REFERAT: PSIKOGERIATRI
DISUSUN OLEH:
Ghaisani Humairah
C014182068
RESIDEN PEMBIMBING:
dr. Devina
SUPERVISOR PEMBIMBING:
Dr. dr. Saidah Syamsuddin, Sp.KJ
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………. ii
REFERAT
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………. 1
2.1 Definisi..............................................................................................................3
A. Gangguan Demensia………………………………………………………3
B. Gangguan Depresi…………………………………………………………5
C. Delirium…………………………………………………………………...7
E. Skizofrenia………………………………………………………………... 8
F. Gangguan Waham………………………………………………………….9
G. Gangguan Kecemasan…………………………………………………….. 9
H. Gangguan Somatoform…………………………………………………….10
J. Gangguan Tidur……………………………………………………………..11
iii
K. Penyakit Parkinson…..……………………………………………………..12
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………….21
LAPORAN KASUS…………………………………………………………………22
LAMPIRAN
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Gejala psikiatri pada lanjut usia juga dapat disebabkan oleh obat-obatan. Gejala
itu dapat merupakan akibat perubahan absorbsi obat yang berhubungan dengan usia,
dosis obat yang terlalu besar, tidak mengikuti instruksi yang diberikan, sensitivitas
terhadap obat, dan adanya obat yang saling memiliki interaksi karena obat-obatan
tersebut diberikan oleh dokter yang berbeda.2
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Berikut beberapa gangguan mental yang sering ditemukan pada pasien lansia:
A. Gangguan Demensia
2. Demensia Vaskuler
Demensia vaskular dapat disebabkan oleh stroke yang multipel, iskemik otak
dan seringkali berhubungan dengan infark lakunar subkortikal pada substasia nigra
hemisfer otak. Demensia vaskular ditandai dengan sindrom demensia, tanda
neurological fokal seperti refleks tendon berlebihan, respons plantar ekstensor,
pseudobulbar palsy, gangguan cara berjalan, kelemahan ekstremitas, abnormalitas
pada pencitraan otak, adanya hubungan waktu antara kejadian penyakit
serebrovaskular dan adanya sindrom demensia. Pasien dengan demensia vaskular
memperlihatkan gangguan perilaku yang menyerupai pasien-pasien demensia
Alzheimer.2
4
4. Demensia YTT
Tatalaksana
1. Terapi Suportif
Berikan perawatan fisik yang baik misalnya pemberian nutrisi yang tepat,
berolahraga, dan supervisi dari aktivitas sehari-hari. Pertahankan pasien berada dalam
lingkungan yang sudah dikenalnya dengan baik. Bantulah mempertahankan rasa
percaya diri.12
2. Terapi Simtomatik
Haloperidol 0,5 mg oral 3 kali sehari untuk ansietas akut, ansietas non psikotik
diazepam 2mg oral 2 kali sehari, agitasi kronik bisa diberi SSRI yaitu fluoxetine 10-
20mg/hari dan untuk depresi pertimbangkan pemberian SSRI. Obat dapat membantu
dalam mengatasi agitasi dan gangguan perilaku. Propranolol, pindolol, buspiron dan
valproat dilaporkan membantu mengurangi agitasi dan agresi. Haloperidol dan obat
penghambat dopamin potensi tinggi lain digunakan untuk mengontrol gangguan
perilaku yang akut. Beberapa pasien demensia Alzheimer menunjukkan perbaikan
kognitif dan fungsi ketika diobati dengan tacrine atau donepezil.12
B. Gangguan Depresi
Gejala depresi terdapat pada 15% dari komunitas lanjut usia dan pasien di
rumah perawatan.2 Faktor risiko timbulnya gejala depresi pada lansia selain karena
faktor usia, adalah wanita (tak menikah dan janda), lebih banyak disabilitas fisik
(adanya penyakit fisik, ada gangguan kognitif atau demensia, problem tidur kronik
dan ansietas), status sosial ekonomi yang kurang, adanya kehilangan (pasangan atau
orang terdekat), stres kronik atau mengalami kehidupan yang penuh stresor,
kurangnya dukungan psikososial (loneliness/social isolation).6
Gangguan depresi ditandai oleh rasa lelah yang berkepanjangan dan sulit untuk
konsentrasi, gangguan tidur (terutama bangun pagi cepat dan bangun beberapa kali
saat tidur), nafsu makan berkurang, kehilangan berat badan, dan keluhan somatik.
Pasien usia lanjut yang mengalami depresi memperlihatkan gejala yang berbeda
5
dengan dewasa muda. Pasien lanjut usia yang mengalami depresi lebih banyak
memiliki keluhan somatik. Pasien usia lanjut juga lebih rentan terhadap episode
depresi berat dengan ciri melankolik, ditandai dengan adanya hipokondriasis, harga
diri yang rendah, perasaan tidak berharga, dan kecenderungan menyalahkan diri
sendiri (terutama tentang seks dan rasa berdosa), dengan ide paranoid dan bunuh diri.2
Gangguan depresi pada pasien lanjut usia sering diwarnai dengan gambaran
sebagai berikut:2
Bentuk gangguan depresi lain yang dapat dialami oleh pasien lanjut usia:2
a. Gangguan mood organik, yaitu pada penyakit fisik yang diderita oleh pasien secara
patofisiologi menyebabkan gangguan depresi. Penyakit fisik yang dapat menyebabkan
gangguan depresi organik adalah endokrin/metabolic, penyakit organik pada otak
seperti penyakit serebrovaskular, penyakit parkinson, penyakit Alzheimer, karsinoma
pankreas, paru-paru dan infeksi kronik: neurosifilis.
