Anda di halaman 1dari 42

BAB I

STATUS PEMERIKSAAN PASIEN

I. Identitas Pasien
Nama : An. M. N
Jenis Kelamin : Laki laki
Tanggal Lahir / Usia : 01 November 2011 / 4 tahun 9 bulan
Alamat : Asrama Yon Sikon 11 RT 07/ RW 15 Srengseng
No. Rekam Medis : 83.68.27
Tanggal Masuk RS : 18 Agustus 2016
Datang Sendiri / Rujukan : Datang Sendiri
Agama : Islam
Suku Bangsa : Sulawesi

II. Identitas Orang Tua

Data Orang Tua Ayah Ibu


Nama Sudarna Saltia Aisa
Usia 36 Tahun 34 Tahun
Pernikahan Ke 1 1
Usia Saat Menikah 28 Tahun 26 Tahun
Pendidikan SMA D3 (Keperawatan)
Pekerjaan TNI Ibu Rumah Tangga
Agama Islam Islam
Suku Bangsa Sulawesi Sulawesi
Riwayat Penyakit Diabetes Melitus Alergi Obat Salbutamol
Konsanguinitas Tidak Ada Tidak Ada

III. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara aloanamnesis dengan orang tua pasien pada tangggal 18
Agustus 2016, pukul 13.00 WIB di ruang perawatan IKA lantai II.

Keluhan Utama : Kejang.


Keluhan Tambahan : Demam, batuk, pilek, muntah.

1
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSPAD Gatot Soebroto dengan keluhan kejang saat demam. Orang
tua pasien mengatakan pasien mengalami kejang 1 hari SMRS. Kejang terjadi disaat pasien
sedang tidur, dan berdurasi kurang lebih 10 detik. Kejang terjadi saat pasien tetiba mengalami
demam tinggi. Menurut orang tua pasien kejang terlihat jelas dari bagian kepala sampai
tangan, dengan mata mengarah ke atas. Sedangkan bagian kaki kejang lebih minimal. Ibu
pasien kemudian membawa pasien ke Rumah Sakit Azzahra. Namun karena antrian disana
cukup panjang, ibu memutuskan membeli Paracetamol suppositoria dan memberikannya
kepada pasien. Pasien berhenti kejang lalu dibawa pulang kembali dari Rs. Azzahra. Pada
malam harinya pasien menggigil dan terlihat pucat, orang tua pasien langsung membawa
pasien ke IGD RSPAD Gatot Soebroto.
Pasien sudah mengalami demam sejak 10 hari SMRS. Suhu tubuh pasien saat demam
mencapai 40,8o C. Suhu tubuh pasien akan naik saat sore hingga malam hari, namun saat
pagi hari suhu tubuh akan turun. Suhu tubuh turun jika diberi paracetamol.
Sejak tanggal 10 hari SMRS, pasien juga mengalami batuk berdahak dengan dahak
berwarna putih. Batuk terjadi secara terus menerus. Awalnya batuk tidak berdahak. Pasien
juga mengalami pilek yang bersamaan dengan batuk. Menurut orang tua pasien, pasien sering
memegangi perutnya dan mengeluh sakit didekat ulu hati ketika batuk. Nafas pasien juga
agak memendek selama batuk. Sebelumnya ayah dan kakak pasien mengalami batuk pilek.
Pasien juga mengalami muntah sebanyak 2 kali, beberapa jam sebelum masuk rumah
sakit. Muntahan pasien bukan berupa makanan, melainkan hanya cairan. Nafsu makan pasien
juga menurun semenjak pasien sakit. BAB dan BAK normal, riwayat diare disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki riwayat sering mengalami kejang saat demam sejak umur 2 tahun, dan
masih terus berlangsung hingga sekarang. Sejak usia 2 tahun, pasien sudah mengalami 4 kali
kejang (usia 2 tahun, 3 tahun, 4 tahun, saat ini). Saat terjadi kejang, biasanya suhu tubuh
pasien mencapai > 39o C. Saat kejang terjadi tidak pernah sampai lebih dari 15 detik.
Riwayat Epilepsy disangkal. Pasien menjalani perawatan di rumah sakit selama 10 hari saat
berumur 8 bulan dengan keluhan campak disertai cacar.

Riwayat Penyakit Keluarga dan Lingkungan Sekitar


Ayah pasien mengidap penyakit diabetes mellitus tipe 2. Sedangkan ibu pasien
memiliki riwayat alergi terhadap obat jenis salbutamol. Kakak pasien juga penah mengalami

2
kejang saat demam. Riwayat epilepsy disangkal. Lingkungan disekitar pasien banyak yang
mengalami keluhan batuk pilek.

Riwayat Kehamilan
Saat mengandung anak M.N (pasien) merupakan kehamilan kedua bagi ibu. Sewaktu
kehamilan tidak ada kelainan yang dialami ibu. Tidak ada riwayat diabetes gestasional,
hipertensi, kelaianan plasenta, kelainan janin dan kelainan lainnya sewaktu hamil. Pasien
hanya mengeluhkan mual muntah yang masih dalam batas normal.
Pasca kelahiran, ibu rutin melakukan kontrol ke tenaga kesehatan baik dokter maupun
posyandu untuk memeriksakan bayinya.

Riwayat Kelahiran
Pada tanggal 1 November 2011 lahir bayi laki-laki dibantu pertolongan dokter di rumah
sakit. Persalinan berjalan secara spontan. Bayi lahir dengan berat badan lahir 2200 gram
(BBLR), dan panjang badan lahir 56 cm. Bayi lahir dalam usia kehamilan 34 minggu (8
bulan 2 minggu), atau dapat dikatakan kurang bulan (preterm). Saat lahir bayi langsung
menangis, tidak ada kebiruan, tidak pucat, tidak ada riwayat kuning, tidak ada riwayat kejang,
tidak ada kelainan bawaan, ibu tidak ingat berapa hasil nilai APGAR.

Riwayat Perkembangan
Perkembangan Jenis Usia
Tengkurap 4 bulan
Duduk 6 bulan
Motorik Kasar
Berdiri Ibu lupa
Berjalan 10 bulan
Bubbling : 3 tahun
Bahasa Bicara
Bicara lancar : 4 tahun
Belum lancar, masih menulis
Motor Halus dan Menulis
garis-garis vertikal
Kognitif Membaca Belum bisa
Prestasi Belajar Sudah dapat mewarnai

Kesan :
Terdapat keterlambatan berbicara, karena seharusnya seorang anak dapat berbicara
bubbling pada usia 6 bulan (delayed speech).

Riwayat Nutrisi

3
Usia ASI / PASI dan takaran Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
0-2 bulan ASI 4 botol (120 ml) / hari - - -
2-4 bulan ASI 4 botol (120 ml) / hari - - -
Bubur Susu
4-6 bulan ASI 4 botol (120 ml) / hari Biskuit -
3xSehari
Nasi Tim
6-8 bulan ASI 4 botol (120 ml) / hari Biskuit + Buah -
3xSehari
Nasi Tim
8-10 bulan ASI 4 botol (120 ml) / hari Biskuit + Buah -
3xSehari
Nasi Tim
10-12 bulan ASI 4 botol (120 ml) / hari Biskuit + Buah -
3xSehari

Kesan :
Riwayat asupan nutrisi baik.

Diatas usia 1 tahun


Makanan Frekuensi
Nasi Setiap hari sebanyak 3x sehari
Sayur Setiap hari sebanyak 3x sehari
Daging 3x dalam seminggu, daging harus dibentuk seperti bakso
Telur Hampir setiap hari, hanya bagian putihnya saja
Ikan 3x dalam seminggu
Tahu Tidak suka
Tempe 3x dalam sehari, hampir setiap hari
Susu (takaran) Susu formula, 1 botol (120 ml) / hari

Kesan :
Tidak ada kesulitan makan (pemberian makanan cukup bervariasi). Pasien senang
memakan berbagai jenis makanan. Namun pasien tidak terlalu suka meminum susu
formula pasca lepas ASI. Minum susu hanya 1 minggu sekali (susu UHT).

