Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmatNya referat ini dapat
terselesaikan dengan baik. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada dr. Ayesha
Devina, sp.KJ selaku pembimbing sehingga referat ini dapat terselesaikan dengan tepat
waktu.
Referat ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi kompetensi kepaniteraan klinik
SMF Ilmu Kesehatan Jiwa RSJ Soeharto Heerdjan. Pneulis berharap referat ini dapat menjadi
literatur atau sumber informasi pembelajaran Ilmu Kesehatan Jiwa khususnya mengenai
Antipsikotik dan Efek Samping.
Akhir kata, penulis menyadari banyak kekurangan didalam penyusunan referat ini.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang berguna demi penyusunan
referat ini.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Psikiatri adalah salah satu cabang ilmu kedokteran, yang mempelajari manusia secara
utuh, tidak hanya masalah fisik, fisiologi atau patologi yang terjadi saja, tetapi juga melihat
hubungan individu dengan lingkungannya. Terapi yang digunakan terhadap penderita
gangguan jiwa berupa elektrik-holistik, yaitu komprehensif meliputi bidang organobiologik,
psikoedukatif dan sosiokultural, serta selalu mengikuti kaedah-kaedah ilmu kedokteran yang
mutakhir. Dalam setiap kondisi tidak mudah untuk menentukan aspek manan yang harus
lebih diprioritaskan. Istilah biological priority dan psychological supremacy sebenarnya
bukan dimaksudkan untuk menempatkan satu diatas yang lain, tapi memperlakukannya
sebagai proses berkesinambungan yang tidak terpisahkan.
Obat-obat antipsikotik dahulu sering disebut dengan neuroleptik karena memiliki
beberapa efek samping yang memberi gambaran seperti gangguan neurologis yang disebut
pseudoneurologis, atau dikenal juga istilah major transquilizer karena adanya efek sedasi
atau mengantuk yang berat.
Neuroleptik bermanfaat pada terapi psikosis akut maupun kronis. Ciri terpenting obat
neuroleptik ialah : (1) Berefek anti psikosis, yaitu berguna untuk mengatasi agresivitas, hiper
aktivitas dan labilitas emosional pada pasien psikosis, (2) Dosis besar tidak menyebabkan
koma yang dalam ataupun anesthesia, (3) Dapat menimbulkan gejala ekstra piramidal yang
reversible atau ireversibel, (4) Tidak ada kecenderungan untuk menimbulkan ketergantungan
psikis atau fisik.
BAB II
ANTIPSIKOTIK
Obat yang digunakan untuk psikosis memiliki banyak sinonim antara lain antipsikotis,
neuroleptik, mayor tranquillizers, dan ataractics antipsychotics. Antipsikotik digunakan untuk
mengatasi gejala akibat gangguan mental yang berat seperti skizofrenia, gangguan delusional,
gangguan afektif berat dan gangguan psikosis organik. Antipsikosis konvensional umumnya
dapat mengurangi gejala positif, seperti: halusinasi, waham, tidak kooperatif, dan gangguan
alam berpikir seperti loncat pikir/flight of ideas maupun inkoherensi. Gejala positif
skizofrenia tersebut bereaksi secara lebih responsif terhadap obat antipsikotik, sedangkan
gejala negatifnya seperti: afek yang datar, apatis, anhedonia, dan blokade diri ternyata lebih
sulit diatasi.
KLASIFIKASI
Berdasarkan rumus kimianya, obat-obat antipsikotik dibagi menjadi golongan
fenotiazin misalnya chlorpromazine, dan golongan nonfenotiazine contohnya haloperidol.
