Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Farmakologi

Dosen Pengampu : Apt.Rizky yullion,M.Farm

OLEH :

Desri Yanti Safitri 2048201071

STIKES HARAPAN IBU JAMBI TAHUN

2022

A
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum,wr,wb.

Alhamdulillah, Puji dan syukur kami hanturkan kepada Allah SWT atas kehadirannya
yang telah memberi rahmat bagi saya untuk membuat makalah yang berjudul “Prinsip
kerja obat ssp” tepat dengan waktunya.Sejalan dengan proses pembuatan tugas ini kurang
lebih pasti memiliki kekurangan baik dalam materi,penulisan bahkan bahasa yang
digunakan.

Shalawat dan salam tak lupa kami hanturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah
memperjuangkan agama islam hingga sampai kepada kita. Adapun tujuan dari pembuatan
tugas ini,yaitu untuk membahas mengenai “ Standar Pelayanan Kefarmasian”

Kami berterima kasih kepada bapak “Apt.rizky yullion,M.Farm “ sebagai dosen


pengampu yang telah memberikan tugas ini,sehingga kami dapat mendalami dan memahami
materi yang diberikan serta memberi manfaat pengetahuan bagi para pembacanya.

JAMBI, 26 Mei 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

COVER ....A

KATA PENGANTAR...................................................................................................i

DAFTAR ISI...............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah...................................................................................................1

1.2 Tujuan..............................................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Analgetika........................................................................................................................3

2.2 Anti inflamasi...................................................................................................................4

2.3 Anti histamin........................................................................6

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan..........................................................................................................10

3.2 Saran....................................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Farmakologi dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari


interaksi obat dengan tubuh untuk menghasilkan efek terapi (therapeutic). Obat adalah
setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup pada tingkat molekuler. Pada
masa lalu,
Farmakologi (pharmacology) berasal dari bahasa Yunani, yaitu pharmacon (obat)
dan farmakologi mencakup semua ilmu pengetahuan tentang sejarah, sumber, sifat-sifat
fisik dankimia, komposisi, efek-efek biokimia dan fisiologi, mekanisme kerja, absorpsi,
biotransformasi, eksresi, penggunaan terapi, dan penggunaan lainnya dari obat. Namun,
berkembangnya ilmu pengetahuan, beberapa bagian dari farmakologi ini telah
berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri dalam ruang lingkup yang lebih sempit,
tetapi terlepas sama sekali dari farmakologi. Secara singkat perkembangan farmakologi
tersebut dapat dikategorikan pada beberapa cabang yaitu : Farmakognosi, Farmasi,
Farmakologi klinik, Farmakokinetik.
Farmakognosi adalah ilmu farmakognosi mempelajari pengetahuan dan pengenalan
obat yang berasal dari tanaman dan zat- zat aktifnya yang berasal dari mineral dan
hewan. Farmasi adalah bidang profesional kesehatan yang merupakan kombinasi dari
ilmu kesehatan dan ilmu kimia, yang mempunyai tanggung jawab memastikan
efektivitas dan keamanan penggunaan obat. Profesional bidang farmasi disebut farmasi
atau apoteker. Farmako klinik adalah Ilmu farmakologi yang mempelajari pengaruh
kondisi klinis pasien terhadap efikasi obat, misalkan kondisi hamil dan menyusui,
neonatus dan anak, geriatrik, inefisiensi ginjal dan hepar. Farmakokinetik adalah proses
yang dilalui obat di dalam tubuh atau tahapan perjalanan obat tersebut di dalam tubuh.
Proses farmakokinetik ini dalam ilmu farmakologi meliputi beberapa tahapan mulai dari
proses absorpsi atau penyerapan obat, distribusi atau penyaluran obat ke seluruh tubuh,
metabolisme obat hingga sampai kepada tahap ekskresi obat itu sendiri atau proses
pengeluaran zat obat tersebut dari dalam tubuh

1.2 Tujuan

Untuk mengetahui”Cara kerja obat sistem saraf dan efek obT usat serta kegunaaan dan cara
penggunaan secara klinis Aalgetik,Anti inflamasi,Anti histamine

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 .Analgetika antipiretika

A Pengertian Analgetika.
. Analgetik atau analgesik, adalah obat yang digunakan untuk mengurangi atau
menghilangkan rasa sakit atau obat-obat penghilang nyeri tanpa menghilangkan kesadaran
dan akhirnya akan memberikan rasa nyaman pada orang yang menderita.
Nyeri merupakan suatu pengalaman sensorik dan motorik yang tidak menyenangkan,
berhubungan dengan adanya potensi kerusakan jaringan atau kondisi yang
menggambarkan kerusakan tersebut. Gejala Nyeri dapat digambarkan sebagai rasa benda
tajam yang menusuk, pusing, panas seperti rasa terbakar, menyengat, pedih, nyeri yang
merambat, rasa nyeri yang hilang timbul dan berbeda tempat nyeri.
Adapun jenis nyeri beserta terapinya, yaitu:
a. Nyeri ringan
Contohnya: sakit gigi, sakit kepala, sakit otot karena infeksi virus, nyeri haid, keseleo.
Pada nyeri ringan dapat digunakan analgetik perifer seperti parasetamol, asetosal dan
glafenin.
b. Nyeri yang disertai pembengkakan
Contohnya : Jatuh, tendangan, dan tubrukan
Pada nyeri ini dapat digunakan analgetik antiradang seperti aminofenazon dan NSAID
(ibu profen, mefenaminat, dll)
c. Nyeri hebat
Contoh: nyeri organ dalam, lambung, usus, batu ginjal, batu empedu.
Pada nyeri ini dapat digunakan analgetik sentral berupa morfin, atropine,
butilskopolamin (bustopan), camylofen ( ascavan).
d. Nyeri hebat menahun
Contoh : kanker, rematik, dan neuralgia berat. Pada nyeri ini dapat digunakan analgetik
berupa fentanil, dekstromoramida, dan benzitramida.
B. Golongan Obat Analgetik
Berdasarkan aksinya, Analgesik di bagi menjadi 2 yaitu:
1. Analgesik narkotika

