Anda di halaman 1dari 44

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA Referat dan Laporan Kasus

FAKULTAS KEDOKTERAN Februari 2019


UNIVERSITAS HASANUDDIN

REFERAT: PSIKOGERIATRI

LAPORAN KASUS: EPISODE DEPRESI BERAT TANPA GEJALA PSIKOTIK


(F32.2)

DISUSUN OLEH:
Ghaisani Humairah
C014182068

RESIDEN PEMBIMBING:
dr. Devina

SUPERVISOR PEMBIMBING:
Dr. dr. Saidah Syamsuddin, Sp.KJ

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Nama : Ghaisani Humairah


NIM : C014182068
Universitas : Universitas Hasanudddin
Judul Referat : Psikogeriatri
Judul Laporan Kasus : Episode Depresi Berat Tanpa Gejala
Psikotik (F32.2)
Adalah benar telah menyelesaikan referat dan laporan kasus yang telah disetujui serta
telah dibacakan dihadapan pembimbing dan supervisor dalam rangka kepaniteraan
klinik pada bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin.

Makassar, Februari 2019

Supervisor Pembimbing, Residen Pembimbing,

Dr. dr. Saidah Syamsuddin, Sp.KJ dr. Devina

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………. ii

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………… iii

REFERAT

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi..............................................................................................................3

2.2 Macam-macam Gangguan Mental pada Lanjut Usia……………………..3

A. Gangguan Demensia………………………………………………………3

B. Gangguan Depresi…………………………………………………………5

C. Delirium…………………………………………………………………...7

D. Gangguan Bipolar I………………………………………………………..8

E. Skizofrenia………………………………………………………………... 8

F. Gangguan Waham………………………………………………………….9

G. Gangguan Kecemasan…………………………………………………….. 9

H. Gangguan Somatoform…………………………………………………….10

I. Gangguan Penyalahgunaan Alkohol dan Zat Lain………………………….11

J. Gangguan Tidur……………………………………………………………..11
iii
K. Penyakit Parkinson…..……………………………………………………..12

L. Risiko Bunuh Diri........……………………………………………………..12


2.3 Prinsip Pengobatan…………………………………………………………...13

2.4 Psikoterapi pada Pasien Usia Lanjut………………………………………..17

BAB III KESIMPULAN……………………………………………………………20

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………….21

LAPORAN KASUS…………………………………………………………………22

LAMPIRAN

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Lansia merupakan kelompok usia yang rentan mengalami perubahan-perubahan


akibat proses penuaan. Perubahan-perubahan tersebut menimbulkan permasalahan
yang dapat mempengaruhi kualitas hidup lansia. Salah satu permasalahan yang sering
dijumpai pada lansia selain permasalahan fisiologis adalah permasalahan yang
berkaitan dengan kesehatan mental atau psikologis.1

Di indonesia, populasi warga lanjut usia kian bertambah sesuai dengan


kemajuan dalam ilmu kedokteran. Diagnosis dan terapi pasien lanjut usia dengan
gangguan jiwa memerlukan pengetahuan khusus karena adanya perbedaan manifestasi
klinis, patogenesis dan patofisiologi gangguan jiwa pada lanjut usia. Faktor-faktor
komplikasi pada lanjut usia perlu dipertimbangkan, antara lain sering munculnya
gangguan ikutan dari penyakit medis kronis dan disabilitas, polifarmasi, dan
meningkatnya perburukan fungsi kognitif.2

Prevalensi gangguan jiwa pada lanjut usia sangat bervariasi, namun


diperkirakan 25% dengan gejala psikiatrik yang bermakna. Jumlah gangguan jiwa
pada lanjut usia diperkirakan 9 juta pada tahun 2000 dan diperkirakan meningkat
menjadi 20 juta pada abad petengahan.2

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kesehatan psikologis atau mental


merupakan faktor paling penting yang mempengaruhi kualitas hidup lansia. 3,4
Program Epidemiological Catchment Area (ECA) dari National Institue of Mental
Health menemukan bahwa gangguan mental tersering pada lanjut usia adalah
gangguan depresi, gangguan kognitif, fobia, dan gangguan penggunaan alkohol.
Lanjut usia juga memiliki risiko tinggi untuk bunuh diri dan timbulnya gejala psikiatri
akibat obat. Banyak gangguan mental pada lanjut usia dapat dicegah, dihilangkan atau
bahkan disembuhkan, misalnya penyebab delirium dan demensia yang reversibel.
Namun jika tidak didiagnosis dan diobati dengan tepat, dapat berkembang menjadi
keadaan yang irreversibel sehingga pasien memerlukan perawatan.2

Beberapa faktor resiko psikososial juga merupakan faktor predisposisi lanjut


usia terhadap gangguan mental, antara lain kehilangan peran sosial, kehilangan
1
autonomi, kematian teman dan saudara, penurunan kesehatan, isolasi, keterbatasan
keuangan dan penurunan fungsi kognitif.2

Gejala psikiatri pada lanjut usia juga dapat disebabkan oleh obat-obatan. Gejala
itu dapat merupakan akibat perubahan absorbsi obat yang berhubungan dengan usia,
dosis obat yang terlalu besar, tidak mengikuti instruksi yang diberikan, sensitivitas
terhadap obat, dan adanya obat yang saling memiliki interaksi karena obat-obatan
tersebut diberikan oleh dokter yang berbeda.2

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Psikogeriatri merupakan cabang ilmu kedokteran jiwa yang mempelajari dan


mendalami semua aspek yang berkaitan dengan proses penuaan sampai dengan
terjadinya gangguan jiwa pada lanjut usia beserta penatalaksanaannya.10

2.2 Macam-macam Gangguan Mental pada Geriatri

Lansia merupakan kelompok usia yang rentan mengalami perubahan-perubahan


akibat proses penuaan. Perubahan-perubahan tersebut menimbulkan permasalahan
yang dapat mempengaruhi kualitas hidup lansia. Salah satu permasalahan yang sering
dijumpai pada lansia selain permasalahan fisiologis adalah permasalahan yang
berkaitan dengan kesehatan mental atau psikologis.1

Berikut beberapa gangguan mental yang sering ditemukan pada pasien lansia:

A. Gangguan Demensia

Demensia merupakan suatu sindrom akibat penyakit/gangguan otak yang


biasanya bersifat kronik-progresif, dimana terdapat gangguan fungsi luhur kortikal
yang multiple, termasuk di dalamnya: daya ingat, daya pikir, orientasi, daya tangkap,
berhitung, kemampuan belajar, berbahasa, dan daya nilai. Umumnya diserrtai, dan
ada kalanya diawali dengan kemerosotan dalam pengendalian emosi, perilaku sosial,
stau sosial, atau motivasi hidup.11

Demensia menjadi penyebab kedua yang menimbulkan ketidakmampuan pada


individu yang berusia lebih dari 65 tahun setelah arthritis. Demensia merupakan
gangguan intelektual yang bersifat progresif dan ireversibel. Populasi lanjut usia yang
berusia lebih dari 80 tahun, 20% menderita demensia berat. Faktor resiko yang
diketahui untuk demensia adalah usia, riwayat keluarga dan jenis kelamin wanita.2

Pedoman diagnostik pada demensia pada PPDGJ III yaitu: 11


a. Adanya penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir, yang sampai
mengganggu kegiatan harian seseorang (personal activities of daily living) seperti :
mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, buang air besar dan kecil
b.Tidak adanya gangguan kesadaran (clear consciousness)
3
c.Gejala dan disabilitas sudah nyata untuk paling sedikit 6 bulan.

Berdasarkan PPDGJ-III, demensia diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Demensia Pada Penyakit Alzheimer

Demensia Alzheimer memiliki awitan yang perlahan dan progresif. Demensia


Alzheimer ditandai dengan adanya penurunan memori, setidaknya satu dari domain
kognitif, gangguan pada aktivitas sehari-hari, dan tidak ada keadaan fisik yang
menjelaskan keadaan tersebut, termasuk delirium. Diagnosis dibuat berdasarkan
riwayat pasien dan pemeriksaan status mental. Teknik pencitraan otak juga dapat
menjadi alat bantu diagnostik.2

2. Demensia Vaskuler

Demensia vaskular mencapai 10% dari seluruh demensia. Membedakan


demensia vaskular dari demensia Alzheimer adalah dari riwayat onset yang cepat dan
deteriorasinya bertahap seperti anak tangga (tidak selalu mudah) pada pasien berusia
50-60 tahun dan ada gangguan neurologik fokal.5

Demensia vaskular dapat disebabkan oleh stroke yang multipel, iskemik otak
dan seringkali berhubungan dengan infark lakunar subkortikal pada substasia nigra
hemisfer otak. Demensia vaskular ditandai dengan sindrom demensia, tanda
neurological fokal seperti refleks tendon berlebihan, respons plantar ekstensor,
pseudobulbar palsy, gangguan cara berjalan, kelemahan ekstremitas, abnormalitas
pada pencitraan otak, adanya hubungan waktu antara kejadian penyakit
serebrovaskular dan adanya sindrom demensia. Pasien dengan demensia vaskular
memperlihatkan gangguan perilaku yang menyerupai pasien-pasien demensia
Alzheimer.2

3. Demensia pada penyakit lain YDK

Penggolongan penyakit ini berdasarkan PPDGJ-III yang membagi atas


demensia pada penyakit Pick, demensia pada penyakit Creutzfeldt-Jakob, demensia
pada penyakit Huntington, demensia pada penyakir Parkinson, demensia pada
penyakit HIV dan demensia pada penyakit lain YDT YDK.11

