Anda di halaman 1dari 20

Kesenjangan Perekonomian Dampak COVID-19 terhadap pelepasan sitokin

yang mempengaruhi dopamine

Muhammad Rizki Fazrian Danu1), Ami Dhania Rovi Simanjuntak2), Daffa


Ananda Azhar3).
1
Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Malikussaleh,
email: fajarcardova@gmail.com
2
Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Malikussaleh,
email: amidhania00@gmail.com
3
Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Malikussaleh,
email: daffaanandaazhar@gmail.com

ABSTRAK

ABSTRACT

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Corona Virus Disease-19 (Covid-19) merupakan penyakit yang ditemukan pada
akhir Desember tahun 2019. Di awal tahun 2020, dunia digemparkan dengan
merebaknya kasus coronavirus jenis baru (SARS-CoV-2) dengan nama
penyakitnya Coronavirus disease 2019 (COVID-19). Asal muasal virus ini
diketahui berasal dari Wuhan, Tiongkok yang ditemukan pada akhir Desember.
(Data WHO, 1 Maret 2020) (PSPI, 2020).
Pada mulanya transmisi virus ini belum dapat ditentukan apakah dapat melalui
manusia-manusia. Jumlah kasus terus bertambah seiring dengan waktu. Selain itu,
terdapat kasus 15 petugas medis terinfeksi oleh salah satu pasien. Salah satu
pasien tersebut dicurigai kasus “super spreader”. (Channel News Asia, 2020).
Akhirnya dikonfirmasi bahwa transmisi pneumonia ini dapat menular dari
manusia-manusa (Relman, 2020). Sampai saat ini virus dengan cepat menyebar
masih misterius dan penelitian masih terus berlanjut. Berdasarkan Kementerian
Kesehatan Indonesia, perkembangan kasus COVID-19 di Wuhan berawal pada
tanggal 30 Desember 2019 dimana Wuhan Municipal Health Committee
mengeluarkan pernyataan “urgent notice on the treatment of pneumonia of
unknown cause”.
Penyebaran virus Corona ini sangat cepat bahkan sampai ke lintas negara.
Sampai saat ini terdapat 188 negara yang mengkorfirmasi terkena virus Corona.
Penyebaran virus Corona yang telah meluas ke berbagai belahan dunia membawa
dampak pada perekonomian Indonesia, baik dari sisi perdagangan, investasi dan
pariwisata. Dampak perekonomian tersebut mengakibatkan sinyal awal pemulihan
ekonomi global di akhir tahun 2019 tertahan. Ekonomi menjadi salah satu faktor
penting dalam kehidupan manusia. Dapat dipastikan dalam keseharian kehidupan
manusia selalu bersinggungan dengan kebutuhan ekonomi. Kebutuhan ekonomi
tersebut didapatkan dari penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan. Beberapa

2
masyarakat kehilangan pekerjaan di masa pandemi Covid-19. Kehilangan
pekerjaan tersebut dikarenakan pemerintahan dan perusahaan-perusahaan
mengambil keputusan akibat dari peningkatan jumlah pasien covid-19 yang
berkembang pesat. Semakin meningkatnya jumlah pasien yang diakibatkan
Covid-19 ini membuat pemerintah Indonesia mengeluaran berbagai kebijakan
untuk dapat menyelesaikan kasus Covid-19, salah satunya adalah dengan
mensosialisasikan gerakan social distancing atau tagar dirumahaja. Hal ini
dilakukan untuk dapat mengurangi bahkan memutus rantai infeksi Covid-19
dengan cara menjaga jarak aman dengan manusia lainnya minimal 2 meter, serta
tidak melakukan kontak langsung dengan orang lain.
Dengan adanya pendemi Covid-19 ini mau tidak mau beberapa perusahaan
mengurangi jumlah pekerja atau karyawan sehingga terjadi PHK terhadap
karyawan. PHK bagi karyawan mengakibatkan penghasilan ekonomi keluarga
berkurang. Berkurangnya penghasilan tersebut mengakibatkan kebutuhan hidup
tidak dapat terealisasikan. Akibatnya rasa cemas untuk keberlangsungan hidup
muncul yang mempengaruhi kesehatan mental. Kesehatan mental tersebut diawali
dengan munculnya stres ditubuh.
Tubuh bereaksi terhadap stres dengan mengeluarkan dua jenis zat kimia
pembawa pesan, yakni hormon dalam darah dan neurotransmitter di sistem saraf.
Stres dapat terjadi ketika tuntutan yang harus dipenuhi melebihi kemampuan yang
ada pada obyek.
Stres tidak hanya terjadi pada tingkat organisme, melainkan juga terjadi pada
tingkat organ dan sel. Stres merupakan bentuk reaksi tubuh yang menentukan
kelangsungan kehidupan. Stres dapat menunjukkan keseimbangan baru atau suatu
fenomena adaptasi. Apabila sel atau organ dapat mengatasi stresor dengan baik
dan masih dalam keadaan keseimbangan dinamakan eustres, sedangkan apabila
kehidupan tidak dapat mengatasi dalam proses transaksi, maka sel atau organ akan
mengalami distres (Setyawan 2003; Duman et al. 2001). Masalahnya adalah
bagaimana manusia hidup dengan stres tanpa harus mengalami distres. Stres
memiliki jenis nya masing masing sesuai dengan kondisi yang dialami. Pada saat
ini kehilangan pekerjaan (PHK) menimbulkan satu jenis stress dimana stress
tersebut mengarah ke stress psikososial.

