Anda di halaman 1dari 35

Referat

DEPRESI PASCA SKIZOFRENIA

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas
Malikussaleh Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Aceh Utara

Oleh:
Rahmi Safira, S.Ked
2106112040

Preseptor:
dr. Mila Astari Harahap, M.Ked (KJ), Sp. KJ

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
hanya dengan rahmat, karunia dan izin-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
referat yang berjudul “Depresi Pasca Skizofrenia” sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Kepanitraan Klinik Senior (KKS) di bagian/SMF Ilmu Kesehatan Jiwa
Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara.
Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terimakasih yang tak
terhingga kepada dr. Mila Astari Harahap, M.Ked(KJ), Sp. KJ sebagai
pembimbing yang telah meluangkan waktunya memberi arahan kepada penulis
selama mengikuti KKS di bagian/SMF Ilmu Kejiwaan Rumah Sakit Umum Cut
Meutia Kabupaten Aceh Utara.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan
referat ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, penulis mengharapkan
saran dan masukan yang membangun demi kesempurnaan referat ini. Semoga
referat ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak.

Aceh Utara, Januari 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................
DAFTAR ISI................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................
2.2 Skizofrenia......................................................................................................
2.2.1 Definisi............................................................................................................
2.2.2 Klasifikasi........................................................................................................
2.2.3 Perjalanan Penyakit.........................................................................................
2.2.4 Diagnosis.........................................................................................................
2.2.5 Penatalaksanaan.............................................................................................
2.2.6 Komplikasi dan Prognosis.............................................................................
2.3 Depresi..........................................................................................................
2.3.1 Definisi...........................................................................................................
2.3.2 Faktor resiko penyebab depresi.....................................................................
2.3.3 Patofisiologi...................................................................................................
2.3.4 Diagnosis Depresi..........................................................................................
2.3.5 Fase Pengobatan............................................................................................
2.3.6 Terapi Depresi................................................................................................
BAB III DEPRESI PASCA SKIZOFRENIA.........................................................
3.1 Definisi...........................................................................................................
3.2 Pedoman Diagnostik......................................................................................
3.3 Terapi.............................................................................................................
3.4 Prognosis........................................................................................................
BAB IV KESIMPULAN............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Skizofrenia merupakan gangguan mental yang ditandai


dengan distorsi dalam berfikir, persepsi, emosi, bahasa, konsep diri
dan perilaku. Skizofrenia merupakan gangguan mental berat dan
kronis yang menyerang 20 juta orang diseluruh dunia (WHO, 2019)
(1). Berdasarkan data CDC (Central of Disease Control) tahun
2021, prevalensi skizofrenia di negara Amerika Serikat telah
meningkat 30% jiwa. Berdasarkan data yang diperoleh dari Riset
Kesehatan Dasar pada tahun 2018 prevalensi skizofrenia di
Indonesia meningkat menjadi 25% penduduk. Prevalensi penduduk
di aceh yang menderita skizofrenia sebanyak 2,7% (2).
Depresi adalah gangguan afektif atu suasana perasaan yang
ditunjukkan dengan mood menurun, yaitu hilangnya energi dan
minat, rasa bersalah, sulit konsentrasi, hilang nafsu makan, serta
pikiran mengenai kematian dan bunuh diri. Menurut statistik WHO,
depresi merupakan penyakit umum yang ada di dunia dengan
insiden lebih dari 264 juta yang terkena. Pada data WHO 2016
secara global, terdapat sekitar 35 juta orang mengalami depresi.
Hasil Riskesdas pada tahun 2018 oleh kemenkes RI, prevalensi
depresi dari total penduduk yang berusia lebih dari 15 tahun di
Indonesia mencapai 6,1 % (2).
Depresi pasca skizofrenia merupakan suatu episode depresif
yang berlangsung lama dan timbul setelah serangan skizofrenia.
Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada tetapi tidak
mendominasi gambaran klinisnya (3). Gejala tersebut berupa gejala
positif atau negatif (biasanya lebih sering gejala negatif). Prevalensi
gangguan depresi pada skizofrenia telah dilaporkan sekitar 40%,
namun tingkat penyakit (awal atau kronis) dan faktor keadaan (akut
atau pasca-psikotik) mempengaruhi angka kejadian yang dengan

1
2

demikian dapat bervariasi. Pada episode akut, angka mencapai 60%,


sedangkan pada skizofrenia post-psikotik, depresi sedang hingga
berat bervariasi antara 20% pada skizofrenia kronis dan 50% setelah
pengobatan episode pertama. Sekitar 25 % dari total pasien
skizofrenia mengalami keterkaitan dengan depresi, dan berdasarkan
klasifikasi diagnostik yang termuat dalam PPDGJ III (Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III) seorang dengan
kondisi depresi pasca skizofrenia akan menunjukkan gejala depresi
yang lebih menonjol dibandingkan dengan gejala skizofrenianya.
Gejala tersebut dapat terjadi pada kurang dari 10 hingga 70 % pasien
pasca skizofrenia dibandingkan dengan gejala skizofrenianya .
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Skizofrenia
2.2.1 Definisi
Skizofrenia menyebabkan pikiran, persepsi, emosi dan perilaku individu
menjadi menyimpang. Seperti jenis kanker, skizofrenia dianggap sebagai sindrom
atau proses penyakit dengan variasi dan gejala yang berbeda (4). Skizofrenia adalah
kondisi psikotik yang berpengaruh terhadap fungsi individu termasuk berpikir,
berkomunikasi, menerima, menafsirkan kenyataan, merasakan, dan menunjukkan
emosi yang ditandai dengan pikiran kacau, delusi, halusinasi, dan perilaku maladaptif
(4).

2.2.2 Klasifikasi
DSM-IV-TR mengklasifikasi skizofrenia berdasarkan presentasi klinisnya
menjadi 5 subtipe, antara lain skizofrenia paranoid, terdisorgaisasi/hebefrenik,
katatonik, tak terdiferensiasi, dan residual (5). sedangkan revisi kesepuluh
International Statistial Classification of Disease and Related Health Problems (ICD-
10) menggunakan sembilan subtipe antara lain skizofrenia paranoid, skizofrenia
tersdisorganisasi/hebefrenik, skizofrenia katatonik, skizofrenia tak terdiferensiasi,
depresi pasca skizofrenia, skizofrenia residual, skizofrenia simpleks, skizofrenia lain
dan skizofrenia YTT. Subtipe-subtipe tersebut tidak secara erat berhubungan dengan
prognosis yang berbeda, untuk memeriksa prognosis pasien skizofrenia
direkomendasikan memeriksa prediktor prognosisnya yang spesifik (6).

