Anda di halaman 1dari 29

Referat

DEPRESI PADA GERIATRI

Oleh:

Dokter Muda Stase Bagian Psikiatri

Periode 26 Oktober – 11 November 2020

Shafira Irmayati, S.Ked 04084821921001


Tamara Dwi Maharani, S.Ked 04054822022069

Pembimbing:

dr. R. A. Mulya Liansari, Sp. KJ

BAGIAN ILMU PSIKIATRI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA RUMAH
SAKIT ERNALDI BAHAR PALEMBANG
2020

i
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Referat:

Depresi pada Geriatri

Oleh:

Shafira Irmayati, S.Ked 04084821921001


Tamara Dwi Maharani, S.Ked 04054822022069

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Ernaldi Bahar Periode 26 Oktober – 11
November 2020.

Palembang, November 2020


Pembimbing,

dr. R. A. Mulya Liansari, Sp.KJ

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat
dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan referat ini dengan judul
“Depresi pada Geriatri” yang merupakan bagian sistem pembelajaran dan
penilaian kepaniteraan klinik, khususnya Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang.

Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr.
R. A. Mulya Liansari, Sp.KJ, selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu
untuk membimbing dan memberikan pengarahan dalam penyusunan referat ini.
Dalam penyusunan referat ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini
masih terdapat kekurangan, baik dari isi maupun teknik penulisan. Sehingga
apabila ada kritik dan saran dari semua pihak untuk kesempurnaan referat, penulis
ucapkan banyak terimakasih. Demikianlah penulisan referat ini, semoga dapat
berguna bagi kita semua.

Palembang, November 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
BAB II TIN JAUAN PUSTAKA........................................................................ 3
2.1 Definisi ............................................................................................................ 3
2.2 Epidemiologi .................................................................................................. 3
2.3 Etiologi ........................................................................................................... 4
2.4 Klasifikasi Depresi .......................................................................................... 6
2.5 Diagnosis Depresi pada Geriatri ..................................................................... 8
2.6 Diagnosis Banding ......................................................................................... 14
2.7 Terapi Depresi pada Geriatri ........................................................................... 15
2.8 Prognosis ......................................................................................................... 21
BAB III KESIMPULAN ..................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 23

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Kesehatan merupakan aspek yang sangat penting bagi manusia. Kesehatan


adalah keadaan sejahtera badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang
dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Berdasarkan definisi tersebut,
dapat dikatakan bahwa kesehatan jiwa merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari kesehatan dan unsur utama dalam terwujudnya kualitas hidup manusia yang
utuh. Suasana hati dapat didefinisikan sebagai emosi yang meresap dan
berkelanjutan atau nada perasaan yang mempengaruhi perilaku seseorang dan
mewarnai dirinya atau persepsinya tentang kehidupan. Terkadang gangguan mood
disebut gangguan afektif yang membentuk kategori penyakit kejiwaan yang
penting salah satunya gangguan depresi.1
Depresi adalah gangguan mental umum yang mempengaruhi lebih dari
264 juta orang di seluruh dunia, ditandai dengan kesedihan yang berlangsung
secara terus-menerus dan kurangnya minat atau kesenangan dalam melakukan
aktivitas yang sebelumnya disukai dan sering dilakukan.2 Penelitian menunjukkan
bahwa di negara Asia Selatan, depresi umum terjadi pada orang-orang dari sosial
ekonomi yang rendah, mereka yang tidak atau berpendidikan lebih rendah, tidak
bekerja, bercerai atau janda (terutama wanita), dan orang tua.3 Hasil Riskesdas
tahun 2018 oleh Kementerian Kesehatan RI menunjukkan, prevalensi depresi total
penduduk yang berusia lebih dari 15 tahun di Indonesia mencapai 6,1%. Riset ini
juga menyebutkan kelompok umur yang paling tinggi mengalami depresi berada
di usia 75 tahun ke atas, yaitu sebesar 8,9%.4
Karena beberapa alasan seperti kurangnya kemandirian, kelemahan,
penyakit, perpisahan dengan pasangan, dan isolasi, lansia memiliki risiko yang
lebih tinggi untuk menderita masalah kesehatan mental. Gangguan depresi pada
lansia seringkali tidak terdiagnosis dengan tepat dikarenakan gejala yang timbul
sering menyerupai keluhan somatik. Hal yang lebih penting untuk semua
kelompok umur, terutama untuk orang dewasa yang lebih tua, adalah bahwa

1
kesehatan fisik berdampak pada kesehatan mental seperti kesehatan mental
berdampak pada kesehatan fisik.5, 6
Oleh karena itu, seiring dengan fokus
berkelanjutan untuk memperpanjang usia harapan hidup, penting untuk
memahami kesehatan mental dan kesejahteraan pada lansia.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Depresi adalah gangguan mental umum yang mempengaruhi lebih dari
264 juta orang di seluruh dunia. Depresi ditandai dengan kesedihan yang
berlangsung secara terus-menerus dan kurangnya minat atau kesenangan
dalam melakukan aktivitas yang sebelumnya disukai dan sering dilakukan.
Depresi juga dapat menyebabkan gangguan tidur dan nafsu makan; kelelahan
serta konsentrasi yang buruk merupakan hal biasa dijumpai. Depresi
merupakan penyebab utama kecacatan di seluruh dunia dan berkontribusi
besar pada beban penyakit global. Efek depresi dapat berlangsung lama atau
berulang dan dapat secara drastis mempengaruhi kehidupan seseorang.
Penyebab depresi meliputi interaksi yang kompleks antara faktor sosial,
psikologis dan biologis. Peristiwa kehidupan seperti kesulitan masa kanak-
kanak, kehilangan dan pengangguran berkontribusi dan dapat menjadi
katalisator perkembangan depresi.2, 7

