Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik
dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami membahas mengenai interaksi obat
dalam ssp pada distribusi obat diazepam.
Adapun penulisan dalam makalah ini, disusun secara sistematis dan berdasarkan
metode-metode yang ada, agar mudah dipelajari dan dipahami sehingga dapat menambah
wawasan pemikiran para pembaca.
Penulisan makalah ini belum sempurna untuk itulah saya sebagai penulis mengharapkan
kritikan positif yang membangun demi menyempurnakan makalah ini.
Penyusun
Latar Belakang
Diazepam merupakan obat dari golongan Benzodiazepine. Benzodiazepine merupakan
obat yang paling banyak digunakan sebagai obat anti anxiolitik. Obat ini juga telah
menggantikan posisi barbiturate dan meprobamate sebagai obat anti cemas, ini dikarenakan
benzodiazepine masih lebih aman dan juga lebih efektif.
Obat pertama dari benzodiazepine adalah chlordiazepoxide, dimana obat tersebut telah
di temukan pada tahun 1955 oleh Leo Sternbach dan teman-teman. Pengaturan kembali ke
enam cincin quinazoline oleh reaksi kimia dengan primary amine led, kurang memuaskan,
untuk membentuk 7 ikatan, 1,4-benzodiazepin-4-oxide. Bahan tersebut seharusnya inaktif,
tetapi efek aktivitas farmakologi diperiksa 2 tahun kemudian. Lalu kemudian diketahui bahwa
obat ini memiliki efek sedative, muscle-relaxant, dan anti konvulsi pada hewan terhadap
meprobamate, tidak memiliki efek pada system saraf otonom, dan secara umum rendah
toksisitasnya. Percobaan klinis membuktikan sediaan ini memiliki efek anti cemas dan anti
kejang pada manusia dan diperkenalkan dipasaran pada tahun 1960, dan hanya 2 tahun
kemudian dimulai penelitian tentang farmakologinya.
Diazepam, pertama kali berhasil di sintesis pada tahun 1959, memiliki profil
farmakologik yang hampir mirip tetapi 3 sampai 10 kali lebih poten daripada chlordiazepoxide
pada percobaan terhadap hewan. Obat ini mulai dipasarkan sekitar akhir tahun 1963dan sejak
itu menjadi salah satu obat yang penggunaannya luas di wilayah barat.
Tujuan
Rumusan masalah
Defenisi
Diazepam adalah turunan dari benzodiazepine dengan rumus molekul 7-kloro-1,3-
dihidro-1-metil-5-fenil-2H-1,4-benzodiazepin-2-on. Merupakan senyawa Kristal tidak
berwarna atau agak kekuningan yang tidak larut dalam air. Secara umum , senyawa aktif
benzodiazepine dibagi kedalam beberapa kategori berdasarkan waktu paruh eliminasinya,
yaitu:
1. Benzodiazepin short-acting, dengan waktu paruh kurang dari 6 jam. Termasuk didalamnya
triazolam, zolpidem dan zopiclone.
2. Benzodiazepin intermediate-acting, dengan waktu paruh 6 hingga 24 jam. Termasuk
didalamnya estazolam dan temazepam.
3. Benzodiazepin long-acting, dengan waktu paruh lebih dari 24 jam. Termasuk didalamnya
flurazepam, diazepam dan quazepam.
