Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmatNya referat ini dapat
terselesaikan dengan baik. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada dr. Ayesha
Devina, sp.KJ selaku pembimbing sehingga referat ini dapat terselesaikan dengan tepat
waktu.
Referat ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi kompetensi kepaniteraan klinik
SMF Ilmu Kesehatan Jiwa RSJ Soeharto Heerdjan. Pneulis berharap referat ini dapat menjadi
literatur atau sumber informasi pembelajaran Ilmu Kesehatan Jiwa khususnya mengenai
Antipsikotik dan Efek Samping.
Akhir kata, penulis menyadari banyak kekurangan didalam penyusunan referat ini.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang berguna demi penyusunan
referat ini.

Semarang, 31 Mei 2015

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................ 1


DAFTAR ISI ......................................................................................................................... 2
BAB I . PENDAHULUAN .................................................................................................... 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... 4
BAB III. KESIMPULAN ..................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 18

BAB I
PENDAHULUAN

Psikiatri adalah salah satu cabang ilmu kedokteran, yang mempelajari manusia secara
utuh, tidak hanya masalah fisik, fisiologi atau patologi yang terjadi saja, tetapi juga melihat
hubungan individu dengan lingkungannya. Terapi yang digunakan terhadap penderita
gangguan jiwa berupa elektrik-holistik, yaitu komprehensif meliputi bidang organobiologik,
psikoedukatif dan sosiokultural, serta selalu mengikuti kaedah-kaedah ilmu kedokteran yang
mutakhir. Dalam setiap kondisi tidak mudah untuk menentukan aspek manan yang harus
lebih diprioritaskan. Istilah biological priority dan psychological supremacy sebenarnya
bukan dimaksudkan untuk menempatkan satu diatas yang lain, tapi memperlakukannya
sebagai proses berkesinambungan yang tidak terpisahkan.
Obat-obat antipsikotik dahulu sering disebut dengan neuroleptik karena memiliki
beberapa efek samping yang memberi gambaran seperti gangguan neurologis yang disebut
pseudoneurologis, atau dikenal juga istilah major transquilizer karena adanya efek sedasi
atau mengantuk yang berat.
Neuroleptik bermanfaat pada terapi psikosis akut maupun kronis. Ciri terpenting obat
neuroleptik ialah : (1) Berefek anti psikosis, yaitu berguna untuk mengatasi agresivitas, hiper
aktivitas dan labilitas emosional pada pasien psikosis, (2) Dosis besar tidak menyebabkan
koma yang dalam ataupun anesthesia, (3) Dapat menimbulkan gejala ekstra piramidal yang
reversible atau ireversibel, (4) Tidak ada kecenderungan untuk menimbulkan ketergantungan
psikis atau fisik.

BAB II
ANTIPSIKOTIK

Obat yang digunakan untuk psikosis memiliki banyak sinonim antara lain antipsikotis,
neuroleptik, mayor tranquillizers, dan ataractics antipsychotics. Antipsikotik digunakan untuk
mengatasi gejala akibat gangguan mental yang berat seperti skizofrenia, gangguan delusional,
gangguan afektif berat dan gangguan psikosis organik. Antipsikosis konvensional umumnya
dapat mengurangi gejala positif, seperti: halusinasi, waham, tidak kooperatif, dan gangguan
alam berpikir seperti loncat pikir/flight of ideas maupun inkoherensi. Gejala positif
skizofrenia tersebut bereaksi secara lebih responsif terhadap obat antipsikotik, sedangkan
gejala negatifnya seperti: afek yang datar, apatis, anhedonia, dan blokade diri ternyata lebih
sulit diatasi.