Sedangkan menurut cara kerjanya terhadap reseptor Dopamin dibagi menjadi Dopamine
receptor Antagonist (DA) dan Serotonine Dopamine Antagonist (SDA). Obat-obat DA juga
sering disebut dengan antipsikotik tipikal, dan obat-obat SDA disebut juga dengan
antipsikotik atipikal. Golongan fenotiazine disebut juga obat berpotensi rendah (low potency),
sedangkan golongan non fenotiazine disebut obat-obat potensi tinggi (high potency) karena
hanya memerlukan dosis kecil untuk memperoleh efek yang setara dengan Chlorpromazine
100 mg. Obat-obat SDA makin berkembang dan makin menjadi pilihan karena efek klinis
yang diperoleh setara dengan obat-obat konvensional disertai dengan efek samping yang jauh
lebih ringan. Obat-obat jenis ini antara lain, Risperidon, Clozapine, Olanzapin, Quetiapin,
Ziprazidon, dan aripripazol. Klasifikasi kemudian dibuat lebih sederhana dengan
membaginya menjadi antipsikotik generasi I (APG-I) untuk obat-obat golongan antagonis
Dopamin (DA) dan antipsikotik generasi II (APG-II) untuk obat-obat golongan serotonin
dopamin antagonis (SDA).
Obat-obat anti psikotik ini terbagi atas dua golongan besar, yaitu :
I. Obat anti psikotik tipikal
4
1. Phenothiazine
Rantai aliphatic
: CHLORPROMAZINE
LEVOMEPROMAZINE
Rantai piperazine
: PERPHENAZINE
TRIFLUOPERAZINE
FLUPHENAZINE
Rantai piperidine
: THIORIDAZINE
2. Butyrophenone
: HALOPERIDOL
3. diphenyl-butyl-piperidine
: PIMOZIDE
: SULPIRIDE
2. Dibenzodiazepine
CLOZAPINE
OLANZAPINE
QUETIAPINE
3.
Benzisoxazole
: RISPERIDON
FARMAKOKINETIK
Metabolisme obat-obat anti psikotik secara farmakokinetik dipengaruhi oleh beberapa
hal, antara lain pemakaian bersama enzyme induce seperti carbamazepin, phenytoin,
ethambutol, barbiturate. Kombinasi dengan obat-obat tersebut akan mempercepat pemecahan
antipsikotik sehingga diperlukan dosis yang lebih tinggi.
Clerance Inhibitors seperti SSRI (selective serotonin receptor inhibitor) , TCA
(tricyclic antidepresan), beta blocker, akan menghambat sekresi obat-obat antipsikotik
sehingga perlu dipertimbangkan dosisi pemberiannya bila diberikan bersama-sama. Kondisi
stres, hipoalbumin karena malnutrisi atau gagal ginjal dan gagal hati dapat mempengaruhi
ikatan protein obat-obat antipsikotik tersebut.
MEKANISME KERJA
5
Secara umum, terdapat beberapa hipotesis tentang cara kerja antipsikotik, yang dapat
digolongkan berdasarkan jalur reseptor dopamin atau reseptor non-dopamine.
Hipotesis dopamin untuk penyakit psikotik mengatakan bahwa kelainan tersebut
disebabkan
oleh
peningkatan
berlebihan
yang
relatif
dalam
aktifitas
fungsional
neurotransmiter dopamin dalam traktus tertentu dalam otak. Hipotesis ini berlandaskan
observasi berikut: (a) Sebagian besar obat antipsikotik memblok reseptor postsinaps pada
SSP, terutama pada sistem mesolimbik-frontal, (b) Penggunaan obat yang meningkatkan
aktivitas dopamin, seperti levodopa (prekursor dopamin), amfetamin (merangsang sekresi
dopamin), apomorfin (agonis langsung reseptor dopamin) dapat memperburuk skizofrenia
ataupun menyebabkan psikosis de novo pada pasien, (c) Pemeriksaan dengan positron
emission tomography (PET) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan reseptor dopamin pada
pasien skizofrenia (baik yang menjalani terapi ataupun tidak) bila dibandingkan dengan orang
yang tidak menderita skizofrenia, (d) Pada pasien skizofrenia yang terapinya berhasil, telah
ditemukan perubahan jumlah homovallinic acid (HVA) yang merupakan metabolit dopamin,
pada cairan serebrospinal, plasma, dan urin, (e) Telah ditemukan peningkatan densitas
reseptor dopamin dalam region tertentu di otak penderita skizofren yang tidak diobati. Pada
pasien sindroma Tourette, tic klinis lebih jelas jika jumlah reseptor D2 kaudatus meningkat.