2.2. Epidemiologi
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2017,
jumlah individu yang hidup dengan depresi di dunia adalah 322 juta jiwa.
Hampir setengah dari populasi tersebut berada di Wilayah Asia Tenggara dan
Wilayah Pasifik Barat.8 Secara global populasi lansia diperkirakan semakin
meningkat pada tahun 2020. Jumlah penduduk yang berusia 60 tahun ke atas
akan melebihi jumlah anak yang berusia dibawah lima tahun dan pada tahun
2050 sebanyak 80% lansia berada di negara berkembang. Negara Indonesia
merupakan salah satu negara berkembang yang pada tahun 2018 memiliki
jumlah lansia sebesar 9,3%, atau 22,4 juta jiwa. Pada tahun 2050 di prediksi
Indonesia akan mengalami peningkatan jumlah lansia yang tinggi di
bandingkan dengan negara yang berada dikawasan Asia.4

3
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 oleh Kementerian
Kesehatan RI menunjukkan, prevalensi depresi total penduduk yang berusia
lebih dari 15 tahun di Indonesia mencapai 6,1%. Prevalensi depresi tertinggi
terdapat di Sulawesi Tengah sebesar 12,3% dan Gorontalo sebesar 10,3%.
Adapun provinsi yang memiliki prevalensi depresi terendah terdapat di Jambi
sebesar 1,8%. Riset ini juga menyebutkan kelompok umur yang paling tinggi
mengalami depresi berada di usia 75 tahun ke atas, yaitu sebesar 8,9%. Selain
itu, perempuan juga lebih rentan terhadap depresi daripada laki-laki. Tercatat
prevalensi depresi pada perempuan sebesar 7,4% dan laki-laki sebesar 4,7%.
Masyarakat yang tidak bekerja dan nelayan juga menjadi kontributor depresi
tertinggi, yaitu masing-masing sebesar 8,1 dan 6,9%.4

2.3. Etiologi
Banyak penelitian yang melaporkan adanya kelainan biologis pada
pasien dengan gangguan mood. Sampai saat ini, neurotransmiter monoamine-
norepinefrin, dopamin, serotonin, dan histamin ada fokus utama teori dan
penelitian tentang etiologi gangguan ini.1

Amina Biogenik.
Dari amina biogenik, norepinefrin dan serotonin adalah dua
neurotransmiter yang paling terlibat dalam patofisiologi gangguan mood.

Norepinefrin
Penurunan regulasi reseptor beta adrenergik dan respons klinis anti-
depresi mungkin berperan langsung terhadap sistem noradrenergik pada
depresi. Bukti lain yang juga melibatkan reseptor b2-presinaptik pada depresi,
yaitu aktifnya reseptor yang mengakibatkan pengurangan jumlah pelepasan
norepinefrin.6

4
Serotonin
Berkurangnya kadar serotonin dikatakan dapat memicu depresi. Pada
penelitian didapatkan pada beberapa pasien dengan impuls bunuh diri
memiliki konsentrasi cairan serebrospinal (CSF) yang rendah dari metabolit
serotonin dan konsentrasi serotonin juga rendah pada trombosit.1

Dopamin
Aktivitas dopamin mungkin berkurang pada depresi. Data
menunjukkan bahwa aktivitas dopamin dapat berkurang dalam depresi dan
meningkat pada mania. Dua teori terbaru tentang dopamin dan depresi adalah
jalur dopamin mesolimbik menjadi disfungsional dalam depresi dan reseptor
D1 dopamin tersebut mungkin hipoaktif pada depresi.1, 6

Faktor genetik
Telah diketahui bahwa faktor genetik memiliki peranan penting dalam
perkembangan gangguan mood, mekanisme peran genetik diturunakan melalui
jaras yang cukup sulit dan kompleks. Peranan faktor psikososial, dan faktor
non-genetik tidak bisa dilepaskan sebagai hal yang berpengaruh cukup besar
dalam perkembangan gangguan mood.6

Faktor psikososial
Peristiwa kehidupan dan stres
Peristiwa pada kehidupan sehari-hari yang membuat seseorang merasa
tertekan dapat menjadi pencetus dari depresi. Teori mengatakan bahwa
episode stress yang terjadi sebelum episode pertama depresi akan
menyebabkan perubahan biologis pada otak yang berlangsung lama. Hal
tersebut akan menyebabkan perubahan berbagai neurotransmiter dan sistem
sinyal intraneuron, termasuk dengan hilangnya beberapa neuron serta
penurunan kontak sinaps. Sehingga seseorang akan berisiko tiinggi mengalami
depresi berulang meskipun tanpa stressor dari luar. Stresor yang paling

5
berpengaruh terhadap depresi adalah kehilangan orang tua, kehilangan
pasangan, maupun kehilangan pekerjaan.1, 6

Faktor kepribadian
Apapun pola kepribadian seseorang, memiliki kemungkinan
mengalami depresi. Namun terdapat beberapa jenis kepribadian yang memiliki
kecenderungan lebih basar untuk mengalaminya. Seperti pada orang dengan
gangguan kepribadian obsesi-kompulsi, histirionik dan ambang memiliki
risiko yang lebih tinggi untuk mengalami depresi dibandingkan orang dengan
gangguan kepribadian paranoid atau anti-sosial.6

Depresi pada geriatri


Beberapa penelitian menunjukkan bahwa depresi pada geriatri atau
lansia umumnya disebabkan oleh faktor sosial ekonomi yang rendah,
kehilangan pasangan, penyakit fisik, dan isolasi sosial. Lansia yang sehat
umumnya tetap mempertahankan aktifitas sosialnya dan hanya mengalami
perubahan kecil dari sebelumnya. Bagi sebagian orang, usia tua merupakan
periode dimana mereka dapat meneruskan pertumbuhan intelektualitas,
emosional, dan psikososial. Namun pada beberapa kasus, penyakit fisik
ataupun kehilangan teman, dan keluarga dapat menyebabkan terhambatnya
interaksi sosial. Seiring dengan meningkatnya periode isolasi sosial, maka
seseorang akan lebih rentan mengalami depresi.

