Anda di halaman 1dari 23

GAMBARAN PERCEIVED STRESS PADA KARYAWAN YANG TERKENA

PHK DI TENGAH PANDEMI COVID 19

Disusun Oleh : Ardhi Rayhan Eka Putra - 1125161784

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PENDIDIKAN PSIKOLOGI


UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang lebih


dikenal dengan nama Virus Corona adalah jenis baru dari coronavirus yang menular ke
manusia, dan dapat menular kepada siapa saja baik itu anak-anak, orang dewasa,
sampai lansia. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Virus Corona adalah
suatu virus yang dapat menyebabkan penyakit pada hewan atau manusia. Beberapa
jenis Virus Corona diketahui menyebabkan infeksi saluran nafas pada manusia mulai
dari batuk pilek hingga yang lebih serius seperti Middle East Respiratory Syndrome
(MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Virus Corona jenis baru
yang ditemukan menyebabkan penyakit COVID-19 (who.int, 2020).

Virus Corona atau yang biasa disebut COVID-19 ini pertama kali ditemukan di
kota Wuhan, Cina, pada tanggal 31 Desember 2019. Virus ini menular dengan sangat
cepat dan telah menyebar ke hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia dalam
waktu beberapa bulan saja. Dikutip dari CNBC Indonesia, pada hari Rabu tanggal 11
Maret 2020 Direktur Jendral Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom
Ghereyesus secara resmi telah mengumumkan bahwa Virus Corona (Covid-19) sebagai
pandemi global.

Virus corona jenis baru yang tengah menyerang masyarakat dunia saat ini
dalam istilah kedokteran disebut sebagai 2019 Novel Coronavirus (2019-nCoV).
Dikutip dari Center for Disease Control and Prevention, Virus Corona ini merupakan
jenis virus yang diidentifikasi sebagai penyebab penyakit pada saluran pernapasan,
yang pertama kali terdeteksi muncul di Kota Wuhan, Tiongkok. Tepatnya di sebuah
pasar hewan dan makanan laut di Kota Wuhan. Dikutip dari BBC, koresponden
kesehatan dan sains BBC, Michelle Roberts and James Gallager mengatakan, di pasar
grosir hewan dan makanan laut tersebut dijual hewan liar seperti ular, kelelawar, dan
ayam. Diduga pula virus ini menyebar dari hewan ke manusia, dan kemudian dari
manusia ke manusia.

Hingga saat ini jumlah kasus virus corona di dunia terus mengalami
peningkatan. Tercatat sebanyak 2.553.435 orang di dunia terinfeksi virus yang
menyerang saluran pernapasan tersebut. Dilansir dari situs data real time virus corona
Worldometers, jumlah pasien yang sembuh tercatat ada 688.639. Sementara jumlah
korban jiwa akibat Covid-19 mencapai 177.293. Sementara itu jumlah kasus Virus
Corona di Indonesia telah menembus angka 7.135 pasien pada hari Rabu, 22 April
2020. Sebanyak 5.677 pasien masih di rawat, 842 sembuh, dan 92 orang lainnya
meninggal dunia.

Sejak pemberitaan peyebaran Virus Corona di Indonesia ini, Presiden Indonesia


ke 7 Joko Widodo telah memberikan himbauan kepada masyarakat Indonesia untuk
melakukan social distancing dan tetap berada di rumah masing-masing. Serta
pemerintah menetapkan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di
sejumlah dalam menangani penyebaran virus corona (Covid-19). Untuk memutuskan
mata rantai penyebaran virus corona, Presiden Joko Widodo telah memutuskan
mengeluarkan kebijakan PSBB. Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah
Nomor Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB dalam Rangka
Percepatan Penanganan Covid-19 (setkab.go.id, 2020).

Penerapan PSBB diajukan oleh kepala daerah, baik gubernur, bupati, maupun
wali kota dan harus mendapat persetujuan dari menteri kesehatan sebelum dijalankan
masing-masing pemerintahan. Selain itu, penerapan PSBB juga bisa berasal dari
permintaan tim gugus tugas. Dalam aturan pedoman PSBB tersebut, pemerintah
membatasi aktivitas sekolah dan tempat kerja, kegiatan keagamaan, kegiatan di tempat
atau fasilitas umum. Kemudian, kegiatan sosial dan budaya serta moda transportasi.
Untuk kendaraan umum dan pribadi diminta membatasi jumlah penumpang, minimal
50 persen dari kapasitas biasanya. (Emitennews.com, 2020)
Dampak dari kebijakan yang dikeluarkan pemerintah salahsatunya membatasi
tempat kerja membuat sejumlah perusahaan mengambil beberapa kebijakan demi
menyelamatkan keberlangsungan perusahaan, seperti contohnya memperkejakan
karyawan di rumah, mengurangi gaji, bahkan sampai memutuskan hubungan kerja
(PHK) kepada karyawannya. Kebijakan itu diambil perusahaan karena menurunnya
produksi karena pandemi Covid-19. Seperti dilansir dari Medcom.id berdasarkan
keterangan yang diberikan Menteri Perindustrian Agus Gumiwan Kartasasmita, bahwa
beberapa industri mengalami penurunan kapasitas (produksi) hampir 50%.