2
Analgetik narkotik kini disebut juga dengan opioida yang merupakan obat-obat yang daya
kerja nya meniru opioid endogen dengan memperpanjang aktivasi dari reseptor-reseptor
opioid. Zat-zat ini bekerja terhadap reseptor opioid khas di SSP, hingga persepsi nyeri dan
respon emosional terhadap nyeri berubah.
Analgesik narkotika merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium
atau morfin. Golongan obat ini digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri
seperti pada fractura dan kanker. Efek samping yang paling sering muncul adalah mual,
muntah, konstipasi, dan mengantuk. Dosis yang besar dapat menyebabkan hipotansi serta
depresi pernafasan. Selain itu, juga dapat mengakibatkan toleransi dan kebiasaan
(habituasi) serta ketergantungan psikis dan fisik (ketagihan adiksi) dengan gejala-gejala
abstinensia bila pengobatan dihentikan.
Endorfin adalah kelompok polipeptida yang terdapat di CCS dan dapat menimbulkan
efek yang menyerupai efek morfin.
Mekanisme kerja utamanya ialah endofrin bekerja dengan jalam menduduki reseptor-
reseptor SSP, hingga perasaan nyeri dapat diblokir. Khasiat analgetik opioida berdasarkan
kemampuannya untuk menduduki sisa-sisa reseptor nyeri yang belum ditempati endorphin.
Tetapi bila analgetik tersebut digunakan terus menerus, pembentukan reseptor-reseptor baru
distimulasi dan produksi endorphin diujung saraf otak dirintangi. Akibatnya terjadilah
kebiasaan dan ketagihan.
Contoh zat Analgetik Narkotika yaitu morfin, kodein, fentanil, netadon, tramadol,
lokson, kanabis, dan pentazosin.

2. Obat Analgetik Non-narkotik


Obat Analgesik Non-Nakotik dalam Ilmu Farmakologi juga sering dikenal dengan
istilah Analgesik Perifer. Analgetika perifer (non-narkotik), yang terdiri dari obat-obat
yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Penggunaan Obat Analgetik Non-
Narkotik atau Obat Analgesik Perifer ini cenderung mampu menghilangkan atau
meringankan rasa sakit tanpa berpengaruh pada sistem susunan saraf pusat atau bahkan
hingga efek menurunkan tingkat kesadaran. Obat Analgetik Non-Narkotik / Obat
Analgesik Perifer ini juga tidak mengakibatkan efek ketagihan pada pengguna (berbeda
halnya dengan penggunanaan Obat Analgetika jenis Analgetik Narkotik).
Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah mengeblok pembentukan
prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX pada daerah yang terluka dengan
demikian mengurangi pembentukan mediator nyeri.
3
Efek samping obat-obat analgesik perifer: kerusakan lambung, kerusakan darah,
kerusakan hati dan ginjal, kerusakan kulit. Efek samping biasanya disebabkan oleh
penggunaan dalam jangka waktu lama dan dosis besar.
Contoh obat Analgetik Non-Narkotik yaitu Aminofenazon, asam salisilat, fenilbtazon,
glafenin, dan paracetamol.

C. Mekanisme Kerja Obat Analgetik


Rasa nyeri disebabkan rangsang mekanis atau kimiawi, kalor atau listrik, yang dapat
menimbulkan kerusakan jaringan dan melepaskan zat yan disebut mediator nyeri
(pengantara). Zat ini merangsang reseptor nyeri yang letaknya pada ujung syaraf bebas di
kulit, selaput lendir dan jaringan lain. Dari tempat ini rangang dialaihkan melalui syaraf
sensoris ke susunan syaraf pusat (SSP), melalui sumsum tulang belakang ke talamus
(optikus) kemudian ke pusat nyeri dalam otak besar, dimana rangsang terasa sebagai nyeri.

D. Efek Farmakodinamik Obat Analgetik


Sebagai analgesic, obat mirip aspirin hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas
rendah sampai sedang misalnya sakit kepala, mialgia, antralgia dan nyeri lain yang berasal
dari integument, terutama terhadap nyeri yang berkaitan dengan inflamasi. Efek analgesik
nya jauh lebih lemah daripada efek analgesik opiad. Tetapi berbeda dengan opiad, obat
mirip aspirin tidak menimbulkan ketagihan dan tidak menimbulkan efek samping sentral
yang merugikan. Obat mirip aspirin hanya mengubah persepsi modalitas, sensorik nyeri,
tidak mempengaruhi sensorik lain. Nyeri akibat terpotongnya saraf aferen, tidak teratasi
dengan obat mirip aspirin. Sebaliknya nyeri kronis pasca bedah dapat diatasi oleh obat
mirip aspirin
B. Pengertian Anripiretika
Obat antipiretik adalah obat untuk menurunkan panas. Hanya menurunkan temperatur
tubuh saat panas tidak berefektif pada orang normal. Dapat menurunkan panas karena
dapat menghambat prostatglandin pada CNS.
Demam adalah tingkat suhu yg lebih tinggi; gejala penyerta infeksi; reaksi tangkis bagi
tubuh terhadap infeksi. Suhu > 37°C limfosit & makrofag lebih aktif; suhu > 40 - 41°C
menjadi kritis & fatal (tidak terkendalikan oleh tubuh). Reseptor suhu & pusat
termoregulasi terletak di hipotalamus.