b. Depresi dapat menjadi bagian dari gangguan bipolar, walaupun awitan gangguan
bipolar umumnya terjadi pada usia muda. Apabila gangguan bipolar terjadi pada usia
lanjut maka seringkali berhubungan dengan penyakit otak organik.
c. Distimia merupakan gangguan mood yang kronik, dengan beberapa gejala depresi
namun tidak cukup untuk memenuhi kriteria gangguan depresi mayor, telah
berlangsung selama 2 tahun. Distimia merupakan faktor resiko terjadinya gangguan
depresi mayor.
C. Delirium 7
Delirium yang juga dikenal dengan sebutan acute confusional state adalah
sebuah gangguan yang umum, serius, tetapi secara potensial dapat dicegah. Delirium
merupakan sumber morbiditas dan mortalitas di antara pasien-pasien geriatri yang
dirawat. Delirium adalah sebuah sindrom neuropsikiatrik yang kompleks dengan
onset yang akut dan berfluktuasi. Sindrom ini mempengaruhi kesadaran dan fungsi
kognitif yang mungkin diikuti oleh peningkatan aktivitas psikomotor.
Pasien geriatri sangat erat dengan multipatologi organ, sehingga pada beberapa
kasus diperlukan medikasi dengan banyak obat. Hal ini merupakan faktor risiko
terjadinya delirium. Pemakaian obat-obatan memegang peranan penting terhadap
terjadinya delirium. Banyak obat yang dapat menyebabkan delirium, namun ada
beberapa obat misalnya benzodiazepine, narkotik, dan obat-obat dengan aktivitas
antikolinergik, yang mempunyai kecenderungan lebih untuk menyebabkan delirium.
Gejala delirium sangat beragam dan walaupun tidak spesifik, sifatnya yang
fluktuatif sangat nyata dan merupakan indikator diagnostik yang sangat penting.
Gangguan yang penting melibatkan suatu hendaya fungsi kognitif yang akut dan
meyeluruh uang mempengaruhi kesadaran, perhatian, memori dan kemampuan
pencernaan dan organisasi. Gangguan lain, misalnya pola tidur yang berubah,
gangguan proses pikir, afek, persepsi dan tingkat keaktifan.
Ada empat kriteria yang harus dipenuhi untuk menegakkan diagnosis delirium
berdasarkan DSM V:
7
3. Gangguan berlangsung dalam waktu yang singkat (biasanya jam sampai
beberapa hari) dan cenderung untuk berfluktuasi selama berlangsungnya.
D. Ganguan Bipolar I 2
Tanda dan gejala mania pada usia lanjut sama dengan tanda dan gejala pada
orang dewasa muda yaitu mood yang meningkat, ekspansif atau iritabel; penurunan
kebutuhan tidur; distraktibilitas; impulsivitas; seringkali didapatkan juga penggunaan
alkohol yang berlebihan. Pasien juga biasanya berperilaku hostile atau paranoid.
Klinisi harus mencurigai adanya faktor organik yang menjadi penyebab bila
didapatkan gangguan kognitif, disorientasi, atau tingkat keasadaran yang berfluktuasi.
Lithium tetap merupakan terapi pilihan untuk mania. Pemakaian litium pada
pasien usia lanjut harus dipantai dengan hati-hati, karena penurunan fungsi ginjal pada
lanjut usia toksisitas lithium akan lebih bermakna. Efek neurotoksik juga lebih sering
ditemukan pada lanjut usia dibandingkan pada dewasa muda.
E. Skizofrenia 2
Skizofrenia biasanya memiliki awitan pada masa remaja akhir atau masa
dewasa muda dengan perjalanan penyakit yang berkelanjutan. Skizofrenia dengan
awitan setelah usia 65 tahun jarang ditemukan. Namun tipe awitan lambat yang
dimulai setelah usia 45 tahun telah banyak dijelaskan. Perbedaan lain antara
skizofrenia awitan dini dan awitan lambat adalah tingginya prevalensi skizofrenia
paranoid pada tipe awitan lambat. Kira-kira 20% pasien skizofrenia tidak
menunjukkan gejala aktif pada usia 65 tahun sedangkan 80% menunjukkan gangguan
yang bervariasi. Psikopatologi menjadi kurang jelas saat pasien bertambah tua.
8
Gejala dan tandanya adalah penumpulan emosi, penarikan diri dari lingkungan
sosial, perilaku eksentrik, dan pikiran tidak logis. Waham dan halusinasi jarang
ditemukan. Sebagian besar pasien skizofrenia residual tidak mampu merawat dirinya
sendiri sehingga diperlukan perawatan di rumah sakit dalam waktu lama.
Pasien usia lanjut dengan gejala skizofrenia berespon baik terhadap obat
antipsikotik. Obat harus diberikan dengan hati-hati. Dosis yang lebih rendah dari
biasanya seringkali efektif pada pasien usia lanjut.
