapi herbal steambath dan massage ibu nifas
untuk meningkatkan kesehatan terutama psikologi.
Hasil penelitian: Kegiatan ini dilakukan dengan beberapa
tahap yaitu menjalin hubungan, memberikan proposal dan
menentukan jadwal kegiatan, kemudian, akan ada evaluasi
proses dari kegiatan pengabdian masyarakat yaitu sesi tanya
jawab. Sosialisasi kegiatan ini dilakukan dengan metode
ceramah, diskusi dan praktik, serta dilengkapi dengan
peralatan seperti sauna portable yang digunakan saat
melakukan herbal steambath.
Sosialisasi kesehatan ini merupakan suatu kegiatan atau
usaha menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat,
kelompok atau individu. Dengan adanya pesan tersebut
maka diharapkan masyarakat, kelompok atau individu dapat
memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang lebih baik.
Ibu nifas merupakan kelompok yang dianjurkan
memanfaatkan terapi atau pengobatan komplementer dalam
mengatasi keluhan yang dirasakan, karena dengan terapi
komplementer dapat menghindari efek samping pengobatan
konvesional dan memiliki kontrol yang besar terhadap
kesehatan sendiri. Kesehatan psikologi jarang diperhatikan
pada asuhan nifas konvensional, sedangkan kesehatan jiwa
akan berpengaruh pada kesehatan fisik yang tidak dapat
dipisahkan, sehingga diperlukan upaya dalam penanganan
depresi pada pasien post partum. Upaya penanganan depresi
postpartum meliputi upaya preventif, promotif, kuratif dan
rehabilitative.
Metode penelitian: Kegiatan pengabdian dilakukan dengan
menjalin kerjasama dengan memberikan proposal kegiatan
dan membina hubungan dengan PMB Lismarini Palembang
dan melakukan kunjungan untuk menentukan jadwal
kegiatan pengabdian masyarakat , serta menjelaskan latar
belakang pelaksanaan kegiatan, tujuan serta pelaksanaan di
PMB Lismarini Palembang. Perlengkapan kegiatan terdiri
dari mempersiapkan LCD dan Leptop yang akan digunakan
untuk presentasi materi dan menggunakan steambath untuk
memperkenalkan alat. Jumlah ibu nifas yang mengikuti
kegiatan sosialisasi ini sebanyak 20 ibu nifas, 3 pasangan
suami istri dan 3 bidan yang mendampingi.
Kesimpulan: Salah satu masalah atau komplikasi yang sering
terjadi pada ibu nifas di PMB Lismarini yaitu ibu nifas
dengan keluhan takut tidak bisa mengurus bayinya dan
cenderung khawatir dan bersedih. Sehingga kegiatan
pengabdian masyarakat ini bertujuan untuk mengatasi serta
mencegah keluhan yang dialami oleh ibu nifas tersebut. Pada
akhirnya manfaaat yang didapatkan dari pelaksanaan
pengabdian masyarakat tersebut yaitu ibu nifas mengetahui
terkait penggunaan terapi non konvensional tentang herbal
steambath dan massage postpartum.

JURNAL 10
JUDUL JURNAL Hubungan dukungan suami dan paritas terhadap tingkat
kecemasan ibu postpartum
TAHUN 2020
PENULIS Siti Ulfatul Nadhiroh1,Masini2,Christin Hiyana Tungga
Dewi3
REVIEWER Dea tri ananda
TUJUAN PENULISAN Hubungan dukungan suami dan paritas terhadap tingkat
kecemasan ibu postpartum
Latar Belakang: Ibu nifas rentan mengalami masa-masa
kecemasan akibat perubahan kondisi barunya. Hal ini
ditandai dengan kecemasan, mengkhawatirkan kondisi ibu
dan bayi, mengalami gangguan tidur, gangguan konsentrasi,
merasa takut sendirian. Faktor-faktor yang menyebabkan
kecemasan pada masa nifas adalah konstitusional (paritas),
fisik, psikologis, dan sosial (dukungan). Cara mengatasi
kecemasan selama periode ini adalah dengan menggunakan
pendekatan komunikasi terapeutik dengan melihat paritas
dan meningkatkan dukungan mental berupa dukungan dari
pasangan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
antara dukungan suami dan paritas terhadap tingkat
kecemasan postpartum di Puskesmas Jumo Temanggung
pada hari 1-10 di Wilayah Kerja pada bulan April-Mei 2020
sebanyak 40 ibu.