Fenomena PHK yang tengah marak pada kalangan industri disebabkan oleh
beberapa faktor, di antaranya pelemahan ekonomi terkait turunnya nilai tukar rupiah
terhadap dolar, naiknya upah minimum buruh yang menyebabkan kontrak buruh tidak
diperpanjang, dampak inflasi yang membuat sebagian besar perusahaan mengalami
kebangkrutan, serta kondisi krisis di beberapa negara. Situasi ini menyebabkan
perusahaan mengalami kerugian akibat terhambatnya faktor produksi, sehingga
memberi dampak negatif PHK bagi para pekerja (Yustisia, 2015).

Kementrian Ketenagakerjaan Indonesia menyebutkan bahwa para pekerja


formal maupun informal terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dari survey yang
dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja masing-masing daerah sebanyak 2,8 juta pekerja
terkena dampak Covid 19 salah satunya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Jumlah
pekerja formal yang di-PHK sebanyak 212.394 orang, sementara itu yang dirumahkan
ada 1.270.367 orang. Sehingga total pekerja terdampak di sektor formal ada 1.500.156
orang di 83.546 perusahaan. Dan sisanya dari sektor informal yang juga terdampak.
Sebanyak 443.760 orang dari 30.794 perusahaan di-PHK. (Kompas.com, 2020)

Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi Provinsi DKI Jakarta mencatat
sebanyak 162.416 pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan
tanpa menerima upah atau unpaid leave oleh perusahaan selama pandemi Corona. Dari
jumlah itu, Andri menyebutkan, sebanyak 132.279 orang di antaranya dirumahkan
tanpa menerima upah oleh 14.697 perusahaan. Sedangkan 30.137 orang di PHK oleh
3.348 perusahaan. Menurut dia, data tersebut merupakan rekapitulasi laporan para
pekerja yang melapor ke Dinas hingga 4 April 2020. (metro.tempo.co)

Semenjak itu banyak pekerja yang cemas akan keberlangsung hidupnya, dan
jelas sangat mempengaruhi kondisi kesehatan mental. Menurut Looker & Gregson
(2005), sebagian besar individu akan mengalami stres ketika dihadapkan dengan PHK,
karena penghasilan yang didapat akan terhenti, terjadi penurunan kekuatan fisik,
adanya perasaan kesepian, dan berhenti dari berbagai kegiatan yang menyenangkan
dan hal ini mengakibatkan suatu perubahan dalam kehidupan seseorang dan
memerlukan suatu penyesuaian yang baru bagi individu.

Misalnya, kehilangan pekerjaan dapat menimbulkan trauma, stress, perasaan


panik, marah, bingung, putus-asa, kehampaan hidup, tidak percaya diri, keraguan
terhadap kemampuan yang dimiliki, mudah tersinggung, kecendrungan bunuh diri,
penganiayaan anak, dan perceraian (Linn, Sandiger, Stein, 1985; Papu, 2002;
Steinmetz, 1979; Voydanoff, 1987).

Makadari itu kehilangan pekerjaan dapat menimbulkan stress seseorang,


dikarenakan ketidak mampuan individu dalam memenuhi segala tuntutan atau
kebutuhannya untuk melanjutkan hidup. Stress itu sendiri merupakan keadaan yang
dialami seseorang ketika merasakan ketidaksesuaian antara tuntutan yang diterima dan
kemampuan untuk memenuhi orang atau mengatasinya (Gregson & Looker, 2005).
Perceived Stress menurut Cohen dan Williamson (1988, dalam Geovani, 2016) yang
menjelaskan bahwa perceived stress merupakan cerminan sejauh mana seseorang
menilai kejadian dalam hidupnya tidak terduga (unpredictable), tidak terkontrol
(uncontrollable) dan melewati batas atau berlebihan (overloading).

Sedangkan Weinberg dan Gould (2003) mendefinisikan stress sebagai


ketidakseimbangan antara tuntutan baik itu tuntutan fisik maupun psikis dengan
kemampuan individu dalam memenuhinya atau gagal dalam memenuhi
kebutuhan/tuntutan tersebut dan berdampak krusial. Selye (1976) menjelaskan stress
disebabkan oleh tuntutan non spesifik yang mengharuskan individu merespon atau
melakukan suatu tindakan yang dituntut, sehingga stress dapat membuat tubuh
merespon hal yang tidak spesifik terhadap setiap tuntutan atau beban yang dialami.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pandemi Covid 19