F. Gangguan Waham 2
Usia awitan gangguan waham biasanya antara usia 40 dan 55 tahun, namun
gangguan ini dapat terjadi kapan saja dalam periode usia lanjut. Bentuk waham dapat
bervariasi dan yang paling sering ditemukan adalah waham kejar dimana pasien yakin
bahwa mereka sedang dimata-matai. Pasien dengan gangguan waham akan
menunjukkan kekerasan terhadap orang yang ia curigai mengikutinya. Pada beberapa
kasus mereka mengunci dirinya sendiri di kamar dan hidup terkurung. Pada usia
lanjut juga sering ditemukan waham somatik, dimana pasien yakin bahwa mereka
menderita penyakit yang mematikan. Pada suatu penelitian terhadap individu yang
berusia lebih dari 65 tahun, ditemukan ide kejar pervasif pada 4% dari jumlah sampel.
Gangguan waham terjadi karena stres fisik atau psikologis pada orang yang
rentan dan mungkin dicetuskan oleh kematian pasangan, kehilangan pekerjaan,
pensiun, isolasi sosial, masalah keuangan, penyakit medis atau pembedahan yang
menimbulkan kecacatan, gangguan penglihatan dan tuli.
G. Gangguan Kecemasan 2
9
pada individu usia lanjut tidak seberat tanda dan gejala yang terjadi pada orang muda,
namun efek yang ditimbulkan sama.
Obsesi dan kompulsi dapat muncul untuk pertama kalinya pada individu usia
lanjut, walaupun kebanyakan pasien usia lanjut dengan gangguan obsesif kompulsif
sudah menunjukkan gangguan (contohnya teratur, perfeksionis, dan kikir) ketika
masih muda. Pasien menjadi berlebihan dalam ketertiban, ritual, dan kesamaan.
Mereka menjadi kaku dan tidak fleksibel serta memiliki kompulsi untuk memeriksa
suatu hal berulang kali..
H. Gangguan Somatoform 2
Gangguan somatoform, ditandai oleh gejala fisik yang mirip dengan penyakit
medis. Gangguan somatoform relevan dengan psikiatri geriatri karena keluhan
somatik seringkali terjadi pada pasien usia lanjut. Lebih dari 80% orang dengan usia
lebih dari 65 tahun setidaknya memiliki satu penyakit kronis. Penyakit kronis yang
biasa diderita oleh pasien usia lanjut adalah artritis atau gangguan kardiovaskular.
Setelah usia 75 tahun, 20% individu usia lanjut menderita diabetes.
Terapis yang meyakinkan pasien bahwa gejala mereka adalah suatu khayalan
merupakan cara yang tidak produktif dan biasanya menimbulkan kemarahan. Terapis
seharusnya menganggap keluhan itu nyata, nyeri yang dirasakan ebnar-benar ada dan
10
dirasakan oleh pasien tersebut, dan pendekatan psikologis dan farmakologis untuk
gangguan tersebut diindikasikan.
Prevalensi gangguan alkohol dan zat lain kira-kira 10 persen dari semua
gangguan emosional pada usia lanjut. Ketergantungan zat seperti hipnotik, ansiolitik
dan anrkotik pada usia lanjut sebenarnya lebih banyak daripada data yang sudah ada.
Pasien usia lanjut mungkin menyalahgunakan ansiolitik untuk mengatasi kecemasan
kronis atau untuk mengatasi gangguan tidur.
Gambaran klinis pasien usia lanjut dengan gangguan penggunaan alkohol dan
zat lain bervariasi. Gambaran klinis dapat berupa kebingungan, perawatan diri yang
buruk, depresi, malnutrisi, dan efek pemaparan dan risiko terjatuh. Awitan delirium
yang tiba-tiba pada pasien usia lanjut yang dirawat dengan penyakit medis paling
sering disebabkan oleh putus alkohol.
J. Gangguan Tidur 2
Data menunjukkan bahwa sebagian besar pasien usia lanjut lebih banyak
mengalami terbangun dini hari dibandingkan gangguan untuk jatuh tidur. Ketika
terapi mereepkan obat sedatif-hipnotik pada pasien usia lanjut, maka pasien harus
dimonitor akan adanya efek kognitif, perilaku, atau psikomotor yang tidak diinginkan,
termasuk gangguan daya ingat (amnesia anterograd), menarik diri pada siang hari
(daytime withdrawal), dan gaya berjalan yang tidak stabil.
Perubahan struktur tidur pada pasien berusia lebih dari 65 tahun melibatkan
tidur REM dan tidur Non-REM (non rapid eye movement). Perubahan REM meliputi
episode REM lebih banyak dan lebih pendek sehingga tidur REM total lebih sedikit.
Perubahan Non REM menyebabkan presentasi tidur stadium 3 dan 4 lebih rendah, dan
persentasi tidur stadium 1 dan 2 lebih tinggi. Individu usia lanjut mengalami terjaga
lebih banyak setelah awitan tidur.
K. Penyakit Parkinson 2
Penyakit Parkinson ditandai oleh tremor, rigiditas dan akinesia, tidak ada
penyebab yang mendasarinya. Gejala depresi sering ditemui pada 50% pasien
Parkinson walaupun gangguan depresi mayor jarang ditemukan. Depresi pada
umumnya terjadi pada pasien Parkinson dengan bentuk akinetik yang rigid dan pada
pasien dengan penurunan kognitif. Anxietas juga dapat terjadi pada penyakit
Parkinson dengan atau tanpa adanya depresi. Terapi dopaminergik pada pasien
Parkinson dapat menyebabkan timbulnya halusinasi.