4
Contoh Obat Antipiretik, yaitu parasetamol, panadol, paracetol, paraco, praxion,
primadol, santol, zacoldin, poldan mig, acetaminophen, asetosal atau asam salisilat,
salisilamida.

B. Golongan Obat Antipiretik


Macam-macam obat Antipiretik, yaitu :
1. Benorylate
Benorylate adalah kombinasi dari parasetamol dan ester aspirin. Obat ini digunakan
sebagai obat antiinflamasi dan antipiretik. Untuk pengobatan demam pada anak obat ini
bekerja lebih baik dibanding dengan parasetamol dan aspirin dalam penggunaan yang
terpisah. Karena obat ini derivat dari aspirin maka obat ini tidak boleh digunakan untuk
anak yang mengidap Sindrom Reye.
2. Fentanyl
Fentanyl bekerja di dalam sistem syaraf pusat untuk menghilangkan rasa sakit.
Beberapa efek samping juga disebabkan oleh aksinya di dalam sistem syaraf pusat. Pada
pemakaian yang lama dapat menyebabkan ketergantungan tetapi tidak sering terjadi bila
pemakaiannya sesuai dengan aturan. Ketergantungan biasa terjadi jika pengobatan
dihentikan secara mendadak. Sehingga untuk mencegah efek samping tersebut perlu
dilakukan penurunan dosis secara bertahap dengan periode tertentu sebelum pengobatan
dihentikan.
3. Piralozon
Di pasaran piralozon terdapat dalam antalgin, neuralgin, dan novalgin. Obat ini amat
manjur sebagai penurun panas dan penghilang rasa nyeri. Namun piralozon diketahui
menimbulkan efek berbahaya yakni agranulositosis (berkurangnya sel darah putih), karena
itu penggunaan analgesik yang mengandung piralozon perlu disertai resep dokter.

C. Mekanisme kerja obat antipiretik


Secara umum, Mekanisme obat nya bekerja dengan cara menghambat produksi
prostaglandin di hipotalamus anterior (yang meningkat sebagai respon adanya pirogen
endogen).

5
D. Efek Farmakodinamik Antipiretik
Sebagai antipiretik, obat mirip aspirin akan menurunkan suhu badan hanya pada
keadaan demam. Walaupun kebanyakan obat ini memperlihatkan efek antipiretik in
vitro, tidak semuanya berguna sebagai antipiretik karena bersifat toksik bila digunakan
secara rutin atau terlalu lama. Ini berkaitan dengan hipotesis bahwa COX yang ada
disentral otak terutama COX-3 dimana hanya parasetamoldan beberapa obat AINS
lainnya dapat menghambat. Fenilbutazon dan antireumatik lainnya tidak dibenarkan
dgunakan sebagai antiperitik atas alas an tersebut.

2.2 Anti Inflamasi


A. Pengertian Anti Inflamasi
Obat anti inflamasi non steroid atau yang lebih di kenal dengan sebutan
NSAID/AINS adalah suatu golongan obat yang memiliki khasiat analgesic,anti piretik
dan anti inflamasi.Istilah”NON STEROID”digunakan untuk membedakan obat-obatan
ini dengan yang juga memiliki khasiat serupa.AINS bukan tergolong obat-obatan jenis
narkotika.inflamasi adalah salah satu respon utama dari system kekebalan terhadap
infeksi atau iritasi.
OAINS dikelompokkan kedalam berapa golongan kimiawi.Meskipun terdapat
banyak perbedaan dalam kinetic OAINS,semuanya memiliki kesaam dalam beberapa
sifat umum.Metabolisme OAINS terutama dilanjutkan oleh family CYP2C dari enzim
P450 dihati.Meskipun ekskeri ginjal merupakan jalur eliminasi terakhir yng paling
penting,hampir semua OAINS sangat terikat pada protein 98% biasanyan kepada
albumin.dan yang disertai dengan gangguan inflamsi nyeri lainnya. Inflamasi terbagi
menjadi dua pola dasar, yaitu:
a) Inflamasi akut adalah inflamasi yang berlangsung relatif singkat, dari
beberapa menit sampai beberapa hari, dan ditandai dengan eksudasi cairan
dan protein plasma serta akumulasi leukosit neutrofilik yang menonjol.
b) Inflamasi kronik berlangsung lebih lama yaitu berhari-hari sampai bertahun-
tahun dan ditandai khas dengan influks limfosit dan makrofag