KLASIFIKASI
Berdasarkan rumus kimianya, obat-obat antipsikotik dibagi menjadi golongan
fenotiazin misalnya chlorpromazine, dan golongan nonfenotiazine contohnya haloperidol.
Sedangkan menurut cara kerjanya terhadap reseptor Dopamin dibagi menjadi Dopamine
receptor Antagonist (DA) dan Serotonine Dopamine Antagonist (SDA). Obat-obat DA juga
sering disebut dengan antipsikotik tipikal, dan obat-obat SDA disebut juga dengan
antipsikotik atipikal. Golongan fenotiazine disebut juga obat berpotensi rendah (low potency),
sedangkan golongan non fenotiazine disebut obat-obat potensi tinggi (high potency) karena
hanya memerlukan dosis kecil untuk memperoleh efek yang setara dengan Chlorpromazine
100 mg. Obat-obat SDA makin berkembang dan makin menjadi pilihan karena efek klinis
yang diperoleh setara dengan obat-obat konvensional disertai dengan efek samping yang jauh
lebih ringan. Obat-obat jenis ini antara lain, Risperidon, Clozapine, Olanzapin, Quetiapin,
Ziprazidon, dan aripripazol. Klasifikasi kemudian dibuat lebih sederhana dengan
membaginya menjadi antipsikotik generasi I (APG-I) untuk obat-obat golongan antagonis
Dopamin (DA) dan antipsikotik generasi II (APG-II) untuk obat-obat golongan serotonin
dopamin antagonis (SDA).
Obat-obat anti psikotik ini terbagi atas dua golongan besar, yaitu :
I. Obat anti psikotik tipikal
4

1. Phenothiazine

Rantai aliphatic

: CHLORPROMAZINE
LEVOMEPROMAZINE

Rantai piperazine

: PERPHENAZINE
TRIFLUOPERAZINE
FLUPHENAZINE

Rantai piperidine

: THIORIDAZINE

2. Butyrophenone

: HALOPERIDOL

3. diphenyl-butyl-piperidine

: PIMOZIDE

II. obat anti psikotik atipikal


1. Benzamide

: SULPIRIDE

2. Dibenzodiazepine

CLOZAPINE
OLANZAPINE
QUETIAPINE

3.

Benzisoxazole

: RISPERIDON

FARMAKOKINETIK
Metabolisme obat-obat anti psikotik secara farmakokinetik dipengaruhi oleh beberapa
hal, antara lain pemakaian bersama enzyme induce seperti carbamazepin, phenytoin,
ethambutol, barbiturate. Kombinasi dengan obat-obat tersebut akan mempercepat pemecahan
antipsikotik sehingga diperlukan dosis yang lebih tinggi.
Clerance Inhibitors seperti SSRI (selective serotonin receptor inhibitor) , TCA
(tricyclic antidepresan), beta blocker, akan menghambat sekresi obat-obat antipsikotik
sehingga perlu dipertimbangkan dosisi pemberiannya bila diberikan bersama-sama. Kondisi
stres, hipoalbumin karena malnutrisi atau gagal ginjal dan gagal hati dapat mempengaruhi
ikatan protein obat-obat antipsikotik tersebut.
MEKANISME KERJA
5

Secara umum, terdapat beberapa hipotesis tentang cara kerja antipsikotik, yang dapat
digolongkan berdasarkan jalur reseptor dopamin atau reseptor non-dopamine.
Hipotesis dopamin untuk penyakit psikotik mengatakan bahwa kelainan tersebut
disebabkan