Individu usia lanjut berisiko lebih besar untuk bunuh diri dibandingkan
populasi lain. Angka bunuh diri pada kulit putih berusia lebih dari 65 adalah 5 kali
lebih tinggi daripada populasi umum. Sepertiga dari individu usia lanjut mengatakan
12
rasa kesepian sebagai alasan utama memutuskan bunuh diri. Hampir 10% individu
usia lanjut dengan ide bunuh diri mengatakan adanya masalah keuangan, kesehatan
medis yang buruk, atau depresi sebagai alasan pikirian bunuh diri. Korban bunuh
diri secara demografis berbeda dari individu yang mencoba bunuh diri. Enam puluh
persen individu yang melakukan bunuh diri adalah laki-laki sedangkan 75% dari
yang mencoba bunuh diri adalah wanita. Korban bunuh diri kebanyakan
menggunakan senjata atau menggantung diri mereka sedangkan 70% pelaku
percobaan bunuh diri menggunakan obat secara overdosis, dan 20% memotong atau
mengiris tubuh mereka. Penelitian autopsi psikologis mengatakan bahwa
kebanyakan pasien usia lanjut yang melakukan bunuh diri memiliki gangguan jiwa,
dan yang paling sering depresi. Gangguan jiwa yang diderita oleh korban bunuh diri
seringkali tidak mendapat perhatian medis atau psikiatri. Korban bunuh diri pada
usia lanjut kebanyakan adalah janda, ada riwayat berpisah atau bercerai pada
pasangannya. Metode kekerasan yang dilakukan saat bunuh diri lebih sering terjadi
pada usia lanjut sedangkan penggunaan alkohol dan riwayat psikiatrik muncul lebih
jarang. Presipitasi bunuh diri yang paling sering pada usia lanjut adalah penyakit
fisik dan kehilangan pasangan atau anak. Kebanyakan individu usia lanjut yang
melakukan bunuh diri akan memberitahu pikiran bunuh diri mereka kepada keluarga
atau teman sebelum melakukan bunuh diri.
Pasien usia lanjut dengan penyakit medis berat atau baru kehilangan harus
dievaluasi ada tidaknya gejala depresi dan rencana atau ide bunuh diri. Pikiran dan
fantasi tentang arti bunuh diri dan kehidupan setelah kematian mungkin memberi
informasi bila pasien tidak dapat menceritakan secara langsung.
Tujuan utama pada terapi farmakologi pada pasien usia lanjut adalah untuk
meningkatkan kualitas hidup, agar tetap berfungsi dalam komunitas serta
menghambat atau mencegah perawatan di institusi. Penyesuaian dosis secara individu
merupakan prinsip dasar dari psikofarmakologi geriatri. Penyesuaian dosis obat-
obatan diperlukan karena perubahan fisiologis yang timbul akibat proses penuaan.
Penyakit ginjal mengakibatkan penurunan kemampuan clearamce dari ginjal,
penyakit hati menyebabkan penurunan kemampuan metabolisme obat, penyakit
kardiovaskular dan penurunan curah jantung dapat mempengaruhi kemampuan
13
clearance dari ginjal dan hati, dan penyakit gastrointestinal serta penurunan sekresi
asam lambung dapat mempengaruhi absropsi obat. Pada prinsipnya, dosis obat harus
dimulai dari dosis paling rendah untuk mendapatkan respons terapeutik yang
diharapkan. Klinisi harus mengetahui farmakodinamik, farmakokinetik dan
biotransformasi dari setiap obat yang diresepkan dan interaksi obat-obat yang
diminum pasien. Obat-obat yang digunakan antara lain:
1. Antidepresan Trisiklik 2
Obat-obat ini memiliki efek anti-kolinergik dan sedatif yang lebih rendah
dibandingkan dengan golongan amin tertier amitriptilin, doxepin dan imipramin.
Konsentrasi plasma dari obat-obat antidepresan yang diperlukan dalam pengobatan
pasien usia lanjut yang mengalami depresi adalah sama dengan yang dibutuhkan oleh
dewasa muda. Medikasi trisiklik memiliki efek anti-kolinergik sehingga obat-obatan
tersebut harus dihindari pada pasien dengan pembesaran prostat atau glaukoma.
Dosis dari SSRIs harus ditingkatkan secara perlahan-lahan. Dosis harian awal
yang dapat diberikan adalah fluoxetine 5-10 mg, paroxetine 5-10 mg, sertraline 25 mg
dan citalopram 10 mg. Untuk kebanyakan pasien, dosis harian fluoxetine 20 mg,
paroxetine 20 mg, sertraline 75 mg dan citalopram 20-30 mg cukup untuk digunakan,
meski beberapa perlu menggunakan dosis lebih tinggi. SSRI memiliki efek samping
jantung lebih sedikit dibandingkan dengan obat antidepresan trisiklik dan sering
digunakan sebagai obat pilihan pertama, khususnya pada pasien dengan depresi
ringan non melankolik atau pasien dengan penyakit jantung. Efek samping yang
paling sering dari SSRIs adalah insomnia, akathisia, nausea, anorexia. Interaksi obat-
obatan haruslah dipertimbangkan pada pasien usia lanjut yang mendapatkan SSRIs.
