Anda di halaman 1dari 34

BAB 5

Benzodiazepine

Obat-obat golongan benzodiazepin adalah obat-obatan yang bersifat mendesak, dengan sedikit
bervariasi derajatnya, lima efek farmakologi utamanya : anticemas, sedasi, antikejang, relaksasi
otot-otot rangka melalui efek stimulasi terhadap medula spinalis, dan amnesia anterograde
(memperoleh atau mengkode suatu informasi yang baru) (Asthon, 1994). Potensi efek amnesia
obat-obat golongan benzodiazepin lebih besar daripada efek sedasi mengakibatkan efek amnesia
dalam durasi yang lebih lama daripada efek sedasinya. Informasi yang tersimpan (pada amnesia
retrograde) tidak diubah oleh obat-obat golongan benzodiazepin (Ghoneim dan Mewald, 1990).
Obat-obat golongan benzodiazepin tidak menghasilkan efek relaksasi yang adekuat untuk
prosedur-prosedur pembedahan, tidak pula pengaruh obat golongan ini digunakan sebagai obat
blok neuromuskular sesuai kebutuhan dosisnya. Keefektifan obat-obat golongan benzadiazepin,
dihubungkan dengan frekuensi kecemasan dan insomnia dalam praktek klinik, menyebabkan
penggunaan luas obat-obat golongan ini. Sebagai contoh, diperkirakan bahwa 4% dari populasi
menggunakan “obat tidur” kadang-kadang diberikan selama satu tahun, dan 0,4% dari populasi
menggunakannya untuk mendapatkan efek hipnosis lebih dari satu tahun (Nowell et al., 1997).
Meskipun penggunaan obat-obat golongan benzodiazepin efektif untuk pengobatan insomnia
akut, keefektifan penggunaannya untuk mengelola insomnia kronik menurun. Dibandingkan
dengan obat-obat golongan barbiturat, obat-obat benzodiazepin mempunyai kecenderungan
untuk menghasilkan toleransi yang lebih kecil, potensi penyalahgunaanpun lebih kecil, batas
amannya lebih besar setelah terjadi overdosis, dan menimbulkan interaksi obat yang serius lebih
sedikit dan lebih kecil daripada obat-obat golongan barbiturat. Tidak seperti golongan barbiturat,
obat-obat golongan benzaodiazepin tidak menginduksi enzim-enzim mikrosomal hepar.
Golongan benzodiazepin secara intrinsik jauh lebih tidak membuat kecanduan daripada golongan
opoid, cocain, amphetamin atau barbiturat.
Benzodiazepin telah digantikan oleh golongan barbiturat untuk medikasi preoperatif dan
untuk menghasilkan sedasi selama pengawasan perawatan anestesi. Dalam hal ini, midazolam
telah digantikan oleh diazepam obat golongan benzodiazepin yang paling banyak digunakan
dalam periode preoperatif sebagai obat preoperatif dan obat sedasi (“kesadaran”) intravena (IV).
Selain itu, waktu paruh diazepam dan lorazepam panjang; karena itu, hanya midazolam yang
mungkin digunakan untuk pemberian jangka panjang ketika diinginkan proses recovery yang
cepat. Namun, waktu paruh yang lebih panjang dari lorazepam menjadikan obat ini sebagai
pilihan yang menarik untuk memfasilitasi sedasi pada pasien-pasien dengan lingkungan
perawatan yang kritis. Tidak seperti obat-obat lainnya yang diberikan secara intravena untuk
menghasilkan efek sistem syaraf pusat, benzodiazepin, sebagai suatu golongan dari obat-obatan,
ia secara khusus mempunyai antagonis farmakologi spesifik, yaitu flumazenil.

Hubungan Aktivitas Struktur


Secara struktur, obat-obat golongan benzodiazepin mirip dan menghasilkan banyak metabolit-
metabolit aktif (gambar. 5-1). Penamaan benzodiazepin menunjukkan bagian dari struktur kimia
yang disusun oleh cincin benzene yang digabungkan dengan tujuh cincin diazepin. Karena
semua obat-obat penting golongan benzodiazepin mengandung subtitusi 5-aryl dan 1,4-cincin
diazepine, penamaannya menjadi struktur 5-aryl-1,4-benzodiazepin.
Mekanisme Kerja
Obat-obat golongan benzodiazepin memperlihatkan semua efek farmakologi dengan cara
memfasilitasi kerja gamma-aminobutyric acid (GABA), sebuah neurotransmitter inhibitorik di
sistem syaraf pusat (gambar 5-2). Benzodiazepin tidak mengaktivasi reseptor GABAA tetapi
lebih ke memperbesar afinitas terhadap reseptor GABA (gambar 5-2) (Mohler dan Richards,
1988). Sebagai akibatnya, obat ini memacu peningkatan afinitas dari reseptor GABA sebagai
neurotransmitter inhibitorik, terdapat peningkatan pembukaan gerbang klorida mengakibatkan
peningkatan konduktansi klorida, menghasilkan hiperpolarisasi dari membran sel postsinaps dan
menyebabkan neuron postsinaps lebih tahan terhadap eksitasi. Ketahanan terhadap eksitasi ini
dianggap menjadi suatu mekanisme dimana obat-obat benzodiazepin menghasilkan efek
anxiolitik (anticemas), sedasi, amnesia anterograde, potensiasi alkohol dan antikejang serta efek
pelemas otot.
Mungkin efek sedasi dari benzodiazepin menggambarkan aktivasi subunit alfa-1 dari
reseptor GABAA, sedangkan efek anxiolitik (anticemas) adalah akibat dari aktivasi subunit alfa-2
(Low et al., 2000; McKernan et al., 2000). Reseptor GABAA yang mengandung subunit alfa-1
adalah subtipe yang paling banyak dari reseptor GABAA (kortek cerebri, kortek cerebelum,
thalamus) dengan jumlah kira-kira 60% dari reseptor GABAA di otak. Subunit alfa-2 adalah
yang paling sedikit dan terutama terdapat pada hipokampus dan amygdala. Susunan distribusi
dari reseptor ini adalah tetap dengan efek yang minimal dari obat-obat ini diluar sistem syaraf
pusat (efek sirkulasi minimal). Di masa yang akan datang, mungkin dibuat obat golongan
benzodiazepin yang secara selektif mengaktivasi reseptor subunit alfa-2 dan menghasilkan efek
anxiolitik tanpa efek sedasi. Fisiologi dari substansi endogen perkiraan yang bereaksi pada
reseptor GABAA masih belum jelas.
Reseptor GABAA adalah sebuah makromolekul yang secara fisik mengandung tempat
ikatan yang terpisah (terutama subunit alfa, beta dan gamma) tidak hanya untuk neurotransmitter
GABA dan obat-obat benzodiazepin tetapi juga obat-obat barbiturat, etomidat, propofol,
neurosteroid, dan alkohol. Bertindak pada satu reseptor dengan mekanisme yang berbeda, obat-
obat benzodiazepin, barbiturat, dan alkohol dapat menghasilkan efek sinergis untuk
meningkatkan inhibisi sistem syaraf pusat melalui reseptor GABAA. Dasar ini menjelaskan
sinergi farmakologi dari substansi-substansi ini dan yang mirip dengan substansi ini, resiko
overdosis pada kombinasi dapat mengakibatkan depresi sistem syaraf pusat yang membahayakan
kehidupan. Sinergi ini juga merupakan dasar farmakologi toleransi silang antara golongan yang
berbeda dari obat-obat ini dan tetap dengan penggunaan klinik dari golongan benzodiazepin
sebagai obat pilihan pertama untuk detoksikasi alkohol. Dan sebaliknya, benzodiazepin
mempunyai efek maksimal yang mencegah mereka dari melebihi kemampuan fisiologi dari
reseptor GABA. Toksisitas rendah dari obat-obat benzodiazepin dan kesesuaian dengan
keamanan klinik dikaitkan dengan pembatasan dari efek obat benzodiazepin pada proses
neurotransimi GABAergik.
Perbedaan dalam hal onset dan durasi kerja diantara obat-obat golongan benzodiazepin
yang diberikan umumnya menggambarkan adanya perbedaan dalam hal potensi (afinitas ikatan
reseptor), kelarutan lemak (kemampuan untuk melewati sawar otak dan redistribusi ke jaringan
perifer) dan farmakokinetik (penyerapan, distribusi, metabolisme dan eliminasi). Semua obat-
obat benzodiazepin sangat larut dalam lemak dan berikatan kuat dengan protein, khususnya
albumin. Hipoalbumin yang berhubungan dengan sirosis hepatis atau gagal ginjal kronik
mungkin meningkatkan fraksi obat benzodiazepin yang tidak terikat, akibatnya terjadi
peninggian efek secara klinis yang diakibatkan oleh obat ini. Setelah pemberian secara oral,
obat-obat benzodiazepin diserap dengan cepat di saluran pencernaan dan setelah pemberian
intravena benzodiazepin secara cepat masuk ke dalam sistem syaraf pusat dan organ-organ yang
mempunyai perfusi tinggi.

Sistem Transporter Nukleosida


Benzodiazepin mengurangi degradasi adenosin dengan menghambat transporter nukleosida,
yang mekanisme utamanya menghentikan efek adenosin melalui proses reuptake ke dalam sel
(Seubert et al., 2000). Adenosin merupakan regulator penting dari fungsi jantung (mengurangi
kebutuhan oksigen jantung dengan memperlambat denyut jantung dan menambah pengantaran
oksigen dengan menyebabkan vasodilatasi koroner) dan efek fisiologi ini menjadi efek
kardioproteksi selama terjadinya iskemik miokard.