disertai dengan proliferasi pembuluh darah dan pembentukan jaringan parut. 17


Sel dan mediator-mediator dari sistem imun sangat mempengaruhi dalam

6
proser respon inflamasi, yang khas ditandai dengan 4 fase. Pertama, pembuluh
darah didaerah sekitar daerah yang mengalami jejas memberi respon kepada sistem
imun. Kedua, sistem imun dalam pembuluh darah bermigrasi ke dalam jaringan yang
mengalami jejas, dan mekanisme dari sistum imun bawaan dan sistem imun adaptif
untuk menetralisir dan menghilangkan stimulus yang menimbulkan jejas. Selanjutnya
adalah proses perbaikan dan penyembuhan dari jaringan yang mengalami jejas. Dan
peristiwa tersebut merupakan proses dari inflamasi akut. Apabila peristiwa terus
berlanjut dan jaringan yang mengalami jejas tidak mengalami proses penyembuhan,
disebut inflamasi kronik.
Berikut ini adalah mediator-mediator inflamasi beserta efeknya :
a) Vasodilatasi : prostaglandin dan nitrit oksida
b) Peningkatan permeabilitas vaskular : histamin, serotonin, bradikinin,
leukotrien C4, leukotrien D4, dan leukotrien E4
c) Kemotaksis, aktivasi leukosit : leukotrien B4, kemokin (misalnya:
interleukin 8 [IL-8])
d) Demam : IL-1, IL-6, prostaglandin, faktor nekrosis tumor (TNF)
e) Nyeri: prostaglandin dan bradikinin
f) Kerusakan jaringan: nitrit oksida, enzim lisosom neutrofil dan
makrofag 17
Tanda dan Gejala terjadinya suatu inflamasi ialah :

a) Rubor (kemerahan), terjadi pada tahap pertama dari inflamasi. Darah


berkumpul pada daerah cedera jaringan akibat pelepasan mediator kimia tubuh (kimia,
prostaglandin, histamin).
b) Tumor (pembengkakan), merupakan tahap kedua dari inflamasi, plasma
merembes ke dalam jaringan intestinal pada tempat cidera. Kinin mendilatasi asteriol,
meningkatna permeabilitas kapiler.
c) Kolor (panas), dapat disebabkan oleh bertambahnya pengumpulan darah atau
mungkin karena pirogen yaitu substansi yang menimbulkan demam, yang mengganggu
pusat pengaturan panas pada hipotalamus
d) Dolor (nyeri), disebabkan pembengkakan pada pelepasan mediator-mediatir
kimia

7
e) Functio Laesa (hilangya fungsi), disebabkan oleh penumpukan cairan pada
cidera jaringan dan karena rasa nyeri. Keduanya mengurangi mobilitas pada daerah
yang terkena.17
Salah satu faktor penyebab terjadinya inflamasi adalah produk yang dihasilkan
dari metabolisme asam arakhidonat. Asam arakhidonat merupakan suatu asam lemak
tak jenuh ganda dengan 20 atom karbon. Asam arakhidonat dilepaskan oleh fosfolipid
melalui fosfolipase sel yang telah diaktifkan oleh rangsang mekanik, kimiawi, atau
fisik. Proses metabolisme asam arakhidonat terjadi melalui dua jalur utama, yaitu
siklooksigenase dengan menyintesis prostaglandin juga tromboksan dan lipooksigenase
yang menyintesis leukotrien dan lipoksin.

Jalur utama metabolisme asam arakhidonat, yaitu:


a. Jalur siklooksigenase, produk yang dihasilkan oleh jalur ini adalah
prostaglandin E2 (PGE2), PGD2, prostasiklin (PGI2), dan tromboksan A2
(TXA2). TXA2 adalah pengagregasi trombosit dan vasokonstriktor, merupakan produk
utama prostaglandin dalam trombosit. PGI2 adalah suatu vasodilator dan inhibitor
agregasi trombosit. PGD2 merupakan metabolit utama jalur siklooksigenase dalam sel
mast, bersama dengan PGE2 menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan
pembentukan edema. Prostaglandin juga berperan dalam patogenesis nyeri dan demam
pada inflamasi, PGE2 membantu menigkatkan sensitivitas nyeri terhadap berbagai
rangsang dan berinteraksi dengan sitokin yang menyebabkan demam.
b.
Jalur lipooksigenase, merupakan enzim yang memetabolisme asam arakhidonat
yang menonjol dalam neutrofil. Enzim ini menghasilkan leukotrien. Leukotrien pertama
yang dihasilkan disebut leukotrien A4 (LTA4) yang selanjutnya akan menjadi LTB4
melalui hidrolisis enzimatik. LTB4 merupakan agen kemotaksis dan menyebabkan
agregasi neutrofil. LTC4 dan metabolit berikutnya, LTD4 dan LTE4 menyebabkan
vasokonstriksi, bronkospasme, dan meningkatkan permeabilitas vaskular. Kemudian
lipoksin A
B. Obat anti inflamasi
Obat antiinflamasi adalah golongan obat yang memiliki aktivitas menekan atau
mengurangi peradangan. Berdasarkan mekanisme kerjanya obat antiinflamasi terbagi
menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah golongan obat antiinflamasi steroid.
Obat antiinflamasi yang kedua yaitu golongan obat antiinflamasi nonsteroid 17
8
C. Antiinflamasi Steroid
Obat Obat antiinflamasi golongan steroida bekerja menghambat sintesis
prostaglandin dengan cara menghambat enzim fosfolipase, sehingga fosfolipid Noksi
Kerusakan sel Pembebasan bahan mediatorMigrasi Leukosit Proliferasi sel Gangguan
Sirkulasi Lokal Eksudasi Perangsangan Reseptor Nyeri
KemerahanPanasPembengkakanGangguan FungsiNyeri yang berada pada membran sel
tidak dapat diubah menjadi asam arakidonat. Akibatnya prostaglandin tidak akan
terbentuk dan efek inflamasi tidak ada. (Tan, dan Rahardja, 2007).Contoh obat
antiinflamasi steroid adalah deksametason, betametason dan hidrokortison18
D. Antiinflamai Non Steroisd (NSAID)
Obat analgesik antipiretik serta obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID)
merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda
secara kimiawi. Walaupun demikian obat-obat ini ternyata memiliki banyak persamaan
dalam efek terapi ataupun efek samping. Prototip obat golongan ini adalah aspirin,
karena itu obat golongan ini sering disebut juga sebagai obat mirip aspirin (aspirin-like
drugs).20
Obat antiinflamasi dapat dikelompokkan dalam 7 kelompok besar :
1) Derivat asam propionat: fenbufen, fenoprofen, flurbiporfen, ibuprofen,
ketoprofen, naproksen, asam pirolalkonat, asam tioprofenat
2) Derivat indol: indomestin, sulindak, tolmetin
3) Derivat asam fenamat: asam mefenamat, meklofenat
4) Derivat asam piroklakonat
5) Derivat piirazolon: fenil butazon, oksifenbutazol, azopropazonon
6) Derivat oksikam: piroksikam, tenoksikam
7) Derivat asam salisilat: asam fenilasetat, asam asetat inden19
NSAID merupakan obat yang well-absorbed, dan memilki sifat highly-
metabolized, yang dimetabolisme baik melalui mekanisme metabolisme fase 1
dan kemudian diikuti fase II dan beberapa obat dimetabolisme langsung oleh