3
Pada keadaan stres, akan terjadi pelepasan sitokin yang akan memengaruhi
produksi dopamin pada sel otak dengan cara penurunan ko-faktor
Tetrahydrobiopterin (BH4) yang akan menyebabkan penurunan sintesis dopamin.
Dopamin merupakan suatu neurotransmiter yang berasal dari sekelompok sel di
otak yang disebut sebagai sel dopaminergik.11,12 Dopamin berperan sebagai
pengendalian kecepatan hantaran sel saraf di otak. Dopamin juga memiliki
peranan penting terhadap perjalanan penyakit depresi.11 Semakin banyak ikatan
molekul dopamin dengan reseptor, maka semakin banyak impuls yang akan
ditransmisi dari presinaptik menuju pasca sinaptik.11
Upaya sel-sel otak untuk tetap berfungsi dengan intensitas yang seharusnya
yaitu dengan cara sel dopaminergik mengendalikan jumlah molekul dopamin
yang dihasilkan. Apabila molekul dopamin yang dihasilkan terlalu sedikit, maka
sel dopaminergik akan menambah produksi dopamin, sebaliknya, apabila terlalu
banyak, maka molekul dopamin akan di re-uptake kembali.11,12 Hal tersebut
dapat memicu terjadinya depresi.
Data dari riset kesehatan dasar (Riskesdas) di Indonesia pada tahun 2013,
menunjukkan prevalensi gangguan mental emosi terkait gejala depresi untuk usia
≥15 tahun mencapai sekitar 14 juta orang (6%) dari jumlah penduduk di
Indonesia.8

Pada literature ini kami mengambil judul…………………………… dengan arti


bahwa pengaruh kesenjangan perekonomian penduduk di masa pandemic
COVID-19 sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental terutama stres
psikososial yang berujung dengan gangguan depresi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

4
2.1 Stres
Stres adalah tanggapan atau reaksi tubuh terhadap berbagai tuntutan atau beban
atasnya yang bersifat nonspesifik.
Dalam keadaan normal, hormon stres dilepaskan dalam jumlah kecil sepanjang
hari, tetapi bila menghadapi stres kadar hormon ini meningkat secara dramatis
(Stocker 2012). Setiap jenis respon tubuh yang berupa stres, baik stres fisik
maupun stres psikis dapat meningkatkan sekresi ACTH yang pada akhirnya dapat
meningkatkan kadar kortisol, Awal pelepasan hormon stres dimulai dengan
sekresi corticotrophin releasing factor (CRF).
Pertama kali CRF dilepaskan dari hipotalamus di otak ke aliran darah, sehingga
mencapai kelenjar pituitary yang berlokasi tepat di bawah hipotalamus. Di tempat
ini CRF merangsang pelepasan adenocorticotrophin hormone (ACTH) oleh
pituitary, yang pada gilirannya akan merangsang kelenjar adrenalis untuk
melepaskan berbagai hormon. Salah satunya adalah kortisol. Kortisol beredar di
dalam tubuh dan berperan dalam mekanisme coping. Bila stresor yang diterima
hipotalamus kuat, maka CRF yang disekresi akan meningkat, sehingga rangsang
yang diterima oleh pituitary juga meningkat, dan sekresi kortisol oleh kelenjar
adrenal juga meningkat.
1.2.1 Stres Psikososial
Setiap permasalahan kehidupan yang menimpa pada diri seseorang (disebut
Stresor Psikososial) dapat mengakibatkan gangguan fungsi organ tubuh. Reaksi
tubuh (fisik) ini dinamakan stres, dan memaksa fungsi organ-organ tubuh itu
sampai terganggu dinamakan Distress. Secara bahasa stres berarti tekanan dalam
hal ini mempengaruhi kejiwaan. Menurut Hans Sely, seorang ahli fisiologi dan
tokoh di bidang stres yang terkemuka dari Universitas Montreal, merumuskan
bahwa stres adalah tanggapan tubuh yang sifatnya non-spesifik terhadap tuntutan
atasnya. Bilamana tuntutan terhadap tubuh itu berlebihan, maka dinamakan
distres.
Tubuh akan berusaha menyelaraskan rangsangan atau stres itu dalam bentuk
penyesuaian diri. Dalam banyak hal manusia cukup cepat untuk pulih kembali
dari pengaruh stres. Manusia mempunyai suplai yang baik dan energi penyesuaian