oleh

peningkatan

berlebihan

yang

relatif

dalam

aktifitas

fungsional

neurotransmiter dopamin dalam traktus tertentu dalam otak. Hipotesis ini berlandaskan
observasi berikut: (a) Sebagian besar obat antipsikotik memblok reseptor postsinaps pada
SSP, terutama pada sistem mesolimbik-frontal, (b) Penggunaan obat yang meningkatkan
aktivitas dopamin, seperti levodopa (prekursor dopamin), amfetamin (merangsang sekresi
dopamin), apomorfin (agonis langsung reseptor dopamin) dapat memperburuk skizofrenia
ataupun menyebabkan psikosis de novo pada pasien, (c) Pemeriksaan dengan positron
emission tomography (PET) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan reseptor dopamin pada
pasien skizofrenia (baik yang menjalani terapi ataupun tidak) bila dibandingkan dengan orang
yang tidak menderita skizofrenia, (d) Pada pasien skizofrenia yang terapinya berhasil, telah
ditemukan perubahan jumlah homovallinic acid (HVA) yang merupakan metabolit dopamin,
pada cairan serebrospinal, plasma, dan urin, (e) Telah ditemukan peningkatan densitas
reseptor dopamin dalam region tertentu di otak penderita skizofren yang tidak diobati. Pada
pasien sindroma Tourette, tic klinis lebih jelas jika jumlah reseptor D2 kaudatus meningkat.
Hipotesis dopamin untuk penyakit skizofren tidak sepenuhnya memuaskan karena obatobatan antipsikotik hanya sebagian yang efektif pada kebanyakan pasien dan obat-obatan
tertentu yang efektif mempunyai afinitas yang jauh lebih tinggi untuk reseptor-reseptor selain
reseptor D2.
Lima reseptor dopamin yang berbeda telah ditemukan, yaitu D 1 D5. Setiap satu
reseptor dopamin adalah berpasangan dengan protein G dan mempunyai tujuh domain
transmembran. Reseptor D2, ditemukan dalam kaudatus-putamen, nukleus accumbens, kortek
serebral dan hipotalamus, berpasangan secara negatif kepada adenyl cyclase. Efek terapi
relatif untuk kebanyakan obat-obatan antipsikotik lama mempunyai korelasi dengan afinitas
mereka terhadap reseptor D2. Akan tetapi, terdapat korelasi dengan hambatan reseptor D2 dan
disfungsi ekstrapiramidal.
Beberapa antipsikotik yang lebih baru mempunyai afinitas yang lebih tinggi terhadap
reseptor-reseptor selain reseptor D2. Contohnya, tindakan menghambat alfa-adrenoseptor
mempunyai korelasi baik dengan efek antipsikotik kebanyakan obat baru ini. Inhibisi reseptor
serotonin (S) juga merupakan cara kerja obat-obatan antipsikotik baru ini. Clozapin, satu obat
6

yang mempunyai tindakan menghambat reseptor D 1, D4, 5-HT2, muskarinik dan alfaadrenergik yang signifikan, mempunyai afinitas yang rendah terhadap reseptor D 2.
Kebanyakan obat-obatan atipikal yang baru (seperti olanzapin, quetiapin, resperidon dan
serindole) mempunyai afinitas yang tinggi terhadap reseptor 5-HT 2A, walaupun obat-obat
tersebut juga bisa berinteraksi dengan reseptor D 2 atau reseptor lainnya. Kebanyakan obat
atipikal ini menyebabkan disfungsi ekstrapiramidal yang kurang kalau dibandingkan dengan
obat-obatan standar.

EFEK KERJA
Penghambatan reseptor dopamin adalah efek utama yang berhubungan dengan
keuntungan terapi obat-obatan antipsikotik lama. Terdapat beberapa jalur utama dopamin
diotak, antara lain :
1. Jalur dopamin nigrostriatal
Jalur ini berproyeksi dari substansia nigra menuju ganglia basalis. Fungsi jalur
nigrostriatal adalah untuk mengontrol pergerakan. Bila jalur ini diblok, akan terjadi
kelainan pergerakan seperti pada Parkinson yang disebut extrapyramidal reaction (EPR).
Gejala yang terjadi antara lain akhatisia, dystonia (terutama pada wajah dan leher),
rigiditas, dan akinesia atau bradikinesia.
2. Jalur dopamin mesolimbik
Jalur ini berasal dari batang otak

