Anda di halaman 1dari 34

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Diabetes Mellitus

2.1.1 Pengertian Diabetes Mellitus

Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2016, Diabetes mellitus


adalah suatu penyakit kronis dimana organ pankreas tidak memproduksi cukup
insulin atau ketika tubuh tidak efektif dalam menggunakannya. Diabetes
mellitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk
heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat (Price
dan Wilson, 2006). Hiperglikemia atau terjadinya peningkatan kadar gula
darah adalah salah satu efek yang terjadi jika penyakit diabetes tidak terkontrol
dan lambat laun akan mengakibatkan kerusakan diberbagai sistem di dalam
tubuh khususnya saraf dan pembuluh darah. Diabetes mellitus merupakan
penyakit metabolik yang berlangsung lama atau kronis yang ditandai dengan
peningkatan kadar gula darah sebagai akibat dari kelainan insulin, aktivitas
insulin ataupun sekresi insulin yang dapat menimbukan berbagai masalah
serius dan prevalensi dari penyakit diabetes mellitus ini berkembang sangat
cepat (Smeltzer &Bare, 2008). Berdasarkan dari beberapa definisi di atas,
diabetes mellitus adalah suatu kelainan metabolik yang ditandai dengan
peningkatan kadar gula darah yang dapat mengakibatkan kerusakan diberbagai
sistem tubuh manusia.

2.1.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus

Menurut ADA (2013) klasifikasi diabetes mellitus meliputi empat kelas klinis
yaitu :

1. Diabetes Mellitus tipe 1

Hasil dari kehancuran sel beta pankreas, biasanya menyebabkan defisiensi


insulin yang absolut atau tubuh tidak mampu menghasilkan insulin. Penyebab
dari diabetes mellitus ini belum diketahui secara pasti. Tanda dan gejala dari
diabetes mellitus tipe 1 ini adalah poliuria (kencing terus menerus dalam

8
9

jumlah banyak), polidipsia (rasa cepat haus), polipagia (rasa cepat lapar),
penurunan berat badan secara drastis, mengalami penurunan penglihatan dan
kelelahan.

2. Diabetes Mellitus tipe 2

Hasil dari gangguan sekresi insulin yang progresif yang menjadi latar belakang
terjadinya resistensi insulin atau ketidakefektifan penggunaan insulin di dalam
tubuh. Diabetes mellitus tipe 2 merupakan tipe diabetes yang paling banyak
dialami oleh seseorang di dunia dan paling sering disebabkan oleh karena berat
badan berlebih dan aktivitas fisik yang kurang. Tanda dan gejala dari diabetes
mellitus tipe 2 ini hampir sama dengan diabetes mellitus tipe 1, tetapi diabetes
mellitus tipe 2 dapat didiagnosis setelah beberapa tahun keluhan dirasakan oleh
pasien dan pada diabetes mellitus komplikasi dapat terjadi. Diagnosis klinis
diabetes mellitus umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas berupa
poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikeluhkan pasien adalah
lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta
pruritus vulva pada pasien wanita (Purnamasari, 2009).

3. Diabetes tipe spesifik lain

Diabetes tipe ini biasanya terjadi karena adanya gangguan genetik pada fungsi
sel beta, gangguan genetik pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas dan
dipicu oleh obat atau bahan kimia (seperti pengobatan HIV/AIDS atau setelah
transplantasi organ).

4. Gestational Diabetes

Diabetes tipe ini terjadinya peningkatan kadar gula darah atau hiperglikemia
selama kehamilan dengan nilai kadar glukosa darah normal tetapi dibawah dari
nilai diagnostik diabetes mellitus pada umumnya. Perempuan dengan diabetes
mellitus saat kehamilan sangat berisiko mengalami komplikasi selama
kehamilan. Ibu dengan gestational diabetes memiliki risiko tinggi mengalami
diabetes mellitus tipe 2 dikemudian hari. Gestational diabetes lebih baik
10

didiagnosa dengan pemeriksaan saat prenatal karena lebih akurat dibandingkan


dengan keluhan langsung yang dirasakan klien (Arisman, 2011).

Tabel 2.1 Klasifikasi diabetes mellitus sesuai dengan penyebab atau etiologi (Perkeni, 2011).

Tipe 1 Kerusakan sel beta pankreas, umumnya mengarah ke


defisiensi insulin absolut, biasanya disebabkan oleh
autoimun dan idiopatik.
Tipe 2 Bervariasi, bisa disebabkan oleh resistensi insulin yang
disertai insulin relatif sampai dengan defek sekresi
insulin disertai resistensi insulin.
Tipe lain Bisa disebabkan oleh defek genetik fungsi beta, defek
genetik kerja insulin, penyakit endokrin pankreas, oleh
karena obat-obatan, infeksi, ataupun penyakit genetik
lainnya.
Diabetes mellitus gestasional Intoleransi glukosa yang timbul atau terdeteksi pada
kehamilan pertama dan gangguan toleransi glukosa
setelah terminasi kehamilan.

2.1.3 Manifestasi Klinik Diabetes Mellitus

Adapun manifestasi klinis dari diabetes mellitus berdasarkan klasifikasinya


yaitu :

1. Diabetes Mellitus Tipe 1

Menurut Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 1 tahun


2015, sebagian besar penderita DM Tipe 1 mempunyai riwayat perjalanan
klinis yang akut. Poliuria, polidipsia, nokturia, enuresis, penurunan berat
badan yang cepat dalam 2-6 minggu sebelum diagnosis ditegakkan, kadang-
kadang disertai polifagia dan gangguan penglihatan. Manifestasi klinis pada
diabetes mellitus tipe 1 bergantung pada tingkat kekurangan insulin dan
gejala yang ditimbulkan bisa ringan hingga berat. Orang dengan DM Tipe 1
membutuhkan sumber insulin eksogen (eksternal) untuk mempertahankan
hidup.
11

2. Diabetes Mellitus Tipe 2

Penyandang DM tipe 2 mengalami awitan manifestasi yang lambat dan sering


kali tidak menyadari penyakit sampai mencari perawatan kesehatan untuk
beberapa masalah lain. Manifestasi yang biasa muncul yaitu poliuria dan
polidipsia, polifagia jarang dijumpai dan penurunan berat badan tidak terjadi.
Manifestasi lain juga akibat hiperglikemia: penglihatan buram, keletihan,
parastesia, dan infeksi kulit (Lemone, Burke, Bauldoff, 2015).

2.1.4 Diagnosis Diabetes Mellitus

Menurut Perkeni (2015), Diabetes Mellitus ditegakkan atas dasar


pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas
dasar adanya glukosuria. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.
Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Pemeriksaan glukosa
plasma puasa ≥126mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori
minimal 8 jam atau pemeriksaan glukosa plasma ≥200mg/dl 2 jam setelah
Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban 75 gram atau pemeriksaan
glukosa plasma sewaktu ≥200mg/dl dengan keluhan klasik atau pemeriksaan
GbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode High-Performance Liquid
Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi oleh National
Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).

ADA (2015) menyatakan bahwa diagnosis DM dapat dilakukan dengan


melihat manifestasi berupa gejala DM (poliuria, polidipsia, polifagia,
penurunan berat badan tanpa sebab) ditambah dengan kadar glukosa darah
sewaktu >200 mg/dL, atau kadar glukosa darah puasa >126 mg/dL atau kadar
glukosa darah 2 jam setelah dilakukan test toleransi glukosa oral (75 gram
glukosa yang dilarutkan) makan > 200 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan
minimal 2 kali dengan cara yang sama.
12

2.1.5 Patofisiologi Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus adalah kumpulan penyakit metabolik yang ditandai dengan


hiperglikemia akibat kerusakan sekresi insulin, kinerja insulin, atau keduanya.
Diabetes Tipe 1 adalah hasil dari interaksi genetik, lingkungan, dan faktor
imunologi yang pada akhirnya mengarah terhadap kerusakan sel beta
pankreas dan insulin defisiensi. Masa sel beta kemudian menurun dan sekresi
insulin menjadi semakin terganggu, meskipun toleransi glukosa normal
dipertahankan (Powers, 2010). DM Tipe 1 terjadi karena ketidakmampuan
untuk menghasilkan insulin karena sel-sel pankreas telah dihancurkan oleh
proses autoimun. Glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan
dalam hati meskipun tetap dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia
posprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup
tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring
keluar akibatnya glukosa tersebut dieksresikan dalam urin (glukosuria).
Eksresi ini akan disertai oleh pengeluaran cairan dan elekrolit yang
berlebihan, keadaan ini disebut diuresis osmotik. Pasien mengalami
peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsi) (ADA,
2012).