direct-glucuronidation (fase II). NSAID dimetabolisme oleh CYP3A atau


CYP2C yang merupakan bagian dari enzim P450 di hati. Ekskresi ginjal merupakan
rute yang penting dalam eliminasi obat tersebut. Sebagian besar obat NSAID highly
protein-bound (98%), dan biasanya berikatan dengan albumin. Semua obat NSAID
dapat ditemukan di dalam cairan sinovial setelah penggunaan yang berulang.
9
E. Mekanisme kerja obat NSAID
Adalah menghambat biosintesis dari prostaglandin berbagai Obat NSAID juga dapat
bekerja melalui mekanisme yang lain termasuk menginhibit kemotaksis, menurunkan regulasi
dari produksi interleukin-1 dan menurunkan produksi dari radikal bebas dan superoksidase.
Aspirin bekerja dengan cara asetilasi dan memblok platelet-cyclooxygenase secara
irreversibel, dimana non-COX-selective NSAID adalah inhibitor yang reversibel. NSAID
menurunkan sensitivitas pembuluh darah terhadap brakinin dan histamin, mempengaruhi
produksi limfokin dan limfosit dan meniadakan vasodilatasi. NSAID yang baru bersifat
analgetik, antiinflamasi dan antipiretik dan semua NSAID (kecuali agen COX-2-selective dan
nonacetylated salicylates) menghambat agregasi platelet, walau derjatnya berbeda-beda.
Pengobatan inflamasi mempunyai 2 tujuan utama: Pertama, meringankan gejala
dan mempertahankan fungsi. Kedua, memperlambat atau menghambat proses perusakan
jaringan. 4 (LXA4) yang menyebabkan vasodilatasi dan menghambat kemotaksis
neutrofil.

2.3 Anti histamin


.A.pengertian Anti histamin
Antihistamin adalah obat yang dapat menghilangkan atau mengurangi kerja histamin
dalam tubuh melalui mekanisme penghambatan bersaing pada sisi reseptor H 1 , H2 , H3 . Efek
antihistamin bukan suatu reaksi antigen-antibodi karena tidak dapat menetralkan atau mengubah efek
histamin yang sudah terjadi. Antihistamin pada umumnya tidak dapat mencegah produksi histamin.
Antihistamin bekerja terutama dengan menghambat secara bersaing interaksi histamin dengan
reseptor khas. Antihistamin sebagai penghambat dapat mengurangi degranulasi sel mast yang
dihasilkan dari pemicuan imunologis oleh interaksi antigen IgE. Cromolyn dan Nedocromil diduga
mempunyai efek tersebut dan digunakan pada pengobatan asma, walaupun mekanisme molekuler
yang mendasari efek tersebut belum diketahui hingga saat ini

B. Penggolongan anti histamine


1. Antagonis H1, di gunakan untuk pengobatan gejala-gejala akibat reaksi alergi. Antagonis H1
sering pula disebut antihistamin klasik yaitu senyawa dalam keadaan rendah dapat menghambat
secara bersaing kerja histamin pada jaringan yang mengandung resptor H1. Biasa digunakan untuk
mengurangi gejala alergi karena cuaca misalnya bersin, gatal pada mata, hidung dan tenggorokan.
Gejala pada alergi kulit, seperti urtikaria dermatitis pruritik dan ekzem.
10
2. Antagonis H2 digunakan untuk mengurangi sekresi asam lambung pada pengobatan penderita
tukak lambung. Antagonis H2 merupakan senyawa yang menghambat secara bersaing interaksi
histamin dengan reseptor H2 sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung. Biasa digunakan
untuk pengobatan tukak lambung dan usus. Efek samping antagonis H2 antara lain : diare, nyeri otot
dan kegelisahan.
3. Antagonis H3, sampai sekarang belum digunakan untuk pengobatan, masih dalam penelitian lebih
lanjut dan kemungkinan berguna dalam pengaturan sistem kardiovaskular, pengobatan alergi, dan
kelainan mental.