2.4. Klasifikasi Depresi


Berdasarkan PPDGJ-III, depresi dapat diklasifikasikan sesuai dengan
tingkat keparahannya, yaitu:
a. Episode depresif ringan9
Pedoman diagnostik yang digunakan adalah:
1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi
2) Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya
3) Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya

6
4) Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2
minggu
5) Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang
biasa dilakukan.

b. Episode depresif sedang9


Pedoman diagnostik yang digunakan adalah:
1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti
pada episode depresi ringan
2) Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya
3) Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu
4) Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan dan urusan rumah tangga.

c. Episode depresif berat tanpa gejala psikotik9


Pedoman diagnostik yang digunakan adalah:
1) Semua 3 gejala depresi harus ada
2) Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa
diantaranya harus berintensitas berat
3) Bila ada gejala penting (misalnya agitasi dan retardasi psikomotor)
yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu
untuk melaporkan banyak gejala secara rinci.
4) Episode dpresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2
minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat,
maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun
waktu kurang dari 2 minggu
5) Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat
terbatas

7
d. Episode depresif berat dengan gejala psikotik9
Pedoman diagnostik yang digunakan adalah:
1) Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2
2) Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya
melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang
mengancam, dan pasien merasa bertanggung jawab akan hal itu.
Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya berupa suara yang
menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk.
Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor. Jika
diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau
tidak dengan afek (mood-congruent)

2.5. Diagnosis depresi pada geriatri


Berdasarkan DSM-V, gejala utama pada episode depresif baik pada
derajat ringan, sedang, dan berat9:

- Afek depresif
- Kehilangan minat dan kegembiraan
- Berkurangnya energi yang menuju mengkatnya keadaan mudah lelah (rasa
lelah yang nyata sesudah kerja sedikit) dan menurunnya aktivitas.

Gejala lainnya9:
a. Konsentrasi dan perhatian berkurang
b. Harga diridan kepercayaan diri berkurang
c. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
d. Pandangan masa depan yang suram dan pesimisitis
e. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f. Tidur terganggu
g. Nafsu makan berkurang

Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut


diperlukan masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis,
akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa

8
bertanya dan berlangsung cepat. Kategori diagnosis episode depresif ringan,
sedang, dan berat hanya digunakan untuk episode depresif tunggal (pertama).
Episode depresif berikutnya harus diklasidikasikan dibawah salah satu
diagnosis gangguan depresif berulang9.

Pedoman diagnostik9

1. Episode depresif ringan


- Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi
- Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari 7 gejala lainnya
- Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya
- Lamanya seluruh episode berlangsung sekurangnya sekitar 2 minggu
- Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukan
2. Episode depresif sedang
- Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi
- Ditambah sekurang-kurangnya 3 dan sebaiknya 4 dari 7 gejala lainnya
- Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya
- Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu
- Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial dan
urusan rumah tangga.
3. Episode depresif berat tanpa gejala psikotik
- Semua gejala utama depresi harus ada
- Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari 7 gejala lainnya, dan beberapa
diantaranya harus berintensitas berat
- Bila ada gejala penting yang mencolok, maka pasien mungkin tidak
mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya secara
terperinci, dalam hal demikian penilaian secara menyeluruh terhadap
episode depresif berat masih dapat dibenarkan.
- Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2
minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat,

9
maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun
waktu kurang dari 2 minggu
- Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat
terbatas.
4. Episode depresif berat dengan gejala psikotik
- Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2
- Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya
melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang
mengancam, dan pasien merasa bertanggung jawab akan hal itu.
Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya berupa suara yang
menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk.
Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor. Jika
diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau
tidak dengan afek (mood-congruent)

Pasien usia lanjut yang mengalami depresi memperlihatkan gejala


yang berbeda dengan dewasa muda. Pasien lanjut usia yang mengalami
depresi lebih banyak memiliki keluhan somatik. Pasien usia lanjut juga lebih
rentan terhadap episode depresi berat dengan ciri melankolik, ditandai dengan
adanya hipokondiasis, harga diri yang rendah, perasaan tidak berharga, dan
kecenderungan menyalahkan diri sendiri dengan ide paranoid dan bunuh diri.6

Gambaran yang dapat ditemui pada pasien lanjut usia dengan gangguan
depresi6:
• Pasien jarang mengeluh rasa sedih dibandingkan dengan pasien dewasa
muda
• Gejala yang paling sering muncul adalah hipokondriasis
• Pasien sering mengeluh adanya gangguan memori yang subjektif
• Ansietas seringkali timbul bersamaan dengan depresi

10
• Pasien dengan trauma kepala seringkali memperlihatkan gejala apati.
Gejala apati dan depresi dapat saling tumpeng tindih, namun secara klinis
dapat dibedakan yaitu apati menunjukkan gejala rendahnya motivasi dan
bukan anhedonia serta pikiran depresif pada gangguan depresi.
• Demensia dapat mengubah gambaran depresi, yaitu lebih sering
ditemukan gejala perilaku seperti agresivitas verbal dibandingkan pikiran-
pikiran depresif seperti rasa bersalah dan rasa tidak berguna
• Penurunan kemampuan kognitif. Pada depresi sedang, pasien terganggua
saat mengerjakan pekerjaan kompleks. Pada pasien dengan depresi berat,
seirng memperlihatkan gejala mirip demensia (pseudodemensia). Hal ini
diperkirakan karena pada pasien yang menderita depresi kronis terjadi juga
kerusakan hipokampus karena peningkatan kadar steroid endogen.