5
diri untuk dipakai dan diisi kembali. Namun, di samping itu stres dapat juga
merupakan faktor pencetus, penyebab sekaligus akibat dari suatu gangguan atau
penyakit. Faktor psikososial cukup berarti bagi terjadinya stres pada seseorang.
Manakala tuntutan pada seseorang melampaui kemampuannya, maka keadaan
demikian disebut stres. Stres dalam kehidupan adalah suatu hal yang tidak dapat
dihindari. Masalahnya adalah bagaimana manusia hidup dengan stres tanpa harus
mengalami distres.
2.2 Depresi
Depresi adalah salah satu bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan, yang
ditandai dengan kemurungan, kelesuan, ketiadaan gairah hidup, perasaan tidak
berguna, putus asa, dan lain sebagainya. Menurut Prof Dr. Mustafa Fahmi, orang
yang terserang gejala depresi mengalami rasa cemas, tidak percaya diri,
menyendiri dan sempit lapangan perhatian
Depresi adalah gangguan mood yang ditandai adanya satu atau lebih episode
depresi utama yang terjadi paling sedikit dalam dua minggu, ditandai dengan
perubahan afek, kognitif dan fungsi neurovegetatif, serta remisi diantara
episodenya. Menurut World Health Organization (WHO)4 depresi merupakan
penyebab ke-4 dari disabilitas di dunia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2017a) menyatakan bahwa depresi dan
kecemasan merupakan gangguan jiwa umum yang prevalensinya paling tinggi.
Lebih dari 200 juta orang di seluruh dunia (3,6% dari populasi) menderita
kecemasan. Sementara itu jumlah penderita depresi sebanyak 322 juta orang di
seluruh dunia (4,4% dari populasi) dan hampir separuhnya berasal dari wilayah
Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Depresi merupakan kontributor utama kematian
akibat bunuh diri, yang mendekati 800.000 kejadian bunuh diri setiap tahunnya.
2.2.1 Mekanisme patofisiologi depresi

Gangguan stres psikososial merupakan salah satu faktor pencetus terjadinya


depresi. Stres dapat menginduksi respons inflamasi pada manusia, yang salah
satunya sebagai penyebab terjadi depresi. Hal ini dinyatakan berdasarkan
perubahan jalur aktivitas neuroendokrin seperti HPA dan sistem saraf simpatis,
kedua jalur ini merupakan fungsi immunomodulator. Inflamasom merupakan

6
kompleks protein bersifat sitosolik yang dihasilkan oleh sel mieloid dari respons
patogenik mikroorganisme dan non-patogenik “sterile stressors”. Pada mulanya,
mediator inflamasi akan mengaktivasi caspase 1, yang setelah itu akan terjadi
aktivasi prekursor IL1β dan IL18, kemudian menjadi sitokin aktif.
Pada gangguan psikososial yang disebut sebagai sterile stressors, akan terjadi
aktivasi endogenous damage-associated molecular patterns (DAMPs), seperti
heat shock protein (HSPs), asam urat, high mobility group box 1 (HMGB1), dan
beberapa jenis molekul stres oksidatif lainnya.2
Felger dan Lotrich19 melakukan penelitian pada hewan percobaan dengan
perlakuan stressor secara kronik. Pada peneletian tersebut, ditemukan adanya
aktivasi the nucleotide-binding oligomerization domain (NOD), leucine-rich
repeat (LRR), dan pyrin domain containing protein-3 (NLRP3) yang merupakan
bagian dari inflamasom dalam keadaan stres.19 Inflamasom NLRP3 dapat
mengaktivasi caspase 1 perifer sehingga terjadi peningkatan IL1β dan IL18. Disisi
lain, terjadi aktivasi NFκB yang akan menstimulasi terjadinya pelepasan sitokin
pro-inflamasi lainnya, seperti TNF dan IL-6, dan akan bergabung dengan IL1β
dan IL18, kemudian masuk ke organ otak melalui rute humoral dan neural
menyimpulkan adanya peranan flora normal pada organ usus yang berperan
sebagai regulasi depresi.
Hal ini terjadi akibat aktivasi inflamasom, yang dicetuskan oleh agen komensal
bakteri non-patogenik dan derived microbial-associated molecular patterns
(MAMPs) pada usus, yang akan mengalami translokasi menuju sirkulasi perifer
selama terjadi stres. Selain itu, terjadi peningkatan IL1β dan IL18 sebagai awal
proses patogenesis depresi dimulai Interleukin 1 β dan IL-18 akan menginduksi
p38 mitogen-activated protein kinase (MAPK) yang dapat meningkatkan re-
uptake serotonin sehingga menyebabkan penurunan kadar serotonin sinaptik.
Selain itu, adanya aktivasi reactive oxygen species (ROS) dan nitrogen species
yang dapat menurunkan kadar tetrahydrobiopterin (BH4), yang merupakan enzim
kofaktor untuk mensintesis berbagai jenis monoamin.
Dopamin disintesis dengan menggunakan hasil konversi L-DOPA oleh enzim
tirosin hidrolase (TH), fenilalanin akan diubah menjadi tirosin oleh enzim
fenilalanin hidroksilase (PAH). Kedua enzim TH dan PAH membutuhkan ko-