dan berakhir pada area limbic. Jalur dopamin

mesolimbik terlibat dalam berbagai perilaku, seperti sensasi menyenangkan, euphoria


yang terjadi karena penyalahgunaan zat, dan jika jalur ini hiperaktif dapat menyebabkan
delusi dan halusinasi. Jalur ini terlibat dalam timbulnya gejala positif psikosis.
3. Jalur dopamin mesokortikal
Jalur ini berproyeksi dari midbrain ventral tegmental area menuju korteks limbic. Selain
itu jalur ini juga berhubungan dengan jalur dopamine mesolimbik. Jalur ini selain
mempunyai peranan dalam memfasilitasi gejala positif dan negative psikosis, juga
berperan pada neuroleptic induced deficit syndrome yang mempunyai gejala pada emosi
dan sistem kognitif.
4. Jalur dopamin tuberoinfundibular

Jalur ini berasal dari hypothalamus dan berakhir pada hipofise bagian anterior. Jalur ini
bertanggung jawab untuk mengontrol sekresi prolaktin, sehingga kalau diblok dapat
terjadi galactorrhea.

Tindakan-tindakan penghambatan relatif pada reseptor oleh obat-obatan antipsikotik terdapat


pada tabel berikut.

Tindakan penghambatan relatif pada reseptor oleh obat-obatan neuroleptik


Obat

D2

D4

Alfa1

5-HT2

H1

Kebanyakan

++

++

Thiordazine

++

++

+++

Haloperidol

+++

Clozapin

++

++

++

++

Molindone

++

phenothiazin
e

dan

thioxanthene

Olazapin

++

Quetiapin

++

Risperidon

++

++

Sertindole

++

+++

INDIKASI PENGGUNAAN
Gejala sasaran antipsikosis (target syndrome) :
1. Sindrom Psikosis, yaitu :
-

Hendaya berat dalam kemampuan daya menilai realitas (reality testing ability),
bermanifestasi dalam gejala : kesadaran diri (awareness) yang terganggu, daya nilai
norma sosial (judgement) terganggu, dan insight terganggu.

Hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental, bermanifestasi dalam gejala : gangguan


asosiasi pikiran (inkoherensi), isi pikiran yang tidak wajar (waham), gangguan
persepsi (halusinasi), gangguan perasaan (tidak sesuai dengan situasi), dan perilaku
yang aneh atau tidak terkendali (disorganized).

Hendaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanifestasi dalam gejala :


tidak mampu bekerja, hubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin.

Sindroma psikosis dapat terjadi pada :


- Sindrom psikosis fungsional

: Skizofrenia, psikosis paranoid, psikosis afektif,


psikosis reaktif singkat, dll.

- Sindrom psikosis organik

: delirium, dementia, intoksikasi alkohol, dll.

2. Penggunaan lain
Antipsikosis dapat digunakan sebagai tranquilizer untuk mengatur tingkah laku yang
agitatif dan disruptif. CPZ merupakan obat terpilih untuk pengobatan cegukan yang menetap
yang berlangsung berhari-hari dan sangat mengganggu. Prometazin digunakan untuk
pengobatan pruritus karena sifat-sifat antihistaminnya.
Apabila antipsikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam dosis yang sudah
optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan antipsikosis lain
(sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan dosis ekuivalennya, dimana profil efek
samping belum tentu sama.
9

Apabila dalam riwayat penggunaan antipsikosis sebelumnya, jenis antipsikosis


tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan baik efek sampingnya, dapat dipilih
kembali untuk pemakaian sekarang.