Morfologi
Farmakokinetik
Absorpsi
Apabila digunakan untuk mengobati kecemasan atau gangguan tidur, sedative-
hipnotika biasanya diberikan secara oral. Kecepatan absorpsi oral diazepam lebih cepat
dibanding benzodiazepine pada umumnya. Bioavailibilitas dari diazepam setelah pemberian
intramuscular tidak dapat dipercaya. Berdasarkan lama kerja, diazepam termasuk golongan
benzodiazepine yang bekerja dengan t lebih lama dari 24 jam. Diazepam diabsorpsi dengan
baik di saluran cerna. Secara Oral onsetnya 30 menit, dengan waktu puncak 1-2 jam dan durasi
2-3 jam. Secara Intra Vena onsetnya 1-5 menit, waktu puncaknya 15 menit dan durasi 15-60
menit. Pada pemberian secara Intra Muskular onsetnya 15 menit, waktu puncaknya 30-90
menit dengan durasi yang sama 30-90 menit. Plasma konsentrasi dari diazepam adalah antara
0,02-1,01 microgram/ml. Pada pemberian oral atau per rectal, konsentrasi plasma rata-ratanya
76 & 81%. Bioavailibilitas lebih rendah pada peberian suppositoria.
Distribusi
Transport sedative-hipnotika di dalam darah merupakan proses dinamis dimana
molekul-molekul obat masuk dan keluar jaringan pada kecepatan yang bergantung pada aliran
darah, perbedaan konsentrasi, dan permeabilitas. Kelarutan dalam lipid memegang peranan
penting dalam menentukan kecepatan dimana sedative-hipnotika tertentu memasuki system
saraf pusat. Diazepam lebih mudah larut didalam lipid sehingga mula kerjanya pada system
saraf pusat lambat. Kecepatan transformasi metabolis dan eliminasi dari diazepam pada
manusia sangat lambat jika dibanding terhadap waktu yang relative singkat untuk mengakhiri
semua efek farmakologis utama.
Semua sedative-hipnotika menembus sawar darah-plasenta selama kehamilan: Laju
keseimbangan konsentrasi darah ibu dengan janin lebih lambat dibandingkan laju
keseimbangan antara darah ibu dengan system saraf pusat, karena rendahnya aliran darah
menuju plasenta. Jika sedative-hipnotika diberikan pada masa-masa sebelum kehamilan, obat
ini bisa menyebabkan depresi pada fungsi-fungsi vital neonates. Sedatif-hipnotika dapat
dideteksi di dalam air susu dan dapat mengakibatkan efek-efek depresan terhadap fungsi sitem
saraf pusat pada bayi yang mengonsumsi air susu ibu tersebut.
Metabolisme
Obat golongan benzodiazepine dimetabolisme secara ekstensif oleh kelompok enzim
sitokrom P450di hati, terutama CYP3A4 dan CYP2C19. Beberapa benzodiazepine seperti
oksazepam, dikonjugasi langsung dan tidak dimetabolisme oleh enzim tersebut.
Transformasi metabolis menjadi metabolit yang lebih mudah larut di dalam air sanagta
diperlukan bagi klirens seluruh obat dari tubuh. Sistem enzim pemetabolisme obat mikrosomal
dari hati adalah sangat penting dalam hal ini. Karena beberapa sedative-hipnotika dieksresikan
dari tubuh dalam bentuk tidak berubah, waktu-paruh eliminasinya terutama bergantung pada
transformasi metabolismenya.
Metabolisme hepatis menentukan klirens atau eliminasi dari diazepam dan seluruh
benzodiazepine. Diazepam mengalami oksidasi mikrosomal (reaksi fase I), metabolit
selanjutnya dikonjugasi (reaksi fase II) oleh glucuronosyltransferase membentuk glucuronide
yang dieksresi urine. Banyak metabolit benzodiazepine fase I adalah aktif dengan waktu paruh
yang lebih panjang daripada obat induknya. Desmethyldiazepam yang memiliki waktu paruh
eliminasi lebih dari 40 jam, merupakan metabolit aktif dari diazepam. Desmethyldiazepam
selanjutnya mengalami biotransformasi menjadi senyawa aktif oxazepam, selain itu juga
diubah menjadi temazepam. Temazepam selanjutnya mengalami metabolism sebagian menjadi
oxazepam.
Ekskresi
Diazepam diekskresi melalui urine, baik dalam bentuk bebas maupun terkonjugasi.
