Anda di halaman 1dari 51

MAKALAH KEPERAWATAN GERONTIK

ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA


DENGAN DEPRESI

OLEH
NAMA: ROSALIA ROSDIANTI INTAN
NIM : 011201047

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS NUSA NIPA
MAUMERE
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas

berkat dan rahmat-Nya sehingga tugas pembuatan makalah tentang”Asuhan

Keperawatan pada lansia dengan Depresi dapat terselesaikan dengan baik. Tujuan

Penulisan Makalah ini adalah dalam rangka untuk memenuhi tugas keperawatan

Gerontik, pada Program Studi S1 Keperawatan ilmu-ilmu kesehatan Nusa Nipa

Maumere

Dalam penyusunan Makalah ini penulis menyadari sepenuhnya bahwa

dalam penyusunan Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu,

penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi

kesempurnaan penyusunan Makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi

peningkatan proses belajar mengajar dan menambah pengembangan ilmu

pengetahuan

Semoga Tuhan yang Maha Esa senantiasa melimpahkan berkat dan


bimbingannya kepada kita semua

Wolomarang,Mei 2021
Penyusun

Rosalia Rosdianti Intan

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................i

DAFTAR ISI....................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1

A. Latar Belakang............................................................................................1

B. Rumusan Masalah........................................................................................3

C. Tujuan..........................................................................................................3

D. Manfaat .......................................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................5

A. Konsep Depresi............................................................................................5

B. Konsep Lansia .............................................................................................16

C. Konsep Asuan Keperawatan Gerontik Pada Lansia Dengan Depresi..........26

BAB III HASIL STUDI KASUS DAN PEMBAHASAN...............................90

A. Hasil Studi Kasus.........................................................................................90

B. Pembahasan .................................................................................................95

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN..........................................................96

A. Kesimpulan..................................................................................................96

B. Saran.............................................................................................................97

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................98

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Depresi merupakan masalah psikologis yang banyak terjadi pada lanjut
usia. Masalah tersebut ditandai dengan perasaan sedih mendalam yang
berdampak pada gangguan interaksi sosial. Tidak jarang gejala depresi juga
berupa gangguan fisik seperti insomnia dan berkurangnya napsu makan. Depresi
seringkali tidak terdeteksi pada lanjut usia karena dianggap sebagai akibat dari
proses penuaan dan penyakit kronis yang dialami oleh lanjut usia. Padahal
deteksi dini dan penanganan yang tepat terhadap depresi dapat memperbaiki dan
meningkatkan kualitas hidup bagi lanjut usia (Dewi, 2014). Depresi yang sering
dialami lansia tersebut juga menyebabkan gangguan mekanisme koping pada
penderitanya, kebanyakan pada klien lansia dengan depresi mengalami koping
individu yang tidak efektif (Irawan, 2013).
Menurut WHO (2013), depresi merupakan gangguan psikologis terbesar
ketiga yang diperkirakan terjadi pada 5% penduduk di dunia. Penelitian yang
dilakukan oleh Pracheth &Chowti (2013) di India, memberikan hasil dari 218
lanjut usia yang diteliti, terdapat 64 orang (29,36%) yang mengalami depresi. Di
Indonesia, belum ada penelitian yang menyebutkan secara pasti tentang jumlah
prevalensi lanjut usia yang mengalami depresi. Namun peningkatan jumlah
penderita depresi dapat diamati bertambah dari waktu ke waktu melalui
peningkatan jumlah kunjungan pasien yang berobat ke pelayananan kesehatan
maupun peningkatan obat psikofarmaka yang diresepkan oleh dokter (Hawari,
2013). Diperkirakan dari jumlah lanjut usia di Indonesia pada tahun 2013 yaitu

4
24 juta jiwa, 5% mengalami depresi. Akan meningkat 13,5% pada lanjut usia
yang memiliki penyakit kronis dan dirawat inap. Dari hasil pendahuluan kasus
bulan November tahun 2018 di Pelayananan Sosial Tresna Werdha tercatat 13
orang lansia tersebut mengalami keadaan depresi.
Depresi adalah gangguan mood, kondisi emosional berkepanjangan yang
mewarnai seluruh proses mental (berpikir, berperasaan dan berperilaku)
seseorang. Pada umumnya mood yang secara dominan muncul adalah perasaan
tidak berdaya dan kehilangan harapan (Rice PL 1992, dalam Journal An-nafs:
Kajian dan Penelitian Psikolog 2016).
Depresi dapat menyebabkan mekanisme koping yang sering dialami
lansia yaitu ketidakmampuan klien untuk menerima realita yang terjadi pada usia
lanjutnya dan beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah kurangnya
kasih sayang dari keluarga dan perasaan tidak diinginkan oleh keluarganya serta
faktor tidak mempunyai keluarga atau disebut juga sebatang kara. Batasan
karakteristik yang terjadi yaitu perubahan pada pola komunikasi yang biasa.
Depresi pada lanjut usia telah menjadi masalah utama yang dihubungkan dengan
kematian dan kejadian bunuh diri (Jones, 2003). Hasil penelitian menyebutkan
15% lanjut usia memiliki kecenderungan bunuh diri karena depresi (Subrata,
2003). Risiko bunuh diri pada lanjut usia wanita yang mengalami depresi dua
atau tiga kali lebih tinggi daripada lanjut usia laki-laki (Jones 2003). Bila hal ini
tidak disikapi dengan benar dapat membahayakan lanjut usia.
Ketidakefektifan koping adalah ketidakmampuan untuk membentuk
penilaian valid tentang stresor, ketidakadekuatan pilihan respons yang dilakukan,
dan atau ketidakmampuan untuk menggunakan sumber daya yang tersedia.
(Wilkinson, 2016).
Untuk memperkecil dampak yang ditimbulkan dari koping individu
inefektif, perlu dilakukan intervensi keperawatan.Intervensi yang dapat dilakukan
dan dijadikan panduan oleh perawat sebagai acuan untuk mengatasi masalah
pada lansia depresi yang mengalami ketidakefektifan koping menurut Wilkinson
(2016) adalah gunakan pendekatan yang tenang dan menentramkan hati, kurangi

5
stimulus lingkungan yang dapat disalah-artikan sebagai ancaman, berikan
suasana penerimaan, hargai dan diskusikan respon alternative terhadap situasi,
anjurkan pengungkapan perasaan, persepsi, dan ketakutan, berikan konseling,
dorong latihan fisik, lakukan aktivitas spiritual kepada klien sesuai keyakinan
yang dianut. Salah satu teknik latihan fisik yang dapat digunakanadalah senam
bugar lansia.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan masalah diatas maka rumusan masalah pada tulisan ini adalah:

“Bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien lansia dengan Depresi?”

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengetahui Konsep lansia, Depresi dan Asuhan
Keperawatan pada lansia dgn depresi.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada lansia dengan depresi.
b. Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada lansia
dengan depresi.
c. Mahasiswa mampu menyusun Intervensi keperawatan pada lansia
dengan depresi.
d. Mahasiswa mampu melaksanakan Implementasi keperawatan pada
lansia dengan depresi.
e. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi keperawatan pada lansia dengan
depresi.
f. Mahasiswa mampu melakukan dokumentasi keperawatan pada lansia
dengan depresi

D. Manfaat Penulisan
1. Mahasiswa dapat mengetahui gambaran teoritis tentang Lansia.
2. Mahasiswa dapat mengetahui gambaran teoritis tentang Depresi.

6
3. Mahasiswa dapat mengetahui gambaran asuhan keperawatan pada lansia
dengan Depresi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Depresi
1. Pengertian Depresi
Depresi sebagai suatu gangguan mood yang dicirikan tak ada harapan
dan patah hati, ketidakberdayaan yang berlebihan, tak mampu mengambil
keputusan memulai sautu kegiatan, tak mampu berkonsentrasi, tak punya
semangat hidup, selalu tegang, dan mencoba bunuh diri (Atkinson, 1991)
dalam (Lubis, 2016). Depresi merupakan kondisi emosional yang biasanya
ditandai dengan kesedihan yang amat sangat, perasaan tidak berarti dan
bersalah (menarik diri, tidak dapat tidur, kehilangan selera, minat dalam
aktivitas sehari-hari) (Gerald C. Davison, 2004) dalam (Miftahudin, 2016).
Depresi adalah gangguan mood, kondisi emosional berkepanjangan
yang mewarnai seluruh proses mental (berpikir, berperasaan dan berperilaku)
seseorang. Pada umumnya mood yang secara dominan muncul adalah
perasaan tidak berdaya dan kehilangan harapan (Rice PL, 1992) dalam
(Miftahudin, 2016).
Depresi adalah salah satu bentuk gangguan jiwa pada alam perasaan
(afektif, mood) yang ditandai kemurungan, kesedihan, kelesuan, kehilangan
gairah hidup, tidak ada semangat, dan merasa tidak berdaya, perasaan bersalah
atau berdosa, tidak berguna dan putus asa (Iyus Yosep 2007) dalam
(Miftahudin, 2016).