Elektroencephalogram
Efek dari obat benzodiazepin itu tampak pada elektroencephalogram (EEG) hampir sama dengan
obat-obat barbiturat dalam arti bahwa aktivitas gelombang alfa menurun dan aktivitas gelombang
beta voltase-rendah naik. Pergantian dari aktivitas gelombang alfa ke gelombang beta ini terjadi
lebih pada lobus frontal dan area rolandik pada golongan benzodiazepin, yang mana, tidak
seperti pada barbiturat yang tidak menyebabkan penyebaran ke bagian posterior otak. Namum,
secara umum pada obat-obat barbiturat, efek toleransi obat benzodiazepin pada EEG tidak
terjadi. Berlawanan dengan golongan barbiturat dan propofol, midazolam tidak dapat
menghasilkan EEG isoelektrik.

Efek samping
Kelelahan dan mengantuk adalah efek samping umum pada pasien yang diberi obat golongan
benzodiazepin secara kronik. Efek sedasi itu dapat menurunkan performa, biasanya reda dalam
waktu 2 minggu. Pasien harus diberi instruksi untuk meminum obat benzodiazepin sebelum
makan dan tanpa disertai obat antasida karena makanan dan antasida dapat mengurangi proses
absorbsi di saluran pencernaan. Pemberian obat golongan benzodiazepin secara kronik dapat
mempengaruhi tekanan darah sistemik, denyut jantung atau ritme kardiak. Meskipun efek pada
pernafasan terlihat tidak ada, alangkah bijaksana untuk menghindari obat-obat ini pada pasien
dengan penyakit paru kronik yang ditandai dengan hipoventilasi dan/atau penurunan oksigenasi
arterial. Penurunan koordinasi motorik dan penurunan fungsi kognitif mungkin terjadi,
khususnya apabila obat golongan benzodiazepin digunakan dalam kombinasi dengan obat-obat
depresan sistem syaraf pusat. Pemberian obat benzodiazepin dalam jangka waktu yang pendek
(akut) mungkin menimbulkan amnesia anterograde sementara, khususnya jika diberikan bersama
dengan alkohol. Sebagai contoh, ada banyak laporan mengenai amnesia pada wisatawan-
wisatawan yang mengkonsumsi triazolam dikombinasi dengan alkohol untuk memudahkan tidur
pada penerbangan yang melalui beberapa zona waktu (Morris dan Ester, 1987).

Interaksi Obat
Obat golongan benzodiazepin secara sinergis menambah efek sedasi pada obat depresan sistem
syaraf pusat, meliputi alkohol, obat-obat anestesi inhalasi dan injeksi, obat golongan opoid dan
obat-obat alfa-2 agonis. Kebutuhan untuk obat anestesi inhalasi dan anestesi injeksi berkurang
dengan pemberian obat golongan benzodiazepin ini. Meskipun obat golongan benzodiazepin,
khususnya midazolam, menaikkan potensi efek depresi pernafasan pada penggunaan obat
golongan opoid, namun efek analgesik dari golongan opoid ini dikurangi oleh golongan
benzodiazepin ini (Gear et al., 1997; Gross et al., 1996). Tentu saja antagonis efek benzodiazepin
yaitu flumazenil mengakibatkan peninggian efek analgesik dari golongan opoid.

Aksis hipotalamus-pituitari adrenal


Supresi terhadap aksis hipotalamus-pituitari adrenal yang diinduksi oleh obat-obat benzodiazepin
didukung oleh bukti supresi level kortisol pada pasien yang diberi obat (Petraglia et al., 1986).
Pada hewan, alprazolam menyebabkan inhibisi sekresi hormon kortikosteroid dan kortisol yang
bergantung pada dosis (Kalogeras et al., 1990). Supresi ini meninggi dibandingkan dengan obat-
obat golongan benzodiazepin lainnya dan mungkin khasiat unik dari alprazolam berkontribusi
dalam perawatan depresi mayor.

Ketergantungan
Walapun pada dosis terapi obat-obat golongan benzodiazepin mungkin mengakibatkan
ketergantungan seperti yang ditunjukkan oleh gejala fisologi dan psikologi setelah dosis obat
dikurangi atau dihentikan. Gejala ketergantungan mungkin terjadi setelah >6 bulan penggunaan
obat-obat golongan benzodiazepin potensi rendah yang sering diresepkan. Hal ini sering disalah
artikan, menganggap ketergantungan sebagai bukti dari kecanduan tanpa perilaku mencari obat
yang tidak wajar. Gejala withdrawal (cepat marah, insomnia, tremor) mempunyai waktu onset
yang menggambarkan eliminasi waktu paruh obat telah berakhir. Secara khusus, gejala
withdrawal tampak dalam 1 sampai 2 hari untuk benzodiazepin short-acting dan dalam 2 sampai
5 hari untuk benzodiazepin dengan kerja yang lebih lama.

Penuaan
Penuaan dan penyakit hati mengakibatkan enzim glukoronidase berkurang pada jalur
metabolisme oksidatif. Mengenai hal ini, lorazepam, oksazepam dan temazepam dimetabolisme
hanya dengan proses glukoronidasi dan tidak mempunyai metabolit aktif. Untuk alasan ini, obat-
obat tersebut mungkin secara khusus dipilih bagi pasien-pasien usia tua yang menggunakan obat
golongan benzodiazepin, seperti diazepam, dan obat lain yang dimetabolisme dengan enzim
mikrosomal hepar menjadi metabolit aktif. Pasien tua mungkin pada hakekatnya juga sensitif
terhadap obat golongan benzodiazepin, hal ini memberikan gambaran bahwa respon yang
meninggi pada obat-obat ini yang terjadi dengan proses penuaan mempunyai komponen
farmakodinamik sebaik dengan komponen farmakokinetik. Reaksi oksidasi lebih dipengaruhi
oleh obat-obat lain yang diberikan dalam periode perioperatif.
Pemberian obat-obat golongan benzodiazepin dalam waktu yang lama mungkin
mempercepat penurunan fungsi kognitif pada pasien tua. Gejala withdrawal penggunaan obat
golongan benzodiazepin pada pasien tua meliputi kebingungan. Kebingungan setelah operasi
lebih sering terjadi pada pengguna obat golongan benzodiazepin dalam jangka waktu yang lama
(penggunaan harian untuk >1 tahun) daripada pengguna obat golongan benzodiazepin dalam
jangka waktu yang pendek atau bukan pengguna obat benzodiazepin (Kudoh et al., 2004).

Agregasi Trombosit
Obat-obat golongan benzodiazepin mungkin menghambat faktor aktivasi-trombosit yang
menginduksi aggregasi, mengakibatkan penghambatan pada aggregasi trombosit yang diinduksi
oleh obat ini. Penghambatan yang diinduksi midazolam pada aggregasi trombosit mungkin
menggambarkan perubahan membran trombosit (Sheu et al., 2002).

MIDAZOLAM
Midazolam adalah obat golongan benzodiazepin yang larut air dengan cincin imidazol dalam
strukturnya yang membuat stabil dalam larutan air dan dimetabolisme dengan cepat (Reves et al.,
1985). Obat golongan benzodiazepin ini telah menggantikan diazepam untuk penggunaan
medikasi preoperatif dan sedasi. Dibandingkan dengan diazepam, midazolam mempunyai
potensi dua sampai tiga kali. Bahkan, midazolam mempunyai afinitas terhadap reseptor
benzaodiazepin kira-kira dua kali afinitas diazepam. Seperti golongan benzodiazepin lainnya,
efek amnestik dari midazolam lebih kuat dari pada efek sedasinya. Dengan demikian, pasien
mungkin sadar selama pemberian midazolam tetapi pasti tidak mampu mengingat peristiwa dan
percakapan-percakapan (instruksi postoperatif) untuk beberapa jam.
Gambar 5-3. Pembukaan cincin yang reversibel dari midazolam diatas dan terjadi pada saat pH
< 4. cincin menutup pada saat pH > 4, perubahan bentuk midazolam larut air ke larut lemak.

Sediaan Komersial
pK dari midazolam adalah 6.15, yang mana hal ini memungkinkan sediaan garam yang larut air.
Sediaan larutan parenteral midazolam secara klinik dipertahankan (buffer) sampai kondisi asam
pH = 3.5. Hal ini penting karena midazolam memiliki sifat pembukaan-cincin yang dipengaruhi
oleh pH dimana cincin tetap terbuka pada pH < 4, dengan demikian mempertahankan kelarutan
air dari obat (Gambar 5-3). Cincin menutup pada pH > 4, seperti ketika obat ini terpapar pH
fisiologis, dengan demikian midazolam diubah menjadi obat yang tinggi kelarutan dalam lipid
(lihat Gambar 5-3).
Kelarutan air midazolam meniadakan kebutuhan sediaan pelarut, seperti propylene
glycol, yang dapat mengakibatkan iritasi vena atau mengganggu absorbsi setelah injeksi
intramuskuler (IM). Bahkan, midazolam menyebabkan efek minimal untuk tidak tidaknyaman
selama atau setelah injeksi IV atau IM. Midazolam cocok dilarutkan cairan Ringer-laktat dan
dapat dicampur dengan garam asam obat-obat lain, meliputi golongan opoid dan antikolinergik.