VII. SEDIAAN ANTIPSIKOSIS DAN DOSIS ANJURAN


N

Nama Generik

Nama Dagang

Sediaan

Dosis Anjuran

Chlorpromazine

Chlorpromazine

Tab. 25 -100 mg

300

o
1

1000

mg/h
2

Haloperidol

SERENACE

Tab. 0,5 mg, 1,5&5 5-20 mg/h


mg
Liq. 2 mg/ml

HALDOL
LODOMER
HALDOL DECANOAS

Amp. 5 mg/ml
Tab. 0,5 mg, 2 mg
Tab. 2 mg, 5 mg
Amp. 50 mg/ml

50 mg / 2-4
minggu

Perphenazine

TRILAFON

Tab. 2 mg, 4&8 mg

12-24 mg/h

Fluphenazine

ANATENSOL

Tab. 2,5 mg, 5 mg

10-15 mg/h

Fluphenazine-

SIKZONOAT

Vial 25 mg/ml

25 mg / 2-4
minggu

Decanoate
5

Levomepromazin

NOZINAN

Tab.25 mg

25-50 mg/h

Amp. 25 mg/ml

Trifluoperazine

STELAZINE

Tab. 1 mg, 5 mg

10-15 mg/h

Thioridazine

MELLERIL

Tab. 50 mg, 100 mg

150-600 mg/h

Sulpiride

DOGMATIL

Tab. 200 mg

300-600 mg/h

FORTE

Amp. 50 mg/ml

ORAP FORTE

Tab. 4 mg

Pimozide

2-4 mg/h
10

10

Risperidone

RISPERDAL

Tab. 1,2,3 mg

NERIPROS

Tab. 1,2,3 mg

NOPRENIA

Tab. 1,2,3 mg

PERSIDAL-2

Tab. 2 mg

RIZODAL

Tab. 1,2,3 mg

Tab 2-6 mg/h

11

Clozapine

CLOZARIL

Tab. 25 mg, 100 mg

25-100 mg/h

12

Quetiapine

SEROQUEL

Tab. 25 mg, 100 mg, 300-800 mg/h


200 mg

13

Olanzapine

ZYPREXA

Tab. 5 mg, 10 mg

10-30 mg/h

PRINSIP PENGOBATAN
Pengobatan biasanya dimulai dari terapi inisial, dilanjutkan ke terapi pengawasan dan
kemudian diberikan terapi pemeliharaan.
1. Terapi inisial
Diberikan segera setalah diagnosis ditegakkan, dan dosis dimulai dari dosis
anjuran dinaikkan perlahan-lahan secara bertahap dalam waktu 1 3 minggu,
sampai dicapai dosis optimal yang dapat mengendalikan gejala.
2. Terapi Pengawasan
Setelah diperoleh dosis optimal, mala dosisi tersebut dipertahankan selama lebih
kurang 8 10 minggu sebelum masuk ke tahap pemeliharaan.
3. Terapi Pemeliharaan
Dalam tahap pemeliharaan ini dosis dapat dipertimbangkan untuk mulai
diturunkan secara bertahap sampai diperoleh dosis minimal yang masih dapat
dipertahankan tanpa menimbulkan kekambuhan. Biasanya berlangsung jangka
panjang tergantung perjalanan penyakit, dapat sampai beberapa bulan bahkan
beberapa tahun. Diperoleh konsensus bahwa bila kondisi akut pertama kali maka
terapi diberikan sampai 2 tahun, dan bila sudah berjalan kronis dengan beberapa
kali kekambuhan maka terapi diberikan sampai 5 tahun bahkan seumur hidup bila
dijumpai riwayat agresifitas berlebih, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain
misalnya bunuh diri atau mencelakakan orang lain.

11

Pada penghentian yang mendadak dapat timbul gejala Cholinergic Rebound, yaitu :
gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar, dll. Keadaan ini akan mereda
dengan pemberian anticholinergic agent (injeksi Sulfas Atropin 0,25 mg (IM), tablet
Trihexyphenidyl 3 x 2 mg/h).
Pada penggunaan parenteral, antipsikosis long-acting (Fluphenazine Decanoate 25
mg/ml atau Haloperidol Decanoas 50 mg/ml, IM, untuk 2 4 minggu) sangat berguna untuk
pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat ataupun yang tidak efektif terhadap
medikasi oral. Sebaiknya sebelum penggunaan parenteral diberikan per oral dahulu beberapa
minggu untuk melihat apakah terdapat efek hipersensitivitas. Pemberian antipsikosis longacting hanya untuk terapi stabilisasi dan pemeliharaan (maintenance therapy) terhadap
kasus Skizofrenia. 15-25% kasus menunjukkan toleransi yang baik terhadap efek samping
ekstrapiramidal.