memberikan dampak yang sangat signifikan dalam dunia perkonomian. Sehingga
banyak perusahaan yang melakukan efisiensi dengan cara salahsatunya memutuskan
hubungan kerja para karyawannya. Hal ini memberikan dampak yang serius bagi
kesehatan mental para karyawan yang terkena PHK, dikarenakan ketidaksiapannya
untuk memenuhi kebutuhan atau tuntuntan hidup.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan beberapa penjelasan fenomena yang sudah dijelaskan sebelumnya


oleh penulis, maka dapat dikemukakan beberapa permasalahan yang ada dalam
penelitian ini sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimana gambaran perceived stress pada karyawan yang terkena PHK di
tengah pandemi Covid-19 ?
1.2.2 Bagaimana tingkat stress pada karyawan yang terkena PHK di tengah pandemi
Covid-19 ?
1.3 Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, maka dalam penelitian ini penulis


akan membatasi permasalahan untuk membatasi ruang lingkup masalah yang terlalu
luas dengan hanya memberikan gambaran perceived stress pada karyawan yang
terkena PHK di tengah pandemi Covid-19.

1.4 Rumusan Masalah

Dilandaskan penjelasan latar belakang peneliti sebelumnya mengenai pandemi


Covid-19 yang sedang mewabah tahun 2020 ini, beserta penjelasan mengenai
dampaknya maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai fenomena ini
yang hanya berfokus pada karyawan yang terkena PHK dikarenakan pandemi Covid-
19 ini dan meneliti gambaran perceived stress mereka. Maka dari itu rumusan masalah
yang hendak diajukan adalah bagaimana gambaran perceived stress pada karyawan
yang terkena PHK di tengah pandemi Covid-19.

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui bagaimana gambaran


perceived stress para karyawan yang terkena PHK di tengah pandemi Covid-19.

1.6 Manfaat Penelitian


1.6.1 Manfaat Teoritis:

Secara teoritis manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan berikut berikut:

a. Memberikan gambaran perceived stress karyawan yang terkena PHK di tengah


pandemi Covid-19 kepada pihak yang terlibat, baik itu kepada sebuah instansi
pemerintah seperti Kedinasan Tenga Kerja ataupun bisa diberikan hasil
penelitian ini berupa grafik kepada pihak penyedia digital platform sebagai
informasi.
b. Memberikan strategi dalam menangani stress pada karyawan yang terkena
PHK, sehingga dapat mengurangi rasa stress mereka.
1.6.2 Manfaat Praktis:

Secara praktis manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan sebagai berikut:

a. Adanya sosialisasi mengenai strategi menghadapi stress untuk para karyawan


yang terkena PHK di tengah pandemi Covid-19.
b. Dapat menyadari dan mengetahui gejala-gejala stress yang mungkin
berdampak pada karyawan yang terkena PHK di tengah pandemi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stress
2.1.1 Definisi Stress
Perceived stress menurut Cohen dan Williamson (1988, dalam Geovani,
2016) yang menjelaskan bahwa perceived stress merupakan cerminan sejauh mana
seseorang menilai kejadian dalam hidupnya tidak terduga (unpredictable), tidak
terkontrol (uncontrollable) dan melewati batas atau berlebihan (overloading).
Selye (1976) pertama kali memperkenalkan stres sebagai gambaran respons
biologis untuk bertahan dan mengatasi ketidaksesuaian tuntutan yang dihadapi
dengan keadaan yang dialami. Stress merupakan keadaan yang dialami seseorang
ketika merasakan ketidaksesuaian antara tuntutan yang diterima dan kemampuan
untuk memenuhi atau mengatasinya (Gregson & Looker, 2005).
Lumongga (2009) juga menggambarkan bahwa stress adalah bentuk
interaksi antara individu dengan lingkungan yang dinilai sebagai hal yang
membebani atau melampaui batasan ataupun kemampuan yang dimiliki, serta
mengancam kenyamanan dan kesejahteraan baik secara biologis, psikologis, dan
sosial. Stress merupakan tanggapan seseorang, baik secara fisik maupun mental
terhadap suatu perubahan dalam lingkungan yang dirasakan mengganggu dan
mengakibatkan dirinya merasa terancam kesejahteraanya.
Stress dapat dijelaskan sebagai suatu kondisi yang menekan keadaan psikis
individu dalam mencapai suatu tujuan, dan dimana dalam proses mencapai tujuan
tersebut terdapat penghalang dan batasan (Robbins, 2001). Sedangkan Weinberg
dan Gould (2003) mendefinisikan stress sebagai ketidakseimbangan antara tuntutan
baik itu tuntutan fisik maupun psikis dengan kemampuan individu dalam
memenuhinya atau gagal dalam memenuhi kebutuhan/tuntutan tersebut dan
berdampak krusial.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa stress merupakan kondisi individu saat
mengalami situasi atau keadaan tertekan yang muncul akibat ketidaksesuaian
antara ekspektasi dan kenyataan sehingga muncul perasaan negatif karena adanya
ancaman terhadap kenyamanan dan kesejahteraan baik secara biologis, psikologis,
dan sosial.