3
4

ICD-10 DSM-IV Gejala Kunci


Skizofrenia Paranoid Tipe Paranoid Delusi dan halusinasi
Skizofrenia Hebrefenik Tipe Bicara terdisorganisasi atau
Terdisoragnisasi kacau (sering konyol/dangkal)
(Disorganized) dan afek tumpul atau tidak
sesuai
Skizofrenia Katatonik Tipe Katatonik Gangguan Psikomotor
Skizofrenia Tidak Tipe Tidak Memenuhi kriteria umum, tetapi
Terdiferensiasi Terdiferensiasi tidak ada gejala spesifik subtipe
yang mendominasi
Depresi Pasca-Skizofrenik Beberapa gejala residual, tetapi
gambaran depresi mendominasi
Skizofrenia Residul Tipe Residual Gejala positif sebelumnya
kurang terlihat: gejala negatif
menonjol
Skizofrenia Simpleks Tidak ada halusinasi dan delusi-
sebuah keadaan “defek” (gejala
negatif) secara bertahap muncul
tanpa episode akut

1) Skizofrenia Paranoid (F 20.0)


Skizofrenia tipe ini ditandai dengan preokupasi terhadap satu atau lebih waham
atau halusinasi auditorik yang sering serta tidak adanya perilaku spesifik yang
sugestif untuk tipe hebrefrenik atau katatonik. Secara klasik, skizofrenia tipe paranoid
terutama ditandai dengan adanya waham kejar atau kebesaran. Pasien skizofrenia
paranoid biasanya mengalami episode pertama penyakit pada usia yang lebih tua
dibanding pasien skizofrenia hebefrenik dan katatonik. Pasien yang skizofrenianya
terjadi pada akhir usia 20-an atau 30-an biasanya telah memiliki kehidupan sosial
yang mapan yang dapat membantu mengatasi penyakitnya, dan sumber ego pasien
paranoid cenderung lebih besar dibanding pasien skizofrenia hebefrenik atau
katatonik (6).
5

Pasien skizofrenia paranoid menunjukkan regresi kemampuan mental, respons


emosional, dan perilaku yang lebih ringan dibandingkan pasien skizofrenia tipe lain.
Pasien skizofrenia paranoid biasanya tegang, mudah curiga, berjaga-jaga, berhati-
hati, dan terkadang bersikap bermusuhan atau agresif, namun mereka kadang-kadang
dapat mengendalikan diri mereka secara adekuat pada situasi sosial. Inteligensi
mereka dalam area yang tidak dipengaruhi psikosisnya cenderung tetap utuh.
2) Skizofrenia Terdisorganisasi/Hebefrenik (F 20.1)
Skizofrenia tipe terdisorganisasi (sebelumnya disebut hebefrenik) ditandai
dengan regresi nyata ke perilaku primitif, tak terinhibisi, dan kacau serta dengan tidak
adanya gejala yang memenuhi kriteria tipe katatonik. Awitan subtipe ini biasanya
dini, sebelum usia 25 tahun. Pasien hebefrenik biasanya aktif namun dalam sikap
yang nonkonstruktif dan tak bertujuan. Gangguan pikir menonjol dan kontak dengan
realitas buruk. Penampilan pribadi dan perilaku sosial berantakan, respons emosional
mereka tidak sesuai dan tawa mereka sering meledak tanpa alasan jelas. Seringai atau
meringis yang tak pantas lazim dijumpai pada pasien ini, yang perilakunya paling
baik dideskripsikan sebagai konyol atau tolol.
3) Skizofrenia Katatonik (F 20.2)
Gambaran klasik tipe katatonik adalah gangguan nyata fungsi motorik,
mencakup stupor, negativisme, rigiditas, eksitasi atau berpostur. Pasien terkadang
menunjukkan perubahan yang sangat signifikan antara eksitasi dan stupor ekstrem.
Gambaran terkait meliputi stereotipi, manerisme, dan fleksibilitas serea. Mutisme
terutama lazim ditemukan. Selama stupor atau eksitasi katatonik, pasien memerlukan
pengawasan yang cermat untuk mencegah mereka menyakiti diri sendiri atau orang
lain. Perawatan medis mungkin diperlukan karena adanya malnutrisi, kelelahan,
hiperpireksia, atau cedera yang disebabkan diri sendiri.
4) Skizofrenia Tak Terdiferensiasi (F 20.3)
Seringkali, pasien yang jelas-jelas tidak dapat dengan mudah dimasukkan ke
satu atau tipe lain. DSM-IV-TR mengklasifikasi pasien ini sebagai skizofrenia tipe
tak terdiferensiasi.
6

5) Depresi Pasca Skizofrenia (F 20.4)


Suatu episode depresif yang berlangsung lama dan timbul setelah serangan
skizofrenia. Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada tetapi tidak mendominasi
gambaran klinisnya. Gejala tersebut berupa gejala positif atau negatif (biasanya lebih
sering gejala negatif). Pedoman diagnosis adalah pasien telah menderita skizofrenia
selama 12 bulan terakhir, beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada, dan gejala
depresif sering terlihat dan mengganggu, memenuhi sedikitnya kriteria untuk suatu
episode depresif dan telah ada paling sedikit dua minggu.
6) Skizofrenia Residual (F 20.5)
Skizofrenia tipe residual ditandai dengan bukti kontinu adanya gangguan
skizofrenia tanpa serangkaian gejala aktif atau gejala yang memadai untuk memenuhi
diagnosis skizofrenia tipe lain. Emosi menumpul, penarikan sosial, perilaku eksentrik,
pemikiran tidak logis, dan asosiasi longgar ringan, seringkali tampak pada tipe ini.
Jika terjadi waham atau halusinasi, biasanya tidak prominen atau tidak disertai afek
yang kuat.
7) Skizofrenia simpleks (F 20.6)
Skizofrenia simpleks merupakan diagnosis yang sulit dibuat secara meyakinkan
karena bergantung pada pemastian perkembangan yang berlangsung perlahan,
progresif dari gejala “negatif” yang khas dari skizofrenia residual tanpa riwayat
halusinasi, waham, dan disertai dengan perubahan-perubahan perilaku peorangan,
yang bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, kemalasan, dan
penarikan diri secara sosial, sering timbul pertama kali pada masa pubertas.
DSM-V mengganti subtipe sebelumnya dengan sistem pengkategorian yang
lebih membantu untuk mengikuti perubahan alami penyakit skizofrenia seiring
waktu, penjelasan yang diberikan menyediakan informasi tentang status pasien
(keparahan dari psikosis) dan stadium dari gangguan yang pasien alami (karakteristik
episodik) (5).
7