TABEL 5.1
PERBANDINGAN FARMAKOLOGI OBAT-OBAT GOLONGAN BENZODIAZEPIN
Dosis Equivalen Volume Distribusi Ikatan Protein Kliren Waktu paruh
(mg) (liter/kg) (%) (mL/kg/menit) eliminasi (jam)
Midazolam 0.15-0.3 1.0-1.5 96-98 '6-8 1-4
Diazepam 0.3-0.5 1.0-1.5 96-98 0.2-0.5 21-37
Lorazepam 0.05 0.8-1.3 96-98 0.7-1.0 10-20

Farmakokinetik
Midazolam mengalami penyerapan dengan cepat dalam saluran pencernaan dan cepat menembus
sawar otak. Meskipun memiliki kemampuan melintasi sawar otak dengan cepat, midazolam
diperkirakan mempunyai waktu keseimbangan efek-tempat yang lambat (0.9 sampai 5.6 menit)
dibanding dengan obat-obat lain seperti propofol dan thiopental. Mengenai hal ini, dosisi
intravena midazolam seharusnya disesuaikan jaraknya untuk membolehkan efek puncak secara
klinik untuk dicapai sebelum dosis ulangan dipertimbangkan. Hanya kira-kira 50% kadar
midazolam dari pemberian oral yang mencapai sirkulasi sistemik, hal ini menggambarkan efek
dari metabolisme lintas pertama hepar. Seperti semua obat-obat golongan benzodiazepin,
midazolam berikatan dengan protein plasma secara luas; ikatan ini tidak tergantung dengan
konsentrasi plasma dari midazolam (Tabel 5-1) (Greenblatt et al., 1984; Reves et al., 1985).
Durasi singkat dari midazolam dosis tunggal adalah akibat kelarutan lemak midazolam,
mendorong redistribusi cepat dari otak ke tempat jaringan inaktif sebaik dengan clearance-hepar.
Waktu paruh untuk diazepam dan lorazepam diperpanjang dibandingkan dengan midazolam,
penegasan rasionalitas dalam memilih midazolam kemudian dilanjutkan dengan infus dari obat
benzodiazepin dipilih.
Waktu paruh eliminasi midazolam adalah 1 sampai 4 jam, yang mana lebih pendek
daripada diazepam (lihat tabel 5-1) (Reves et al., 1985). Waktu paruh eliminasi mungkin menjadi
lebih lama 2x pada pasien-pasien tua, hal ini menggambarkan penurunan aliran darah ke hepar
yang dipengaruhi usia dan kemungkinan penurunan aktivitas enzim. Volume distribusi (Vd) dari
midazolam dan diazepam hampir sama, ini mungkin menggambarkan kesamaan kelarutan dalam
lemak dan kesamaan tingkat derajat ikatan protein. Pada pasien-pasien tua dan menderita
obesitas mengalami kenaikan dari volume distribusi (Vd) midazolam yang diakibatkan oleh
meningginya distribusi obat ke jaringan lemak perifer. Clearance midazolam lebih cepat daripada
diazepam, seperti diperlihatkan pada waktu-paruh. Karena perbedaan-perbedaan ini, efek sistem
syaraf pusat midazolam diharapkan lebih pendek daripada diazepam. Bahkan, tes fungsi mental
kembali ke normal dalam 4 jam setelah pemberian midazolam.
Penggunaan cardiopulmonary-bypass dikaitkan dengan penurunan konsentrasi plasma
midazolam dan meningkat pada akhir cardiopulmonary-bypass (Gedney dan Ghosh, 1995).
Perubahan-perubahan ini dihubungkan dengan proses redistribusi pada lapisan dasar cairan ke
dalam jaringan-jaringan tubuh. Sebagai tambahan, obat golongan benzodiazepin secara luas
berikatan dengan protein dan mengubah konsentrasi protein dan pH yang berhubungan dengan
penggunaan dan pengakhiran cardiopulmonary-bypass mungkin mempunyai efek yang
singnifikan pada fraksi obat tidak terikat dan fraksi aktif farmakologi obat ini. Waktu paruh
eliminasi midazolam diperpanjang setelah cardiopulmonary-bypass dibandingkan dengan nilai
yang didapat dari pasien-pasien yang tidak menjalani prosedur ini.

Gambar 5-4. metabolit utama midazolam, 1-hydroxymidazolam. Dalam jumlah yang lebih
sedikit dimetabolisme menjadi 4-hydoxymidazolam. (dari Reves JG, Fragen RJ, Vinik HR, et al.
Midazolam: pharmacology dan uses. Anestesiology 1985; 62:310-324; dengan izin).

Metabolisme
Midazolam dengan cepat dimetabolisme oleh hepar dan enzim cytocrome p-450 (CYP3A4) usus
kecil menjadi metabolit aktif dan inaktif (Gambar 5-4) (Reves et al., 1985). Metabolit utama
midazolam adalah 1-hydroxymidazolam, diperkirakan setengan dari aktivitas dari senyawa
asalnya (Johnson et al., 2002). Metabolit aktif ini dengan cepat dikonjugasi menjadi 1-
hydroxymidazolam glucoronid dan kemudian dibersihkan oleh ginjal. Metabolit glucoronid ini
mempunyai aktivitas farmakologi ketika ditemukan dalam konsentrasi tinggi, yang mungkin
terjadi pada pasien dengan penyakit kritis dengan insuffisiensi-renal yang menerima infus
intravena midazolam secara terus-menerus selama periode yang lama. Pada pasien-pasien ini,
metabolit glucoronid mempunyai efek sedasi yang sinergis dengan senyawa asalnya (Bauer et
al., 1995). Metabolit aktif lain dari midazolam adalah 4-hydroxymidazolam tidak ditemukan
dalam konsentrasi yang dapat dideteksi dalam plasma mengikuti pemberian IV midazolam.
Metabolisme midazolam diperlambat dengan adanya obat-obat (cimetidine, erytromicin,
calcium chanel-blocker, obat-obat antijamur) yang menghambat enzim cytochrome P-450
mengakibatkan depresi sistem syaraf pusat yang tidak diharapkan (Hiller et al., 1990). Enzim
cytochrome P-450 3A juga mempengaruhi metabolisme fentanyl. Mengenai hal ini, kliren hepar
terhadap midazolam dihambat oleh fentanyl yang diberikan selama anestesi umum (Hase et al.,
1997). Secara keseluruhan, kecepatan kliren hepar midazolam lima kali lebih besar dari lorazpam
dan sepuluh kali lebih besar dari pada diazepam.

Kliren Ginjal
Waktu paruh eliminasi, Vd, dan kliren midazolam tidak dipengaruhi oleh gagal ginjal (Vinik et
al., 1983). Ini sesuai dengan metabolisme hepar yag luas terhadap midazolam.

Efek Terhadap Sistem-Sistem Organ.

Sistem Syaraf Pusat


Midazolam, seperti obat golonan benzodiazepin lainnya, menghasilkan penurunan kebutuhan
metabolisme oksigen otak (CMRO2) dan aliran darah otak sama dengan golongan barbiturat dan
propofol. Namun, berlawanan dengan obat-obat tersebut, midazolam tidak mampu menghasilkan
gelombang isoeletrik pada EEG, terdapat efek maksimal yang mengakibatkan penurunan
CMRO2 diproduksi oleh peningkatan dosis midazolam. Midazolam menyebabkan perubahan
dihubungkan dengan dosis pada aliran darah otak regional pada bagian-bagian otak dikaitkan
dengan fungsi normal dari kesadaran, perhatian dan daya ingat (Veselis et al., 1997).
Kemampuan reaksi vasomotor terhadap karbondioksida dipertahankan selama anestesi
menggunakan midazolam (Strebel et al., 1994). Pasien-pasien dengan penurunan pemenuhan
kebutuhan intrakranial memperlihatkan perubahan kecil atau tidak ada perubahan dalam tekanan
intrakranial (ICP) ketika diberikan midazolam pada dosis 0.15 sampai 0.27 mg/kg IV. Dengan
demikian, midazolam dapat diterima sebagai pengganti obat-obat golongan barbiturat untuk
induksi anestesi pada pasien-pasien dengan kelainan intrakranial. Namun, ada beberapa bukti
bahwa pasien-pasien dengan trauma kepala berat tetapi ICP < 18 mmHg mungkin mengalami
peningkatan tekanan intrakranial yang tidak diinginkan ketika midazolam (0.15 mg/kg IV)
diberikan dengan cepat (Gambar 5-5) (Papazian et al., 1993). Sama dengan thiopental, induksi
dengan anestesi dengan midazolam tidak mencegah menaikkan tekanan intrakranial dikaitkan
dengan laringoskopi langsung untuk intubasi endotrakeal (Giffin et al., 1984). Meskipun
midazolam mungkin memperbaiki outcome neurologis setelah iskemik incomplete, obat-obat
golongan benzodiazepin tidak memperlihatkan aktivitas neuroprotektif pada manusia.
Midazolam merupakan obat antikejang kuat yang efektif untuk mngobati status epilepticus.
Sedasi diperpanjang pada bayi di critical-care-unit (4 sampai 11 hari) dengan midazolam dan
fentanyl dihubungkan dengan kejadian encelophathy pada withdrawal obat benzodiazepin
(Bergman et al., 1991). Rangsangan berlawanan terjadi pada < 1% pasien-pasien yang menerima
midazolam dan secara efektif diterapi dengan antagonis benzodiazepin spesifik yaitu flumazepin
(Thurston et al., 1996).