Gangguan depresi yang seringkali diderita oleh pasien lanjut usia


adalah depresi minor, yaitu depresi yang bersifat subtreshold dan subklinikal,
dengan gambaran gejala seperti keluhan fisik sangat dominan, gejala berupa
tidak ada motivasi, kesulitan untuk berkonsentrasi, dan fungsi kognitif yang
buruk, serta memiliki efek negatif.6 Skrining depresi pada lansia pada layanan
kesehatan primer sangat penting. Hal ini penting karena frekuensi depresi dan
adanya gagasan untuk bunuh diri pada lansia adalah tinggi. Skrining juga
perlu dilakukan untuk membantu edukasi pasien dan pemberi perawatan
tentang depresi, dan untuk mengikuti perjalanan gejala-gejala depresi seiring
dengan waktu. Skrining tidak ditujukan untuk membuat diagnosis depresi
mayor, namun untuk mendokumentasikan gejala-gejala depresi sedang sampai
berat pada lansia apapun penyebabnya.11
Skrining depresi pada lansia memiliki kekhususan tersendiri. Gejala-
gejala depresi seperti kesulitan-kesulitan tidur, energi yang berkurang, dan
libido yang menurun secara umum ditemukan pada penderita depresi lansia.
Pemikiran tentang kematian dan keputusasaan akan masa depan mempunyai
makna yang berbeda bagi mereka yang berada pada fase terakhir kehidupan.
Lagipula, kondisi medik kronik lebih umum pada pasien geriatri dan dapat

11
berhubungan dengan retardasi motorik dan tingkat aktivitas yang berkurang.
Komorbiditas dengan demensia dapat mempengaruhi konsentrasi dan proses
kognitif. 11
Geriatric Depression Scale (GDS) dirancang untuk menjadi tes untuk
skrining depresi yang mudah untuk dinilai dan dikelola. Geriatric Depression
Scale memiliki format yang sederhana, dengan pertanyaan-pertanyaan dan
respon yang mudah dibaca. Geriatric Depression Scale telah divalidasi pada
berbagai populasi lanjut usia, termasuk di Indonesia. Selain GDS, screening
scale lain yang telah terstandarisasi adalah Center for Epidemiologic Studies
Depression Scale Revised (CES-D-R). Selain GDS dan CES-D-R, masih ada
instrumen skrining lain seperti Hamilton Rating Scale for Depression, Zung
Self-Rating Depression Scale, Montgomery-Asberg Depression Rating Scale,
namun kedua instrumen inilah yang paling sering digunakan.1, 11
Geriatric Depression Scale terdiri dari 30 pertanyaan yang dirancang
sebagai suatu self-administered test, walaupun telah digunakan juga dalam
format observer-administered test. Geriatric Depression Scale dirancang
untuk mengeliminasi hal-hal somatik, seperti gangguan tidur yang mungkin
tidak spesifik untuk depresi pada lansia. Skor 11 pada GDS mengindikasikan
adanya depresi yang signifikan secara klinis, dengan nilai sensitivitas 90,11 %
dan nilai spesifisitas 83,67%. Terdapat juga GDS versi pendek yang terdiri
dari 15 pertanyaan saja. Pada GDS versi pendek ini, skor 5 atau lebih
mengindikasikan depresi yang signifikan secara klinis11, 12.
Geriatric Depression Scale menjadi tidak valid bila digunakan pada
lansia dengan gangguan kognitif. Status kognitif harus terlebih dahulu dinilai
dengan Mini Mental State Examination (MMSE), karena kemungkinan yang
besar dari komorbiditas depresi dan fungsi kognitif .11 Mini Mental State
Examination adalah suatu skala terstruktur yang terdiri dari 30 poin yang
dikelompokkan menjadi tujuh kategori: orientasi tempat, orientasi waktu,
registrasi, atensi dan konsentrasi, mengingat kembali, bahasa, dan konstruksi
visual. Mini Mental State Examination didesain untuk mendeteksi dan
menjejaki kemajuan dari gangguan kognitif yang terkait dengan gangguan

12
neurodegenerative seperti penyakit Alzheimer. Mini Mental State
Examination telah terbukti merupakan instrumen yang valid dan sangat dapat
dipercaya. Nilai MMSE 0-16 menunjukkan suatu definit gangguan kognitif.12
Saat mendiagnosis depresi pada lansia, kriteria untuk gangguan depresi
mayor yang ditetapkan dalam DSM V harus terpenuhi. Namun, pada lansia
episode depresi ringan lebih sering terjadi (2 minggu atau lebih dengan kurang
dari lima gejala depresi) dan sering dikaitkan dengan efek negatif yang sama
seperti depresi berat. Tantangan diagnostik pada lansia sering kali mencakup
tidak adanya suasana hati yang tertekan, gangguan kognitif yang signifikan,
dan masalah somatik atau fisik tingkat tinggi. Setelah kriteria depresi
terpenuhi, penting untuk menilai tingkat keparahan depresi, menentukan
apakah ada gejala psikotik atau katatonik, dan menyelesaikan penilaian risiko
bunuh diri10. Penilaian lengkap untuk depresi pada lansia meliputi10:
• Tinjau kembali kriteria diagnostik menurut DSM V.
• Perkiraan tingkat keparahan, termasuk adanya gejala psikotik atau
katatonik.
• Penilaian risiko bunuh diri.
• Tinjau kembali penyakit komorbid psikiatrik.
• Tinjau kembali penyakit medis.
• Riwayat gangguan mood pribadi dan keluarga, serta penyakit kejiwaan
lainnya.
• Tinjau kembali pengobatan dan alergi saat ini.
• Tinjau kembali penggunaan zat.
• Tinjau kembali stres dan situasi kehidupan saat ini.
• Tingkat fungsi / kecacatan.
• Tinjau kembali sistem pendukung, situasi keluarga, dan kekuatan
pribadi.
• Pemeriksaan status mental, termasuk penilaian fungsi kognitif.
• Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium untuk
mengidentifikasi masalah medis yang dapat berkontribusi atau meniru