EFEK SAMPING
Efek samping dapat dikelompokkan menjadi efek samping neurologis dan non neurologis.
Efek samping neurologis akut berupa akatisia, distonia akut dan parkinsonism (acute
extrapyramidal syndrome). Pada kondisi kronis atau efek samping pengobatan jangka
panjang dapat dilihat kemungkinan terjadinya tardive dyskinesia.
1. Akatisia
Suatu kondisi yang secara subjektif dirasakan oleh penderita berupa perasaan tidak
nyaman, gelisah dan merasa harus seallu menggerak-gerakkan tungkai, terutama kaki.
Pasien sering menunjukkan gejala kecemasan, dan atau agitasi. Bila terjadi
peningkatan kegelisahan setelah pemberian antipsikotik tipikal, kita harus selalu
memperhitungkan kemungkinan akatisia.
2. Distonia akut
Terjadi kekakuan dan kontraksi otot secara tiba-tiba, biasanya mengenai otot leher,
lidah, muka dan punggung. Biasanya pada minggu pertama pengobatan dengan
antipsikotik tipikal.
3. Parkinsonism
Dapat dilihat sekelompok gejala yang tediri dari rigiditas, bradikinesia, tremor, muka
topeng, postur tubuh kaku.

12

Efek terhadap sistem kardiovaskuler yang sering terjadi adalah orthostatic (postural)
hipotension yaitu turunnya tekanan darah pada saat perubahan posisi tubuh terutama dari
posisi tidur ke posisi berdiri secara tiba-tiba.
Terhadap sistem gastrointestinal sering dijumpai efek antikolinergik perifer, rasa
kering di mulut, sehingga pasien merasa sering haus.
Tetap harus waspada terhadap kemungkinan efek samping fungsi hepar, ginjal, kulit dan
mata. Fungsi endokrin dapat terganggu terutama terjadiya peningkatan kadar prolaktin dalam
darah. Disfungsi seksual kadang juga dialami oleh pasien dan menimbulkan keluhan yang
cukup mengganggu.

EFEK SAMPING OBAT ANTIPSIKOSIS

OBAT ANTI PSIKOSIS

EFEK

EFEK

EFEK

EKSTR

ANTIE

SEDATIF

APIRA

METIK

EFEK
HIPOTE
NSIF

MIDAL
A. DERIVAT FENOTIAZIN
1. Senyawa dimetilaminopropil :
Klorpromazin

++

++

+++

++

Promazin

++

++

++

+++

Triflupromazin

+++

+++

+++

Mepazin

++

++

+++

++

Tioridazin

++

++

++

++

2. Senyawa piperidil :

3. Senyawa piperazin :
Asetofenazin

13

Karfenazin

+++

+++

++

++

Flufenazin

+++

+++

++

Perfenazin

+++

+++

Proklorperazin

+++

+++

++

Trifluoperazin tiopropazat

+++

+++

++

++

++

+++

++

+++

+++

B. NON-FENOTIAZIN
Klorprotiksen
C. BUTYROPHENONE
Haloperidol

EFEK SAMPING SECARA NEUROLOGIK


EFEK

GAMBARAN

WAKTU

KLINIS

RESIKO

MEKANISME PENGOBATAN

MAKSIMA
L
Distonia akut

Spasme
lidah,

otot 1-5 hari


wajah,

Belum

Dapat diberikan

diketahui

berbagai

leher, punggung

pengobatan,

obat

dapat

menyerupai
bangkitan

anti

Parkinson
;