3. MAO Inhibitors 2
14
Monoamine Oksidase Inhibitors (MAOIs) efektif pada pasien dengan depresi
mayor, obat ini juga efektif pada pasien depresi dengan serangan panik. MAOIs dosis
rendah contohnya, phenelzine (Nardil) 30-45 mg sehari atau tranylcypromine
(Parnate) 20-30 mg sehari, harus digunakan pada pasien usia lanjut. Hipotensi
orthostatik adalah efek samping MAOIs yang paling sering. Efek samping ini amat
penting untuk diperhatikan pada pasien usia lanjut karena dapat menyebabkan pasien
jatuh dan mengalami fraktur, khususnya fraktur pinggul atau humerus. Efek samping
lain meliputi peningkatan berat badan, kurangnya energi dan insomnia.
4. Antimanik 2
Penggunaan lithium pada lanjut usia harus hati-hati karena banyaknya kejadian
morbiditas yang berkaitan dengan usia dan perubahan fisiologis pada jantung, tiroid
dan ginjal. Lithium diekskresi oleh ginjal dan penurunan clearamce pada ginjal serta
penyakit ginjal akan meningkatkan risiko toksisitas. Lithium dapat menyebabkan efek
pada Susunan Saraf Pusat, karena faktor tersebut maka pemantauan secara rutin pada
kadar lithium direkomendasikan. Sebagai tambahan, harus dilakukan pemeriksaan
fungsi jantung, ginjal dan tiroid sebelum memulai terapi. Dosis obat-obatan yang
digunakan pada Geriatri yang menderita gangguan bipolar tipe I dapat dilihat pada
tabel dibawah ini:
5. Antipsikotik 2
15
membuatnya tidak dapat berbicara, bergerak dan menelan. Obat dengan dosis yang
sama tidak mengakibatkan efek samping tersebut.
Pasien usia lanjut dengan kecemasan ringan atau sedang akan berespon baik
terhadap anxiolitik, dimana penggunaan benzodiazepin paling sering digunakan.
Kebanyakan pasien mendapatkan pengobatan dalam waktu singkat namun ada juga
yang membutuhkan dosis kecil sebagai rumatan bahkan ada yang membutuhkan
pengobatan jangka panjang. Penggunaan benzodiazepin jangka panjang menjadi
kontroversial karena menjadi risiko untuk penyalahgunaan, oleh karena itu
benzodiazepin dengan waktu paruh pendek atau menengah menjadi pilihan.
Benzodiazepin juga mempengaruhi fungsi memori dalam waktu singkat, mislanya
amnesia retrograd. Pada pasien usia lanjut apabila diberikan benzodiazepin dengan
waktu paruh yang panjang (seperti diazepam-valium) maka akan terjadi akumulasi di
jaringan lemaknya, sehingga mengakibatkan peningkatan efek samping seperti
ataksia, insomnia dan konfusi (sindrom sundowner). Buspiron merupakan obat
anxiolitik tanpa efek sedatif. Buspiron memiliki waktu awitan yang lama kurang lebih
3 minggu, dan tidak menyebabkan penurunan fungsi kognitif. Jadi buspiron tidak
memiliki potensial untuk disalahgunakan.
16
ECT dapat menjadi terapi pilihan yang efektif dengan risiko komplikasi yang
rendah bagi pasien usia lanjut dengan komorbiditas kondisi medis yang dapat terjadi
seperti penyakit yang disebabkan oleh obat atau interaksi obat. ECT dapat
menimbulkan efek yang cepat, dimana hal ini sangat penting bagi pasien dengan
penyakit serius, yang berisiko untuk terjadinya malnutrisi atau agitas yang berkaitan
dengan kondisi medik umum, dan yang memiliki risiko tinggi untuk bunuh diri.
Penggunaan anestesi umum dan medikasi untuk mencegah kejang muskuloskeletal
mengubah prosedur ECT, yang saat ini dibuktikan aman namun tidak lebih aman,
namun bila tidak maka medikasi dapat digunakan.
1. Psikoterapi Suportif
17
Pasien usia lanjut yang mengalami gangguan fungsi kognitif, menderita
penyakit kronik, dirawat di rumah sakit, membutuhkan psikoterapi suportif untuk
membantunya menemukan mekanisme pertahanan yang lebih sehat, ventilasi dan
nasehat serta menolongnya untuk menerima keterbatasan kapasitasnya, serta
kebutuhan ketergantungan yang besar. Sebagai tambahan, mereka membutuhkan
perhatian, lingkungan yang hangat dan anggota keluarga yang dapat bertindak
sebagai pelaku rawat.2
18
b) Monitor perasaan: membantu pasien untuk mengenali hubungan antara
kegiatan yang ia lakukan dengan perasaan yang muncul ketika
melakukannya. Sehingga, pasien dapat mengetahui kegiatan apa saja yang
dapat membuat perasaannya menjadi positif dan negatif.
