Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PRAKTIKUM FITOFARMASI

FORMULASI DEKOK ANTIOKSIDAN DARI KULIT BUAH DELIMA (Punicae


Granati Pericarpium)

Kelompok C2-1

Ikhar Ridho Dayli 152210101091


Ananda Mugita Dewi 152210101123
Fania Pratiwi 162210101045
Vince Alhaiby 162210101051
Anna Dwi Rachmawati Asbolah 162210101144
Devina Aulia Zulfa 172210101045
Finas Rahmayanti 172210101049
Emi Dewi Rahmawati 172210101050
Biru Putri Ayu Istiqomah 172210101100
Hanifah 172210101102
Khoiriyah Haifa Husnun 172210101104
Adelia Novianti 172210101108
Melinda Bella Hartono 172210101111
Afifah Dwi Cahyani 172210101112
Nitta Cahyaningrum 172210101113

BAGIAN BIOLOGI FARMASI


FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS JEMBER
2020
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN...............................................................................................1

1.1 Latar Belakang .....................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................2
1.3 Tujuan...................................................................................................................2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA3

2.1 Kulit Buah Delima................................................................................................3

2.1.1 Morfologi Kulit Buah Delima.......................................................................5

2.1.2 Kandungan Kulit Buah Delima.....................................................................6

2.1.3 Bioaktivitas Kulit Buah Delima....................................................................7

2.2 Metode Ekstraksi Kulit Buah Delima...................................................................9

2.3 Metode Analisis Senyawa Marker dalam Ekstrak.............................................11

2.4. Berbagai macam sediaan herbal.........................................................................12

2.5 Sediaan Dekokta..................................................................................................12

2.6 Evaluasi Sediaan Dekok......................................................................................13

BAB III. METODE......................................................................................................15

3.1 Alat Dan Bahan...................................................................................................15

3.2 Cara Kerja...........................................................................................................15

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................................17

4.1 Hasil..................................................................................................................17

4.1.1 Hasil Organoleptis....................................................................................17

4.1.2 Hasil Kromatografi...................................................................................17

4.2 Pembahasan......................................................................................................18

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN.....................................................................22

LAMPIRAN.................................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................25
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Punica granatum L. di Indonesia lebih dikenal sebagai buah delima. Ada dua macam
delima yang sering ditanam, yaitu delima merah dan putih. Delima putih dianggap lebih baik
dari pada delima merah, selain itu juga delima putih sangat kaya akan kandungan alkaloid.
Secara tradisional buah yang ditumbuk dan seduhannya dipakai sebagai obat diare, kulit akar
dan kulit batang mempunyai khasiat sebagai obat sakit gigi, air rebusan buah dan kulit buah
delima dapat dipakai sebagai obat kumur dan untuk mengobati keputihan (Suprihatin, 1992).
Kulit buah delima (Punica granatum L.) merupakan salah satu tanaman yang
mempunyai aktivitas antihiperpigmentasi. Kulit buah delima mengandung senyawa-senyawa
polifenol seperti asam elegat dan asam galat yang memiliki aktivitas sebagai inhibitor enzim
tirosinase, dan juga punicalagin adalah ellagitanin yang ditemukan pada delima. Asam elegat
memiliki afinitas terhadap tembaga pada active site dari tirosinase dan menghambat
aktivitasnya (Prihantoro, dkk., 2006).
Delima telah lama dimanfaatkan buahnya untuk dikonsumsi dan beberapa bagian dari
tanaman delima dimanfaatkan sebagai obat berbagai penyakit. Semua bagian tanaman
bersifat antivirus dan antibakteri. Sebagai anti bakteri, beberapa senyawa fitokimia
dilaporkan dapat menghambat pertumbuhan bakteri penyebab penyakit. Salah satunya adalah
kandungan ellagitanin dari tanaman Delima yang terutama terdapat dalam bagian kulit
buahnya (Henriette’s Herbal, 1995).
Selain ellagitanin, kulit buah delima juga mengandung flavonoid, triterpenes dan
phenol yang terbukti memiliki efek antibakteri terhadap Escherichia coli (Supayang, dkk.,
2005). Terdapat penelitian terdahulu yang mengatakan bahwa buah delima dapat
dimanfaatkan kulitnya dan buahnya sebagai agen atibakteri. Menurut Syamsu Hidayat dan
Hutapes (2001), kulit buah delima mengandung zat tanin yang bersifat antibakteri yang dapat
menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus dan Staphylococcus.
Berbagai penelitian terhadap aktivitas buah delima telah membuktikan bahwa buah
delima memiliki kemampuan antibakteri, antioksidan, antiinflamasi dan antikanker, serta
aktivitasnya dalam meregulasi proses fibrosis (Jurenka, 2008). Kandungan senyawa yang di
duga aktif debagai antibakteri pada daun delima yaitu alkaloid dan tanin. Hal ini sejalan
dengan penelitian sebelumnya oleh Ismail (2012) mengemukakan bahwa senyawa aktif
sebagai antibakteri terhadap E.coli pada kulit buah delima adalah alkaloid dan tanin. Rosidah

1
dan Wila (2012) juga menambahkan bahwa tumbuhan lain yang bersifat antibakteri
terhadap E.coli karena mengandung tanin dan alkaloid adalah daun jambu biji yang
merupakan satu ordo dengan delima (ordo Myrtales).
Pada praktikum kali ini, delima akan dibuat menjadi sediaan Dekokta (Dekok). Delima
dibuat sediaan dekok karena kita menggunakan kulit buah delima yang kering. Kulit buah
delima kering merupakan salah satu bagian berupa bahan keras. Oleh sebab itu dibuat sediaan
dekok yang cocok untuk simplisia berupa bahan keras. Sedangkan infusa dibuat untuk bahan
simplisia berupa simplisia sediaan yang lunak.

1.2 Rumusan Masalah


1) Bagaimana cara melakukan ekstraksi dengan metode dekok?
2) Bagaimana cara menganalisis senyawa hasil ekstraksi?