Pada diabetes Tipe 2 terdapat 2 masalah utama yang berhubungan dengan


insulin, yaitu: resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya
insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai
akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian
reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada
diabetes tipe 2 disertai dengan penurunan reaksi intrasel, dengan demikian
insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh
jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya
glukosa dalam darah harus terdapat peningkatan insulin yang disekresikan.
Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi
insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat
yang normal atau sedikit meningkat. Namun, jika sel-sel tidak mampu
mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin maka kadar glukosa akan
13

meningkat dan terjadi diabetes tipe 2. Meskipun terjadi gangguan sekresi


insulin yang merupakan ciri khas diabetes tipe 2, namun terdapat jumlah
insulin yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan
keton. Oleh karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe 2.
Meskipun demikian, diabetes tipe 2 yang tidak terkontrol dapat menimbulkan
masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler
nonketotik. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat dan
progresif, maka awitan diabetes tipe 2 dapat berjalan tanpa terdeteksi,
gejalanya sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas,
poliuria, pilidipsia, luka pada kulit yang tidak sembuh-sembuh, infeksi dan
pandangan yang kabur (Smeltzer & Bare, 2008).

2.1.6 Komplikasi Diabetes Mellitus

Menurut Lemone, Burke & Bauldoff tahun 2015, komplikasi pada diabetes
mellitus terbagi dalam komplikasi akut dan komplikasi kronik.

1. Komplikasi Akut
Komplikasi akut terdiri dari hiperglikemia, diabetik ketoasidosis (DKA), dan
hiperglikemik hiperosmolar (HHS).

a. Hiperglikemia
Menurut International Society for Pediatrics and Adolescent Diabetes (2007),
hiperglikemia adalah suatu keadaan kadar gula darah sewaktu ≥ 11,1 mmol/L
(200 mg/dL) ditambah dengan gejala diabetes atau kadar gula darah puasa
(tidak mendapatkan masukan kalori setidaknya dalam 8 jam sebelumnya) ≥
7,0 mmol/L (126 mg/dL). Masalah utama akibat hiperglikemia pada
penyandang DM adalah DKA dan HHS, dua masalah lain adalah fenomena
fajar dan fenomena somogyi. Fenomena fajar adalah kenaikan glukosa darah
antara jam 4 pagi dan jam 8 pagi yang bukan merupakan respons terhadap
hipoglikemia. Penyebab pastinya tidak diketahui namun bisa dipastikan
dikarenakan oleh peningkatan hormon pertumbuhan pada malam hari.
Fenomena somogyi adalah kombinasi hipoglikemia selama malam hari
14

dengan pantulan kenaikan glukosa darah di pagi hari terhadap kadar


hiperglikemia (Corwin, 2009).

b. Diabetik Ketoasidosis (DKA)


Diabetik Ketoasidosis (DKA) adalah keadaan dekompensasi kekacauan
metabolik yang ditandai dengan oleh trias DKA yaitu hiperglikemia, asidosis
dan ketosis yang merupakan salah satu komplikasi akut metabolik diabetes
mellitus yang paling serius dan mengancam nyawa (Masharani, 2010).
Keberhasilan penatalaksanaan DKA membutuhkan koreksi dehidrasi,
hiperglikemia, asidosis dan kelainan elektrolit, identifikasi faktor presipitasi
komorbid dan yang terpenting adalah pemantauan kondisi pasien terus
menerus (Yehia, Epps, Golden, 2008).

c. Hiperglikemik Hiperosmolar (HHS)


HHS ditandai dengan osmolaritas plasma 340 mOsm/L atau lebih (kisaran
normal adalah 280-300 msOsm/L), naiknya kadar glukosa darah dengan cepat
(lebih dari 600 mg/dl dan sering kali 1000-2000 mf/dl), dan perubahan
tingkat kesadaran yang berat. Faktor pemicu HHS yang paling umum adalah
infeksi. Manifestasi gangguan ini dapat muncul dari 24 jam hingga 2 minggu.
Manifestasi dimulai dengan hiperglikemia yang menyebabkan haluaran urine
sehingga menyebabkan plasma berkurang dan laju GFR menurun. Akibatnya
glukosa ditahan dan air menjadi hilang, glukosa dan natrium akan menumpuk
di darah dan meningkatkan osmolaritas serum yang akhirnya menyebabkan
dehidrasi berat, yang mengurangi air intraseluler di semua jaringan termasuk
otak (Soewondo, Pradana, 2009).

2. Komplikasi Kronik
Komplikasi kronis terdiri atas komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular.
Komplikasi makrovaskular diantaranya adalah penyakit pada kardiovaskular,
penyakit arteri koroner, penyakit serebrovaskular, hipertensi, dan penyakit
vaskuler perifer dan infeksi. Sedangkan komplikasi mikrovaskular
diantaranya adalah retinopati, nefropati, ulkus kaki, neuropati sensorik dan
neuropati otonom yang akan menimbulkan berbagai perubahan pada kulit dan
otot (Rochman, 2006).
15

a. Perubahan pada Sistem Kardiovaskular


Makrosirkulasi (pembuluh darah besar) pada penyandang DM mengalami
perubahan akibat aterosklerosis, trombosit, sel darah merah, dan faktor
pembekuan yang tidak normal serta adanya perubahan dinding arteri. Faktor
risiko lain yang menimbulkan perkembangan penyakit makrovaskular pada
DM adalah hipertensi, hiperlipidimia, merokok, dan kegemukan. Perubahan
mikrosirkulasi pada penyandang DM melibatkan kelainan struktur di
membran basalis pembuluh darah kecil dan kapiler. Efek perubahan pada
mikrosirkulasi memengaruhi semua jaringan tubuh tetapi paling utama
dijumpai pada mata dan ginjal (Smeltzer & Bare, 2008).

b. Penyakit Arteri Koroner


Penyakit arteri koroner adalah suatu penyakit akibat terjadinya sumbatan pada
arteri koroner. Penyakit arteri koroner merupakan faktor risiko utama
terjadinya infark miokard pasien DM, khususnya DM tipe 2 yang usia nya
sudah paruh baya hingga lansia. Penyandang DM yang mengalami infark
miokard akan berisiko mengalami gagal jantung kongestif sebagai komplikasi
infark (AHA, 2015).

c. Hipertensi
Hipertensi merupakan komplikasi umum pada DM yang menyerang sekitar
75% penyandang DM dan merupakan faktor risiko utama pada penyakit
kardiovaskular dan komplikasi mikrovaskular seperti retinopati dan nefropati.
Hubungannya dengan DM tipe 2 sangatlah kompleks, hipertensi dapat
membuat sel tidak sensitif terhadap insulin (resisten insulin) (Mihardja,
2009). Padahal insulin berperan meningkatkan ambilan glukosa di banyak sel
dan dengan cara ini juga mengatur metabolisme karbohidrat, sehingga jika
terjadi resistensi insulin oleh sel, maka kadar gula di dalam darah juga dapat
mengalami gangguan (Guyton, 2008).

d. Stroke (Cedera Serebrovaskular)