7
faktor BH4. Ko-faktor BH4 juga merupakan ko-faktor pembentukan NO sintase
(NOS), yang akan mengubah arginin menjadi NO. Aktivasi interleukin 1 β dan
IL-18 akan menurunkan produksi BH4 sehingga terjadi penurunan sintesis
dopamin.9,24,26,27 Selain itu, aktivasi enzim indoleamin 2,3-dioxygenase (IDO)
dapat menghambat metabolisme triptopan (asam amino primer sebagai prekursor
serotonin) menjadi kynurenine, yang dapat berubah menjadi quinolinic acid (QA)
dengan sifat neurotoksik. Mekanisme ini diaktivasi oleh sel mikroglia bersama
infiltrasi monosit dan makrofag pada otak. Chandrasekha, dkk menyatakan bahwa
adanya peningkatan QA pada pasien yang bunuh diri dengan gangguan depresi.
Quinolinic acid (QA) juga berperan secara langsung untuk aktivasi reseptor
glutamat (N-metyl-d-aspartate “NMDA”) dengan menstimulasi pelepasan
glutamat dan menghambat reuptake glutamat pada sel astrosit dan menurunkan
produksi brain-derived neurotropic factor (BDNF). Brain-derived neurotropic
factor memiliki peranan sebagai neurogenesis dan mempunyai efek anti depresan,
namun aktivasi IL1β dan IL-18 memiliki efek inhibitor pada pembentukan BDNF
sehingga terjadi gejala depresi.

BAB III
METODE PENULISAN

Metode yang dilakukan pada review jurnal kali ini adalah dengan melakukan
pencarian jurnal di internet dengan menggunakan kata kunci : Perekonomian,
dampak, Covid-19, stres psikososial, depresi dari jurnal yang sudah didapat
tersebut kemudian dilakukan skrining. Kriteria inklusi yaitu jurnal tersebut ialah
jurnal nasional.

BAB IV
ANALISIS DAN SINTESIS

Berdasarkan hasil metode review jurnal didapatkan 10 jurnal yang telah


memenuhi kriteria inklusi. (Tabel 1)

8
Tabel 1. Hasil Analisis Jurnal
No Referensi Metode Hasil

. Penelitian
1 (Cahyono Partisipasi aktif masyarakat untuk untuk

Mila, dkk, memperkuat solidaritas sosial

2020)
2. (Silpa Dampak COVID-19 terhadap

Hanoatubun, Perekonomian Indonesia

2020)
3. (Chairul Ancaman Krisis Ekonomi Global dari

Ikhsan Dampak Penyebaran Virus Corona

Burhanuddin (COVID-19)

dan

Muhammad

Nur Abdi,

2020)
4. (Syeikha Dampak COVID-19 Terhadap Tenaga

Nabilla Kerja di-Indonesia

Setiawan,

Nunung

Nurwati, M.Si,

2020)
5. Michael Dampak CoronaVirus Terhadap Ekonomi

Christian dan Global

Firman

9
Hidayat,

(2020)
6. Lisdiana, 2012 REGULASI KORTISOL PADA

KONDISI STRES DAN ADDICTION


7. Jamil, 2015 SEBAB DAN AKIBAT STRES,

DEPRESI DAN KECEMASAN SERTA

PENANGGULANGANNYA
8. Febyan, dkk, Peranan Sitokin pada Keadaan Stres

2019 sebagai Pencetus Depresi


9. Kaplan HI, et Synopsis of Psychiatry: Behavioral

al. 2010 Sciences/Clinical Psychiatry


10. Meilanny BUNUH DIRI DAN DEPRESI DALAM

Budiarti PERSPEKTIF PEKERJAAN SOSIAL

Santoso, 2017

Berdasarkan tabel 1. diatas dapat dilihat bahwa jurnal-jurnal tersebut


memberikan informasi tentang adanya pengaruh depresi dengan kesenjangan
perekonomian dampak COVID-19
Corona Virus Disease-19 (Covid-19) merupakan penyakit yang ditemukan pada
akhir Desember tahun 2019. Penyakit ini disebabkan oleh virus SARS-CoV-2
(Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2) yang mempunyai genus
yang sama dengan virus SARS-CoV yang terjadi pertama pada tahun 2002 di
Guangdong, Cina, dan sepuluh tahun setelahnya terjadi persebaran virus MERS-
CoV (Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus) yang ditemukan di
negara-negara Timur Tengah.
Saat ini kasus Covid-19 terjadi secara masif, oleh karena itu World Health
Organization (WHO), pada 30 Januari 2020 menetapkan kasus ini sebagai kasus
emergency yang membutuhkan perhatian khusus (Sohrabi et al., 2020). Selain itu,
berbagai negara di dunia juga telah melaporkan jumlah kasus di negaranya
masingmasing. Meningkatnya jumlah pasien yang diakibatkan Covid-19 ini
membuat pemerintah Indonesia mengeluaran berbagai kebijakan untuk dapat