Hasil penelitian menggunakan Spiearman Rankmaternal
tingkat kecemasan ibu nifas dengan p-value 0,00 dan
hubungan erat kedua variabel dikategorikan kuat dengan
nilai 0,756, terdapat hubungan paritas dengan postpartum
dengan p-value sebesar 0,00 dan hubungan erat antara kedua
variabel tersebut dikategorikan kuat dengan nilai 0,756.
Kecemasan pascapersalinan dipengaruhi oleh status paritas
dan dukungan suami, sehingga diharapkan ibu mendapatkan
dukungan penuh dari pasangannya agar ibu lebih terbuka
untuk menceritakan kesulitan yang dialaminya terkait
dengan status paritasnya.
Metode penelitian: Penelitian yang digunakan adalah analitik
korelasi merupakan penelitian yang menggali bagaimana dan
mengapa fenomena yang terjadi kemudian melakukan
analisis korelasi antara faktor yang berpengaruh dengan
faktor akibat. Penelitian ini menggunakan rancangan survey
cross sectional yaitu pengumpulan data sekaligus pada suatu
saat artinya dilakukan dengan cara subjek diobservasi sekali
saja pada waktu yang sama [6].
Populasi pada penelitian ini adalah semua ibu postpartum
hari 1-10 yang ada di Wilayah Kerja Puskesmas Jumo
Temanggung pada bulan April-Mei 2020. Jumlah ibu nifas
pada bulan April-Mei sebanyak 40 ibu.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah
Purposive sampling yaitu mengambil sampel dengan melihat
kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel dalam penelitian ibi
sebanyak 37 responden.
Kesimpulan: 1. Dukungan suami pada ibu postpartum,
sebagian suami sudah memiliki kesadaran dalam
memberikan dukungan pada ibu postpartum yaitu (51,4%)
selisih antara responden yang mendapat dukungan dan yang
kurang mendapat dukungan yaitu (2,8%).
2. Status paritas pada ibu postpartum sebagian besar
responden (51,4%) beresiko lebih rendah
3. Tingkat kecemasan ibu postpartum sebagian besar
respnden (64,9%) mengalami tingkat kecemasan ringan.
4. Terdapat hubungan antara dukungan suami dengan tingkat
kecemasan ibu postpartum (ρ value 0,00) dan keeratan
hubungan kedua variabel dikategorikan kuat dengan nilai
0,756.
5. Terdapat hubungan antara paritas dengan tingkat
kecemasan ibu postpartum (ρ value 0,00) dan keeratan
hubungan kedua variabel dikategorikan kuat dengan nilai
0,756
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Psikosis postpartum adalah keadaan darurat psikiatris yang membutuhkan
perawatan segera untuk mencegah hasil yang mengerikan seperti bunuh diri atau
pembunuhan bayi.
Periode postpartum adalah masa peningkatan risiko untuk timbulnya atau
memperburuk ketidakstabilan suasana hati terutama pada wanita dengan gangguan
bipolar. Meskipun status nosologis PP tetap kontroversial, umumnya dianggap
sebagai episode psikosis gangguan bipolar.
Ulasan ini mengkonfirmasi tingkat psikosis nifas yang relatif rendah; namun
kekurangan studi yang memenuhi kriteria kelayakan dan menyoroti kesenjangan
kritis dalam pengetahuan, prevalensi psikosis nifas dari studi skala besar di seluruh
dunia. Seperti dijelaskan di atas, psikosis pascapartum adalah penanda utama
untuk risiko gangguan afektif di masa depan, yang merupakan kontributor
signifikan terhadap beban penyakit global. Penulis merekomendasikan bahwa
perhatian lebih lanjut diberikan untuk mengidentifikasi psikosis nifas dan
memantau kejadian secara lebih konsisten pada skala global. Deteksi psikosis nifas
yang tepat diperlukan untuk meningkatkan peluang bahwa seorang wanita akan
menerima perawatan yang memadai, yang dapat membantu mengurangi beban
penyakit global dan meningkatkan kesehatan ibu dan bayi baru lahir.