1.3 Tujuan
1) Mengetahui cara pembuatan dekok yang baik dan benar.
2) Mengetahui apakah ada senyawa yang diinginkan dari sediaan dekok yang ada.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kulit Buah Delima (Punica granatum)


Delima atau Pomegranate (Punica granatum L.) adalah tanaman dari keluarga
punicaceae (Akter, et al., 2013). Di berbagai negara dan daerah, delima (Punica
granatum) mempunyai nama bermacam-macam seperti delima (Indonesia dan Malaysia),
granada (Philiphina), salebin/talibin (Myanmar), tortim (Kamboja), ph’ulaa (Laos),
thaptim (Thailand), dan lu’u/thap lu’u (Vietnam). Tanaman ini berasal dari daerah Asia
Tengah (Iran), Afganistan, dan wilayah pegunungan Himalaya. Dari daerah tersebut
kemudian menyebar ke wilayah Mediterania, sekarang telah menyebar ke seluruh daerah
tropik dan subtropik. Ditanam secara meluas di Afghanistan, Algeria, Armenia,
Azerbaijan, Iran, Iraq, India, Pakistan, Syria, Turki serta kawasan lebih kering di Asia
Tenggara seperti Semenanjung Malaysia, India Timur, dan kawasan tropika di Afrika.
Delima dibawa masuk ke Amerika Latin dan California oleh peneroka Spanyol pada
tahun 1769. Delima kini ditanam di sebagian California dan Arizona untuk bahan baku
pembuatan jus. Pada umumnya pohon delima ditanam di pekarangan dan bermanfaat
sebagai tanaman hias dan obat-obatan serta daging buahnya dapat dimakan langsung
yang mempunyai rasa asam manis. Di samping itu daging buahnya dapat diekstrak
dijadikan minuman yang menyegarkan (Sudjijo, 2014). Daging buah delima merupakan
kulit biji yang menebal dan tersusun secara padat. Daging buah tersebut dikonsumsi
langsung bersama biji-bijinya.

Gambar 1. Punica granatum L.

3
Buah delima memiliki biji yang sangat banyak dan kecil-kecil, satu buah delima rata-
rata memiliki kurang lebih 600 biji. Bijinya berbentuk bulat panjang yang bersegi-segi
agak pipih dan keras, dengan susunan yang tidak beraturan. Biji-biji tersebut berada
dalam selaput seperti spons yang berasa pahit. Delima kaya dengan mineral, seperti
kalium, tembaga, magnesium, fosfor, seng dan selenium. Besi juga ada tetapi dalam
jumlah kecil. Buah ini merupakan sumber vitamin C, K, dan asam pantotenat dalam
jumlah besar, tetapi vitamin E, thiamin dan riboflavin dalam jumlah kecil (Sasongkawati,
2013). Berikut adalah taksonomi dari buah delima :
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Rosidae
Ordo : Myrtales
Famili : Lythraceae
Genus : Punica
Spesies : P. granatum
Nama Binomial : Punica granatum L.
Sinonim : Punica malus, Linnaeus 1758
(Dirk Budka, 2013)

2.1.1 Morfologi dan Kandungan Delima (Punica granatum L.)

Secara morfologi, tumbuhan delima (Punica granatum) merupakan tanaman


semak atau perdu meranggas yang dapat tumbuh dengan tinggi mencapai 5-8 meter.
Tanaman ini berasal dari Persia dan daerah Himalaya yang terletak di selatan India.
Tanaman buah delima tersebar mulai dari daerah subtropik hingga tropik, dari dataran
rendah hingga ketinggian di bawah 1000 mdpl. Tanaman ini sangat cocok untuk
ditanam di tanah yang gembur dan tidak terendam oleh air, serta air tanahnya tidak
dalam (Madhawati, 2012).

Batang tanaman delima berbentuk kayu ranting yang bersegi, dan percabangan
banyak tetapi lemah. Pada ketiak daunnya, terdapat duri dan warnanya coklat.
Daunnya tunggal dengan tangkai yang pendek dan letaknya berkelompok. Daun
delima memiliki bentuk yang lonjong dengan pangkal yang lancip, ujung tumpul, tepi

4
rata, pertulangan menyirip, dan permukaan mengkilap. Panjang daun bisa mencapai
1-9 cm dengan lebar 0,5-2,5 cm (Savitri, 2008).

Gambar 2. Batang pohon delima dan bunga delima

Delima dapat berbunga sepanjang tahun, bunganya tunggal dengan tangkai


pendek, serta keluar di ujung ranting atau ketiak daun yang paling atas. Bunga delima
biasanya 1-5 kuntum berada di ujung ranting, berlilin, panjang dan lebarnya masing-
masing 4-5 cm, daun kelopak dan penyangganya sama-sama 2-3 cm panjangnya.
Bunga delima biasanya berwarna merah, putih dan ungu. Warna bunga dapat
menentukan warna daging buah delima di dalamnya (Madhawati, 2012).

2.1.2 Kandungan Kulit Delima (Punica granatum L.)

Flavonoid yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan memiliki khasiat antioksidan.


Salah satu komponen flavonoid dari tumbuhan yang dapat berfungsi sebagai
antioksidan adalah zat warna alami yang disebut antosianin. Warna merah pada
delima disebabkan oleh kandungan antosianin yang cukup tinggi pada buah delima.
Antosianin yang dapat diidentifikasi pada buah delima merah anatara lain delphinidin
3-glucoside dan 3,5diglucoside, cyanidin 3-glucoside dan 3,5diglucoside,
pelargonidin 3-glucoside dan 3,5 diglucoside. Rasa kesat pada buah delima
disebabkan kandungan flavonoid (golongan polifenol) yang tinggi. Salah satu peran
flavonoid yang penting adalah sebagai antioksidan. Flavonoid dapat menstabilkan
senyawa oksigen reaktif yang dapat mengurangi kerusakan akibat radikal bebas
(Yanjun et al, 2009: Nijveldt, 2001).

Beberapa studi menyebutkan manfaat dan keuntungan dari delima pada


manusia antara lain sebagai antioksidan yang sangat baik untuk mengurangi tubuh
kita dari kerusakan oksidatif. Asupan antioksidan sekunder dari bahan pangan sangat

5
diperlukan. Makin tinggi asupan antioksidan eksogenus, makin tinggi pula status
antioksidan endogenus. Diperlukan konsumsi bahan makanan yang kaya akan
komponen antioksidan dalam tubuh sehingga mampu menekan kerusakan sel yang
berlebihan dan mempertahankan status antioksidan seluler (Harborne and Wiliam,
2001; Buhler and Miranda, 2000).

Bagian dari buah delima yang dapat dimakan (kurang lebih 50% dari berat
total buah) terdiri dari 80% jus dan 20% biji. Jus segar dari buah delima mengandung
85% air, 10% gula dan 1,5% pektin, asam askorbat, dan flavonoid polifenol (Eibond,
2004). Kandungan polifenol dalam jus delima tergantung dari jenis atau varietasnya
yang sebagian besar terdiri dari antosianin, katekin, ellagic tannis, gallic dan ellagic
acid. Polifenol komplek bersifat sebagai antioksidan yang dapat diserap dalam tubuh
manusia. Selain polifenol, jus delima juga mengandung vitamin C yang bersifat
sebagai antioksidan (Buhler and Miranda, 2000; Ignarro et al., 2006).