Riwayat Imunisasi

4
Jenis Imunisasi Ke-
I II III IV V
Hepatitis B Saat Lahir Usia 1 bulan Usia 6 bulan
Polio Saat lahir Usia 2 bulan Usia 4 bulan Usia 6 bulan Usia 18 bulan
BCG Usia 1 bulan
DTP Usia 2 bulan Usia 4 bulan Usia 6 bulan Usia 18 bulan
HiB Usia 2 bulan Usia 4 bulan Usia 6 bulan Usia 15 bulan
Campak Tidak diberikan karena terkena campak pada usia 8 bulan
Imunisasi - - - - -
Lain

Kesan :
Imunisasi dasar tidak lengkap

Riwayat Keluarga (Corak Reproduksi)


Anak ke 2 dari 2 bersaudara
Tanggal Jenis Lahir Mati Keterangan
No Hidup Abortus
Lahir (usia) Kelamin Mati (sebab) kesehatan
Sehat.
26-12-2009
Mempunyai
1 Usia Laki-laki - - -
riwayat kejang
6 th 8 bln
demam juga.
01-11-2011 Sering
2 Usia Laki-laki - - - mengalami
4 th 9 bln kejang demam

Anggota Keluarga Lain Yang Serumah : Tidak ada


Masalah Dalam Keluarga : Tidak ada

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien dan keluarga tinggal di asrama TNI. Jarak antara rumah pasien dengan tetangga
sangat berdempetan, hanya dipisahkan tembok saja. Sumber air berasal dari jet pump. Toilet
berada didalam rumah, toilet berjumlah 1 buah. Tempat pembuangan (septi tank) berada di
belakang rumah, yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. Asrama tersebut dihuni oleh 40
kepala keluarga.

5
IV. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 18 Agustus 2016, pukul 13.51 WIB.

Pemeriksaan Umum
Berat badan : 14 kg
Tinggi badan : 90 cm
Lingkar kepala : 41 cm
Lingkar lengan atas : 11,5 cm
Keadaan umum : Tampak sakit sedang.
Kesadaran : GCS - E4V5M6 (compos mentis)
Status mental : Tenang

Tanda Vital
Tekanan darah : Tidak diperiksa
Laju nadi : 138x / menit
Laju nafas : 24x / menit
Suhu : 36,6o C

Status Antropometri
BB / U : 14 kg / 4 tahun 9 bulan Z score (-2) s/d (0) BB cukup
TB / U : 90 cm / 4 tahun 9 bulan Z score < (-3) Sangat pendek
BB / TB : 14 kg / 90 cm Z score (1) Gizi cukup (baik)
LLA / U : 11,5 cm / 4 tahun 9 bulan Z score < (-3)
Kesimpulan : Gizi cukup, perawakan sangat pendek.

Pernafasan
Normal / dispone. Tidak ada retraksi.

Sirkulasi
Perabaan kulit : Tidak kasar, akral hangat.
Perabaan nadi : Frekuensi normal, irama regular, isi cukup, ekualisasi baik.
Keadaan tekanan nadi : Kuat angkat

Kejang
Tidak ada

Rangsang Meningeal

6
Kaku kuduk : tidak ada
Brudzinski I : tidak ada
Brudzinski II : tidak ada
Brudizinski III : tidak ada
Brudzinski IV : tidak ada
Kerniq : tidak ada

Kelainan Mukosa/ Kuli/ Subkutan Menyeluruh


Pucat : Tidak pucat
Sianosis : Tidak sianosis
Ikterik : Tidak ikterik
Perdarahan : Tidak ada perdarahan
Edema generalisata : Tidak ada
Perabaan kulit : Tidak teraba kasar, akral hangat
Turgot : Kembali kurang dari 2 detik
Lain-lain, jelaskan : -

Kelenjar Getah Bening


Leher : Tidak teraba pembesaran
Submandibular : Tidak teraba pembesaran
Supraklavikula : Tidak teraba pembesaran
Axilla : Tidak teraba pembesaran
Inguinal : Tidak teraba pembesaran
Lainnya : -

Kepala
Bentuk kepala : Mikrocephale (ukuran 41 cm dalam skala Nellhaus <-2 SD
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut.
Ubun-ubun besar : Teraba rata, sudah menutup.
Kulit kepala : Bersih, tidak tampak lesi.

Wajah
Raut muka : Tampak sakit sedang, anak terlihat tenang, anak tidak tampak
kesakitan.
Nyeri tekan sinus : Tidak ada.
Lain-lain : -

7
Mata
Palpebral : Tidak cekung, tidak ada edema palpebral.
Konjungtiva : Tidak ada anemis mata kanan dan kiri.
Sklera : Tidak ada ikterik mata kanan dan kiri.
Kornea : Jernih.
Pupil : Pupil isokor, reflex cahaya positif kanan dan kiri.
Lensa : Jernih.
Bola mata : Pergerakan bola mata normal, tidak ada nystagmus atau
strabismus.
Visus : Bereaksi terhadap keadaan sekitar.
Lain-lain : -

Telinga
Daun telinga : Daun telinga berukuran sedang, bentuknya normal, posisinya
normal simetris antara kanan dan kiri.
Lubang telinga : Tidak ada fistula.
Gendang telinga : Gendang telinga intak, tidak ada perforasi.
Perdarahan/ sekret : Tidak ada sekret yang keluar.
Lain-lain : -

Hidung
Bentuk : Tidak ada deformitas pada tulang hidung (normotia).
Kulit : Tidak ada lesi pada kulit.
Septum : Tidak ada deviasi septum.
Konka : Konka tidak membesar, tidak hiperemis.
Mukosa : Tidak hiperemis.
Lain-lain : Tidak ada nafas cuping hidung.

Mulut
Bibir : Mukosa lembab, warna tidak pucat, tidak sianosis.
Lidah : Ukuran normal, tidak hiperemis, tidak ada coated tongue.
Langit-langit : Dalam batas normal.
Tonsil : T1-T1, tidak ada pembesaran, tidak hiperemis.
Faring : Hiperemis.
Mukosa : Tidak tampak hiperemis.
Gusi : Tidak edema, tidak ada hiperemis.
Lain-lain : -

8
Leher
Bentuk : Proporsi leher tampak normal.
Kulit : Tidak ada lesi (dalam batas normal).
Pergerakan : Tidak ada hambatan dalam pergerakan.
Tiroid : Tidak teraba pembesaran tiroid.
Trakea : Tidak ada deviasi trakea.
JVP : Tidak ada peningkatan JVP.
Kontrol : Tidak ditemukan adanya massa.

Thoraks
Bentuk : Normochest.
Kulit : Tidak ada lesi disekitar thoraks.
Lain-lain : Pergerakan dan kedalaman dada simetris antara kanan dan
kiri, tidak ada retraksi.

Paru
Inspeksi : Bentuk dada normochest.
Palpasi : Pergerakan dinding simetris, pemeriksaan fremitus tidak
dilakukan.
Perkusi : Suara perkusi sonor.
Auskultasi : Suara napas vesikuler, tidak ada wheezing, tidak ada ronkhi.

Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat.
Palpasi : Posisi iktus kordis tidak dapat ditentukan.
Perkusi : Perkusi tidak dilakukan secara maksimal (batas jantung paru
sulit ditentukan).
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni regular, tidak ada murmur & gallop.
Abdomen
Inspeksi : Bentuk datar dan supel.
Auskultasi : Bising usus normal, tidak ada peningkatan bising usus.
Palpasi
Hati : Tidak teraba pembesaran hati.
Limpa : Tidak teraba pembesaran limpa.
Ginjal : Tidak teraba pembesaran ginjal.
Lain-lain : Tidak ada nyeri tekan, tidak ada ascites.
Perkusi : Terdengar bunyi timpani.

Genitalia

9
Lubang uretra : Terdapat diujung penis (dalam batas normal).
Penis : Berukuran normal.
Testis : Testis sudah turun.
Skrotum : Sudah turun.
Rambut pubis : Tidak ada.

Anus
Terdapat lubang pada anus, tidak terdapat benjolan disekitar anus, tidak ada abses
disekitar anus, tidak ada luka disekitar mukosa anus.