bersifat

bukan histeria

diagnostik

dan

kuratif
Akatisia

Ketidaktenangan,
motorik, bukan

5-60 hari

Belum

Kurangi

diketahui

atau ganti obat;


obat

dosis
anti
14

ansietas

atau

Parkinson,

agitasi

benzodiazepin,
atau propanolol

Parkinsonism

Bradikinesia,

Antagonisme

Obat

rigiditas,

dengan

Parkinson

macam-macam

dopamin

menolong

tremor,

5-30 hari

anti

wajah

topeng, suffling
gait
Sindroma

Katatonik,

Berminggu-

Ada kontribusi Hentikan

malignan

stupor, demam, minggu,

antagonisme

neuroleptik

tekanan

darah dapat

dengan

segera;

tidak

stabil, bertahan

dopamin

dantrolene atau

mioglobinemia,; beberapa hari

bromokriptin

dapat fatal

setelah obat

dapat menolong;

dihentikan

obat

anti

Parkinson
lainnya

tidak

efektif
Tremor

Tremor perioral Setelah

Belum

Obat

perioral

(mungkin

berbulan-

diketahui

antiparkinson

sejenis

bulan

perkinsonisme

bertahun-

yang

atau

sering menolong

dating tahun

terlambat)
pengobatan
Diskinesia

Diskinesia

Setelah

Diduga

tardif

mulut-wajah;

berbulan-

kelebihan efek pengobatan

koreoatetosis

bulan

atau
meluas

atau dopamin

distonia bertahun-

: Sulit

dicegah,

tidak
memuaskan

tahun
(memburuk
dengan
15

penghentian)

Efek samping yang ireversibel seperti tardif diskinesia (gerakan berulang involunter
pada lidah, wajah, mulut/rahang dan anggota gerak dimana saat tidur gejala menghilang)
yang timbul akibat pemakaian jangka panjang dan tidak terkait dengan besarnya dosis. Bila
gejala tersebut timbul maka obat anti psikotik perlahan-lahan dihentikan, bias dicoba
pemberian Reserpine 2,5 mg/h (dopamine depleting agent). Penggunaan L-dopa dapat
memperburuk keadaan. Obat anti psikotik hampir tidak pernah menimbulkan kematian
sebagai akibat overdosis atau keinginan untuk bunuh diri.

KESIMPULAN
Obat yang digunakan untuk psikosis memiliki banyak sinonim antara lain antipsikotis,
neuroleptik, mayor tranquillizers, dan ataractics antipsychotics. Antipsikotik digunakan untuk
mengatasi gejala akibat gangguan mental yang berat seperti skizofrenia, gangguan delusional,
gangguan afektif berat dan gangguan psikosis organik. Antipsikosis konvensional umumnya
dapat mengurangi gejala positif, seperti: halusinasi, waham, tidak kooperatif, dan gangguan
alam berpikir seperti loncat pikir/flight of ideas maupun inkoherensi. Gejala positif
skizofrenia tersebut bereaksi secara lebih responsif terhadap obat antipsikotik, sedangkan
gejala negatifnya seperti: afek yang datar, apatis, anhedonia, dan blokade diri ternyata lebih
sulit diatasi.

16

DAFTAR PUSTAKA
1. Elvira D,S Buku Ajar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Badan
Penerbit FKUI. Jakarta: 2010
2. Ganiswarna SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi. Farmakologi
dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran- Universitas
Indonesia; 1995.
3. Kaplan HI, Sadock BJ. Kaplan and Saddocks Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Science/ Clinical Psychiatry. 8th ed. Maryland: William & Wilkins; 1998.
4. Maslim R, Panduan Praktis Penggunaan Klini, Obat Psikotropik. Edisi 3. Jakarta:
2007

17

Anda mungkin juga menyukai