7
Depresi pada dua keadaan, yaitu pada orang normal dan pada kasus
patologis. Pada orang normal, depresi merupakan keadaan kemurungan
(kesedihan, kepatahan semangat) yang ditandai dengan perasaan tidak pas,
menurunnya kegiatan, dan pesimisme menghadapi masa yang akan datang .
Sedangkan pada kasus patologis, depresi merupakan ketidakmauan ekstrim
untuk mereaksi terhadap perangsang, disertai menurunnya nilai diri, delusi
ketidakpasan, tidak mampu dan putus asa (Chaplin, 2002) dalam (Miftahudin,
2016).
2. Epidemiologi
Prelevansi orang dewasa yang berusia lebih dari 60 tahun, banyak
menderita gangguan mental atau neurologis. Sebesar 6,6% dari total cacat
yang dialami oleh lansia berusia lebih dari 60 tahun banyak dikaitkan dengan
gangguan mental maupun gangguan neurologis. Gangguan neuropsikiatri
yang paling umum dari kelompok lansia adalah demensia dan depresi.
Gangguan kecemasan mempengaruhi 3,8% populasi lansia, masalah
penggunaan narkoba mempengaruhi hampir 1% dari total populasi lansia, dan
hampir seperempat kematian yang terjadi pada lansia dikarenakan perbuatan
menyakiti diri sendiri yang dilakukan oleh lansia (World Health Organization,
2013) dalam (Qonitah & Isfandiari, 2015). Hasil analisis lanjutan riskesdas
tahun 2007 menunjukkan bahwa ada hubungan yang kuat antara masalah
gangguan mental emosional dengan lansia, khususnya pada usia 65 tahun ke
atas(Idaini, Suhardi, & Kristanto, 2009) dalam (Qonitah & Isfandiari, 2015).
Lanjut usia menurut undang-undang no. 13 tahun 1998 tentang
kesejahteraan lanjut usia adalah penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun
ke atas. Umur Harapan Hidup (UHH) Indonesia meningkat setiap tahunnya.
Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RJPMN),
pada tahun 2009 UHH di Indonesia adalah 70,7 tahun, pada tahun 2010
meningkat menjadi 70,9 tahun. Pada tahun 2011 dan tahun 2012 UHH di
Indonesia adalah sebesar 71,7 tahun (Bappenas, 2013). Peningkatan UHH
akan menyebabkan meningkatnya jumlah lanjut usia (lansia) di Indonesia

8
setiap tahunnya. Jumlah lansia di Indonesia pada tahun 2010 lalu berdasarkan
hasil sensus adalah sebesar 24 juta jiwa atau sebesar 9,7% dari total populasi.
Penduduk lansia diperkirakan akan melonjak menjadi 11,34% dari total
penduduk Indonesia pada 2020 mendatang. Suatu wilayah apabila memiliki
penduduk tua lebih dari 7% maka wilayah tersebut dikatakan memiliki
struktur penduduk tua (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak RI, 2011). Berdasarkan data di atas, maka Indonesia
termasuk negara dengan struktur penduduk tua. Meningkatnya UHH
merupakan indikator baiknya perbaikan dalam bidang kesehatan. Namun hal
ini akan memberikan sebuah tantangan tersendiri, karena juga akan dapat
menimbulkan berbagai masalah kesehatan, terutama angka kesakitan akibat
penyakit degeneratif akan meningkat (Kementerian Kesehatan RI, 2013)
dalam (Qonitah & Isfandiari, 2015).
3. Etiologi
Penyebab depresi sangat kompleks, yaitu penyebab eksternal dan
penyebab internal, tetapi lebih sering merupakan hasil kombinasi dari
keduanya. Berat ringannya depresi tergantung pada kepribadian mental,
kematangan individu, progresifitas penyakit fisik, dan tingkat
pendidikan.Hingga saat ini etiologi depresi yang pasti belum diketahui.
Terdapat beberapa faktor predisposisi yang telah diketahui berkaitan dengan
terjadinya depresi, yaitu antara lain faktor genetik.
Faktor ini berperan secara sangat kompleks dalam perkembangan
gangguan mood. Pada penelitian mengenai depresi dalam keluarga diperoleh
bahwa generasi pertama berpeluang lebih sering dua sampai sepuluh kali
mengalami depresi berat. Penelitian yang berhubungan dengan anak kembar
mengemukakan bahwa kembar monozigot berpeluang sebesar 50%,
sedangkan kembar dizigot sebesar 10-25%. Mengenai faktor neurobiologik,
adanya perubahan neurotransmiter otak, yaitu antara lain: norepinefrin,
serotonin, dopamin, dan juga menurut teori amina biogenik, depresi
disebabkan karena defisiensi senyawa monoamin, terutama noradrenalin dan

9
serotonin). Juga perlu dipertimbangkan peran faktor psiko-sosial (peristiwa
dalam kehidupan dan stres lingkungan) dan faktor kognitif(Ballo, Kaunang,
Munayang, & Elim, 2012).

1. Gambaran Klinik
Pada umumnya lansia mengalami depresi ditandai oleh mood depresi
menetap yang tidak naik, gangguan nyata fungsi atau aktivitas sehari-hari, dan
dapat berpikiran atau melakukan percobaan bunuh diri.Pada lansia gejala
depresi lebih banyak terjadi pada orang dengan penyakit kronik, gangguan
kognitif, dan disabilitas. Kesulitan konsentrasi dan fungsi eksekutif lansia
depresi akan membaik setelah depresi teratasi. Gangguan depresi lansia dapat
menyerupai gangguan kognitif seperti demensia, sehingga dua hal tersebut
perlu dibedakan.Para lansia depresi sering menunjukkan keluhan nyeri fisik
tersamar yang bervariasi, kecemasan, dan perlambatan berpikir. Perubahan
pada lansia depresi dapat dikategorikan menjadi perubahan fisik, perubahan
dalam pemikiran, perubahan dalam perasaan, dan perubahan perilaku.
Perubahan pada lansia depresi (Irawan, 2013):
1. Perubahan fisik
a. Perubahan nafsu makan sehingga berat badan turun (lebih dari 5% dari
berat badan bulan terakhir).

b. Gangguan tidur berupa gangguan untuk memulai tidur, tetap tertidur, atau
tidur terlalu lama. Jika tidur, merasa tidak segar dan lebih buruk di pagi
hari penurunan energi dengan perasaaan lemah dan kelelahan fisik.
Beberapa orang mengalami agitasi dengan kegelisahan dan bergerak
terus.
c. Nyeri, nyeri kepala, dan nyeri otot dengan penyebab fisik yang tidak
diketahui gangguan perut, konstipasi.
2. Perubahan pemikiran

10
a. Pikiran kacau, melambat dalam berpikir, berkonsentrasi, atau sulit
mengingat informasi
b. Sulit dan sering menghindari mengambil keputusan
c. Pemikiran obsesif akan terjadi bencana atau malapetaka
d. Preokupasi atas kegagalan atau kekurangan diri menyebabkan kehilangan
kepercayaan diri
e. Menjadi tidak adil dalam mengambil keputusan
f. Hilang kontak dengan realitas, dapat menjadi halusinasi (auditorik) atau
delusi

g. Pikiran menetap tentang kematian, bunuh diri, atau mencoba melukai diri
sendiri

3. Perubahan perasaan

a. Kehilangan minat dalam kegiatan yang dulu merupakan sumber


kesenangan
b. Penurunan minat dan kesenangan seks
c. Perasaan tidak berguna, putus asa, dan perasaan bersalah yang besar
d. Tidak ada perasaan
e. Perasaan akan terjadi malapetaka
f. Kehilangan percaya diri
g. Perasaan sedih dan murung yang lebih buruk di pagi hari
h. Menangis tiba-tiba, tanpa alasan jelas
i. Iritabel, tidak sabar, marah, dan perasaan agresif

4. Perubahan perilaku
a. Menarik diri dari lingkungan sosial, kerja, atau kegiatan santai
b. Menghindari mengambil keputusan
c. Mengabaikan kewajiban seperti pekerjaan rumah, berkebun, atau
membayar tagihan

11
d. Penurunan aktivitas fisik dan olahraga
e. Pengurangan perawatan diri seperti perawatan diri dan makan
f. Peningkatan penggunaan alkohol atau obat-obatan
2. Tanda dan Gejala
Penggambaran gejala depresi pada lansia (Samiun,2006 dalam Aspiani,
2014)

a. Kognitif
Sekurang-kurangnya ada 6 proses kognif pada Iansia yang
menunjukkan gejala depresi. Pertama, individu yang mengalami depresi
memiliki selfesteem yang sangat rendah.Mereka berpikir tidak adekuat,
tidak mampu, merasa dirinya tidak berarti, merasa rendah diri dan merasa
bersalah terhadap kegagalan yang dialami.Kedua, Iansia selalu pesimis
dalam menghadapi masalah dan segala sesuatu yang dijalaninya menjadi
buruk dan kepercayaan terhadap dirinya (self-confident) yang tidak
adekuat.Ketiga, memiliki motivasi yang kurang dalam menjalani
hidupnya, selalu meminta bantuan dan melihat semuanya gagal dan sia-
sia sehingga merasa tidak ada gunanya berusaha.Keempat, membesar-
besarkan masalah dan selalu pesimistik menghadapi masalah.Kelima,
proses berpikirnya menjadi lambat, performance intelektualnya
berkurang.Keenam, generalisasi dari gejala depresi, harga diri rendah,
pesimisme dan kurangnya motivasi.
b. Afektif
Lansia yang mengalami depresi merasa tertekan, murung, sedih,
putus asa, kehilangan semangat dan muram.Sering merasa terisolasi,
ditolak dan tidak dicintai. Lansia yang mengalami depresi
menggambarkan dirinya berada dalam lubang gelap yang tidak dapat
terjangkau dan tidak dapat keluar dari sana.
c. Somatik