Hipotesis dopamin untuk penyakit skizofren tidak sepenuhnya memuaskan karena obatobatan antipsikotik hanya sebagian yang efektif pada kebanyakan pasien dan obat-obatan
tertentu yang efektif mempunyai afinitas yang jauh lebih tinggi untuk reseptor-reseptor selain
reseptor D2.
Lima reseptor dopamin yang berbeda telah ditemukan, yaitu D 1 D5. Setiap satu
reseptor dopamin adalah berpasangan dengan protein G dan mempunyai tujuh domain
transmembran. Reseptor D2, ditemukan dalam kaudatus-putamen, nukleus accumbens, kortek
serebral dan hipotalamus, berpasangan secara negatif kepada adenyl cyclase. Efek terapi
relatif untuk kebanyakan obat-obatan antipsikotik lama mempunyai korelasi dengan afinitas
mereka terhadap reseptor D2. Akan tetapi, terdapat korelasi dengan hambatan reseptor D2 dan
disfungsi ekstrapiramidal.
Beberapa antipsikotik yang lebih baru mempunyai afinitas yang lebih tinggi terhadap
reseptor-reseptor selain reseptor D2. Contohnya, tindakan menghambat alfa-adrenoseptor
mempunyai korelasi baik dengan efek antipsikotik kebanyakan obat baru ini. Inhibisi reseptor
serotonin (S) juga merupakan cara kerja obat-obatan antipsikotik baru ini. Clozapin, satu obat
6
yang mempunyai tindakan menghambat reseptor D 1, D4, 5-HT2, muskarinik dan alfaadrenergik yang signifikan, mempunyai afinitas yang rendah terhadap reseptor D 2.
Kebanyakan obat-obatan atipikal yang baru (seperti olanzapin, quetiapin, resperidon dan
serindole) mempunyai afinitas yang tinggi terhadap reseptor 5-HT 2A, walaupun obat-obat
tersebut juga bisa berinteraksi dengan reseptor D 2 atau reseptor lainnya. Kebanyakan obat
atipikal ini menyebabkan disfungsi ekstrapiramidal yang kurang kalau dibandingkan dengan
obat-obatan standar.
EFEK KERJA
Penghambatan reseptor dopamin adalah efek utama yang berhubungan dengan
keuntungan terapi obat-obatan antipsikotik lama. Terdapat beberapa jalur utama dopamin
diotak, antara lain :
1. Jalur dopamin nigrostriatal
Jalur ini berproyeksi dari substansia nigra menuju ganglia basalis. Fungsi jalur
nigrostriatal adalah untuk mengontrol pergerakan. Bila jalur ini diblok, akan terjadi
kelainan pergerakan seperti pada Parkinson yang disebut extrapyramidal reaction (EPR).
Gejala yang terjadi antara lain akhatisia, dystonia (terutama pada wajah dan leher),
rigiditas, dan akinesia atau bradikinesia.
2. Jalur dopamin mesolimbik
Jalur ini berasal dari batang otak
Jalur ini berasal dari hypothalamus dan berakhir pada hipofise bagian anterior. Jalur ini
bertanggung jawab untuk mengontrol sekresi prolaktin, sehingga kalau diblok dapat
terjadi galactorrhea.
D2
D4
Alfa1
5-HT2
H1
Kebanyakan
++
++
Thiordazine
++
++
+++
Haloperidol
+++
Clozapin
++
++
++
++
Molindone
++
phenothiazin
e
dan
thioxanthene
Olazapin
++
Quetiapin
++
Risperidon
++
++
Sertindole
++
+++
INDIKASI PENGGUNAAN
Gejala sasaran antipsikosis (target syndrome) :
1. Sindrom Psikosis, yaitu :
-
Hendaya berat dalam kemampuan daya menilai realitas (reality testing ability),
bermanifestasi dalam gejala : kesadaran diri (awareness) yang terganggu, daya nilai
norma sosial (judgement) terganggu, dan insight terganggu.