Gambar 5-5. Pemberian midazolam 0.15 mg/kg IV kepada pasien-pasien dengan trauma kepala
berat (Glasgow Coma Scale ≤ 6) dihubungkan dengan kenaikan tekanan intrakranial (ICP) ketika
kontrol ICP <18 mmHg (lingkaran terbuka) tetapi tidak ketika kontrol ICP ≥ 18 mmHg
(lingkaran tertutup). (Dari Papazian L, Albanese J, Thirion X, et al. Effect of bolus doses of
midazolam on intracranial pressure and cerebral perfusion pressure in patients with severe head
injury. Br J Anaesth 1993;71:267-271; dengan izin)

Pernafasan
Midazolam menyebabkan depresi pernafasan bergantung dosis dengan 0.15 mg/kg IV
menghasilkan efek yang sama dengan diazepam 0.3 mg/kg IV (Forster et al., 1980). Pasien-
pasien dengan penyakit obstruktif kronik paru mengalami depresi pernafasan lebih berat yang
diakibatkan oleh midazolam (Gross et al., 1983). Apnea sementara mungkin terjadi setelah
injeksi cepat midazolam dosis tinggi (>0.15 mg/kg IV), khususnya pada medikasi preoperatif
termasuk didalamnya obat golongan opoid (Kanto et al., 1982). Pada sukarelawan yang sehat,
midazolam sendiri tidak menghasilkan efek depresi pernafasan, mengingat kombinasi midazolam
0.05 mg/kb IV dan Fentanyl 2 µg/kg IV, mengakibatkan hipoksemia arterial dan/atau
hipoventilasi (Bailey et al., 1990). Midazolam 0.05 atau 0.075 mg/kg IV telah memperlihatkan
depresi pernafasan saat istirahat pada sukarelawan yang sehat, mengingat anestesi spinal
(maksudnya sensoris setinggi T6) menstimulasi pernafasan saat istirahat, dan kombinasi tersebut
mempunyai efek sinergis yang sederhana bagi penurunan pernafasan istirahat (Gauthier et al.,
1992). Obat-obat benzodiazepin juga mendepresi refleks menelan dan menurunkan aktivitas
saluran nafas bagian atas.

Sistem Kardiovaskuler
Midazolam 0.2 mg/kg IV, untuk induksi anestesi menghasilkan penurunan yang lebih besar
tekanan darah sistemik dan menaikkan laju jantung (HR) daripada diazepam 0.5mg/kg IV
(Samuelson et al., 1981). Dan sebaliknya, dosis midazolam menginduksi perubahan
hemodinamik ini mirip dengan perubahan yang diinduksi oleh thiopental 3 sampai 4 mg/kg IV
(Lebowitz et al., 1982). Cardiac-output tidak dirubah oleh midazolam, memberikan kesan bahwa
perubahan tekanan darah itu adalah akibat dari penurunan tahanan sistemik vaskuler. Mengenai
hal ini, obat golongan benzodiazepin mungkin mempunyai efek menguntungkan dalam
menaikkan cardiac-output pada gagal jantung kongestif. Pada pasien hipovolemik, pemberian
midazolam menghasilkan kenaikan efek-tekanan-darah-yang-menurun mirip dengan yang
dihasilkan oleh obat-obat induksi intravena lainnya (Adams et al., 1985). Midazolam tidak
mencegah respon tekanan darah dan laju jantung yang dipicu oleh proses intubasi trakea.
Kenyataannya, stimulus mekanik ini mungkin mengimbangi efek penurunan tekanan darah dari
pemberian IV midazolam dalam dosis besar. Efek midazolam pada tekanan darah sistemik secara
langsung dikaitkan kepada konsentrasi plasma dari obat golongan benzodiazepin. Namun,
puncak konsentrasi plasma yang terlihat memiliki di atas yang sedikit lebih jauh mengubah
tekanan darah sistemik yang terjadi.
Penggunaan Klinik
Midazolam adalah obat golongan benzodiazepin yang paling sering digunakan untuk medikasi
preoperatif pada pasien anak-anak, sedasi IV (efek kesadaran), dan induksi anestesi. Dalam
kombinasi dengan obat lain, midazolam sering digunakan sebagai pemeliharaan anestesi. Seperti
diazepam, midazolam juga merupakan antikejang yang kuat untuk terapi bangkitan grand-mal,
yang mungkin terjadi pada toksisitas sistemik yang dihasilkan oleh anestesi lokal.

Medikasi Preoperatif
Midazolam adalah medikasi oral yang paling sering digunakan untuk anak-anak. Midazolam
sirup (2 ml/mg) efektif untuk menghasilkan sedasi dan menghilangkan cemas pada dosis 0.25
mg/kg dengan efek minimal terhadap pernafasan dan saturasi oksigen bahkan ketika diberikan
pada dosis sebesar 1 mg/kg (maksimal 20 mg) (Cote et al., 2002). Midazolam 0.5 mg/kg
diberikan secara oral 30 menit sebelum induksi, menyediakan sedasi yang dapat dipercaya dan
menghilangkan cemas pada anak-anak tanpa menunda bangun (kembalinya kesadaran) setelah
anestesi (Gambar 5-6) (McMillian et al., 1992). Meskipun direkomendasikan midazolam oral
diberikan 20 menit sebelum operasi, ada bukti bahwa ditemukan anmesia anterograde yang
signifikan ketika 0.5 mg/kg diberikan 10 menit sebelum operasi (Kain et al., 2000).

Gambar 5-6. Peningkatan dosis oral midazolam premedikasi diberikan 30 menit sebelum
induksi anestesi tidak memberikan efek yang berbeda pada waktu akhir dari operasi sampai
penderita ditransfer ke unit post-operasi (grafik batang yang tebal), waktu dari datang ke unit
post-operasi sampai penderita sadar spontan (grafik batang abu-abu muda), dan waktu di unit
post-operasi (grafik batang abu-abu tua). (Dari McMillan CO, Spahr-Schopfer IA, Sikich N, et
al. Premedikasi anak-anak dengan midazolam. Can J Anaesth 1992; 39:545-550; dengan izin).

Sedasi Intravena
Midazolam pada dosis 1.0 sampai 2.5 mg IV (onsetnya dalam 30 sampai 60 detik, waktu
mencapai efek maksimal 3 sampai 5 menit, durasi sedasi 15 sampai 80 menit) efektif untuk
sedasi selama anestesi regional sebaik untuk prosedur terapi yang singkat. Dibandingkan dengan
diazepam, midazolam menghasilkan onset yang lebih cepat, tetapi waktu recovery tidak menjadi
lebih pendek (McClure et al., 1983). Waktu kesimbangan efek-tempat untuk midazolam harus
dipertimbangkan dalam mengenal kemungkinan waktu mencapai puncak efek secara klinik dan
kebutuhan untuk dosis tambahan midazolam. Nyeri pada injeksi dan trombosis vena kemudian,
kemungkinan kecil terjadi setelah pemberian midazolam daripada diazepam.
Efek samping yang paling signifikan dari pemberian midazolam untuk menghasilkan
sedasi adalah depresi pernafasan disebabkan oleh pengurangan dalam hypoxic-drive. Efek
depresi pernafasan pada midazolam lebih besar daripada lorazepam dan diazepam. Depresi
pernafasan yang diakibatkan oleh midazolam efek sinergis pada kehadiran obat-obat golongan
opoid dan obat-obat pendepresi sistem syaraf pusat (Gross et al., 1996). Pasien-pasien dengan
penyakit paru obstruktif kronis mungkin juga bermanifestasi pada peninggian depresi pernafasan
setelah pemberian obat golongan benzodiazepin untuk menghasilkan sedasi. Penting untuk
memahami bahwa bertambahnya umur sangat menambah sensitivitas farmakologi efek hipnosis
dari midazolam (Jacobs et al., 1995). Pemberian midazolam yang terkontrol pada pasien selama
prosedur yang dilakukan dibawah anestesi lokal adalah alternatif terhadap tehnik infus intravena
terus-menerus (kira-kira 4 μm/kg/menit IV) (Ghouri et al., 1992).

Induksi anestesi
Anestesi dapat diinduksi dengan pemberiaan midazolam 0.1 samapi 0.2 mg/kg IV selama 30
sampai 60 detik. Meskipun demikan, thiopental biasanya menghasilkan induksi anestesi lebih
cepat 50% sampai 100% lebih cepat daripada midazolam (Gambar 5-7) (Sarnquis et al., 1980).
Onset ketidaksadaran (interaksi sinergis) difasilitasi ketika dosis kecil dari opoid (fentanyl 50-
100 μg IV atau yang setara dengan itu) menjadi patokan injeksi midazolam 1 sampai 3 menit.
Kebutuhan dosis midazolam untuk induksi anestesi IV juga lebih sedikit ketika pemberian
medikasi preoperasi termasuk obat yang mendepresi sistem syaraf pusat. Pasien-pasien tua
membutuhkan dosis midazolam dalam jumlah yang sedikit untuk induksi anestesi intravena
daripada pada pasien-pasien dewasa muda (Gamble et al., 1981). Penjelasan dari masalah ini
masih belum jelas, karena watu-paruh eliminasi yang diperpanjang seharusnya tidak merubah
efek hipnosis akut dari pemberian dosis tunggal midazolam secara intravena. Sebuah penjelasan
yang mungkin adalah meningkatnya sensistivitas sistem syaraf pusat terhadap efek midazolam
seiring meningkatnya umur (Greenblatt et al., 1982).
Pada pasien sehat yang menerima dosis kecil obat golongan benzodiazepin, depresi
kardiovarkuler dihubungkan dengan obat golongan ini adalah kecil. Ketika respon
kardiovaskuler yang signifikan terjadi, sebagian besar sepertinya merupakan refleksi dari
vasodilatasi perifer yang ditimbulkan akibat penggunaan benzodiazepin. Seperti pada depresi
pernafasan, perubahan kardiovaskuler yang diakibatkan oleh benzodiazepin mungkin
ditingkatkan oleh keberadaan obat-obat yang mendepresi sistem syaraf pusat seperti propofol
dan thiopental.