C. Mekanisme kerja anti histamine


Antihistaminika adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghindarkan efek atas tubuh dari
histamin yang berlebihan, sebagaimana terdapat pada gangguan-gangguan alergi.
Bila dilihat dari rumus molekulnya, bahwa inti molekulnya adalah etilamin, yang juga terdapat dalam
molekul histamin. Gugusan etilamin ini seringkali berbentuk suatu rangkaian lurus, tetapi dapat pula
merupakan bagian dari suatu struktur siklik, misalnya antazolin.
Antihistaminika tidak mempunyai kegiatan-kegiatan yang tepat berlawanan dengan histamin seperti
halnya dengan adrenalin dan turunan-turunannya, tetapi melakukan kegiatannya melalui persaingan
substrat atau ”competitive inhibition”.
Obat-obat inipun tidak menghalang-halangi pembentukan histamin pada reaksi antigen- antibody,
melainkan masuknya histamin kedalam unsur-unsur penerima didalam sel (reseptor- reseptor)
dirintangi dengan menduduki sendiri tempatnya itu. Dengan kata lain karena antihistaminik mengikat
diri dengan reseptor-reseptor yang sebelumnya harus menerima histamin, maka zat ini dicegah untuk
melaksanakan kegiatannya yang spesifik terhadap jaringan- jaringan. Dapat dianggap etilamin lah
dari antihistaminika yang bersaing dengan histamin untuk sel-sel reseptor tersebut.
Histamin dapat menimbulkan efek bika berinteraksi dengan reseptor histaminergik, yaitu reseptor
H1, H2, dan H3. Interaksi histamin dengan reseptor H1 menyebabkan interaksi oto polos usus dan
bronki, meningkatkan permeabilitas vaskular dan meningkatkan sekresi usus, yang dihubungkan
dengan peningkatan cGMP dalam sel. Interaksi dengan reseptor H1 juga menyebabkan vasodilatasi
arteri sehingga permeable terhadap cairan dan plasma protein yang menyebabkan sembab, pruritik,
dermatitis dan urtikaria. Efek ini di blok oleh antagonis-1. Interaksi histamin dengan reseptor H2
dapat meningkatkan sekresi asam lambung dan kecepatan kerja jantung. Produksi asam lambung di
sebabkan penurunan cGMP dalam sel dan peningkatan cAMP. Peningkatan sekresi asam lambung
dapat menyebabkan tukak lambung. Efek ini di blok oleh antagonis H2. Reseptor H3 adalah resptor
11
histamin yabg baru di ketemukan pada tahun 1987 oleh arrange dan kawan-kawan, terletak pada
ujung syaraf aringan otak dan jaringan perifer
15 yang mengontrol sintesis dan pelepasan histamin, mediator alergi lain dan peradangan. Efek ini di
blok antagonis H3.
Di dalam semua organ dan jaringan tubuh terdapat histamin, suatu persenyawaan amino, yang
merupakan hasil biasa dari pertukaran zat. Histamin ini dibentuk di dalam usus oleh bakteri-bakteri
atau didalam jaringan-jaringan oleh enzim histidin-dekarboksilase, bertolak dari histidin (suatu asam
amino) dengan mengeluarkan karbondioksidanya (proses dekarboksilasi) menjadi histamin. Juga
sinar matahari, khususnya sinar ultra violet, dapat mengakibatkan terbentuknya histamin. Hal ini
merupakan sebab dari kepekaan seseorang terhadap cahaya matahari. Histamin memiliki aktifitas
farmakologi yang hebat, antara lain dapat menyebabkan vasodilatasi yang kuat dari kapiler-kapiler,
serentak dengan konstriksi (penciutan) dari vena-vena dan arteri-arteri, sehingga mengakibatkan
penurunan tekanan darah perifer.