2. Penggunaan lain
Antipsikosis dapat digunakan sebagai tranquilizer untuk mengatur tingkah laku yang
agitatif dan disruptif. CPZ merupakan obat terpilih untuk pengobatan cegukan yang menetap
yang berlangsung berhari-hari dan sangat mengganggu. Prometazin digunakan untuk
pengobatan pruritus karena sifat-sifat antihistaminnya.
Apabila antipsikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam dosis yang sudah
optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan antipsikosis lain
(sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan dosis ekuivalennya, dimana profil efek
samping belum tentu sama.
9
Nama Generik
Nama Dagang
Sediaan
Dosis Anjuran
Chlorpromazine
Chlorpromazine
Tab. 25 -100 mg
300
o
1
1000
mg/h
2
Haloperidol
SERENACE
HALDOL
LODOMER
HALDOL DECANOAS
Amp. 5 mg/ml
Tab. 0,5 mg, 2 mg
Tab. 2 mg, 5 mg
Amp. 50 mg/ml
50 mg / 2-4
minggu
Perphenazine
TRILAFON
12-24 mg/h
Fluphenazine
ANATENSOL
10-15 mg/h
Fluphenazine-
SIKZONOAT
Vial 25 mg/ml
25 mg / 2-4
minggu
Decanoate
5
Levomepromazin
NOZINAN
Tab.25 mg
25-50 mg/h
Amp. 25 mg/ml
Trifluoperazine
STELAZINE
Tab. 1 mg, 5 mg
10-15 mg/h
Thioridazine
MELLERIL
150-600 mg/h
Sulpiride
DOGMATIL
Tab. 200 mg
300-600 mg/h
FORTE
Amp. 50 mg/ml
ORAP FORTE
Tab. 4 mg
Pimozide
2-4 mg/h
10
10
Risperidone
RISPERDAL
Tab. 1,2,3 mg
NERIPROS
Tab. 1,2,3 mg
NOPRENIA
Tab. 1,2,3 mg
PERSIDAL-2
Tab. 2 mg
RIZODAL
Tab. 1,2,3 mg
11
Clozapine
CLOZARIL
25-100 mg/h
12
Quetiapine
SEROQUEL
13
Olanzapine
ZYPREXA
Tab. 5 mg, 10 mg
10-30 mg/h
PRINSIP PENGOBATAN
Pengobatan biasanya dimulai dari terapi inisial, dilanjutkan ke terapi pengawasan dan
kemudian diberikan terapi pemeliharaan.
1. Terapi inisial
Diberikan segera setalah diagnosis ditegakkan, dan dosis dimulai dari dosis
anjuran dinaikkan perlahan-lahan secara bertahap dalam waktu 1 3 minggu,
sampai dicapai dosis optimal yang dapat mengendalikan gejala.
2. Terapi Pengawasan
Setelah diperoleh dosis optimal, mala dosisi tersebut dipertahankan selama lebih
kurang 8 10 minggu sebelum masuk ke tahap pemeliharaan.
3. Terapi Pemeliharaan
Dalam tahap pemeliharaan ini dosis dapat dipertimbangkan untuk mulai
diturunkan secara bertahap sampai diperoleh dosis minimal yang masih dapat
dipertahankan tanpa menimbulkan kekambuhan. Biasanya berlangsung jangka
panjang tergantung perjalanan penyakit, dapat sampai beberapa bulan bahkan
beberapa tahun. Diperoleh konsensus bahwa bila kondisi akut pertama kali maka
terapi diberikan sampai 2 tahun, dan bila sudah berjalan kronis dengan beberapa
kali kekambuhan maka terapi diberikan sampai 5 tahun bahkan seumur hidup bila
dijumpai riwayat agresifitas berlebih, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain
misalnya bunuh diri atau mencelakakan orang lain.