Gambar 5-7. Induksi anestesi seperti digambarkan oleh waktu penghentian penghitungan dalam
kira-kira 110 detik setelah pemberian midazolam intravena dibandingkan dengan kira-kira 50
detik setelah injeksi thiopental. (Dari Srnquist FH, Mathers WD, Brock-Utne J, et al. A Bioassay
of water-soluble benzodiazepin againt sodium thiopental. Anesthesiology 1980;52:149-153;
dengan izin).

Anestesi Pemeliharaan
Midazolam mungkin diberikan sebagai tambahan obat-obat golongan opoid, propofol dan/atau
anestesi inhalasi selama pemeliharaan anestesi. Waktu paruh untuk midazolam meningkat secara
sederhana dengan peningkatan durasi dari pemberian infus terus-menerus obat golongan
benzodiazepin ini (lihat Gambar 1-3) (Hughes et al., 1992). Kebutuhan anestesi untuk agen
anestesi volatil berkurang tergantung dosis dengan midazolam. Bangunnya pasien setelah
dilakukan anestesi umum yang menggunakan induksi anestesi midazolam 1.0 sampai 2.5 kali
lebih lama daripada yang diamati ketika thiopental digunakan untuk induksi anestesi secara
intravena (Jensen et al., 1982). Kembalinya kesadaran yang berangsur-angsur pada pasien yang
menerima midazolam jarang dikaitkan dengan mual, muntah, atau perangsangan yang tiba-tiba.
Satu jam setelah operasi, pasien-pasien sama siaganya dengan pemberian midazolam ataupun
thiopental, dan waktu keluarnya pasien dari ruangan pemulihan sama pada kedua obat tersebut
(Crawford et al.,1984).

Sedasi postoperatif
Pemberian midazolam secara intravena dalam jangka waktu yang lama (loading dose 0.5 sampai
4 mg IV dan dosis pemeliharaan 1 sampai 7 mg/jam IV) untuk menghasilkan sedasi pada pasien
yang diintubasi mengakibatkan saturasi relatif jaringan perifer midazolam dan kliren dari
sirkulasi sistemik menjadi sedikit tergantung pada proses redistribusi ke dalam jaringan perifer
dan lebih tergantung pada metabolisme hepar (Barr et al., 2001). Disamping itu, secara
farmakologi, metabolit aktif mungkin menumpuk dengan pemanjangan pemberian IV dari obat
asalnya. Dalam kondisi-kondisi ini, konsentrasi plasma midazolam menurun dengan lambat
mengakibatkan munculnya efek tertunda setelah penghentian infus IV dibandingkan pada injeksi
tunggal. Waktu munculnya efek juga merupakan sebuah fungsi dari konsentrasi plasma
midazolam pada saat infus IV tidak dilanjutkan. Pasien-pasien yang dipertahankan dalam kondisi
konsentrasi plasma midazolam lebih tinggi membutuhkan waktu sadar lebih lama daripada
pasien-pasien yang dipertahankan konsentrasi plasma midazolam lebih rendah selama periode
waktu tertentu. Pemberian analgesi opoid beriringan dengan pemberian midazolam dapat sangat
menurunkan kebutuhan dosis midazolam dan menghasilkan memulihan dari sedasi lebih cepat
setelah penghentian infus midazolam IV (Barr et al., 2001). Waktu munculnya efek dari
midazolam bertambah pada pasein-pasein tua, pasein-pasien obesitas, dan pasien-pasien yang
menderita penyakit hepar yang berat.

Pergerakan pita vokalis yang berlawanan


Pergerakan pita vokalis yang berlawanan menyebabkan penyumbatan nonorganik saluran nafas
bagian atas dan stridor yang bermanifestasi setelah proses operasi. Midazolam 0.5 sampai 1 mg
IV mungkin merupakan terapi yang efektif untuk pergrakan pita vokalis yang berlawanan
(Roberts et al., 1998).

DIAZEPAM
Diazepam adalah obat golongan benzodiazepin dengan durasi kerja lebih panjang jika
dibandingkan dengan midazolam.

Sediaan Komersial
Diazepam dihancurkan dalam pelarut organik (propylene glycol, sodium benzoat) karena obat ini
tidak larut dalam air. Larutan tersebut lengket dengan pH 6.6 sampai 6.9. Pengenceran dengan air
atau larutan garam (salin) menyebabkan kesuraman tetapi tidak merubah potensi obat tersebut.
Injeksi secara IV atau IM mungkin menimbulkan nyeri. Diazepam juga tersedia dalam formulasi
kedelai untuk injeksi IV. Formulasi ini dikaitkan dengan kejadian nyeri dan tromboplebitis yang
lebih rendah pada injeksi.

Farmakokinetik
Diazepam diabsorbsi dengan cepat dari saluran pencernaan setelah pemberian oral, mencapai
puncak konsentrasi kira-kira 1 jam pada dewasa tetapi dengan cepat 15 sampai 30 menit pada
anak-anak. Terdapat pengambilan yang cepat diazepam ke dalam otak, diikuti dengan redistribusi
ke jaringan inaktif, khususnya lemak, sebagai obat golongan benzodiazepin, diazepam sangat
larut dalam lemak. Volume distribusi (Vd) diazepam luas, menggambarkan pengambilan jaringan
yang luas dari obat larut lemak ini (lihat tabel 5-1). Wanita mempunyai komposisi lemak tubuh
lebih besar, oleh karena itu wanita memiliki Vd lebih besar untuk diazepam daripada laki-laki.
Diazepam dengan cepat melewati plasenta, membuat konsentrasi fetal sama dan terkadang lebih
besar daripada yang terdapat pada sirkulasi maternal (Dawes, 1973). Durasi kerja dari obat
golongan benzodiazepin tidak berhubungan dengan kejadian pada reseptor tetapi lebih
ditentukan oleh laju metabolisme dan eliminasi.

Ikatan Protein
Ikatan protein obat benzodiazepin sejajar dengan kelarutan terhadap lemaknya. Diazepam sangat
larut terhadap lemak berikatan secara luas dengan protein yang diperkirakan adalah dengan
albumin (lihat tabel 5-1). Sirosis hepatis dan insufisiensi renal dikaitkan dengan penurunan
konsentrasi plasma albumni mungkin bermanifestasi pada pengurangan ikatan protein diazepam
dan kenaikan kejadian efek samping obat terkait dengan dosis (Greenblatt dan Koch-Weser,
1974). Dejarat ikatan protein yang tinggin membatasi kegunaan hemodialisis dalam terapi
overdosis diazepam.

Metabolisme
Diazepam pada prinsipnya dimetabolisme oleh enzim mikrosomal hepar yang menggunakan
jalur N-demethylation. Dua metabolit utama diazepam adalah desmethyldiazepam dan
oxazepam, dan dalam jumlah yang sedikit dimetabolisme menjadi temazepam (Gambar 5-8).
Desmthyldiazepam dimetabolisme lebih lambat dari oxazepam dan hanya sedikit kurang poten
daripada diazepam. Oleh karena itu, metabolit ini sepertinya memberikan kontribusi untuk
kembali dari keadaan mengantuk yang bermanifestasi dalam 6 sampai 8 jam setelah pemberian
diazepam, efek yang didapat biasanya dihubungkan dengan obat asal. Kemungkinan lain,
resirkulasi enterohepatik mungkin memberikan kontribusi untuk terjadinya sedasi ulangan
(Eustace et al., 1975). Konsentrasi plasma diazepam secara klinik tidak signifikan dan meungkin
menggambarkan pembersihan secara cepat dengan proses konjugasi asam glukoronat. Akhirnya,
desmethyldiazepam diekskresi dalam uri dalam bentuk metabolit teroksidasi dan terkonjugasi
dengan asam glukoronat. Diazepam yang diekskresi dalam urin tidak dapat dinilai. Obat-obat
golongan benzodiazepin tidak menyebabkan induksi enzim.
Gambar 5-8. Metabolit utama dari diazepam adalah desmethyldiazepam dan oxazepam. Dalam
jumlah yang sedikit diazepam dimetabolisme menjadi temazepam.

Gambar 5-9. Konsentrasi plasma diazepam dan metabolit aktifnya, desmethyldiazepam, yang
meningkat ketika obat asalnya diberikan bersama dengan terapi cimetidine. (Rata-rata ±SE)
(Dari Greenblatt DJ, Abernathy DR, Morse DS, et al., Clinical importance of the interaction of
diazepam and cimetidine. N Engl J Med 1984;310:1639-1643; dengan izin)
Cimetidine
Cimetidine mengambat enzim mikrosomal hepar P-450 dengan demikian memperpanjang
waktu-paruh eliminasi diazepam dan desmethyldiazepam (Gambar 5-9) (Greenblatt et al., 1984).
Tentu saja, efek sedasi meningkat ketika diazepam diberikan sendirian. Kiranya, penundaan
kliren ini menggambarkan penghambatan enzim mikrosomal hepar yang diinduksi oleh
cimetidine, yang dibutuhkan untuk oksidasi diazepam dan desmethyldiazepam.