4
4. Demensia YTT

Kategori ini digunakan bila kriteria umum untuk duiagnosis demensia


terpenuhi, tetapi tidak mungkin diidentifikasi pada salah satu tipe tertentu.11

Tatalaksana

1. Terapi Suportif

Berikan perawatan fisik yang baik misalnya pemberian nutrisi yang tepat,
berolahraga, dan supervisi dari aktivitas sehari-hari. Pertahankan pasien berada dalam
lingkungan yang sudah dikenalnya dengan baik. Bantulah mempertahankan rasa
percaya diri.12

2. Terapi Simtomatik

Haloperidol 0,5 mg oral 3 kali sehari untuk ansietas akut, ansietas non psikotik
diazepam 2mg oral 2 kali sehari, agitasi kronik bisa diberi SSRI yaitu fluoxetine 10-
20mg/hari dan untuk depresi pertimbangkan pemberian SSRI. Obat dapat membantu
dalam mengatasi agitasi dan gangguan perilaku. Propranolol, pindolol, buspiron dan
valproat dilaporkan membantu mengurangi agitasi dan agresi. Haloperidol dan obat
penghambat dopamin potensi tinggi lain digunakan untuk mengontrol gangguan
perilaku yang akut. Beberapa pasien demensia Alzheimer menunjukkan perbaikan
kognitif dan fungsi ketika diobati dengan tacrine atau donepezil.12

B. Gangguan Depresi

Gejala depresi terdapat pada 15% dari komunitas lanjut usia dan pasien di
rumah perawatan.2 Faktor risiko timbulnya gejala depresi pada lansia selain karena
faktor usia, adalah wanita (tak menikah dan janda), lebih banyak disabilitas fisik
(adanya penyakit fisik, ada gangguan kognitif atau demensia, problem tidur kronik
dan ansietas), status sosial ekonomi yang kurang, adanya kehilangan (pasangan atau
orang terdekat), stres kronik atau mengalami kehidupan yang penuh stresor,
kurangnya dukungan psikososial (loneliness/social isolation).6

Gangguan depresi ditandai oleh rasa lelah yang berkepanjangan dan sulit untuk
konsentrasi, gangguan tidur (terutama bangun pagi cepat dan bangun beberapa kali
saat tidur), nafsu makan berkurang, kehilangan berat badan, dan keluhan somatik.
Pasien usia lanjut yang mengalami depresi memperlihatkan gejala yang berbeda

5
dengan dewasa muda. Pasien lanjut usia yang mengalami depresi lebih banyak
memiliki keluhan somatik. Pasien usia lanjut juga lebih rentan terhadap episode
depresi berat dengan ciri melankolik, ditandai dengan adanya hipokondriasis, harga
diri yang rendah, perasaan tidak berharga, dan kecenderungan menyalahkan diri
sendiri (terutama tentang seks dan rasa berdosa), dengan ide paranoid dan bunuh diri.2

Gangguan depresi pada pasien lanjut usia sering diwarnai dengan gambaran
sebagai berikut:2

1. Pasien jarang mengeluhkan rasa sedih dibandingkan dengan pasien dewasa


muda
2. Gejala yang paling sering muncul adalah hipokondriasis
3. Pasien juga sering mengeluh adanya gangguan memori yang subjektif
4. Ansietas seringkali timbul bersamaan dengan depresi
5. Gejala apati dan depresi dapat saling tumpang tindih, namun secara klinis
dapat dibedakan yaitu apati menunjukkan gejala rendahnya motivasi dan
bukan anhedonia serta pikiran depresif pada gangguan depresi.
6. Penurunan kemampuan kognitif.

Bentuk gangguan depresi lain yang dapat dialami oleh pasien lanjut usia:2

a. Gangguan mood organik, yaitu pada penyakit fisik yang diderita oleh pasien secara
patofisiologi menyebabkan gangguan depresi. Penyakit fisik yang dapat menyebabkan
gangguan depresi organik adalah endokrin/metabolic, penyakit organik pada otak
seperti penyakit serebrovaskular, penyakit parkinson, penyakit Alzheimer, karsinoma
pankreas, paru-paru dan infeksi kronik: neurosifilis.

b. Depresi dapat menjadi bagian dari gangguan bipolar, walaupun awitan gangguan
bipolar umumnya terjadi pada usia muda. Apabila gangguan bipolar terjadi pada usia
lanjut maka seringkali berhubungan dengan penyakit otak organik.

c. Distimia merupakan gangguan mood yang kronik, dengan beberapa gejala depresi
namun tidak cukup untuk memenuhi kriteria gangguan depresi mayor, telah
berlangsung selama 2 tahun. Distimia merupakan faktor resiko terjadinya gangguan
depresi mayor.

d. Gangguan penyesuaian dengan afek depresi terjadi apabila pasien memperlihatkan


gejala depresi selama 1 bulan, setelah peristiwa yang penuh dengan stresor, namun
6
gejala depresinya tidak memenuhi kriteria gangguan depresi mayor. Gejala akan
membaik dalam waktu 6 bulan.

C. Delirium 7

Delirium yang juga dikenal dengan sebutan acute confusional state adalah
sebuah gangguan yang umum, serius, tetapi secara potensial dapat dicegah. Delirium
merupakan sumber morbiditas dan mortalitas di antara pasien-pasien geriatri yang
dirawat. Delirium adalah sebuah sindrom neuropsikiatrik yang kompleks dengan
onset yang akut dan berfluktuasi. Sindrom ini mempengaruhi kesadaran dan fungsi
kognitif yang mungkin diikuti oleh peningkatan aktivitas psikomotor.

Pasien geriatri sangat erat dengan multipatologi organ, sehingga pada beberapa
kasus diperlukan medikasi dengan banyak obat. Hal ini merupakan faktor risiko
terjadinya delirium. Pemakaian obat-obatan memegang peranan penting terhadap
terjadinya delirium. Banyak obat yang dapat menyebabkan delirium, namun ada
beberapa obat misalnya benzodiazepine, narkotik, dan obat-obat dengan aktivitas
antikolinergik, yang mempunyai kecenderungan lebih untuk menyebabkan delirium.

Gejala delirium sangat beragam dan walaupun tidak spesifik, sifatnya yang
fluktuatif sangat nyata dan merupakan indikator diagnostik yang sangat penting.
Gangguan yang penting melibatkan suatu hendaya fungsi kognitif yang akut dan
meyeluruh uang mempengaruhi kesadaran, perhatian, memori dan kemampuan
pencernaan dan organisasi. Gangguan lain, misalnya pola tidur yang berubah,
gangguan proses pikir, afek, persepsi dan tingkat keaktifan.

Ada empat kriteria yang harus dipenuhi untuk menegakkan diagnosis delirium
berdasarkan DSM V:

1. Gangguan kesadaran (berkurangnya kewaspadaan terhadap lingkungan)


dengan penurunan kemampuan untuk memusatkan, mempertahankan dan
mengalihkan perhatian.

2. Perubahan kognisi (seperti kemunduran ingatan, disorientasi, gangguan


berbahasa) atau adanya gangguan persepsi yang tidak dapat dimasukkan ke
dalam pre-demensia, demensia yang sudah ada atau demensia yang sedang
muncul.

7
3. Gangguan berlangsung dalam waktu yang singkat (biasanya jam sampai
beberapa hari) dan cenderung untuk berfluktuasi selama berlangsungnya.

4. Adanya bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan penemuan


pemeriksaan laboratorium yang mengindikasikan bahwa gangguan ini
merupakan konsekuensi fisiologis dari kondisi mendis umum

D. Ganguan Bipolar I 2

Gangguan bipolar I biasanya memiliki awitan pada masa dewasa pertengahan.


Pasien memiliki kerentanan untuk kambuh. Pasien dengan riwayat gangguan bipolar I
mungkin akan kembali datang berobat dengan episode manik. Episode pertama manik
yang terjadi setelah usia 65 tahun harus mendorong klinisi untuk mencari penyebab
fisiologis atau organik yang berhubungan, seperti efek samping medikasi dan tanda-
tanda demensia awal.

Tanda dan gejala mania pada usia lanjut sama dengan tanda dan gejala pada
orang dewasa muda yaitu mood yang meningkat, ekspansif atau iritabel; penurunan
kebutuhan tidur; distraktibilitas; impulsivitas; seringkali didapatkan juga penggunaan
alkohol yang berlebihan. Pasien juga biasanya berperilaku hostile atau paranoid.
Klinisi harus mencurigai adanya faktor organik yang menjadi penyebab bila
didapatkan gangguan kognitif, disorientasi, atau tingkat keasadaran yang berfluktuasi.

Lithium tetap merupakan terapi pilihan untuk mania. Pemakaian litium pada
pasien usia lanjut harus dipantai dengan hati-hati, karena penurunan fungsi ginjal pada
lanjut usia toksisitas lithium akan lebih bermakna. Efek neurotoksik juga lebih sering
ditemukan pada lanjut usia dibandingkan pada dewasa muda.

E. Skizofrenia 2

Skizofrenia biasanya memiliki awitan pada masa remaja akhir atau masa
dewasa muda dengan perjalanan penyakit yang berkelanjutan. Skizofrenia dengan
awitan setelah usia 65 tahun jarang ditemukan. Namun tipe awitan lambat yang
dimulai setelah usia 45 tahun telah banyak dijelaskan. Perbedaan lain antara
skizofrenia awitan dini dan awitan lambat adalah tingginya prevalensi skizofrenia
paranoid pada tipe awitan lambat. Kira-kira 20% pasien skizofrenia tidak
menunjukkan gejala aktif pada usia 65 tahun sedangkan 80% menunjukkan gangguan
yang bervariasi. Psikopatologi menjadi kurang jelas saat pasien bertambah tua.
8
Gejala dan tandanya adalah penumpulan emosi, penarikan diri dari lingkungan
sosial, perilaku eksentrik, dan pikiran tidak logis. Waham dan halusinasi jarang
ditemukan. Sebagian besar pasien skizofrenia residual tidak mampu merawat dirinya
sendiri sehingga diperlukan perawatan di rumah sakit dalam waktu lama.