Menurut Duke (2010) kandungan kulit buah delima merah yang mempunyai
efek farmakologis dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. kandungan kimia kulit buah delima

2.1.3 Bioaktivitas Kulit Delima (Punica granatum L.)

Tanaman delima (Punica granatum L.) pada kulit buah mengandung alkaloid
pelletierine, granatin, betulic acid, ursolic acid, isoquercitrin, resin, triterpenoid,
kalsium oksalat dan pati. Kulit akar dan kulit kayu mengandung sekitar 20%
elligatanin, dan 0,5% - 1% senyawa alkaloid. Daun mengandung alkaloid, tannin,
kalsium oksalat, lemak, sulfur, peroksidase. Jus buah mengandung asam sitrat, asam

6
galat, glukosa, fruktosa, maltose, vitamin (A dan C), mineral dan tannin (Utami,
2008).
Tentang aktivitas antioksidan buah delima antara lain yaitu, pameran antivirus,
antioksidan, antidiabetik, antidiare, anti kanker dan aktivitas antiproliferatif (Dkhil et
al, 2013), ekstrak buah delima selektif menghambat pertumbuhan sel-sel kanker
payudara, prostat dan usus (Adhami et al, 2009), dan efek aterosklerotik yang telah
dikonfirmasi (Weerakkody et al, 2012)
Kulit delima memiliki kandungan alkaloid dan flavonoid yang mempunyai
aktivitas antimikroba terhadap Candida albicans. Menurut penelitian Jurenka, yang
bertanggung jawab menghambat pertumbuhan Candida albicans adalah komponen
tannin. Huang et al. menyatakan bahwa mekanisme antifungal yang dimiliki tannin
adalah karena kemampuannya menghambat sintesis chytin yang digunakan untuk
pembentukan dinding sel pada jamur.Menurut Field dan Lettinga, kemampuan
inhibisi sintesis chytin yang dimiliki oleh tannin ini disebabkan karena besarnya daya
polimerasi yang terdapat pada gugus hyroxyl di cicin B dalam struktur kimia tannin.

2.2 Metode Ekstraksi Kulit Buah Delima

Ekstraksi merupakan kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga
terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Ekstraksi bisa dilakukan
dengan berbagai metode yang sesuai dengan sifat dan tujuan ekstraksi. Terdapat beberapa
metode ekstraksi, antara lain :

1. Maserasi
Proses penyarian senyawa kimia secara sederhana dengan cara merendam simplisia
atau tumbuhan pada suhu kamar dengan menggunakan pelarut yang sesuai sehingga
bahan menjadi lunak dan larut.
2. Perkolasi
Proses penyarian simplisia dengan jalan melewatkan pelarut yang sesuai secara
lambat pada simplisia dalam suatu percolator.
3. Digestasi
Proses penyarian yang sama seperti maserasi dengan menggunakan pemanasan pada
suhu 30oC – 40oC.
4. Infusa
Sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati dengan air pada suhu 90 oC
selama 15 menit.
5. Dekokta
Suatu proses penyarian yang hampir sama dengan infusa, perbedaannya pada dekokta
digunakan pemanasan selama 30 menit pada suhu 90oC.

7
6. Sokletasi
Proses ekstrasi dengan cara menggunakan alat soklet.

Metode ekstraksi tanaman kulit buah delima (Punicae Granati pericarpium)


terpilih adalah dekok. Metode ekstraksi dekok yang digunakan yaitu ekstraksi dengan
pelarut air pada temperatur 90°C selama 30 menit. Penguapan ekstrak larutan
dilakukan dengan penguapan berpusing dengan pengurangan tekanan yaitu rotatory
evaporator sehingga diperoleh ekstrak yang kental (Harborne, 1987).Metode ini
menggunakan pelarut air sehingga aman untuk dikonsumsi dibanding tingtur. Selain
itu, tannin dan senyawa polifenol yang ada pada kulit buah delima yang memiliki
aktivitas antioksidan yang tinggi lebih mudah terekstraksi pada pelarut air.

Dalam metode ekstrasi dekok terdapat kesamaan dengan metode ekstraksi


infusa, dimana merupakan sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi simplisia
nabati dengan air pada suhu 900C. Perbedaan dari kedua metode tersebut adalah
waktu, dimana metode ekstraksi infusa selama 15 menit dengan suhu yang sama
sedangkan metode ekstraksi dekok selama 30 menit dengan suhu yang sama.

Gambar 3. Alat untuk membuat sediaan dekokta

Terdapat beberapa kelebihan dan kekurangan dari metode infundasi, antara lain :

a. Kelebihan :
- Unit alat yang dipakai sederhana
- Biaya operasional relatif rendah
b. Kekurangan :
- Zat-zat yang tertarik kemungkinan sebagian akan mengendap kembali,
apabila kelarutannya sudah mulai mendingin ( lewat jenuh )

8
- Hilangnya zat-zat atsiri
- Adanya zat-zatyang tidak tahan terhadap pemanasan lama, disamping itu
pula simplisia yang mengandung zat-zat albumin tentunya akan
menggumpal dan menyulitkan dalam penarikan zat-zat yang berkhasiat
tersebut.
2.4 Metode Analisis Senyawa Marker dalam Ekstrak

Senyawa penanda merupakan senyawa yang terdapat dalam bahan alam dan
dideteksi untuk keperluan khusus (contoh untuk tujuan identifikasi atau standardisasi)
melalui penelitian. Senyawa atau zat penanda juga dapat dipakai untuk menandai atau
sebagai senyawa identitas suatu simplisia tanaman tertentu. Untuk memenuhi syarat ini,
zat atau senyawa tersebut tidak dimiliki oleh simplisia tanaman lain (Sutrisno, 1986).
Adapun syarat-syarat senyawa penanda adalah bersifat khas, mempunyai struktur kimia
yang jelas, dapat diukur kadarnya dengan metode analisis yang biasa digunakan, bersifat
stabil, tersedia dan dapat diisolasi. Senyawa penanda tidak selalu senyawa aktif tetapi
dapat juga senyawa khas untuk bahan tertentu.

Metode yang dapat digunakan untuk analisis senyawa marker sebagai berikut :

a) Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)


Metode KCKT merupakan salah satu jenis kromatografi yang paling banyak
digunakan. Analit yang terbawa oleh fase gerak akan melalui celah-celah fase diam
sehingga berinteraksi secara adsorbsi di permukaan. Perbedaan tipe kekuatan adsorbsi
tergantung pada model kromatografi yang digunakan diantaranya adalah interaksi
hidrofobik (tidak spesifik) ini terutama terjadi jika model kromatografinya fase
terbalik, interaksi dipol-dipol (polar) dominan dalam model kromatografi fase normal,
interaksi ion terutama trejadi pada kromatografi penukar ion (ion exchange). Analit
akan berkompetisi dengan fase gerak untuk menduduki permukaan fase diam, jika
interaksi analit dengan fase diam lebih kuat dibandingkan interaksi dengan fase gerak
maka analit lebih lama tertahan difase diam.
Mekanisme pemisahan dalam kromatografi fase terbalik tergantung pada interaksi
hidrofobik antara analit dengan fase gerak dan fase diam. Kromatografi fase terbalik
pada umumnya menggunakan elusi gradien bukan elusi isokratik. Kromatografi fase
terbalik menggunakan fase diam terdiri dari ligan hidrofobik pada umumnya
mengandung silika atau sintesis polimer organik.

