Dosen Pengampu :
Dr. Ns. Rika Sarfika, M. Kep
KELAS A2
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS ANDALAS
TAHUN PELAJARAN
2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa penulis mengucapkan
terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi penulis sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman. Untuk itu penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.
Kelompok 5
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan jiwa adalah suatu penyakit yang bisa terjadi pada semua orang dan tanpa
mengenal ras, budaya, anak-anak, dewasa miskin ataupun kaya, gangguan jiwa merupakan
salah satu gangguan mental yang di sebabkan oleh beragam faktor yang berasal dari dalam
maupun luar. Gangguan mental ini dapat dikenali dengan perubahan pola pikir, tingkah laku
dan emosi yang berubah secara mendadak tanpa disertai alasan yang jelas. Stres yang menjadi
pemicu awal terjadinya gangguan jiwa akan membuat seseorang tidak mampu beraktivitas
secara normal. Jika stres ini tidak ditangani secara cepat maka akan berlanjut pada gejala
gangguan kejiwaan. Pada umumnya terdapat beberapa fakor yang mempengaruhi kejiwaan
seseorang yakni faktor keturunan, jika di dalam silsilah keluarga tersebut mempunyai riwayat
ganguan jiwa maka keturunan – keturunan dari keluarga tersebut bisa dan sangat mungkin
juga akan mengalami ganguan medis tersebut karena ada hubungan darah dari orangtua
mereka yang menyebabkan anak juga bisa mengalami gangguan jiwa tersebut.
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penyusunan makalah ini adalah:
1. Apa definisi gangguan jiwa?
1
1.3 Tujuan
2
BAB II
KERANGKA TEORI
3
b. Ketidak puasan dengan karakteristik, kemampuan dan prestasi diri.
c. Koping yang tidak afektif dengan peristiwa kehidupan.
d. Tidak terjadi pertumbuhan personal.
Menurut Keliat dkk dalam Prabowo, (2014) mengatakan ada juga ciri dari gangguan
jiwa yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:
a. Mengurung diri.
b. Tidak kenal orang lain.
c. Marah tanpa sebab.
d. Bicara kacau.
e. Tidak mampu merawat diri.
4
k. Kesehatan mental adalah komponen kritis dan penting dari pelayanan kesehatan yang
komprehensif.
l. Individu mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan untuk
kesehatan fisik dan mentalnya.
m. Tujuan keperawatan adalah meningkatkan kesejahteraan, memaksimalkan fungsi
(meminimalkan kecacatan/ketidakmampuan), dan meningkatkan aktualisasi diri.
n. Hubungan interpersonal dapat menghasilkan perubahan dan pertumbuhan pada
individu.
Gejala yang paling utama pada gangguan jiwa terdapat pada unsur kejiwaan, biasanya
tidak terdapat penyebab tunggal, akan tetapi terdapat beberapa penyebab dari beragai unsur
yang saling mempengaruhi atau kebetulan terjadi bersamaan, lalu muncul gangguan kejiwaan.
Ada beberapa faktor penyebab gangguan jiwa yaitu:
Tanda dan gejala yang muncul pada pasien dengan gangguan jiwa menurut Maramis
tahun 2010 diantaranya :
5
a. Normal dan Abnormal
b. Gangguan Kesadaran
c. Gangguan Ingatan
Ingatan berdasarkan tiga proses yaitu, pencatatan atau regristasi (mencatat atau
meregristasi sesuatu pengalaman didalam susunan saraf pusat); penahanan atau retensi
(menyimpan atau menahan catatan tersebut) ; dan pemanggilan kembali atau “recall”
(mengigat atau mengeluarkan kembali catatan itu). Gangguan ingatan terjadi apabila
terdapat gangguan pada salah satu atau lebih dari ketiga usnsur diatas.
d. Gangguan Orientasi
6
e. Gangguan Psikomotor
Berisikap aneh : dengan sengaja mengambil sikap atau posisi badan yang tidak
wajar
Stereotype : gerakan salah satu anggota badan yang berkali-kali dan tidak
bertujuan.
g. Gangguan persepsi
h. Gangguan intelegensi
i. Gangguan kepribadian.
7
2.5 Klasifikasi Gangguan Jiwa
Sistem klasifikasi pada ICD dan DSM menggunakan sistem kategori. ICD
menggunakan sistem aksis tunggal (uniaksis), yang mencoba menstandarkan diagnosis
menggunakan definisi deskriptif dari berbagai sindroma, serta memberikan pertimbangan
untuk diagnosis banding. Kriteria diagnosis pada DSM menggunakan sistem multiaksis, yang
menggambarkan berbagai gejala yang harus ada agar diagnosis dapat ditegakkan (Katona,
2012). Multiaksis tersebut meliputi hal sebagai berikut.