Diazepam di eksresi dalam urine sebagai glucuronides atau oxidized metabolites. Waktu
eliminasi plasma akan memanjang pada neonates, geriatric, dang pasien dengan gangguan
liver. Pada sebagian besar kasus, perubahan fungsi ginjal tidak memiliki efek yang kuat
terhadap eliminasi obat induk. Sangat sedikit yang dikeluarkan melalui hemodialisa.
Farmakodinamik
Hampir semua efek benzodiazepine merupakan hasil kerja golongan ini pada SSP
dengan efek utama: sedasi, hypnosis, pengurangan terhadap rangsangan emosi/ ansietas,
relaksasi otot, dan anti konvulsi. Hanya dua efek saja yang merupakan kerja golongan ini pada
jaringan perifer: vasodilatasi koroner setelah pemberian dosis terapi secara IV dan blockade
neuromuscular yang hanya terjadi pada pemberian dosis tinggi.
Target dari kerja benzodiazepine adalah reseptor GABA. Reseptor ini terdiri dari
subunit , , dan dimana berkombinasi dengan lima atau lebih dari membrane postsinaptik.
Benzodiazepine meningkatkan efek GABA dengan berikatan ke tempat yang spesifik dan
afinitas tinggi. Reseptor ionotropik ini, suatu protein heteroligometrik transmembran yang
6 | interaksi obat dalam ssp pada distribusi obat diazepam.
berfungsi sebagai kanal ion klorida, yang diaktivasi oleh neurotransmitter GABA inhibiotrik.
Benzodiazepin meningkatkan frekuensi pembukaan kanal oleh GABA. Pemasukan ion klorida
tersebut menyebabkan hyperpolarisasi kecil yang menggerakkan potensial postsinaps menjauh
dari threshold sehingga menghambat kejadian potensial aksi.
Diazepam digunakan dalam jangka pengobatan jangka pendek untuk ansietas berat,
hypnosis untuk manajemen sementara insomnia, sebagai sedative dan premedikasi, sebagai
anti konvulsan, dalam pengontrolan spasme otot, dan pada manajemen gejala putus obat.
Intraksi Obat
Flumazenil (salah satu imidazobenzodiazepin) merupakan reseptor antagonis
benzodiazepine spesifik yang efektif membalikkan kebanyakan dari system saraf pusat oleh
benzodiazepine. Benzodiazepine secara luas dan cepat dimetabolisme oleh hepar, dengan
waktu paruh yang singkat (t1/2 = 1 jam). Dosis intravena adalah 0,1-1 mg. efek samping dari
pembalikkan tersebut meliputi anxietas, sakit kepala, nausea, vomiting dan resedasi
potensial.Cimetidin berikatan dengan cytochrome P-450 dan mengurangi metabolisme
diazepam.Heparin mnggantikan diazepam dari ikatan protein dan meningkatkan konsentrasi
obat bebas (200% meningkat setelah pemberian 1000 unit heparin). Kombinasi dari opioid dan
diazepam menyebabkan penurunan tekanan darah arteri dan tahanan vaskuler perifer. Interaksi
sinergis ini selalu di waspadai pada pasien dengan ischemik atau penyakit katup jantung.
Benzodiazepine menurunkan konsentrasi minimum alveolar dari anestesi yang diuapkan
sampai tingkat 30%.Etanol, barbiturate dan depressan susunan saraf pusat yang lain berpotensi
menimbulkan efek sedative dari benzodiazepine.
Indikasi
Diazepam digunakan untuk memperpendek mengatasi gejala yang timbul seperti
gelisah yang berlebihan, diazepam juga dapat diinginkan untuk gemeteran, kegilaan dan dapat
menyerang secara tiba-tiba. Halusinasi sebagai akibat mengkonsumsi alkohol. diazepam juga
dapat digunakan untuk kejang otot, kejang otot merupakan penyakit neurologi. dizepam
digunakan sebagai obat penenang dan dapat juga dikombinasikan dengan obat lain.