Ekstremitas
Bentuk : Dalam batas normal, tidak ada deformitas.
Posisi : Posisi ekstremitas simetris antara kanan dan kiri (tangan dan
kaki).
Kulit : Tidak kering, tidak tampak sianosis, tidak tampak ikterik,
tidak ada lesi.
Motorik : Pasien sudah dapat berjalan, berlari, berbicara, menulis huruf
yang vertical.
Edema : Tidak ada.
Tonus : Tonus otot kuat.
Sianosis : Tidak ada sianosis.
Jari tabuh : Tidak ada.
Refleks
Fisiologis
BPR : Normal.
KPR : Normal.
TPR : Normal.
APR : Normal.
Patologis
Refleks hoftman : Negatif.
Refleks tromner : Negatif kanan dan kiri.
Refleks oppenheim : Negatif kanan dan kiri.
Refleks chaddock : Negatif kanan dan kiri.

10
V. Pemeriksaan Penunjang

Hasil Laboratorium RSPAD Gatot Soebroto (18 Agustus 2016, pukul 03.15)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
HEMATOLOGI
Hb 12,8* 13,5-19,5 g/dL
Ht 39* 42-60 %
Eritrosit 5,3 3,9-5,5 juta/uL
Leukosit 50600* 9.000-30.000 /uL
Trombosit 523000* 150.000-400.000 /uL
MCV 73* 98-118 fL
MCH 24* 31-37 g/dL
MCHC 33 30-36 g/dL

Hasil Laboratorium RSPAD Gatot Soebroto (18 Agustus 2016, pukul 05.26)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

11
KIMIA KLINIK
SGOT (AST) 24 <35 U/L
SGPT (ALT) 22 <40 U/L
Ureum 30 20-50 mg/dL
Kreatinin 0,5 0,5-1,5 mg/dL
Glukosa Darah (Sewaktu) 95 <140 mg/dL
Natrium (Na) 138 mmol/L
Kalium (K) 3,9 mmol/L
Klorida (Cl) 100 mmol/L

Hasil Laboratorium RSPAD Gatot Soebroto (18 Agustus 2016, pukul 10.40)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
HEMATOLOGI
Hb 13,1* 13,5-19,5 g/dL
Ht 38* 42-60 %
Eritrosit 5,4 3,9-5,5 juta/uL
Leukosit 44330* 9.000-30.000 /uL
Trombosit 447000* 150.000-400.000 /uL
Hitung Jenis :
- Basophil 0 0-1%
- Eosinophil
0* 1-3%
- Batang
- Segmen 3 2-6%
- Limfosit
87* 50-70%
- Monosit
4* 20-40%
MCV
6 2-8%
MCH
70* 98-118 fL
MCHC

12
RDW 24* 31-37 g/dL
LED 34 30-36 g/dL
KIMIA KLINIK 13,50 %
CRP Kuantitatif 38* <15 mm/jam
IMUNOSEROLOGI
Tubex TF 12,30* <1 mg/jam

Negatif Negatif

Hasil Laboratorium RSPAD Gatot Soebroto (18 Agustus 2016, pukul 10.53)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
URINALISIS
Urin Lengkap
warna Kuning
kejernihan Jernih
Berat jenis
1,025 1,000-1,030
pH
protein 6,0 5,0-8,0
glukosa -/Negatif Negatif
keton
-/Negatif Negatif
darah
bilirubin -/Negatif Negatif
urobilinogen -/Negatif Negatif
nitrit
-/Negatif Negatif
leukosit esterase
0,1 0,1-1,0 mg/dL
Sedimen Urin
+/Positif Negatif
leukosit
eritrosit -/Negatif Negatif
silinder

13
epitel 3-2-3 <5 /LPB
kristal 0-1-0 <2 /LPB
lain-lain
-/Negatif Negatif / LPK
+/Positif 1 Positif
-/Negatif Negatif
-/Negatif

Hasil Px. Mikrobiologi RSPAD Gatot Soebroto (18 Agustus 2016,)


Jenis Pemeriksaan Kultur urin + Resistensi
Jenis Bahan Urine
Sediaan Langsung Tidak ditemukan adanya kuman
Hasil Biakan Tidak tampak pertumbuhan kuman
Resistensi Test Tidak dilakukan

Hasil Laboratorium RSPAD Gatot Soebroto (22 Agustus 2016, pukul 06.20)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
HEMATOLOGI
Hb 12,3* 13,5-19,5 g/dL
Ht 37* 42-60 %
Eritrosit 5,1 3,9-5,5 juta/uL
Leukosit 5650* 9.000-30.000 /uL
Trombosit 219.000 150.000-400.000 /uL
MCV 73* 98-118 fL
MCH 24* 31-37 g/dL
MCHC 33 30-36 g/dL

VI. Resume
Pasien anak laki-laki usia 4 tahun 9 bulan, datang dengan keluhan kejang 12 jam
sebelum masuk rumah sakit. Kejang disertai dengan demam. Kejang terjadi dominan di tubuh
bagaian atas, bagaian tubuh bawah kejang lebih minimal. Malam hari di hari yang sama
setelah pasien kejang, pasien mengigil dan pucat. Pasien sudah demam sejak 10 hari SMRS,
dengan suhu mencapai 40,8oC. Demam naik turun, demam terjadi pada sore dan malam hari
sedangkan pagi demam akan turun. Pasien juga mengalami batuk berdahak warna putih dan
pilek sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit. Frekuensi batuk terus menerus. Pasien

14
memiliki riwayat kejang demam saat umur 2-4 tahun dengan suhu diatas 39 oC saat terjadi
kejang.
Pada pemeriksaan fisik tampak pasien sakit ringan, kesadaran composmentis. TB 120
cm, BB 14 kg, nadi 138x/menit, nafas 24x/menit, suhu 36,6 oC, LK 41 cm. Kepala, mulut,
THT, thoraks, abdomen, dan ekstremitas dalam batas normal. Sedangkan konjungtiva mata
sedikit anemis. Pasien tidak demam karena masih dalam pengaruh obat paracetamol saat
pemeriksaan.
Pada pemeriksaan laboraturium pertama kali didapatkan Hb 13,1 (), Ht 38 (),
leukosit 44330 (), trombosit 447000 (), MCV 70 (), LED , CRP kuantitatif 12,30 (),
eosinofil 0 (), segmen 87 (), limfosit 4 (). Selama masa perawatan leukosit dan
trombosit mengalami perbaikan. Sedangkan Hb, Ht MCV, MCH masih rendah. Tidak
ditemukan tumbuhnya kuman dalam kultur.

VII. Diagnosis Banding


1) Kejang demam sederhana
2) Rhinofaringitis
3) Observasi demam :
Demam thypoid
Sepsis
4) Anemia defisiensi besi

VIII. Diagnosis Kerja


1) Kejang demam sederhana
2) Rhinofaringitis
3) Anemia defisiensi besi

IX. Penatalaksanaan
IVFD KAEN I B 1200 cc/ 24 jam
Drip ceftriaxon 1 x 500 I.V
Paracetamol syrp 3 x 5 ml jika suhu 38o C
Diazepam 3 x 1 P.O jika kejang
Farmadol drip 4 x 150 mg I.V
Puyer (ambroxol 6 mg, cetirizine 1 mg, salbutamol 0,4 mg) 3 x 1 pulveres
Nabulisasi NaCl = berotech d 9 tt + atrovent d 9 tt 3 x 1
Lakukan kompres air hangat jika demam
Perbaiki intake makanan