- Aksis 1 : sindroma klinis dan kondisi lain yang mungkin menjadi fokus perhatian klinis.
- Aksis 2 : gangguan kepribadian dan retardasi mental.
- Aksis 3 : kondisi medis secara umum.
- Aksis 4 : masalah lingkungan dan psikososial.
- Aksis 5 : penilaian fungsi secara global.
8
- F30 – F39 : gangguan suasana perasaan (mood/afektif).
- F40 – F48 : gangguan neurotik, gangguan somatoform, dan gangguan terkait stres.
- F50 – F59 : sindroma perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor
fisik.
- F60 – F69 : gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa.
- F70 – F79 : retardasi mental.
- F80 – F89 : gangguan perkembangan psikologis
- F90 – F98 : gangguan perilaku danemosional dengan onset biasanya pada anak dan
remaja.
2.6 Macam Macam Pengobatan Gangguan JiwaTerapi Modalitas dalam Keperawatan Jiwa
Terapi modalitas merupakan terapi utama dalam keperawatan jiwa. Sebagai seorang
terapis, perawat harus mampu mengubah perilaku maladaftif pasien menjadi perilaku yang
adaptif serta meningkatkan potensi yang dimiliki pasien. Ada bermacam-macam terapi modalitas
dalam keperawatan jiwa seperti terapi individu, terapi keluarga, terapi bermain, terapi lingkungan
dan terapi aktifitas kelompok. Terapi modalitas dapat dilakukan secara individu maupun
kelompok atau dengan memodifikasi lingkungan dengan cara mengubah seluruh lingkungan
menjadi lingkungan yang terapeutik untuk klien, sehingga memberikan kesempatan klien untuk
belajar dan mengubah perilaku dengan memfokuskan pada nilai terapeutik dalam aktivitas dan
interaksi.
1. Terapi Individu
Adalah suatu hubungan yang terstruktur yang terjalin antara perawat dan klien
untuk mengubah perilaku klien. Diaman hubungan yang terjalin merupakan hubungan
yang disengaja dengan tujuan terapi, dilakukan dengan tahapan sistematis (terstruktur)
sehingga melalui hubungan ini diharapkan terjadi perubahan tingkah laku klien sesuai
dengan tujuan yang ditetapkan di awal hubungan. Hubungan terstruktur dalam terapi
individual ini, bertujuan agar klien mampu menyelesaikan konflik yang dialaminya.
Selain itu klien Selain itu klien juga diharapkan mampu meredakan penderitaan (distress)
emosional, serta mengembangkan cara yang sesuai dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.
Tahapan hubungan dalam terapi individual meliputi :
9
a. Tahap Orientasi
Tahap orientasi dilakukan ketika perawat pertama kali berinteraksi dengan
klien.dilaksanakan pada tahap ini, tindakan yang pertama kali harus dilakukan adalah
membina hubungan saling percaya dengan klien.
b. Tahap kerja
Pada tahap ini juga sangat penting seorang terapis Pada tahap ini, klien dibantu
untuk dapat mengembangkan pemahaman tentang dirinya, dan apa yang terjadi dengan
dirinya.
c. Tahap terminasi
Tahap terminasi terjadi bila klen dan perawat menyepakati bahwa masalah yang
mengawali terjalinnya hubungan terapeutik telah terselesaikan dan klien telah mempu
mengubah perilaku dari maladaptif menjadi adaptif.
d. Terapi Lingkungan
Terapi lingkungan adalah suatu terapi yang dilakukan dengan cara mengubah atau
menata lingkungan agar tercipta perubahan perilaku pada klien dari perilaku maladaptive
menjadi perilaku adaptif. Dengan lingkungan yang terapeutik akan memberikan
kesempatan klienuntuk belajar dan mengubah perilaku dengan memfokuskan pada nilai
terapeutik dalam aktivitas dan interaksi. Dengan terapi lingkungan klein belajar
ketrampilan baru seperti mentaati aturan yang berlaku, selain itu klien belajar untuk
mewujudkan haarapan dari lingkungan sekitar yang telah disepakti bersamaserta belajar
untuk menghadapi dan menyelesaikan tekanan dari teman, serta belajar berinteraksi
dengan orang lain.
e. Terapi Biologis
Penerapan terapi biologis atau terapi somatic didasarkan pada model medical di
mana gangguan jiwa dipAndang sebagai penyakit. Proses terapi dilakukan dengan
melakukan pengkajian spesifik dan pengelompokkasn gejala dalam sindroma spesifik.
Beberapa jenis terapi somatic gangguan jiwa seperti: pemberian obat , intervensi nutrisi,
electro convulsive therapy, foto terapi, dan bedah otak.