2.2.3 Faktor Stres

Selye (1976) menjelaskan stress disebabkan oleh tuntutan non spesifik


yang mengharuskan individu merespon atau melakukan suatu tindakan yang
dituntut, sehingga stress dapat membuat tubuh merespon hal yang tidak spesifik
terhadap setiap tuntutan atau beban yang dialami.

Stres juga diakibatkan oleh adanya gap adaptasi individu terhadap


perubahan nilai budaya, sistem kemasyarakatan, dan kewajiban yang
mengakibatkan ketegangan antara idealisme dan realita. Perasaan stress
diekspresikan dalam perasaan negatif seperti sikap tidak sabar, frustasi, depresi,
marah, tidak ramah, iri, bimbang, bersalah, khawatir, atau cemas (Suliswati, 2005).

2.1.2 Dimensi Stress

Cohen, Kamarck dan Mermelstein (1983) membagi dimensi menjadi


tiga yang disebut sebagai “the perceived stress scale”, yaitu :

a. Perasaan yang Tidak Terprediksi (feeling of unpredictability)


Individu yang tidak mampu memprediksi peristiwa yang terjadi dalam
kehidupannya secara tiba-tiba, maka individu tersebut akan menjadi tidak
berdaya dan merasa putus asa.
b. Perasaan yang Tidak Terkontrol (feeling of uncontrollability)
Perasaan yang tidak terkontrol terjadi ketika individu tidak mampu
mengendalikan diri atas berbagai tuntutan eksternal termasuk lingkungan
sehingga memberikan efek pada perilaku individu yang dijadikan sebagai
pengalaman individu.
c. Perasaan Tertekan (feeling of overloaded)
Perasaan tertekan ditandai dengan berbagai gejala termasuk perasaan benci,
harga diri rendah, perasaan sedih, cemas, gejala psikosomatis dan lain
sebagainya. Cohen & Williamson (1988) menjelaskan bahwa individu dengan
perasaan tertekan lebih mungkin untuk mengalami stres dibandingkan dengan
individu yang tidak mengalami perasaan tertekan.

2.1.3 Tingkat Stress (lengkapin pake teori yg lain)


Menurut Potter & Perry (1989 dikutip dalam Rasmun 2009 hh. 25-
26) membagi tingkat stres menjadi tiga yaitu :
a. Stres ringan
Apabila stressor yang dihadapi setiap orang teratur, misalnya terlalu
banyak tidur, kemacetan lalu lintas. Situasi seperti ini biasanya
berlangsung beberapa menit atau jam dan belum berpengaruh kepada fisik
dan mental hanya saja mulai sedikit tegang dan was-was.
b. Stres sedang
Apabila berlangsung lebih lama, dari beberapa jam sampai beberapa hari,
contohnya kesepakatan yang belum selesai, beban kerja yang berlebihan
dan mengharapkan pekerjaan baru. Pada medium ini individu mulai
kesulitan tidur sering menyendiri dan tegang.
c. Stres berat
Apabila situasi kronis yang dapat berlangsung beberapa minggu sampai
beberapa tahun, misalnya hubungan suami istri yang tidak harmonis,
kesulitan finansial dan penyakit fisik yang lama. Pada stres berat ini
individu sudah mulai ada gangguan fisik dan mental.

2.2 Karyawan
2.2.1 Definisi Karyawan
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, pengeran Ketenagakerjaan adalah segala hal
yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan
sesudah masa kerja. Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tenaga kerja adalah se ap orang yang
mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik
untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Sedangkan
pada Pasal 1 ayat (3) pengeran pekerja/buruh adalah setiap orang yang
bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pengertian tenaga kerja adalah semua orang yang bersedia dan
sanggup, dan golongan ini meliputi mereka yang bekerja untuk diri sendiri,
anggota keluarga yang tidak menerima bayaran serta mereka yang bekerja
untuk menerima bayaran/upah/gaji (Sumitro Djojohadikusumo, 1985:70)
Sedangkan pengertian tenaga kerja atau karyawan menurut Payman
(dalam Suparno, 2017: 372) definisi tenaga kerja penduduk yang berusia
antara 14 sampai 60 tahun adalah variabel dari tenaga kerja itu sedangkan
orang-orang yang berusia dibawah 14 tahun digolongkan bukan sebagai
tenaga kerja.
2.3 Pemutusan Hubungan Kerja
2.3.1 Defisini PHK
Pemutusan hubungan kerja didefinisikan sebagai berhentinya
hubungan kerja secara permanen antara perusahaan dengan karyawannya,
sebagai perpisahan antara perusahaan dan pekerja, perpindahan tenaga
kerja dari dan ke perusahaan lainnya atau berhentinya karyawan dari
perusahaan yang mengupahnya dengan berbagai alasan. Kuncoro
(2009:203).