Waktu-paruh eliminasi
Waktu-paruh eliminasi diazepam diperpanjang, berkisar antara 21 sampai 37 jam pada
sukarelawan sehat (lihat Tabel 5-1). Pada sirosis hepar disertai kenaikan lima kali lipat waktu-
paruh eliminasi diazepam (Klotz et al., 1975). Demikian juga, waktu-paruh eliminasi diazepam
meningkat secara progresif seiring dengan meningkatnya umur, yang peningkatan tersebut
bersesuaian dengan peningkatan sensitivitas pasien-pasien tersebut terhadap efek sedatif
(Gambar 5-10) (Klotz et al., 1975). Pemanjangan waktu-paruh eliminasi diazepam pada sirosis
hepatis adalah akibat dari penurunan ikatan protein dari obat ini, mengakibatkan peningkatan Vd.
Disamping itu, kliren hepar terhadap diazepam menurun menggambarkan penurunan aliran darah
hepar yang merupakan ciri dari sirosis hepatis. Penjelasan untuk waktu-paruh eliminasi yang
diperpanjang pada pasien tua juga berhubungan dengan peningkatan Vd. Sepertinya, peningkatan
komposisi total lemak tubuh yang seiring dengan penuaan menyebabkan peningkatan Vd dari
obat yang sangat larut lemak seperti diazepam. Kliren hepar tidak berubah dengan proses
penuaan. Dibandingkan dengan lorazepam, diazepam mempunyai waktu-paruh eliminasi lebih
panjang tetapi memiliki durasi kerja lebih pendek karena diazepam lepas dari reseptor GABA A
lebih cepat daripada lorazepam, sehingga memungkinkan redistribusi ke tempat jaringan inaktif.
Gambar 5-10. Waktu-paruh eliminasi diazepam meningkat secara progresif seiring dengan
meningkatnya umur, (Dari Klotz U, Avant GR, Hoyumpa A et al. The effects of age and liver
disease on the deposition and elimination of diazepam in adult man. J Clin Invest 1975;55:347-
359;dengan izin).

Desmethyldiazepam merupakan metabolit utama diazepam, mempunyai waktu-paruh


eliminasi 48 sampai 96 jam. Waktu-paruh eliminasi metabolit mungkin melebihi obat asalnya.
Tentu saja, konsentrasi plasma diazepam terkadang turun lebih cepat daripada konsentrasi
plasma desmethyldiazepam. Metabolit aktif ini dapat mengumpul di plasma dan jaringan selama
penggunaan diazepam dalam jangka waktu yang lama. Somnolen yang diperpanjang dikaitkan
dengan diazepam dosis tinggi sepertinya disebabkan oleh proses sequestrasi dari obat asal dan
metabolit aktif, demethyldiazepam, dalam jaringan, diperkirakan pada jaringan lemak, untuk
kemudian dilepas kembali ke dalam sirkulasi. Satu minggu atau lebih sering dibutuhkan unutk
mengeliminasi senyawa tersebut dari plasma setelah terapi diazepam jangka panjang dihentikan.

Efek terhadap Sistem Organ


Diazepam, seperti obat golongan diazepin lainnya, menghasilkan efek minimal terhadap
pernafasan dan sirkulasi sistemik. Fungsi hepar dan renal tidak dirubah secara bermakna.
Diazepam tidak meningkatkan insiden mual dan muntah. Tidak ada perubahan konsentrasi
hormon akibat stress dalam sirkulasi plasma (catecholamin, arginine vasopressin, cortisol).
Pernafasan
Diazepam menghasilkan efek depresi pernafasan minimal, yang ditandai dengan meningkatnya
PaCO2 yang tidak terjadi sampai pemberian dosis 0.2 mg/kg IV. Peningkatan sedikit PaCO2
adalah akibat dari pengurangan tidal volume. Meskipun demikian, jarang diazepam dalam dosis
kecil (<10 mg IV) mengakibatkan apneu (Braunstein, 1979). Kombinasi diazepam dengan obat
depresan sistem syaraf pusat lainnya (golongan opoid, alkohol) atau pemberian obat ini kepada
pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik mungkin mengakibatkan kenaikan atau
pemanjangan periode depresi pernafasan.
Grafik curam melukiskan respon pernafasan terhadap karbondioksida yang berkurang
mendekati 50% dalam 3 menit setelah pemberian diazepam 0.4 mg/kg IV (Gambar 5-11) (Gross
et al., 1982). Penurunan grafik ini bertahan kira-kira selama 25 menit dan sebanding dengan
tingkat kesadaran. Meskipun terjadi penurunan curam pada grafik, kurva respon karbondioksida
tidak bergeser ke kanan seperti yang ditemukan pada depresi pernafasan akibat obat golongan
opoid. Efek depresi pernafasan ini kelihatannya merupakan efek pada sistem syaraf pusat, karena
otot-otot pernafasan secara mekanik tidak berubah. Efek depresi pernafasan pada penggunaan
obat golongan benzodiazepin dibalik oleh stimulasi operasi tetapi tidak dengan haloxon.

Gambar 5-11. Garis curam pada grafik yang menggambarkan respon pernafasan terhadap
karbondioksida yang berkurang (T = menit) setelah pemberian diazepam 0.4 mg/kg IV. (Dari
Gross JB, Smith L, Smith TC. Time cource of ventilatory respone to carbon dioxide after
intravenous diazepam. Anesthesiology 1982;57:18-21; dengan izin).

TABEL 5.2
EFEK KARDIOVASKULER DIAZEPAM (0.5 mg/kg IV) DAN DIAZEPAM NITROUS-
OXIDE
Bangun Diazepam Diazepam nitrous-oxide
Tekanan darah sistolik (mm 144 125* 121*
Hg)
Tekanan darah diastolik (mm 81 74 75
Hg)
Tekanan arteri rata-rata (mm 102 91* 91*
Hg)
Laju jantung (denyut/menit) 66 68 65
Tekanan arteri pulmonal (mm 18.4 16.3 17.2
Hg)
Tekanan penyumbatan arteri 11.5 10.6 11.9
pulmonal (mm Hg)
Cardiac Output (liter/menit) 5.3 5.1 4.8*
Resistensi vaskuler sistemik 1391 1344 1377
(dynes/detik/cm-5
*P < .05 dibandingkan dengan nilai 'bangun'
Sumber : Data dari McCammom RL, Hilgenberg JC, Stoelting RK. Hemodynamic effects of diazepam-nitrous-oxide
in patiens with coronary artery disease. Anesth Analg 1980;59:438-441.

Sistem Kardiovaskuler
Diazepam diberikan pada dosis 0.5 sampai 1 mg/kg IV untuk induksi anestesi yang secara
khusus mengakibatkan penurunan minimal tekanan darah sistemik, cardiac-output dan tahanan
vaskuler sistemik besarnya hampir sama dengan hal tersebut pada saat tidur alami (penurunan
10% sampai 20%) (Tabel 5-2) (McCammon et al., 1980). Terdapat depresi sementara dari respon
laju jantung (HR) yang diperantarai oleh baroreseptor yang lebih kecil daripada depresi yang
ditimbulkan oleh obat-obat anestesi volatil, tetapi hal tersebut dapat terjadi pada pasien
hipovolemi yang mengganggu kompensasi perubahan yang optimal (Marty et al., 1986). Pada
pasein-pasien dengan kenaikan tekanan end-diastolic pada ventrikel kiri, diazepam dosis kecil
dapat secara signifikan mengurangi kenaikan tekanan ini. Diazepam tidak mempunyai aksi
secara langsung pada sistem syaraf simpatis, dan hal ini tidak mengakibatkan hipotensi
orthostatik.
Angka kejadian dan besarnya penurunan tekanan darah sistemik yang diakibatkan oleh
diazepam lebih kecil daripada yang diakibatkan oleh pemberian golongan barbiturat IV untuk
induksi anestesi (Knapp dan Dubow, 1970). Meskipun demikian, terkadang pasien mengalamai
hipotensi yang tidak dapat diprediksi bahkan hanya dengan diazepam dosis kecil (Falk et al.,
1978). Penambahan nitrous-oxide setelah induksi anestesi dengan diazepam tidak dikaitkan
dengan perubahan yang merugikan pada jantung (lihat tabel 5-2) (McCmmon et al., 1980). Oleh
karena itu, nitrous-oxide dapat diberikan pada pasien yang menggunakan diazepam sebagai
induksi untuk meyakinkan pasien tidak sadar selama operasi. Ini berbeda dengan depresi
miokard langsung dan penurunan tekanan darah sistemik yang terjadi ketika nitrous-oxide
diberikan pada pasien yang menggunakan opoid sebagai agen induksi (lihat Chapter 3).
Demikian juga, pemberian diazepam lebih dulu 0.125 sampai 0.5 mg/kg IV, diikuti dengan
injeksi fentanyl 50 μg/kg IV, dihubungkan dengan penurunan resistensi vaskuler sistemik dan
tekanan darah sistemik yang tidak berkaitan dengan pemberian obat golongan opoid sendiri (lihat
gambar 3-12).

Otot-otot Rangka
Efek relaksasi otot-otot rangka menunjukkan bahwa diazepam bekerja pada neuron spinal
internuncial dan mekanisme ini tidak terjadi pada neuromuscular-junction (Dretchen et al.,
1971). Sepertinya, diazepam mengurangi pengaruh yang menimbulkan tonus pada neuron spinal
gamma, dengan demikian tonus otot rangka menurun. Toleransi terjadi terhadap efek relaksasi
otot rangka pada obat-obat golongan benzodiazepin.