10
f. Terapi Kognitif
Prinsip terapi ini adalah memodifikasi keyakinan dan sikap yang mempengaruhi
perasaan dan perilaku klien. Terapi kognitif berkeyakinan bahwa gangguan perilaku
terjadi akibat pola keyakinan dan berfikir klien yang tidak akurat. Pemberian terapi
kognitif bertujuan untuk :
- Mengembangkan pola berfikir yang rasional. Mengubah pola berfikir tak rasional yang
sering mengakibatkan gangguan perilaku menjadi pola berfikir rasional berdasarkan fakta
dan informasi yang actual.
- Membiasakan diri selalu menggunakan cara berfikir realita dalam menanggapi setiap
stimulus sehingga terhindar dari distorsi pikiran.
- Membentuk perilaku baru dengan pesan internal. Perilaku dimodifikasi dengan terlebih
dahulu mengubah pola berfikir. Bentuk intervensi dalam terapi kognitif meliputi
mengajarkan untuk mensubstitusi pikiran klien, belajar penyelesaian masalah dan
memodifikasi percakapan diri negatif.
g. Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah terapi yang diberikan kepada seluruh anggota keluarga
dimana setiap anggota keluarga memiliki peran dan fungsi sebagai terapis. Terapi ini
bertujuan agar keluarga mampu melaksanakan fungsinya dalam merawat klien dengan
gangguan jiwa.
Dalam terapi keluarga semua masalah keluarga yang dirasakan diidentifikasi
selanjutnya setiap anggota keluarga mengidentifikasi penyebab masalah tersebut dan
kontribusi setiap anggota keluarga terhadap munculnya masalah untuk kemudian mencari
solusi untuk mempertahankan keutuhan keluarga dan meningkatkan atau mengembalikan
fungsi keluarga seperti yang seharusnya. Kegiatan di fase kedua atau fase kerja adalah
keluarga dengan dibantu oleh perawat sebagai terapis berusaha mengubah pola interaksi
antar anggota keluarga, meningkatkan kompetensi masing-masing anggota keluarga, dan
mengeksplorasi batasan-batasan dalam keluarga serta peraturan-peraturan yang selama
ini ada.
11
Secara umum terapi aktivitas kelompok mempunyai manfaat:
- Meningkatkan kemampuan menilai dan menguji kenyataan (reality testing) melalui
komunikasi dan umpan balik dengan atau dari orang lain.
- Meningkatkan kemampuan sosialisasi pasien
- Meningkatkan kesadaran tentang pentingnya hubungan antara reaksi emosional diri
sendiri dengan perilaku defensive (bertahan terhadap stress) dan adaptasi.
- Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis seperti kognitif dan
afektif
12
BAB III
ANALISIS KASUS
Menurut Townsend (2010), isolasi sosial ialah kondisi kesendirian yang di alami oleh
individu dan dipersepsikan disebabkan orang lain sebagai kondisi yang negatif dan
mengancam. Kondisi isolasi sosial seseorang merupakan ketidakmampuan klien dalam
mengungkapkan perasaan yang dapat menimbulkan pengungkapan perasaan secara kekerasan.
Perilaku kekerasan merupakan respon destruktif individu terhadap stresor (Stuart, 2013). Klien
dengan isolasi sosial tidak mampunyai kemampuan untuk bersosialisasi dan sulit untuk
mengungkapkan keinginan serta tidak mampu berkomunikasi dengan baik sehingga klien tidak
mampu mengungkapkan marah dengan cara yang baik. Terapi Aktivitas Kelompok, terapi
spesialis yang diberikan adalah dengan memberikan terapi Social Skill Training.
Penelitian pada kasus ini dilakukan dengan metode “Quasi Eksperimental Pre-post test,
responden berjumlah 30 klien dengan rancangan pre- post test yang dilakukan untuk mengukur
tanda dan gejala klien isolasi sosial serta mengukur kemampuan klien. Setelah dilakukan
tindakan Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) pada klien isolasi sosial terjadi peningkatan
sebesar 55.4%. Dapat disimpulkan klien dengan isolasi sosial yang dilakukan tindakan
13
keperawatan mengalami peningkatan kemampuan dalam bersosialisasi dengan orang lain baik
secara individu maupun kelompok.
Hubungan Interpersonal Peplau dimulai dari fase identifikasi dan fase orientasi, pada
tahap ini sebagian besar klien berusia dewasa yaitu antara 25-29 tahun (87%). Jenis kelamin
klien yang dirawat 100% berjenis kelamin laki-laki, hal ini disebabkan karena ruang yang
digunakan merupakan ruang rawat intermediate laki-laki. Menyatakan laki-laki lebih mungkin
memunculkan gejala negatif dibandingkan dengan wanita, dan wanita tampak memiliki fungsi
sosial yang lebih baik di bandingkan dengan laki-laki (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010).