Kontraindikasi
1. Hipersensitivitas
2. Sensitivitas silang dengan benzodiazepin lain
3. Pasien koma
4. Depresi SSP yang sudah ada sebelumnya
5. Nyeri berat tak terkendali
6. Glaukoma sudut sempit
7. Kehamilan atau laktasi
7 | interaksi obat dalam ssp pada distribusi obat diazepam.
8. Diketahui intoleran terhadap alkohol atau glikol propilena (hanya injeksi)
Diagnosis
Kelas terapi : Obat dengan kelas terapi antiansietas, antikonvulsan dan
sedatif.
Sub kelas terapi : Susunan saraf pusat (SSP)
Nama obat dagang :
1. Stesolid
2. Valium
3. Validex
4. Valisanbe
5. Neurodial
6. Metaneuron
7. Danalgin
Nama obat Generik :
1. Flurazepam
2. Diazepam
3. Quazepam
4. Temazepam
Rumus bangun : 7-Kloro-1,3-dihidro-1-metil-5-fenil-2H-1,4
benzodiazepin-2-on. C16H13ClN2O (FI. IV)
Mekanisme Kerja Obat
Bekerja pada sistem GABA, yaitu dengan memperkuat fungsi hambatan neuron
GABA. Reseptor Benzodiazepin dalam seluruh sistem saraf pusat, terdapat dengan kerapatan
yang tinggi terutama dalam korteks otak frontal dan oksipital, di hipokampus dan dalam otak
kecil. Pada reseptor ini, benzodiazepin akan bekerja sebagai agonis. Terdapat korelasi tinggi
antara aktivitas farmakologi berbagai benzodiazepin dengan afinitasnya pada tempat ikatan.
Dengan adanya interaksi benzodiazepin, afinitas GABA terhadap reseptornya akan meningkat,
dan dengan ini kerja GABA akan meningkat. Dengan aktifnya reseptor GABA, saluran ion
klorida akan terbuka sehingga ion klorida akan lebih banyak yang mengalir masuk ke dalam
sel. Meningkatnya jumlah ion klorida menyebabkan hiperpolarisasi sel bersangkutan dan
sebagai akibatnya, kemampuan sel untuk dirangsang berkurang.
Efek Terapi
a) Sedasi : Penurunan terhadap tingkat stimulus
8 | interaksi obat dalam ssp pada distribusi obat diazepam.
b) Hipnosis : Dapat menyebabkan tidur
c) Anestesi : Akan menekan SSP ke titik yang
dikenal sebagai stadium III anastesi umum
d) Anti konvulsi : Menghambat perkembangan dan
penyebaran aktivitas epilepti Fourmis dalam SSP
e) Relaksasi otot : Merelaksasikan otot volunter yang
berkontraksi pada penyakit sendi atau spasme otot.
f) Respirasi dan Kardiovaskuler : Menimbulkan depresi paru
pernapasan pada penderita paru obstruktif dan
depresi pada kardiovaskuler
Efek Samping
- SSP :Mengantuk, sakit kepala, lemas
- Kardiovaskular :Bradikardi, kolaps
- Dermatologi :Urtikaria
- Hematologi :Neutropenia
- Saluran cerna :Konstipasi
- Saluran Pernapasan :Batuk, Depresi pernapasan
Pelaksanaan
Cara Pemberian Obat
Obat ini diberikan secara oral untuk mencegah ataksia atau sedasi berlebih, dan dosis
dapat dinaikkan secara bertahap bila diberikan secara parenteral (suntikan,) dalam
pembrian IV secara langsung tidak memungkinkan, boleh melalui pipa infuse, sedekat
mungkin dengan insersinya kedalam vena (karena diazepam sulit terlarut), dan secara lambat
didalam vena besar mengurangi resiko tromboflebitis , sedangkan melalui suntik IM dilakukan
secara lambat dan tidak konstan.
Dosis Obat
Per Oral:
- Dewasa: 2-10 mg, 2- 4 X sehari, tergantung indikasinya.