9
b) Kromatografi Cair-Spektrometri Massa (LC-MS)
LC-MS adalah teknik kimia analisis yang menggabungkan kemampuan
pemisahan fisik dari kromatografi cair dengan kemampuan analisis massa
spektrometri massa. LC-MS adalah teknik yang banyak digunakan untuk berbagai
aplikasi yang memiliki sensifitas dan spesifitas sangat tinggi. Pada umumnya
aplikasinya berorientasi pada deteksi dan identifikasi potensi spesifik bahan kimia
terhadap bahan kimia lainnya (dalam campuran yang kompleks).
Keuntungan dari LC-MS yaitu dapat menganalisis lebih luas berbagai
komponen, seperti senyawa termal labil, polaritas tinggi atau bermassa molekul
tinggi, bahkan juga protein. Senyawa dipisahkan atas dasar interaksi relatif dengan
lapisan kimia partikel-partikel (fase diam) dan elusi pelarut melalui kolom (fase
gerak). Komponen elusi dari kolom kromatografi kemudian diteruskan ke
spectrometer massa melalui antarmuka khusus.
c) Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi adalah suatu teknik pemisahan fisik campuran komponen dalam
suatu ekstrak berdasarkan perbedaan migrasi atau perpindahan dari komponen-
komponen senyawa diantara dua fase yaitu fase diam(cair atau padat) dan fase gerak
(gas atau cair) (Depkes, 1995). Kromatografi adalah metode pemisahan berdasarkan
perbedaan distribusi komponen diantara fase gerak dan fase diam. Dalam
Kromatografi Lapis Tipis, terjadi persaingan antara prosespenyerapan yang cenderung
menempelkan senyawa dalam fasa diam dan proses pelarutan yang cenderung
membawa dalam fasa gerak (Shellard, 1975).
Salah satu metode analisis kromatografi adalah kromatografi lapis tipis yang
digunakan dalam praktikum kali ini. Kromatografi lapis tipis (KLT) digunakan untuk
memisahkan campuran komponen dengan menggunakan fase diam serbuk halus
(silica gel, kieselguhr, aluminium oksida aktif), yang dilapiskan dengan ketebalan
tertentu secara merata di atas lempeng logam. Prinsip KLT berdasarkan adsorbsi yaitu
penyerapan pada pemukaan dan partisi yaitu penyebaran atau kemampuan suatu zat
dalam larutan untuk berpisah kedalam pelarut yang digunakan. Pemisahan pada KLT
didasarkan padasifat polaritas senyawa. Senyawa yang kepolarannya hampir sama
dengan fasa geraknyaakan tereluasi terlebih dahulu dibandingkan dengan senyawa
yang kepolarannya berbeda dari fasa geraknya.
Campuran yang akan dipisah berupa larutan yang ditotolkan, baik noda ataupun
pita. Plat KLT dimasukkan ke dalam bejana tertutup rapat yang berisi

10
larutanpengembang atau eluen yang cocok (fase gerak). Pemisahan terjadi selama
perambatan kapiler (pengembangan). Pendeteksian noda hasil pemisahan dapat
dilakukan dengan beberapacara. Untuk senyawa tidak berwarna, diamati dengan sinar
ultraviolet. Beberapa senyawa organik dapat berfluoresensi jika disinari ultraviolet
gelombang pendek (254 nm) atau gelombang panjang (366 nm). Namun, jika senyawa
masih tidak dapat dideteksi maka disemprot dengan reagen penampak noda
tertentubaik tanpa atau dengan pemanasan.
Identifikasi kulitatif pada KLT ditentukan dengan menghitung nilai Rf. Rf (faktor
retensi) adalah ukuran kecepatan migrasi suatu senyawa. Nilai Rf didefinisikan
sebagai jarak yang ditempuh oleh komponen dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh
eluen. Nilai Rf sangat karakterisitik untuk senyawa tertentu pada eluen tertentu
sehingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi senyawa dalam sampel (ekstrak).
Senyawa dengan Rf lebih besar mempunyai kepolaran yang rendah, begitu juga
sebaliknya. Hal tersebut disebabkan fase diam yang bersifat polar. Senyawa yang
lebih polar akan tertahan kuat pada fase diam, sehingga menghasilkan nilai Rf yang
rendah. Nilai Rf yang baik berkisar antara 0,2-0,8. Jika Rf terlalu tinggi, maka
kepolaran eluen harus dikurangi, dan sebaliknya (Ewing, 1985). Pada gugus-gugus
besar dari senyawa-senyawa yang susunannya mirip,harga Rf akan saling berdekatan
(Sastrohamidjojo, 2002).

2.4. Berbagai macam sediaan herbal

1. Jamu

Jamu adalah obat tradisional yang berdasarkan dari pengalaman empiris


secara turun temurun, yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya dari generasi
ke generasi. bentuk obat umumnya disediakan dalam berbagai bentuk serbuk,
minuman, pil, cairan dari berbagai tanaman. Jamu umumnya terdiri dari 5-10 macam
tumbuhan bahkan lebih, bentuk jamu tidak perlu pembuktian ilmiah maupun klinis,
tetapi cukup dengan bukti empiris saja. Contoh : jamu buyung upik, jamu nyonya
menier.

2. Obat Herbal Terstandar (OHT)

Obat Herbal Terstandar adalah obat tradisional yang telah teruji berkhasiat
secara pra-klinis (terhadap hewan percobaan), lolos uji toksisitas akut maupun kronis,

11
terdiri dari bahan yang terstandar (Seperti ekstrak yang memenuhi parameter mutu),
serta dibuat dengan cara higienis. Contoh : Tolak angin

3. Fitofarmaka

Fitofarmaka adalah obat tradisional yang telah teruji khasiatnya melalui uji
pra-klinis (pada hewan percobaan) dan uji klinis (pada manusia), serta terbukti aman
melalui uji toksisitas, bahan baku terstandar, serta diproduksi secara higienis,
bermutu, sesuai dengan standar yang ditetapkan. Contoh : Cursil.

Gambar 4. Logo jamu,OHT, fitofarmaka

2.5 Sediaan Dekokta

Dekokta dalam bahasa latin disebut dekoktum, merupakan sediaan cair yang dibuat
dengan cara mengekstraksi bahan nabati dengan pelarut air. Prinsip ekstraksi sebagai
berikut: 

1. Pelarut air dipanaskan pada suhu 90 derajat Celsius selama 30 menit. Suhu ini
dihitung setelah panci bagian bawah mulai mendidih. 
2. Takaran air umumnya 10 kali bahan herba. Misalnya 10 gram bahan herba dipanaskan
kedalam 100 ml air.
3. Ketika dipanaskan, sesekali diaduk, setelah selesai dapat diperas dan disaring
4. Dekokta hanya bisa digunakan tidak lebih dari 48 jam.