Manulang (1988) mengemukakan bahwa istilah pemutusan


hubungan kerja dapat memberikan beberapa pengertian, yaitu:
a. Termination, yaitu putusnya hubungan kerja karena selesainya atau
berakhirnya kontrak kerja yang telah disepakati. Berakhirnya kontrak,
bilamana tidak terdapat kesepakatan antara karyawan dengan manajemen,
berakibat karyawan harus meninggalkan pekerjaannya.
b. Dismissal, yaitu putusnya hubungan kerja karena karyawan melakukan
tindakan pelanggaran disiplin yang telah ditetapkan. Misalnya: karyawan
melakukan kesalahan-kesalahan, seperti mengkonsumsi alkohol atau obat-
obat psikotropika, madat, melakukan tindak kejahatan, merusak
perlengkapan kerja milik pabrik.
c. Redundancy, yaitu pemutusan hubungan kerja karena perusahaan
melakukan pengembangan dengan menggunakan mesin-mesin
berteknologi baru, seperti penggunaan robot-robot industri dalam proses
produksi, penggunaan alat-alat berat yang cukup dioperasikan oleh satu
atau dua orang untuk menggantikan sejumlah tenaga kerja. Hal ini juga
berdampak pengurangan tenaga kerja.
d. Retrenchment, yaitu pemutusan hubungan kerja yang dikaitkan dengan
masalah-masalah ekonomi, seperti resesi ekonomi, masalah pemasaran,
sehingga perusahan tidak mampu untuk memberikan upah kepada
karyawannya
2.3.2 Faktor PHK
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Pemutusan Hubungan
Kerja cukup kompleks dan saling berkait satu sama lain. Menurut Maier
(2000:116), faktor-faktor yang mempengaruhi Pemutusan Hubungan Kerja
yaitu:
1. Faktor Pribadi
a. Usia, pekerja muda mempunyai tingkat turnover yang lebih tinggi
daripada pekerja-pekerja yang lebih tua. Semakin tinggi usia seseorang,
semakin rendah intensi untuk melakukan turnover. Karyawan yang
lebih muda lebih tinggi kemungkinan untuk keluar. Hal ini mungkin
disebabkan pekerja yang lebih tua enggan berpindah-pindah tempat
kerja karena berbagai alasan seperti tanggung jawab keluarga, mobilitas
yang menurun, tidak mau repot pindah kerja dan memulai pekerjaan di
tempat kerja baru, atau karena energi yang sudah berkurang, dan lebih
lagi karena senioritas yang belum tentu diperoleh di tempat kerja yang
baru walaupun gaji dan fasilitasnya lebih besar.
b. Lama Kerja, Pemutusan Hubungan Kerja lebih banyak terjadi pada
karyawan dengan masa kerja lebih singkat. Interaksi dengan usia,
kurangnya sosialisasi awal merupakan keadaan-keadaan yang
memungkinkan terjadinya turnover tersebut. Karyawan sering pula
menemukan harapan-harapan mereka terhadap pekerjaan atau
perusahaan itu berbeda dengan kenyataan yang didapat. Disamping itu,
umumnya pekerja-pekerja baru itu masih muda usianya, masih punya
keberanian untuk berusaha mencari perusahaan dan pekerjaan yang
sesuai dengan yang diharapkan.
c. Keikatan terhadap perusahaan. Pekerja yang mempunyai rasa keikatan
yang kuat terhadap perusahaan tempat ia bekerja berarti mempunyai dan
membentuk perasaan memiliki (sense of belonging), rasa aman, efikasi,
tujuan dan arti hidup, serta gambaran diri yang positif. Akibat secara
langsung adalah menurunnya dorongan diri untuk berpindah pekerjaan
dan perusahaan.
2. Kepuasan kerja. Ketidakpuasan yang menjadi penyebab turnover memiliki
banyak aspek, diantara aspek-aspek itu adalah ketidakpuasan terhadap
manajemen perusahaan, kondisi kerja, mutu pengawasan, penghargaan,
gaji, promosi dan hubungan interpersonal. Kepuasan terhadap kerja,
dengan kepuasan kerja yang diperoleh, diharapkan kinerja karyawan yang
tinggi dapat dicapai para karyawan. Tanpa adanya kepuasan kerja,
karyawan akan bekerja tidak seperti apa yang diharapkan oleh perusahaan.
3. Budaya perusahaan merupakan suatu kekuatan tak terlihat yang
mempengaruhi pemikiran, perasaan, pembicaraan maupun tindakan
manusia yang bekerja di dalam perusahaan. Budaya perusahaan
mempengaruhi persepsi mereka, menentukan dan mengharapkan
bagaimana cara individu bekerja sehari-hari dan dapat membuat individu
tersebut merasa senang dalam menjalankan tugasnya.
2.3.3 Dampak PHK
Menurut Hasan (2016) mengatakan bahwa pemutusan hubungan
kerja (PHK) berdampak besar bagi kehidupan karyawan beserta
keluarganya, adapun dampak PHK yaitu:
a. Dampak terhadap anggota keluarga yang di-PHK. Apabila yang
mengalami PHK adalah kepala keluarga pasti akan merasa stres, sedih
hingga menjadi kurang percaya diri.
b. Pergeseran peran dan tanggung jawab keluarga. Seseorang yang
mengalami PHK mungkin merindukan suasana dan aktivitas pekerjaan.
Berdiam diri terlalu lama di rumah akan menimbulkan kejenuhan.
c. Tekanan keuangan. Hal ini membuat masa pengganguran semakin sulit
sehingga menimbulkan kecemasan dan dapat mengakibatkan konflik
dalam hubungan keluarga.