-Bayi (> 6 Bulan):1-2,5 mg, 3X sehari atau 4 X sehari sebagai permulaan, dinaikkan secara
bertahap sesuai kebutuhan.
Meskipun cukup banyak efek samping obat yang terdeteksi selama uji-uji klinik, namun
untuk mengetahui profil keamanan suatu obat seringkali baru didapatkan setelah obat tersebut
sudah digunakan cukup lama dan secara luas di masyarakat, termasuk oleh
populasi pasien yang sebelumnya tidak terwakili dalam uji klinik obat tersebut. Diharapkan
dari data tersebut dapat diperoleh dari laporan pharmacovigilance
dan post-marketing surveillance yang dilakukan secara periodik setelah obat dipasarkan
Obat-obat yang bekerja untuk system saraf pusat (SSP) merupakan salah satu yang
pertama ditemukan manusia primitive dan masih dipergunakan secara luas sebagai zat
farmakologi. Obat-obat SSP bekerja pada resptor khusus yang mengatur transmisi sinaps dan
merupakan alat paling penting untuk mempelajari aspek fisiologi SSP mulai dari terjadinya
bangkitan sampai pada penyimpanan memori jangka panjang. Jenis- jenis obat SSP antara lain
: Diazepam, Klordiazepoksid, Flurazepam, Desmatildiazepam, Oxazepam, Lorazepam,
Nitrazepam, Triazolam, Alfrazolam.
Diazepam adalah turunan dari benzodiazepine dengan rumus molekul 7-kloro-1,3-
dihidro-1-metil-5-fenil-2H-1,4-benzodiazepin-2-on. Merupakan senyawa Kristal tidak
berwarna atau agak kekuningan yang tidak larut dalam air.
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
Abstrak
Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat (obat index) berubah akibat adanya obat lain
(Precipitant Drug), makanan, atau minuman. Interaksi obat dapat menghasilkan efek yang
memang dikehendaki (Desirable Drug Interaction), atau efek yang tidak dikehendaki
(Undesirable/Adverse Drug Interactions) yang lazimnya menyebabkan efek samping obat
dan/atau toksisitas karena meningkatnya kadar obat di dalam plasma, atau sebaliknya
menurunnya kadar obat dalam plasma yang menyebabkan hasil terapi menjadi tidak optimal.1
Banyak faktor yang berperan dalam terjadinya Adverse Drug Reaction yang bermakna
secara klinik, antara lain: faktor usia, faktor penyakit, genetik, dan polifarmasi atau Multiple
Drugs Therapy. Orang-orang dengan usia lanjut biasanya lebih rentan mengalami interaksi
obat, contohnya pada penderita Diabetes Melitus usia lanjut yang disertai dengan penurunan
fungsi ginjal, pada pemberian obat golongan ACE-inhibitor (misal: kaptopril) bersama obat
golongan diuretik hemat kalium (misal: spironolakton, amilorid, triamteren) dapat
menyebabkan terjadinya hiperkalemia yang mengancam kehidupan. Beberapa penyakit seperti
penyakit hati kronik dan kongesti hati dapat menyebabkan penghambatan metabolisme obat-
obat tertentu yang dimetabolisme di hati (misalnya: simetidin) sehingga toksisitasnya dapat
meningkat. Multiple Drugs Therapy contohnya pada pemberian relaksans otot bersama
aminoglikosida pada penderita miopati, hipokalemia, atau disfungsi ginjal, dapat menyebabkan
efek relaksans otot meningkat sehingga kelemahan otot meningkat. Polimorfisme adalah salah
satu faktor genetik yang dapat berperan dalam interaksi obat, misalnya pada pemberian fenitoin
bersama isoniazid (INH) pada kelompok polimorfisme asetilator lambat dapat
Sejumlah besar obat baru dilepas di pasaran setiap tahunnya, hal ini dapat menyebabkan
timbulnya berbagai interaksi baru antar obat. Namun, profil keamanan suatu obat seringkali
baru didapatkan setelah obat tersebut sudah digunakan cukup lama dan secara luas di
masyarakat, termasuk oleh populasi pasien yang sebelumnya tidak terwakili dalam uji klinik
suatu obat. Konsekuensinya, diperlukan beberapa bulan atau bahkan tahun sebelum diperoleh
data yang memadai tentang masalah efek samping akibat interaksi obat. Namun, studi
Pharmacovigilance dan Post Marketing Surveilance yang antara lain di kelola oleh industri
farmasi diharapkan berperan cukup besar guna mendapatkan data interaksi dan efek samping
obat terutama untuk obat-obat baru yang semakin banyak muncul dan beredar di pasaran.19
Informasi mengenai seberapa sering seseorang mengalami risiko efek samping karena
interaksi obat, dan seberapa jauh risiko efek samping yang dapat dikurangi diperlukan jika akan
mengganti obat yang berinteraksi dengan obat alternatif. Dengan mengetahui bagaimana
mekanisme interaksi antar obat, maka kita dapat memperkirakan kemungkinan efek samping
yang akan terjadi dan melakukan antisipasinya.