Pembuatan dekokta hampir sama dengan metode infusa herbal, hanya saja
dekokta memerlukan waktu pemanasan selama 30 menit. Biasanya dekokta

12
menggunakan plearut yang lebih sesuai untuk mengekstrak zat aktif herba. Adapun
zat pelarut yang bisa bercampur dengan air, yaitu:

1. Pelarut polar, merupakan air ataupun larutan yang berasal dari herba itu sendiri.
2. Pelarut non polar, merupakan pelarut yang tidak bisa bercampur dengan air, seperti
aseton, etil asetat.

Sebenarnya metode infusa dan dekokta menggunakan pelarut polar dan non polar.
Tetapi dekokta memerlukan waktu pemanasan yang lebih lama, karena berkaitan dengan
bahan nabati yang keras. Misalnya kulit kayu (korteks), ranting/kayu (lignum), akar
(radiks), batang, kulit buah (perikarpium), dan biji (semen). Disimpulkan bahwa, metode
infusa ditujukan untuk bahan herba yang lunak dan dekokta untuk bahan nabati yang
keras. Sebelum membuat dekokta, sebaiknya memahami setiap bahan nabati, diantaranya
bahan yang keras, bahan tanpa minyak atsiri, dan bagian nabati yang tahan terhadap
pemanasan. Contoh resep dekokta sebagai berikut:

 Iris-iris 250-300 gram akar alang-alang, atau 10 persen dari volume air.
 Dipanaskan pada suhu 90 derajat Celsius selama 30 menit, terhitung ketika dasar
panci mulai mendidih. 
 Sekali-kali diaduk, saring dan peras selagi panas dengan kain flannel. 
 Dekokta diminum 2 kali sehari pada pagi dan sore hari.
 Dekokta harus dibuat setiap dua hari sekali, dan digunakan tidak lebih dari 48 jam.
2.6 Evaluasi Sediaan Dekok

Pada setiap pembuatan suatu sediaan di perlukan adanya evaluasi sediaan yang
bertujuan untuk mengetahui apakah sedian yang sudah di buat sudah sesuai dengan
persyaratan sediaan yang baik. Oleh karea itu, pada pembuatan sediaan dekok inidi
perlukan juga evaluasi sediaan. Beberapa evaluasi sediaan yang harus di lakukan dalam
pembuatan sediaan dekok yaitu:
a. Organoleptis
Evaluasi organoleptis yang menggunakan panca indra, mulai dari bau warna dan
bentuk, rasa sediaan (Anonim,2008)
b. pH
Evaluasi pH sediaan yaitu dengan diukur pH
c. Densitas
Bobot jenis (densitas) zat cair adalah suatu besaran yang menyatakan
perbandingan antaramassa (g) dengan volume (ml), satuan bobot jenis adalah g/ml.

13
penentuan bobot jenis sangat penting diketahui oleh seorang calon farmasis, karena
dengan mengetahui bobot jenis kita dapat mengetahui kemurnian dari suatu sediaan.
Evaluasi densitas sediaan ini menggunakan alat piknometer yang dilengkapi dengan
termometer (Anonim,2008).
d. Viskositas
Viskositas atau kekentalan adalah suatu sifat cairan yang berhubungan erat
dengan hambatan untuk mengalir. Sedangkan Viskositas kinematik adalah ukuran
bagi sifat hambatan bagi cairan. Viskositas kinematis ini dipengaruhi oleh gravitasi.
Evaluasi viskositas kinematika bertujuan untuk mengukur viskositas sediaan dengan
menggunakan alat viskometer. (Anonim,2008)
e. Volume Sedimentasi
Volume sedimentasi (F) adalah perbandingan dari volume endapan yang
terjadi (Vu) terhadap volume awal dari suspense sebelum pengendapan (Vu) setelah
suspensi di diamkan. Evaluasi volume sedimentasi dengan gelas ukur (Anonim,2008).
f. Ukuran partikel
Ukuran partikel erat hubungannya dengan luas penampangpartikel tersebut
serta daya tekan ke atas dari cairan itu. Hubungan antara ukuran partikel merupakan
perbandingan terbalik dengan luas penampangnya. Sedangkan antar luas penampang
dengan daya tekan ke atas merupakan hubungan linier. Artinya semakin besar ukuran
partikel maka semakin sempit luas peyerapan (Anonim,2008)
g. Uji kandungan kimia dengan KLT
Evaluasi kandungan kimia dengan KLT ini bertujuan untuk mengetahui
kandungan kimia apayang ada dalam sediaan tersebut. Alat-alat yang diperlukan
untuk evaluasi kandungan kimia dengan KLT yaitu plat KLT, chamber, pipa kapiler,
sinar UV (Anonim, 2008).

14
BAB III

METODE

3.1 Alat dan Bahan


Alat : Timbangan analitik, panci infus, gelas ukur, water bath, thermometer,
botol kaca, kain flannel, kertas saring, pipet tetes, pipet volume, pipa
kapiler, ball filler, chamber, lempeng klt, pinset, erlenmeyer
Bahan : Kulit buah delima (Punicae Granati Pericarpium), asam galat 0,1%,
kuersetin 0,1%, etanol, feril klorida 1%, aquadest
3.2 Cara Kerja
1. Pembuatan Dekok

Dekok kulit buah delima dibuat dengan kadar 10%

Kulit buah delima diserbuk halus dan ditimbang 10g

Dimasukkan ke dalam panci infus

Diukur 10mL aquades dan dimasukkan ke dalam panci infus

Panci infus dipanaskan di waterbath hingga suhu 90⁰C

Dipanaskan selama 30 menit

Panci Infus diangkat dan dekok diserkai ke dalam beaker glass dengan bantuan kain

Ditambahkan air panas ke dalam


15 serkaian hingga volume dekok 100mL
2. Pembuatan Profil Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Dekok

DIbuat fase gerak dengan perbandingan kloroform : methanol : air = 61:32:17

Dipipet kloroform, methanol dan air sesuai perbandingan kemudian dimasukkan ke


dalam Erlenmeyer dan dihomogenkan

Fase gerak dimasukkan ke dalam chamber yang tutupnya diberi vaseline (tertutup
rapat) dan ditunggu hingga jenuh

Sampel (hasil dekok) dan pembanding (asam galat 0,1% dalam aquadest) ditotolkan
pada lempeng KLT

Dimasukkan lempeng KLT dalam eluen yang sudah jenuh dengan posisi yang tegak
lurus

Ditunggu hingga eluen naik sampai ke batas atas lempeng KLT

Dilihat noda yang dihasilkan pada lempeng KLT menggunakan lampu UV Vis

Hasil KLT dicek pada densitometer

16
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Hasil Organoleptis
Dari hasil pengamatan organoleptis yaitu dengan mengamati bentuk, warna, bau, dan rasa
didapatkan hasil sebagai berikut :
Warna Coklat Tua
Bentuk Larutan/ cairan, terdapat endapan jika sediaan
didiamkan.
Bau Bau khas simplisia
Rasa Pahit, getir

4.1.2 Profil Kromtografi


Volume penotolan sampel 2 μl
Fase gerak (100 ml) Kloroform : metanol: air
61 ml : 32 ml : 7 ml
Fase diam Silika gel F254
Deteksi UV 254 nm
Penampak noda FeCl3

Skema Kromatografi

Waktu eluasi 15 menit


Warna noda Hitam

Nilai Rf

Rf C2-1 2,3 cm
=0,2875
8 cm

17
Rf Asam galat 2,7 cm
=0,3375
8 cm

Rf C2-2 2,4 cm
=0,3
8 cm

Dari hasil yang didapatkan warna noda hitam menunjukkan adanya polifenol, nilai rf c2-1
dengan c2-2 memiliki hasil yang hampir sama maka senyawa tersebut dapat dikatakan
memiliki karakteristik yang hampir mirip (Lipsy,2010) . Noda yang berekor bisa jadi
disebabkan karena konsentrasi sampel yang terlalu tinggi.