11
Pada penghentian yang mendadak dapat timbul gejala Cholinergic Rebound, yaitu :
gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar, dll. Keadaan ini akan mereda
dengan pemberian anticholinergic agent (injeksi Sulfas Atropin 0,25 mg (IM), tablet
Trihexyphenidyl 3 x 2 mg/h).
Pada penggunaan parenteral, antipsikosis long-acting (Fluphenazine Decanoate 25
mg/ml atau Haloperidol Decanoas 50 mg/ml, IM, untuk 2 4 minggu) sangat berguna untuk
pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat ataupun yang tidak efektif terhadap
medikasi oral. Sebaiknya sebelum penggunaan parenteral diberikan per oral dahulu beberapa
minggu untuk melihat apakah terdapat efek hipersensitivitas. Pemberian antipsikosis longacting hanya untuk terapi stabilisasi dan pemeliharaan (maintenance therapy) terhadap
kasus Skizofrenia. 15-25% kasus menunjukkan toleransi yang baik terhadap efek samping
ekstrapiramidal.
EFEK SAMPING
Efek samping dapat dikelompokkan menjadi efek samping neurologis dan non neurologis.
Efek samping neurologis akut berupa akatisia, distonia akut dan parkinsonism (acute
extrapyramidal syndrome). Pada kondisi kronis atau efek samping pengobatan jangka
panjang dapat dilihat kemungkinan terjadinya tardive dyskinesia.
1. Akatisia
Suatu kondisi yang secara subjektif dirasakan oleh penderita berupa perasaan tidak
nyaman, gelisah dan merasa harus seallu menggerak-gerakkan tungkai, terutama kaki.
Pasien sering menunjukkan gejala kecemasan, dan atau agitasi. Bila terjadi
peningkatan kegelisahan setelah pemberian antipsikotik tipikal, kita harus selalu
memperhitungkan kemungkinan akatisia.
2. Distonia akut
Terjadi kekakuan dan kontraksi otot secara tiba-tiba, biasanya mengenai otot leher,
lidah, muka dan punggung. Biasanya pada minggu pertama pengobatan dengan
antipsikotik tipikal.
3. Parkinsonism
Dapat dilihat sekelompok gejala yang tediri dari rigiditas, bradikinesia, tremor, muka
topeng, postur tubuh kaku.
12
Efek terhadap sistem kardiovaskuler yang sering terjadi adalah orthostatic (postural)
hipotension yaitu turunnya tekanan darah pada saat perubahan posisi tubuh terutama dari
posisi tidur ke posisi berdiri secara tiba-tiba.
Terhadap sistem gastrointestinal sering dijumpai efek antikolinergik perifer, rasa
kering di mulut, sehingga pasien merasa sering haus.
Tetap harus waspada terhadap kemungkinan efek samping fungsi hepar, ginjal, kulit dan
mata. Fungsi endokrin dapat terganggu terutama terjadiya peningkatan kadar prolaktin dalam
darah. Disfungsi seksual kadang juga dialami oleh pasien dan menimbulkan keluhan yang
cukup mengganggu.