D Efek samping
Karena antihistaminika juga memiliki khasiat menekan pada susunan saraf pusat, maka efek
sampingannya yang terpenting adalah sifat menenangkan dan menidurkannya. Sifat sedatif ini adalah
paling kuat pada difenhidramin dan promethazin, dan sangat ringan pada pirilamin dan
klorfeniramin. Kadang-kadang terdapat stimulasi dari pusat, misalnya pada fenindamin. Guna
melawan sifat-sifat ini yang seringkali tidak diinginkan pemberian antihistaminika dapat disertai
suatu obat perangsang pusat, sebagai amfetamin. Kombinasi dengan obat-obat pereda dan narkotika
sebaiknya dihindarkan. Efek sampingan lainnya adalah agak ringan dan merupakan efek daripada
khasiat parasimpatolitiknya yang lemah, yaitu perasaan kering di mulut dan tengg orokan, gangguan-
gangguan pada saluran lambung usus, misalnya mual, sembelit dan diarrea. Pemberian
antihistaminika pada waktu makan dapat mengurangi efek sampingan ini.
Pada dosis terapi, semua antihistamin H1 menimbulkan efek samping walaupun jarang bersifat serius
dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan. Terdapat variasi yang besar dalam toleransi
obat antar individu, kadang-kadang efek samping ini sangat mengganggu sehingga terapi perlu
dihentikan.1
Efek Samping Antihistamin H1 Generasi Pertama :
1. Alergi : fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan dermatitis.
2. Kardiovaskular : hipotensi postural, palpitasi, refleks takikardia, trombosis vena pada sisi
injeksi (IV prometazin)
3. Sistem Saraf Pusat : drowsiness, sedasi, pusing, gangguan koordinasi, fatigue, bingung,
12
reaksi extrapiramidal bisa saja terjadi pada dosis tinggi
4. Gastrointestinal : epigastric distress, anoreksi, rasa pahit (nasal spray)
5. Genitourinari : urinary frequency, dysuria, urinary retention
6. Respiratori : dada sesak, wheezing, mulut kering, epitaksis dan nasal burning (nasal
spray)
Antihistamin Generasi kedua dan ketiga :
1. Alergi : fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan dermatitis.
2. SSP : mengantuk/ drowsiness, sakit kepala, fatigue, sedasi
3. Respiratori : mulut kering
4. Gastrointestinal : nausea, vomiting, abdominal distress (cetirizine, fexofenadine)
Efek samping SSP sebanding dengan placebo pada uji klinis, kecuali cetirizine yang tampak lebih
sedatif ketimbang placebo dan mungkin sama dengan generasi pertama. Efek samping pada
respiratori dan gastrointestinal lebih jarang dibanding generasi pertama. 4
17

Beberapa efek samping lain dari antihistamin : 1. Efek sedasi


Dari hasil penelitian oleh perocek, dibandingkan difenhidramin 2×50 mg dengan loratadine dosis
tunggal 20 mg. Hasilnya memperlihatkan efek sedasi difenhidramin lebih besar dibanding loratadine.
Jadi loratadine tidak mempengaruhi kemampuan mengendarai, tingkat kewaspadaan siang hari dan
produktifitas kerja. Juga loratadin menghilangkan gejala rhinitis alergi musiman secara efektif dan
absorbsi oralnya sangat cepat serta memiliki masa kerja yang panjang, sehingga cukup diberikan
sekali dalam sehari.
1. Gangguan psikomotor
Yaitu gangguan dalam pekerjaan yang melibatkan fungsi psikomotor, merupakan masalah yang
menjadi perhatian dalam terapi yang menggunakan antihistamin. Efek samping terlihat saat pasien
melakukan kegiatan dengan resiko fisik seperti mengendarai mobil, berenang, gulat, atau melakukan
pekerjaan tangan. Gangguan fungsi psikomotor adalah efek yang berbeda dari terjadinya sedasi (rasa
mengantuk).
1. Gangguan kognitif
Adalah gangguan terhadap kemampuan belajar, konsentrasi atau ketrampilan di tempat bekerja. Dari
hasil penelitian memperlihatkan antihistamin generasi pertama terutama difenhidramin menyebabkan
gangguan kemampuan belajar, konsentrasi, atau ketrampilan di tempat kerja. Sedangkan loratadin
meniadakan efek negative dari rhinitis alergi terhadap kemampuan belajar.
1. Efek kardiotoksisitas
13
Antihistamin selama ini dianggap sebagai obat yang aman, tetapi sejak akhir tahun 80-an mulai
muncul beberapa jenis antihistamin yang digunakan dengan dosis yang berlebihan. Sehingga dapat
menyebabkan pasien yang menggunakan mengalami gangguan pada jantung (kardiotoksisitas).
Untuk pasien yang aktif bekerja harus berhati-hati dalam menggunakan antihistamin, karena
beberapa antihistamin memiliki efek samping sedasi (mengantuk), gangguan psikomotor dan
gangguan kognitif. Akibatnya bila digunakan oleh orang yang melakukan pekerjaan dengan tingkat
kewaspadaan tinggi sangat berbahaya
.