B. Saran
Sebagai seorang bidan yang menjadi salah satu care provider terhadap
kelangsungan hidup ibu dan bayi diharapkan agar lebih memberikan asuhan
psikologis secara dini dan mendalam terhadap ibu hamil, bersalin dan pasca
bersalin, melakukan pendampingan dan dukungan secara spiritual bahwa proses
hamil merupakan salah satu kodrat seorang wanita agar ibu dapat memahami dan
mencintai dirinya sendiri serta dukungan suami, keluarga, kerabat, sahabat juga
sangat penting untuk tetap menjaga psikologis ibu.
DAFTAR PUSTAKA

4. Alligood, Martha Raile. 2017. Nursing theorists and Their Work, 8th edition.
Indonesia : ELSEVIER (Singapore) Pte Ltd.
5. Bergink, V., Natalie R., Katherine L.W. 2016. Postpartum Psychosis: Madness,
Mania, dan Melancholia in Motherhood. Journal : American Journal of
Psychiatry. Diambil dari : https://doi.org/10.1176/appi.ajp.2016.16040454
6. Cranford, K., Joanna Gedzi and Victoria Su. 2018. 2. Postpartum Psychosis in a
Young VA Patient Diagnosis, Implications, and Treatment Recommendations.
Vol.1, Feb. 2018. Diambil dari : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term (24
Maret 2019)
7. Dazzan, P., M ontserrat F., and Wi l l i am D. 2018. 5. Do Defective Immune
System-Mediated Myelination Processes Increase Postpartum Psychosis
Risk. Diambil dari : (http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/) (24
maret 2019)
8. Florio, A.D., Sue Smith and Ian Jones. 2013. Postpartum Psychosis. Journal :
Royal College of Obstetricians dan Gy naecologists. Diambil dari :
http://onlinetog.org
9. Holford, N., Sue C., Jessi ca Heron and Ian Jones. 2018. The Impact of Postpartum
Psychosis on Partners. Vol.1, Oct 2018. Diambil dari :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=the+impact+of+postpartum+on+pa
rtners (24 Maret 2019)
10. Janiwarty, Bethsaida., dan Herri Zan Pieter. 2013. Pendidikan Psikologi untuk
Bidan. Yogyakarta : Rapha Publishing.
11. Mansur, H., dan Temu Budiarti. 2014. Psikologi Ibu dan Anak untuk Kebidanan.
Jakarta : Salemba Medika
12. Marmi dan Margiyati. 2013. Pengantar Psikologi Kebidanan. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar. Cetakan I
13. Nasri ,Z., Arief W., Endang W.G. 2017. Determinants Factors of Postpartum
Depression in East Lombok. Vol.1, Mar.2017. Diambil dari :
http://dx.doi.org/10.22435/hsr.v20i3.6137.89-95 (24 Maret 2019)
14. Sinclair, Constance. 2010. Buku Saku Kebidanan. Jakarta : EGC. Hal.316. Di
ambil dari:
https://books.google.co.id/books?id=NL-RVR1nywYC&printsec=
frontcover#v=o ne page&q&f=false (24 Maret 2019)
15. Setiati, E., Sumarni D.W dan Sri S. 2017. Social support and medication obedience
with recurrence of schizophrenia patients in Purworejo. Journal of Community
Medicine and Public Health. Vol. 33 Nomor 6 Halaman 305-310. Diambil dari :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term (24 Maret 2019)
16. Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Jakarta : EGC. Di ambil dari :
https://books.google.co.id/books?id=Lcqocb5k5jAC&printsec=frontcover#v=one
page&q&f=false (24 Maret 2019)
17. VanderKrui, R., M aria B., Dori C., Tom A., Say L., Cohen L.S. 2017. The global
prevalence of postpartum psychosis: a systematic review. Journal : BMC
Psychiatry. Diambil dari : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term (24 Maret
2019)
18. Widyasih, Hesty., Suherni dan Anita Rahmawati. 2012. Perawatan Masa Nifas.
Yogyakarta : Fitramaya. Cetakan VI.

Anda mungkin juga menyukai