2.4 Kerangka Konseptual / Berpikir

Di masa pandemi Covid 19 ini sudah terhimpun beberapa data terkait


jumlah karyawan yang terkena PHK khususnya di daerah Jakarta. Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) sendiri adalah prosedur pemberhentian secara permanen
dan sepihak oleh perusahaan kepada karyawannya, dengan berbagai
pertimbangan seperti : buruknya performa karyawan, adanya pelaggaran yang
dilakukan oleh karyawan, sampai ketidaksanggupan perusahaan dalam
memberikan gaji atau bayaran sesuai dengan kesepakatan yang sudah ditetapkan.

Makadari itu dampak dari Pemutusan Hubungan Kerja dapat menimbulkan


stress seseorang karena kehilangan pekerjaannya, ketidak mampuan individu
dalam memenuhi segala tuntutan atau kebutuhannya untuk melanjutkan hidup.
Seperti dampak terhadap anggota keluarga yang di-PHK, apabila yang
mengalami PHK adalah kepala keluarga pasti akan merasa stres, sedih hingga
menjadi kurang percaya diri.

Stress itu sendiri merupakan kondisi dimana seseorang merasa depresi,


sedih, atau marah ketika merasakan ketidaksesuaian dengan keadaan yang
dialaminya, seperti halnya ketidakmampuan dalam memenuhi segala tuntutan
yang diterimanya. Disebabkan oleh tuntutan yang mengharuskan individu
merespon atau melakukan sesuatu untuk mengambil tindakan atas hal yang
menuntutnya, serta adanya ketidakmampuan individu untuk beradaptasi dengan
keadaan baru yang menimpanya yang tidak sesuai dengan ekspetasi mereka.

Bagan Kerangka Berpikir

Pemutusan Hubungan
Perceived Stress
Kerja

2.5 Hasil Penelitian yang Relevan


1. Penelitian yang berjudul Resiliensi pada Karyawan yang Mengalami
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Penelitian tersebut bertujuan mengetahui
bagaimana resiliensi pada karyawan yang mengalami pemutusan hubungan
kerja (PHK). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode
studi kasus. Metode pengambilan data menggunakan wawancara dan observasi
dengan sampling karyawan yang mengalami pemutusan hubungan kerja
dengan usia 30-40 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap individu
dalam menghadapi pemutusan hubungan kerja tentu saja berbeda-beda, ada
individu yang mampu bangkit kembali dari keadaan sebelumnya tetapi kurang
efektif ada juga individu yang mampu bangkit dan pulih dari situasi negatif
secara efektif.
2. Penelitian yang berjudul Hardiness Karyawan yang Mengalami Pemutusan
Hubungan Kerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan melihat
bagaimana seseorang yang telah diberhentikan dapat mengubah sudut pandang
masalah yang dihadapi. Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif
dengan pendekatan studi kasus. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan
teknik wawancara dan pengamatan Snow Ball, dan menggunakan skala
hardiness menurut yo Kobassa. Dalam penelitian ini ada tiga subjek yang
merupakan karyawan yang telah bangkit dari masalah yang dihadapi.bertujuan
untuk mengetahui dan melihat bagaimana seseorang yang memiliki PHK dapat
mengubah sudut pandang masalah yang dihadapi. Sehingga bisa menimbulkan
rasa semangat, sikap tidak putus asa dan mampu menjadi individu yang tangguh
dalam menghadapi masalah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada ketiga
subjek dalam penelitian ini digunakan untuk pernah menempati posisi atau
posisi yang berbeda. Perbedaan posisi yang dimiliki subjek membuat mereka
merasakan kekecewaan yang sama. Pemutusan hubungan kerja yang dialami
oleh ketiga subjek ini menyebabkan perubahan sifat dan sudut pandang mereka
terhadap suatu masalah. Namun demikian komitmen mereka untuk bangkit dari
masalah untuk memenuhi kebutuhan keluarga, terutama untuk subjek RT dan
NN yang merupakan kepala keluarga masih memiliki tanggung jawab untuk
membiayai anak-anak, itu menjadi tantangan dalam kehidupan mereka.
3. Penelitian yang berjudul Stres dan Korelasinya dengan Faktor Demografi pada
Wanita Pekerja di Sektor Tambakau. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
tingkat stress pada perempuan yang bekerja di sektor tembakau dan
hubungannya dengan beberapa faktor demografi. Metode penelitian ini adalah
penelitian analitik korelasional dengan menggunakan pendekatan cross-
sectional. Sebanyak 75 wanita pekerja di sektor tembakau di wilayah
Kabupaten Temanggung berpartisipasi dalam penelitian ini, yang dipilih
dengan menggunakan teknik non-probability sampling. Tingkat stress diukur
dengan menggunakan instrumen Perceived Stress Scale (PSS) dan faktor
demografi dilihat dari faktor usia, status pernikahan, tingkat pendidikan, lama
bekerja, jumlah anak, status tempat tinggal dan pendapatan keluarga. Data
kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik analisis bivariat Chi-square.
Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa sebagian besar responden
memiliki tingkat stres sedang (69,33%) dan hanya 2,67% subjek memiliki
tingkat stres tinggi.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tipe Penelitian