Penyandang DM khususnya lansia dengan DM Tipe 2, dua hingga empat kali
lebih sering mengalami stroke (CDC, 2014). Pasien dengan diabetes mellitus
biasanya akan mengalami viskositas darah atau terjadi kekentalan pada darah
16

sehingga memicu terjadinya trombosis yang akhirnya akan menyebabkan


terjadinya sumbatan pada pembuluh darah besar (makrovaskuler) dan
pembuluh darah kecil (mikrovaskuler). Pada pembuluh darah besar akan
menyebabkan aliran darah ke jantung, serebral dan ekstremitas terganggu.
Ketika terjadi gangguan pada aliran darah ke serebral maka akan terjadi
stroke (Price & Wilson, 2006).

e. Penyakit Vaskular Perifer


Kerusakan sirkulasi vaskular perifer oleh karena aterosklerosis menyebabkan
insufisiensi vaskular perifer dengan klaudikasi (nyeri) intermiten di tungkai
bawah dan ulkus pada kaki. Sumbatan dan trombosis di pembuluh darah
besar, dan arteri kecil dan arteriol, serta perubahan fungsi neurologis dan
infeksi mengakibatkan gangrene (nekrosis atau kematian jaringan). Gangrene
akibat DM merupakan penyebab terbanyak amputasi non-traumatik di
tungkai bawah. Pada penyandang DM, gangrene kering paling banyak terjadi,
yang dimanifestasikan dengan jaringan yang dingin, kering, mengerut, dan
berwarna hitam di jari kaki. Gangrene biasanya dimulai dari ibu jari kaki dan
bergerak ke arah proksimal kaki (Smeltzer & Bare, 2008).

f. Retinopati Diabetik
Retinopati diabetik adalah istilah untuk retina yang terjadi pada penyandang
DM. Struktur kapiler retina mengalami perubahan aliran darah, yang
menyebabkan iskemia retina dan kerusakan sawar retina-darah. Retinopati
diabetik merupakan penyebab terbanyak kebutaan pada orang yang berusia
antara 20 dan 74 tahun (CDC, 2014).

g. Nefropati Diabetik
Nefropati diabetik adalah penyakit ginjal yang ditandai dengan adanya
albumin dalam urine, hipertensi, edema, dan insufisiensi ginjal progresif.
Nefropati terjadi pada 30%-40% penyandang DM tipe 1 dan 15-20% dengan
tipe 2 (Aminoff, 2009).
17

h. Perubahan pada Saraf Perifer dan Otonom


Neuropati perifer dan viseral adalah penyakit pada saraf perifer dan saraf
otonom. Pada penyandang DM, penyakit ini seringkali disebut neuropati
diabetik. Etiologi neuropati diabetik mencakup penebalan dinding pembuluh
darah yang memasok saraf, yang menyebabkan penurunan nutrien,
demielinisasi sel-sel Schwan yang mengelilingi dan menyekat saraf yang
memperlambat hantaran saraf. Manifestasi yang ditimbulkan tergantung pada
letak lesi (Alport & Sander, 2012).

i. Neuropati Viseral
Neuropati viseral atau sering disebut neuropati otonom menyebabkan
berbagai manifestasi bergantung pada area SSO yang terkena. Neuropati ini
dapat mencakup gangguan berkeringat, fungsi pupil tidak normal, gangguan
kardiovaskular, gangguan gastrointestinal, gangguan genitourinari (Bril,
England, Franklin et al, 2011).

j. Perubahan Mood
Penyandang DM baik tipe 1 maupun tipe 2 menjalani ketegangan kronik
hidup dengan perawatan diri kompleks dan berisiko tinggi mengalami depresi
dan distres emosional spesifik karena DM. Depresi mayor dan gejala depresi
mempengaruhi 20% penyandang DM yang membuatnya menjadi dua kali
lebih sering terjadi di kalangan penyandang DM dibanding populasi umum
(Brian dkk, 2010).

k. Peningkatan Kerentanan Terhadap Infeksi


Penyandang DM mengalami peningkatan risiko terjadinya infeksi. Hubungan
pasti atara infeksi dan DM tidak jelas, tetapi banyak gangguan yang terjadi
akibat komplikasi diabetik memicu seseorang mengalami infeksi. Kerusakan
vaskular dan neurologis, hiperglikemia, dan perubahan fungsi neutrofil
dipercaya menjadi penyebabnya (Matfin & Porth, 2009).

l. Penyakit Periodontal
Meskipun penyakit periodontal tidak terjadi lebih sering pada penyandang
DM, tetapi dapat memburuk dengan cepat, khususnya jika DM tidak
18

terkontrol dengan baik. Dipercayai bahwa penyakit ini disebabkan oleh


mikroangipati, dengan perubahan pada vaskularisasi gusi. Akibatnya,
gingivitis (inflamasi gusi) dan periodontitis (inflamasi tulang di bawah gusi)
terjadi (Longo, Fauci, Kasper, Hauser, Jameson, Loscalzo, 2011).

m. Komplikasi yang Mengenai Kaki


Tingginya insidens baik amputasi maupun masalah kaki pada pasien DM
merupakan akibat angiopati, neuropati, dan infeksi. Penyandang DM berisiko
tinggi mengalami amputasi di ekstremitas bawah dengan peningkatan risiko
pada mereka yang sudah menyandang DM lebih dari 10 tahun. Neuropati
diabetik pada kaki menimbulkan berbagai masalah karena sensasi sentuhan
dan persepsi nyeri tidak ada, penyandang DM dapat mengalami beberapa tipe
trauma kaki tanpa menyadarinya. Orang tersebut berisko tinggi mengalami
trauma di jaringan kaki menyebabkan terjadinya ulkus. Infeksi umumnya
terjadi pada jaringan yang mengalami trauma atau ulkus (Smeltzer & Bare,
2008). Meskipun banyak kemungkinan sumber trauma kaki yang
menyebabkan ulkus kaki diabetik pada penyandang DM seperti pecah-pecah
dan fisura yang disebabkan oleh kulit kering atau infeksi misalnya kaki atlet,
lepuh yang disebabkan oleh pemakaian sepatu yang tidak pas, tekanan dari
stoking atau sepatu, kapalan, kuku kaki tumbuh masuk ke dalam/kesalahan
dalam memotong kuku kaki dan trauma langsung (terpotong, memar, atau
luka bakar). Penting untuk mengingat bahwa penyandang neuropati diabetik
yang mengalami kehilangan persepsi nyeri mungkin tidak menyadari bahwa
telah terjadi cedera (Suyono, 2009).

2.1.7 Manajemen Diabetes Mellitus

Tujuan utama dari manajemen diabetes mellitus yaitu mencapai level kadar
glukosa normal (euglikemia) tanpa hipoglikemia dan tanpa mengganggu
aktivitas pasien. Menurut Smeltzer dan Bare (2008) penatalaksanaan DM
terbagi menjadi lima manajemen yaitu diet atau manajemen nutrisi, latihan
atau exercise, pemantauan atau monitoring terhadap glukosa dan keton, terapi
farmakologis dan pendidikan atau edukasi.
19

a. Diet atau Manajemen Nutrisi


Diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar dari penatalaksanaan
diabetes. Penatalaksanaan nutrisi pada diabetes diarahkan untuk mencapai
tujuan yaitu memberikan semua unsur makanan essensial (misalnya vitamin
dan mineral), mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai,
memenuhi kebutuhan energi, mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap
harinya dengan mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal
melalui cara-cara yang aman dan praktis, menurunkan kadar lemak darah jika
meningkat. Prinsip dalam perencanaan makanan pada pasien DM harus
memperhatikan pertimbangan seperti kebiasaan tiap individu, jumlah kalori,
disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut dan kegiatan
jasmani (Smeltzer & Bare, 2008). Diet dengan kalori sangat rendah, pada
umumnya tidak efektif untuk mencapai penurunan berat badan jangka lama,
dalam hal ini perlu ditekankan bahwa tujuan diet adalah pengendalian
glukosa dan lipid (Waspadji, 2009). Selanjutnya perubahan disesuaikan
dengan pola makan pasien. Standar yang dianjurkan untuk komposisi
makanan : karbohidrat (KH) 60-70%, protein 10-15%, lemak 20-25%
(Sukardji, 2009 dalam Soegondo, Soewondo & Subekti, 2007).