12
Masalah somatik yang sering dialami Iansia yang mengalami
depresi seperti pola tidur yang terganggu (insomnia), gangguan pola
makan dan dorongan seksual yang berkurang. Lansia telah rentan
terhadap penyakit karena system kekebalan tubuhnya melemah, selain
karena aging proses juga karena orang yang mengalami depresi
menghasilkan sel darah putih yang kurang

d. Psikomotor
Gejala psikomotor pada lansia depresi yang dominan adalah
retardasi motorik Sering duduk dengan terkulasi dan tatapan kosong tanpa
ekspresi, berbicara sedikit dengan kalimat datar dan sering menghentikan
pembicaraan karena tidak memiliki tenaga atau minat yang cukup untuk
menyelesaikan kalimat itu. Dalam pengkajian depresi pada lansia menurut
Sadavoy et all (2004) gejala-gejala depresi dirangkum dalam SIGECAPS
yaitu gangguan pola tidur (sleep) pada lansia yang dapat berupa
kelelahan, susah tidur, mimpi buruk dan bangun dini dan tidak bisa tidur
lagi, penurunan minat dan aktivitas (interest), rasa bersalah dan
menyalahkan diri (gulity), merasa cepat lelah dan tidak mempunyai
tenaga (energy), penuruan konsentrasi dan proses pikir (concentration),
nafsu makan menurun (appetie), gerakan lamban dan sering duduk
terkulai (psychomotor), dan penelantaran diri serta ide bunuh diri
(suicidaly).
3. Tingkat depresi pada lansia
Menurut PPDGJ-III (Maslim, 1997) dalam (Aspiani, 2014)
a. Depresi ringan :
1) Kehilangan minat dan kegembiraan
2) Berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah
lelah dan menurunnya aktivitas
3) Konsentrasi dan perhatian yang kurang

13
4) Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang Pandangan masa depan
yang suram dan pesimis
b. Depresi sedang
1) Mood depresif
2) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
dan menurunnya aktivitas
3) Konsentrasi dan perhatian yang kurang
4) Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang
5) Pandangan masa depan yang suram dan pesimis
6) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
7) Perbuatan yang membahayakan dirinya sendiri atau bunuh diri
8) Tidur terganggu
9) Disertai waham, halusinasi
10) Lamanya gejala tersebut berlangsung selama 2 minggu

4. Pemeriksaan penunjang depresi pada lansia


a. Geriatric Depression Scale (GDS-30)
Instrumen Geriatri Depression Scale (GDS) adalah sebagai berikut :
1) Apakah bapak / ibu sekarang ini merasa puas dengan kehidupannya ?
2) Apakah bapak / ibu telah meninggalkan banyak kegiatan atau
kesenangan akhir-akhir ini ?
3) Apakah bapak / ibu merasa hampa / kosong didalam hidup ini ?
4) Apakah bapak / ibu sering merasa bosan ?
5) Apakah bapak / ibu mempunyai harapant yang baik di masa depan ?
6) Apakah bapak / ibu punya pikiran jelek yang terus menerus
mengganggu ?
7) Apakah bapak / ibu memiliki semangat yang baik setiap saat ?
8) Apakah bapak / ibu takut bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada
anda ?
9) Apakah bapak / ibu merasa bahagia sebagian besar waktu ?

14
10) Apakah bapak / ibu sering tidak mampu berbuat apa-apa ?
11) Apakah bapak / ibu sering merasa resah dan gelisah ?
12) Apakah bapak / ibu senang tinggal tinggal dirumah dari pada keluar
dan mengerjakan sesuatu ?
13) Apakah bapak / ibu sering merasa khawatir tentang masa depan?
14) Apakah bapak / ibu akhir-akhir ini sering pelupa ?
15) Apakah bapak / ibu pikir bahwa hidup bapak / ibu sekarang ini
menyenangkan ?
16) Apakah bapak / ibu sering merasa sedih atau putus asa ?
17) Apakah bapak / ibu merasa tidak berharga akhir-akhir ini ?
18) Apakah bapak / ibu sering merasa khawatir tentang masa lalu ?
19) Apakah bapak / ibu merasa hidup ini menggembirakan ?
20) Apakah sulit bagi bapak / ibu untuk memulai kegiatan yang baru ?
21) Apakah bapak / ibu merasa penuh semangat ?
22) Apakah bapak / ibu merasa situasi sekarang ini tidak ada harapan ?
23) Apakah bapak / ibu berpikir bahwa orang lain lebih baik keadaanya
daripada bapak / ibu ?
24) Apakah bapak / ibu sering marah karena hal-hal yang sepele ?
25) Apakah bapak / ibu sering merasa ingin menangis ?
26) Apakah bapak / ibu sulit berkonsentrasi ?
27) Apakah bapak / ibu merasa senang waktu bangun tidur di pagi hari ?
28) Apakah bapak / ibu tidak suka berkumpul di pertemuan sosial ?
29) Apakah mudah bagi bapak / ibu membuat sesuatu keputusan ?
30) Apakah pikiran bapak / ibu masih tetap mudah dalam memikirkan
sesuatu seperti dulu ?

Keterangan :
1) Skor 0-10 : Tidak ada depresi
2) Skor 11-20 : Depresi ringan
3) Skor 21-30 : Depresi berat (Aspiani, 2014)

15
5. Pohon Masalah

Ketidakefektifan koping Cor problem Depresi Stressor


(Prabowo, 2014)
B. Konsep Lansia
1. Definisi Lansia
Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.
Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-
angsur mengakibatkan perubahan kumulatif, merupakan proses menurunnya
daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh,
seperti didalam Undang-Undang No 13 tahun 1998 yang isinya menyatakan
bahwa pelaksanaan pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang
Dasar 1945, telah menghasilkan kondisi sosial masyarakat yang makin
membaik dan usia harapan hidup makin meningkat, sehingga jumlah lanjut
usia makin bertambah. Banyak diantara lanjut usia yang masih produktif dan
mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia pada
hakikatnya merupakan pelestarian nilai-nilai keagamaan dan budaya bangsa.
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaaan yang terjadi di dalam
kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak
hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan
kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang
telah melalui tiga tahap kehidupan, yaitu anak, dewasa dan tua (Nugroho,
2006).

2. Batasan Lansia

a. WHO (1999) menjelaskan batasan lansia adalah sebagai berikut :

1) Usia lanjut (elderly) antara usia 60-74 tahun,

16
2) Usia tua (old) :75-90 tahun, dan

3) Usia sangat tua (very old) adalah usia > 90 tahun.

b. Depkes RI (2005) menjelaskan bahwa batasan lansia dibagi menjadi tiga

katagori, yaitu:

1) Usia lanjut presenilis yaitu antara usia 45-59 tahun,

2) Usia lanjut yaitu usia 60 tahun ke atas,

3) Usia lanjut beresiko yaitu usia 70 tahun ke atas atau usia 60 tahun

ke atas dengan masalah kesehatan.

3. Ciri–Ciri Lansia

Ciri-ciri lansia adalah sebagai berikut :

a. Lansia merupakan periode kemunduran.

Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor

psikologis. Motivasi memiliki peran yang penting dalam kemunduran

pada lansia. Misalnya lansia yang memiliki motivasi yang rendah dalam

melakukan kegiatan, maka akan mempercepat proses kemunduran fisik,

akan tetapi ada juga lansia yang memiliki motivasi yang tinggi, maka

kemunduran fisik pada lansia akan lebih lama terjadi.

b. Lansia memiliki status kelompok minoritas.

Kondisi ini sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan

terhadap lansia dan diperkuat oleh pendapat yang kurang baik, misalnya

17
lansia yang lebih senang mempertahankan pendapatnya maka sikap

sosial di masyarakat menjadi negatif, tetapi ada juga lansia yang

mempunyai tenggang rasa kepada orang lain sehingga sikap social

masyarakat menjadi positif.

c. Menua membutuhkan perubahan peran.

Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami

kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran pada lansia sebaiknya

dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas dasar tekanan dari

lingkungan. Misalnya lansia menduduki jabatan sosial di masyarakat

sebagai Ketua RW, sebaiknya masyarakat tidak memberhentikan lansia

sebagai ketua RW karena usianya.

d. Penyesuaian yang buruk pada lansia.

Perlakuan yang buruk terhadap lansia membuat mereka cenderung

mengembangkan konsep diri yang buruk sehingga dapat

memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk. Akibat dari perlakuan

yang buruk itu membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk pula.

Contoh : lansia yang tinggal bersama keluarga sering tidak dilibatkan

untuk pengambilan keputusan karena dianggap pola pikirnya kuno,

kondisi inilah yang menyebabkan lansia menarik diri dari lingkungan,

cepat tersinggung dan bahkan memiliki harga diri yang rendah.

4. Perkembangan Lansia

18
Usia lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus kehidupan

manusia di dunia. Tahap ini dimulai dari 60 tahun sampai akhir kehidupan.