Pasien usia lanjut dengan gejala skizofrenia berespon baik terhadap obat
antipsikotik. Obat harus diberikan dengan hati-hati. Dosis yang lebih rendah dari
biasanya seringkali efektif pada pasien usia lanjut.

F. Gangguan Waham 2

Usia awitan gangguan waham biasanya antara usia 40 dan 55 tahun, namun
gangguan ini dapat terjadi kapan saja dalam periode usia lanjut. Bentuk waham dapat
bervariasi dan yang paling sering ditemukan adalah waham kejar dimana pasien yakin
bahwa mereka sedang dimata-matai. Pasien dengan gangguan waham akan
menunjukkan kekerasan terhadap orang yang ia curigai mengikutinya. Pada beberapa
kasus mereka mengunci dirinya sendiri di kamar dan hidup terkurung. Pada usia
lanjut juga sering ditemukan waham somatik, dimana pasien yakin bahwa mereka
menderita penyakit yang mematikan. Pada suatu penelitian terhadap individu yang
berusia lebih dari 65 tahun, ditemukan ide kejar pervasif pada 4% dari jumlah sampel.

Gangguan waham terjadi karena stres fisik atau psikologis pada orang yang
rentan dan mungkin dicetuskan oleh kematian pasangan, kehilangan pekerjaan,
pensiun, isolasi sosial, masalah keuangan, penyakit medis atau pembedahan yang
menimbulkan kecacatan, gangguan penglihatan dan tuli.

G. Gangguan Kecemasan 2

Gangguan kecemasan terdiri dari gangguan panik, fobia, gangguan obsesif


kompulsif, gangguan cemas menyeluruh, gangguan stres akut, dan gangguan stres
pasca trauma. Gangguan cemas biasanya memiliki awitan pada masa dewasa awal
atau pertengahan, namun beberapa kasus memiliki awitan setelah usia 60 tahun.
Gangguan panik dengan awitan lanjut usia jarang namun dapat terjadi dengan
prevalensi 1%. penelitian ECA menemukan prevalensi gangguan cemas pada orang
yang berusia 65 tahun keatas adalah 5.5%. Gangguan kecemasan yang paling sering
ditemukan adalah gangguan fobia (4 sampai 8%). Tanda dan gejala gangguan fobia

9
pada individu usia lanjut tidak seberat tanda dan gejala yang terjadi pada orang muda,
namun efek yang ditimbulkan sama.

Kerentanan sistem saraf otonomik pada usia lanjut berperan dalam


memnimbulkan kecemasan setelah suatu stresor yang berat. Gejala gangguan stres
pasca trauma sering lebih parah pada usia lanjut dibandingkan individu yang muda
karena adanya kecacatan fisik yang menyertai pada pasien usia lanjut.

Obsesi dan kompulsi dapat muncul untuk pertama kalinya pada individu usia
lanjut, walaupun kebanyakan pasien usia lanjut dengan gangguan obsesif kompulsif
sudah menunjukkan gangguan (contohnya teratur, perfeksionis, dan kikir) ketika
masih muda. Pasien menjadi berlebihan dalam ketertiban, ritual, dan kesamaan.
Mereka menjadi kaku dan tidak fleksibel serta memiliki kompulsi untuk memeriksa
suatu hal berulang kali..

Terapi gangguan kecemasan harus disesuaikan secara individual pada pasien,


dengan memperhitungkan peran biopsi-kososial yang mengakibatkan gangguan ini.
Penatalaksanaan farmakoterapi dan psikoterapi diperlukan pada pasien.

H. Gangguan Somatoform 2

Gangguan somatoform, ditandai oleh gejala fisik yang mirip dengan penyakit
medis. Gangguan somatoform relevan dengan psikiatri geriatri karena keluhan
somatik seringkali terjadi pada pasien usia lanjut. Lebih dari 80% orang dengan usia
lebih dari 65 tahun setidaknya memiliki satu penyakit kronis. Penyakit kronis yang
biasa diderita oleh pasien usia lanjut adalah artritis atau gangguan kardiovaskular.
Setelah usia 75 tahun, 20% individu usia lanjut menderita diabetes.

Hipokondriasis sering diderita pasien berusia lebih dari 60 tahun, walaupun


insidensi tertinggi pada kelompok usia 40 sampai 50 tahun. Gangguan biasanya
bersifat kronis. Pemeriksaan fisik ulang berguna untuk menentramkan pasien bahwa
mereka tidak memiliki penyakit yang mematikan tetapi prosedur diagnostik yang
invasif dan beresiko tinggi harus dihindari kecuali diindikasikan secara medis.

Terapis yang meyakinkan pasien bahwa gejala mereka adalah suatu khayalan
merupakan cara yang tidak produktif dan biasanya menimbulkan kemarahan. Terapis
seharusnya menganggap keluhan itu nyata, nyeri yang dirasakan ebnar-benar ada dan

10
dirasakan oleh pasien tersebut, dan pendekatan psikologis dan farmakologis untuk
gangguan tersebut diindikasikan.

I. Gangguan Penyalahgunaan Alkohol dan Zat Lain 2

Pasien usia lanjut dengan ketergantungan alkohol biasanya terdapat riwayat


minum berlebihan yang dimulai pada masa remaja atau dewasa pertengahan. Mereka
biasanya memiliki penyakit medis (terutama penyakit hati), biasanya ada riwayat
bercerai, duda, atau laki-laki yang tifak pernah menikah, memiliki riwayat kriminal,
dan tuna wisma. Sebagian besar pasien menderita penyakit demensia yang kronis
seperti ensefalopati Wernicke dan sindroma Korsakoff. Pasien di ruang perawatan
kira-kira 20% diantaranya dengan ketergantungan alkohol.

Prevalensi gangguan alkohol dan zat lain kira-kira 10 persen dari semua
gangguan emosional pada usia lanjut. Ketergantungan zat seperti hipnotik, ansiolitik
dan anrkotik pada usia lanjut sebenarnya lebih banyak daripada data yang sudah ada.
Pasien usia lanjut mungkin menyalahgunakan ansiolitik untuk mengatasi kecemasan
kronis atau untuk mengatasi gangguan tidur.

Gambaran klinis pasien usia lanjut dengan gangguan penggunaan alkohol dan
zat lain bervariasi. Gambaran klinis dapat berupa kebingungan, perawatan diri yang
buruk, depresi, malnutrisi, dan efek pemaparan dan risiko terjatuh. Awitan delirium
yang tiba-tiba pada pasien usia lanjut yang dirawat dengan penyakit medis paling
sering disebabkan oleh putus alkohol.

J. Gangguan Tidur 2

Usia lanjut merupakan faktor utama berhubungan dengan peningkatan


prevalensi gangguan tidur. Gangguan tidur, mengantuk pada siang hari, pemakaian
obat hipnotik menjadi suatu fenomena yang paling sering dilaporkan pada individu
usia lanjut daripada usia dewasa muda.

Disamping adanya perubahan sistem regulasi dan fisiologis, penyebab


gangguan tidur pada individu usia lanjut adalah gangguan tidur primer, adanya
gangguna mental lain, kondisi medis umum serta faktor sosial dan lingkungan. Di
antara gangguan tidur primer, disomnia memiliki kejadian paling sering, terutama
insomnia primer, mioklonus nokturnal, restless leg syndrom, dan sleep apnea. Di
antara parasomnia, gangguan perilaku tidur rapid eye movement (REM) hampir selalu
11
terjadi pada laki-laki usia lanjut. Kondisi yang sering mengganggu tidur individu usia
lanjut adalah rasa nyeri, nokturia, sesak nafas, dan nyeri perut. Pekerjaan dan
lingkungan sosial yang buruk juga dapat mempengaruhi terjadinya gangguan tidur.

Penurunan lamanya siklus bangun-tidur pada usia lanjut menyebabkan individu


usia lanjut tanpa adanya rutinitas sehari-hari, terutama pasien di rumah perawatan
akan mengalami fase tidur yang lebih maju, dimana mereka tidur lebih awal dan
terbangun pada malam hari.

Data menunjukkan bahwa sebagian besar pasien usia lanjut lebih banyak
mengalami terbangun dini hari dibandingkan gangguan untuk jatuh tidur. Ketika
terapi mereepkan obat sedatif-hipnotik pada pasien usia lanjut, maka pasien harus
dimonitor akan adanya efek kognitif, perilaku, atau psikomotor yang tidak diinginkan,
termasuk gangguan daya ingat (amnesia anterograd), menarik diri pada siang hari
(daytime withdrawal), dan gaya berjalan yang tidak stabil.

Perubahan struktur tidur pada pasien berusia lebih dari 65 tahun melibatkan
tidur REM dan tidur Non-REM (non rapid eye movement). Perubahan REM meliputi
episode REM lebih banyak dan lebih pendek sehingga tidur REM total lebih sedikit.
Perubahan Non REM menyebabkan presentasi tidur stadium 3 dan 4 lebih rendah, dan
persentasi tidur stadium 1 dan 2 lebih tinggi. Individu usia lanjut mengalami terjaga
lebih banyak setelah awitan tidur.

K. Penyakit Parkinson 2

Penyakit Parkinson ditandai oleh tremor, rigiditas dan akinesia, tidak ada
penyebab yang mendasarinya. Gejala depresi sering ditemui pada 50% pasien
Parkinson walaupun gangguan depresi mayor jarang ditemukan. Depresi pada
umumnya terjadi pada pasien Parkinson dengan bentuk akinetik yang rigid dan pada
pasien dengan penurunan kognitif. Anxietas juga dapat terjadi pada penyakit
Parkinson dengan atau tanpa adanya depresi. Terapi dopaminergik pada pasien
Parkinson dapat menyebabkan timbulnya halusinasi.