b. Latihan Jasmani/Olahraga
Latihan jasmani atau olahraga sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes
karena efeknya dapat menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi
faktor risiko kardiovaskuler. Latihan akan menurunkan kadar glukosa darah
dengan meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki
pemakaian insulin. Latihan juga akan mengubah kadar lemak darah yaitu
meningkatkan kadar HDL kolesterol dan menurunkan kadar kolesterol total
serta trigliserida. Manfaat olah raga bagi pasien DM yaitu meningkatkan
kontrol gula darah, menurunkan risiko penyakit kardiovaskuler (jika
dilakukan minimal 30 menit, 3-5 kali/minggu sampai HR mencapai 220-
umur/menit), menurunkan berat badan, menguatkan tulang dan otot,
mengurangi komplikasi dan menimbulkan kegembiraan (Smeltzer & Bare,
2008). Sebelum melakukan olah raga, pasien DM yang mengikuti latihan
20

yang panjang harus memeriksa kadar glukosa darahnya sebelum, selama dan
sesudah periode latihan tersebut. Pasien DM harus memakan camilan setiap
½-1 jam yang mengandung karbohidrat jika diperlukan untuk
mempertahankan glukosa darah (Ilyas, 2009). Jenis olah raga yang dianjurkan
pada pasien DM yaitu olahraga yang bersifat rekresional maupun profesional
seperti berjalan kaki, bersepeda, berenang, yoga dan senam kaki (Smeltzer et
al., 2010).

c. Pemantauan atau Monitoring terhadap glukosa dan keton


Pemantauan glukosa dan keton oleh penyandang diabetes mellitus merupakan
hal yang penting dilakukan untuk mencegah dari keadaan hipoglikemia dan
hiperglikemia sehingga meminimalkan komplikasi. Pemantauan yang
dilakukan oleh penyandang diabetes mellitus secara langsung juga
bermanfaat untuk mengevaluasi regimen atau pengobatan yang selama ini
diperoleh untuk menormalkan kadar glukosa dan keton (Smeltzer & Bare,
2008).

d. Terapi Farmakologis
Intervensi farmokologis ditambahkan jika sasaran kadar glukosa darah belum
tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani. Intervensi
farmakologis meliputi : Obat Anti Hipoglikemik Oral (OHO) dan insulin
(Lemone, Burke, Bauldoff, 2015). Tujuan terpai insulin adalah menjaga kadar
gula darah normal atau mendekati normal. Pada diabetes mellitus tipe 2 akan
membutuhkan insulin apabila terapi jenis lain tidak dapat mencapai target
pengendalian kadar glukosa darah dan keadaan stress berat seperti pada
infeksi berat, tindakan pembedahan, infark miokard akut atau stroke
(Soegondo, 2009). Pada diabetes tipe 2, insulin mungkin diperlukan sebagai
terapi jangka panjang untuk mengendalikan kadar glukosa darah jika diet dan
obat OHO tidak berhasil mengontrolnya (Smeltzer & Bare, 2010).

e. Edukasi
Edukasi yang diberikan pada pasien DM pada dasarnya adalah supaya pasien
mampu meningkatkan pengetahuan terkait penyakit yang dideritanya
sehingga mampu mengendalikan penyakitnya dan mengontrol gula darah
21

dalam keadaan mendekati normal dan dapat mencegah komplikasi. Edukasi


yang dapat diberikan pada penderita diabetes mellitus yaitu pemantauan
glukosa mandiri, perawatan kaki, ketaatan penggunaan obat-obatan, berhenti
merokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori dan diet
tinggi lemak (Ndraha, 2014). Salah satu ketrampilan yang dapat diberikan
bagi penderita diabetes mellitus adalah dengan pemberian pendidikan
kesehatan mengenai perawatan kaki. Menurut Indian Health Diabetes Best
Practice (2011) perawatan kaki adalah perilaku yang dilakukan secara
mandiri atau oleh tenaga kesehatan yang meliputi menjaga kegiatan setiap
hari, memotong kuku kaki dengan benar, memilih alas kaki yang baik, dan
pengelolaan cedera awal pada kaki termasuk kesehatan secara umum dan
gawat darurat pada kaki. Perawatan kaki dapat dilakukan oleh pasien dan
keluarga secara mandiri dirumah. Apabila pasien tidak bisa melaksanakan
perawatan kaki secara mandiri misalnya pada kondisi tertentu (stroke) yang
membutuhkan bantuan maka kelurga dapat membantu dalam perawatan kaki.
Tenaga kesehatan berkewajiban memberikan edukasi bagi pasien dan
keluarga untuk melakukan perawatan kaki secara mandiri dirumah. Menurut
WHO (2012) aktifitas mandiri dapat dilakukan oleh seseorang mulai dari usia
18-64 tahun.

Penderita DM harus menjaga kaki mereka dengan baik oleh karena terjadinya
kerusakan saraf pada ujung kaki pasien (Mahfud, 2012). Perawatan kaki yang
buruk bagi pasien diabetes mellitus akan mengakibatkan masalah kesehatan
yang serius diantaranya adalah amputasi kaki. American Diabetes Association
(2012) merekomendasikan pemeriksaan kaki harian oleh pasien diabetes
mellitus dan pemeriksaan tahunan oleh tenaga kesehatan, tindakan awal ini
mampu mencegah ataupun mengurangi sebesar 50% dari seluruh kejadian
amputasi yang disebabkan oleh penyakit diabetes mellitus.

Menurut Smeltzer dan Bare (2008), terdapat beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi perawatan kaki pada pasien diabetes mellitus, yaitu :

1. Usia
22

Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang.


Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan
pola pikirnya, sehingga pengetahuan dan praktek yang diperolehnya semakin
membaik (Desalu et al., 2011). Menurut penelitian Jordan (2011) wanita yang
berusia <65 tahun lebih rajin untuk membersihkan kaki dibandingkan wanita
yang berusia >65 tahun karena membutuhkan dukungan atau support system
dalam melakukan perawatan kaki.

2. Jenis kelamin
Penelitian Hasnain dan Sheikh (2009), mengatakan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara jenis kelamin dengan pengetahuan dan praktek tentang
perawatan kaki, dimana perempuan lebih rendah pengetahuan tentang
perawatan kaki dibandingkan laki-laki. Namun dalam melaksanakan
perawatan kaki perempuan lebih baik dibandingkan laki-laki, pernyataan ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Salmani dan Hosseini (2010)
menyatakan bahwa wanita lebih baik dalam melakukan perawatan kaki
dibandingkan laki-laki.

3. Tingkat Pendidikan
Pasien diabetes mellitus yang memiliki tingkat pendidikan tinggi cenderung
lebih terampil dalam melakukan perawatan kaki dibandingkan dengan pasien
diabetes mellitus yang tidak berpendidikan (Salmani dan Hosseini, 2010).

4. Komplikasi Kaki Diabetes Mellitus


Komplikasi kaki diabetes mellitus yang berhubungan dengan perawatan kaki
seperti ketidakmampuan merasakan sensasi pada kaki, efek merokok pada
sirkulasi dan tidak dapat merasakan kaki sendiri (Mahfud, 2012).