E.Penggunaan anti histamin


Menghilangkan gejala yang behubungan dengan alergi, termasuk rinithis, urtikaria dan
angiodema, dan sebagai terapi adjuvant pada reaksi anafilaksis. Beberapa antihistamin
digunakan untuk mengobati mabuk perjalanan (dimenhidrinat dan meklizin), insomnia
(difenhidramin), reaksi serupa parkinson (difenhidramin), dan kondisi nonalergi lainnya.
Lazimnya dengan “antihistaminika” selalu dimaksud H-1 blockers. Selain bersifat
antihistamin, obat-obat ini juga memiliki berbagai khasiat lain, yakni daya antikolinergis,
antiemetis dan daya menekan SSP (sedative), dan dapat menyebabkan konstipasi, mata
kering, dan penglihatan kabur, sedangkan beberapa di antaranya memiliki efek
antiserotonin dan local anestesi (lemah).
Berdasarkan efek ini, antihistaminika digunakan secara sistemis (oral, injeksi) untuk
mengobati simtomatis bermacam-macam gangguan alergi yang disebabkan oleh
pembebasan histamine.
Di samping rhinitis, pollinosis dan alergi makanan/obat, juga banyak digunakan pada
sejumlah gangguan berikut:
1. Asma yang bersifat alergi, guna menanggulangi gejala bronchokonstriksi.
Walaupun kerjanya baik, namun efek keseluruhannya hanya rendah berhubung tidak
berdaya terhadap mediator lain (leukotrien) yang juga mengakibatkan penciutan bronchi.
Ada indikasi bahwa penggunaan dalam bentuk sediaan inhalasi menghasilkan efek yang
lebih baik. Obat-obat ketotifen dan oksatomida berkhasiat mencegah degranulasi dari
mastcells dan efektif untuk mencegah serangan.
2. Sengatan serangga khususnya tawon dan lebah, yang mengandung a.l. histamine
dan suatu enzim yang mengakibatkan pembebasannya dari mastcells. Untuk mendapatkan
hasil yang memuaskan, obat perlu diberikan segera dan sebaiknya melalui injeksi adrenalin
i.m. atau hidrokortison i.v.
3. Urticaria (kaligata, biduran). Pada umumnya bermanfaat terhadap meningkatnya
permeabilitas kapiler dan gatal-gatal, terutama zat-zat dengan kerja antiserotonin seperti
alimemazin (Nedeltran), azatadin dan oksatomida. Khasiat antigatal mungkin berkaitan
pula dengan efek sedative dan efek anestesi local.
4. Stimulasi nafsu makan. Untuk menstimulasi nafsu makan dan dengan demikian
menaikkan berat badan, yakni siproheptadin (dan turunannya pizotifen) dan oksatomida.
Semua zat ini berdaya antiserotonin.
5. Sebagai sedativum berdasarkan dayanya menekan SSP, khususnya prometazin dan
difenhidramin serta turunannya. Obat-obat ini juga berkhasiat meredakan rangsangan batuk,
sehingga banyak digunakan dalam sediaan obat batuk popular.

14
6. Penyakit Parkinson berdasarkan daya antikolinergisnya, khususnya difenhidramin
dan turunan 4-metilnya (orfenadrin) yang juga berkhasiat spasmolitis.
7. Mabuk jalan dan Pusing (vertigo) berdasarkan efek antiemetisnya yang juga
berkaitan dengan khasiat antikolinergis, terutama siklizin,meklizin dan dimenhidrinat,
sedangkan sinarizin terutama digunakan pada vertigo.
8. Shock anafilaksis di samping pemberian adrenalin dan kortikosteroid. selain itu,
antihistaminika banyak digunakan dalam sediaan kombinasi untuk selesma dan flu

15
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1.Analgesik adalah obat yang mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri tanpa menghilangkan
kesadaran. Antipiretik adalah obat yang menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Jadi analgetik-
antipiretik adalah obat yang mengurangi rasa nyeri dan serentak menurunkan suhu tubuh yang
tinggi.Berdasarkan aksinya, Analgesik di bagi menjadi 2 yaitu: Analgesik narkotika dan Obat
Analgetik Non-narkotik. Pada obat Antipiretik penggolongan obatnya, yaitu Benorylate,
Fentanyl, dan Piralozon.

Umumnya cara kerja analgetik-antipiretik adalah dengan menghambat sintesa


neurotransmitter tertentu yang dapat menimbulkan rasa nyeri & demam. Dengan blokade sintesa
neurotransmitter tersebut, maka otak tidak lagi mendapatkan "sinyal" nyeri,sehingga rasa
nyerinya berangsur-angsur menghilang.

2.AINS adalah golongan obat yang memiliki khasiat analgesic,anti piretik,dan anti
inflamasi,AINS menghambat enzim cylclooxygenase sehingga konversi asam arikidonat menjadi
PGG2 terganggu

3. Antihistamin (antagonis histamin) adalah zat yang mampu mencegah penglepasan atau kerja
histamin. Istilah antihistamin dapat digunakan untuk menjelaskan antagonis histamin yang mana
pun, namun seringkali istilah ini digunakan untuk merujuk kepada antihistamin klasik yang
bekerja pada reseptor histamin H1.

Antihistamin ini biasanya digunakan untuk mengobati reaksi alergi, yang disebabkan oleh
tanggapan berlebihan tubuh terhadap alergen (penyebab alergi), seperti serbuk sari tanaman.
Reaksi alergi ini menunjukkan penglepasan histamin dalam jumlah signifikan di tubuh

.
3.2 Saran

Dalam pembuatan tugas ini tidak terlepas dari kesalahan kata,maka dari itu dibutuhkan
saran yang mendukung dan saran yang membangun demi kelengkapan materi dalam
tugas ini. Diharapkan bagi para pembacanya dapat memahami isi dari tugas yang
berkaitan”prinsip kerja obat sistem saraf pusat”

DAFTAR PUSTAKA

16
Katzung, B.G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik buku 2. Jakarta : Salemba Medika.

Sardjono, Santoso dan Hadi rosmiati D.1995. Farmakologi dan Terapi, bagian
farmakologi FK-UI. Jakarta : Universitas Indonesia

Tjay, Tan howan dan Kirana Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting edisi ke VI. Jakarta :
Elex Media Kompetindo

Hansten, P.D., and Horn, J.R., 2002, Managing Clinically Important Drug
Interactions,xii,162, Facts and Comparisons, St. Louis, Missouri.

Hartono, A., 1995, Tanya Jawab Diet Penyakit Gula, Penerbit Arcan, Jakarta.

Stockley, I.H., 1999, Drug Interaction, 505-534, Cambridge University Press,


Cambridge

17

Anda mungkin juga menyukai