L. Risiko Bunuh Diri 2

Individu usia lanjut berisiko lebih besar untuk bunuh diri dibandingkan
populasi lain. Angka bunuh diri pada kulit putih berusia lebih dari 65 adalah 5 kali
lebih tinggi daripada populasi umum. Sepertiga dari individu usia lanjut mengatakan
12
rasa kesepian sebagai alasan utama memutuskan bunuh diri. Hampir 10% individu
usia lanjut dengan ide bunuh diri mengatakan adanya masalah keuangan, kesehatan
medis yang buruk, atau depresi sebagai alasan pikirian bunuh diri. Korban bunuh
diri secara demografis berbeda dari individu yang mencoba bunuh diri. Enam puluh
persen individu yang melakukan bunuh diri adalah laki-laki sedangkan 75% dari
yang mencoba bunuh diri adalah wanita. Korban bunuh diri kebanyakan
menggunakan senjata atau menggantung diri mereka sedangkan 70% pelaku
percobaan bunuh diri menggunakan obat secara overdosis, dan 20% memotong atau
mengiris tubuh mereka. Penelitian autopsi psikologis mengatakan bahwa
kebanyakan pasien usia lanjut yang melakukan bunuh diri memiliki gangguan jiwa,
dan yang paling sering depresi. Gangguan jiwa yang diderita oleh korban bunuh diri
seringkali tidak mendapat perhatian medis atau psikiatri. Korban bunuh diri pada
usia lanjut kebanyakan adalah janda, ada riwayat berpisah atau bercerai pada
pasangannya. Metode kekerasan yang dilakukan saat bunuh diri lebih sering terjadi
pada usia lanjut sedangkan penggunaan alkohol dan riwayat psikiatrik muncul lebih
jarang. Presipitasi bunuh diri yang paling sering pada usia lanjut adalah penyakit
fisik dan kehilangan pasangan atau anak. Kebanyakan individu usia lanjut yang
melakukan bunuh diri akan memberitahu pikiran bunuh diri mereka kepada keluarga
atau teman sebelum melakukan bunuh diri.

Pasien usia lanjut dengan penyakit medis berat atau baru kehilangan harus
dievaluasi ada tidaknya gejala depresi dan rencana atau ide bunuh diri. Pikiran dan
fantasi tentang arti bunuh diri dan kehidupan setelah kematian mungkin memberi
informasi bila pasien tidak dapat menceritakan secara langsung.

2.3 Prinsip-prinsip Pengobatan 2

Tujuan utama pada terapi farmakologi pada pasien usia lanjut adalah untuk
meningkatkan kualitas hidup, agar tetap berfungsi dalam komunitas serta
menghambat atau mencegah perawatan di institusi. Penyesuaian dosis secara individu
merupakan prinsip dasar dari psikofarmakologi geriatri. Penyesuaian dosis obat-
obatan diperlukan karena perubahan fisiologis yang timbul akibat proses penuaan.
Penyakit ginjal mengakibatkan penurunan kemampuan clearamce dari ginjal,
penyakit hati menyebabkan penurunan kemampuan metabolisme obat, penyakit
kardiovaskular dan penurunan curah jantung dapat mempengaruhi kemampuan

13
clearance dari ginjal dan hati, dan penyakit gastrointestinal serta penurunan sekresi
asam lambung dapat mempengaruhi absropsi obat. Pada prinsipnya, dosis obat harus
dimulai dari dosis paling rendah untuk mendapatkan respons terapeutik yang
diharapkan. Klinisi harus mengetahui farmakodinamik, farmakokinetik dan
biotransformasi dari setiap obat yang diresepkan dan interaksi obat-obat yang
diminum pasien. Obat-obat yang digunakan antara lain:

1. Antidepresan Trisiklik 2

Obat-obat ini memiliki efek anti-kolinergik dan sedatif yang lebih rendah
dibandingkan dengan golongan amin tertier amitriptilin, doxepin dan imipramin.
Konsentrasi plasma dari obat-obat antidepresan yang diperlukan dalam pengobatan
pasien usia lanjut yang mengalami depresi adalah sama dengan yang dibutuhkan oleh
dewasa muda. Medikasi trisiklik memiliki efek anti-kolinergik sehingga obat-obatan
tersebut harus dihindari pada pasien dengan pembesaran prostat atau glaukoma.

2. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors2

Studi-studi pada pasien rawat jalan memperlihatkan bahwa Selective Serotonin


Reuptake Inhibitors (SSRI) sama efektifnya dengan obat-obat trisiklik amin tersier
pada terapi jangka pendek gangguan depresi. Belum jelas apakah SSRIs dapat
membantu pasien depresi lanjut usia yang dirawat inap dengan depresi melankolik
yang berat.

Dosis dari SSRIs harus ditingkatkan secara perlahan-lahan. Dosis harian awal
yang dapat diberikan adalah fluoxetine 5-10 mg, paroxetine 5-10 mg, sertraline 25 mg
dan citalopram 10 mg. Untuk kebanyakan pasien, dosis harian fluoxetine 20 mg,
paroxetine 20 mg, sertraline 75 mg dan citalopram 20-30 mg cukup untuk digunakan,
meski beberapa perlu menggunakan dosis lebih tinggi. SSRI memiliki efek samping
jantung lebih sedikit dibandingkan dengan obat antidepresan trisiklik dan sering
digunakan sebagai obat pilihan pertama, khususnya pada pasien dengan depresi
ringan non melankolik atau pasien dengan penyakit jantung. Efek samping yang
paling sering dari SSRIs adalah insomnia, akathisia, nausea, anorexia. Interaksi obat-
obatan haruslah dipertimbangkan pada pasien usia lanjut yang mendapatkan SSRIs.

3. MAO Inhibitors 2

14
Monoamine Oksidase Inhibitors (MAOIs) efektif pada pasien dengan depresi
mayor, obat ini juga efektif pada pasien depresi dengan serangan panik. MAOIs dosis
rendah contohnya, phenelzine (Nardil) 30-45 mg sehari atau tranylcypromine
(Parnate) 20-30 mg sehari, harus digunakan pada pasien usia lanjut. Hipotensi
orthostatik adalah efek samping MAOIs yang paling sering. Efek samping ini amat
penting untuk diperhatikan pada pasien usia lanjut karena dapat menyebabkan pasien
jatuh dan mengalami fraktur, khususnya fraktur pinggul atau humerus. Efek samping
lain meliputi peningkatan berat badan, kurangnya energi dan insomnia.

4. Antimanik 2

Penggunaan lithium pada lanjut usia harus hati-hati karena banyaknya kejadian
morbiditas yang berkaitan dengan usia dan perubahan fisiologis pada jantung, tiroid
dan ginjal. Lithium diekskresi oleh ginjal dan penurunan clearamce pada ginjal serta
penyakit ginjal akan meningkatkan risiko toksisitas. Lithium dapat menyebabkan efek
pada Susunan Saraf Pusat, karena faktor tersebut maka pemantauan secara rutin pada
kadar lithium direkomendasikan. Sebagai tambahan, harus dilakukan pemeriksaan
fungsi jantung, ginjal dan tiroid sebelum memulai terapi. Dosis obat-obatan yang
digunakan pada Geriatri yang menderita gangguan bipolar tipe I dapat dilihat pada
tabel dibawah ini:

Nama generik Nama dagang Dosis geriatri (mg/hari)


Lithium karbonat Eskalith,Lithane, Lithotabs 75-100
Karbamazepin Tegretol 200-1.200
Asam Valproat, Divalproat Depaken, Depakot 250-1.000
Clonazepam Klonopin 0,5-1,5

5. Antipsikotik 2

Antipsikotik dapat digunakan secara efektif untuk mengatasi perilaku agresif


pada pasien-pasien usia lanjut. Selain dapat mengatasi gejala psikotik seperti
halusinasi dan delusi. Pada umumnya, pada orang yang lebih tua, gejala psikotik akan
membaik dengan dosis yang lebih kecil. Orang lanjut usia juga lebih sensitif terhadap
berbagai efek samping antipsikotik dibandingkan dengan orang yang lebih muda
terutama efek samping ekstrapiramidal. Pada geritari, efek samping tersebut

15
membuatnya tidak dapat berbicara, bergerak dan menelan. Obat dengan dosis yang
sama tidak mengakibatkan efek samping tersebut.

Efek samping neurologikal

Efek samping yang umum terjadi dari antipsikotik adalah ekstrapiramidal


seperti akatisia dan distonia akut. Akatisia mungkin dapat diinterpretasikan salah
sebagai agitasi psikotik dan diskinesia akut (terutama wajah, lidah dan leher) mungkin
diartikan sebagai gerakan yang aneh pada skizofrenia. Gejala parkinson merupakan
komplikasi paling akhir pada medikasi dengan antipsikotik. Diskinesia bermanifestasi
terutama dengan gerakan bukolingual, seringkali terjadi pada terapi dengan
antipsikotik dosis tinggi terutama pada Geriatri. Perubahan pada pola tidur (mislanya
insomnia, mimpi-mimpi yang aneh dan tidur sambil berjalan) dapat terjadi. Semua
obat dengan efek antikolinergik dapat menyebabkan keadaan konfusional akut, yang
dapat menyebabkan midriasis dan penglihatan yang kabur. 2

6. Ansiolitik dan Sedatif-Hipnotik2

Pasien usia lanjut dengan kecemasan ringan atau sedang akan berespon baik
terhadap anxiolitik, dimana penggunaan benzodiazepin paling sering digunakan.
Kebanyakan pasien mendapatkan pengobatan dalam waktu singkat namun ada juga
yang membutuhkan dosis kecil sebagai rumatan bahkan ada yang membutuhkan
pengobatan jangka panjang. Penggunaan benzodiazepin jangka panjang menjadi
kontroversial karena menjadi risiko untuk penyalahgunaan, oleh karena itu
benzodiazepin dengan waktu paruh pendek atau menengah menjadi pilihan.
Benzodiazepin juga mempengaruhi fungsi memori dalam waktu singkat, mislanya
amnesia retrograd. Pada pasien usia lanjut apabila diberikan benzodiazepin dengan
waktu paruh yang panjang (seperti diazepam-valium) maka akan terjadi akumulasi di
jaringan lemaknya, sehingga mengakibatkan peningkatan efek samping seperti
ataksia, insomnia dan konfusi (sindrom sundowner). Buspiron merupakan obat
anxiolitik tanpa efek sedatif. Buspiron memiliki waktu awitan yang lama kurang lebih
3 minggu, dan tidak menyebabkan penurunan fungsi kognitif. Jadi buspiron tidak
memiliki potensial untuk disalahgunakan.