10
menyelesaikan kasus Covid-19, salah satunya adalah dengan mensosialisasikan
gerakan social distancing atau tagar dirumahaja.
Menurut Khairul Ichsan, 2020, Virus Corona muncul dan memberikan begitu
banyak pengaruh dalam berbagai sektor. Salah satu sektor yang terdampak dan
begitu terasa adalah sektor ekonomi. Ditahun 2020, perekonomian global tidak
bisa diukur dengan hanya sebatas lingkup ekonomi itu sendiri. Virus Corona
(Covid-19) menjadi bukti bahwa virus yang mengganggu kesehatan tersebut dapat
menimbulkan ketidakstabilan ekonomi pada suatu negara bahkan dalam skala
global. Perekonomian Indonesia merupakan kombinasi dua unsur yang terjadi
secara bersamaan, dimana unsur eksternal berupa kepanikan keuangan dan
lemahnya ekonomi nasional baik sektor perbankan maupun riil.Kedua faktor
tersebut saling mempengaruhi dimana ketika gejolak eksternal
timbul,perekonomian nasional yang lemah sangat mudah terkena dampak negatif
sehingga gejolak yang terjadi dalam waktu yang singkat berubah menjadi krisis
ekonomi yang terjadi saat ini yang dirasakan oleh negara kita. (Silpa Hanoatubun,
2020)
Syeikh Nabila, dkk, 2020, mengatakan bahwa Semakin meningkatnya jumlah
pasien yang diakibatkan Covid-19 ini membuat pemerintah Indonesia
mengeluaran berbagai kebijakan untuk dapat menyelesaikan kasus Covid-19,
salah satunya adalah dengan mensosialisasikan gerakan Social Distancing.
Dengan adanya gerakan Social Distancing ini mau tidak mau beberapa perusahaan
harus mengurangi jumlah pekerja atau karyawan sehingga terjadi PHK terhadap
karyawan sebagai upaya pencegahan penyebaran penyakit. Dalam situasi saat ini,
usaha diberbagai sektor ekonomi sedang menghadapi krisis ekonomi yang dapat
mengancam operasi dan kesehatan mereka, terutama di antara perusahaan kecil,
sementara jutaan pekerja rentan kehilangan pekerjaan dan pendapatan serta
mengalami PHK.
Peraturan Social distancing yang diterapkan oleh pemerintah dan berakibat
beberapa perusahaan harus mengurangi karyawan mengakibatkan terjadinya stres
dalam diri seseorang. Menurut Lisdiana, (2020) secara sistematis istilah stres
dapat dikaji melalui tiga pendekatan, yakni pendekatan engineering, psikologis
dan medikofisiologis. Pendekatan engineering stres diartikan sebagai keadaan dari

11
suatu lingkungan yang dapat menyebabkan individu yang hidup di lingkungan
tersebut sakit. Jadi stres identik dengan stimulus yang mampu menimbulkan
perubahan. Pendekatan psikologis menyebutkan bahwa stres adalah hasil interaksi
dan transaksi antara individu dengan lingkungannya, jadi berkaitan dengan
kondisi psikologis yang melibatkan kognisi dan emosi. Berdasarkan pendekatan
medikofisiologis stres adalah respon biologis terhadap stresor, stresor dapat
berupa psikologis maupun fisik. Jadi kualitas stres ditentukan oleh kemampuan
mengelola stresor atau coping.
Dampak pandemi COVID-19 terhadap kondisi psikososial di Indonesia juga
nampak dari hasil survei Moh Abdul Hakim (2020, tidak dipublikasikan) selama 7
hari pada awal PSBB dan Policy Brief Ikatan Psikologi Sosial (Cahyono, Milla,
Subarkah, Yustisia, 2020). Hasil survei Hakim, menunjukkan bahwa 27% dari
1.319 partisipan mengalami stres akut akibat pembatasan sosial, kekurangan
kebutuhan dasar,ancaman terinfeksi, dan penyesuaian perilaku.
Pada tulisan ini stres yang dialami masyarakt mengarah kepada stres
psikososial. Stresor Psikososial adalah setiap keadaan yang menyebabkan
perubahan dalam kehidupan seseorang (anak-anak, remaja, dan dewasa); sehingga
orang itu terpaksa mengadakan adaptasi atau menanggulangi stressor yang timbul.
Namun tidak semua orang mampu menanggulanginya. (Jamil, 2015)
Gangguan stres psikososial merupakan salah satu faktor pencetus terjadinya
depresi. Stres dapat menginduksi respons inflamasi pada manusia, yang salah
satunya sebagai penyebab terjadi depresi. Mediator inflamasom yang dimodulasi
oleh stres dapat menjadi faktor pencetus depresi, salah satunya adalah aktivasi
inflamasom yang dapat meningkatan IL1β dan IL18 sebagai sitokin yang berperan
penting pada patogenesis depresi. Febyan,dkk (2019)
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan
dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan
pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan,
rasa putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri (Kaplan, 2010).
Menurut Meilanny Budiarti, dkk (2017) Depresi merupakan salah satu penyakit
mental yang rentan menghinggapi siapapun, hal ini dikarenakan penyebab depresi
bisa datang dari hal-hal kecil sekalipun; kehilangan pekerjaan, kekerasan

12
emosional, kekerasan fisik, bullying, merasa minder, dan lain sebagainya.
Dampak yang paling sering ditemui dari depresi ini adalah perilaku menyakiti diri
sendiri hingga akhirnya bunuh diri.