X. Rencana Pemeriksaan

15
Pemeriksaan darah lengkap.
Pemeriksaan serum iron, serum transferrin, serum ferritin.
Pemeriksaan CT-scan

XI. Prognosis
Quo ad Vitam : Bonam.
Quo ad Functionam : Dubia.
Quo ad Sanationam : Malam.
XII. Follow Up

Tanggal S O A P
18-08-16 Pasien tidak - KU/Kes: lemah/cm - Kejang - IVFD KAEN I
Jam demam (efek - S:37,1 C demam B 1200 cc/ 24
07.00 diberi PCT) - N:120 x/menit sederhana jam
sebelum - RR:28 x/menit -Rhinofaringitis - Drip ceftriaxon
masuk IGD, - Kepala : - Febris e.c 1 x 500 I.V
batuk normocephal sepsis - Paracetamol
berdahak, - Mata : konjungtiva syrp 3 x 5 ml
tidak nafsu anemis -/- sklera jika suhu 38o C
makan, tidak ikterik -/-, tidak - Paracetamol
ada muntah, cekung. drip 4 x 150 gr
tidak ada - THT : normotia, I.V jika suhu
diare. nafas cuping hidung 38o C
(-), faring hiperemis, - Diazepam 3 x 1
tidak ada sekret keluar P.O jika
- Mulut: bibir lembab. kejang
- Leher : Pembesaran - Farmadol drip 4
KGB (-) x 150 mg I.V
- Thoraks : simetris, - Puyer
tidak ada retraksi (ambroxol 6 mg,
- Cor : BJ I-BJ II cetirizine 1 mg,
reguler, murmur (-), salbutamol 0,4
gallop (-) mg) 3 x 1
- Pulmo : Suara Nafas pulveres
Vesikuler, Ronkhi -/-, - Nabulisasi

16
Wheezing -/- NaCl = berotech
- Abdomen : datar, 9 gtt + atrovent d
supel, BU (+), - - 9 gtt 3 x 1
Hepar/lien : tidak
teraba
- Ekstremitas : akral
hangat, sianosis (-),
edema -/-, CRT < 2
detik
- Kulit: tidak pucat
Tanggal S O A P
19-08-16 Pasien masih - Ku/kes: lemah/cm - Kejang - IVFD KAEN I
Jam demam tadi - N:110x/menit demam B 1200 cc/ 24
07.00 malam, saat - RR:24x/menit sederhana jam
ini demam - S:37C -Rhinofaringitis - Drip ceftriaxon
turun. Batuk - Kepala : akut 1 x 500 I.V
masih ada normocephal - Febris - Paracetamol
dan - Mata : konjungtiva leukositosi syrp 3 x 5 ml
berdahak, anemis -/-, sklera susp. sepsis jika suhu 38o C
muntah tidak ikterik -/-, tidak - Paracetamol
ada, kejang cekung. drip 4 x 150 gr
tidak ada. - THT : normotia, I.V jika suhu
tidak ada sekret, 38o C
faring hiperemis - Diazepam 3 x 1
- Leher : Pembesaran P.O jika
KGB (-) kejang
- Thoraks : simetris - Farmadol drip 4
saat statis, tidak ada x 150 mg I.V
retraksi. - Puyer
- Cor : BJI-BJII (ambroxol 6 mg,
reguler, murmur (-), cetirizine 1 mg,
gallop (-) salbutamol 0,4
- Pulmo : Suara Nafas mg) 3 x 1
Vesikuler, Ronkhi -/-, pulveres

17
Wheezing -/- - Nabulisasi
- Abdomen : datar, NaCl = berotech
supel, BU (+), 9 gtt + atrovent d
-Hepar/lien : tidak 9 gtt 3 x 1
teraba
- Ekstremitas : akral
hangat, sianosis (-),
edema -/-, CRT < 2
detik
Tanggal S O A P
20-08-16 Demam - Ku/kes: sakit - Kejang - IVFD KAEN I
Jam sejak pukul ringan/cm demam B 1200 cc/ 24
07.00 22.00 tadi - N:138x/menit sederhana jam
malam, - RR: 24x/menit -Rhinofaringitis - Drip ceftriaxon
turun - S:36,3C akut 1 x 500 I.V
kembali - Kepala : - Febris - Paracetamol
pukul 00.00. normocephal leukositosi syrp 3 x 5 ml
Demam - Mata : konjungtiva susp. sepsis jika suhu 38o C
kembali naik tidak anemis, sklera - Paracetamol
pukul 03.00. ikterik -/-, tidak drip 4 x 150 gr
Masih batuk cekung. I.V jika suhu
tetapi sudah - THT : normotia, 38o C
berkurang, nafas cuping hidung - Diazepam 3 x 1
BAB dan (-), faring tidak P.O jika
BAK tidak hiperemis kejang
ada keluhan. - Leher : Pembesaran - Farmadol drip 4
KGB (-) x 150 mg I.V
- Thoraks : simetris, - Puyer
tidak ada retraksi (ambroxol 6 mg,
- Cor : BJI-BJII cetirizine 1 mg,
reguler, murmur (-), salbutamol 0,4
gallop (-) mg) 3 x 1
- Pulmo : Suara Nafas pulveres
Vesikuler, Ronkhi -/-, - Nabulisasi

18
Wheezing -/- NaCl = berotech
- Abdomen : datar, 9 gtt + atrovent d
supel, BU (+), 9 gtt 3 x 1
Hepar/lien : tidak - monitor kultur
teraba darah
- Ekstremitas : akral
hangat, sianosis (-),
edema -/-, CRT < 2
detik
Tanggal S O A P
21-08-16 Pasien - Ku/kes: sakit - Kejang - IVFD KAEN I
Jam demam 38oC ringan/cm demam B 1200 cc/ 24
07.00 jam 03.30 - N: 105x/menit sederhana jam
pagi. Minum - RR: 22x/menit -Rhinofaringitis - Drip ceftriaxon
PCT dan - S:35,6C akut 1 x 500 I.V
demam - Kepala : - Leukositosis - Paracetamol
turun. Batuk normocephal e.c sepsis syrp 3 x 5 ml
berdahak, - Mata : konjungtiva jika suhu 38o C
BAB 1x, anemis -/-, sklera - Diazepam 3 x 1
bias tidur ikterik -/-, tidak P.O jika
dengan pulas cekung. kejang
- THT : nafas cuping - Puyer
hidung (-), faring (ambroxol 6 mg,
tidak hiperemis, sekret cetirizine 1 mg,
ada salbutamol 0,4
- Leher : Pembesaran mg) 3 x 1
KGB (-) pulveres
- Thoraks : simetris, - Nabulisasi
tidak ada retraksi NaCl = berotech
- Cor : BJI-BJII 9 gtt + atrovent d
reguler, murmur (-), 9 gtt 3 x 1
gallop (-) - Monitor kultur
- Pulmo : Suara Nafas darah
Vesikuler, Ronkhi -/-, - Diet 1600 kkal

19
Wheezing -/-
- Abdomen : datar,
supel, BU (+),
Hepar/lien : tidak
teraba
- Ekstremitas : akral
hangat, sianosis (-),
edema -/-, CRT < 2
detik
Tanggal S O A P
22-08-16 Pasien - Ku/kes: sakit - Kejang - IVFD KAEN I
Jam mengalami ringan/cm demam B 1200 cc/ 24
07.00 demam - N: 101x/menit sederhana jam
pukul 03.30 - RR: 24x/menit -Rhinofaringitis - Drip ceftriaxon
WIB. Pasien - S:37C akut 1 x 500 I.V
belum diberi - Kepala : - febris - Paracetamol
obat penurun normocephal leukositosis e.c syrp 3 x 5 ml
panas. Batuk - Mata : konjungtiva suspek febris jika suhu 38o C
berkurang. anemis -/-, sklera - Gizi kurang, - Diazepam 3 x 1
BAB dan ikterik -/-, tidak perawakan P.O jika
BAK cekung. pendek + kejang
normal. - THT : nafas cuping mikrosefali - Puyer
Tidak ada hidung (-), faring (ambroxol 6 mg,
mual tidak hiperemis, sekret cetirizine 1 mg,
muntah, ada salbutamol 0,4
tidak kejang. - Leher : Pembesaran mg) 3 x 1
KGB (-) pulveres
- Thoraks : simetris, - Nabulisasi
tidak ada retraksi NaCl = berotech
- Cor : BJI-BJII 9 gtt + atrovent d
reguler, murmur (-), 9 gtt 3 x 1
gallop (-) - Monitor kultur
- Pulmo : Suara Nafas darah
Vesikuler, Ronkhi -/-, - ku TTV