Lansia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Semua orang akan

mengalami proses menjadi tua (tahappenuaan). Masa tua merupakan masa

hidup manusia yang terakhir, dimana pada masa ini seseorang mengalami

kemunduran fisik, mental dan sosial sedikit demi sedikit sehingga tidak

dapat melakukan tugasnya sehari-hari lagi (tahap penurunan). Penuaan

merupakan perubahan kumulatif pada makhluk hidup, termasuk tubuh,

jaringan dan sel, yang mengalami penurunan kapasitas fungsional. Pada

manusia, penuaan dihubungkan dengan perubahan degeneratif pada kulit,

tulang, jantung, pembuluh darah, paru-paru, saraf dan jaringan tubuh

lainnya. Dengan kemampuan regeneratif yang terbatas, mereka lebih rentan

terhadap berbagai penyakit, sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan

orang dewasa lain. Untuk menjelaskan penurunan pada tahap ini, terdapat

berbagai perbedaan teori, namun para ahli pada umumnya sepakat bahwa

proses ini lebih banyak ditemukan pada faktor genetik.

5. Permasalahan Lansia Di Indonesia

Jumlah lansia di Indonesia tahun 2014 mencapai 18 juta jiwa dan

diperkirakan akan meningkat menjadi 41 juta jiwa di tahun 2035 serta lebih

dari 80 juta jiwa di tahun 2050. Tahun 2050, satu dari empat penduduk

Indonesia adalah penduduk lansia dan lebih mudah menemukan penduduk

lansia dibandingkan bayi atau balita.

19
Sedangkan sebaran penduduk lansia pada tahun 2010, Lansia yang

tinggal di perkotaan sebesar 12.380.321 (9,58%) dan yang tinggal di

perdesaan sebesar 15.612.232 (9,97%). Terdapat perbedaan yang cukup

besar antara lansia yang tinggal di perkotaan dan di perdesaan. Perkiraan

tahun 2020 jumlah lansia tetap mengalami kenaikan yaitu sebesar

28.822.879 (11,34%), dengan sebaran lansia yang tinggal di perkotaan lebih

besar yaitu sebanyak 15.714.952 (11,20%) dibandingkan dengan yang

tinggal di perdesaan yaitu sebesar 13.107.927 (11,51%). Kecenderungan

meningkatnya lansia yang tinggal di perkotaan ini dapat disebabkan bahwa

tidak banyak perbedaan antara rural dan urban. Kebijakan pemerintah

terhadap kesejahteraan lansia menurut UU Kesejahteraan Lanjut Usia (UU

No 13/1998) pasa 1 ayat 1: Kesejahteraan adalah suatu tata kehidupan dan

penghidupan sosial baik material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa

keselamatan, kesusilaan, dan ketenteraman lahir batin yang memungkinkan

bagi setiap warga Negara untuk mengadakan pemenuhan kebutuhan jasmani,

rohani, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat

dengan menjunjung tinggi hak dan kewajiban asasi manusia sesuai dengan

Pancasila. Pada ayat 2 disebutkan, Lanjut Usia adalah seseorang yang telah

mencapai usia 60 (enam puluh) tahun keatas. Dan mereka dibagi kepada dua

kategori yaitu lanjut usia potential (ayat 3) dan lanjut usia tidak potensial

(ayat 4). Lanjut Usia Potensial adalah lanjut usia yang masih mampu

melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang

dan/atau jasa.

20
Sedangkan Lanjut Usia Tidak Potensial adalah lanjut usia yang tidak

berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang

lain. Bagi Lanjut Usia Tidak potensial (ayat 7) pemerintah dan masyarakat

mengupayakan perlindungan sosial sebagai kemudahan pelayanan agar

lansia dapat mewujudkan dan menikmati taraf hidup yang wajar. Selanjutnya

pada ayat 9 disebutkanbahwa pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial adalah

upaya perlindungan dan pelayanan yang bersifat terus-menerus agar lanjut

usia dapat mewujudkan dan menikmati taraf hidup yang wajar. Lanjut usia

mengalami masalah kesehatan. Masalah ini berawal dari kemunduran sel-sel

tubuh, sehingga fungsi dan daya tahan tubuh menurun serta faktor resiko

terhadap penyakit pun meningkat. Masalah kesehatan yang sering dialami

lanjut usia adalah malnutrisi, gangguan keseimbangan, kebingungan

mendadak, dan lain-lain. Selain itu, beberapa penyakit yang sering terjadi

pada lanjut usia antara lain hipertensi, gangguan pendengaran dan

penglihatan, demensia, osteoporosis, dsb. Data Susenas tahun 2012

menjelaskan bahwa angka kesakitan pada lansia tahun 2012 di perkotaan

adalah 24,77% artinya dari setiap 100 orang lansia di daerah perkotaan 24

orang mengalami sakit. Di pedesaan didapatkan 28,62% artinya setiap 100

orang lansia di pedesaan, 28 orang mengalami sakit. Berdasarkan Undang-

Undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, upaya pemeliharaan

kesehatan bagi lanjut usia harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup

sehat dan produktif secara sosial maupun ekonomis. Selain itu, Pemerintah

wajib menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan dan memfasilitasi

21
kelompok lansia untuk dapat tetaphidup mandiri dan produktif, hal ini

merupakan upaya peningkatan kesejahteraan lansia khususnya dalam bidang

kesehatan. Upaya promotif dan preventif merupakan faktor penting yang

harus dilakukan untuk mengurangi angka kesakitan pada lansia. Untuk

mencapai tujuan tresebut, harus ada koordinasi yang efektif antara lintas

program terkait di lingkungan Kementerian Kesehatan dan organisasi

profesi.

Kebijakan Kementerian Kesehatan dalam pelayanan kesehatan melalui

penyediaan sarana pelayanan kesehatan yang ramah bag lansia bertujuan

untuk meningkatkan derajat kesehatan lansia supaya lebih berkualitas dan

berdaya guna bagi keluarga dan masyarakat. Upaya yang dikembangkan

untuk mendukung kebijakan tersebut antara lain pada pelayanan kesehatan

dasar dengan pendekatan Pelayanan Santun Lansia, meningkatkan upaya

rujukan kesehatan melalui pengembangan Poliklinik Geriatri Terpadu di

Rumah Sakit, dan menyediakan sarana dan prasarana yang ramah bagi

lansia.Kesadaran setiap lansia untuk menjaga kesehatan dan menyiapkan

hari tua dengan sebaik dan sedini mungkin merupakan hal yang sangat

penting. Semua pelayanan kesehatan harus didasarkan pada konsep

pendekatan siklus hidup dengan tujuan jangka panjang, yaitu sehat sampai

memasuki lanjut usia. Pendapat lain menjelaskan bahwa lansia mengalami

perubahan dalam kehidupannya sehingga menimbulkan beberapa masalah.

Permasalahan tersebut diantaranya yaitu :

22
a. Masalah fisik

Masalahyang hadapi oleh lansia adalah fisik yang mulai melemah,

sering terjadi radang persendian ketika melakukan aktivitas yang cukup

berat, indra pengelihatan yang mulai kabur, indra pendengaran yang

mulai berkurang serta daya tahan tubuh yang menurun, sehingga sering

sakit.

b. Masalah kognitif ( intelektual )

Masalah yang hadapi lansia terkait dengan perkembangan kognitif,

adalah melemahnya daya ingat terhadap sesuatu hal (pikun), dan sulit

untuk bersosialisasi dengan masyarakat di sekitar.

c. Masalah emosional

Masalah yang hadapi terkait dengan perkembangan emosional, adalah

rasa ingin berkumpul dengan keluarga sangat kuat, sehingga tingkat

perhatian lansia kepada keluarga menjadi sangat besar. Selain itu, lansia

sering marah apabila ada sesuatu yang kurang sesuai dengan kehendak

pribadi dan sering stres akibat masalah ekonomi yang kurang terpenuhi.

d. Masalah spiritual

Masalah yang dihadapi terkait dengan perkembangan spiritual, adalah

kesulitan untuk menghafal kitab suci karena daya ingat yang mulai

menurun, merasa kurang tenang ketika mengetahui anggota keluarganya

belum mengerjakan ibadah, dan merasa gelisah ketika menemui

permasalahan hidup yang cukup serius.

23
6. Tujuan Pelayanan Kesehatan Pada Lansia

Pelayanan pada umumnya selalu memberikan arah dalam memudahkan

petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan sosial, kesehatan,

perawatan dan meningkatkan mutu pelayanan bagi lansia. Tujuan pelayanan

kesehatan pada lansia terdiri dari :

a. Mempertahankan derajat kesehatan para lansia pada taraf yang setinggi

tingginya, sehingga terhindar dari penyakit atau gangguan.

b. Memelihara kondisi kesehatan dengan aktifitas-aktifitas fisik dan mental

c. Mencari upaya semaksimal mungkin agar para lansia yang menderita

suatu penyakit atau gangguan, masih dapat mempertahankan

kemandirian yang optimal.