BAB V
KESIMPULAN & SARAN

5.1 SIMPULAN
Berdasarkan data yang didapat menunjukkan bahwa………

Efek samping fluorokuinolon dapat terjadi pada hampir seluruh tubuh. Efek
samping yang menonjol adalah pemberian fluorokuinolon dengan perpanjangan
QT pada EKG. Untuk menghindari efek samping tersebut, maka penggunaan
fluorokuinolon oleh dokter khususnya pada waktu lama, harus dilakukan dengan
sangat hati-hati dan penentuan dosis dilakukan dengan perhitungan berat badan,
melakukan pengujian fungsi ginjal dan hati sebelumnya, mempertimbangkan efek
akumulasi, mempelajari efek samping, interaksi dengan obat lain serta harus
menjelaskan kepada pasien tentang kemungkinan terjadinya efek samping.
Masyarakat berhak mengetahui keuntungan dan risiko dari pengobatan
fluorokuinolon jika perlu diberi informed consent. Selain itu, agar pasien waspada
perlu diterangkan juga bahwa efek samping fluorokuinolon sering terjadi cepat
dan jika terjadi maka pasien harus menghentikan minum obat. Penggunaan
florokuinolon seharusnya sejalan dengan pendapat ahli infeksi yang menyarankan
agar fluorokuinolon hanya untuk infeksi berat yang mengancam kehidupan,
bakteri resisten atau gagal terapi dengan antibiotika lain atau terapi infeksi bakteri
yang diketahui mempunyai respon baik dengan fluorokuinolon.

Obat golongan fluorokuinolon dapat mempengaruhi perpanjangan interval QT.


Pada tahun 2011, di Amerika Serikat, antibiotik fluorokuinolon digunakan oleh
sekitar 23,1 juta2 pasien rawat jalan (70% diantaranya adalah siprofloksasin, 28%

13
levofloksasin) dan 3,8 juta pasien rawat inap (diantaranya 63% levofloksasin,
28% siprofloksasin). Meskipun demikian, pada tahun 2011, di Amerika Serikat
kedua antibiotik tersebut mendapat lebih dari 2000 tuntutan hukum karena efek
samping yang ditimbulkan. Pemberian fluorokuinolon dihubungkan dengan
perpanjangan dari electrocardiograph (EKG). Efek obat ini pada jaringan
miokardial jelas berhubungan dengan ether-a-go-go gen (HERG) yang mengkode
secara cepat activating delayed rectifier potassium channel (IKr) pada hati.
Fluorokuinolon menginduksi hambatan HERG/IKr, dan dapat menyebabkan
perpanjangan QTc interval, berpotensi menimbulkan aritmia dan serangan
jantung.

5.2 SARAN

Saran untuk peneliti agar dapat melanjutkan penelitian tentang fluorokuinolon


terhadap perpanjang QT. Serta bagi seluruh masyarakat untuk tidak menggunakan
obat-obatan terutama obat golongan fluorokuinolon sembarangan karena efek
negative yang ditimbulkan dapat mempengaruhi keadaan jantung terutama pada
pemakaian jangka panjang. Sehingga hal terbaik yang dilakukan adalah meminta
anjuran dokter untuk menggunakan dosis obat fluorokuinolon dengan tepat.

DAFTAR PUSTAKA
1. Naomi Fenty Novita, Dika Pramita Destiani. (2020). INTERKASI OBAT
TERHADAP PERPANJANGAN INTERVAL QT. Fakultas Farmasi
Universitas Padjadjaran. Vol : 18(1)
2. Al-Khatib SM, A. L. (2003). What clinicians should know about the QT
interval. JAMA, 289:2120-2127.
3. Pickham D, H. E. (2012). High prevalence of corrected QT interval
prolongation in acutely ill patients is associated with mortality: Results of the
QT in Practice (QTIP) Study Critical Care Medicine. 2(40):394-9. .

14
4. Isbister GK, C. L. (2009). Inter-rater reliability of manual QT measurement
and prediction of abnormal QT,HR pairs. Clin Toxicol (Phila) , 47:884–888.
5. Schwartz PJ, S. C. (2006). The Jervell and Lange -Nielsen Sundrome: natural
history, molecular basis and clinical outcome. Circulation, 113:783 -90.
6. S, V. (2009). The QT interval: too long, too short or just right. Heart Rhythm ,
6: 711 –715.
7. Bazett HC. An analysis of the time-relations of electrocardiograms. Heart,
1920; 7: 353–370.
8. Fridericia LS. EKG systolic duration in normal subjects and heart disease
patients. Acta Med Scand, 1920; 53: 469–488
9. Anthony A. Fossa, Meijian Zhou. (2010). Assessing QT prolongation and
electrocardiography restitution using a beat-to-beat method. Cardiology
Journal. Vol. 17(3), 230–243
10. Pratt CM, Ruberg S, Morgenroth J et al. Dose-response relationship between
terfenadine (Seldane) and the QTc interval on the scalar electrocardiogram:
Distinguishing a drug effect from spontaneous variability. Am Heart J, 1996;
131: 472–480.
11. Honig PK, Wortham DC, Zamani K, Conner DP, Mullin JC, Cantilena LR.
Terfenadine-ketoconazole interaction. Pharmacokinetic and
electrocardiographic consequences. JAMA, 1993; 269: 1513–1518.
12. Wysowski DK, Corken A, Gallo-Torres H, Talarico L, Rodriguez EM.
Postmarketing reports of QT prolongation and ventricular arrhythmia in
association with cisapride and Food and Drug Administration Regulatory
Actions. Am Coll Gastroenterol, 2001; 96: 1698–1703.
13. ICH Harmonized Tripartite Guideline E14. The clinical evaluation of QT/QTc
interval prolongation and proarrhythmic potential for nonantiarrhythmic drugs
2005. (Available at http://
//www.fda.gov/downloads/RegulatoryInformation/Guidances/
/UCM129357.pdf).
14. Scirica BM, Morrow DA, Hod H et al. Effect of ranolazine, an antianginal
agent with novel electrophysiological properties, on the incidence of
arrhythmias in patients with non-ST-segment elevation acute coronary