Overdosis
Intoksikasi sistem syaraf pusat diprediksi pada saat konsentrasi diazepam plasma > 1,000 ng/mL.
Meskipun terjadi overdosis diazepam masif, sekuel yang serius (koma) sepertinya tidak terjadi
jika fungsi jantung dan paru didukung dengan fasilitas dan obat lain seperti alkohol tidak ada.

Penggunaan Klinik
Diazepam masih merupakan obat yang populer untuk medikasi preoperatif pada pasien dewasa
dan obat golongan benzodiazepin ini hampir bisa dipastikan dipilih untuk mengelola delirium
tremens dan terapi untuk bangkitan (kejang) yang diinduksi anestesi lokal. Efek yang relaksasi
otot rangka oleh diazepam sering digunakan untuk mengelola penyakit sendi lumbal dan
mungkin untuk mengelola pasien langka yang berkembang menjadi tetanus. Midazolam secara
luas telah digantikan oleh diazepam untuk sedasi IV dan medikasi preoperatif pada anak.

Aktivitas Antikejang
Pemberian diazepam sebelum pemberian anestesi lokal 0.25 mg/kg IV kepada hewan melindungi
timbulnya bangkitan (kejang) akibat toksisitas anestesi lokal. Bukti dari adanya perlindungan ini
adalah meningkatan dosis lidocain yang menimbulkan kejang pada hewan sebelum diterapi
dengan obat benzodiazepin (Gambar 5-12) (De Jong dan Heavner, 1974).
Keefektifan diazepam sebagai antikejang mungkin menggambarkan kemampuannya
untuk memfasilitasi aksi inhibisi dari neurotransmitter GABA. Berlawanan dengan obat
golongan barbiturat yang menghambat bangkitan (kejang) dengan depresi nonselektif pada
sistem syaraf pusat, diazepam secara selektif menghambat aktivitas pada sistem limbik, dan
sebagian hippocampus. Jika diazepam diberikan untuk menghentikan bangkitan kejang, obat
antiepilepsi yang bekerja lebih lama seperti fosphenytoin juga diberikan.

Gambar 5-12. Pemberian diazepam 0.25 mg/kg IV sebelum pemberian lidocain, meningkatkan
dosis intravena lidocain yang dibutuhkan untuk menimbulkan bangkitan kejang dibandingkan
dengan hewan yang tidak diterapi (tidak dilindungi). (Dari De Jong RH, Heaver JE. Diazepam
prevents and aborts lidocaine convulsions in monkeys. Anesthesiology 1974;49:226-230; dengan
izin)
LORAZEPAM
Lorazepam mirip dengan oxazepam, perbedaannya hanya pada adanya atom klorida ekstra pada
posisi ortho dari 5-phenyl moiety (lihat gambar 5-1). Lorazepam memiliki potensi sedasi dan
amnestik daripada midazolam dan diazepam, mengingat efeknya terhadap pernafasan, sistem
kardiovaskuler dan otot rangka mirip dengan obat golongan benzodiazepin.

Farmakokinetik
Lorazepam mengalami konjugasi dengan asam glukoronat di hepar menjadi bentuk metabolit
inaktif yang diekskresi melalui ginjal. Ini berlawanan dengan pembentukan metabolit aktif
terkonjugasi setelah pemberian midazolam dan diazepam. Waktu paruh eliminasi lorazepam
adalah 10 sampai 20 jam, dengan ekskresi melalui urin dari lorazepam berjumlah > 80% dari
dosis injeksi (lihat tabel 5-1). Dibandingkan dengan midazolam, lorazepam memiliki
metabolisme kliren sangat lebih lambat. Hal ini dijelaskan dengan proses glukoronisasi hepar
yang lebih lambat dari lorazepam dibandingkan dengan hydroksilasi oksidatif yang lebih cepat
dari midazolam. Karena pembentukan metabolit terglukoronidasi dari lorazepam tidak banyak
bergantung pada enzim mikrosomal hepar, metabolisme lorazepam mungkin sedikit mirip
dengan metabolisme diazepam yang dipengaruhi oleh perubahan fungsi hepar, pertambahan
umur atau obat-obat yang menghambat enzim P-450 seperti cimetidine. Tentu saja, waktu paruh
eliminasi lorazepam tidak diperpanjang pada pasien-pasien tua atau pasien yang diberi obat
cimetidine. Lorazepam mempunyai onset yang lebih lambat daripada midazolam atau diazepam
karena kelarutan lemaknya lebih rendah dan lebih lambat masuk ke dalam sistem syaraf pusat.

Penggunaan Klinik
Lorazepam mengalami absorbsi setelah pemberian oral dan setelah injeksi IM, hal ini
berlawanan dengan diazepam. Setelah pemberian secara oral, konsentrasi plasma maksimum dari
lorazepam terjadi 2 sampai 4 jam dan bertahan pada tingkat terapetik untuk 24 sampai 48 jam.
Dosis oral lorazepam yang direkomendasikan untuk medikasi preoperatif adalah 50 μg/kg, tidak
boleh melebihi 4 mg (Fragen dan Caldwell, 1976). Dengan dosis ini, amnesia anterograde
maksimal menetap sampai 6 jam terjadi, dan sedasi tidak terlalu lama. Dosis oral yang lebih
besar menghasilkan sedasi tambahan tanpa menambah durasi amnesia. Durasi kerja lorazepam
yang diperpanjang membatasi kegunaannya untuk medikasi preoperatif ketika pasien diinginkan
untuk kembali sadar dengan cepat setelah operasi.
Setelah pemberian dosis tunggal IV (1 sampai 4 mg) onset efek terjadi dalam 1 sampai 2
menit, dengan waktu mencapai puncak efek 10 sampai 30 menit, dan durasi efek sedasi berkisar
antara 6 sampai 10 jam (Greenblatt et al., 1989). Infus lorazepam untuk menghasilkan sedasi
postoperatif menunjukkan munculnya penundaan yang signifikan dari sedasi dibandingkan
dengan midazolam (Barr et al., 2001). Obesitas memperpanjang efek sedasi dari lorazepam, hal
ini menggambarkan volume distribusi yang lebih luas dan waktu-paruh eliminasi yang lebih
lama.
Onset yang lambat membatasi kegunaan lorazepam untuk (a) induksi anestesi IV (b)
sedasi IV selama anestesi regional, atau (c) penggunaannya sebagai antikejang. Seperti
diazepam, lorazepam juga efektif dalam membatasi kejadian reaksi tiba-tiba setelah pemberian
ketamine. Meskipun lorazepam tidak larut dalam air dan oleh karena itu obat ini membutuhkan
pelarut seperti polyethylene glycol atau propylene glycol, lorazepam dinyatakan kurang
menimbulkan rasa sakit pada saat injeksi dan kurang menimbulkan trombosis vena bila
dibandingkan dengan diazepam.
Lorazepam mungkin sering digunakan sebagai alternatif ekonomi dari midazolam untuk
sedasi postoperatif pada pasien yang terintubasi. Resiko yang tertunda timbul dari sedasi
bertambah ketika lorazepam digunakan untuk sedasi postoperatif dan efek amnesia mungkin
berakhir dalam beberapa hari. Timbulnya efek yang tertunda dari sedasi mungkin menunda
pelepasan ventilator mekanik.

OXAZEPAM
Oxazepam, merupakan metabolit aktif dari diazepam yang secara komersial tersedia (lihat
gambar 5-9). Durasi kerjanya sedikit lebih pendek daripada diazepam karena oxazepam
dikonversi menjadi metabolit inaktif dengan dikonjugasi dengan asam glukoronat. Waktu-paruh
eliminasinya adalah 5 sampai 15 jam. Seperti lorazepam, durasi kerja oxazepam tidak mungkin
dipengaruhi oleh disfungsi hepar atau pemberian cimetidine.
Absorbsi oral oxazepam relatif lambat. Sebagai hasilnya, obat ini mungkin tidak berguna
untuk mengobati insomnia yang dicirikan dengan susah tidur. Dan sebaliknya, oxazepam
mungkin sering digunakan utnuk mengobati insomnia yang dicirikan dengan bangun pada
malam hari atau pemendekan waktu tidur total.

ALPRAZOLAM
Alprazolam mempunyai efek mengurangi kecemasan pada pasien dengan kecemasan primer dan
serangan panik. Sesuai dengan efek ini, alprazolam mungkin menjadi alternatif bagi midazolam
untuk medikasi preoperatif (Witte et al., 2002). Penghambatan sekresi hormon
adrenocorticotrophic dan hormon kortisol mungkin menjadi lebih menonjol pada alprazolam
daripada obat golongan benzodiazepin lainnya.

CLONAZEPAM
Clonazepam adalah obat golongan benzodiazepin yang sangat larut terhadap lemak yang
diabsorbsi baik setelah pemberian oral. Clonazepam dimetabolisme menjadi metabolit inaktif
terkonjugasi dan metabolit inaktif takterkonjugasi yang terdapat dalam urin. Waktu-paruh
eliminasinya adalah 24 sampai 48 jam. Clonazepam terutama sekali efektif dalam mengontrol
dan mencegah bangkitan (kejang), khususnya kejang myoklonik dan spasme infantil (lihat
chapter 30).