5. Pengetahuan dan Edukasi Yang Pernah Di Dapat Oleh Pasien


Kurangnya pengetahuan pasien tentang perawatan kaki menjadi salah satu
hambatan bagi pasien dalam melaksanakan perawatan kaki (Khamseh,
Vatankah dan Baradaran, 2007). Selain itu penelitian Ekore et al. (2010),
menunjukkan bahwa kesadaran untuk melalukakn perawatan kaki pada klien
diabetes mellitus sangat kurang dan kurangnya pendidikan atau penyuluhan
23

dari penyedia layanan kesehatan. Beberapa cara yang dapat dilakukan oleh
penderita DM dalam merawat kakinya sehingga mencegah terjadi ulkus kaki
diabetik yaitu (Indian Health Diabetes Best Practice, 2011) :

1. Menurut Heitzman (2010), memeriksa kondisi kaki setiap hari dapat


dilakukan dengan cara :

a. Selalu mencuci tangan sebelum melakukan pemeriksaan keadaan kaki


b. Kenalilah kondisi punggung dan telapak kaki, perhatikan jika terdapat
tanda-tanda seperti kering, pecah-pecah, luka, teraba hangat saat diraba
(terjadi perubahan suhu), adanya pembengkakan
c. Kenali adanya bentuk kuku yang tumbuh kearah dalam (ingrown toenails)
d. Periksa kaki setiap hari dengan menggunakan cermin

2. Menurut Monalisa & Gultom (2009), menjaga kebersihan kaki setiap hari
dengan cara :

a. Bersihkan kaki pada saat mandi dengan air bersih (suam-suam kuku) dan
sabun. Jangan memeriksa suhu air dengan kaki, gunakan termometer atau
siku.
b. Rendam kaki dengan air hangat di dalam baskom atau ember selama 2-3
menit (pada pasien dengan neuropati sensorik atau kondisi tertentu,
mintalah bantuan keluarga untuk melakukan pengecekan suhu air terlebih
dahulu)
c. Gosok kaki hingga ke sela-sela jari kaki dengan sikat lunak menggunakan
sabun yang lembut
d. Jika kuku kotor bersihkan kuku dengan sikat lunak
e. Gunakan batu apung untuk melembutkan kapalan (callus)
f. Bilas kaki dengan menggunakan air hangat
g. Keringkan kaki dengan menggunakan handuk atau kain bersih yang
lembut sampai ke sela-sela jari kaki
h. Gunakan pelembab (lotion) pada daerah kaki yang kering, lotion dapat
digunakan pada bagian atas atau bawah dan jangan memakai pelembab
pada sela-sela jari kaki karena sela-sela jari akan menjadi lembab dan
24

dapat menimbulkan tumbuhnya jamur. Jangan gunakan alkohol 70% untuk


membersihkan area di sela-sela jari kaki. Saat menggunakan pelembab
diusahakan tidak menggosok tetapi seperti memijat kaki.

3. Menurut Waspadji (2009), memotong kuku yang baik dan benar dengan
cara :

a. Potong kuku dilakukan minimial 1 minggu sekali


b. Bila kuku keras sulit dipotong, rendam kaki dengan air hangat (37 oC)
selama sekitar 5 menit. Potong kuku lebih mudah dilakukan setelah mandi.
c. Jangan menggunakan pisau cukur atau pisau biasa karena dapat
menyebabkan luka pada kaki, gunakanlah gunting kuku khusus untuk
memotong kuku.
d. Gunting kuku kaki secara lurus jangan mengikuti bentuk normal jari-jari
kaki, jangan terlalu dekat dengan kulit, kikir kuku agar tidak tajam. Bila
kuku keras dan sulit dipotong, rendam dengan air hangat selama 5 (lima)
menit.
e. Klien yang mengalami kesulitan melihat kaki mereka, mencapai jari-jari
kaki mereka, atau memiliki kuku kaki menebal harus dibantu oleh orang
lain atau perawat kesehatan untuk memotong kuku kaki. Menghilangkan
kalus untuk mengurangi tekanan di bawah tulang dan dapat membantu
membebaskan beban tekanan setempat untuk mengurangi kemungkinan
pembentukan ulkus.

4. Menurut Heitzmen (2010), memilah alas kaki yang baik dengan cara :

a. Selalu gunakan alas kaki di dalam rumah ataupun diluar rumah.


b. Alas kaki yang baik adalah sepatu karena dapat melindungi kaki secara
utuh. Jika klien ingin membeli sepatu sebaiknya pada sore hari ketika kaki
membesar. Kaki harus diukur setiap membeli sepatu karena struktur
berubah. Kedua bagian sepatu kiri dan kanan, harus dicoba sebelum
membeli.
c. Pakailah kaos kaki/stocking yang pas dan bersih terbuat dari bahan yang
mengandung katun dan wol. Jangan menggunakan kaos kaki yang terlalu
25

ketat dan jangan menggunakan bahan kaos kaki yang kasar sehingga tidak
melukai kulit. Kaos kaki harus diganti setiap hari untuk mencegah
kelembaban dari keringat yang bisa menyebabkan iritasi kulit.
d. Mengenakan pakaian hangat, pada musim dingin menggunakan kaos kaki
katun untuk melindungi kulit dari cuaca dingin dan basah.
e. Gunakan sepatu atau sandal sesuai dengan ukuran dan enak dipakai.
f. Pilih sepatu dengan ukuran yang pas dan tertutup atau sebaiknya bentuk
sepatu pada bagian ujung sepatu lebar (sesuai lebar jari-jari kaki). Jari kaki
harus masuk semua kedalam sepatu, tidak ada yang menekuk. Sisakan
sebanyak kira-kira 2,5 cm antara ujung kaki dengan sepatu.
g. Jangan memaksakan kaki menggunakan sepatu yang tidak sesuai dengan
ukuran kaki (kebesaran/kekecilan).
h. Periksa bagian dalam sepatu sebelum digunakan
i. Bagi wanita, jangan gunakan sepatu dengan hak yang terlalu tinggi karena
dapat membebani tumit kaki.

5. Menurut National Institutes of Health dan American Diabetes Associaton


untuk mencegah dan mengelola terjadinya cidera (Heitzman, 2010) yaitu :

a. Selalu memakai alas kaki yang lembut baik di dalam ruangan maupun di
luar ruangan.
b. Selalu memeriksa bagian dalam sepatu atau alas kaki sebelum
memakainya.
c. Selalu mengecek suhu air ketika ingin menggunakan.
d. Hindari merokok untuk pencegahan kurangnya sirkulasi darah ke kaki.
e. Hindari menekuk kaki dan melipat kaki terlalu lama untuk
mempertahankan aliran darah ke kaki.
f. Hindari berdiri dalam satu posisi kaki pada waktu yang lama.
g. Jika ada lecet, tutup luka tersebut dengan kain kasa kering setelah
diberikan antiseptic (povidon iodine) di area cidera atau bisa bersihkan
luka dengan kasa kering dan cairan infus atau NaCl. Jangan gunakan
alkohol untuk membersihkan luka karena akan bersifat mengiritasi kulit.
Periksa apakah ada tanda-tanda radang seperti pembengkakan, keluarnya
26

nanah. Jika terdapat kutil pada kaki bisa dioleskan krim yang mengandung
asam salisilat yang dapat dibeli di apotek tanpa resep dokter. Pada
umumnya kutil dapat hilang sendiri, namun apabila kutil tidak kunjung
hilang, maka segera pergi ke dokter untuk mendapatkan pengobatan lebih
lanjut.
h. Segera menuju pelayanan kesehatan untuk memperoleh penanganan lebih
lanjut jika luka, lecet, atau bengkak tidak mulai sembuh setelah satu hari
serta periksakan kaki ke dokter secara rutin.
i. Melakukan senam kaki secara rutin 5x seminggu dan dapat dilakukan
dalam waktu 15-30 menit, hal ini tentunya dikondisikan dengan keadaan
pasien. Manfaat dilakukannya senam kaki adalah dapat membantu
memperbaiki sirkulasi darah, memperkuat otot-otot kecil kaki, mencegah
terjadinya kelainan bentuk kaki, meningkatkan kekuatan otot betis, otot
paha, mengatasi keterbatasan pergerakan sendi dan mencegah komplikasi
diabetes (Hendromartono, 2006).
Indikasi dari senam kaki ini dapat diberikan kepada seluruh penderita
diabetes mellitus dengan tipe 1 maupun 2, namun sebaiknya diberikan
sejak pasien didiagnosa menderita diabetes mellitus sebagai tindakan
pencegahan dini. Senam kaki ini juga dikontraindikasikan pada klien yang
mengalami perubahan fungsi fisiologis seperti dispneu, nyeri dada, orang
yang depresi, khawatir atau cemas. Keadaan-keadaan seperti ini perlu
diperhatikan sebelum dilakukan tindakan senam kaki. Selain itu kaji
keadaan umum dan keadaan pasien apakah layak untuk dilakukan senam
kaki tersebut, cek tanda-tanda vital dan status respirasi, kaji status emosi
pasien, serta perhatikan indikasi dan kontraindikasi dalam pemberian
tindakan senam kaki. Alat yang digunakan dalam melaksanakan senam
kaki adalah kursi dan koran (Smeltzer & Bare, 2008).
27