13
gejala depresi (misalnya, hipotiroidisme dan anemia, yang
menyebabkan pengujian TSH, B12, dan Hb menjadi bagian dari
pemeriksaan).

2.6. Diagnosis banding


1. Gangguan demensia
Gangguan kognitif pada pasien lanjut usia yang mengalami
depresi disebut juga sidroma demensia dari depresi (pseudodemensia),
yang mudah rancu dengan demensia yang sebenarnya, gangguan
intelektual biasanya bersifat umum dan defisit bersifat menetap. Pada
pseudodemensia didapatkan defisit pada atensi dan konsentrasi yang
bervariasi. Diabndingkan dengan pasien yang menderita demensia
yang sebenarnya, pasien dengan pseuodemensia lebih jarang memiliki
gangguan bahasa dan berkonfabulasi. Apabila mereka tidak yakin,
mereka cendenrung mengatakan “saya tidak tahu”, kesulitan daya
ingat lebih terbatas pada free-recall, dibandingkan dengan recall yang
dilakukan pada tes memori. Psudodemensia terjadi pada kira-kira 15%
pasien lanjut usia yang mengalami depresi, sedangkan 25-50% pasien
dengan demensia mengalami depresi1.

2. Distimia
Distimia merupakan gangguan mood yang kronik dengan
beberapa gejala depresi namun tidak cukup untuk memenuhi kriteria
depresif mayor. Ciri esensial ialah afek depresif yang berlangsung
sangat lama yang tidak pernah atau jarang sekali cukup parah atau
cukup lama untuk memenuhi kriteria gangguan depresif berulang
ringan atau sedang6, 9.

3. Gangguan somatoform
Gangguan somatoform, dinilai oleh gejala fisik yang mirip
dengan penyakit medis, gangguan somatoform relevan dengan psikiatri

14
geriatri karena keluhan somatic seringkali terjadi pada usia lanjut.
Gejala yang paling sering muncul pada pasien lansia dengan depresi
adalah hipokondriasis. Hipokondriasis sering diderita pasien berusia
lebih dari 60 tahun, biasanya bersifat kronik6, 9.

4. Gangguan anxietas
Gangguan campuran anxietas dan depresi kerapa kali muncul
dimana terdapat gejala-gejala anxietas maupun depresi, diaman
masing-masing tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat
untuk mengakkan diagnosis tersendiri6, 9.

2.7. Terapi depresi pada geriatri


Tujuan utama terapi adalah untuk mencegah relaps, rekuren dan
kronisitas. Depresi pada lansia dapat lebih efektif diobati dengan kombinasi
terapi psikologis dan farmakologis disertai pendekatan interdisiplin yang
menyeluruh. Penanganan depresi pada lansia memerlukan perhatian ekstra,
segala kesulitan dan keluhan perlu didengarkan dengan sabar. Karena
ketidaksabaran terapis dianggap sebagai penolakan10.

Prinsip pengobatan
Saat memilih antidepresan, penting untuk mempertimbangkan respons
pasien lansia terhadap pengobatan sebelumnya, jenis depresi, masalah medis
lainnya, pengobatan lainnya, dan potensi risiko overdosis. Depresi psikotik
kemungkinan besar tidak akan merespons monoterapi antidepresan, sedangkan
depresi bipolar membutuhkan penstabil suasana hati. Antidepresan efektif
dalam mengobati depresi saat menghadapi penyakit medis lain, walaupun
diperlukan kehati-hatian agar terapi antidepresan tidak memperburuk kondisi
medis atau menyebabkan kondisi pasien menjadi buruk. Misalnya, demensia,
penyakit kardiovaskular, diabetes, dan penyakit Parkinson yang umum terjadi
pada orang tua, dapat diperburuk dengan obat antikolinergik tinggi. Obat
tersebut dapat menyebabkan hipotensi postural dan kelainan konduksi jantung.

15
Penting juga untuk meminimalkan interaksi obat, terutama mengingat jumlah
obat yang sering diminum pasien lansia. Antidepresan trisiklik mematikan jika
overdosis dan dihindari karena alasan ini10.