7. Electroconvulsive Therapi (ECT)2

16
ECT dapat menjadi terapi pilihan yang efektif dengan risiko komplikasi yang
rendah bagi pasien usia lanjut dengan komorbiditas kondisi medis yang dapat terjadi
seperti penyakit yang disebabkan oleh obat atau interaksi obat. ECT dapat
menimbulkan efek yang cepat, dimana hal ini sangat penting bagi pasien dengan
penyakit serius, yang berisiko untuk terjadinya malnutrisi atau agitas yang berkaitan
dengan kondisi medik umum, dan yang memiliki risiko tinggi untuk bunuh diri.
Penggunaan anestesi umum dan medikasi untuk mencegah kejang muskuloskeletal
mengubah prosedur ECT, yang saat ini dibuktikan aman namun tidak lebih aman,
namun bila tidak maka medikasi dapat digunakan.

2.4 Psikoterapi pada Pasien usia lanjut

Intervensi psikoterapi yang standar, misalnya psikoterapi berorientasi tilikan,


psikoterapi suportif, terapi kognitif, terapi group, dan terapi keluarga dapat dipakai
pada geriatri. Menurut Sigmund Freud, orang berusia 50 tahun keatas tidak cocok
untuk memakai psikoanalisis, karena sudah terdapatnya penurunan elastisitas proses
mental. Psikoterapi berorientasi tilikan dapat diberikan pada usia lanjut.2

Topik-topik yang umumnya diangkat pada terapi adalah kebutuhan untuk


beradaptasi terhadap “kehilangan” (misalnya kematian dari teman atau orang yang
dicintainya), kebutyhhan beradaptadi dengan keadaan dan situasi yang baru (misalnya
penyesuaian saat ia memasuki masa pensiun), dan kebutuhan untuk menerima
kematian. Psikoterapi membantu geriatri untuk menerima keadaannya dan masalah
emosi mereka serta mengerti perilaku dan dampak dari perilaku mereka terhadap
orang lain. Psikoterapi juga dapat memperbaiki relasi interpersonal, dengan
meningkatkan rasa percaya diri, dan harga diri, menurunkan perasaan tidak berdaya
dan kemarahan, serta meningkatkan kualitas hidup.2

Psikoterapi membantu untuk melepaskan tekanan-tekanan biologik dan


sosiokultural serta membantu individu usia lanjut tetap bekerja dan bermain walaupun
terdapat kerterbatasan fungsional. Pada pasien dengan gangguan kognitif, psikoterapi
dapat memberikan manfaat baik pada gejala mental maupun fisik.2

1. Psikoterapi Suportif

17
Pasien usia lanjut yang mengalami gangguan fungsi kognitif, menderita
penyakit kronik, dirawat di rumah sakit, membutuhkan psikoterapi suportif untuk
membantunya menemukan mekanisme pertahanan yang lebih sehat, ventilasi dan
nasehat serta menolongnya untuk menerima keterbatasan kapasitasnya, serta
kebutuhan ketergantungan yang besar. Sebagai tambahan, mereka membutuhkan
perhatian, lingkungan yang hangat dan anggota keluarga yang dapat bertindak
sebagai pelaku rawat.2

2. Life Review atau Terapi reminiscence

Robert Butler menyatakan bahwa individu usia lanjut cenderung memiliki


tendensi yang universal dengan mengingat pengalaman di masa lalu. Reminiscece
dikarakteristikkan sebagai proses mengingat kembali pengalaman-pengalaman di
masa lalu, terutama pengalaman yang begitu berarti atau penuh dengan konflik.
Pada terapi reminiscence, pasien diajak untuk mengingat pengalaman masa lalu,
mencari makna hidupnya dan menyelesaikan konflik interpersonal dan intrapsikik
di mas lalu. Terapis mengajak pasien untuk menulis atau merekam biografi dengan
mengulang kembali peristiwa-peristiwa penting dalam hidupnya. Teknik terapi ini
juga melibatkan reuni dengan keluarga dan teman-temannya dan juga melihat
kenangan di masa lalu lewat album foto.2

3. Terapi Kognitif-Perilaku (Cognitive-Behavioral Therapy)18

Terapi kognitif-perilaku merupakan intervensi psikologis yang


mengkombinasikan terapi kognitif serta terapi untuk menangani masalah psikolgois.
Terapi inii mengajarkan individu untuk mengenali pengaruh pola pikir tertentu
dalam memunculkan penilaian yang salah mengenai pengalaman-pengalaman yang
ia temui, hingga memunculkan masalah pada perasaan dan tingkah laku yang tidak
adaptif. Ada beberapa jenis teknik perilaku dan kognitif yaitu:

a) Psikoedukasi: program terapi yang berfokus pada penyampaian informasi


sebagai bagian dari pendekatan kognitif-perilaku. Informasi yang diberikan
tergantung dari jenis masalah. Pasien didorong untuk memahami masalahnya
dengan baik dan mengembangkan pemahaman mengenai pentingnya terapi
sehingga dapat meningkatkan kepatuhan.

18
b) Monitor perasaan: membantu pasien untuk mengenali hubungan antara
kegiatan yang ia lakukan dengan perasaan yang muncul ketika
melakukannya. Sehingga, pasien dapat mengetahui kegiatan apa saja yang
dapat membuat perasaannya menjadi positif dan negatif.

c) Pembuatan rencana kegiatan harian: berfungsi sebagai sarana


merancang kegiatan yang lebih sehat secara psikologis dalam arti
meminimalkan kemungkinan munculnya perasaan yang negatif.

d) Relaksasi: ketegangan fisik merupakan salah satu faktor yang dapat


berkontribusi membuat masalah psikologis. Sehingga perlu diredakan dengan
menggunakan teknik relaksasi seperti memanfaatkan kumpulan otot tubuh
untuk ditegangkan dan dilemaskan atau belajar mengatur pernapasan untuk
menenangkan dirinya.

e) Latihan memecahkan masalah: dalam teknik pemecahan masalah, pasien


dibantu untuk belajar mengatai masalah yang dapat menjadi penyebab
depresinya secara lebih objektif dan produktif. Hal ini dimulai dari
identifikasi masalah, menyusun tujuan, membuat berbagai solusi, memilih
solusi yang paling baik, mengimplementasikan solusi yang dianggap paling
baik, dan mengevaluasi efek dari solusi yang diambil.

4. Psikoterapi Berorientasi-Tilikan/ Psikodinamik (Insight Oriented


Psychotherapy)

Pendekatan dasar terapi berorientasi tilikan untuk pasien usia lanjut dengan
fungsi fisik dan kognitif yang utuh, secara garis besar sama dengan pasien yang
berusia lebih muda. Namun, tema-tema didalam terapi untuk pasien usia lanjut lebih
berfokus pada masalah kehilangan, penurunan fisik, dan fungsi seks, akumulasi
trauma, takut akan nyeri dan kecacatan, penurunan rasa harga diri dan
meningkatnya ketergantungan.2 Terapi jenis ini dapat membantu pasien mengerti
penyebab dari gangguan psikologisnya dan juga membantu pasien dalam mencari
cara yang sehat untuk menghadapi stimulus yang dapat menyebabkan gangguan
psikologis.19

19
BAB III

KESIMPULAN

Sebanyak 15% dari orang dewasa yang berusia lebih dari sama dengan 60 tahun
mengalami gangguan mental dan 6.6% dari gangguan ini dapat menyebabkan
disabilitas. Gangguan pada kesehatan mental emosional dapat menyebabkan dampak
bagi lansia, antara lain dapat menurunkan kemampuan lansia dalam melakukan
aktivitas sehari-hari, menurunkan kemandirian dan juga kualitas hidup lansia.

Gangguan mental yang paling sering terjadi pada lansia yaitu demensia,
depresi, delirium, bipolar, skizofrenia, gangguan waham, gangguan kecemasan,
gangguan somatoform, gangguan akibat penyalahgunaan alkohol dan zat lain, dan
juga gangguan tidur. Beberapa faktor resiko psikososial juga merupakan faktor
predisposisi lanjut usia terhadap gangguan mental, antara lain kehilangan peran sosial,
kehilangan autonomi, kematian teman dan saudara, penurunan kesehatan, isolasi,
keterbatasan keuangan dan penurunan fungsi kognitif.

Tujuan terapi pengobatan pada pasien usia lanjut adalah untuk meningkatkan
kualitas hidup, agar tetap berfungsi dalam komunitas serta menghambat atau
mencegah perawatan di institusi. Namun, kita tidak dapat serta merta memberikan
terapi farmakologi kepada pasien lanjut usia dikarenakan pada usia ini sangat erat
dengan multipatologi organ, sehingga perlu dipertimbangkan penggunaan beberapa
obat, seperti obat-obat trisiklik dan tetrasiklik yang memiliki efek cardiotoksik yang
harus digunakan secara hati-hati pada pasien dengan penyakit jantung iskemik.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Ekawati, S. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Kesehatan


Mental pada Lansia: Studi Cross Sectional pada Kelompok Jantung Sehat Surya
Group Kediri. Kediri: Jurnal Wiyata. 2015.