1) Episode Pertama, saat ini dalam episode akut


Pertemuan pertama manifestasi klinis gangguan jiwa dengan kriteria gejala dan
waktu. Episode akut, adalah periode waktu dimana kriteria gejala terpenuhi.
2) Episode pertama, saat ini dalam remisi parsial
Remisi Parsial adalah periode waktu saat perbaikan muncul setelah episode
sebelumnya dikelola dan kriteria definisi dari gangguan hanya sebagian yang
terpenuhi.
3) Episode pertama, saat ini dalam remisi penuh
Remisi Penuh adalah periode waktu setelah episode sebelumnya dimana tidak
terdapat gejala gangguan spesifik yang muncul
4) Beberapa episode, saat ini dalam episode akut
Beberapa episode dapat ditentukan setelah minimum 2 episode, yaitu setelah
episode pertama, sebuah remisi dan minimum satu relaps. Episode akut telah
didefinisikan diatas.
5) Beberapa episode, saat ini dalam remisi parsial
Beberapa episode dan remisi parsial telah didefinisikan diatas.
6) Beberapa episode, saat ini dalam remisi sempurna
Beberapa episode dan remisi parsial telah didefinisikan diatas.
7) Kontiniu
Gejala yang memenuhi kriteria gejala diagnositik adalah sisa dari sebagian
besar perjalanan penyakit, dengan periode gejala dibawah batas, yang sangat pendek
dibandingkan perjalanan penyakit secara keseluruhan.
8) Tidak Spesifik
Informasi yang tersedia tidak cukup untuk mengkategorikan perjalanan penyakit.
8

2.2.3 Perjalanan Penyakit


Skizofrenia biasanya muncul dalam 3 fase yaitu fase prodromal, fase aktif dan
fase residual (8).
A. Fase Prodromal
DSM-IV-TR mengkarakteristikkan fase prodromal sebagai fase dengan
gangguan fungsi yang jelas sebelum fase aktif, yang tidak diakibatkan gangguan
mood atau substansi psikoaktif dan paling tidak melibatkan 2 tanda dan gejala, antara
lain :
1) Isolasi atau penarikan diri dari sosial yang jelas
2) Gangguan dalam fungsi peran sebagai pencari nafkah, pelajar, atau ibu rumah
tangga
3) Kebiasaan aneh yang jelas
4) Gangguan higiene dan rawat diri
5) Afek tumpul atau tidak semestinya
6) Miskin bicara, miskin konten bicara, digresif, vague, overelaborate atau bicara
circumstantial
7) Kepercayaan aneh atau pikiran magis yang mempengaruhi
8) Pengalaman perseptual yang tidak biasa
9) Kurangnya inisiatif, keinginan atau energi
Anggota keluarga atau teman pasien mungkin melaporkan adanya perubahan
personalitas. Secara tipikal tersembunyi, fase ini mungkin dapat bertahan beberapa
bulan atau tahun.
B. Fase Aktif
Pasien menunjukkan gejala psikotik yang jelas selama fase aktif. Evaluasi
psikiatrik mungkin akan menemukan delusi, halusinasi, hilangnya asosiasi,
inkoherensi, dan tingkah laku katatonik. Riwayat psikosial pasien mungkin
memberitahukan adanya stressor khusus sebelum onset fase ini.
C. Fase Residual
9

Fase residual mengikuti fase aktif dan muncul ketika paling tidak 2 gejala yang
disebutkan pada fase prodromal menetap berdasarkan DSM-IV-TR, gejala tersebut
bukan merupakan hasil dari gangguan mood ataupun akibat substansi psikoaktif. Fase
residual menyerupai fase prodromal, kecuali gangguan yang mempengaruhi dalam
afek dan peran fungsional biasanya lebih parah, delusi dan halusinasi mungkin tetap
ada.

2.2.4 Diagnosis
Berikut ini merupakan pedoman diagnostik untuk Skizofrenia berdasarkan
PPDGJ III (6):
1) Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
a) - Thought echo : isi pikiran diri sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya
sama, namun kualitasnya berbeda; atau
- Thought insertion or withdrawal : isi pikiran yang asing dari luar masuk
ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh
sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan
- Thought broadcasting : isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain
atau umum mengetahuinya.
b) - Delusion of control : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
- Delusion of influence : waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
- Delusion of passivity : waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah
terhadap sesuatu kekuatan dari luar; dan
- Delusional perception : pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau
mukjizat.
10
11

c) Halusinasi auditorik :
- suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien; atau
- mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai
suara yang berbicara).
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d) Waham - waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan
agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia
biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau komunikasi dengan
makhluk asing dari dunia lain).
2) Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :
a) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disertai ide-ide berlebihan (over- valued ideas)
yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan terus berulang.
b) Arus pikiran yang terputus (break) atau mengalami sisipan (interpolation),
yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau
neologisme.
c) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor.
d) Gejala-gejala "negatif",seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja
sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh
depresi atau medikasi neuroleptika.
3) Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih omset perlangsungannya yang terjadi pada pasien.
12

4) Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
(overall quality) dari beberapa aspek kehidupan perilaku pribadi (personal
behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak
berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed atitude), dan penarikan
diri secara sosial.

2.2.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan skizofrenia sampai saat ini tidak ada satu pun terapi yang
dapat menyembuhkan skizofrenia. Terapi awal yang diberikan kepada pasien didasari
oleh gejala dan keparahan dari penyakit tersebut. Perawatan di rumah memang dapat
dilakukan, tetapi perawatan di rumah sakit jauh lebih disarankan terutama pada
episode pertama di mana ada risiko tinggi yang dapat membahayakan pasien maupun
orang-orang di sekitar pasien. Ada 3 fase pengobatan yang dilakukan, yaitu: (9)
1. Fase Akut
Tujuan terapi pada fase akut adalah mencegah munculnya efek samping buruk,
mengontrol perilaku, mengurangi keparahan dari psikosis itu sendiri dan gejala yang
menyertai, menentukan faktor- faktor yang memengaruhi munculnya episode akut,
membangun kerja sama dengan pasien dan juga keluarganya, menyusun rencana
terapi jangka pendek dan jangka panjang, dan menghubungkan pasien dengan
fasilitas aftercare yang tepat.(10)
1) Langkah Pertama:
Berbicara kepada pasien dan memberinya ketenangan
2) Langkah Kedua:
Keputusan untuk memulai pemberian obat.
Pengikatan atau isolasi hanya dilakukan bila pasien berbahaya terhadap dirinya
sendiri dan orang lain serta usaha restriksi lainnya tidak berhasil. Pengikatan
dilakukan hanya boleh untuk sementara yaitu sekitar 2-4 jam dan digunakan untuk
memulai pengobatan. Meskipun terapi oral lebih baik, pilihan obat injeksi untuk
13