Indikasi pemberian obat antidepresi


Secara umum indikasi pemberian obat anti depresi adalah untuk
gangguan depresi sedang sampai berat, episode depresi berulang dan depresi
dengan gambaran melankolia atau psikotik. Karena manifestasi klinis depresi
pada usia lanjut seringkai tidak khas, maka menentukan indikasi pemberian
obat antidepresi pada pasien lansia seringkali merupakan pertimbangan klinis
berdasarkan pada pengalaman klinis dalam mengenali tanda dan gejala depresi
yang terselubung10.
Pedoman praktik Kanada saat ini untuk pengobatan depresi pada lansia
dikembangkan oleh The Canadian Coalition for Senior’s Mental Heakth
(CCSMH) pada tahun 2006. Pedoman tersebut dibuat oleh para ahli di
bidangnya, berbasis bukti, dan mencakup farmakologis dan nonfarmakologis
strategi. Ketika menggunakan obat antidepresan untuk merawat orang tua,
penting untuk diketahui bahwa orang dewasa tua memiliki tingkat respon yang
serupa dengan orang dewasa muda. Selain itu, antidepresan memiliki
efektivitas yang sama ketika digunakan untuk merawat pasien lanjut usia
dengan atau tanpa beberapa penyakit medis penyerta. Jika orang dewasa tua
tidak responsif terhadap antidepresan dosis rendah, dosis yang lebih tinggi
mungkin diperlukan untuk mencapai efek terapeutik. Sayangnya, kegagalan
untuk menentukan penggunaan dosis yang efektif pada pasien lanjut usia
sering kali menjadi alasan kurangnya respons klinis dan rujukan yang dibuat
ke spesialis untuk depresi secara keliru didiagnosis sebagai "resisten terhadap
pengobatan”10.

Pemilihan obat antidepresi


Pemilihan jenis obat antidepresi bagi pasien usia lanjut lebih merujuk
pada profil efek samping obat. Preparat sekunder trisiklik (desipramin,

16
nortriptilin) masih cukup aman dan efektif untuk digunakan pada lansia.
Antidepresi generasi baru bekerja pada reseptor susunan saraf otak, bersifat
lebih selektif dan spesifik sehingga profil efek sampingnya lebih baik. Jenis –
jenis obat antidepresan10:
1. Tricyclic compound: Amitriptyline, Imipramine, Clomipramine,
Tianeptin
2. Tetracyclic compound: Maprotiline, Mianserin, Amoxapine
3. Reversible MAOIs: Moclobemide
4. Serotonin Selective Reuptake Inhibitor / SSRI: Fluoxetin, Sertralin,
Paroksetin, Fluvoksamin, Sitalopram
5. Atypical Antidepresants: Trazodone, Nefazodone, Mirtazepin,
Venlafaksin
Dalam memilih antidepresan, disarankan agar pemilihan didasarkan
pada profil efek samping terbaik dan risiko interaksi obat-obat yang paling
rendah. Saat ini golongan SSRI merupakan obat antidepresi yang dianjurkan
sebagai lini pertama sebagai pengobatan depresi pada lansia. Dari golongan
SSRI, Sitalopram dan Sertralin dianggap paling aman karena kedua obat ini
sangat sedikit dimetabolisme oleh isoenzym cytochrome P450, sehingga
mengurangi resiko interaksi obat yang merugikan. Namun SSRI mempunyai
efek samping yaitu keluhan serotoninergic seperti sakit kepala, mual, diare,
insomnia dan agitasi psikomotor. SSRI juga dapat menimbulkan efek samping
ekstrapiramidal khususnya pada pasien depresi dengan komorbiditas penyakit
syaraf. Salah satu efek samping berbahaya darin SSRI adalah Central
Serotonin Syndrome, yang dapat timbul bila digunakan bersama obat-obat
yang dapat memacu transmisi serotonin, seperti MAOIs dan obat-obat
dekongestan (phenylpropanolamine). Penggunaan fluvoksamin bersama
teofilin harus dihindari karena dapat menyebabkan takikardi supraventricular
yang serius10.
Pasien dengan keluhan insomnia dapat dipilihkan preparat antidepresi
yang bersifat sedative kuat seperti mirtazepin atau trazodone. SSRI dan
Tianeptin bersifat non sedative dan dikatakan efektif memperbaiki keluhan

17
gangguan kognitif pada pseudodemensia. Trazodone baik untuk mereka
dengan keluhan disfungsi seksual, tetapi dapat mengakibatkan hipotensi
ortostatik10.

Dosis
Setelah antidepresan dipilih untuk pasien yang lansia, dosis awal harus
setengah dari yang diresepkan untuk pasien dewasa muda untuk
meminimalkan efek samping. Peningkatan efek samping dari penggunaan
antidepresan pada orang tua diperkirakan karena perubahan dalam
metabolisme hati dengan penuaan, kondisi medis yang bersamaan, dan
interaksi antar obat-obat yang dikonsumsi. Pemberian antidepresi dimulai
dengan dosis rendah dinaikkan perlahan-lahan (start low and go slow),
meskipun sekarang bukti menunjukkan bahwa mungkin tidak perlu untuk naik
begitu lambat pada semua individu. Tujuannya adalah untuk meningkatkan
dosis secara teratur seperti yang dapat ditoleransi pada interval 1 hingga 2
minggu untuk mencapai dosis terapeutik rata-rata lebih cepat, pedoman
CCSMH menyarankan dosis terapeutik dicapai dalam waktu satu bulan. Jika
tidak ada perbaikan yang signifikan setelah 2 sampai 4 minggu pada dosis
terapeutik rata-rata, peningkatan lebih lanjut harus dilakukan sampai ada
perbaikan klinis, efek samping yang tidak dapat ditoleransi, atau dosis

18
maksimum yang disarankan tercapai. Oleh karena itu, penting untuk
menjadwalkan kunjungan tindak lanjut rutin untuk memantau respons
pengobatan sambil menilai efek samping, untuk memantau setiap
memburuknya depresi, munculnya agitasi atau kecemasan, serta risiko bunuh
diri, terutama pada tahap awal pengobatan10.
Pengobatan antidepresi dibedakan atas tiga fase, yaitu:
- Fase akut yang berlangsung antara 6 -12 minggu. Pada tahap ini dosis
optimal obat untuk memperbaiki gejala depresi diharapkan tercapai.
- Tahap kedua disebut sebagai fase lanjutan yakni dosis optimal
dipertahankan selama 4 sampai dengan 9 bulan untuk mencegah
terjadinya relaps.
- Tahap berikutnya disebut terapi rumatan yang dapat berlangsung
hingga satu tahun atau lebih. Terapi rumatan diberikan terutama untuk
gangguan depresi dengan riwayat episode berulang.