Dalam meneliti variabel yang telah ditentukan, peneliti menggunakan


jenis penelitian pendekatan kuantitatif. Penelitian kuantitatif didasarkan oleh
pengukuran variabel yang diuji pada partisipan untuk memperoleh skor. Skor
yang didapatkan merupakan nilai numeric yang akan diukur dan diuji dengan
analisis statistik sehingga dapat memperoleh ringkasan dan interpretasi dari
fenomena dan variabel yang diteliti (Gravetter & Forzano, 2012).

Dan cara pelaksanaanya penelitian ini akan menggunakan metode


penelitian survey, dimana metode survey adalah metode riset dengan
menggunakan kuisioner sebagai instrumen pengumpulan datanya. Tujuannya
untuk memperoleh informasi tentang sejumlah responden yang dianggap
mewakili populasi tertentu (Kriyantono, 2008). Dengan ini peneliti akan
menggunakan kuesioner sebagai instrumen yang nantinya akan disebar kepada
responden yang menjadi sampel penelitian untuk diperoleh data yang mewakili
populasi tertentu.

3.2 Identifikasi dan Operasional Variabel Penelitian


3.2.1 Definisi Konseptual
Perceived Stress (PS) merupakan perasaan atau pikiran yang dimiliki
individu atas responnya terhadap hal yang dapat membuatnya stress serta
kemampuan dia dalam mengatasi stress tersebut dalam kehidupannya
3.2.2 Definisi Operasional
Stress merupakan keadaan yang dialami seseorang ketika merasakan
ketidaksesuaian antara tuntutan yang diterima dan ketidakkemampuannya
dalam memenuhi atau mengatasinya segala tuntutan yang dihadapinya. Stress
merupakan variabel yang dihitung oleh alat ukur Perceived Stress Scale-10
(PSS-10;Cohen & Williamson, 1988). PSS-10 memiliki skala yang terdiri dari
10 item pertanyaan yang meliputi tiga aspek utama, yaitu; unpredictability,
feeling of uncontrollability, dan feeling of overloaded. Sehingga stress dapat
dilihat dari skor yang diperoleh oleh respon yang mengisi alat ukur PSS-10.
Ketika responden mendapatkan skor tinggi dalam skala, hal tersebut
menunjukkan tingkat stress yang dimiliki responden tersebut tinggi dan
sebaliknya semakin rendah skor responden maka semakin rendah tingkat stress
yang dialaminya.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari atas objek atau
subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan
oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,
2008). Populasi dalam penelitian ini seluruh karyawan yang terkena Pemutusan
Huabungan Kerja (PHK) di daerah Jakarta.

3.3.2 Sampel

Sampel merupakan bagian dari populasi yang ingin di teliti oleh peneliti
Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada
pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka
peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu (Sugiyono,
2013). Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan sejumlah subjek
sebagai sampel dari populasi terntentu dengan karakteristik karyawan yang
terkena PHK di Jakarta

Dalam pengambilan sampel penelitian ini akan menggunakan teknik


probability sampling. Menurut Sugiyono (2013) probability sampling adalah
teknik pengambilan sampel yang memberikan peluang yang sarna bagi setiap
unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel. Teknik
probability sampling yang digunakan yaitu simple random sampling,
pengambilan anggota sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa
memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu (Sugiyono, 2013).