C. Konsep Asuhan Keperawatan Depresi Pada Lansia


1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawtaan dan merupakan suatu
proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Marfuah, 2014).
Berikut ini adalah data fokus depresi pada lansia diantaranya (Videbeck,
2012):
a. Identitas diri Klien
Hasil analisis lanjutan riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa ada
hubungan yang kuat antara masalah gangguan mental emosional dengan
lansia, khususnya pada usia 65 tahun ke atas.
b. Struktur keluarga : Genogram

24
Pada penelitian mengenai depresi dalam keluarga diperoleh bahwa
generasi pertama berpeluang lebih sering dua sampai sepuluh kali
mengalami depresi berat.Penelitian yang berhubungan dengan anak
kembar mengemukakan bahwa kembar monozigot berpeluang sebesar
50%, sedangkan kembar dizigot sebesar 10-25%.
c. Riwayat penyakit klien
Kaji ulang riwayat klien dan pemeriksaan fisik untuk adanya tanda dan
gejala karakteristik yang berkaitan dengan gangguan tertentu yang
didiagnosis.
1) Kaji adanya depresi

25
2) Singkirkan kemungkinan adanya depresi dengan scrining yang
tepat, seperti geriatric depresion scale.
3) Anjurkan pertanyaan-pertanyaan pengkajian keperawatan.
4) Wawancarai klien, pemberi asuhan atau keluarga. (Videbeck, 2012)
d. Lakukan observasi langsung terhadap :
1) Perilaku
a) Bagaimana kemampuan klien mengurus diri sendiri dan
melakukan aktivitas hidup sehari-hari?
b) Apakah klien menunjukan perilaku yang tidak dapat diterima
secara sosial?
c) Apakah klien sering mengluyur dan mondar-mandir
d) Apakah ia menunjukan sundown sindrom atau perserevation
fenomena?
2) Afek
a) Apakah klien menunjukan ansietas?
b) Labilitas emosi?
c) Depresi atau apatis?
d) Iritabiltas?
e) Curiga?
f) Tidak berdaya?
g) Frustasi?

3) Respon kognitif
a. Bagaimana tingkat orientasi klien?
b. Apakah klien mengalami kehilangan ingatan tentang hal-hal
yang baru saja atau yang sudah lama sekali?
c. Sulit mengatasi masalah, mengorganisasikan atau meng-
abstrakan?
d. Kurang mampu membuat penilaian?
e. Terbukti mengalami afasia, agnosia atau apraksia? (Videbeck,
2012)

26
e. Luangkan waktu bersama pemberi asuhan atau keluarga
a. Identifikasi pemberi asuhan primer dan tentukan berapa lama ia
sudah menjadi pemberi asuhan dikeluarga tersebut.
b. Identifikasi sistem pendukung yang ada bagi pemberi asuhan
dan anggota keluarga lain.
c. Identifikasi pengetahuan dasar tentang perawatan klien dan
sumber daya komunitas (catat hal-hal yang perlu diajarkan)
d. Identifikasi sistem pendukung spiritual bagi keluarga
e. Identifikasi kekhawatiran tertentu tentang klien dan
kekhawatiran pemberi asuhan tentang dirinya sendiri
(Videbeck, 2012)
f. Mengkaji Klien Lansia dengan Depresi
Untuk melakukan pengkajian pada lansia dengan depresi, pertama-
tama saudara harus membina hubungan saling percaya dengan pasien
lansia. Untuk dapat membina hubungan saling percaya, dapat
dilakukan hal-hal sebagai berikut: Selalu mengucapkan salam kepada
pasien seperti : selamat pagi/siang/sore/malam atau sesuai dengan
konteks agama pasien Perkenalkan nama saudara (nama panggilan)
saudara, termasuk menyampaikan bahwa saudara adalah perawat yang
akan merawat pasien. Tanyakan pula nama pasien dan nama panggilan
kesukaannya. Jelaskan tujuan saudara merawat pasien dan aktivitas
yang akan dilakukan. Jelaskan pula kapan aktivitas akan dilaksanakan
dan berapa lama aktivitas tersebut Bersikap empati dengan cara :
Duduk bersama klien, melakukan kontak mata, beri sentuhan dan
menunjukkan perhatian. Bicara lambat, sederhana dan beri waktu klien
untuk berfikir dan menjawab (Videbeck, 2012)
2. Diagnosa Keperawatan :
a. Koping tidak efektif
b. Gangguan pola tidur
c. Resiko mencederai diri sendiri

27
PATHWAY DEPRESI
LANSIA
AAAAA

Perubahan Perubahan Perubahan


biologis kejiwaan Sosial

Penurunan Fungsi Sumber


masukan nutrisi Intelektual keuangan
menurun

Penurunan
aktivitas
Fungsi social
menurun,
Penurunan fungsi kehilangan
Demensia
sendi otot, hubungan family
pendengaran,
penglihatan
Depresi

v v
Perasaan Perubahan cara hidup
sedih,mudah marah

v v
Perubahan
Merasa kurang
psikososial
diperhatikan

v v

Perasaan tidak Resiko Menarik diri


tenang membahayak dari kehidupan
v an diri sendiri sosial
v
Takut, ansietas

Koping tdk
v
Gangguan efektif
istirahat/pola tidur

28
29
i
3. Rencana Keperawatan (SDKI,SLKI,SIKI)

a. Koping tidak efektif D.0096


Defenisi :
Ketidakmampuan menilai dan merespon stressor dan/atau ketidakmampuan
menggunakan sumber-sumber yang ada untuk mengatasi masalah.
Penyebab :
1. Ketidakpercayaan terhadap kemampuan diri mengatasi masalah.
2. Ketidakadekuatan system pendukung.
3. Ketidakteraturan atau kekacauan lingkungan.
4. Ketidakcukupan persiapan untuk menghadapi stressor.
5. Disfungsi system keluarga.
6. Krisis situasional.
7. Krisis maturasional.
8. Kerentanan personalitas.
9. Ketidakpastian.
Gejala dan Tanda Mayor :
Subjektif : 1. Mengungkapkan tidak mampu mengatasi masalah.
Objektif :
1. Tidak mampu memenuhi peran yang diharapkan (sesuai
usia).
2. Menggunakan mekanisme koping yang tidak sesuai.
Gejala dan Tanda Minor :
Subjektif :
1. Tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar.
2. Kekhawatiran kronis.
Objektif :
1. Penyakahgunaan zat.
2. Memanipulasi orang lain untuk memenuhi keinginannya
sendiri.
3. Perilaku tidak asertif.
4. Partisipasi social kurang.
Kondisi Klinis Terkait:
1. Kondisi perawatan kritis.
2. Attention deficit/hyperactivity disorder (ADHD).
3. Gangguan perilaku.
4. Opposional defiant disorder.

2
5. Gangguan kecemasan perpisahan.
6. Delirium.
7. Demensia.
8. Gangguan amnestic.
9. Intoksikasi zat.
10. Putus zat.
Luaran Utama : Status Koping L.09086
Defenisi : Kemampuan menilai dan merespon stressor dan/atau kemampuan
menggunakan sumber-sumber yang ada untuk mengatasi masalah.
Ekspetasi : Membaik.
Kriteria Hasil :
Menurun Cukup Sedan Cukup Meningk
Menurun g Meningk at
at
Kemampuan
memenuhi peran 1 2 3 4 5
sesuia usia
Perilaku koping
adaptif 1 2 3 4 5
Verbalisasi
kemampuan 1 2 3 4 5
mengatasi masalah
Verbalisasi
kelemahan diri 1 2 3 4 5
Perilaku asertif 1 2 3 4 5
Partisipasi sosial 1 2 3 4 5
Tanggung jawab
diri 1 2 3 4 5

Orientasi realitas 1 2 3 4 5
Minat mengikuti
perawatan/pengobat 1 2 3 4 5
an
Kemampuan 1 2 3 4 5
membina hubungan

Meningk Cukup Sedan Cukup Menurun


at meningk g menurun
at
Verbalisasi
menyalahkan orang 1 2 3 4 5
lain
Verbalisasi
rasionalisasi 1 2 3 4 5
kegagalan

3
Hipersensitif
terhadap kritik 1 2 3 4 5
Perilaku
penyalahgunaan zat 1 2 3 4 5
Perilaku manipulasi 1 2 3 4 5
Perilaku
permusuhan 1 2 3
Perilaku superior 1 2 3 4 5

Luaran Tambahan Dukungan social L.13113


Defenisi : Ketersedian sokogan dari orang lain untuk memenuhi
kebutuhan individu yang menjalani perawatan.
Ekstepasi : Meningkat
Kriteria Hasil :
Menuru Cukup Sedan Cukup Meningka
n Menuru g meningka t
n t
Kemampua
n meminta
bantuan 1 2 3 4 5
pada orang
lain
Bantuan yg
dirawarkan 1 2 3 4 5
oleh org
lain
Dukungan
emosi yang
disedikan 1 2 3 4 5
oleh org
lain
Jaringan
social yg 1 2 3 4 5
membantu

4
Intervensi Utama : Dukungan Pengambilan Keputusan I.09265
Defenisi : Memberikan informasi dan dukungan saat pembuatan keputusan
kesehatan.
Tindakan :
Observasi :
- Identifikasi persepsi mengenai masalah dan informasi yang
memicu konflik.
Terapeutik :
- Fasilitasi mengklarifikasi nilai dan harapan yang membantu
membuat pilihan.
- Diskusikan kelebihan kelebihan dan kekurangan dari setiap
solusi.
- Motivasi mengungkapkan tujuan perawatan yang diharapkan.
- Fasilitasi pengambilan keputusan secara kolaboratif.
- Hormati hak pasien untuk menerima atau menolak informasi.
- Fasilitasi menjelaskan keputusan kepada orang lain, jika perlu.
Edukasi :
- Informasikan alternative solusi secara jelas.
- Berikan informasi yang diminta pasien.
Kolaborasi :
- Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain dalam memfasilitasi
pengambilan keputusan.