Terapi Elektrokonvulsi (ECT)


ECT adalah pengobatan yang relatif aman, dapat ditoleransi dengan
baik, dan efektif untuk depresi. Pada orang tua, hal itu dikaitkan dengan hasil
pengobatan yang lebih baik dan efek samping yang lebih sedikit daripada
pengobatan. farmakoterapi Untuk pasien depresi yang tidak bisa makan dan
minum, intoleransi terhadap efek samping obat antidepresi atau gagal terapi,
kecenderungan tidak patuh minum obat, berniat bunuh diri atau retardasi hebat
maka ECT diberikan 1-2 kali seminggu pada pasien rawat inap, unilateral
untuk mengurangi problem memori10.
ECT dianggap sebagai pengobatan alternatif untuk depresi berat,
terutama dalam kasus di mana pasien gagal menanggapi dua antidepresan atau
sangat ingin bunuh diri sehingga perbaikan gejala yang cepat diperlukan untuk
keselamatan pasien, atau jika pasien tidak dapat meminum obat karena
masalah kesehatan. Terapi ECT diberikan sampai ada perbaikan mood (sekitar
5-10 kali) dilanjutkan dengan obat antidepresi untuk mencegah kekambuhan.

19
Perawatan Lanjut dan Asuhan (Home Care)
Pelayanan kesehatan asuhan rumah bagi usia lanjut adalah salah satu
unsur pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk kesehatan perorangan atau
kesehatan keluarga ditempat tinggal mereka dalam segi promotive,
rehabilitative, kuratif dalam upaya mempertahankan kemampuan individu
untuk mandiri secara optimal. Asuhan rumah bagi para usia lanjut merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari perawatan dalam menghadapi kondisi
tubuh yang makin rapuh atau sakit kronis13.
Kunjungan rumah oleh seorang dokter dan atau paramedic sebagai satu
tim amat bermanfaat bagi penderita karena dapat meningkatkan pemahaman
menyeluruh penderita dan akan dapat memberikan pilihan terbaik untuk
penderita yang dirawat. Idealnya asuhan rumah dilaksanakan oleh suatu tim
dengan melibatkan dokter keluarga, bila diperlukan dokter spesialis, ahli gizi,
paramedic,caregiver (pramuwerdha), relawan usia lanjut, dll. Tujuan umum
nya adalah meningkatkan kualitas hidup usia lanjut, dan tujuan khususnya
adalah13:
1. Menekan serendah mungkin biaya perawatan kesehatan (penghematan
biaya pemondokan di RS)
2. Mengurangi frekuensi hospitalisasi dan memperpendek lama perawatan
dirumah sakit setelah fase akut
3. Meningkatkan usaha promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif
4. Melakukan pencegahan primer, sekunder dan tersier misalnya pemberian
imunisasi
Keuntungan/manfaat program lainnya dari asuhan rumah ini bagi
pasien depresi dan keluarganya adalah mengurangi stress akibat perawatan di
RS dan pasien lebih mudah berkomunikasi dengan orang-orang sekitarnya,
serta memberikan suasana yang lebih nyaman dan akrab bagi pasien13.

20
Terapi non-farmakologis
Dari beberapa penelitian yang dilakukan pada instalasi perawatan primer, dan
komunitas didapatkan bahwa Cognitive Behaviour Therapy (CBT), Problem
Solving Therapy (PST), Bibliotherapy, dan Life-review memiliki dampak
yang cukup signifikan dalam pengobatan depresi pada lansia.

Cognitive Behaviour Therapy (CBT),


Beberapa penelitian menunjukkan bahwa CBT memiliki efek yang baik
dalam pengobatan depresi pada populasi lansia. Dua dari lima penelitian yang
terkonfirmasi memiliki bias terkecil menemukan bahwa CBT efektif ketika
dilakukan selama minimal 6 bulan secara teratur. Efek keberhasilan terapi
CBT lebih terlihat pada pasien dengan gejala depresi yang berat. Namun
penelitian yang melibatkan komunitas dan instalasi perawattan primer harus
dilakukan lebih lanjut mengingat masih banyaknya keterbatasan yang
ditemukan pada penelitian-penelitian sebelumnya yang menyebabkan variasi
hasil penelitian.

Problem Solving Therapy (PST)


Berdasarkan studi randomized controlled trial didapatkan bahwa PST yang
dilakukan secara individu memiliki efek yang baik terhadap penurunan gejala
depresi. Dua studi lainnya juga mendapatkan bahwa PST yang dilakukan
pada komunitas dan terapi kombinasi dengan aktivitas sosial memiliki hasil
yang serupa dengan PST yang dilakukan secara individu.

Bibliotherapy
Pemanfaatan buku sebagai media terapi disebut biblioterapi. Biblioterapi
adalah dukungan psikoterapi melalui bahan bacaan untuk membantu
seseorang yang mengalami permasalahan personal. Berdasarkan 4 studi
randomized controlled trial didapatkan bahwa biblioterapi efektif dalam
mengurangi gejala depresi pada 4 minggu masa follow-up dibandingkan
dengan tetap berada dalam daftar tunggu dan tidak mengikuti biblioterapi.