2. Elvira, Sylvia D & Hadisukanto, Gitayanti. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI, 2013 : 461-487 p.

3. Xie J, Ding S, Zhong Z, Yi Q, Zeng S, Hu J, Zhou J. Mental health is the Most


Important Factor Influencing Quality of Life in Elderly Left Behind When
Families Migrate Out of Rural China. Rev. Latino-Am Enfermagem,2014; 22 (3)

4. Gambin G, Molzahn A, Fuhrmann AC, Morais EP, Paskulin LMG. Quality of Life
of Older Adults in Rural Southern Brazil. Rural and Remote Health 15:
3300,2015. http://www/rrh/org/au/publishedarticles/article_print_3300.pdf.

5. Tomb, David A. Buku Saku Psikiatri. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,
2004.

6. Maramis M. Depresi pada Lanjut Usia. Surabaya: Jurnal Widya Medika. 2014;
2(1).

7. Andri, Damping CE. Peranan Psikiatri Geriatri dalam Penanganan Delirium


Pasien Geriatri. Majalah Kedokteran Indonesia. 2007; 57(7): 227-232 p.

8. Arjadi R. Tesis: Terapi Kognitif-Perilaku Untuk Menangani Depresi pada Lanjut


Usia. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012.

9. Kaplan HI, Sadock BJ, Greb JA. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku
PsikiatriKlinis. Tangerang. Indonesia : Binapura Aksara, 2010.

10. Gibson D. Evaluation and treatment of the psychogeriatric patient. 3rd rev.
Binghamton: Routledge, 2011. 79p.

11. Muslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa. In: PPDGJ III dan DSM V. Jakarta: Bagian
Ilmu Kesehatan Jiwa FK-Unika Atmajaya, 2013. 22–4 p.

12. Elvira S. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2010. 494–504 p.

LAPORAN KASUS
21
Episode Depresi berat tanpa gejala psikotik (F32.2)

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. D

Usia :40 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Status Perkawinan : Menikah

Agama : Islam

Suku : Bugis

Pekerjaan : Penjahit

Pendidikan terakhir : SMA

Alamat : Jl. Barata, Soppeng

LAPORAN PSIKIATRIK

Diperoleh dari catatan medis dan autoanamnesis dari pasien itu sendiri.

22
I. RIWAYAT PSIKIATRI

1. Keluhan Utama

Sulit tidur

2. Riwayat Gangguan Sekarang

a) Keluhan dan Gejala

Seorang perempuan berusia 40 tahun datang ke Poli RSKD Dadi untuk


pertama kalinya yang dibawa oleh keluarganya (saudara sepupunya) dengan
keluhan sulit tidur, pasien tidak bisa memulai tidur jika tidak minum obat
Alprazolam 1 mg 3 biji. Pasien merasa tidak tenang, jantung berdebar-debar,
jalan mondar-mandir, menangis, nyeri ulu hati, tengkuk tegang, sesak seperti
ingin lepas nyawa. Pasien pernah ingin mengakhiri hidupnya dengan bunuh
diri, tidak ada semangat hidup karena putus asa memikirkan keadaannya
sekarang yang tidak bisa melakukan kegiatan seperti biasanya. Pasien selalu
merasa lemas di pagi hari sehingga tidak ada kegiatan dan tidak bisa
berkonsentrasi untuk melakukan pekerjaannya. Pasien juga merasa tidak
nafsu makan, meraskan sakit kepala sampai seperti ingin pecah.

Awal perubahan perilaku, 15 tahun yang lalu pasien dinikahkan secara


paksa dan hingga sekarang pasien masih memikirkan hubungan dengan
suaminya yang kurang baik dan suaminya jarang pulang ke rumah sehingga
pasien selalu merasa sedih dan lebih banyak menangis, kemudian pasien
berobat di psikiater swasta mendapat obat racikan. Setelah itu pasien sempat
membaik. Tetapi, beberapa bulan setelah itu pasien tidak mengkonsumsi
obatnya lagi dan tidak kontrol kembali ke psikiater dan hanya menebus resep
yang diberikan, kemudian pasien menaikkan sendiri dosis minum obat
Alprazolamnya, pasien bisa mengonsumsi obatnya 3 biji sekali minum.
Pasien terus memikirkan hubungan dengan suaminya sehingga keluhan sulit
tidur terus datang dan pasien harus meminum obat Alprazolam dan juga
pasien sering mengkonsumsi obat paramex untuk meredakan sakit kepalanya
yang diminum bersamaan.

b) Hendaya/disfungsi
Hendaya dalam bidang sosial ada
23
Hendaya dalam bidang pekerjaan ada
Hendaya dalam waktu senggang ada

c) Faktor stressor psikososial


Pasien dijodohkan dengan suaminya dan dipaksa menikah. Hingga saat ini
pasien merasa tidak cocok dengan suaminya dan hubungan dengan suaminya
tidak berjalan baik.

d) Hubungan gangguan, sekarang dengan riwayat penyakit fisik dan psikis


sebelumnya:
 Riwayat infeksi (-)
 Riwayat trauma (-)
 Riwayat kejang (-)
 Riwayat NAPZA: - alkohol (-)
- Merokok (-)
- Zat psikoaktif lain tidak ada
3. Riwayat gangguan sebelumnya:

1. Riwayat penyakit fisik: tidak ada

2. Riwayat penggunaan NAPZA: tidak ada.

3. Riwayat gangguan psikiatri sebelumnya: tidak ada.

4. Riwayat kehidupan pribadi:


a) Riwayat Prenatal dan Perinatal (0-1 tahun)
Pasien lahir di rumah melalui persalinan normal, cukup bulan, dibantu oleh
bidan. Riwayat ASI hingga umur 1 tahun. Pertumbuhan dan perkembangan
baik.
b) Riwayat Kanak Awal (1-3 tahun)
Perkembangan masa kanak-kanak pasien seperti berjalan dan berbicara baik.
Perkembangan bahasa dan perkembangan motorik berlangsung baik.

24
c) Riwayat Kanak Pertengahan (3-11 tahun)
Pada usia 6 tahun pasien masuk SD dan memiliki prestasi yang cukup baik.
Pasien dapat bergaul dengan baik dengan temannya. Pasien tinggal bersama ibu
dan ayahnya, pasien mendapatkan perhatian serta kasih sayang yang cukup dari
kedua orang tuanya.
d) Riwayat Kanak Akhir dan Remaja (12-18 tahun)
Pasien melanjutkan sekolahnya sampai jenjang SMA
e) Riwayat Masa Dewasa
 Riwayat Pendidikan: Pendidikan terakhir pasien adalah SMA
 Riwayat Pekerjaan: Penjahit
 Riwayat Pernikahan: Pasien dinikahkan secara paksa oleh keluarganya,
hubungan pasien dengan suami tidak terjalin baik hingga saat ini dan pasien
merasa tertekan. Pasien telah dikaruniai 3 anak.
 Riwayat Kehidupan Beragama: Pasien memeluk agama Islam dan
menjalankan kewajiban agama dengan baik.
5. Riwayat kehidupan keluarga:
 Pasien merupakan anak ke 9 dari sembilan bersaudara
(♂,♀,♂,♂,♀,♀,♂,♂,♀)
 Hubungan dengan anggota keluarga baik kecuali dengan suaminya dimana
ssuaminya jarang pulang kerumah. Pasien tinggal bersama suami dan 3 orang
anak.
 Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga pasien tidak ada.

GENOGRAM

: Pasien

: Laki – laki : Gangguan Jiwa

25
: Perempuan : Tinggal serumah

6. Situasi sekarang:
Saat ini pasien tinggal bersama suami dan 3 orang anaknya. Ketiga orang
anaknya belum ada yang menikah. Hubungan dengan anak-anaknya baik tetapi
hubungan dengan suaminya kurang baik. Pasien sudah jarang bergaul dengan
teman dan tetangga sekitar.
7. Persepsi pasien tentang diri dan kehidupannya:
Pasien merasa menderita karena sakit kepala dan sulit tidur yang dirasakan,
pasien sering merasa ingin bunuh diri dan tidak punya semangat hidup. Pasien
menyadari dirinya sakit dan ingin sembuh.

II. STATUS MENTAL (13/2/2019)


A. Deskripsi umum
 Penampilan
Tampak perempuan umur 40 tahun, wajah sesuai umur. Perawakan sedang,
perawatan diri cukup. Memakai baju coklat, jilbab hitam dan celana hitam.
Kontak mata ada, verbal ada.
 Kesadaran : Baik
 Aktivitas psikomotor : Tenang
 Pembicaraan : Spontan, terbata-bata, intonasi biasa
 Sikap terhadap pemeriksa : Kooperatif
B. Keadaan Afektif (mood), perasaan, dan empati, perhatian:
 Mood : Depresif
 Afek : Depresif
 Keserasian : Serasi
 Empati : Dapat dirabarasakan
C. Fungsi Intelektual (kognitif):
1. Taraf pendidikan, pengetahuan umum, dan kecerdasan: Sesuai dengan
tingkat pendidikan.
2. Daya konsentrasi : Baik
3. Orientasi
 Waktu : Baik

26
 Orang : Baik
 Tempat : Baik
4. Daya ingat :
 Jangka panjang : Baik
 Jangka pendek : Baik
 Jangka segera : Baik
5. Pikiran abstrak : Baik
6. Bakat kreatif : Tidak ada
7. Kemampuan menolong diri sendiri: Baik
D. Gangguan Persepsi:
1. Halusinasi : Tidak ada
2. Ilusi : Tidak ada
3. Depersonalisasi : Tidak ada
4. Derealisasi : Tidak ada
E. Proses Berpikir:
1. Arus pikiran:
 Produktivitas : Cukup
 Kontinuitas : Relevan dan koheren
 Hendaya berbahasa : Tidak ada hendaya dalam berbahasa
2. Isi pikiran:
 Preokupasi : Memikirkan masalah rumah tangganya dimana
hubungan dengan suaminya kurang baik hingga saat ini.
 Gangguan isi pikiran : Tidak ada
F. Pengendalian impuls : Baik
G. Daya nilai:
 Norma sosial : Baik
 Uji daya nilai : Baik
 Penilaian realitas : Baik
H. Tilikan (insight)
Pasien menyadari penyakitnya dan faktor yang berhubungan dengan
penyakitnya namun tidak menerapkan dalam perilaku praktisnya (Tilikan 5)
I. Taraf dipercaya : Dapat dipercaya

27
III. PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGI
1. Status Internus
a. Keadaan umum : Baik
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Tanda vital
- Tekanan darah : 140/90 mmHg
- Nadi : 95x/menit
- Suhu : 36.7°C
- Pernapasan :24x/menit

konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterus, jantung, paru dan abdomen
dalam batas normal, ekstremitas atas dan bawah tidak ada kelainan.