EFEK
EFEK
EFEK
EKSTR
ANTIE
SEDATIF
APIRA
METIK
EFEK
HIPOTE
NSIF
MIDAL
A. DERIVAT FENOTIAZIN
1. Senyawa dimetilaminopropil :
Klorpromazin
++
++
+++
++
Promazin
++
++
++
+++
Triflupromazin
+++
+++
+++
Mepazin
++
++
+++
++
Tioridazin
++
++
++
++
2. Senyawa piperidil :
3. Senyawa piperazin :
Asetofenazin
13
Karfenazin
+++
+++
++
++
Flufenazin
+++
+++
++
Perfenazin
+++
+++
Proklorperazin
+++
+++
++
Trifluoperazin tiopropazat
+++
+++
++
++
++
+++
++
+++
+++
B. NON-FENOTIAZIN
Klorprotiksen
C. BUTYROPHENONE
Haloperidol
GAMBARAN
WAKTU
KLINIS
RESIKO
MEKANISME PENGOBATAN
MAKSIMA
L
Distonia akut
Spasme
lidah,
Belum
Dapat diberikan
diketahui
berbagai
leher, punggung
pengobatan,
obat
dapat
menyerupai
bangkitan
anti
Parkinson
;
bersifat
bukan histeria
diagnostik
dan
kuratif
Akatisia
Ketidaktenangan,
motorik, bukan
5-60 hari
Belum
Kurangi
diketahui
dosis
anti
14
ansietas
atau
Parkinson,
agitasi
benzodiazepin,
atau propanolol
Parkinsonism
Bradikinesia,
Antagonisme
Obat
rigiditas,
dengan
Parkinson
macam-macam
dopamin
menolong
tremor,
5-30 hari
anti
wajah
topeng, suffling
gait
Sindroma
Katatonik,
Berminggu-
malignan
antagonisme
neuroleptik
tekanan
darah dapat
dengan
segera;
tidak
stabil, bertahan
dopamin
dantrolene atau
bromokriptin
dapat fatal
setelah obat
dapat menolong;
dihentikan
obat
anti
Parkinson
lainnya
tidak
efektif
Tremor
Belum
Obat
perioral
(mungkin
berbulan-
diketahui
antiparkinson
sejenis
bulan
perkinsonisme
bertahun-
yang
atau
sering menolong
dating tahun
terlambat)
pengobatan
Diskinesia
Diskinesia
Setelah
Diduga
tardif
mulut-wajah;
berbulan-
koreoatetosis
bulan
atau
meluas
atau dopamin
distonia bertahun-
: Sulit
dicegah,
tidak
memuaskan
tahun
(memburuk
dengan
15
penghentian)
Efek samping yang ireversibel seperti tardif diskinesia (gerakan berulang involunter
pada lidah, wajah, mulut/rahang dan anggota gerak dimana saat tidur gejala menghilang)
yang timbul akibat pemakaian jangka panjang dan tidak terkait dengan besarnya dosis. Bila
gejala tersebut timbul maka obat anti psikotik perlahan-lahan dihentikan, bias dicoba
pemberian Reserpine 2,5 mg/h (dopamine depleting agent). Penggunaan L-dopa dapat
memperburuk keadaan. Obat anti psikotik hampir tidak pernah menimbulkan kematian
sebagai akibat overdosis atau keinginan untuk bunuh diri.
KESIMPULAN
Obat yang digunakan untuk psikosis memiliki banyak sinonim antara lain antipsikotis,
neuroleptik, mayor tranquillizers, dan ataractics antipsychotics. Antipsikotik digunakan untuk
mengatasi gejala akibat gangguan mental yang berat seperti skizofrenia, gangguan delusional,
gangguan afektif berat dan gangguan psikosis organik. Antipsikosis konvensional umumnya
dapat mengurangi gejala positif, seperti: halusinasi, waham, tidak kooperatif, dan gangguan
alam berpikir seperti loncat pikir/flight of ideas maupun inkoherensi. Gejala positif
skizofrenia tersebut bereaksi secara lebih responsif terhadap obat antipsikotik, sedangkan
gejala negatifnya seperti: afek yang datar, apatis, anhedonia, dan blokade diri ternyata lebih
sulit diatasi.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Elvira D,S Buku Ajar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Badan
Penerbit FKUI. Jakarta: 2010
2. Ganiswarna SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi. Farmakologi
dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran- Universitas
Indonesia; 1995.
3. Kaplan HI, Sadock BJ. Kaplan and Saddocks Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Science/ Clinical Psychiatry. 8th ed. Maryland: William & Wilkins; 1998.
4. Maslim R, Panduan Praktis Penggunaan Klini, Obat Psikotropik. Edisi 3. Jakarta:
2007
17