4.2 Pembahasan

Secara tradisional tanaman delima putih (Punica granatum L) sering digunakan


sebagai obat oleh masyarakat di Indonesia. Bahkan setiap bagian tanaman mempunyai
khasiat tertentu, misalnya bunganya untuk radang selaput lendir gusi, tubuh terlalu gemuk;
buahnya untuk disentri, diare (mencret), radang amandel, cacingan, sebagai astringen; kulit
akar untuk obat cacing pita, cacing tambang, sedangkan kulit buahnya untuk keputihan,
disentri, diare. Pada penelitian sebelumnya juga disebutkan bahwa kulit buah tanaman delima
putih (Punica granatum L) memiliki kandungan fitokimia yang antara lain asam galat, asam
elagat, asam kafeat, antosianin, elagitanin (punikalin, punicalagin, granatin), flavan-3-ol,
falvonol, falvon, flavonon (Jurenka, 2008; Lansky & Newman, 2006). Penelitian lain oleh
Duke (2010) juga sudah menyebutkan kandungan kulit buah delima merah yang mempunyai
efek farmakologis yang dapat dilihat pada tabel 1.

Buah delima (Punica granatum) merupakan salah satu sumber antioksidan dari
tumbuh-tumbuhan dengan kandungan polifenol dan antosianin yang cukup tinggi. Pigmen
antosianin bertanggung jawab untuk warna merah, ungu dan biru dari buah, sayuran dan
bunga. Antosianin merupakan salah satu antioksidan kuat yang mampu mencegah berbagai
kerusakan akibat stress oksidatif sehingga mampu melindungi sel dari radikal bebas.

Beberapa flavonoid yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan memiliki khasiat sebagai


antioksidan. Salah satu komponen flavonoid dari tumbuh-tumbuhan yang dapat berfungsi
sebagai antioksidan adalah zat warna alami yang disebut antosianin. Warna merah pada
delima disebabkan oleh kandungan antosianin yang cukup tinggi pada buah delima merah
antara lain delpherildin 3-glucoside dan 3,5 diglucoside, guanidin 3-glucoside dan 3,5

18
diglucoside, pelargonidin 3-glucoside dan 3,5 diglucoside. Rasa kesat pada buah delima
disebabkan oleh kandungan flavonoid (golongan polifenol) yang tinggi. Salah satu peran dari
flavonoid yang penting adalah sebagai antioksidan. Flavonoid dapat menstabilkan senyawa
oksigen reaktif yang dapat mengurangi kerusakan yang diakibatkan radikal bebas.

Buah delima juga kaya akan fitosterol. Fitosterol merupakan komponen biokimia
yang mempunyai fungsi berlawanan dengan kolesterol bila dikonsumsi manusia. Selain itu,
fitosterol juga tahan terhadap oksidasi, sehingga dapat digolongkan antioksidan pangan. Kulit
delima putih memiliki kandungan alkaloid dan flavonoid yang mempunyai aktivitas
antimikroba terhadap Candida albicans. Kemudian yang bertanggung jawab menghambat
pertumbuhan Candida albicans adalah komponen tannin.

Delima telah lama dimanfaatkan buahnya untuk dikonsumsi dan beberapa bagian dari
tanaman delima dimanfaatkan sebagai obat berbagai penyakit. Semua bagian tanaman
bersifat antivirus dan antibakteri. Sebagai anti bakteri, beberapa senyawa fitokimia
dilaporkan dapat menghambat pertumbuhan bakteri penyebab penyakit. Salah satunya adalah
kandungan ellagitanin dari tanaman Delima yang terutama terdapat dalam bagian kulit
buahnya (Henriette’s Herbal., 2000). Selain ellagitanin, kulit buah delima juga mengandung
flavonoid, triterpenes dan phenol yang terbukti memiliki efek antibakteri terhadap
Escherichia coli (Supayang, dkk., 2005). Aksi farmakologi dan fitokimia sebagian besar
komponen buah delima di duga memiliki aplikasi klinis untuk terapi dan pencegahan
terhadap kanker dan penyakit lain yang disebabkan oleh reaksi antiinflamasi kronis (Lansky
dan Newman, 2007)

Penelitian terkait kulit buah delima Punica granatum L) yang kaya akan manfaat
tersebut diharapkan terus dilanjutkan sehingga dapat berpotensi untuk menghasilkan produk
herbal yang terstandar dan berkualitas. Hal tersebut akan meningkatkan kapasitas bahan obat
herbal asli Indonesia dan pemanfaatannya sebagai obat herbal alternatif dalam pengobatan
pasien. Langkah awal yang perlu dilakukan dan telah diaplikasikan pada praktikum kali ini
yaitu melakukan ekstraksi atau penyarian untuk penarikan kandungan kimia yang banyak tadi
sehingga yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut
cair. Menurut Acuan Sediaan Herbal (BPOM RI, 2010), dalam penyarian bahan berkhasiat
yang terdapat dalam bahan tumbuhan obat, derajat kehalusan merupakan hal yang terpenting.
Semakin halus simplisia, maka proses dekok tidak efektif karena simplisia akan mengapung.
Begitupula sebaliknya, semakin kasar derajat kehalusannya, proses dekokta juga kurang

19
efektf karena kandungan yang diambil kurang efektif akibat kecilnya luas penampang yang
kontak dengan solvent. Namun, derajat kehalusan bukan merupakan faktor tunggal yang
mempengaruhi proses pelepasan bahan berkhasiat, tetapi jumlah dan sifat alami dari bahan
pendamping/metabolit primer lain yang terdapat dalam bahan obat juga memegang peranan
penting.

Berdasarkan metode kerja yang telah dipaparkan, maka pembuatan dekokta dengan
mencampur simplisia dengan derajat halus yang sesuai dan perbandingan yang sesuai, yaitu
100 bagian dekok harus dipergunakan 10 bagian dari bahan dasar atau simplisia (10%).
Proses penyarian dilakukan dalam panci dengan air secukupnya, panaskan diatas tangas air
selama 30 menit terhitung mulai suhu 900C sambil sekali-sekali diaduk. Serkai selagi panas
melalui kain flanel, tambahkan air panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume
dekok yang dikehendaki. Hasil dekokta yang didapatkan ialah berupa larutan berwarna
coklat tua, memiliki bau khas simplisia, dan memiliki rasa pahit. Hal ini sesuai dengan yang
diharapkan. Apabila warna dekok kurang gelap, maka ekstrak yang didapat kurang sempurna.
Sebaliknya, jika berwarna coklat pekat, maka ekstraksi berjalan dengan sempurna.