20
Wheezing -/- - cek DL
- Abdomen : datar, differensiasi
supel, BU (+), - monitor hasil
Hepar/lien : tidak kultur darah
teraba - cek mantoux +
- Ekstremitas : akral tes hormone
hangat, sianosis (-), konsul dr. danna
edema -/-, CRT < 2
detik
Tanggal S O A P
23-08-16 Pasien sudah - Ku/kes: sakit - kejang demam - IVFD stop
tidak ringan/cm sederhana - Drip ceftriaxon
mengalami - N: 100x/menit -rhinofaringitis stop
demam, - RR: 24x/menit akut - Paracetamol
tidak ada - S:36,3C - febris syrp 3 x 5 ml
mual, tidak - Kepala : leukositosis e.c jika suhu 38o C
muntah, normocephal suspek sepsis - Puyer
BAB dan - Mata : konjungtiva - gizi kurang (ambroxol 6 mg,
BAK lancar, anemis -/-, sklera perawakan cetirizine 1 mg,
tidak ada ikterik -/-, tidak pendek salbutamol 0,4
batuk dan cekung. mg) 3 x 1
pilek. - THT : nafas cuping pulveres
hidung (-), faring - kultur darah
tidak hiperemis, sekret sampai saat ini
ada tidak tumbuh
- Leher : Pembesaran - cek mantoux
KGB (-) indikasi negatif
- Thoraks : simetris, - acc rawat jalan
tidak ada retraksi control poli
- Cor : BJI-BJII endokrin + poli
reguler, murmur (-), dr. adi
gallop (-)
- Pulmo : Suara Nafas
Vesikuler, Ronkhi -/-,

21
Wheezing -/-
- Abdomen : datar,
supel, BU (+),
Hepar/lien : tidak
teraba
- Ekstremitas : akral
hangat, sianosis (-),
edema -/-, CRT < 2
detik

22
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

KEJANG DEMAM
I. Definisi
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal diatas 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Perlu
diperhatikan bahwa demam harus mendahului kejang. Anak yang pernah mengalami
kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang
demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan juga tidak
termasuk dalam kejang demam.

II. Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan hingga 5 tahun. Di
Amerika insidensinya 2%-5% anak dengan usia dibawah 5 tahun. Sedangkan di Asia
insidensinya meningkat dua kali lipat.
Pada umumnya kasus kejang demam sembuh sempurna, sebagian kecil
berkembang menjadi epilepsi (2%-7%), dengan angka kematian 0,64%-0,75%. Maka
dari itu prognosis kejang demam biasanya baik.

III. Etiologi
Etiologi dari kejang demam masih tidak diketahui. Namun pada sebagian besar
anak dipicu oleh tingginya suhu tubuh bukan kecepatan peningkatan suhu tubuh.

Biasanya suhu demam diatas 38,8o C dan terjadi disaat suhu tubuh naik dan bukan pada
saat setelah terjadinya kenaikan suhu tubuh.
Jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan
demam yang dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling sering
menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan atas, otitis media akut,
pneumonia, gastroenteritis akut, bronchitis, dan infeksi saluran kemih.

23
IV. Faktor Risiko
Beberapa faktor yang berperan menyebabkan kejang demam antara lain adalah
demam, demam setelah imunisasi DPT dan morbili, efek toksin dari mikroorganisme,
respon alergik atau keadaan imun yang abnormal akibat infeksi, perubahan
keseimbangan cairan dan elektrolit.

Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah (IDAI, 2009)


- Riwayat kejang demam dalam keluarga
- Usia kurang dari 18 bulan
- Temperatur tubuh saat kejang. Makin rendah temperatur saat kejang makin
sering berulang
- Lamanya demam.

Adapun faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari adalah (IDAI, 2009)
- Adanya gangguan perkembangan neurologis
- kejang demam kompleks
- riwayat epilepsi dalam keluarga
- lamanya demam

V. Klasifikasi
Kejang demam dibagi menjadi 2 golongan. Terdapat perbedaan kecil dalam
penggolongan tersebut, menyangkut jenis kejang, tingginya demam, usia penderita,
lamanya kejang berlangsung, gambaran rekaman otak, dan lainnya. Berikut
penjelasannya mengenai klasifikasi kejang demam :
- Kejang demam kompleks ialah kejang demam yang lebih lama dari 15 menit,
fokal atau multiple (lebih dari 1 kali kejang per episode demam).
- Kejang demam sederhana ialah kejang demam yang bukan kompleks. Kejang
tidak lebih dari 15 menit, bersifat tonik atau klonik atau tonik-klonik. Kejang
biasanya terjadi hanya 1 kali kejang per episode demam.
Dibawah ini adalah perbedaan antara kejang demam sederhana dan kejang demam
kompleks.

24
VI. Patofisiologi
Terjadinya infeksi di ekstrakranial seperti otitis media akut, tonsillitis dan
bronchitis dapat menyebabkan bakteri yang bersifat toksik tumbuh dengan cepat, toksik
yang dihasilkan dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui hematogen dan limfogen.
Pada keadaan ini tubuh mengalami inflamasi sistemik. Dan hipotalamus akan merespon
dengan menaikkan pengaturan suhu tubuh sebagai tanda tubuh dalam bahaya secara
sistemik. Disaat tubuh mengalami peningkatan suhu 1C secara fisiologi tubuh akan
menaikkan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen sebesar 20%. Pada
seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh,
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh
tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam
waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui
membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik.
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel
maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut
neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang
berbeda dan tergantung tinggi rendahnya ambang kejang seeorang anak menderita
kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah,
kejang telah terjadi pada suhu 38C sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang
tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40C atau lebih. Dari kenyataan inilah dapatlah
disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang
yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu
berapa penderita kejang.
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia
sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah mesial lobus

25
temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi
matang di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi
kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak
hingga terjadi epilepsy.

VII. Manifestasi Klinis


Kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau tonik
klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak
memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak
terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang demam diikuti
hemiparesis sementara (Hemeparesis Tood) yang berlangsung beberapa jam sampai
hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap.
Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih sering terjadi pada kejang demam yang
pertama. Kejang berulang dalam 24 jam ditemukan pada 16% paisen.
Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya berkembang
bila suhu tubuh (dalam) mencapai 39C atau lebih. Kejang khas yang menyeluruh,
tonik-klonik beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan periode mengantuk singkat
pasca-kejang. Kejang demam yang menetap lebih lama dari 15 menit menunjukkan
penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik yang memerlukan pengamatan
menyeluruh.

VIII. Diagnosis
Beberapa hal dapat mengarahkan untuk dapat menentukan diagnosis kejang
demam antara lain:
1. Anamnesis, dibutuhkan beberapa informasi yang dapat mendukung diagnosis
ke arah kejang demam, seperti:
- Menentukan adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu
sebelum dan saat kejang, frekuensi, interval pasca kejang, penyebab
demam diluar susunan saraf pusat.
- Beberapa hal yang dapat meningkatkan risiko kejang demam, seperti
genetik, menderita penyakit tertentu yang disertai demam tinggi,
serangan kejang pertama disertai suhu dibawah 39 C.
- Beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya kejang demam berulang
adalah usia< 15 bulan saat kejang demam pertama, riwayat kejang

26
demam dalam keluarga, kejang segera setelah demam atau saat suhu
sudah relatif normal, riwayat demam yang sering, kejang demam
pertama berupa kejang demam komlpeks.
2. Gambaran Klinis, yang dapat dijumpai pada pasien kejang demam adalah:
- Suhu tubuh mencapai 39C.
- Anak sering kehilangan kesadaran saat kejang
- Kepala anak sering terlempar keatas, mata mendelik, tungkai dan
lengan mulai kaku, bagian tubuh anak menjadi berguncang. Gejala
kejang tergantung pada jenis kejang.
- Kulit pucat dan mungkin menjadi biru.
- Serangan terjadi beberapa menit setelah anak itu sadar
3. Pemeriksaan fisik dan laboratorium :
Kejang demam sederhana, tidak dijumpai kelainan fisik neurologi
maupun laboratorium. Pada kejang demam kompleks, dijumpai kelainan fisik
neurologi berupa hemiplegi. Pada pemeriksaan EEG didapatkan gelombang
abnormal berupa gelombang-gelombang lambat fokal bervoltase tinggi,
kenaikan aktivitas delta, relatif dengan gelombang tajam. Perlambatan
aktivitas EEG kurang mempunyai nilai prognostik, walaupun penderita kejang
demam kompleks lebih sering menunjukkan gambaran EEG abnormal. EEG
juga tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi di
kemudian hari.