Intervensi Pendukung : Bimbingan Sistem Kesehatan I.12360


Defenisi : mengidentifikasi dan mengembangkan kemampuan untuk mengatasi
masalah kesehatan.
Observasi :
- Identifikasi masalah kesehatan individu, keluarga dan
masyarakat.
- Indentifkasi inisiatif individu, keluarga dan masyarakat.
Terapeutik :
- Fasilitasi pemenuhan kebutuhan kesehatan.
- Fasilitasi pemenuhan kebutuhan kesehatan mandiri.
- Libatkan kolega/teman untuk membimbing pemenuhan
kebutuhan kesehatan.
- Siapkan pasien untuk mampu berkolaborasi dan bekerjasama
dalam pemenuhan kebutuhan kesehatan.

5
Edukasi :
- Bimbing untuk bertanggungjawab mengidentifikasi dan
mengembangkan kemampuan memecahkan masalah kesehatan
secara mandiri.
b. Gangguan Pola Tidur.
Defenisi : Gangguan kualitas dan kuantitas waktu tidur akibat faktor
eksternal.
Penyebab :
1. Hambatan lingkungan ( mis: kelembaban lingkungan sekitar, suhu
lingkungan, pencahyaan, kebisingan, bau tidak sedap, jadwal
pemantuan/pemeriksaan/tindakan).
2. Kurang kontrol tidur.
3. Kurang privasi.
4. Restrain fisik.
5. Ketiadaan teman tidur.
6. Tidak familiar dengan peralatan tidur.
Gejala dan Tanda Mayor :
Subjektif :
1. Mengeluh sulit tidur.
2. Mengeluh sering terjaga.
3. Mengeluh tidak puas tidur.
4. Mengeluh pola tidur berubah.
5. Mengeluh istirahat tidak cukup.
Objektif :
(tidak tersedia).
Gejala dan Tanda Minor :
Subjektif :
1. Mengeluh kemampuan beraktivitas menurun.
Objektif :
(tidak tersedia).
Kondisi Klinis Terkait:
1. Nyeri/kolik.
2. Hipertiroidisme.
3. Kecemasan.
4. Penyakit paru obstruktif kronis.
5. Kehamilan.
6. Periode pasca partum.
7. Kondisi pasca operasi.
Luaran Utama : Pola Tidur L. 05045
Defenisi : keadekuatan kualitas dan kuantitas tidur.
Ekspetasi : Membaik.
6
Kriteria Hasil.

Menurun Cukup Sedan Cukup Meningka


Menurun g Menigka t
t
Keluhan
sulit tidur 1 2 3 4 5
Keluhan
sering 1 2 3 4 5
terjaga
Keluhan
tidak puas 1 2 3 4 5
tidur
Keluhan
pola tidur 1 2 3 4 5
berubah

1 2 3 4 5
Meningka Cukup Sedan Cukup Menurun
t Meningka g Menurun
t
Kemampua
n 1 2 3 4 5
beraktivitas

Luaran Tambahan : Tingkat Depresi L. 09097


Defenisi : Perasaan sedih yang berdampak negative pada pikiran, tindakan,
perasaan dan kesehatan.
Ekspetasi : Menurun.
Kriteria Hasil:

Menurun Cukup Sedan Cukup Meningka


Menurun g Meningka t
t
Minat
beraktivitas 1 2 3 4 5
Aktivitas
sehari-hari 1 2 3 4 5
Konsentrasi 1 2 3 4 5
Harga diri 1 2 3 4 5
Kebersihan diri 1 2 3 4 5
Meningkat Cukup Sedan Cukup Menurun.
Meningkat g Menurun,
Perasaan tidak
berharga 1 2 3 4 5

7
Sedih 1 2 3 4 5
Putus asa 1 2 3 4 5
Peristiwa
negative 1 2 3 4 5
Perasaan
bersalah 1 2 3 4 5
Keletihan 1 2 3 4 5
Pikiran
mencederai diri 1 2 3 4 5
Pikiran bunuh
diri 1 2 3 4 5
Bimbang 1 2 3 4 5
Menangis 1 2 3 4 5
Marah 1 2 3 4 5
Penyalahgunaa 1 2 3 4 5
zat
Penyalahgunaa 1 2 3 4 5
n alcohol
Memburu Cukup Sedan Cukup Membaik
k Memburu g Membaik
k
Berat badan 1 2 3 4 5
Nafsu makan 1 2 3 4 5
Pola tidur 1 2 3 4 5
Libido 1 2 3 4 5

Inrervensi Utama : Dukungan Tidur I.05174


Defenisi : Memfasilitasi siklus tidur dan terjaga yang teratur.
Tindakan :
Observasi :
- Identifikasi pola tidur.
- Identifikasi faktor pengganggu.
- Identifikasi makanan dan minuman yang mengganggu tidur (mis: kopi,
the, alcohol, makan mendekati waktu tidur, minum banyak air sebelum
tidur).
- Identifikasi obat tidur yang dikonsumsi.
Terapeutik :
- Modifikasi lingkungan (mis: pencahayaan, kebisingan, suhu, matras, dan
tempat tidur).
- Batasi waktu tidur siang, jika perlu.
- Fasilitasi menghilangkan stress sebelum tidur.
- Tetapkan jadwal tidur rutin.

8
- Lakukan prosedur untuk meningkatkan kenyamanan (mis: pijat,
pengaturan posisi, terapi akupresur).
- Sesuaikan jadwal pemberian obat dan/atau tindakan untuk menunjang
siklus tidur-terjaga.
Edukasi :
- Jelaskan pentingnya tidur cukup selama sakit.
- Anjurkan menepati kebiasaan waktu tidur.
- Anjurkan menghindari makanan/minuman yang mengganggu tidur.
- Anjurkan penggunaan obat tidur yang tidak mengandung supresor
terhadap tidur REM.
- Ajarkan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap gangguan pola tidur
(mis: psikologis, gaya hidup, sering berubah shif bekerja).
- Ajarkan relaksasi otot autogenic atau cara nonfarmakologi lainnya.
Intervensi Utama : Edukasi akvitas/istirahat I.12362
Defenisi : Mengajarkan pengaturan aktivitas dan istirahat.
Tindakan :
Observasi :
- Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi.
Terapeutik :
- Sediakan materi dan media pengaturan aktivitas dan istirahat.
- Jadwalkan pemberian pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan.
- Berikan kesempatan kepada pasien dan keluarga untuk bertanya.
Edukasi :
- Jelaskan pentingnya melakukan aktivitas fisik/olahraga secara rutin.
- Anjurkan terlibat dalam aktivitas kelompok, aktivitas bermain atau
aktivitas lainnya.
- Anjurkan menyusun jadwal aktivitas dan istirahat.
- Ajarkan cara mengidentifikasi kebutuhan istirahat (mis: kelelahan, sesak
napas saat aktivitas).
- Ajarkan cara mengidentifikasi target dan jenis aktivitas sesuai
kemampuan.
Intervensi Pendukung : Dukungan Kepatuhan Program Pengobatan I.12361
Defenisi :
Memfasilitasi ketepatan dan keteraturan menjalani program pengobatan yang sudah
ditentukan.
Tindakan :
Observasi :
- Identifikasi kepatuhan menjalani program pengobatan.
Terapeutik :
- Buat komitmen menjalani program pengobatan dengan baik.

9
- Buat jadwal pendampingan keluarga untuk bergantian menemani pasien
selama menjalani pengobatan, jika perlu.
- Dokumentasikan aktivitas selama menjalani proses pengobatan.
- Diskusikan hal-hal yang dapat mendukung atau menghambat berjalanya
program pengobatan.
- Libatkan keluarga untuk mendukung program pengobatan yang dijalani.
Edukasi :
- Informasikan program pengobatan yang harus dijalani.
- Informasikan manfaat yang akan diperoleh jika teratur menjalani program
pengobatan.
- Anjurkan keluarga untuk mendampingi dan merawat pasien selama
menjalani program pengobatan.
- Anjurkan pasien dan keluarga melakukan konsultasi ke pelayanan
kesehatan terdekat, jika perlu.
c. Resiko Mencedarai Diri Sendiri=Resiko Bunuh Diri D.0135
Defenisi : Berisiko melakukan upaya menyakiti diri sendiri untuk mengakhiri
kehidupan.
Faktor Risiko :
1. Gangguan perilaku (mis: euphoria mendadak setelah depresi, perilaku mencari
senjata berbahaya, membeli obat dalam jumlah banyak, membuat surat wasiat).
2. Demografi (mis: lansia, status perceraian, janda/duda, ekonomi rendah,
pengangguran).
3. Gangguan fisik (mis: nyeri kronis, penyakit terminal).
4. Masalah social (mis: berduka, tidak berdaya, putus asa, kesepian, kehilangan
hubungan yang penting, isolasi social).
5. Gangguan psikologis (mis: penganiyaan masa kanak-kanak, riwayat bunuh diri
sebelumnya, remaja homoseksual, gangguan psikiatrik, penyakit psikiatrik,
penyalahgunaan fisik).
Kondisi Klinis Terkait:
1. Sindrom otak akut/kronis.
2. Ketidakseimbangan hormone (mis: premenstruasi syndrome, postpartum psychosis).
3. Penyalahgunaan zat.
4. Post traumatic stress disorder (PTSD).
5. Penyakit kronis/terminal (mis: kanker).