Dalam upaya menghasilkan produk obat herbal yang terstandar tersebut maka
dilakukan suatu proses standarisasi yang digunakan untuk mengetahui kebenaran senyawa
kimia secara kualitatif dan kuantitatif. Pada praktikum ini jga telah dilakukan analisis kulitatif
dengan menggunakan metode kromatografi lapis tipis (KLT). Deteksi bercak KLT dapat
diihat secara fisika pada lampu UV 256 nm dan secara kimia dengan menggunakan pereaksi
semprot. Pada lampu UV 254 nm, lempeng akan berfluorosensi sedangkan sampel akan
tampak berwarna gelap hitam. Penampakan noda pada lampu UV 254 nm adalah karena
adanya daya interaksi antara sinar UV dengan indikator fluorosensi yang terdapat pada
lempeng. Fluorosensi cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh
komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi
yang lebih tinggi kemudian kembali ke keadaan semula sambal melepaskan energi. Analisis
ini dilakukan untuk mengetahui komponen kimia pada tumbuhan terhadap cairan dari proses
sekai ektrak padat dekokta. Sampel diencerkan dengan aquades kemudian ditotolkan pada
pelat KLT dan dielusi dengan fase gerak kloroform:metanol:air (61:32:7). Pada praktikum,
digunakan asam galat sebagai larutan standar karena merupakan salah satu fenol alami dan
stabil, serta relatif murah disbanding lainnya. Asam galat termasuk dalam senyawa fenolik
turunan asam hidroksibenzoat yang tergolong asam fenol sederhana. Asam galat menjadi

20
pilihan sebagai standar ketersediaan substansi yang stabil dan murni (Ahmad, Aktsar
Roskiana, dkk., 2015)

Selain itu, nilai Rf juga ditentukan. Nilai Rf dapat dijadikan bukti dalam identifikasi
senyawa. Bila nilai Rf memiliki nilai yang sama maka senyawa tersebut dapat dikatakan
memiliki karakteristik yang sama atau mirip dengan pembandingnya. Nilai Rf merupakan
perbandingan jarak yang ditempuh eluen dan fase gerak pada plat KLT. Nilai Rf digunakan
sebagai nilai perbandingan relatif antar sampel. Senyawa yang memiliki Rf yang lebih besar
berarti memiliki kepolaran yang rendah, begitu juga sebaliknya. Jika Rf terlalu tinggi, maka
kepolaran eluen harus dikurangi. Sebaliknya jika Rf terlalu rendah maka kepolaran
eluen harus ditambah. Rf yang baik yang menunjukkan pemisahan yang cukup baik adalah
berkisar antara 0,2-0,8. Pada praktikum kali ini telah didaptkan Rf sampel 1 sebesar 0,2875,
Rf sampel 2 sebesar 0,3 dan Rf standar sebesar 0,3375. Bila dilihat antara sampel dan
standar nilai Rfnya tidak berbada jauh, sehingga nilai Rf pada percobaan telah memasuki
rentang Rf yang baik dan sampel dapat dikatakan memiliki karakteristik yang sama atau
mirip dengan strandar yaitu asam galat yang termasuk senyawa fenolik.

Proses skrining selanjutnya yaitu dengan penyemprotan dengan FeCl3, karena interaksi
ikatan kovalen koordinasi logam Fe3+ sebagai atom pusat yang mengikat pasangan eleckron
bebas atom O pada posisi 4’ dan 5’ dihidroksi untuk membentuk ligan yang akan membentuk
warna. Adanya gugus fenol pada senyawa fenolik speerti asam galat yang bereaksi dengan
FeCl3 yang akan menghasilkan perubahan warna noda menjadi coklat kehitaman. Reaksi ini
terjadi melalui mekanisme dimana FeCl3 akan berikatan dengan gugus hidroksil pada fenol,
sementara atom klor dan hidrogen yang terlepas akan membentuk HCl. Sesuai dengan
penellitian Harbone, 1987, sampel akan positif mengandung fenol jika noda berwarna hijau,
merah, ungu, biru, atau hitam yang kuat. Sehingga pada praktikum kali ini benar bahwasanya
kulit (Punica granatum L) positif mengandung asam galat sesuai literatur dan standar asam
galat, sedangkan kelompok senyawa senyawa fenolik lain seperti seperti flavonoid, tannin, dan
terpenoid perlu dilakukan uji lebih spesifik.

21
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang didapatkan pada praktikum kali ini diantaranya adalah:
 Berdasarkan literatur, kulit buah delima memiliki banyak kandungan dan khasiat yang
berbeda-beda, yaitu: (1) pelletierene sebagai antihelmintes; (2) granatin sebagai
hepatotoksik dan antioksidan, betulic acid sebagai antihelmintes, antibacterial,
antikanker, antiinflamasi, antimalarial, antiviral; (3) ursolic acid sebagai analgesic,
antiarthritis, antibacterial, antioksidan, antikanker; (4) eligatanin sebagai antialergik
dan antioksidan; (5) casuarin sebagai antioksidan; (6) ellagic acid sebagai antikanker,
antikatarak, antiseptic, antiviral, antioksidan; (7) friedelin sebagai antiinflamasi,
diuretik; (8) isopelletierine midriasis, laksatif; (9) punicalalgin sebagai antioksidan
(Duke, 2010).
 Dalam pembuatan obat herbal terstandar pelu diperhatikan bahwa derajat kehalusan
simplisia merupakan hal yang dapat mempengaruhi pada proses penarikan zat
metabolit pada saat proses pembuatan dekok.
 Warna dekok yang dihasilkan sudah sesuai, yaitu berwana coklat tua yang
menunjukkan banyak senyawa yang terekstrasi atau dekok semakin pekat.
 Berdasarkan hasil analisis KLT, Rf sampel 1 sebesar 0,2875, Rf sampel 2 sebesar 0,3
dan Rf standar sebesar 0,3375. Nilai Rf tersebut tidak berbada jauh, sehingga nilai Rf
pada percobaan telah memasuki rentang Rf yang baik dan sampel dapat dikatakan
memiliki karakteristik yang sama atau mirip dengan strandar yaitu asam galat yang
termasuk senyawa fenolik.
 Hasil reaksi dengan FeCl3 menunjukkan warna noda hitam dimana artinya dekok
mengandung senyawa fenolik lain seperti seperti flavonoid, tannin, dan terpenoid.

B. Saran
Disarankan untuk menutup panci dan sesekali pengadukan ketika pemanasan,
terutama untuk simplisia yang mengandung minyak atsiri agar tidak hilang kandungan
minyak atsiri pada dekok yang dibuat.