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang akan digunakan dalam pengumpulan data dalam penelitian


ini akan menggunakan kuesioner. Peneliti akan menggunakan skala yang berisi
pernyataan-pernyataan mengenai dimenasi yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur stres adalah alat ukur The Perceived
Stress Scale (PSS-10) yang dirancang oleh Cohen (1994). Skala ini terdiri dari
10 aitem yang disusun berdasarkan pengalaman dan persepsi individu tentang
apa yang dirasakan dalam kehidupan mereka, yaitu perasaan tidak terprediksi
(feeling of unpredictability), perasaan tidak terkontrol (perasaan of
uncontrollability) dan perasaan tertekan (feeling of overloaded), (Cohen,
Kamarck & Mermelstein, 1983).
DAFTAR PUSTAKA

Saraswati, K. D. H. (2017). Perilaku Kerja, Perceived Stress, dan Social Support pada
Mahasiswa Internship. Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni. 1 (1):
216-222.

Gaol, N. T. L. (2016). Teori Stres: Stimulus, Respons, dan Transaksional. Buletin Psikologi.
24(1): 1-11.

Akbar, M. F. R., Rizki, A., Nur, M. (2018). Perceived Stress Level Among Madrasah
‘Aliyah Students During Examination Week. International Journal of Islamic
Studies and Humanities. 1(2):117-127.

Tan, S., & Yip, A. (2018) Hans Selye (1907-1982): Founder of Stress theory. Singapore
Medical Journal, 59(4), 170-171.

Owusu, G. A. & Tawia, M. A. (2014). Stress Management Among Senior Staff Female
Administrators in the University of Cape Coast. International Journal of
Academic Research in Progressive

World Health Organization. 2020. Novel Corona.


https://www.who.int/indonesia/news/novel-coronavirus/qa-for-public

Cohen, S.,Kamarok, T. & Mermelstein. R. (1983). Journal of Health and Social Behavior.

Indriani, M. (2016). Peran Tenaga Kerja Indonesia dalam Pembangunan Ekonomi


Nasional. Gema Keadilan, vol. 3, no. 1, 74-85.

Sebayang, Rehia. 2020. Alert! WHO Resmi Tetapkan Corona Pandemi.


https://www.cnbcindonesia.com/news/20200312064200-4-144245/alert-who-
resmi-tetapkan-corona-pandemi

https://www.bbc.com/indonesia/majalah-51231635 - Virus corona 'kemungkinan berasal


dari ular, dan belum ada vaksin'
https://setkab.go.id/inilah-pp-pembatasan-sosial-berskala-besar-untuk-percepatan-
penanganan-covid-19/ - Inilah PP Pembatasan Sosial Berskala Besar untuk
Percepatan Penanganan Covid-19

Wibowo, Ilham. 2 April 2020. Kapasitas Produksi Industri Manufaktur Indonesia Anjlok
50% https://www.medcom.id/ekonomi/bisnis/eN40OE7N-kapasitas-produksi-
industri-manufaktur-indonesia-anjlok-50

Shalihah, N. F. 2020. Total 1,9 Juta Pekerja Di-PHK dan Dirumahkan akibat Pandemi Virus
Corona. https://www.kompas.com/tren/read/2020/04/19/081000465/total-19-
juta-pekerja-di-phk-dan-dirumahkan-akibat-pandemi-virus-corona?page=all

Manurung, M. Y. 2020. Ribuan Pekerja di Jakarta Kena PHK Selama Pandemi Corona
https://metro.tempo.co/read/1328262/ribuan-pekerja-di-jakarta-kena-phk-selama-
pandemi-corona/full&view=ok

Garaga, B. N. I (2017). Hardiness Karyawan yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja.


PSIKOBORNEO, Volume 5, Nomor 3, 2017 : 642-653.

Alfa, M. Z., Murni, S., & Roring, F. (2016). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemutusan
Hubungan Kerja Karyawan pada PT. PLN (Persero) Rayon Manado Utara. Jurnal
EMBA: Jurnal Riset Ekonomi, Manajemen, Bisnis dan Akuntansi, 4(1).

Murni, S., Alfa, M. Z., & Roring, F. (2016). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemutusan
Hubungan Kerja Karyawan pada PT. Pln (Persero) Rayon Manado Utara. Jurnal
Riset Ekonomi, Manajemen, Bisnis dan Akuntansi, 4(1), 2898.

Azizah, R., & Dwi Hartanti, R. (2016). Hubungan antara tingkat stress dengan kualitas
hidup lansia hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Wonopringgo Pekalongan.

Rosyid, H. F. (2003). PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA: MASIHKAH


MENCEMASKAN?. Buletin Psikologi, 11(2).
Aziz, M. R., & Noviekayati, I. G. A. A. (2016). Dukungan sosial, efikasi diri dan resiliensi
pada karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja. Persona: Jurnal
Psikologi Indonesia, 5(01).

Kartini, M., & Kusumadewi, B. N. (2019). STRES DAN KORELASINYA DENGAN


FAKTOR DEMOGRAFI PADA WANITA PEKERJA DI SEKTOR
TEMBAKAU. Jurnal Keperawatan Karya Bhakti, 5(2), 80-87.

Anda mungkin juga menyukai