PEMBAHASAN
1. Interaksi Farmasetik
Interaksi farmasetik adalah interaksi fisiko-kimia yang terjadi pada saat obat
diformulasikan / disiapkan sebelum obat digunakan oleh penderita. Interaksi farmasetik disebut
juga inkompatibilitas farmasetik, bersifat langsung dan selanjutnya menyebabkan obat menjadi
tidak aktif.2 Bentuk interaksi ini ada 2 macam :
-Interaksi secara fisik : misalnya terjadi perubahan kelarutan
-Interaksi secara khemis : misalnya terjadi reaksi terhidrolisisnya suatu obat selama
dalam proses pembuatan ataupun selama dalam penyimpanan.
2. Interaksi Farmakokinetik
obat tidak dapat diekstrapolasikan (tidak berlaku) untuk obat lainnya meskipun masih dalam
satu kelas terapi, ha; ini disebabkan karena adanya perbedaan sifat fisikokimia yang
menghasilkan sifat farmakokinetik yang berbeda. Contohnya: interaksi farmakokinetik oleh
simetidin tidak dimiliki oleh H2-bloker lainnya; interaksi oleh
Interaksi yang terjadi secara langsung sebelum obat diabsorpsi contohnya adalah
interaksi antibiotika (tetrasiklin, fluorokuinolon) dengan besi (Fe) dan antasida yang
mengandung Al, Ca, Mg, terbentuk senyawa Chelate yang tidak larut (irreversible) sehingga
obat antibiotika tidak bisa diabsorpsi. Obat-obat seperti digoksin, siklosporin, asam valproat
menjadi inaktif jika diberikan bersama adsorben (kaolin, charcoal) atau anionic exchange
resins (kolestiramin, kolestipol).2
Efek makanan terhadap absorpsi terlihat misalnya pada penurunan absorpsi penisilin,
rifampisin, INH, atau peningkatan absorpsi hidroklorothiazide, fenitoin, nitrofurantoin,
halofantrin, albendazol, mebendazol karena pengaruh adanya makanan. Makanan juga dapat
menurunkan metabolisme lintas pertama dari propranolol, metoprolol, dan hidralazine
sehingga bioavailabilitas obat-obat tersebut meningkat. Makanan yang berlemak dapat
meningkatkan absorpsi obat-obat yang sukar larut dalam air seperti griseovulvin dan danazol.2
Mekanisme interaksi yang melibatkan proses distribusi terjadi karena pergeseran ikatan
protein plasma. Interaksi obat yang melibatkan proses distribusi akan bermakna klinik jika: (1)
obat memiliki ikatan protein sebesar > 85%, volume distribusi (Vd) obat < 0,15 l/kg, dan
memiliki batas keamanan sempit; (2) obat presipitan berikatan dengan albumin pada tempat
ikatan (finding site) yang sama dengan obat utama, serta kadarnya cukup tinggi untuk
menempati dan menjenuhkan binding-site nya.9 Contohnya, fenilbutazon dapat menggeser
warfarin (ikatan protein 99%; Vd = 0,14 I/kg) dan tolbutamid (ikatan protein 96%, Vd = 0,12
I/kg), sehingga kadar plasma warfarin dan tolbutamid bebas meningkat.5
Hambatan ataupun induksi enzim pada proses metabolisme obat terutama berlaku
terhadap obat-obat atau zat-zat yang merupakan substrat enzim mikrosom hati sitokrom P450