Klien yang telah lama mengalami gangguan jiwa cenderung mempunyai perilaku
menarik diri dan komunikasi terbatas hal ini merupakan respon maladaptif dari klien. Semakin
lama klien yang mengalami kekambuhan semakin berpeluang mendapatkan stressor dari
berbagai aspek kehidupan. Stuart (2013), menyatakan jumlah stressor yang dialami seseorang
pada kurun waktu tertentu akan semakin memperburuk akibat yang diterima individu tersebut.
Respons afektif pada klien dengan isolasi sosial adalah merasa sedih, afek tumpul,
merasa tidak diperdulikan orang lain, malu kesepian, merasa ditolak orang lain dan merasa
tertekan atau depresi. Hal ini sesuai dengan Nanda (2012) respons afektif pada klien isolasi
sosial adalah merasa bosan, dan lambat dalam menghabiskan waktu, sedih afek tumpul dan
kurang motivasi. Respons fisiologis pada klien dengan isolasi sosial adalah sulit tidur, wajah
murung, kurang bergairah dan merasa letih. Respons perilaku pada klien dengan isolasi sosial
adalah banyak melamun, melakukan pekerjaan tidak tuntas, banyak berdiam diri dikamar,
dipenuhi oleh pikiran sendiri dan tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari.
Sebelum pemberian terapi generalis perawat melakukan pengkajian dan melakukan pre
test kepada pasien dengan menanyakan beberapa tanda gejala isolasi sosial, serta kemampuan
klien dalam bersosialisasi. Pemberian terapi generalis diberikan bersamaan dengan pemberian
terapi aktivitas kelompok dan terapi spesialis. Tujuan pemberian terapi ini adalah supaya klien
menpunyai kemampuan berkomunikasi yang baik, dan klien mampu merubah peilaku klien
yang masih kurang baik dimana hasil akhirnya adalah klien mampu asertif dalam mengatasi
semua stessor yang dihadapi oleh klien.
Kemampuan klien setelah dilakukan tindakan social skill training meningkat sebesar
53.4%, diantaranya kemampuan berkenalan, sikap tubuh dan menjalin persahabatan. Hal ini
sejalan dengan penelitian Libermen dan Martin (2005), bahwa sosial skill training membuat
klien dengan Skizofrena dapat lebih optimal secara fisik, emosi, sosial dan vocasional,
14
kekeluargaan, dapat memecahkan masalahnya sendiri, meningkatkan kemampuan intelektual
dalam mensuport diri.
Klien dengan isolasi sosial cenderung sulit untuk dapat mengungkapkan perasaannya
dengan baik kepada orang yang belum dikenal, dengan adanya fase-fase dalam hubungan
interpersonal. Peplau memungkinkan perawat dapat membina hubungan saling percaya dengan
klien, sehingga klien dapat mengungkapkan perasaan dengan baik dan masalah dapat
terselesaikan.
15
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan
dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya
pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul
makalah ini. Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan
saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah
di kesempatan- kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada
khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
16
DAFTAR PUSTAKA
Kusumawati, F., Hartono, Y. (2011). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Salemba
Medika
Palupi, dkk. (2019). Karakteristik Keluarga ODGJ dan Kepesertaan JKN Hubungannya
dengan Tindakan Pencarian Pengobatan bagi ODGJ. Jurnal Kesehatan, 7(2), 82-92.
https://doi.org/10.25047/j-kes.v7i2.81
Syahputra, E., Rochadi, K., Pardede, J. A., Nabahan, D., dan Linatarigan, F. (2021).
Determinan Peningkatan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Kota Langsa.
Journal of Healhtcare Technology and Medicine, 7(2), 2615-109.
Wiley-Blackwell Keliat, B.A., dkk. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas (CMHN
- Basic Course). Jakarta: EGC
Stuart,G.W. (2009). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. 8th edition. Missouri:
Mosby
Sukaesti, S. (2019). Sosial Skill Training pada Klien Isolasi Sosial. Jurnal Keperawatan Jiwa,
6(1), 19. https://doi.org/10.26714/jkj.6.1.2018.19-24
Townsend, M.C. (2009). Psychiatric mental health nursing: concepts of care in evidance-
based practice. Philadelphia: F.A Davis Company
Akip, L. M. (2019). Gambaran Sikap Keluarga Pada Anggota Keluarga yang Mengalami
Gangguan Jiwa Di Desa Bantur Kecamatan Bantur Kabupaten Malang (Doctoral
dissertation, Poltekkes RS dr. Soepraoen).
Sudarmana, L., & Lestari, F. (2018). Sistem Pakar Untuk mendiagnosis Gangguan Jiwa
Schizophrenia. Jurnal Informatika: Jurnal Pengembangan IT, 3(1), 40-44.
17
18