Pendekatan dasar terapi berorientasi tilikan untuk pasien usia lanjut dengan
fungsi fisik dan kognitif yang utuh, secara garis besar sama dengan pasien yang
berusia lebih muda. Namun, tema-tema didalam terapi untuk pasien usia lanjut lebih
berfokus pada masalah kehilangan, penurunan fisik, dan fungsi seks, akumulasi
trauma, takut akan nyeri dan kecacatan, penurunan rasa harga diri dan
meningkatnya ketergantungan.2 Terapi jenis ini dapat membantu pasien mengerti
penyebab dari gangguan psikologisnya dan juga membantu pasien dalam mencari
cara yang sehat untuk menghadapi stimulus yang dapat menyebabkan gangguan
psikologis.19
19
BAB III
KESIMPULAN
Sebanyak 15% dari orang dewasa yang berusia lebih dari sama dengan 60 tahun
mengalami gangguan mental dan 6.6% dari gangguan ini dapat menyebabkan
disabilitas. Gangguan pada kesehatan mental emosional dapat menyebabkan dampak
bagi lansia, antara lain dapat menurunkan kemampuan lansia dalam melakukan
aktivitas sehari-hari, menurunkan kemandirian dan juga kualitas hidup lansia.
Gangguan mental yang paling sering terjadi pada lansia yaitu demensia,
depresi, delirium, bipolar, skizofrenia, gangguan waham, gangguan kecemasan,
gangguan somatoform, gangguan akibat penyalahgunaan alkohol dan zat lain, dan
juga gangguan tidur. Beberapa faktor resiko psikososial juga merupakan faktor
predisposisi lanjut usia terhadap gangguan mental, antara lain kehilangan peran sosial,
kehilangan autonomi, kematian teman dan saudara, penurunan kesehatan, isolasi,
keterbatasan keuangan dan penurunan fungsi kognitif.
Tujuan terapi pengobatan pada pasien usia lanjut adalah untuk meningkatkan
kualitas hidup, agar tetap berfungsi dalam komunitas serta menghambat atau
mencegah perawatan di institusi. Namun, kita tidak dapat serta merta memberikan
terapi farmakologi kepada pasien lanjut usia dikarenakan pada usia ini sangat erat
dengan multipatologi organ, sehingga perlu dipertimbangkan penggunaan beberapa
obat, seperti obat-obat trisiklik dan tetrasiklik yang memiliki efek cardiotoksik yang
harus digunakan secara hati-hati pada pasien dengan penyakit jantung iskemik.
20
DAFTAR PUSTAKA
2. Elvira, Sylvia D & Hadisukanto, Gitayanti. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI, 2013 : 461-487 p.
4. Gambin G, Molzahn A, Fuhrmann AC, Morais EP, Paskulin LMG. Quality of Life
of Older Adults in Rural Southern Brazil. Rural and Remote Health 15:
3300,2015. http://www/rrh/org/au/publishedarticles/article_print_3300.pdf.
5. Tomb, David A. Buku Saku Psikiatri. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,
2004.
6. Maramis M. Depresi pada Lanjut Usia. Surabaya: Jurnal Widya Medika. 2014;
2(1).
9. Kaplan HI, Sadock BJ, Greb JA. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku
PsikiatriKlinis. Tangerang. Indonesia : Binapura Aksara, 2010.
10. Gibson D. Evaluation and treatment of the psychogeriatric patient. 3rd rev.
Binghamton: Routledge, 2011. 79p.
11. Muslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa. In: PPDGJ III dan DSM V. Jakarta: Bagian
Ilmu Kesehatan Jiwa FK-Unika Atmajaya, 2013. 22–4 p.
12. Elvira S. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2010. 494–504 p.
LAPORAN KASUS
21
Episode Depresi berat tanpa gejala psikotik (F32.2)
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. D
Agama : Islam
Suku : Bugis
Pekerjaan : Penjahit
LAPORAN PSIKIATRIK
Diperoleh dari catatan medis dan autoanamnesis dari pasien itu sendiri.
22
I. RIWAYAT PSIKIATRI
1. Keluhan Utama
Sulit tidur
b) Hendaya/disfungsi
Hendaya dalam bidang sosial ada
23
Hendaya dalam bidang pekerjaan ada
Hendaya dalam waktu senggang ada
24
c) Riwayat Kanak Pertengahan (3-11 tahun)
Pada usia 6 tahun pasien masuk SD dan memiliki prestasi yang cukup baik.
Pasien dapat bergaul dengan baik dengan temannya. Pasien tinggal bersama ibu
dan ayahnya, pasien mendapatkan perhatian serta kasih sayang yang cukup dari
kedua orang tuanya.
d) Riwayat Kanak Akhir dan Remaja (12-18 tahun)
Pasien melanjutkan sekolahnya sampai jenjang SMA
e) Riwayat Masa Dewasa
Riwayat Pendidikan: Pendidikan terakhir pasien adalah SMA
Riwayat Pekerjaan: Penjahit
Riwayat Pernikahan: Pasien dinikahkan secara paksa oleh keluarganya,
hubungan pasien dengan suami tidak terjalin baik hingga saat ini dan pasien
merasa tertekan. Pasien telah dikaruniai 3 anak.
Riwayat Kehidupan Beragama: Pasien memeluk agama Islam dan
menjalankan kewajiban agama dengan baik.