mendapatkan awitan kerja yang lebih cepat serta hilangnya gejala dengan segera
perlu dipertimbangkan.
Obat injeksi:
1) Olanzapine, dosis 10 mg/injeksi, intramuskulus, dapat diulang setiap 2 jam,
dosis maksimum 30mg/hari.
2) Aripriprazol, dosis 9,75 mg/injeksi (dosis maksimal 29,25 mg/hari),
intramuskulus.
3) Haloperidol, dosis 5mg/injeksi, intramuskulus, dapat diulang setiap setengah
jam, dosis maksimum 20mg/hari.
4) Diazepam 10mg/injeksi, intravena/intramuskulus, dosis maksimum 30mg/hari
Antipsikotik masih menjadi terapi utama yang diberikan kepada pasien
skizofrenia. Antipsikotik dinilai efektif untuk mengatasi episode akut maupun
mencegah munculnya relaps.
Antipsikotik generasi pertama,
 Fluphenazine: 2,5-10 mg/hari dikonsumsi 2-3 kali sehari dengan dosis
maksimum 40 mg/hari
 Haloperidol: 0,5-2 mg dikonsumsi 2-3 kali sehari dengan dosis maksimum 30
mg/hari
 Perphenazine: 4-8 mg dikonsumsi 3 kali sehari dengan dosis maksimum 64
mg/hari
Antipsikotik generasi kedua,
 Risperidone: 1 mg dikonsumsi 2 kali sehari dengan dosis maksimum 16
mg/hari
 Paliperidone: 6 mg dikonsumsi 1 kali sehari dengan dosis maksimum 12
mg/hari
 Olanzapine: 5–10 mg dikonsumsi 1 kali sehari dengan dosis maksimum 20
mg/hari
 Clozapine: 12,5 mg dikonsumsi 1-2 kali sehari dengan dosis maksimum 900
mg/hari
14

Antipsikotik generasi ketiga seperti: aripiprazole, brexpiprazole, dan cariprazine


adalah agonis parsial terhadap reseptor dopamin D2.

2. Fase Stabilisasi
Tujuan fase stabilisasi adalah mempertahankan remisi gejala atau untuk
mengontrol, meminimalisasi risiko atau konsekuensi kekambuhan dan
mengoptimalkan fungsi dan proses kesembuhan (recovery). Setelah diperoleh dosis
optimal, dosis tersebut dipertahankan selama lebih kurang 8 – 10 minggu sebelum
masuk ke tahap rumatan. Pada fase ini dapat juga diberikan obat anti psikotika jangka
panjang (long acting injectable), setiap 2-4 minggu.
3. Fase Stabil
Pada fase stabil biasanya penyakit pasien berada dalam stase remisi. Tujuan
terapi pada fase ini adalah mencegah relaps dan memandu pasien untuk dapat
meningkatkan level fungsional mereka. Pasien yang sudah stabil dan diberikan
antipsikotik menunjukkan penurunan relaps dibandingkan pasien yang berhenti
diberikan antipsikotik sebanyak enam belas hingga 23% pasien dengan antipsikotik
hanya mengalami satu kali episode relaps dalam satu tahun. Dosis mulai diturunkan
secara bertahap sampai diperoleh dosis minimal yang masih mampu mencegah
kekambuhan. Bila kondisi akut, pertama kali, terapi diberikan sampai dua tahun, bila
sudah berjalan kronis dengan beberapa kali kekambuhan, terapi diberikan sampai
lima tahun bahkan seumur hidup.
Psikoterapi
1) Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
Cognitive Behavioral Therapy (CBT) atau terapi perilaku kognitif merupakan
bentuk perawatan yang dapat membantu orang mengembangkan keterampilan dan
strategi yang berguna untuk mengatasi pikiran yang mengganggu, salah satunya yaitu
dengan pemberian Thought Stopping Therapy.
2) Pyschodynamic Therapy
15

Pyschodynamic therapy atau terapi psikodinamik yang dikenal juga sebagai


terapi psikoanalitik, terapi psikodinamik melibatkan percakapan antara psikolog dan
pasien mereka. Percakapan ini berusaha mengungkap pengalaman emosional dan
proses bawah sadar yang berkontribusi pada kondisi mental seseorang saat ini.
3) Acceptance and Commitment Therapy (ACT)
Acceptance and Commitment Therapy (ACT) atau terapi penerimaan dan
komitmen adalah jenis terapi perilaku yang mendorong orang untuk menerima,
daripada menantang perasaan mendalam mereka. ACT juga berfokus pada komitmen
terhadap tujuan dan nilai pribadi serta meningkatkan kualitas hidup seseorang secara
keseluruhan. Terakhir, ACT mengajarkan keterampilan mindfulness yang dapat
membantu seseorang tetap fokus pada momen saat ini daripada termakan oleh pikiran
atau pengalaman negatif. Menggabungkan ketiga kondisi ini (misalnya, penerimaan,
komitmen, dan perhatian), seseorang dapat mengubah perilakunya dengan terlebih
dahulu mengubah sikapnya terhadap dirinya sendiri.
4) Family therapy
Family therapy atau terapi keluarga merupakan bentuk psikoterapi yang
melibatkan keluarga dan orang-orang penting lainnya dari penderita skizofrenia dan
kondisi kesehatan mental lainnya. Berfokus pada pendidikan, pengurangan stres, dan
pemerosesan emosional. Membantu anggota keluarga berkomunikasi dengan lebih
baik dan menyelesaikan konflik satu sama lain (11).

2.2.6 Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi
Komplikasi skizofrenia jika tidak diobati, dapat menyebabkan masalah fisik,
emosi, dan perilaku yang ekstrim yang mempengaruhi setiap area kehidupan orang
tersebut. Komplikasi dan efek skizofrenia yang tidak diobati meliputi:
 Efek samping antipsikotik, berupa distonia, sindrom kolinergik, hipotensi
postural, parkinsonism
 Komplikasi psikiatri, misalnya depresi, melukai diri sendiri, bunuh diri
16