Langkah-langkah dalam melakukan senam kaki :

1. Posisikan pasien duduk tegak diatas bangku dengan kaki menyentuh


lantai.

Gambar 2.1 Gerakan pertama

2. Dengan meletakkan tumit dilantai, jari-jari kedua belah kaki diluruskan


keatas lalu dibengkokkan kembali kebawah seperti cakar ayam, lakukan
gerakan ini sebanyak 10 kali.

Gambar 2.2 Gerakan kedua

3. Dengan meletakkan salah satu tumit dilantai, angkat telapak kaki ke atas.
Pada kaki lainnya, jari-jari kaki diletakkan di lantai dengan tumit kaki
28

diangkatkan ke atas. Cara ini dilakukan bersamaan pada kaki kiri dan
kanan secara bergantian dan diulangi sebanyak 10 kali

Gambar 2.3 Gerakan ketiga

4. Tumit kaki diletakkan di lantai. Bagian ujung kaki diangkat ke atas dan
buat gerakan memutar dengan pergerakkan pada pergelangan kaki
sebanyak 10 kali.

Gambar 2.4 Gerakan keempat

5. Jari-jari kaki diletakkan dilantai. Tumit diangkat dan buat gerakan


memutar dengan pergerakkan pada pergelangan kaki sebanyak 10 kali.
29

Gambar 2.5 Gerakan kelima

6. Angkat salah satu lutut kaki, dan luruskan. Gerakan jari-jari kedepan
turunkan kembali secara bergantian kekiri dan ke kanan. Ulangi sebanyak
10 kali.

Gambar 2.6 Gerakan keenam

7. Luruskan salah satu kaki diatas lantai kemudian angkat kaki tersebut dan
gerakkan ujung jari kaki kearah wajah lalu turunkan kembali kelantai.
Ulangi sebanyak 10 kali. Lakukan pada kedua kaki.

8. Angkat kedua kaki lalu luruskan. Ulangi langkah ke 7, namun gunakan


kedua kaki secara bersamaan. Ulangi sebanyak 10 kali

9. Luruskan salah satu kaki dan angkat, putar kaki pada pergelangan kaki,
tuliskan pada udara dengan kaki dari angka 0 hingga 10 lakukan secara
bergantian.

Gambar 2.7 Gerakan ketujuh


30

10. Letakkan sehelai koran dilantai. Bentuk kertas itu menjadi seperti bola
dengan kedua kaki. Kemudian, buka bola itu menjadi lembaran seperti
semula menggunakan kedua kaki. Cara ini dilakukan hanya sekali saja.

11. Lalu robek koran menjadi 2 bagian, pisahkan kedua bagian koran.
12. Sebagian koran di sobek-sobek menjadi kecil-kecil dengan kedua kaki.
13. Pindahkan kumpulan sobekan-sobekan tersebut dengan kedua kaki lalu
letakkan sobekkan kertas pada bagian kertas yang utuh.
14. Bungkus semuanya dengan kedua kaki menjadi bentuk bola.

2.2 Pendidikan Kesehatan

2.2.1 Pengertian Pendidikan Kesehatan

Pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah suatu kegiatan atau usaha untuk
menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok, atau individu
sehingga sasaran memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang lebih baik
dan berpengaruh terhadap perilakunya sehingga seseorang mau melakukan
tindakan untuk memelihara, dan meningkatkan taraf kesehatannya.
(Notoatmodjo, 2010). Hasil yang diharapkan dari suatu pemberian pendidikan
kesehatan adalah adanya perubahan perilaku kesehatan untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan oleh seseorang melalui pemberian promosi
kesehatan (Notoadmojo, 2012). Menurut Nursalam (2010) pendidikan
kesehatan adalah pelayanan profesional yang diberikan oleh perawat dalam
pencegahan penyakit sebagai upaya preventif yang dilakukan di tatanan klinis
ataupun non klinis.
Dari beberapa definisi di atas, pendidikan kesehatan adalah suatu cara untuk
menyampaikan informasi mengenai masalah kesehatan yang bertujuan untuk
meningkatkan derajat kesehatannya yang dilakukan oleh seseorang yang
profesional.
31

2.2.2 Tujuan Pendidikan Kesehatan

Menurut Mubarak dan Iqbal (2009) tujuan utama pendidikan kesehatan yaitu
:

a. Menetapkan masalah dan kebutuhan mereka sendiri.

b. Memahami apa yang dapat mereka lakukan terhadap masalahnya dengan


sumber daya yang ada pada mereka ditambah dengan dukungan dari luar.
c. Memutuskan kegiatan yang paling tepat guna untuk meningkatkan taraf
hidup sehat dan kesejahteraan masyarakat

2.2.3 Metode Pendidikan Kesehatan

Menurut Notoatmodjo (2012) terdapat 3 macam metode pendidikan


kesehatan, yaitu :

1. Metode Pendidikan Individual (perorangan)


Metode ini digunakan pada seseorang yang memiliki ketertarikan pada
sesuatu perubahan perilaku. Bentuk pendekatan ini antara lain :

a. Bimbingan dan Penyuluhan (guidance and counceling)


Metode ini lebih menekankan pada kontak antara seseorang dengan petugas
lebih intensif. Setiap masalah yang dihadapi oleh klien akan dibantu
penyelesaiannya. Akhirnya klien tersebut akan dengan sukarela dan
berdasarkan kesadaran, penuh perhatian, akan menerima perilaku tersebut
(mengubah perilaku).

b. Wawancara (Interview)
Metode ini digunakan untuk menggali informasi kepada seseorang yang akan
dilakukan penyuluhan misalnya mengenai alasan melakukan perubahan

2. Metode Pendidikan Kelompok

Dalam pemilihan metode kelompok harus dipertimbangkan besarnya sasaran


yang akan diberikan pendidikan kesehatan.
32

1. Kelompok Besar
Kelompok besar dikategorikan jika peserta penyuluhan lebih dari 15 orang.
Metode yang biasa digunakan yaitu ceramah dan seminar.

a. Ceramah
Ceramah adalah pidato yang disampaikan oleh seorang pembicara dihadapan
sekelompok pengunjung. Metode ceramah baik digunakan untuk semua
tingkat pendidikan baik tinggi ataupun rendah (Depkes RI, 2009)

b. Seminar
Seminar adalah bentuk penyajian yang biasanya menggunakan para ahli
untuk menyampaikan suatu materi, sehingga cocok diberikan pada tingkat
pendidikan menengah keatas.