IX. Penatalaksanaan
Pada tatalaksana kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu:
1. Pengobatan fase akut :
Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu pasien sedang kejang
semua pakaian yang ketat dibuka, dan pasien dimiringkan kepalanya apabila
muntah untuk mencegah aspirasi. Jalan napas harus bebas agar oksigenasi
terjamin.

27
Obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah Diazepam yang
diberikan intravena atau intrarekal. Dosis Diazepam intravena 0,3-0,5
mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1-2 mg/menit dengan dosis maksimum 20
mg. Bila Diazepam intravena tidak tersedia atau pemberiannya sulit, gunakan
Diazepam intrarektal 5 mg (BB < 10 kg) atau 10 mg (BB > 10 kg). Bila
kejang tidak berhenti dapat diulang selang 5 menit kemudian.
Bila tidak berhenti juga, berikan Fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB
secara intravena perlahan-lahan 1 mg/kgBB/menit. Setelah pemberian
Fenitoin, harus dilakukan pembilasan dengan NaCl fisiologis karena Fenitoin
bersifat basa dan menyebabkan iritasi vena. Bila dengan Fenitoin kejang
belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif.
Bila kejang berhenti dengan Diazepam, lanjutkan dengan Fenobarbital
diberikan langsung setelah kejang berhenti. Dosis awal untuk bayi 1 bulan
sampai dengan 1 tahun 50 mg, dan umur 1 tahun ke atas 75 mg secara
intramuskular. Empat jam kemudian berikan Fenobarbital dosis rumat. Untuk
2 hari pertama dengan dosis 8-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, untuk
hari-hari berikutnya dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis.

28
Jika anak mengalami demam tinggi, kompres dengan air biasa (suhu ruangan)
dan perikan Parasetamol secara rektal (10-15 mg/kgBB).

2. Mencari dan Mengobati Penyebab


Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama.
Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada
kasus yang dicurigai meningitis atau apabila kejang demam berlangsung lama.
Pada bayi kecil sering mengalami meningitis tidak jelas, sehingga pungsi
lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan, dan dianjurkan
pada pasien berumur kurang dari 18 bulan. Pemeriksaan laboratorium lain
perlu dilakukan utuk mencari penyebab.

3. Pengobatan Profilaksis
Kambuhnya kejang demam perlu dicegah, kerena serangan kejang
merupakan pengalaman yang menakutkan dan mencemaskan bagi keluarga.
Bila kejang demam berlangsung lama dan mengakibatkan kerusakan otak yang
menetap (cacat). Adapun 3 upaya yang dapat dilakukan:
- Profilaksis intermitten, pada waktu demam.
- Profilaksis terus-menerus, dengan obat antikonvulsan tiap hari
- Mengatasi segera bila terjadi kejang.

X. Prognosis
Faktor risiko berulangnya kejang demam :
Riwayat kejang demam dalam keluarga
Usia kurang dari 14 bulan
Gangguan neurologis
Suhu saat kejang pertama dibawah 38C
Tingginya suhu sebelum kejang
Lamanya demam
Jarak panas terhadap kejang kurang 6 jam
Kejang demam kompleks

29
Channelopathi
Bila semua faktor risiko ada kemungkinan berulang 80 %, satu faktor 10-15%.
RHINOFARINGITIS
I. Definisi
Rhinopharyngitis adalah suatu peradangan akut atau kronis dari selaput lendir
dihidung dan tenggorokan. Hal ini memberikan medan yang menguntungkan bagi
pengembangan peradangan dan infeksi mikroba.

II. Epidemiologi
Beberapa studi menunjukkan kejadian rhinopharyngitis yang agak tinggi pada
anak usia sekolah TK dan SD. Rata-rata 3-8 pilek per tahun diamati pada kelompok
usia ini, dengan kejadian lebih tinggi pada anak-anak yang menghadiri tempat penitipan
anak dan prasekolah. Karena banyak virus agen yang terlibat dan banyak serotipe
beberapa virus, seorang anak muda yang memiliki pilek baru setiap bulan selama
musim dingin yang tidak biasa.
Dewasa dan remaja biasanya memiliki 2-4 pilek per tahun. Peningkatan dalam
insiden selama bulan-bulan musim dingin diamati di seluruh dunia. Karena antibodi
terhadap serotipe virus berkembang dari waktu ke waktu, kejadian tertinggi ditemukan
pada bayi dan anak-anak muda. Selain itu, anak muda sering dekat dan lebih cenderung
memiliki kontak pribadi yang diperlukan untuk mengirimkan itu.

III. Etiologi
Rhinopharyngitis biasanya disebabkan oleh infeksi virus. Virus lebih sering pada
cuaca dingin dan menyerang dalam bentuk epidemi kecil. Dingin dan kelelahan juga
termasuk sebagai faktor kontribusi. Virus yang paling sering terlibat adalah rhinovirus.

IV. Patofisiologi
Flu biasa adalah jenis faringitis. Dalam pilek, peradangan disebabkan oleh infeksi
virus di bagian paling atas dari tenggorokan iaitu nasofaring, yang berjalan dari
belakang hidung turun ke mulut. Virus flu biasa ditularkan terutama dari kontak dengan
air liur atau cairan hidung dari orang yang terinfeksi, baik secara langsung, ketika orang
yang sehat bernafas virus yang dihasilkan dan ketika orang yang terinfeksi batuk atau
bersin atau dengan menyentuh permukaan yang terkontaminasi dan kemudian

30
menyentuh hidung atau mata. Tidak mungkin untuk mengidentifikasi jenis virus
melalui gejala.
Namun, influenza dapat dibedakan dengan serangan mendadak, demam, dan
batuk. Titik masuk utama bagi virus biasanya hidung, tetapi juga bisa menjadi mata.
Dalam hal ini drainase kasus ke nasofaring akan terjadi melalui saluran nasolacrimal.
Dari sana, diangkut ke bagian belakang hidung dan daerah adenoid. Virus ini kemudian
melekat pada reseptor, ICAM-1, yang terletak pada permukaan sel-sel dari lapisan
nasofaring. Reseptor cocok ke port docking pada permukaan virus. Virus diambil ke
dalam sel, dimana dimulai infeksi.
Pilek rhinovirus biasanya tidak menyebabkan kerusakan pada epitel hidung.
Makrofag memicu produksi sitokin, yang dikombinasikan dengan mediator
menyebabkan gejala-gejala yang ditunjukkan. Sitokin menyebabkan efek sistemik. Para
mediator bradikinin memainkan peran utama dalam menyebabkan gejala lokal seperti
sakit tenggorokan dan iritasi hidung. Rhinopharyngitis adalah membatasi diri, dan
sistem kekebalan badan efektif mengatasi infeksi. Dalam beberapa hari, respon humoral
kekebalan tubuh mulai memproduksi antibodi spesifik yang dapat mencegah virus
untuk menulari sel. Selain itu, sebagai bagian dari respon imun diperantarai sel, leukosit
menghancurkan virus melalui fagositosis dan menghancurkan sel yang terinfeksi untuk
mencegah lebih lanjut replikasi virus. Dalam individu sehat dan imunokompeten,
masalah ini dapat diselesaikan dalam rata-rata tujuh hari

V. Gejala Klinis
Gejala klinis yang dapat dilihat adalah bersin-bersin, hidung tersumbat, ingus
hidung, hiperemi faring, rasa gatal pada hidung dan tenggorok, kelelahan, panas badan
dan hilang nafsu makan.

VI. Diagnosis
Diagnosis didasarkan pada penyebab dan durasi gejala. Harus dilakukan
anamnesa yang lengkap dan pemeriksaan dengan rinoskopi anterior. Biasanya bisa
dilihat mukosa hiperemi. Gejala-gejala harus diperhatikan.