 Komplikasi sosial, seperti menjadi tunawisma, ketidakmampuan bekerja atau


sekolah, kemiskinan, fobia dan isolasi sosial, menjadi korban perilaku agresif
oleh orang lain, serta pemasungan
 Kematian
Prognosis
Sepertiga dari pasien skizofrenia yang datang berobat dalam tahun pertama
setelah serangan pertama akan sembuh (full remission/recovery), sepertiga yang lain
dapat dikembalikan ke masyarakat walaupun masih didapati cacat sedikit dan masih
harus sering diperiksa dan diobati, mereka tidak dapat berfungsi didalam masyarakat
sehingga terjadi kemunduran mental, lalu kemungkinan menjadi pasien rawat inap
kembali di rumah sakit jiwa.
Pasien yang menghentikan pengobatan disebutkan 60-70% akan mengalami
kekambuhan dalam satu tahun, dan 85% dalam 2 tahun, dibandingkan dengan pasien
yang tetap aktif melaksanakan pengobatan yaitu 10-30%.
Perkiraan perjalanan penyakit dan prognosis pasien skizofrenia pada
penelitian kohort dengan follow-up selama 13 tahun antara lain:
a. Sekitar 15-20% dari episode pertama tidak akan kambuh.
b. Beberapa orang akan tetap bekerja
c. 52% tanpa gejala psikotik dalam 2 tahun terakhir.
d. 52% tanpa gejala negatif.
e. 55% menunjukkan fungsi sosial yang baik/cukup baik

2.3 Depresi
2.3.1 Definisi
Depresi merupakan gangguan mental yang ditandai dengan munculnya gejala
penurunan mood, kehilangan minat terhadap sesuatu, perasaan bersalah, gangguan
tidur atau nafsu makan, kehilangan energi, dan penurunan konsentrasi. Terdapat
berbagai penyebab terjadinya depresi pada seseorang seperti kecelakaan, faktor
ekonomi, lingkungan, dan lain sebagainya. Depresi ini berdampak pada pola pikir,
17

pola hidup, suasana hati, perasaan, dan cara menghadapi hidup. Gejala umum yang
dialami pada penderita depresi ringan adalah afek depresi, pada depresi sedang adalah
kehilangan minat dan kegembiraan, serta pada depresi berat adalah mudah lelah yang
berpengaruh pada menurunnya aktifitas penderita. Gejala lain yang dialami oleh
orang yang depresi adalah berkurangnya konsentrasi, perhatian, harga diri,
kepercayaan, berpikiran tentang masa depan yang suram, merasa bersalah, rasa ingin
bunuh diri, berperilaku membahayakan diri, nafsu makan yang kurang, serta sulit
tidur. Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnostik Gangguan Jiwa III di
Indonesia yang dimaksud depresi adalah sekumpulan gejala dengan gambaran utama
gangguan mood yang mempengaruhi penampilan kognitif, psikomotor dan
psikososial disertai kesulitan hubungan interpersonal (12).

2.3.2 Faktor resiko penyebab depresi


Faktor-faktor penyebab gangguan depresi antara lain ialah :
1. Faktor genetik
Penelitian ilmiah membuktikan bahwa depresi ibu dan kecemasannya selama
kehamilan dapat diwariskan dan dapat menyebabkan kecemasan dan gangguan
depresi pada bayi baru lahir. Diperkirakan bahwa orang-orang, yang kerabat tingkat
pertama menderita depresi adalah 1,5 hingga 3 kali lebih mungkin untuk
mengembangkan depresi. Menurut beberapa penelitian, depresi dapat dikaitkan
dengan gen yang menempati posisi tetap pada kromosom 8, 15 dan 17.
2. Faktor biologis
Data penelitian biopsikologi menyatakan yang paling berperan dalam
patofisologi gangguan mood adalah disregulasi pada amine biogenic seperti
norepinefrin, serotonin dan dopamin. Penurunan serotonin dapat mencetuskan
depresi, dan pada beberapa pasien yang bunuh diri memiliki konsentrasi metabolik
serotonin di dalam cairan serebrospinal yang rendah serta konsentrasi tempat ambilan
serotonin yang rendah di trombosit. Beberapa pasien depresi juga memiliki respon
neuroendokrin yang abnormal. Walaupun norepinefrin dan serotonin adalah amine
18

biogenic yang paling sering dihubungkan dengan patofisologi depresi, dopamin juga
telah diperkirakan memiliki peranan dalam depresi.. Diasumsikan bahwa
berkurangnya produksi neurotransmitter ini dapat menyebabkan gejala depresi, dan
munculnya pikiran dan tindakan bunuh diri.
3. Faktor sosial dan gaya hidup
Ini dapat mencakup masalah keluarga, pengalaman traumatis, semua jenis stres,
kecanduan, kewalahan dengan tugas sehari-hari, susah tidur.
4. Pengaruh keluarga
Di sini, keduanya adalah hubungan antara orang tua sendiri, serta hubungan
mereka dengan anak-anak. Mungkin ada konflik, perceraian, alkoholisme dalam
keluarga, termasuk gangguan kesehatan mental dan kekerasan rumah tangga yang
bersifat seksual atau moral. Menurut sebuah artikel yang diterbitkan oleh Journal of
American Academy of Child & Adolescent Psychiatry , riwayat keluarga yang rentan
terhadap depresi dan tingkat pendidikan orang tua memiliki dampak yang signifikan
terhadap terjadinya gejala depresi di kalangan remaja. Mereka berisiko tiga kali lipat
lebih tinggi untuk mengalami gejala depresi.
2.3.3 Patofisiologi
Depresi terjadi karena beberapa faktor, salah satunya adalah faktor biologi yang
dipengaruhi oleh kadar neurotransmiter berupa dopamin, norepinefrin dan serotonin.
Senyawa serotonin, norepinefrin, dan dopamin merupakan suatu neurotransmiter
yang berpengaruh terhadap terjadinya depresi jika konsentrasinya tidak seimbang di
celah sinaptik. Keseimbangan kadar neurotransmiter dapat diperoleh dari
penghambatan Monoamine Oxidize (MAO) dan reuptake reseptor neurotransmiter.
Depresi terjadi karena salah satu atau lebih jalur penghantaran kimia terutama
neurotransmiter terganggu. Hal ini disebabkan karena tidak sensitifnya autoreseptor,
hipersensitif SERT dan MAO dalam memetabolisme neurotransmiter mengakibatkan
kadar dari serotonin dan neurotransmiter lain berkurang di celah sinaptik.
Neurotransmitter yang sangat berperan dalam terjadinya depresi adalah serotonin dan
norepinefrin sedangkan dopamin berperan dalam terjadinya parkinson. Serotonin dan
19

norepinefrin banyak terdapat di celah sinaptik yang mampu mengontrol pola tidur dan
emosional, serta lokomotor.

Gambar 1. Perbandingan Mekanisme Neurotransmitter Orang Normal dan Orang Depresi.