21
Life-review
Life review therapy membantu seseorang untuk mengaktifkan ingatan jangka
panjang dimana akan terjadi mekanisme recall tentang kejadian pada
kehidupan masa lalu hingga sekarang. Dengan cara ini lansia akan dapat
memperbaiki kualitas hidupnya. Life review therapy akan mengurangi depresi
dan meningkatkan kepercayaan diri, kesejahteraan atau Kesehatan psikologis,
dan kepuasan hidup. Life review therapy merupakan salah satu terapi yang
dapat mengurangi depresi pada lansia. Ketiga RCT yang menyelidiki efek
life-review individu pada orang dewasa tua dengan depresi menemukan efek
positif pada gejala depresi dari 2 hingga 8 minggu masa follow-up. Satu RCT
juga melaporkan perbaikan lebih lanjut dari gejala depresi pada 3 bulan
follow up, tetapi tidak membandingkannya dengan kondisi kontrol.

2.8. Prognosis
Depresi pada lansia yang tidak ditangani dapat berlangsung bertahun-
tahun dan dihubungkan dengan kualitas hidup yang kurang baik, kesulitan
dalam fungsi sosial dan fisik, kepatuhan yang buruk terhadap terapi, dan
meningkatnya morbiditas dan mortalitas akibat bunuh diri dan penyebab
lainnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa depresi pada lansia
menyebabkan peningkatan penggunaan rumah sakit dan fasilitas rawat jalan.
Depresi mayor pada lansia setelah masa follow-up yang lebih lama
menunjukkan perjalanan yang kronik pada beberapa penelitian. Penelitian-
penelitan menunjukkan bahwa orang-orang yang pernah memiliki suatu
episode depresi mayor cenderung memiliki episode tambahan. Lansia
mungkin membutuhkan waktu yang lebih lama untuk pulih dari depresi dan
memiliki waktu untuk kambuh yang lebih singkat daripada orang-orang yang
lebih muda13.

22
KESIMPULAN

Depresi adalah gangguan mental umum yang mempengaruhi lebih dari


264 juta orang di seluruh dunia, ditandai dengan kesedihan yang berlangsung
secara terus-menerus dan kurangnya minat atau kesenangan dalam melakukan
aktivitas yang sebelumnya disukai dan sering dilakukan. Sampai saat ini,
neurotransmiter monoamine- norepinefrin, dopamin, serotonin, dan histamin ada
fokus utama teori dan penelitian tentang etiologi gangguan depresi. Depresi pada
lansia adalah masalah yang umum, signifikan, dan terus berkembang yang
memerlukan pengobatan. Ini memiliki implikasi serius bagi pasien, keluarga, dan
masyarakat.
Depresi pada pasien geriatri sulit didiagnosa karena gejalanya tidak khas,
baik keluarga pasien maupun dokter sering kali tidak mewaspadai kondisi ini.
Skrining depresi pada lansia pada layanan kesehatan primer sangat penting. Hal
ini penting karena frekuensi depresi dan adanya gagasan untuk bunuh diri pada
lansia lebih tinggi. Geriatric Depression Scale (GDS) dirancang untuk menjadi tes
untuk skrining depresi yang mudah untuk dinilai dan dikelola. Identifikasi yang
diikuti dengan penilaian menyeluruh dapat membantu memandu pemilihan obat
antidepresan yang sesuai. Ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan saat
memilih, menyesuaikan, dan mengganti antidepresan pada pasien geriatri. Selain
pengobatan, terapi lain untuk depresi yang dapat dipertimbangkan termasuk
berbagai bentuk psikoterapi dan neurostimulasi, dengan terapi elektrokonvulsif
masih menjadi standar emas untuk depresi berat atau psikotik.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock, Benjamin J, Virginia A. Mood disorders. Kaplan and Sadock’s


Comprehensive Textbook of Psychiatry, 11th ed. 2015.
2. World Health Organization. Depression. World Health Organization. 2017.
www.who.int/health-topics/depression#tab=tab_1. Diakses pada: 5 November
2020
3. Dhoot V. New Insights for Old Age: Developing New Practices for Screening
and Treating Depression in Geriatric Patients . International Journal of Social
Science and Economic Research. 2020;5(8):2355–60.
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Hasil riset kesehatan dasar 2018.
Jakarta: Kemenkes RI. 2018. Hal.97–103
5. Kadariya, S. Gautam R. dan Aro A. Physical activity, mental health, and
wellbeing among older adults in south and southeast asia: a scoping review.
Biomed Research International; 2019.
6. Ismail R. I, Siste K. Gangguan depresi. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI. 2018;259-274.
7. James SL, Abate D, Abate KH, Abay SM, Abbafati C, Abbasi N, et al. Global,
regional, and national incidence, prevalence, and years lived with disability
for 354 Diseases and Injuries for 195 countries and territories, 1990-2017: A
systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2017. Lancet.
2018;392(10159):1789–858.
8. World Health Organization. Depression and other common mental disorders:
global health estimates. Geneva: World Health Organization; 2017.
9. Pedoman dan Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III.
10. Bonnie. Geriatric depression: The use of antidepressant in the elderly. 2013;
41-7.
11. Blazer D G. Depression in Late Life: Review and Commentary. Journal of
Gerontology Medical Science. 2003: 249-265.
12. Rush A.J. Handbook of Psychiatric Measures. American Psychiatric
Association. Washington DC: 2000.

23
13. Soejono, C H, Probosuseno, dan Sari, N K. Depresi pada Pasien Usia Lanjut.
Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati,
S., ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2014; 3810-3816.

24

Anda mungkin juga menyukai