2. Kelompok Kecil
Kelompok kecil dikategorikan jika peserta penyuluhan kurang dari 15 orang.
Metode yang biasa digunakan yaitu diskusi, curah pendapat (brain stroming),
bola salju (snow balling), kelompok-kelompok kecil (buzz group),
memainkan peran (role play), dan permainan simulasi (simulation game).

a. Diskusi Kelompok
Diskusi kelompok adalah percakapan yang dipersiapkan diantara tiga orang
atau lebih mengenai suatu bahasan topik tertentu. Diskusi kelompok biasanya
diawali dengan pemimpin diskusi memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada
forum sehingga tercipta diskusi kelompok (Depkes RI, 2009).

b. Curah Pendapat (brain stroming)


Curah pendapat merupakan modifikasi dari diskusi kelompok, dimana saat
diskusi kelompok akan diberikan suatu permasalahan dan masing-masing
anggota kelompok akan mengemukakan pendapatnya kemudian dicatat di
sebuah papan. Pada saat anggota kelompok mengemukakakn pendapatnya,
33

tidak ada yang boleh memotong ataupun menyela pendapat anggota


kelompok.

c. Bola Salju (snow balling)


Pada awalnya anggota diskusi dibagi dalam 1 pasangan yang terdiri dari 2
orang, kemudian akan dilemparkan suatu masalah untuk didiskusikan. Setelah
beberapa menit akan digabungkan antara pasangan 1 dengan pasangan
lainnya sehingga terbentuk 2 pasangan yang terdiri dari 4 orang untuk
mendiskusikan hal yang sama. Beberapa menit kemudian hal yang sama
dilakukan sehingga terciptalah suatu kelompok diskusi.

d. Kelompok-Kelompok Kecil (buzz group)


Pada saat diskusi, kelompok langsung dibagi kedalam kelompok-kelompok
kecil kemudian diberikan masalah untuk didiskusikan. Selanjutnya tiap-tiap
kelompok akan menyampaikan kesimpulannya dan kembali akan
didiskusikan.

e. Memainkan Peran (role play)


Diskusi kelompok ini dilakukan dengan cara memainkan peran atau melakoni
suatu peran tanpa diadakan latihan sebelumnya, yang biasanya dilakukan oleh
dua orang atau lebih yang nantinya akan digunakan sebagai bahan analisa
kelompok (Depkes RI, 2009).

f. Permainan Simulasi (simulation game)


Metode ini digunakan untuk mempermudah seseorang menerima pesan
pendidikan kesehatan dimana dilakukan dengan cara permainan. Simulation
game merupakan gabungan antara role play dengan diskusi kelompok.

3. Metode Pendidikan Massa


Metode ini digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan kepada
masyarakat luas seperti ceramah umum, pidato, dan billboard (papan yang
berisikan informasi-informasi kesehatan)
34

2.5.4 Media Pendidikan Kesehatan

Notoatmodjo (2012) mengatakan alat bantu pendidikan yaitu alat-alat yang


digunakan oleh pendidik dalam menyampaikan bahan pendidikan atau
pengajaran. Media pendidikan dapat memiliki tiga fungsi utama yaitu dapat
memotivasi minat dan tindakan seseorang, menyajikan informasi, dan
memberi instruksi (Kemp dan Dayton dalam Arsyad, 2011). Selain itu Arsyad
(2011) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa kriteria dalam pemilihan
media pendidikan kesehatan yaitu sesuai dengan tujuan utama yang ingin
dicapai, mendukung isi pelajaran yang sifatnya fakta, konsep, prinsip atau
generalisasi, praktis, luwes, dan bertahan lama, penggunaannya sesuai dengan
kelompok sasaran. Adapun pengelompokkan jenis-jenis media pendidikan
kesehatan (Ashar, 2011).

a. Media Visual yaitu suatu media yang menggunakan indra penglihatan


misalnya media cetak seperti buku, jurnal, peta, gambar.
b. Media Audio yaitu suatu media yang menggunakan indra pendengaran
seperti tape recorder dan radio.
c. Media Audiovisual adalah suatu media yang menggabungkan audio dan
visual atau suatu media yang menggabungkan antara indra penglihatan dan
pendengaran dalam satu proses kegiatan (Rusman, 2012). Peter salim
memaknai audiovisual sebagai sesuatu yang berkenaan dengan
penerimaan dan pemancaran gambar. Tidak jauh berbeda dengan definisi
tersebut, Smaldino (2008) mengartikannya dengan “The storage of visual
and their display on tlevisison-type screen” (Penyimpanan/perekaman
gambar dan penayangannya pada layar televisi). Audiovisual adalah media
instruksional modern yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi meliputi media yang dapat dilihat dan didengar misalnya
rekaman video, film, slide suara, dan lain sebagainya. Pada dasarnya
media ini terdiri atas audiovisual diam, yaitu media yang menampilkan
suara dan gambar diam seperti film bingkai suara (sound slide) dan film
rangkai suara sehingga kemampuan media ini dianggap lebih baik dan
menarik (Sanjaya,2010). Contoh dari media audiovisual yaitu program
35

televisi/pendidikan, video/televisi intruksional, dan program slide suara


(sound slide). Arsyad (2007) menyatakan bahwa dalam pengaplikasiannya,
audiovisual bertujuan untuk hiburan, dokumentasi, dan pendidikan, selain
itu audiovisual dapat menyajikan informasi, memaparkan proses,
menjelaskan konsep-konsep yang rumit, mengajarkan keterampilan,
menyingkat atau memperpanjang waktu dan mempengaruhi sikap serta
pengetahuan. Adapun manfaat dan karakteristik dari media audiovisual
dalam meningkatkan efektifitas dan efisiensi proses penyampaian
informasi kesehatan (Munadi, 2008; Smaldino, 2008) yaitu :

1. Penyampaian informasi kesehatan tidak terbataskan jarak dan waktu


2. Pemberian tayangan audiovisual mampu menggambarkan peristiwa
yang sudah maupun yang akan dialami secara realistis dalam waktu
yang singkat
3. Dapat diulang-ulang bila perlu untuk menambah kejelasan akan
informasi yang dibutuhkan
4. Pesan yang disampaikan cepat dan mudah diingat
5. Memperjelas penjelasan yang tidak dapat dipahami secara lisan dan
memberikan penjelasan secara realistis
6. Mampu berperan sebagai media utama untuk mendokumentasikan
realistis kondisi kesehatan yang dialami, mampu berperan sebagai
storyteller yang dapat menumbuhkan imajinasi dalam penerimaan
informasi dan memotivasi dalam penerapan informasi yang diperoleh.

d. Multimedia yaitu suatu media yang melibatkan beberapa jenis media dan
peralatan secara terintegrasi dalam suatu proses atau kegiatan pemberian
pendidikan kesehatan.

2.3 Konsep Pengetahuan

2.3.1 Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi setelah orang melakukan
pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif
36

merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan


seseorang. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya perilaku terbuka (open behaviour) dan perilaku yang didasari
pengetahuan yang umumnya bersifat tetap (Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan
merupakan hasil dari membuka diri yang terjadi melalui suatu proses sensoris
khususnya mata dan telinga terhadap suatu objek (Setiawati, 2008).

2.3.2 Tingkat Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2010), tingkat pengetahuan manusia dibagi menjadi 6


tingkatan yaitu :

a. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima (Notoatmodjo, 2010).

b. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar
objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara
benar. Orang yang lebih paham terhadap objek atau materi harus dapat
menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan
sebagainya objek yang dipelajari (Arikunto, 2009).

c. Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi real sebanarnya. Aplikasi disini dapat
diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip,
dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain (Dimiyati & Mudjiono,
2009).
37

d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu onjek
kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam suatu struktur organisasi
tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain (Sudjana, 2010).

e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi
baru dari formulasi-formulasi yang ada (Setiawati, 2008).

f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian berdasarkan
suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria
yang telah ada (Himsyah, 2012).