Serotonin (5-HT) berperan dalam regulasi nafsu makan yang berpengaruh


terhadap berat badan, perilaku sosial, fungsi lokomotor, regulasi tidur, dan detak
jantung. Berkurangnya kadar serotonin pada otak dapat menimbulkan gejala depresi
seperti keinginan bunuh diri, keinginan untuk mengkonsumsi alkohol, stress, hingga
gangguan jiwa. Serotonin memiliki reseptor yang terletak pada korteks, hipotalamus
dan amigdala yang berfungsi memberikan respon dari molekul serotonin berupa
kemampuan daya ingat, perubahan pola makan dan tidur, serta menjaga kesehatan
usus dengan menstimulasi flora usus. Serotonin dihasilkan dari sintesis triptopan
dengan bantuan enzim triptopan hidroksilase dan asam amino aromatik
dekarboksilase. Serotonin yang telah terbentuk akan diangkut oleh monoamin vesicle
tranporter ke dalam vesicle. Vesicle ini merupakan tempat penyimpanan dari
neurotransmiter sebelum dilepaskan ke celah sinaptik. Serotonin akan dilepaskan ke
celah sinaptik jika terjadi kekurangan, serotonin yang berada pada celah sinaptik akan
berikatan dengan reseptor spesifik pada post-sinaptik. Serotonin yang sudah berikatan
dengan reseptor di post-sinaptik akan di-reuptake oleh transporter reuptake serotonin
begitu juga jika terjadi kelebihan serotonin pada celah sinaptik. Serotonin yang sudah
20

di-reuptake akan diangkut menuju vesicle atau didegradasi oleh enzim pendegradasi
(monoamin oksidase). Serotonin akan berikatan dengan autoreseptor sehingga
menghasilkan sinyal berhenti dalam mensintesis serotonin sehingga kadar serotonin
di celah sinapsis seimbang. Autoreseptor ini juga berperan dalam pengeluaran
serotonin dan neurotransmiter monoamin lain jika terjadi kekurangan pada celah
sinaptik.
2.3.4 Diagnosis Depresi
Menurut PPDGJ III, kriteria diagnosis episode depresif (F32) adalah sebagai
berikut (6):
 Gejala utama ( pada derajat ringan, sedang, dan berat) :
1) Afek depresif
2) Kehilangan minat dan kegembiraan
3) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah
lelah ( rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja ) dan menurunnya
aktivitas.
 Gejala Lainnya :
1) Konsentrasi dan perhatian berkurang
2) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
3) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
4) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
5) Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri
6) Tidur terganggu
7) Nafsu makan berkurang
 Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan
masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, akan
tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa
beratnya dan berlangsung cepat.
21

 Kategori diagnosis episode depresif ringan (F32.0), sedang (F32.1) dan


berat (F32.2) hanya digunakan untuk episode depresif tunggal (yang
pertama). Episode depresif berikutnya harus diklasifikasikan dibawah
salah satu diagnosis gangguan depresif berulang (F33.-)

Pedoman Diagnostik Kategori Depresi


1. (F32.0) Episode Depresif Ringan :
- Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti tersebut
diatas
- Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya: 1) sampai dengan 6).
- Tidak boleh ada gejala berat diantaranya.
- Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu.
- Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukannya.
2. (F32.1) Episode Depresif Sedang
- Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti pada episode
depresi ringan.
- Ditambah 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya.
- Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu.
- Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan
urusan rumah tangga,.
3. (F32.2) Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik
- Semua 3 gejala utama depresi harus ada.
- Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa di antaranya
harus berintensitas berat.
22

- Bila ada gejala penting ( misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang mencolok,
maka pasien mungkin tidak mau ataupun pasien tidak mampu untuk melaporkan
banyak gejalanya secara rinci kepada dokter. Dalam hal demikian, penilaian secara
menyeluruh terhadap episode depresif berat masih dapa dibenarkan.
- Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang- kurangnya 2 minggu, akan
tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan
untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu.
- Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan
atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.
4. (F32.3) Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik
- Episode depresif berat yang memenuhi kriteri menurut F32.2 tersebut diatas.
- Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham malapetaka yang
mengancam dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik
atau olfatorik biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh, atau bau
kotoran atau daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju
stupor. Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau
tidak serasi dengan afek (mood-congruent).
2.3.5 Fase Pengobatan
Tujuan dari pengobatan depresi adalah untuk mengurangi gejala depresi akut,
memudahkan pasien agar dapat kembali kepada fungsi hidupnya seperti semula
sebelum terkena depresi dan untuk mencegah depresi lebih lanjut.
3.2 Fase akut
Tujuan terapi fase akut yaitu untuk mencapai masa remisi, yaitu masa ketika
gejala-gejala depresi seminimal mungkin. Pada masa remisi ini kriteria-kriteria
terjadinya episode depresi mayor pada pasien sudah berkurang, dan terjadinya
peningkatan fungsi psikososial. Rawat inap dibutuhkan jika pasien menunjukkan
gejala-gejala yang parah. Terapi fase akut biasanya berlangsung selama 6-10 minggu.
Evaluasi terhadap pasien dilakukan seminggu sekali atau 2 minggu sekali. Dosis obat
23

yang diberikan mulai dari dosis yang rendah, kemudian secara bertahap dosis
ditingkatkan, tergantung dari respon klinik pasien dan efek samping yang muncul.
3.3 Fase Lanjutan
Terapi fase lanjutan pada umumnya berlangsung selama 6-9 bulan setelah
dimulainya masa remisi. Tujuannya yaitu untuk menghilangkan gejala residual,
mengembalikan fungsi-fungsi seperti sebelumnya, dan mencegah terjadinya
recurrence atau relapse yang lebih awal. Adanya gejala residual (remisi parsial)
merupakan prediktor yang kuat untuk terjadinya recurrence atau relapse yang lebih
awal atau terjadinya depresi kronis. Terapi harus dilanjutkan hingga gejala-gejala
yang ada hilang. Episode depresi yang berlangsung selama lebih dari 6 bulan dan
depresi dengan gejala psikotik membutuhkan masa terapi lanjutan yang lebih lama
hingga 12 bulan. Pengobatan dan dosis yang sama seperti pada terapi fase akut
digunakan selama terapi lanjutan
3.4 Fase pemeliharaan
Terapi fase pemeliharan dilakukan selama 12-36 bulan untuk mengurangi
resiko terjadinya recurrence hingga 2/3. Pendekatan ini diindikasikan bagi pasien
yang tiap tahunnya mengalami episode depresi, pasien yang mengalami kerusakan
fisik akibat gejala residual yang ringan, pasien yang menderita depresi mayor atau
minor yang kronis, atau bagi pasien depresi berat dengan resiko bunuh diri. Durasi
terapi pemeliharaan ini tergantung dari sejarah penyakit dan untuk kasus yang
mengalami recurrence, terapi pemeliharaan ini dapat diperpanjang atau bahkan
dilakukan dalam waktu yang tak terbatas.
2.3.6 Terapi Depresi
Salah satu terapi untuk penanganan depresi adalah dengan menggunakan obat
antidepresan. Menurut Depkes, penggolongan obat anti depresan mencakup 3
golongan obat yaitu:
a. Trysyclic Antidepressants
24