VII. Penatalaksanaan
Perawatan termasuk langkah-langkah untuk membantu meringankan gejala dan
menjaga tubuh sekuat mungkin untuk meminimalkan risiko komplikasi berkembang.

31
1. Rehat secukupnya
2. Cairan
3. Dingin-dan-obat flu
4. Aspirin - tetapi tidak untuk bayi, anak-anak atau remaja karena risiko Reye's
syndrome.
5. Acetaminophen
6. Dekongestan
7. Batuk penekan
8. Antihistamin
9. Inhalasi uap
10. Preventasi

Pencegahan terbaik untuk mencegah virus ialah tidak berdekatan dengan orang
yang terinfeksi, dan tempat-tempat dimana individu yang terinfeksi berada. Mencuci
tangan secara teratur dianjurkan untuk mengurangi penularan virus flu dan patogen lain
melalui kontak langsung. Virus dapat disebar dari tangan. 40% dari orang dewasa
dengan pilek rhinovirus, dan jumlah virus disebar dari tangan juga umumnya lebih
besar dari yang ditemukan dalam batuk dan bersin. Cuci tangan dapat mengurangi
jumlah virus pada kulit.

VIII. Prognosis
Umumnya ringan dan membatasi diri

ANEMIA DEFISIENSI BESI


I. Definisi
Anemia didefinisikan sebagai penurunan volume eritrosit atau kadar Hb sampai
di bawah rentang nilai yang berlaku untuk orang sehat.
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi karena kekurangan zat besi
(Fe) yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah. Defisiensi besi merupakan
penyebab terbanyak dari anemia di seluruh dunia. Diperkirakan 30 % dari populasi
dunia mengalami anemia akibat defisiensi besi. Zat besi selain dibutuhkan untuk
pembentukan Hb yang berperan dalam penyimpanan dan pengangkutan oksigen, juga
terdapat dalam beberapa enzim yang berperan dalam metabolisme oksidatif, sintesa
DNA, neurotransmiter dan proses katabolisme yang bekerjanya membutuhkan ion besi.

32
II. Etiologi
Terjadinya anemia defisiensi besi dangat ditentukan oleh kemampuan absorpsi
besi, diit yang mengandung besi, kebutuhan besi yang meningkat dan jumlah yang
hilang. Kebutuhan besi dapat disebabkan :
Kebutuhan yang meningkat fisiologis
Kurangnya besi yang diserap
Perdarahan
Kehilangan darah akibat perdarahan merupakan penyebab penting terjadinya anemia
defisiensi Fe. Kehilangan darah 1 ml akan mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg.
Perdarahan dapat karena ulkus peptikum, infeksi cacing, obat-obatan (kortikosteroid,
AINS, indometasin).
Kehamilan Pada kehamilan,
kehilangan besi kebanyakan disebabkan oleh kebutuhan besi oleh fetus untuk
eritropoiesis, kehilangan darah saat persalinan, dan saat laktasi.
Transfusi feto-maternal
Kebocoran darah yang kronis ke dalam sirkulasi ibu akan menyebabkan anemia pada
akhir masa fetus dan pada awal masa neonatus.
Hemoglobinuri
Keadaan ini biasa dijumpai pada anak yang memakai katup jantung buatan. Pada
Paroxismal Nocturnal Hemoglobinuria kehilangan besi melalui urin 1,8-7,8 mg/hari
Iatrogenic blood loss
Terjadi pada anak yang sering diambil darah venanya untuk pemeriksaan
laboratorium
Idiopathic pulmonary hemosiderosis
Penyakit ini jarang terjadi, pada keadaan ini kadar Hb d apat turun drastis hingga
1,5-3 g/dl dalam 24 jam.
Latihan yang berlebihan
Pada orang yang berolahraga berat kadar feritin serumnya akan kurang dari 10
ug/dl.

III. Patofisiologi
Anemia defisiensi Fe merupakan hasil akhir keseimbangan negatif Fe yang
berlangsung lama. Bila keseimbangan besi ini menetap akan menyebabkan cadangan
besi terus berkurang. Terdapat 3 tahap defisiensi besi, yaitu :

33
Iron depletion :
Ditandai dengan cadangan besi menurun atau tidak ada tetapi kadar Fe serum
dan Hb masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi non
heme.
Iron deficient erythropoietin/iron limited erythropoiesis :
Pada keadaan ini didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang
eritropoiesis. Pada pemeriksaan laboratorium didapat kadar Fe serum dan
saturasi transferin menurun sedangkan TIBC dan FEP meningkat
Iron deficiency anemia :
Keadaan ini merupakan stadium lanjut dari defisiensi Fe. Keadaan ini
ditandai dengan cadangan besi yang menurun atau tidak ada, kadar Fe serum
rendah, saturasi transferin rendah, dan kadar Hb atau Ht yang rendah

IV. Manifestasi Klinis


Gejala klinis anemia sering terjadi perlahan dan tidak begitu diperhatikan oleh
penderita dan keluarga, yang ringan diagnosa ditegakkan hanya dari laboratorium.
Gejala yang umum adalah pucat. Pada Anemia defisiensi besi dengan kadar 6-10 g/dl
terjadi kompensasi kompensasi yang efektif sehingga gejalanya hanya ringan.

V. Diagnosis
Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan suatu anemia
defisiensi Fe :
1. Menurut WHO :
- Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
- Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata turun
- Kadar Fe serum turun
- Saturasi transferin , 15 % (N : 20-50 %)
2. Menurut Cook dan Monsen :
- Anemia hipokrom mikrositer
- Saturasi transferin turun
- Nilai FEP > 100 ug/dl eritrosit
- Kadar feritin serum turun
Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 dari 3 kriteria harus dipenuhi.
3. Menurut Lankowsky :
- Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi
dengan kadar MCV, MCH, dan MCHC yang menurun
- FEP meningkat Feritin serum menurun

34
- Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST turun
- Respon terhadap pemberian preparat besi
Retikulositosis mencapai puncak pada hari ke 5-10 setelah
pemberian besi.
Kadar Hb meningkat 0,25-0,4 g/dl atau PCV meningkat 1 %/hari
- Sumsum tulang
Tertundanya maturasi sitoplasma
Pada pewaranaan tidak ditemukan besi

VI. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan anemia defisiensi besi adalah mengetahui faktor
penyebab dan mengatasinya serta memberi terapi penggantian dengan preparat besi.
Pemberian preparat Fe dapat secara peroral atau parenteral.
1. Terapi Oral
Senyawa zat besi yang sederhana dan diberikan peroral adalah ferous
glukonat, fumarat, dan suksinat dengan dosis harian 4-6 mg/kg/hari besi
elemental diberikan dalam 2-3 dosis. Penyerapan akan lebih baik jika lambung
kosong, tetapi ini akan menimbulkan efek samping pada saluran cerna. Efek
samping yang dapat terjadi adalah iritasi gastrointestinal, yang dapat
menyebabkan rasa terbakar, nausea dan diare. Oleh karena itu pemberian besi
bisa saat makan atau segera setelah makan, meskipun akan mengurangi
absorbsi obat sekitar 40-50%. Preparat besi harus terus diberikan selama 2
bulan setelah anemia pada penderita teratasi.
2. Terapi parental
Pemberian besi secara IM menimbulkan rasa sakit dan harganya mahal.
Kemampuan untuk meningkatkan kadar Hb tidak lebih baik dibanding peroral.
Indikasi parenteral: Tidak dapat mentoleransi Fe oral Kehilangan Fe (darah)
yang cepat sehingga tidak dapat dikompensasi dengan Fe oral. Gangguan
traktus gastrointestinal yang dapat memburuk dengan pemberian Fe oral
(colitis ulserativa). Tidak dapat mengabsorpsi Fe melalui traktus
gastrointestinal. Tidak dapat mempertahankan keseimbangan Fe pada
hemodialisa Preparat yang sering diberikan adalah dekstran besi, larutan ini
mengandung 50 mg besi/ml. Dosis dihitung berdasarkan : Dosis besi
(mg)=BB(kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dl) x 2,5
3. Terapi Transfusi

35
Transfusi sel-sel darah merah atau darah lengkap, jarang diperlukan
dalam penanganan anemia defisiensi Fe, kecuali bila terdapat pula perdarahan,
anemia yang sangat berat atau yang disertai infeksi yang dapat mempengaruhi
respon terapi. Secara umum untuk penderita anemia berat dengan kadar Hb.