5. Riwayat kehidupan keluarga:
Pasien merupakan anak ke 9 dari sembilan bersaudara
(♂,♀,♂,♂,♀,♀,♂,♂,♀)
Hubungan dengan anggota keluarga baik kecuali dengan suaminya dimana
ssuaminya jarang pulang kerumah. Pasien tinggal bersama suami dan 3 orang
anak.
Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga pasien tidak ada.
GENOGRAM
: Pasien
25
: Perempuan : Tinggal serumah
6. Situasi sekarang:
Saat ini pasien tinggal bersama suami dan 3 orang anaknya. Ketiga orang
anaknya belum ada yang menikah. Hubungan dengan anak-anaknya baik tetapi
hubungan dengan suaminya kurang baik. Pasien sudah jarang bergaul dengan
teman dan tetangga sekitar.
7. Persepsi pasien tentang diri dan kehidupannya:
Pasien merasa menderita karena sakit kepala dan sulit tidur yang dirasakan,
pasien sering merasa ingin bunuh diri dan tidak punya semangat hidup. Pasien
menyadari dirinya sakit dan ingin sembuh.
26
Orang : Baik
Tempat : Baik
4. Daya ingat :
Jangka panjang : Baik
Jangka pendek : Baik
Jangka segera : Baik
5. Pikiran abstrak : Baik
6. Bakat kreatif : Tidak ada
7. Kemampuan menolong diri sendiri: Baik
D. Gangguan Persepsi:
1. Halusinasi : Tidak ada
2. Ilusi : Tidak ada
3. Depersonalisasi : Tidak ada
4. Derealisasi : Tidak ada
E. Proses Berpikir:
1. Arus pikiran:
Produktivitas : Cukup
Kontinuitas : Relevan dan koheren
Hendaya berbahasa : Tidak ada hendaya dalam berbahasa
2. Isi pikiran:
Preokupasi : Memikirkan masalah rumah tangganya dimana
hubungan dengan suaminya kurang baik hingga saat ini.
Gangguan isi pikiran : Tidak ada
F. Pengendalian impuls : Baik
G. Daya nilai:
Norma sosial : Baik
Uji daya nilai : Baik
Penilaian realitas : Baik
H. Tilikan (insight)
Pasien menyadari penyakitnya dan faktor yang berhubungan dengan
penyakitnya namun tidak menerapkan dalam perilaku praktisnya (Tilikan 5)
I. Taraf dipercaya : Dapat dipercaya
27
III. PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGI
1. Status Internus
a. Keadaan umum : Baik
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Tanda vital
- Tekanan darah : 140/90 mmHg
- Nadi : 95x/menit
- Suhu : 36.7°C
- Pernapasan :24x/menit
konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterus, jantung, paru dan abdomen
dalam batas normal, ekstremitas atas dan bawah tidak ada kelainan.
2. Status Neurologi
a. GCS : E4M6V5
b. Tanda rangsang meninges : tidak dilakukan
c. Pupil : bulat, isokor, diameter 2.5 mm/2.5 mm
d. Nervus kranialis : dalam batas normal
e. Sistem saraf motorik dan sensorik dalam batas normal
f. Tidak ditemukan tanda bermakna dari pemeriksaan neurologis
Seorang pasien perempuan umur 40 tahun datang ke Poli RSKD Dadi untuk
pertama kalinya dibawa oleh saudara sepupunya dengan keluhan utama sulit tidur.
Pasien tidak bisa memulai tidur jika tidak minum obat Alprazolam 1 mg 3 biji Jika,
pasien tidak meminum obatnya pasien merasa tidak tenang dan jalan mondar-
mandir, menangis, nyeri ulu hati, tengkuk tegang, sesak seperti ingin lepas nyawa.
Pasien pernah ingin mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, tidak ada semangat
hidup karena putus asa memikirkan keadaan nya sekarang yang tidak bisa
melakukan kegiatan seperti biasanya. Pasien selalu merasa lemas di pagi hari
sehingga tidak ada kegiatan dan tidak bisa berkonsentrasi untuk melakukan
pekerjaannya.
28
Pasien dinikahkan secara paksa dan hingga sekarang pasien masih memikirkan
hubungan dengan suaminya yang kurang baik dan suaminya jarang pulang ke
rumah sehingga pasien selalu merasa sedih dan lebih banyak menangis menangis.
Pasien juga merasa tidak nafsu makan, meraskan sakit kepala sampai seperti ingin
pecah. Pasien tidak teratur minum obat dan terus menerus minum obat Alprazolam
hingga 3 biji sekali minum. Pasien terus memikirkan hubungan dengan suaminya
sehingga keluhan sulit tidur terus datang dan pasien harus meminum obat
Alprazolam dan juga pasien sering mengkonsumsi obat paramex untuk meredakan
sakit kepalanya yang diminum bersamaan.
Pasien bekerja sebagai Penjahit, Pasien tinggal bersama suami dan 3 orang anak.
Pasien memiliki 3 orang anak, 3 orang anaknya belum ada yang menikah.
Hubungan dengan suami dan anak-anaknya baik. Keduanya dibiayai oleh suami
pasien. Pasien sudah jarang bergaul dengan teman dan tetangga sekitar.
Tampak perempuan memakai baju coklat dan celana warna hitam berbahan
kain dan jilbab hitam. wajah tampak sesuai usia, Perawakan sedang, dan perawatan
diri cukup. Mood depresif, afek depresif, empati dapat dirabarasakan. Isi pikiran,
preokupasi: Memikirkan masalah keluarga yaitu hubungan dengan suaminya yang
kurang baik hingga saat ini.