2.3.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Mubarak (2007) mengatakan terdapat beberapa faktor-faktor yang


mempengaruhi pengetahuan yaitu :

a. Tingkat Pendidikan
Menurut Notoatmodjo (2013) pendidikan sangat penting karena akan
mempengaruhi seseorang dalam penerimaan informasi, karena semakin tinggi
pendidikan seseorang, makin banyak juga pengetahuan yang dimilikinya.
Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap
seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan.

b. Umur
Bertambahnya umur seseorang dapat berpengaruh pada pertambahan
pengetahuan yang diperolehnya. Namun pada umur tertentu seperti usia lanjut
lebih dari 60 tahun akan mengalamai penurunan fungsi dalam tubuh termasuk
produktivitas dan intelegensia (Mubarak, 2007). Menurut WHO (2013),
batasan lansia terbagi menjadi 4 bagian yaitu usia pertengahan/midle age (45-
38

59 tahun), usia lanjut/elderly (60-74 tahun), usia lanjut tua/old (75-90 tahun),
usia sangat tua/very old (90 tahun keatas).

c. Lingkungan
Dalam lingkungan seseorang akan memperoleh pengetahuan yang akan
berpengaruh pada cara berpikir, dimana seseorang akan mempelajari hal-hal
yang baik dan juga buruk tergantung dengan sifat kompleksnya
(Notoatmodjo, 2013).

d. Sosial Budaya
Seseorang memperoleh suatu kebudayaan dalam hubungannya dengan orang
lain, karena hubungan ini seseorang mengalami proses belajar dan
memperoleh suatu pengetahuan (Mubarak, 2007).

e. Informasi
Informasi yang diperoleh dari media massa, media cetak, televisi, radio,
majalah, ataupun pertemuan seperti seminar, pemberian pendidikan kesehatan
disuatu tempat akan menambah pengetahuan serta memiliki pengaruh besar
terhadap pembentukan opini dan kepercayaan seseorang, sehingga informasi
berpengaruh terhadap pengetahuan seseorang (Rahmayani, 2010).

f. Pengalaman
Pengalaman pribadi dapat digunakan sebagai upaya untuk memperoleh
pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman
yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa
lalu (Notoatmodjo, 2013). Sebagai contoh, klien yang mengalami diabetes
mellitus yang lama (>5 tahun) dapat mempelajari perilaku berdasarkan
pengalaman yang diperolehnya selama menjalani penyakit tersebut sehingga
klien dapat memahami tentang hal-hal terbaik yang harus dilakukannya
tentang perawatan kaki sehingga pengalaman akan mempengaruhi
pengetahuan (Bai, Chiou & Chang, 2009).
39

2.3.4 Cara Mengukur Pengetahuan Perawatan Kaki

Pengukuran pengetahuan yang dilakukan dengan wawancara atau angket


yang menanyakan tentang isi materi yang akan diukur dengan subyek
penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui
dapat disesuaikan dengan tingkatan pengetahuan. Menurut Diani (2013),
salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur pengetahuan
perawatan kaki adalah dengan kuesioner Diabetes Foot Care Knowledge
Scale (DFKS) yang dikembangkan oleh Shiu & Wong (2011). Komponen
kuesioner terdiri dari pengetahuan perawatan kaki yang terdiri dari
memeriksa kondisi kaki setiap hari, menjaga kebersihan kaki setiap hari,
memotong kuku dengan cara yang baik dan benar, memilih alas kaki yang
benar, pencegahan dan pengelolaan cedera pada kaki serta faktor risiko
terjadinya luka/ulkus pada kaki. Kuesioner ini diterjemahkan melalui cara
back translation. Jumlah total pertanyaan dari kuesioner pengetahuan
perawatan kaki sejumlah 65 item pertanyaan yang terdiri dari 14 poin dengan
pilihan jawaban benar dan salah. Setiap jawaban yang benar diberi nilai 1 dan
jawaban salah diberi nilai 0. Sehingga skor total adalah 65, selanjutnya
dikategorikan menjadi 2 kategori yaitu pengetahuan kurang jika skor yang
benar kurang dari mean 41,61 dan pengetahuan baik jika skor sama dengan
atau lebih besar dari mean 41,61.

2.4 Pengaruh Pemberian Pendidikan Kesehatan Dengan Metode


Audiovisual Terhadap Pengetahuan Perawatan Kaki Pasien DM
Tipe 2

Menurut Rachmayanti (2009) mengatakan manusia hanya mampu mengingat


informasi sebanyak 50% dari apa yang dilihat dan didengar. Sebanyak 80%
informasi mampu diserap dengan baik apabila dilihat, didengar dan
dilaksanakan dengan baik. Penggunaan audiovisual dalam penyampaian
informasi kesehatan akan membantu memperjelas informasi yang
disampaikan karena lebih menarik, lebih interaktif, dan dapat mengatasi
batasan ruang, waktu dan indera manusia (Hujair, 2011).
40

Penelitian Tjahyono (2013) menyimpulkan bahwa edukasi melalui pemberian


audiovisual mempengaruhi pengetahuan dan kepatuhan pasien DM Tipe 2.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Kosti dan Kanakari (2012)
menyimpulkan bahwa pemberian pendidikan kesehatan dengan menggunakan
media audiovisual dapat membantu individu dan keluarga mendapatkan
pengetahuan, ketrampilan dalam perawatan kaki, dan mendapat dukungan
dari tenaga kesehatan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien diabetes
mellitus. Selain itu penelitian Wulandari, Nurchayati dan Hasanah (2014)
menyimpulkan bahwa pemberian pendidikan kesehatan dengan menggunakan
media audiovisual efektif terhadap pengetahuan pelaksanaan perawatan kaki
yaitu senam kaki pada pasien DM tipe 2.

Hasil penelitian Kurniawan, Wipa, Maneewat, Petpichetchian (2011)


bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari program self-management (SM)
dalam upaya pencegahan dan penanganan perawatan kaki diabetik. Hasil dari
penelitian ini adalah program self-management efektif dalam meningkatkan
pencegahan dan penanganan awal perawatan kaki pada pasien diabetik di
Indonesia. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Kafaie dan Noorbala
(2012) menyatakan pemberian pendidikan kesehatan mengenai perawatan
kaki dapat meningkatkan pengetahuan pasien diabetes mellitus dalam
mengetahui berbagai jenis masalah pada kaki dan sangat signifikan untuk
mencegah terjadinya ulserasi.

Penelitian Khamseh (2007) menyimpulkan bahwa kurangnya pengetahuan


pasien tentang perawatan kaki diabetes menyebabkan kurangnya praktik
perawatan kaki yang dilakukan oleh pasien. Pernyataan ini didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh (Ayu, Mirah, Damayanti & Santi, 2015)
menyatakan bahwa dengan diberikannya pendidikan kesehatan pada pasien
diabetes mellitus, dapat meningkatkan pengetahuan pasien mengenai
perawatan kaki sehingga mampu mencegah terjadinya ulkus kaki diabetik.

Perawatan kaki merupakan sebuah upaya pencegahan primer untuk mencegah


terjadinya ulkus diabetik pada pasien diabetes mellitus yang sudah menahun.
Hal ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesuksesan pada
41

tindakan pencegahan terhadap komplikasi yang dialami penderita diabetes


mellitus (Smeltzer & Bare, 2008). Pernyataan ini sesuai dengan artikel yang
mereview mengenai pencegahan kaki diabetes melalui perawatan kaki sangat
efektif dalam meningkatkan kesehatan pada pasien diabetes mellitus untuk
mencegah terjadinya komplikasi (Aalaa, Malazy, Sanjari, Peimani dan
Tehrani, 2012). Penelitian lainnya mengatakan bahwa terdapat hubungan
antara perawatan kaki dengan risiko terjadinya ulkus diabetik. Pasien diabetes
mellitus yang tidak patuh menjalani perawatan kaki memiliki risiko tinggi
terjadinya ulkus diabetik. Berdasarkan hal tersebut, pasien perlu mendapatkan
pendidikan kesehatan serta memeriksakan kaki secara teratur (Ardi,
Damayanti, Sudirman, 2014).

Anda mungkin juga menyukai