Luaran Utama : Kontrol Diri L.09076


Defenisi :
Kemampuan untuk mengendalikan atau mengatur emosi, pikiran, dan perilaku dalam
menghadapi masalah.
Ekspetasi : Meningkat.

10
Kriteria Hasil :
Menurun Cukup Sedang Cukup Meningkat
Menurun Meningkat
Verbalisasi ancaman
kepada orang lain 1 2 3 4 5
Verbalisasi umpatan 1 2 3 4 5
Perilaku menyerang 1 2 3 4 5

Perilaku melukai diri


sendiri/org lain 1 2 3 4 5
Perilaku merusak
lingkungan sekitar 1 2 3 4 5
Perilaku agresif 1 2 3 4 5
Suara keras 1 2 3 4 5
Bicara ketus 1 2 3 4 5
Verbalisasi keinginan
bunuh diri 1 2 3 4 5
Verbalisasi isyarat bunuh
diri 1 2 3 4 5
Verbalisasi rencana
bunuh diri 1 2 3 4 5
Verbalisasi kehilangan
hubungan yang penting 1 2 3 4 5
Perilaku merencanakan
bunuh diri 1 2 3 4 5
Euforia 1 2 3 4 5
Alam perasaan depresi 1 2 3 4 5

Luaran Tambahan : Dukungan Keluarga L. 13112


Defenisi : ketersediaan sokongan anggota keluarga untuk memenuhi kebutuhan individu
yang menjalani perawatan.
Ekspetasi : Meningkat.
Kriteria Hasil :
Menurun Cukup Sedang Cukup Meningkat
Menurun Meningkat
Anggota keluarga
verbalisasi keinginan
untuk mendukung 1 2 3 4 5
anggota keluarga yang
sakit
Menanyakan kondisi 1 2 3 4 5
pasien

11
Mencari dukungan social
bagi anggota keluarga yg 1 2 3 4 5
sakit
Mencari dukungan
spiritual bagi anggota 1 2 3 4 5
keluarga yang sakit
Bekerjasama dengan
anggota keluarga yang 1 2 3 4 5
sakit dalam menentukan
perawatan
Bekerjasama dengan
penyedia layanan 1 2 3 4 5
kesehatan dalam
menentukan perawatan
Berpartisipasi dalam 1 2 3 4 5
perencanaan pulang

Intervensi Utama : Managemen Mood I.09289


Defenisi : Mengidentifikasi dan mengelola keselamatan, stabilisasi, pemulihan, dan
perawatan gangguan mood (keadaan emosinal yang bersifat sementara).
Tindakan :
Observasi :
- Identifikasi mood (mis: tanda, gejala, riwayat penyakit).
- Identifikasi risiko keselamatan diri atau orang lain.
- Monitor fungsi kognitif (mis: konsentrasi, memori, kemampuan membuat
keputusan).
- Monitor aktivitas dan tingkat stimulasi lingkungan.
Terapeutik :
- Fasilitassi pengisisan kusioner selft-report (mis: beck depression inventory,
skala status fungsional), jika perlu.
- Berikan kesempatan untuk menyampaikan perasaan dengan cara yang tepat
(mis: sandsack, terapi seni, aktivitas fisik).
Edukasi :
- Jelaskan tentang gangguan mood dan penanganannya.
- Anjurkan berperan aktif dalam pengobatan dan rehabilitasi, jika perlu.
- Anjurkan rawat inap sesuai indikasi (mis : risiko keselamatan, defisit
perawatan diri, social).
- Ajarkan mengenali pemicu gangguan mood (mis: situasi stress, masalah
fisik).

12
- Ajarkan memonitor mood secara mandiri (mis: skala tingkat 1-10, membuat
jurnal).
- Ajarkan keterampilan koping dan penyelesaia masalah baru.
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian obat, jika perlu.
- Rujuk untuk psikoterapi (mis: perilaku, hubungan interpersonal, keluarga,
kelompok), jika perlu.

Intervensi utama : Pencegahan Bunuh Diri I.14538


Defenisi : Mengidentifikasi dan menrunkan risiko merugikan diri sendiri dengan
maksud mengakhiri hidup.
Tindakan :
Observasi :
- Identifikasi gejala risiko bunuh diri(mis: gangguan mood, halusinasi, delusi,
panik, penyalahgunaan zat, kesedihan, gangguan kepribadian.
- Identifikasi keinginan dan pikiran rencana bunuh diri.
- Monitor lingkungan bebas bahaya secara rutin (mis: barang pribadi, pisau
cukur, jendela).
- Monitor adanya perubahaan mood atau perilaku.
Terapeutik :
- Libatkan dalam perencanaan perawatan mandiri.
- Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan.
- Lakukan pendekatan langsung dan tidak menghakimi saat membahas bunuh
diri.
- Berikan lingkungan dengan pengamaan ketat dan mudah dipantau (mis:
tempat tidur dekat ruang perawat).
- Tingkatkan pengawasan pada kondisi tertentu (mis: rapat staf, pergantian
shift).
- Lakukan intervensi perlindungan (mis: pembatasan area, pengekangan fisik),
jika diperlukan.
- Hindari diskusi berulang tentang bunuh diri sebelumnya, diskusi berorientasi
pada masa sekarang dan masa depan.
- Diskusikan rencana menghadapi ide bunuh diri di masa depan (mis: orang
yang dihunungi, kemana mencari bantuan).
- Pastikan obat ditelan.
Edukasi :
- Anjurkan mendiskusikan perasaan yang dialami kepada orang lain.
- Anjurkan menggunakan sumber pendukung (mis: layanan spiritual, penyedia
layanan).
- Jelaskan tindakan pencegahan bunuh diri kepada keluarga atau orang
terdekat.
13
- Informasikan sumber daya masyarakat program yang tersedia.
- Latih pencegahan risiko bunuh diri (mis: latihan asertif, relaksasi otot
progresif).
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian obat antiansietas, atau antipsikotik, sesuai indikasi.
- Kolaborasi tindakan keselamatan kepada PPA.
- Rujuk ke pelayanan kesehatan mental, jika perlu.

Intervensi Pendukung : Dukungan Pelaksanaan Ibadah I. 09262


Defenisi : Memfasilitasi pemulihan dan penyembuhan dalam perawatan melalui
pelaksanaan ibadah.
Tindakan :
Observasi :
- Identifikasi kebutuhan pelaksanaan ibadah sesuai agama yang dianaut.
Terapeutik :
- Sediakan sarana yang aman dan nyaman untuk pelaksanaan ibadah (mis :
tempat berwudhu, perlengkapan sholat, arah kiblat,perlengkapan kebaktian).
- Fasilitasi konsultasi medis dan tokoh agama terhadap prosedur khusus (mis:
donor, transfuse).
- Fasilitasi penggunaan ibadah sebagai sumber koping.
- Fasilitasi kebutuhan diet sesuai dengan agama yang dianut( mis: tidak makan
babi bagi muslim, tidak makan sapi bagi hindu).
- Faslilitasi pemenuhan ritual pada situasi khusus (mis: mengadzankan bayi,
pembaptisan, pengakuan dosa, menuntun syahadat saat sakarstul maut,
menghadap kiblat).
- Fasilitasi penuntunan ibadah oleh keluarga dan/atau rohaniwan.
Kolaborasi :
- Konsultasi medis terkait pelaksanaan ibadah yang memerluka perhatian
(mis: puasa).
- Rujuk pada rohaniwan, konseling profesi, dan kelompok pendukung pada
situasi spiritual dan ritual, jika sesuai.

2. Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan pada klien disesuaikan dengan
prioritas masalah yang telah di susun. Yang paling penting pelaksanaan mengacu pada

14
intervensi yang telah ditentukan dengan maksud agar kebutuhan klien terpenuhi secara
optimal.
3. Evaluasi Keperawatan.
Evaluasi dilakukan dengan mengacu pada tujuan dan kriteriayang telah ditetapkan.