V. EVALUASI MULTIAKSIAL
Aksis I:
Diagnosis Banding
30
menghilangkan gejala depresi yang dikeluhkannya sehingga diagnosis ini
disingkirkan.
Axis II
Berdasarkan informasi yang didapatkan, data yang diperoleh belum cukup
untuk diarahkan ke salah satu ciri khas kepribadian. Pasien cenderung
pendiam.
Axis III
Hipertensi
Axis IV
Masalah family support group (suami)
Axis V
Sosiologik:
Ditemukan adanya hendaya ringan dalam penggunaan waktu senggang,
hubungan social dan pekerjaan maka membutuhkan sosioterapi.
31
- Ventilasi : Memberi kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan isi
hati dan keinginannya sehingga pasien merasa lega.
- Konseling :Memberikan penjelasan dan pengertian kepada pasien tentang
penyakitnya agar pasien memahami kondisi dirinya, dan memahami cara
menghadapinya, serta memotivasi pasien agar tetap minum obat secara
teratur.
Sosioterapi:
Memberikan penjelasan kepada pasien, keluarga pasien dan orang terdekat
pasien tentang keadaan pasien agar tercipta dukungan sosial sehingga
membantu proses penyembuhan pasien sendiri.
VIII. PROGNOSIS
Faktor pendukung:
- Pasien tetap bekerja karena memiliki anak-anak yang harus dinafkahi
Faktor Penghambat
- Ketidakpatuhan meminum obat dan tidak mau menerima nasehat dokter
- Hubungan dengan suami yang kurang baik.
32
Menurut WHO, depresi merupakan gangguan mental yang serius yang
ditandai dengan munculnya gejala penurunan mood, kehilangan minat terhadap
sesuatu, perasaan bersalah, gangguan tidur atau nafsu makan, kehilangan energi dan
penurunan konsentrasi. (World Health Organization, 2010). Episode depresi dapat
berdiri sendiri atau menjadi bagian dari gangguan bipolar. Jika berdiri sendiri
disebut depresi unipolar. Simtom terjadi sekurang-kurangnya dua minggu dan
terdapat perubahan dari derajat fungsi sebelumnya.
Menurut PPDGJ III pada pasien depresif harus menunjukkan gejala utama:
Gejala lainnya:
Tidur terganggu,
33
realita sehinggadapat di kategorikan ke dalam diagnosis Episode Depresif Berat
Tanpa Gejala Psikotik (F32.2)
Kriteria diagnostik
35
DAFTAR PUSTAKA
36
LAMPIRAN WAWANCARA AUTOANAMNESIS
DM : Dokter Muda
P : Pasien
P : Ibu D
P : 40 tahun dok
P : Penjahit dok
DM : oiye bu. jadi apa keluhanta sampai kita datang ke poli berobat bu?
P : ini dok, sudah lama skali saya susah skali tertidur kalau malam
DM : jadi kalau kita tidak minum obat ta nda bisa ki tidur sama sekali?
P : iya dok, kalau saya tidak minum sakit sekali kepalaku seperti mau pecah.
DM : apa lagi kita rasakan ibu klu kita tidak minum obat ta?
37
DM : oh iya bu, bagaimana awal mulanya keluhan ta?
P : Awalnya 15 tahun yang lalu saya dinikahkan secara paksa oleh keluarga saya,
semenjak itu saya merasa sedih terus dan sering ka menangis.
DM : jadi semenjak 15 tahun yang lalu itu kita sedih terus sampe sekarang?
P : iye dok, mulai dari situ ndak enak mi perasaanku, mulai ma malas makan,
gelisah ka juga. Malas ma juga membersihkan rumah. Kayak tidak ada sama
sekali semangatku dok.
P :Dulu saya penjahit dok tapi semenjak saya sakit nda ada mi bisa kukerja apalagi
kalau tidak tidurka, pasti lemas terus sy rasa.
P :Iya seringka biasa mondar-mandir, biasa juga dikamarka sendiri tidak bicara
sama keluargaku. Lebih senangka sendiri
P :Kalo minum obatka baikji makanku dok, tapi kalo malaska lagi minum obat
malas sekalika makan
P :Dulu sempat saya rasa membaikmka dok, jadi biasa kayak tidak enakpi lagi
perasaanku baru saya minum obat, selama itu tidak pernahjka ke dokter ituji resep nya
sy tebus terus dok. Kemudian baru baru ini nda bisa mka lagi tebus sudah di tolak
sama apotik. Jadi saya nda minum obat ku muncul mi lagi keluhanku
38
P : iya cukup bulan dok
P :ASI dok
P :SMA dok
P :Baikji dok
P : 9 dari 9 bersaudara
P :anak pertama dan kedua cowo kemudian cewek lagi dua orang terus cowok lagi
bru cewek lagi baru cowok dua orang baru cewek terus cowok baru saya mi dok
P :Dulu pernah paska kecil jatuh dari rumah ke halaman sampai tangga dibawah,
jadi dulu sempat dijahit kepalaku
39
DM :Selain itu ada penyakitta bu?
DM : oh iya sudah mi pade bu. makasih ya bu. Semoga cepat membaik keluhanta
40