FLURAZEPAM
Flurazepam secara kimia dan farmakologi mirip dengan obat golongan benzodiazepin lainnya
tetapi penggunaannya secara eksklusif untuk mengobati insomnia (lihat gambar 5-1). Setelah
pemberian oral 15 sampai 30 mg pada orang dewasa, efek hipnotik terjadi dalam 15 sampai 25
menit dan berakhir 7 sampai 8 jam. Periode pergerakan mata cepat pada saat tidur berkurang
dengan obat ini. Metabolit utama flurazepam adalah desalkyflurazepam. Metabolit ini adalah
metabolit aktif dan mempunyai waktu-paruh eliminasi panjang yang bermanifestasi sebagai
sedasi sepanjang hari (sakit waktu bangun pagi). Lebih jauh lagi, dosis flurazepam yang diulang
mungkin menyebabkan penumpukan dari metabolit ini, menghasilkan sedasi kumulatif. Pasien-
pasien tua mudah terkena efek yang merugikan dari flurazepam dan obat golongan
benzodiazepin lainnya yang mempunyai waktu-parut eliminasi panjang.

TEMAZEPAM
Temazepam adalah benzodiazepin aktif yang diberikan secara oral yang secara eksklusif
digunakan untuk mengobati insomnia (lihat gambar 5-1 dan 5-3). Absorbsi oral komplit, tetapi
puncak konsentrasi plasma tidak dapat dipercaya terjadi sampai kira-kira 2.5 jam setelah
pemberian per oral. Metabolisme dalam hepar menghasilkan metabolit aktif lemah sampai
metabolit inaktif yang terkonjugasi dengan asam glukoronat. Waktu-paruh eliminasi kira-kira 15
jam. Temazepam 15 sampai 30 mg oral tidak merubah proporsi pergerakan mata cepat dalam
tidur dan waktu tidur total pada orang dewasa. Meskipun waktu-paruhnya relatif lama,
temazepam sering digunakan untuk mengelola insomnia, dan tidak mungkin disertai residual
drownsiness the following morning. Toleransi atau gejala withdrawal tidak terjadi bahkan setelah
penggunaan selama 30 hari berturut-turut.

TRIAZOLAM
Triazolam adalah obat golongan benzodiazepin yang diabsorbsi secara oral yang efektif untuk
mengobati insomnia (lihat gambar 5-1). Konsentrasi puncak plasma setelah pemberian oral 0.25
sampai 0.50 mg pada orang dewasa terjadi kira-kira 1 jam. Waktu-paruh eliminasinya adalah 1.7
jam, menjadikan triazolam salah satu obat golongan benzodiazepin yang memiliki masa kerja
paling singkat. Dua metabolit utama triazolam mempunyai sedikit aktivitas hipnotik dan waktu-
paruh eliminasi mereka < 4 jam. Untuk alasan ini, efek mengantuk pada siang hari atau efek
sedasi kumulatif pada dosis triazolam yang diulang kemungkinan besar lebih sedikit daripada
obat golongan benzodiazepin lainnya.
Triazolam tidak merubah proporsi pergerakan mata cepat saat tidur terhadap waktu tidur
total. Namun, rebound-insomnia mungkin terjadi ketika obat ini dihentikan. Amnesia
anterograde nyata timbul ketika obat ini diberikan sendiri oleh penderita insomnia untuk
memfasilitasi tidur ketika bepergian melintasi beberapa zona waktu (Morris dan Estes, 1987).
Sebaliknya pada pasien tua yang sehat, triazolam menyebabkan sedasi dengan derajat lebih besar
atau pelemahan psikomotor dari pada orang yang masih muda (Greenblatt et al., 1991). Efek-
efek ini adalah akibat dari penurunan kliren dan konsentrasi plasma yang lebih tinggi daripada
dari peningkatan sensitivitas obat. Untuk alasan ini, direkomendasikan dosis triazolam dikurangi
50% pada orang-orang yang sudah tua.

FLUMAZENIL
Flumazenil, derivat dari 1,4-imidazobenzodiazepin, adalah antagonis spesifik dan eksklusif
benzodiazepin dengan afinitas tinggi terhadap reseptor benzodiazepin, yang mana flumazenil
menyebabkan minimal aktivitas agonis (Gambar 5-13) (Brogden dan Goa, 1991; Ghoneim et
al.,1993). Sebagai antagonis kompetitif, flumazenil mencegah dan membalikkan obat
benzodiazepin, dengan cara tergantung pada dosis, semua efek agonis benzodiazepin. Flumazenil
juga efektif sebagai antagonis senyawa benzodiazepin pada depresi pernafasan selama pemberian
kombinasi benzodiazepin dan opoid (Gross et al., 1996). Metabolisme flumazenil adalah dengan
enzim mikrosomal hepar menjadi metabolit inaktif.

Dosis dan Pemberian


Dosis flumazenil seharusnya dititrasi secara individual untuk mendapatkan tingkat kesadaran
yang diinginkan. Dosis inisial yang direkomendasikan adalah 0.2 mg IV (8 sampai 15 μg/kg IV),
yang secara khas membalikkan efek pada sistem syaraf pusat dari agonis benzodiazepin dalam
waktu kira-kira 2 menit. Jika dibutuhkan, dosis lebih jauh dari 0.1 mg IV (sampai total 1 mg IV)
mungkin diberikan dengan interval 60 detik. Umumnya, dosis total 0.3 sampai 0.6 mg IV telah
cukup untuk menurunkan tingkat sedasi pada pasien yang sedasi atau teranestesi dengan obat
benzodiazepin, mengingat bahwa dosis total 0.5 sampai 1.0 mg biasanya cukup untuk
mengakhiri efek benzodizepin dalam dosis terapi. Pada pasien yang tidak sadar akibat overdosis
obat yang tidak diketahui atau obat golongan benzodiazepin, kegagalan dalam menunjukkan
respon terhadap dosis IV flumazenil lebih dari 5 mg mungkin mengindikasikan keterlibatan zat-
zat intoksikasi lain selain golongan benzodiazepin, atau terdapat gangguan fungsional organik.
Durasi kerja flumazenil adalah 30 sampai 60 menit, dan dosis tambahan dari antagonis ini
mungkin diperlukan untuk mempertahankan tingkat kesadaran yang diinginkan. Sebuah
alternatif untuk dosis ulangan flumazenil untuk mempertahankan kesadaran penuh adalah dengan
memberikan infus flumazenil secara terus-menerus dengan dosis rendah 0.1 sampai 0.4 mg/jam
(Brogden dan Goa, 1991). Pemberian flumazenil kepada pasien-pasien yang diterapi dengan
obat-obat antiepilepsi untuk mengontrol aktivitas bangkitan (kejang) tidak direkomendasikan
karena pemberian flumazenil dapat menimbulkan bangkitan (kejang) akibat withdrawal akut
(Spivey, 1992).

Efek Samping
Antagonis yang diinduksi dengan Flumazenil dari efek agonis benzodiazepin yang berlebihan
tidak diikuti dengan kecemasan akut, hipertensi, takikardi, atau menunjuk respon neuroendokrin
pada pasien-pasien postoperatif (White et al., 1989; Kaukinen et al., 1990). Pembalikan efek
agonis benzodiazepin dengan flumazenil tidak dikaitkan dengan perubahan fungsi sistolik pada
ventrikel kiri atau hemodinamik koroner pada pasien dengan penyakit arteri koroner (Marty et
al., 1991). Aktivitas agonis intrinsik yang lemah dari flummazenil mungkin melemahkan
kejadian pembalikan efek agonis secara tiba-tiba. Flumazenil tidak merubah kebutuhan anestesi
(MAC) untuk anestesi volatil, hal ini menunjukkan bahwa obat ini tidak mendesak efek
depresinya di sistem syaraf pusat pada reseptor benzodiazepin (Schwieger et al., 1989).
Flumazenil, diberikan kira-kira sepuluh kali dosis rekomendasi klinik, tidak mempunyai efek
agonis pada pernafasan saat istirahat atau pada performa psykomotor pada individu yang normal
(Forster et al., 1993).

Gambar 5-14. Struktur kimia hipnosedatif short-acting


HIPNOSEDATIF SHORT-ACTING
Zaleplon, zolpidem, dan zopiclone adalah golongan benzodiazepin yang mirip dalam aktivitas
pendesakannya pada kompleks reseptor GABA (Gambar 5-14) (Drover, 2004). Obat-obat ini
nampaknya mempunyai aktivitas lebih selektif untuk subunit reseptor GABA tertentu, hasilnya
pada riwayat pemakaian klinik untuk gangguan tidur obat ini lebih manjur dengan lebih sedikit
efek samping daripada efek samping yang terjadi pada obat golongan benzodiazepin
konvensional. Akibat dari variasi ikatan terhadap subunit reseptor GABA, tiga obat ini
memperlihatkan efek yang berbeda pada tingkatan dari tidur. Zaleplon (10 mg oral) mempunyai
waktu eliminasi cepat sehingga terdapat sedikit efek samping sisa setelah pemberian dosis
tunggal padawaktu tidur. Menurut perbandingan, zolpidem (10 mg oral) dan zopiclone (7.5 mg
oral) mempunyai efek tunda eliminasi sehingga terdapat efek obat yang diperpanjang. Hal ini
mungkin menghasilkan sedasi sisa dan efek samping, tetapi mungkin hal ini dapat digunakan
untuk mendukung terapi insomnia dengan sedikit frekuensi bangun pada malam hari. Dan
sebaliknya, zaleplon lebih baik digunakan untuk pasien-pasien yang mengalami penundaan onset
tidur.

Anda mungkin juga menyukai