BAB III

HASIL STUDI KASUS DAN PEMBAHASAN

A. HASIL STUDI KASUS


1. Kasus 1
Ny. C berumur 69 thn, tinggal di sebuah panti jompo sekitar 3 bulan yang
lalu. Ny.C diantar oleh anaknya untuk tinggal di panti dikarenakan anaknya tidak
punya waktu untuk mengurusnya. Sejak istrinya meninggal 7 bulan yang lalu,
sikap dan tingkah laku Ny. C berubah. Ny. C sering keluar dari rumah dan
berjalan tanpa arah sampai tidak mengetahui arah jalan pulang. Karena hal inilah,
anaknya memutuskan membawa Ny. C ke panti jompo. Sejak 2 minggu yang lalu
Ny. C menunjukkan sikap menyendiri, sering berbicara sendiri,sesekali
membenturkan kepalanya di dinding kamar dan memukul mukul dadanya sendiri.
Sesekali Ny. C menangis tanpa sebab sambil memanggil nama seorang wanita
“Maria” yang belakangan diketahui itu adalah nama istrinya.. Anak Ny. C sudah

15
jarang datang melihatnya. Pada saat pemeriksaan fisik Ny. C tampak melamun,
tampak berbicara sendiri dan sesekali berusaha meraih meja didekatnya untuk
dipukul-pukul. T= 140/70 mmHg, N=98x/mnt, RR=24x/mnt, Sh=36,5 0c,
SPO2=98%. Tampak tangan kiri Ny. C terdapat bekas-bekas luka.
Dari hasil pengakajian ini didapat analisa data, data subjektif: Ny. C
memanggil nama “Maria”. Ny. C. Data Objektif: Ny. C sering menyendiri, sering
berbicara sendiri, sesekali membenturkan kepalanya di dinding kamar. Ny. C
tampak melamun, tampak berbicara sendiri, tampak berusaha meraih meja untuk
dipukul-pukul, tampak tangan kiri terdapat bekas-bekas luka. T= 140/70mmHg,
N=98x/mnt, RR=24x/mnt, Sh=36,5 0c, SPO2=98%.
Berdasarkan analisa data diatas didapat diagnosa risiko mencederai diri
sendiri (risiko bunuh diri) berhubungna dengan masalah social(berduka, kesepian,
kehilangan hubungan yang penting) yang dibuktikan dengan: keluarga Ny.C
meninggalkannya di panti jompo karena tidak ada waktu untuk mengurusnya, Ny.
C sering keluar rumah dan berjalan tanpa tahu arah jalan pulang, Ny. C sering
memanggil nama istirnya Ny. C sering menyendiri, sering membenturkan
kepalanya di dinding kamar,telapak tangan kiri Ny. C tampak bekas-bekas luka,
keluarga Ny. C sudah jarang mengunjunginya. T= 140/70mmHg, N=98x/mnt,
RR=24x/mnt, Sh=36,5 0c, SPO2=98%, umut Ny. C 69 tahun.

Intervesi keperawatan yang diberikan kepada Ny. C adalah:pencegahan


bunuh diri dan dukungan pelaksanaan ibadah. Pencegahan bunuh diri yang
bertujuan mengidentifikasi dan menurunkan risiko merugikan diri sendiri dengan
maksud mengakhiri hidup. Adapun tindakan yang diberikan: observasi: monitor
adanya perubahan mood atau perilaku, monitor lingkungan bebas bahaya secara
rutin. Terpeutik: libatkan dalam perencanaan perawatan mandiri, libatkan
keluarga dalam perencanaan perawatan, berikan lingkungan dengan pengamanan
ketat dan mudah dipantau, tingkatkan pengawasan pada kondisi tertentu.
Intervensi dukungan pelaksanaan ibadah tujuan untuk pemulihan dan
penyembuhan dalam perawatan melalui pelaksanaan ibadah, tindakan observasi:
identifikasi kebutuhan pelaksanaan ibadah sesuai agama yang dianut. Terapeutik:

16
sediakan sarana dan prasarana yang aman dan nyaman untuk pelaksnaan ibadah,
fasilitasi penggunaan ibadah sebagai sumber koping, rujuk pada rohaniwan.

2. Kasus 2

Tn.R berumur 72 tahun dan tinggal bersama anak bungsu yang masih
bujang. Sejak pensiun 5 bulan yang lalu Tn.R mengatakan aktitvitasnya banyak
berubah. Menurutnya, dulu sebelum pensiun, ia sering aktif melakukan kegiatan-
kegiatan kemasyarakatan selain pekerjaan tetapnya sebagai seorang PNS. Sejak
pensiun dia lebih banyak menghabiskan waktunya dirumah saja. Pola tidur Tn.R
berubah, dia sering terbangun karena anaknya sering pulang larut dan
memintanya untuk buka pntu rumah tengah malam,mengakibatkan Tn.R susah
untuk tidur kembali. Tn.R juga mengatakan, dia memiliki riwayat sakit darah
tinggi dan sering merasa pusing.Pada saat pengkajian Tn.R,wajahnya tampak
kurang tidur, sering menguap, T=180/90 mmHg, N=98x/mnt, Sh=37,50c, RR=24
x/mnt, SPO2= 96%.
Analisa data yang didapat dari pengkajian diatas : data subjektif: Tn.R
mengatakan pola tidurnya berubah, Tn.R selalu terbangun tengah malam dan
merasa pusing. Data objektif: Tn.R tampak kurang tidur, tampak sering menguap,
T=180/90 mmHg, N=98x/mnt, Sh=37,50c, RR=24 x/mnt, SPO2= 96%.
Diagnosa yang diangkat berdasarkan data diatas adalah: ganngguan pola
tidur berhubugan dengan kurang kontrol tidur yang dibuktikan dengan Tn.R
mengatakan pola tidurnya berubah, sering terbangun tengah malam karena suara
tangisan cucunya, susah untuk bisa tidur kembali. T=180/90 mmHg, N=98x/mnt,
Sh=37,50c, RR=24 x/mnt, SPO2= 96%., umur Tn.R 72 thn.
Intervensi yang diberikan berdasarkan diagnosa diatas : dukungan tidur
yang bertujuan menfasilitasi siklus tidur dan terjaga yang teratur. Adapun
tindakan yang diberikan, Observasi: identifikasi pola aktivitas dan tidur,
identifikasi faktor pengganggu tidur(fisik dan/atau psikolohis). Terapeutik:
modifikasi lingkungan(kebisingan), batasi waktu tidur siang, jika perlu, fasilitasi
meghilangkan stress sebelum tidur, lakukan prosedur untuk meningkatkan

17
kenyamanan. Edukasi: jelaskan pentingnya tidur cukup, ajarkan relaksasi otot
autogenic atau cara nonfarmakologi lainnya.

B. PEMBAHASAN KASUS

Berdasarkan dua kasus diatas dapat disimpukan bahwa permasalahan


lansia dengan kasus depresi juga sering ditemukan. Pengakajian yang didapat
pada kedua kasus diatas memiliki kesamaan dengan pengakajian yang terdapat
pada teori depresi pada lansia.
Diagnosa yang diangkat pada kedua kasus diatas memiliki kesamaan
dengan diagnosa yang terdapat pada teori. Sedangkan intervensi yang diberikan
kepada kedua kasus diatas walaupun intervensinya sama dengan teori depresi
pada lansia tetapi tidak semua intervensi diambil dan diterapkan kepada kedua
kasus diatas. Intervensi yang diberikan harus disesuaikan dengan situasi dan
kondisi yang dialami klien.

18
BAB V
KESIMPILAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai


dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua
merupakan proses alamiah yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap
kehidupan, yaitu anak, dewasa dan tua (Nugroho, 2006).

Depresi sebagai suatu gangguan mood yang dicirikan tak ada harapan dan
patah hati, ketidakberdayaan yang berlebihan, tak mampu mengambil keputusan
memulai sautu kegiatan, tak mampu berkonsentrasi, tak punya semangat hidup,
selalu tegang, dan mencoba bunuh diri (Atkinson, 1991) dalam (Lubis, 2016).
Depresi merupakan kondisi emosional yang biasanya ditandai dengan kesedihan
yang amat sangat, perasaan tidak berarti dan bersalah (menarik diri, tidak dapat

19
tidur, kehilangan selera, minat dalam aktivitas sehari-hari) (Gerald C. Davison,
2004) dalam (Miftahudin, 2016). B
Depresi adalah gangguan mood, kondisi emosional berkepanjangan yang
mewarnai seluruh proses mental (berpikir, berperasaan dan berperilaku)
seseorang. Pada umumnya mood yang secara dominan muncul adalah perasaan
tidak berdaya dan kehilangan harapan (Rice PL, 1992) dalam (Miftahudin, 2016).
Kondisi ini banyak juga dialami oleh lansia. Faktor psikologi merupakan
salah faktor yang dapat memicu terjadinya depresi pada lansia. Asuhan
keperawatan yang diberikan kepada lansia dengan kasus depresi ditujukan untuk
meminimalkan tanda dan gejala dan mengoptimalkan kembali proses dan tujuan
hidup lansia.

B. SARAN
Tenaga kesehatan dalam hal ini perawat memiliki peran penting untuk
meningkatkan kualiatas hidup lansia. Pendampingan dan pemantuan yang berkala
diharapkan dapat membantu lansia mengurangi kecemasan dalam menjalani dan
menghadapi masa tuanya.
Dukungan keluarga juga sangat diharapkan dan berperan besar dalam
upaya meringankan permasalahan lansia. Keluarga menjadi faktor utama dan
pertama dalam setiap intervensi keperawatan. Diharapka kerjasama yang baik dan
terkontrol antara keluarga dan tenaga kesehatan dapat mencapai pengoptimalan
proses lansia menajalani hari tuanya.

20
DAFTAR PUSTAKA

Aspianti R. Y. (2014). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jilid 2. Jakarta: CV. Trans Info
Medika.

Boedhi Darmojo. (2009). Geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Edisi 4. Jakarta: FKUI.

Brunner & Suddarth, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol. 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran.

Kholifah N.S. 2016. Keperawatan Gerontik . Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kusharyadi. (2011). Asuhan Keperawatan Pada Klien Usia Lanjut. Jakarta: Salemba Medika.
Ninik, M., Hartono, A. Suidah, H., & Pengertika, N. P. (2017) Fungsi Kognitif dengan Activities
of Daily Living (ADL) Pada Lansia. Prosiding Seminar Nasional.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI . 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Edisi I cetakan
III (Revisi). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

21
Tim Pokja SIKI DPP PPNI . 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Edisi I cetakan II.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Edisi I cetakan II.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

22

Anda mungkin juga menyukai