Mekanisme kerja obat–obat ini menghambat resorpsi dari serotonin dan


noradrenalin dari sela sinaps di ujung-ujung saraf. Contoh obat golongan ini adalah
Imipramin, Amitriptilin, Desipramin
b. SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)
Mekanisme dari SSRI adalah menghambat reuptake serotonin di presinaptik
pada celah sinaptik. SSRI memiliki afinitas tinggi pada transporter uptake serotonin,
afinitas rendah pada transporter uptake noradrenalin dan afinitas sangat rendah pada
transporter uptake neurotransmiter. Re-uptake serotonin mengakibatkan serotonin
dimetabolisme oleh monoamin oksidase, selain itu juga serotonin yang tidak dipecah
oleh monoamin oksidase akan berikatan dengan monoamin vesicle transporter untuk
disimpan ke dalam vesicle yang akan dikeluarkan jika terjadi kekurangan dari
neurotransmiter diotak.
c. Antidepresan MAOI.
Monoamine Oxidase Inhibitor (MAOI) merupakan suatu sistem enzim
kompleks yang terdistribusi luas dalam tubuh, berperan dalam dekomposisi amin
biogenik, seperti norepinefrin, epinefrin, dopamin, serotonin. MAOI menghambat
sistem enzim monoamin oksidase, sehingga menyebabkan peningkatan konsentrasi
amin endogen.
Terapi fisik dan perilaku
1. Electro Convulsive Therapy (ECT)
ECT adalah terapi dengan melewatkan arus listrik ke otak. Metode terapi
semacam ini sering digunakan pada kasus depresif berat atau mempunyai risiko
bunuh diri yang besar danrespon terapi dengan obat antidepresan kurang baik. Pada
penderita dengan risiko bunuh diri, ECT menjadi sangat penting karena ECT akan
menurunkan risiko bunuh diri dan dengan ECT lama rawat di rumah sakit menjadi
lebih pendek. Pada keadaan tertentu tidak dianjurkan ECT, bahkan pada beberapa
kondisi. Tindakan ECT merupakan kontra indikasi.
ECT tidak dianjurkan pada keadaan:
1) Usia yang masih terlalu muda ( kurang dari 15 tahun )
25

2) Masih sekolah atau kuliah


3) Mempunyai riwayat kejang
4) Psikosis kronik
5) Kondisi fisik kurang baik
6) Wanita hamil dan menyusui
Selain itu, ECT dikontraindikasikan pada : penderita yang menderita
epilepsi, TB milier, tekanan tinggi intrakranial dan kelainan infark jantung.
2. Psikoterapi
Psikoterapi merupakan terapi yang digunakan untuk menghilangkan atau
mengurangi keluhan-keluhan dan mencegah kambuhnya gangguan psikologik atau
pola perilaku maladaptif. Terapi dilakukan dengan jalan pembentukan hubungan
profesional antar terapis dengan penderita. Psikoterapi pada penderita gangguan
depresif dapat diberikan secara individu, kelompok, atau pasangan disesuaikan
dengan gangguan psikologik yang mendasarinya. Psikoterapi dilakukan dengan
memberikan kehangatan, empati, pengertian dan optimisme. Dalam pengambilan
keputusan untuk melakukan psikoterapi sangat dipengaruhi oleh penilaian dari dokter
atau penderitanya.
BAB III
DEPRESI PASCA SKIZOFRENIA

3.1 Definisi
Depresi pasca skizofrenia merupakan gejala depresif setelah suatu episode
psikotik pada seorang pasien skizofrenia dikategorikan sebagai contoh dari
gangguan depresif yang tidak ditentukan dalam DSM-II-R. Orang dengan baik
skizofrenia dan depresi mungkin memiliki kesulitan berkomunikasi suasana hati
yang tertekan atau dalam keadaan perasaan, sehingga membatasi utilitas klinis
pertanyaan langsung tentang suasana hati mereka. Sebaliknya, pertanyaan tentang
minat mereka dalam hal-hal dan kegiatan mungkin lebih berguna dalam
membedakan gejala depresi. Misalnya, kehilangan minat dalam kegiatan yang
biasa (anhedonia) adalah kesamaan depresi. Sebaliknya, pasien dengan gejala
negatif skizofrenia sendiri) mungkin menggambarkan kepentingan mereka dalam
hambar dan cara afektif dibatasi.
Perasaan bersalah atau keputusasaan dan tema bunuh diri dan bunuh juga
dapat membantu dalam diferensiasi, dan dalam mengevaluasi risiko menyakiti diri
atau bunuh diri. Fitur lain dari depresi meliputi gejala neurovegetative signifikan,
seperti tidur dan nafsu makan berkurang, tetapi pada skizofrenia, ritme sirkadian
dan nafsu makan dapat dipengaruhi oleh gangguan inti dan beberapa obat
antipsikotik. Penilaian risiko sangat penting bagi siapa saja dengan skizofrenia
dan gejala depresi, seperti bunuh diri merupakan penyebab utama kematian di
antara orang dengan skizofrenia. risiko lainnya seperti pengabaian diri dan asupan
makanan yang buruk juga harus dinilai, karena banyak orang dengan skizofrenia
terisolasi secara sosial dan tidak memiliki pengasuh memberikan dukungan atau
pemantauan kesejahteraan mereka.

26
27

3.2 Pedoman Diagnostik


Berdasarkan PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa III) depresi pasca skizofrenia masuk ke dalam F20.4 dengan kriteria sebagai
berikut:
Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :
a. Pasien telah menderita skizofrenia ( yang memenuhi kriteria umum
skizofrenia) selama 12 bulan terakhir ini.
b. Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi
mendominasi gambaran klinisnya).
c. Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling
sedikit kriteria untuk episode depresif (F32.-) dan telah ada dalam kurun
waktu paling sedikit 2 minggu.
Apabila pasien pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis
menjadi Episode depresif (F32.-). Bila gejala skizofrenia masih jelas dan
menonjol, Diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai
(F20.0- F20.3).
3.3 Terapi
Terapi farmakologi :
1. Obat Antipsikotik
Skizofrenia diobati dengan antipsikotika (AP). Antipsikotik dibagi dalam
dua kelompok, berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu:
a. Dopamine receptor antagonist (DRA) atau antipsikotika generasi I
(APG-I) disebut juga antipsikotika konvensional atau tipikal Obat APG-I berguna
terutama untuk mengontrol gejala-gejala positif sedangkan untuk gejala negatif
hampir tidak bermanfaat. Semua obat APG-I dapat menimbulkan efek samping
extrapiramidal symptoms (EPS) yaitu parkinsonisme, distonia akut, dan akatisia.
b. Serotonin dopamine antagonist (SDA) atau antipsikotika generasi II
(APG-II) disebut juga antipsikotika baru atau atipikal.Obat APG-II bermanfaat
baik untuk gejala positif maupun negative (13).
2. Obat Anti-depresi
a. Penggolongan obat antidepressan adalah:
28