(CYP-450).6
Beberapa isoenzim CYP yang penting dalam metabolisme obat antara lain: 7-12
Terbinafine
- CYP3A yang memetabolisme lebih dari 50% obat-obat yang banyak digunakan dan
terdapat selain di hati juga di usus halus dan ginjal, antara lain dihambat oleh Ketokonazol,
Itrakonazol, Eritromisin, Klaritromisin, Diltiazem, Nefazodon
dikehendaki (Adverse Drug Reaction). Berikut ini adalah contoh-contoh interaksi yang
melibatkan inhibitor CYP dengan substratnya: 8
(1) Kontraseptik oral (hormon estradiol) dengan adanya induktor enzim seperti
rifampisin, deksametason, menyebabkan kadar estradiol menurun sehingga efikasi
kontraseptik oral ikut menurun.
Mekanisme interaksi obat dapat terjadi pada proses ekskresi melalui organ ginjal lewat
sekresi pada tubuli; organ empedu mengikuti sirkulasi enterohepatik; dan dapat terjadi juga
karena adanya perubahan pH urin.2
Gangguan dalam ekskresi melalui empedu terjadi akibat kompetisi antara obat dan
metabolit obat untuk sistem transport yang sama, contohnya kuinidin menurunkan ekskresi
empedu digoksin; probenesid menurunkan ekskresi empedu rifampisin. Obat-obat tersebut
memiliki system transporter protein yang sama, yaitu P-glikoprotein.13
Perubahan pH urin akibat interaksi obat akan menghasilkan perubahan klirens ginjal
melalui perubahan jumlah reabsorpsi pasif di tubuli ginjal. Interaksi ini akan bermakna klinik
jika: (1) fraksi obat yang diekskresi utuh oleh ginjal cukup besar (> 30%); (2) obat berupa basa
lemah dengan pKa 7,5-10 atau asam lemah dengan pKa 3,0 - 7,5. Beberapa contoh antara lain:
obat bersifat basa lemah (amfetamin, efedrin, fenfluramin, kuinidin) dengan obat yang
mengasamkan urin (NH4C1)) menyebabkan klirens ginjal obat-obat pertama meningkat
sehingga efeknya menurun; obat-obat bersifat asam (salisilat, fenobarbital) dengan obat-obat
yang membasakan urin seperti antasida (mengandung NaHCO3, A1(OH)3, Mg(OH)2), akan
meningkatkan klirens obat-obat pertama, sehingga efeknya menurun.14
3. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem
reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif,
sinergistik, atau antagonistik, tanpa ada perubahan kadar plasma ataupun profil farmakokinetik
lainnya. Interaksi farmakodinamik suatu obat umumnya dapat terjadi pada obat lain yang
segolongan, oleh sebab itu klasifikasi obat dibuat berdasarkan efek farmakodinamiknya. Selain
itu, umumnya kejadian interaksi farmakodinamik dapat diramalkan sehingga dapat dihindari
sebelumnya jika diketahui mekanisme kerja obatnya.2,5
Contoh interaksi obat pada reseptor yang bersifat antagonistik misalnya: interaksi
antara -bloker dengan agonis-2 pada penderita asma; interaksi antara penghambat reseptor
dopamine (misalnya: haloperidol, metoklopramid) dengan levodopa pada pasien parkinson.