2. Status Neurologi
a. GCS : E4M6V5
b. Tanda rangsang meninges : tidak dilakukan
c. Pupil : bulat, isokor, diameter 2.5 mm/2.5 mm
d. Nervus kranialis : dalam batas normal
e. Sistem saraf motorik dan sensorik dalam batas normal
f. Tidak ditemukan tanda bermakna dari pemeriksaan neurologis

IV. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA

Dari autoanamnesis didapatkan :

Seorang pasien perempuan umur 40 tahun datang ke Poli RSKD Dadi untuk
pertama kalinya dibawa oleh saudara sepupunya dengan keluhan utama sulit tidur.
Pasien tidak bisa memulai tidur jika tidak minum obat Alprazolam 1 mg 3 biji Jika,
pasien tidak meminum obatnya pasien merasa tidak tenang dan jalan mondar-
mandir, menangis, nyeri ulu hati, tengkuk tegang, sesak seperti ingin lepas nyawa.
Pasien pernah ingin mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, tidak ada semangat
hidup karena putus asa memikirkan keadaan nya sekarang yang tidak bisa
melakukan kegiatan seperti biasanya. Pasien selalu merasa lemas di pagi hari
sehingga tidak ada kegiatan dan tidak bisa berkonsentrasi untuk melakukan
pekerjaannya.

28
Pasien dinikahkan secara paksa dan hingga sekarang pasien masih memikirkan
hubungan dengan suaminya yang kurang baik dan suaminya jarang pulang ke
rumah sehingga pasien selalu merasa sedih dan lebih banyak menangis menangis.
Pasien juga merasa tidak nafsu makan, meraskan sakit kepala sampai seperti ingin
pecah. Pasien tidak teratur minum obat dan terus menerus minum obat Alprazolam
hingga 3 biji sekali minum. Pasien terus memikirkan hubungan dengan suaminya
sehingga keluhan sulit tidur terus datang dan pasien harus meminum obat
Alprazolam dan juga pasien sering mengkonsumsi obat paramex untuk meredakan
sakit kepalanya yang diminum bersamaan.

Pasien bekerja sebagai Penjahit, Pasien tinggal bersama suami dan 3 orang anak.
Pasien memiliki 3 orang anak, 3 orang anaknya belum ada yang menikah.
Hubungan dengan suami dan anak-anaknya baik. Keduanya dibiayai oleh suami
pasien. Pasien sudah jarang bergaul dengan teman dan tetangga sekitar.

Pada pemeriksaan status mental didapatkan:

Tampak perempuan memakai baju coklat dan celana warna hitam berbahan
kain dan jilbab hitam. wajah tampak sesuai usia, Perawakan sedang, dan perawatan
diri cukup. Mood depresif, afek depresif, empati dapat dirabarasakan. Isi pikiran,
preokupasi: Memikirkan masalah keluarga yaitu hubungan dengan suaminya yang
kurang baik hingga saat ini.

V. EVALUASI MULTIAKSIAL
 Aksis I:

Berdasarkan autoanamnesis dan pemeriksaan status mental didapatkan gejala


klinis yang bermakna yaitu pasien sulit tidur, ada sakit kepala seperti rasa mau
pecah, tidak ada semangat hidup dan berfikir untuk bunur diri, serta afek depresif
yang menimbulkan distress (penderitaan) berupa rasa tidak nyaman bagi diri pasien
serta terdapat hendaya (disabilitas) dalam hubungan sosial, pekerjaan dan waktu
senggang sehingga pasien dapat disimpulkan mengalami gangguan jiwa.

Pada pemeriksaan status mental tidak ditemukan hendaya berat dalam


menilai realita sehingga pasien dikatakan mengalami gangguan jiwa non psikotik.
Dari pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda disfungsi otak sehingga dapat
digolongkan gangguan jiwa non psikotik non organik.
29
Dari autoanamnesis didapatkan afek depresif, kehilangan minat dan
kegembiraan, dan berkurangnya energi pada pasien yang digambarkan melalui rasa
tidak semangat dan mudah lelah. Berkurangnya konsentrasi, tidur terganggu, nafsu
makan berkurang, gejala berupa rasa sakit kepala yang hebat seperti rasa ingin
pecah, dan disertai rasa ingin bunuh diri. Gangguan persepsi lainnya tidak ada. Hal
ini memenuhi kriteria episode depresif.

Dari autoanamnesis serta pemeriksaan status mental, didapatkan pasien


diatas memiliki gejala-gejala pada penyakit episode depresif berat yakni
memiliki 3 gejala utama dan 6 gejala tambahan. Berupa afek depresif, kehilangan
minat dan kegembiraan karena sering merasa murung dan banyak fikiran, merasa
lemas setiap pagi, kepercayaan diri berkurang, adanya gagasan tidak berguna,
berkurangnya konsentrasi, rasa ingin bunuh diri, tidur terganggu, nafsu makan
berkurang. sehingga menunjang diagnosa untuk Episode Depresif Berat Tanpa
Gejala Psikotik (F32.2).

Diagnosis Banding

a. Gangguan cemas menyeluruh (F41.1). Pasien merasakan gejala


ketegangan motorik yaitu gelisah dan sakit kepala. Pasien juga merasakan
overaktivitas otonomik yaitu merasa sesa napas, keluhan lambung (nyeri
ulu hati) dan pusing kepala. Pasien tidak menunjukkan gejala anxietas
sebagai gejala primer dan gejala-gejala depresi yang menonjol sehingga
diagnosis ini disingkirkan.
b. Gangguan panik (F41.0). Pada pasien ini, terdapat gejala dimana pasien
pernah merasa seperti ingin bunuh diri. Pasien juga merasakan sesak seperti
nyawanya terlepas. Pasien tidak menunjukkan gejala cemas antisipatorik
dimana disaat serangan panik datang terdapat gejala-gejala hebat yang
mendasari dan pasien cenderung menunjukkan gejala depresi sehingga
diagnosis ini disingkirkan.
c. Gangguan somatisasi (F45.0). Pada pasien ini Pada pasien ini ditemukan
beberapa gejala fisik seperti nyeri ulu hati, tengkuk terasa tegang, rasa
sesak , merasakan sakit kepala hebat. Tetapi pada pasien ini dia tidak ini
mencari tahu apa penyebab gejala fisik tersebut tetapi pasien hanya ini

30
menghilangkan gejala depresi yang dikeluhkannya sehingga diagnosis ini
disingkirkan.

 Axis II
Berdasarkan informasi yang didapatkan, data yang diperoleh belum cukup
untuk diarahkan ke salah satu ciri khas kepribadian. Pasien cenderung
pendiam.
 Axis III
Hipertensi
 Axis IV
Masalah family support group (suami)
 Axis V

GAF Scale saat ini 50 - 41 (Berupa gejala berat, disabilitas berat)

VI. DAFTAR MASALAH


 Organobiologik:
Tidak ditemukan kelainan fisik yang bermakna, namun diduga terdapat
ketidakseimbangan neurotransmitter, maka dari itu pasien memerlukan
farmakoterapi.
 Psikologik:

Ditemukan adanya hendaya dalam kehidupan sehari-hari yang menimbulkan


gejala psikis sehingga pasien membutuhkan psikoterapi

 Sosiologik:
Ditemukan adanya hendaya ringan dalam penggunaan waktu senggang,
hubungan social dan pekerjaan maka membutuhkan sosioterapi.

VII. RENCANA TERAPI


 Psikofarmakoterapi :
- R/Fluoxetine 20 mg/24 jam/oral/malam
- R/Alprazolam 1 mg/8jam/oral
 Psikoterapi supportif:

31
- Ventilasi : Memberi kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan isi
hati dan keinginannya sehingga pasien merasa lega.
- Konseling :Memberikan penjelasan dan pengertian kepada pasien tentang
penyakitnya agar pasien memahami kondisi dirinya, dan memahami cara
menghadapinya, serta memotivasi pasien agar tetap minum obat secara
teratur.
 Sosioterapi:
Memberikan penjelasan kepada pasien, keluarga pasien dan orang terdekat
pasien tentang keadaan pasien agar tercipta dukungan sosial sehingga
membantu proses penyembuhan pasien sendiri.

 Terapi Kognitif Perilaku


Tujuan terapi ini untuk mengubah proses berfikir individu agar menjadi lebih
rasional agar pasien mempunyai kemampuan untuk mengenali dan kemudian
mengevaluasi atau mengubah cara berfikir, keyakinan dan perasannya
(mengenai diri sendiri, masalah dan lingkungannya) yang salah sehingga
pasien dapat mengubah perilaku yang salah dengan cara mempelajari
keterampilan pengendalian diri dan strategi pemecahan masalah yang efektif.