22
Lampiran 1. Dokumentasi Praktikum

Peralatan yang Penimbangan serbuk Pengukuran air 100 Simplisia yang


digunakan simplisia ml menggunakan sudah ditimbang
gelas ukur dan air yang sudah
diukur dimasukkan
dalam panci

Pemanasan dan Pembuatan fase gerak Dekok yang sudah Air panas untuk
pengukuran suhu klt dipanaskan 30 menit serkai dekok
dekok

Proses serkai dekok Memeras dekok yang Menuangkan dekok Proses penotolan
sudah diserkai pada botol yang dekok pada fase
sudah dikalibrasi diam

23
Pengecekan noda Proses eluasi KLT Hasil eluasi KLT Analisis dengan
setelah penotolan densitometer

Kromatogram Persiapan Setelah pemberian


pemberian cairan cairan penampak
penampak noda noda

24
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Aktsar Roskiana., Juwita, Siti Afrianty Daniya Ratulangi1, Abdul Malik. 2015.
Penetapan Kadar Fenolik dan Flavonoid Total Ekstrak Metanol Buah dan Daun
Patikala (Etlingera elatior (Jack)R.M.SM). Pharm Sci Res ISSN 2407-2354. Volume 2.
No.1, 1-9

Akter, S., Sarker. A., Hossain. M.S. 2013. Antidiarrhoeal Activity of Rind of Punica
Granatum: International Current Pharmaceutical Journal. 2 (5): 101-103.
Anonim. 1995. Farmakope Indonesia IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.

Anonim. 2008. Farmakope Herbal Indonesia. Jakarta : PT. ISFI Penerbitan

Ansel, H. C., Pengantar Bentuk sediaan Farmasi, edisi 4, diterjemahkan oleh Farida Ibrahim,
Penerbit UI press, Jakarta, 1989.

BPOM RI. 2010. Acuan Sediaan Herbal Vol. 5 Ed 1. Jakarta: BPOM RI

Budka, D. (2013). Active Ingredients,Their Bioavailabilityand The Health Benefits Of The


Punica Granatum Linn (Pomegranate). Bangalore: Front picture: Cleanfoods Ltd.
Budka, F. 2008. Active Ingredients, Their Bioavaibility and The Health Benefit of Punica
Granatum Linn (Pomegranate). Accessed : 10-12-2009.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000, Acuan Sediaan Herbal, 121-125,


Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Djamal, R., Prinsip-Prinsip bekerja Dalam Bidang Kimia Bahan Alam, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Padang, 1990.

Duke, J.A. 2010. Handbook of Medical Herbs, Second Edition, ISBN: 978-
0849312847 CRC Press LLC,

Ewing, Galen Wood. 1985. Instrumental of Chemical Analysis  Fifth edition. Singapore:


McGraw-Hill

Harbone, J.B. 1987. Metode Fitokimia, Ed II. Bandung: ITB Press.

25
Harbone,J.B dan Wiliam C.A, 2001, Anthocyanins and other Flavonoids. The Royal Society
of Chemistry. Nat Prod Rep. 18 : 310-333.

Henriette’s Herbal. Granatum (U.S.P) – Pomegranate. 1995. Online https://www.henriettes-


herb.com/eclectic/kings/punica.html diakses tanggal 14 Maret 2020 pukul 14.20.

Ismail, Tariq., Sestili, Piero., Akhtar, Saeed. 2012. Pomegranate Peel and Fruit Extracts: A
Review of Potential Anti-inflammatory and Anti-infective Effects. Journal Of
Ethnopharmacology.

Jurenka, J. 2008. Therapeutic applications of pomegranate (Punica granatum L): A review.


Altern. Med. Rev., 13, No. 2, 128-144

Jurenka, Julie.2008. Theurapeutic Applications of Pomegranate (Punica Granatum L.): A


Review. Alternative Medicine Review. Vol. 13. No. 2.

Lansky EP, Newman RA. 2007. Punica granatum (pomegranate) and its potential for
prevention and treatment of inflammation and cancer. J Ethnopharmacol.

Lansky, E., &Halim, A (2009). Oxidative stress in liver tissue of rat induced by chronic
systemic hypoxia. Makara kesehatan, Vol. 13, No 1, 34-435

Lipsy P.2010. Thin Layer Chromatography Characterization of the Active Ingredients in


Excedrin and Anacin. USA: Department of Chemistry and Chemical Biology, Stevents
Institute of Technology.

Madhawati, R. 2012, Si Cantik Delima (Punica granatum) Dengan Sejuta Manfaat


Antioksidan sebagai bahan Alternatif Alami Tampil Sehat dan Awet Muda. Malang:
Universitas Negeri Malang Press.

Prihantoro, Teguh., Indra, Rasjad., Sumarno. 2006. Efek Antibakteri Ekstrak Kulit Buah
Delima (Punica granatum) Terhadap Shigella Dysentriae Secara In Vitro. Jurnal
Kedokteran Brawijaya. Vol. XXII. No. 03. FK UB : Malang.

Sasongkawati, R. 2013. 13 Terapi Buah Sakti Penghancur Penyakit. Cetakan I. Yogyakarta:


Indoliterasi. Halaman 57,58,62.
Sastrohamidjojo,H. 2002. Kromatografi Edisi Kedua. Yogyakarta: Penerbit Liberty.

Shellard, E.J. 1975. Quantitative Paper and Thin Layer Chromatography. New York:
Academic Press.

Sudjijo, 2014. Sekilas Tanaman Delima Dan Manfaatnya. Solok Sumatra Barat: Balai
Penelitian Tanaman Buah Tropika.

26
Supayang Voravuthikunchai, Treechada Shirirak, Surasak Limsuwan, Thanomjit
Supawita,Tetsuya Iida, Takehi Honda. Inhibitory Effects Of Active Compounds From
Punica Granatum Pericarp On Verototoxin Production By Enterohemorrhagic
Escherichia. 2005. Coli157:H7. (online) ( http:/jhs.pharm.or.jp/51(5)/51_590.pdf ,
diakses tanggal 14 Maret 2020).

Suprihatin. 1992. Candida dan Kandidiasis Pada Manusia. FK UI : Jakarta.

Sutrisno. 1986. Elektronika Teori dan Penerapannya. Bandung : ITB

Syamsu hidayat, S. dan Hutapea, R. 2001. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Jakarta:
Depkes RI.

Utami, Prapti. 2008. Buku Pintar Tanaman Obat. Agromedia: Jakarta

Voigt, R., Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, edisi ke-5, UGM Press, Yogyakarta, 1995.

Weerakkody, W. A. P., Jayakody, J. A. L. P. 2012. Bioactive Properties of Fruit Juice


Pomegranate (Punica granatum L.) Grown In Dry Regions of Sri Lanka. Tropical
Agricultural Research. 23(4). 370-375

27
28

Anda mungkin juga menyukai