15
syndrome. Results from the metabolic efficiency with ranolazine for less
ischemia in non-ST-elevation acute coronary syndrome-thrombolysis in
myocardial infarction 36 (MERLIN-TIMI 36) randomized controlled trial.
Circulation, 2007; 116: 1647–1652.
15. Strom B, Faich G, Eng S et al. Comparative mortality associated with
ziprasidone vs. olazapine in real-world use: The ziprasidone observational
study of cardiac outcomes (ZODIAC) Schizophrenia Res, 2008; 98: 160–161.
16. Extramiana F, Maison-Blanche P, Cabanis M-J, Ortemann- -Renon C, Beufils
P, Leenhardt A. Clinical assessment of drug- -induced QT prolongation in
association with heart rate changes. Clin Pharmacol Ther, 2005; 77: 247–258.
17. Inc, AZCERT. (2017). Combined list of drugs that prolong QT and/or cause
Torsades de Pointes (TdP). https://crediblemeds.org/pdftemp/
pdf/CombinedList.pdf.
18. Hooper DC. Fluoroquinolones. 2014 [cited 2015 January 10]. Available from:
www.uptodate.com.
19. Miller K. Some antibiotics linked to serious damage. 2013 [cited 2015 January
10]. Available from: www.webMD
20. Bloomquist L. Fluoroquinolone antibiotics: are you at risk. 2013 [cited 2015
January 10]. Available from: http://www.collective-evolution.
com/2013/08/26/fluoroquinolone
21. Brody JE. A cure that can be worse than the illness. The New York Times.
2012 September 12.
22. Siahaan S. Studi pengembangan kebijakan pengendalian resistensi
antimikroba di Indonesia, disampaikan pada Diseminasi Hasil Kajian Studi
Pengembangan Kebijakan Pengendalian Resistensi Antimikroba di Indonesia
tgl 23 April 2015.
23. Kementerian Kesehatan. Laporan Riskesdas 2013. Jakarta: Kementerian
Kesehatan; 2013.
24. Mariana Raini. (2016). Antibiotik Golongan Fluorokuinolon: Manfaat dan
Kerugian. Badan Litbangkes, Kemenkes. Vol. 26(3). 163-174.
25. Werner NL, Hecker MT, Sethi AK, Donskey CJ. Unnecessary use of
fluoroquinolone antibiotics in hospitalized patients. BMC Infect Dis.

16
2011;11:187. [cited 2015 January 10]. Available from:
https://bmcinfectdis.biomedcentral.com/ articles
26. Mean M, Pavese P, Vittoz JP, Foroni L, Decouchon C, Stahl JP, et al.
Prospective assessment of fluoroquinolone use in a teaching hospital. Eur J
Clin Microbiol Infect Dis. 2006; 25:757-763.
27. Clinical and research Information on drug induced liver injury,
fluoroquinolones. 2014. [cited 2015 January 10]. Available from: https://
livertox.nih.gov/fluoroquinolones.htm
28. Mercola. Antibiotic alert: the drug the doctor ordered could cause deadly side
effects, 12 October 2012 [cited 2015 January 11]. Available from:
http://articles.mercola.com.
29. Boomer T. Quinolone Antibiotics Toxicity. 2007 The Flox Report, Maret
[disitasi pada 11 Januari 2015]. Tersedia di www.antibiotics.org.
30. Filipus M Yofrido, et al. 2018. PEMANJANGAN INTERVAL QT
TERKOREKSI (QTC) PADA PASIEN HIPOKALEMIA BERAT DENGAN
PENYULIT ARITMIA VENTRIKEL FATAL. Jurnal Widya Medika Vol. 4.
ISSN 2623- 2723.
31. Mirvis DM, Goldberger AL. Electrocardiography. In: Mann DL, Zipes DP,
Libby P, Bonow RO, editors. Braunwald’s Heart Disease: A Textbook of
Cardiovascular Medicine. 10th ed. Philadelphia: Elsevier; 2015. p. 144-154
32. Antoniou CK, Dilaveris P, Manolakou P, Galanakos S, Magkas N, Gatzoulis
K, et al. QT Prolongation And Malignant Arrhythmia: How Serious A
Problem? European Cardiology Review. 2017; 12(2): 112–20. Available from:
https://www.ecrjournal.com/articles/qt -prolongation-and-
malignantarrhythmia-how-serious-problem DOI:
https://doi.org/10.15420/ecr.2017:16:1.
33. Woosley RL, Heise CW, Gallo T, Woosley RD, Romero KA. Clinical Factors
Associated with Prolonged QTc and/or TdP [internet]. Oro Valley, AZ:
CredibleMeds; 2018 [updated 2018 September 12; cited 2018 September 19].
Available from: https://www.crediblemeds.org/ndfalist
34. Roden DM. Keep the QT interval: it is a reliable predictor of ventricular
arrhythmias. Heart Rhythm. 2008 Aug; 5(8): 1213–1215. Available from:

17
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/art icles/PMC3212752/
DOI:10.1016/j.hrthm.2008.05.008
35. Nachimuthu S, Assar MD, Schussler JM. Drug-induced QT interval
prolongation: mechanisms and clinical management [internet]. Ther Adv Drug
Saf. 2012 Oct; 3(5): 241 – 253. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/art icles/PMC4110870/ DOI:
10.1177/2042098612454283
36. John S. Bradley, Mary Anne Jackson. The use of systemic fluoroquinolones. J
Pediatr. 2006;118:1287-1292.
37. Harausz E, Cox H, Rich M, Mitnick CD, Zimetbaum P, Furin J, et al. QTc
prolongation and treatment of multidrug-resistant tuberculosis. Int J Tuberc
Lung Dis 2015;19:385–91.
38. Sharma PC, Jain A, Jain S. Fluoroquinolones antibacterials: a review on
chemistry, microbiology and therapeutic prospects. Acta Pol Pharm.
2009;6(6):587 -604.
39. Kline JM, Wietholter JP, Kline VT. Confer J pediatric antibiotic use: a
focused review of fluoroquinolones and tetracyclines. US Pharm.
2012;37(8):56-59.
40. Soni K. Fluoroquinolones chemistry & action – a review. IGJPS.
2012;2(1):43–53.
41. Mercola Bitter Pill. Dangerous side effects of fluoridated antibiotics 2014
[cited 2015 January 10]. Available from: www.mercola.com
42. Davis SL, Neuhauser MM, McKinnon PS, Quinolones. Infectious disease and
antimicrobial agents 2015 [cited 2015 January 10]. Available from:
www.antimicrobe.org/new/d17.asp.
43. Goldman JA, Kearns GL. Fluoroquinolone use in paediatricts : focus on safety
and place in therapy 2011 [cited 2015 January 10]. 18th Expert Committee on
the Selection and Used of Essential Medicines, Available from: www.who.
int.selection_medicines/fluoroquinolone.
44. Briasoulis A, Agarwal V, Pierce WJ. QT Prolongation and torsade de pointes
induced by fluoroquinolones: infrequent side effects from commonly used
medications. Cardiology. 2011;120 (3):103–10

18
45. Dimitrios Anyfantakis, at al. 2019. R on T Phenomenon and Long QTc
Syndrome due to Moxifloxacin in a Healthy Female. PRHSJ Vol. 38(3)
46. Liu HH. Safety profile of the fluoroquinolones: Focus on levofloxacin. Drug
Saf 2010;33:353–69.
47. Falagas ME, Rafailidis PI, Rosmarakis ES. Arrhythmias associated with
fluoroquinolone therapy. Int J Antimicrob Agents 2007;29:374–9.
48. Dina Nair, at al. 2018. Effect of moxifloxacin on QTc interval in adults with
pulmonary tuberculosis. The National Medicl Journal of India. Vol. 31(1).

Dampak pandemi COVID-19 terhadap kondisi psikososial di Indonesia juga


nampak dari hasil survei Moh Abdul Hakim (2020, tidak dipublikasikan) selama 7
hari pada awal PSBB dan Policy Brief Ikatan Psikologi Sosial (Cahyono, Milla,
Subarkah, Yustisia, 2020). Hasil survei Hakim, menunjukkan bahwa 27% dari
1.319 partisipan mengalami stres akut akibat pembatasan sosial, kekurangan
kebutuhan dasar,ancaman terinfeksi, dan penyesuaian perilaku. Sementara itu
hasil penelitian kolaborasi dari 12 institusi, seperti dikutip dalam Policy Brief 02,
Ikatan Psikologi Sosial menunjukkan bahwa kondisi di Indonesia menggambarkan
tingkat kepercayaan sedang, terhadap pemerintah dan persepsi kepatuhan yang
rendah terkait dengan COVID-19. Dalam Policy Brief 02 tersebut
direkomendasikan eksplorasi terhadap faktor-faktor yang dapat meningkatkan
kepatuhan dan kanal serta instrumen alternatif untuk meningkatkan kerja sama
dan kepatuhan masyarakat dalam penanganan COVID-19. Survei terhadap
masyarakat dan ODGJ yang dilakukan oleh Ipsos MORI (Holmes, dkk., 2020)
menunjukkan adanya keprihatinan terhadap isolasi sosial atau pembatasan sosial
terhadap kesejehteraan; peningkatan kecemasan, depresi, stress, dan perasaan
negatif lain; serta implikasi praktis dari respon pandemi, termasuk kesulitan
keuangan. Prospek menjadi tidak sehat secara fisik masih di bawah persoalan
yang berkaitan dengan respon sosial dan psikologis terhadap pandemi. Partisipan

19
survei tersebut juga mempunyai kekhawatiran akan semakin parahnya masalah
gangguan jiwa yang sudah dialami sebelumnya, kesulitan yang semakin besar
dalam mengakses dukungan dan layanan kesehatan jiwa, dampak COVID-19
terhadap kesehatan jiwa.

20

Anda mungkin juga menyukai