- Golongan Trisiklik (Amitriptilin, Imipramin, Clomipramine, Tianeptine)


- Golongan MAOI-Reversible (Moclobemid)
- Golongan SSRI (Sertralin, Paroxetine, Fluvoxamine, Fluoxetin, Duloxetine,
Citalopram)
b. Mekanisme Kerja
Sindrom depresi disebabkan oleh defesiensi relatif salah satu atau beberapa
“aminergic neurotransmitter” (serotonine, dopamine) pada sinaps neuron di SSP
Mekanisme kerja Obat Anti-depresi adalah:
- Menghambat “re-uptake aminergic neurotransmitter”
- Menghambat penghancuran oleh enzim “monoamine Oxidase”, Sehingga terjadi
peningkatan jumlah “aminergic neurotransmitter” pada sinaps neuron di SSP.
c. Efek Samping
- Sedasi (seperti rasa mengantuk)
- Efek Antikolinergik (seperti mulut kering, takikardi, konstipasi)
- Efek Antiadrenergik (seperti hipotensi)
- Efek Neurotoksis (seperti insomnia, tremor halus)
3. Terapi Non Farmakologi :
1. Cognitive Behavior Therapy (CBT) merupakan pendekatan belajar
terhadap terapi yang menggabungkan teknik kognitif dan behavioral (14). Terapi
ini berusaha untuk mengintegrasikan teknik-teknik terapeutik yang berfokus untuk
membantu individu melakukan perubahan-perubahan, tidak hanya pada perilaku
nyata tetapi juga dalam pemikiran, keyakinan, dan sikap mendasarinya. Pada
intervensi cognitive behavior therapy ini terapis menggunakan teknik konfrontasi
dengan menyerang ketidaklogikan berpikir subjek dan membawa subjek ke arah
berpikir yang lebih logik. Ketidaklogikan yang dimaksud adalah keyakinan-
keyakinan irasional subjek.
2. Psikoterapi
Psikoterapi merupakan usaha seorang terapis untuk memberikan suatu
pengalaman baru bagi orang lain. Pengalaman ini dirancang untuk meningkatkan
kemampuan seseorang dalam mengelola distress subjektif.
29

3.4 Prognosis
Kemungkinan prognosis baik, jika episode depresif ringan pasca skizofrenia ,
waktu rawat inap singkat, indikator psikososial meliputi mempunyai teman akrab
selama masa remaja, fungsi keluarga stabil, lima tahun sebelum sakit secara
umum fungsi sosial baik. Kemungkinan prognosis buruk, jika depresi berat
bersamaan dengan distimik, penyalahgunaan alkohol dan zat lain, ditemukan
gejala cemas, ada riwayat lebih dari sekali episode depresi sebelumnya, serta
gejala skizofrenia kembali muncul seperti gejala positif pada skizofrenia.
BAB IV
KESIMPULAN
Skizofrenia menyebabkan pikiran, persepsi, emosi dan perilaku individu
menjadi menyimpang. Skizofrenia dianggap sebagai sindrom atau proses penyakit
dengan variasi dan gejala yang berbeda. Skizofrenia adalah kondisi psikotik yang
berpengaruh terhadap fungsi individu termasuk berpikir, berkomunikasi,
menerima, menafsirkan kenyataan, merasakan, dan menunjukkan emosi yang
ditandai dengan pikiran kacau, delusi, haluisnasi, dan perilaku maladaptif.
Umumnya, schizophrenia terjadi pada usia remaja dan dewasa muda. Diagnosis
schizophrenia ditegakkan dengan kriteria  PPDGJ III.
Depresi merupakan gangguan mental yang ditandai dengan munculnya gejala
penurunan mood, kehilangan minat terhadap sesuatu, perasaan bersalah,
gangguan tidur atau nafsu makan, kehilangan energi, dan penurunan konsentrasi.
Depresi ini berdampak pada pola pikir, pola hidup, suasana hati, perasaan, dan
cara menghadapi hidup. Tujuan dari pengobatan depresi adalah untuk mengurangi
gejala depresi akut, memudahkan pasien agar dapat kembali kepada fungsi
hidupnya seperti semula sebelum terkena depresi dan untuk mencegah depresi
lebih lanjut.
Depresi pada pasien pasca skizofrenia ini dapat mempengaruhi hubungan
sosial, seperti kehilangan orang-orang yang dikasihi dalam hidup dan dapat
memicu menurunnya keinginan hidup pasien bila tidak ditangani dengan baik.
berdasarkan klasifikasi diagnostik yang termuat dalam PPDGJ III (Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III) seorang dengan kondisi depresi
pasca skisofrenia akan menunjukkan gejala depresi yang lebih menonjol
dibandingkan dengan gejala skizofrenianya.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. schizophrenia. 2019.


http://www.who.int/news-room/fact-sheets/details/schizophrenia
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Nasional Riset
Kesehatan Dasar. Kementerian Kesehatan RI. 2018;1–582.
3. Ede E. Buku Ajar Psikiatri. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2018.
4. Hawari D. Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa. Jakarta : FKUI. 2009.
5. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders. 5th ed, American Psychiatric Publishing. 5th ed.
Washington, DC: American Psychiatric Publishing. 2013.
6. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa. Edisi III. Direktorat
Jenderal Ringkas dari PPDGJ-III. 2021
7. Willy F, Albert A. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2. 2009.
8. Effendy E. Gejala Dan Tanda Gangguan Psikiatri. Sumatera Utara : Yayasan
Al-Hayat. 2021
9. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
Hk.02.02/Menkes/73/2015 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Jiwa. Kemenkes RI. 2015.
10. Semple, D. & Smyth, R., 2013. Oxford Handbook of Psychiatry. 3rd Edition.
Oxford: Oxford University Press Sianturi, F. L. 2014.
11. Sadock BJ, Sadoc VA. Kaplan & Sadock,s Synopsis of Psychiatry :
Behavioural Sciences / Clinical Psychiatry. 12th Edition. Lippincott Williams
& Wilkins. USA : A Wolter Kluwer Company. 2022.
12. Hartono, Y. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba medika. 2012.
13. Maslim Rusdi. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Edisi III. Ilmu
Kedokteran JIwa FK Unika Atma Jaya. 2014.
14. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Comprehensive Textbook of Psychiatry. 10th
Ed. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins. 2017

31
32

Anda mungkin juga menyukai