VIII. PROGNOSIS

Ad vitam :Dubia et bonam

Ad Functionam :Dubiat et bonam

Ad sanationam :Dubia et bonam

 Faktor pendukung:
- Pasien tetap bekerja karena memiliki anak-anak yang harus dinafkahi

 Faktor Penghambat
- Ketidakpatuhan meminum obat dan tidak mau menerima nasehat dokter
- Hubungan dengan suami yang kurang baik.

IX. PEMBAHASAN DAN DISKUSI

32
Menurut WHO, depresi merupakan gangguan mental yang serius yang
ditandai dengan munculnya gejala penurunan mood, kehilangan minat terhadap
sesuatu, perasaan bersalah, gangguan tidur atau nafsu makan, kehilangan energi dan
penurunan konsentrasi. (World Health Organization, 2010). Episode depresi dapat
berdiri sendiri atau menjadi bagian dari gangguan bipolar. Jika berdiri sendiri
disebut depresi unipolar. Simtom terjadi sekurang-kurangnya dua minggu dan
terdapat perubahan dari derajat fungsi sebelumnya.

Menurut PPDGJ III pada pasien depresif harus menunjukkan gejala utama:

 Afek depresif (sedih, murung, lesu, menangis),

 kehilangan minat dan kegembiraan

 Berkurangnya energi sehingga mudah lelah dan aktivitas berkurang.

Gejala lainnya:

 Konsentrasi dan perhatian berkurang,

 Harga diri dan kepercayaan diri berkurang,

 Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna,

 Pandangan masa depan yang suram dan pesimis,

 Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri,

 Tidur terganggu,

 Nafsu makan berkurang

Berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, tapi periode yang lebih pendek


dapat di benarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan status mental pasien, didapatkan gejala-
gejala yang mengarah pada depresi, yaitu gejala utama dan gejala lainnya. Seperti
afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan karena sering merasa murung dan
banyak fikiran, berkurangnya energi sehingga mudah lelah, kepercayaan diri
berkurang, adanya gagasan rasa bersalah, rasa ingin bunuh diri, tidur terganggu,
nafsu makan berkurang. Sehingga menurut PPDGJ III, jika terdapat 3 gejala utama
dan minimal 4 gejala lainnya.dan tidak ditemukan hendaya berat dalam menilai

33
realita sehinggadapat di kategorikan ke dalam diagnosis Episode Depresif Berat
Tanpa Gejala Psikotik (F32.2)

Pemberian Alprazolam dosis 1 mg diberikan sebagai terapi kombinasi pada


pasien depresi dengan keluhan sulit tidur. Pemilihan alprazolam adalah karena obat
ini bekerja secara cepat dan mempunyai komponen efek antidepresan. Pemberian
fluoxetine pada pasien ini adalah sebagai terapi antidepresan. Pemilihan fluoxetine
sebagai terapi pasien ini adalah karena obat ini kurang menyebabkan antikolinergik,
hampir tidak menimbulkan sedasi sehingga efek sampingnya lebih ringan dan
fluoxetine memiliki masa kerja yang paling panjang (24-96 jam) diantara golongan
SSRI yang lain dan cukup diberikan sekali sehari.

F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik

Kriteria diagnostik

 Semua 3 gejala utama depresi harus ada


 Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa diantarnya
harus berintensitas berat
 Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang
mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk
melaporkan banyak gejala nya secara rinci, dalam hal demikian, penilaian
secara menyeluruh terhadap episode depresif berat masih dapat dibenarkan
 Episode depresif biasanya akan harus berlangsung sekurang-kurangnya 2
minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka
masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang
dari dua minggu
 Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas

Diagnosa banding dari gangguan depresi yaitu:


a) Gangguan mood disebabkan oleh kondisi medis umur
b) Gangguan mood diinduksi zat
c) Skizofrenia
d) Berduka
34
e) Gangguan kepribadian
f) Gangguan skizoafektif
g) Gangguan penyesuaian dengan mood depresi
h) Gangguan tidur primer

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Arozal W, Gan S. Psikotropik dalam Farmakologi dan Terapi edisi 5.


Jakarta:FKUI, 2007.
2. Kaplan and Saddock. Comprehensive Textbook Of Psychiatry. 7th Ed.
Lippincott Wiliams And Wilkins. Philadelphia, 2010.
3. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Jiwa. Jakarta, 2015.
4. Departemen Kesehatan RI, 1998. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ). Edisi III. Dirjen Pelayanan Medis RI.
Jakarta.
5. Haeba N. Pengaruh Terapi Kognitif Perilaku Untuk Mengurangi Depresi Pada
Pecandu Cybersex.Jurnal Intervensi Psikologi.2011;3(2):235

36
LAMPIRAN WAWANCARA AUTOANAMNESIS

DM : Dokter Muda

P : Pasien

DM : Assalamualaikum ibu, perkenalkan saya ghaisani, dokter muda yang sedang


bertugas hari ini. Tabe, siapa nama ta bu?

P : Ibu D

DM : berapa umur ta bu?

P : 40 tahun dok

DM : ibu sudah menikah?

P : iya sudah dok

DM : apa pekerjaan ta ibu?

P : Penjahit dok

DM : oiye bu. jadi apa keluhanta sampai kita datang ke poli berobat bu?

P : ini dok, sudah lama skali saya susah skali tertidur kalau malam

DM : sudah sejak kapan itu bu?

P : sudah lama dok

DM : tiap malam ibu susah tidur atau ada hari-hari tertentu?

P : hampir tiap malam dok, kalau saya tidak minum obat ku

DM : jadi kalau kita tidak minum obat ta nda bisa ki tidur sama sekali?

P : iya dok, kalau saya tidak minum sakit sekali kepalaku seperti mau pecah.

DM : apa lagi kita rasakan ibu klu kita tidak minum obat ta?

P : gelisah ka dok, pokoknya tidak enak ku rasa

37
DM : oh iya bu, bagaimana awal mulanya keluhan ta?

P : Awalnya 15 tahun yang lalu saya dinikahkan secara paksa oleh keluarga saya,
semenjak itu saya merasa sedih terus dan sering ka menangis.

DM : jadi semenjak 15 tahun yang lalu itu kita sedih terus sampe sekarang?

P : iye dok, mulai dari situ ndak enak mi perasaanku, mulai ma malas makan,
gelisah ka juga. Malas ma juga membersihkan rumah. Kayak tidak ada sama
sekali semangatku dok.

DM :Apa kegiatanta sehari-hari bu selain pekerjaan rumah?

P :Dulu saya penjahit dok tapi semenjak saya sakit nda ada mi bisa kukerja apalagi
kalau tidak tidurka, pasti lemas terus sy rasa.

DM :Jadi kita sekarang lebih sering tinggal dirumah bu?

P :Iya dok, apalagi kalo datang penyakitku takutka keluar rumah.

DM :Kalau dirumah seringki mondar-mandi bu?

P :Iya seringka biasa mondar-mandir, biasa juga dikamarka sendiri tidak bicara
sama keluargaku. Lebih senangka sendiri

DM :Oh iya bu, kalo nafsu makanta bagaimana?

P :Kalo minum obatka baikji makanku dok, tapi kalo malaska lagi minum obat
malas sekalika makan

DM :Ini berobat keberapa kalita di dadi bu?

P :Yang pertama dok, dulu saya pernah ke psikiater

DM :Jadi selama 15 tahun kita minum terus obatta bu?

P :Dulu sempat saya rasa membaikmka dok, jadi biasa kayak tidak enakpi lagi
perasaanku baru saya minum obat, selama itu tidak pernahjka ke dokter ituji resep nya
sy tebus terus dok. Kemudian baru baru ini nda bisa mka lagi tebus sudah di tolak
sama apotik. Jadi saya nda minum obat ku muncul mi lagi keluhanku

DM :Iya bu itu bisa jadi pemicu untuk kambuh lagi penyakitta.

DM :Waktuta lahir cukup bulanji bu?

38
P : iya cukup bulan dok

DM :ASI kita minum atau susu formula langsung?

P :ASI dok

DM :Tidak pernahjki sakit-sakit pas masih kecil

P :Pernahka cacar dok waktu umur 6 tahun

DM :Kalau jatuh atau kejang pernah bu?

P :Tidak pernah dok

DM :Pendidikan terakhirta apa bu?

P :SMA dok

DM :Baikji hubunganta sama teman-temanta dan keluarga?

P :Baikji dok

DM :Berapa bersaudaraki bu?

P : 9 dari 9 bersaudara

DM :Bisaki sebut dari kakak pertamata cewek atau cowok

P :anak pertama dan kedua cowo kemudian cewek lagi dua orang terus cowok lagi
bru cewek lagi baru cowok dua orang baru cewek terus cowok baru saya mi dok

DM :Ibu sudah punya anak?

P :Iya sudah, 3 dok cowok dua orang sama cewe 1.

DM :Kita tinggal sama siapa bu?

P :Sama suami dan 3 anakku dok

DM :Ada keluargata yang sama penyakitnya dengan kita sekarang bu?

P : Tidak ada dok

DM :Pernahki demam atau jatuh sebelumnya muncul ini penyakitta bu?

P :Dulu pernah paska kecil jatuh dari rumah ke halaman sampai tangga dibawah,
jadi dulu sempat dijahit kepalaku

39
DM :Selain itu ada penyakitta bu?

P : tidak ada dok

DM :Pernahki konsumsi rokok atau alkohol bu?

P :Tidak pernah dok.

DM :Iya bu. Ada lagi keluhan lainta?

P : itu saja dok

DM : oh iya sudah mi pade bu. makasih ya bu. Semoga cepat membaik keluhanta

P : iya dok makasih juga dok

40

Anda mungkin juga menyukai