Beberapa contoh interaksi obat secara fisiologik serta dampaknya antara lain
21 | interaksi obat dalam ssp pada distribusi obat diazepam.
sebagai berikut: interaksi antara aminoglikosida dengan furosemid akan meningkatkan risiko
ototoksik dan nefrotoksik dari aminoglikosida; interaksi -bloker dengan verapamil akan
menimbulkan gagal jantung, AV-block, dan bradikardi berat; benzodiazepin dengan etanol
(alkohol) meningkatkan depresi susunan saraf pusat (SSP); kombinasi obat-obat trombolitik
(antikoagulan) dan anti platelet akan menyebabkan perdarahan.2
KESIMPULAN
Besarnya masalah interaksi obat, terutama yang dapat berakibat timbulnya efek
samping (adverse drug reaction), dapat meningkat secara bermakna pada populasi masyarakat
tertentu sejalan dengan bertambah banyaknya jumlah obat yang dikonsumsi secara bersamaan
setiap hari. Populasi masyarakat yang berisiko tinggi terhadap terjadinya interaksi obat yang
tidak dikehendaki biasanya adalah kelompok usia lanjut, pasien kritis dalam perawatan intensif,
dan pasien yang sedang menjalani prosedur bedah rumit.
populasi pasien yang sebelumnya tidak terwakili dalam uji klinik obat tersebut. Diharapkan
dari data tersebut dapat diperoleh dari laporan pharmacovigilance
dan post-marketing surveillance yang dilakukan secara periodik setelah obat dipasarkan
Daftar Pustaka
1. Ament PW, Bertolino JG, Liszewski JL. Clinical pharmacology: clinically significant
drug interactions. Am Fam Physician. 2000; 61:1745-54
4. Leahey EB, Reiffel JA, Drusin RE, et al. Interaction between quinidine and digoxin
JAMA 1978;240:533-4.
caused by drug-drug interactions: Metabolic interaction in the liver. Pharm Rev 1998;
50 (3):387-411.
7. Walsky, RL and Obach, RS. Validated assays for human Cytochrome P450 activities.
Drug Metab Dispos 2004; 32:647-660.
9. Br0sen K. Drug interactions and the cytochrome P450 system: The role of cytochrome
P450 1A2. Clin Pharmacokinet 1995;29(suppl l):20-5.
10. Miners JO, McKinnon RA. CYP1A. In: Levy RH, Thummel KE, Trager WF, Hansten
PD, Eichelbaum M, editors. Metabolic drug interactions. Philadelphia:
11. Rasmussen BB, Maenpaa J, Pelkonen O, Loft S, Poulsen HE, Lykkesfeldt J, Brasen K.
Selective serotonin reuptake inhibitors and thephylline metabolism in human
livermicrosomes: potent inhibition by fluvoxamine. Br J Clin Pharmacol 1995;39:151-
9.
12. Fuhr U, Anders EM, Mahr G, Sorgel F, Staib AH. Inhibitory potency of quinolone
antibacterial agents against cytochrome P4501A2 activity in vivo and in vitro.
AntimicrobAgents Chemother 1992;36:942-8
14. Jalava KM, Partanen J, Neuvonen PJ. Itraconazole decreases renal clearance of
digoxin. TherDrug Monit 1997;19:609-13.
15. Kastrup EK. Drug Interactions Facts. Facts and Comparisons, St. Louis, MO. 2000.
16. Horn, JR and Hansten, PD. Rx Irony: Drug Interactions for Pharmacoenhancement.
Pharmacy Times. February 2007.
18. Krikorian, SA and Rudorf, DC. Drug-Drug Interactions and HIV Therapy: What
Should Pharmacists Know? Journal of Pharmacy Practice 2005; 18; 278-94.
19. Gitawati, Retno. Interaksi obat dan beberapa implikasinya. Media Litbang Kesehatan
Volume XVIII No.4. 2008