VII. Prognosis
Prognosa baik bila penyebab anemianya hanya kekurangan besi saja dan
diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala
anemia dan manifestasi klinisnya akan membaik dengan pemberian preparat besi.

BAB III
ANALISIS KASUS

Anak M.N datang dengan diagnosis kejang demam, rhinofaringitis akut, anemia
defisiensi besi. Diagnosis ini ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang :

36
Anamnesis
Keterangan dari orang tua pasien yang mengatakan kejang terjadi saat pasien
mengalami demam tinggi, mengerucutkan pemikiran bahwa kejang pasien disebabkan oleh
demam tinggi. Namun, disini belum dapat ditentukan apakah demam akibat suatu infeksi
intracranial atau infeksi ekstrakranial. Hal ini disebabkan harus diketahui dulu apakah demam
muncul terlebih dahulu atau bersamaan.
Menurut orangtua pasien, pasien mengalami demam tinggi sejak 10 hari SMRS dan
kejang baru muncul saat demam hari ke-9. Bahkan suhu tubuh pasien mencapai 40,8 oC.
Adanya pernyataan ini mengindikasikan bahwa demam muncul terlebih dahulu dibandingkan
kejangnya. Oleh karena itu kemungkinan diagnosis pasien mengarah ke kejang demam,
karena kejang demam memiliki ke khasan yaitu sebelum terjadi kejang didahului peningkatan
suhu tubuh secara cepat. Selain itu kejang demam juga terjadi akibat peningkatan suhu
secara cepat >38oC. Jika dilihat dari usia pasien yaitu 4 tahun 9 bulan, semakin menguatkan
kemungkinan diagnosis kejang demam. Secara epidemiologi umumnya kejang demam terjadi
pada anak usia 6 bulan-5 tahun, dan puncaknya terjadi pada usia 14-18 bulan. Kejadiannya
pun banyak terjadi pada anak laki-laki. Maka dari itu diagnosis awal yang diambil adalah
kejang demam.
Kejang yang dialami pasien terjadi selama 10 detik, dengan kondisi kejang sangat
terlihat di bagian tubuh atas (tangan dan mata melihat kearah atas) sedangkan kejang di tubuh
bagian bawah tidak sehebat tubuh bagian atas. Kejang hanya terjadi 1 kali dan tidak berulang
dalam 24 jam. Kejang juga terjadi disaat pasien tertidur, setelah kejang pun pasien masih
tertidur. Keterangan-keterangan yang diungkapkan diatas mengarahkan ke diagnosis yang
lebih spesifik, yaitu kejang demam sederhana. Alasannya, pada kejang demam sederhana
berlangsung singkat <15 menit, kejang bersifat tonik klonik atau tonik klonik, anak terlihat
mengantuk setelah kejang, tidak berulang dalam 24 jam, dan tanpa kelainan neurologis
sebelum & setelah kejang (belum dilakukan pemeriksaan pada pasien).
Dari riwayat penyakit dahulu, pasien juga pernah beberapa kali mengalami kejang yang
didahului oleh demam pada usia 2 tahun, 3 tahun, dan 4 tahun (saat suhu >39 oC dan berdurasi
15 detik). Seorang anak yang pernah mengalami kejang akan lebih rentan mengalami
kejang lagi di masa yang akan datang. Karena ambang rangsangnya rendah, sehingga lebih
mudah tersensitisasi untuk kejang.
Dari riwayat keluarga, kakak pasien juga pernah mengalami kejang demam. Kejang
demam diturunkan secara genetic. Jika ada orangtua atau saudara kandung yang mengalami
kejang demam, maka pasien tersebut lebih mudah mengalami kejang demam. Beberapa studi

37
mengungkapkan keterkaitan dengan kromosom tertentu seperti 19p dan 8q13-21, juga
autosomal dominan.
Pasien memiliki keluhan batuk berdahak putih disertai pilek sejak 10 hari SMRS.
Secara teori, kejang demam merupakan proses ekstrakranial (diinduksi adanya infeksi diluar
otak). Dengan adanya batuk pilek yang waktunya hampir berdekatan dengan waktu terjadinya
demam, dapat mengindikasikan kemungkinan batuk dan pilek yang menginduksi adanya
demam. Secara teori pun demam yang berasal dari proses ekstrakranial paling sering
disebabkan infeksi saluran nafas atas, otitis media akut, infeksi saluran kemih, infeksi saluran
cerna. Keluhan batuk dan pilek yang merupakan infeksi saluran pernafasan atas sementara
memunculkan dugaan diagnosis sekunder Rhinofaringitis (gabungan antara rhinitis dan
faringitis).
Pasien juga mengeluh nyeri ulu hati, nafas memendek selama batuk ditambah dengan
adanya muntah dan penurunan nafsu makan. Hal ini merupakan rangkaian dari gejala
Rhinofaringitis ataupun pengaruh dari demam yang dialami pasien. Menurut ibu pasien, anak
M.N kemungkinan besar tertular batuk dan pilek dari ayah dan adiknya yang sudah terlebih
dahulu batuk dan pilek.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan tanda vital menunjukan tidak adanya kenaikan suhu (suhu normal).
Walaupun diagnosis pasien adalah kejang demam. Hal ini terjadi karena pasien masih dalam
pengaruh obat paracetamol yang sudah diberikan ibunya.
Pada awalnya diagnosis banding yang diambil selain kejang demam adalah meningitis.
Namun diagnosis meningitis dapat ditolak berdasarkan pemeriksaan fisik yang ada, yaitu
tidak adanya rangsang meningeal (kaku kuduk, brudzinski I, II, III, IV dan kerniq).
Pada pemeriksaan kepala didapatkan ukuran kepala pasien dibawah normal
(mikrosefali). Adanya mikrosefali dapat mengindikasikan bahwa pasien juga mengalami
atrofi cerebri. Atrofi cerebri secara klinis dapat menyebabkan mudah terjadi kejang. Karena
pada atrofi cerebri terdapat pengecilan sel-sel otak, sehingga otak banyak mengalami
kehilangan neuron dan koneksi antar neuron tersebut. Sehingga mempengaruhi kelistrikan
dari otak, dan jika terjadi demam akan lebih mudah untuk tersensitisasi.
Pada pemeriksaan mulut terlihat faring hiperemis. Adanya kemerahan pada faring ini
memperkuat diagnosis sekunder rhinofaringitis (rhinitis & faringitis). Selain itu lidah pasien
tidak memiliki gambaran coated tongue yang khas pada demam thypoid. Sehingga diagnosis
banding demam thypoid dapat dihapuskan.

38
Pemeriksaan Penunjang
Jika dilihat dari pemeriksaan penunjang (laboraturium), tidak ada hasil yang dapat
membuktikan diagnosis kejang demam itu sendiri. Namun, dalam pemeriksaan laboraturium
ini kita dapat mengidentifikasi demam yang terjadi, demam lah yang menginduksi terjadinya
kejang demam.
Pada hasil pemeriksaan darah lengkap didapatkan peningkatan leukosit (44.330/uL), hal
ini mengindikasikan adanya infeksi bakteri. Selain itu meningkatnya segmen (87%) yang
merupakan respon pertahanan dari bakteri semakin menguatkan infeksi bakteri. Limfosit
yang berperan dalam infeksi virus mengalami penurunan. Sehingga kemungkinan besar
demam yang dialami akibat infeksi bakteri. Penanda adanya infeksi didalam tubuh yaitu
LED dan protein CRP juga ikut menngkat.
Diagnosis anemia defisiensi besi ditegakan berdasarkan hasil pemeriksaan Hb, Ht,
MCV, dan MCH. Hb dan Ht pasien mengalami penurunan walaupun sedikit merupakan
indikasi anemia, ditambah dengan kadar MCV dan MCH juga menurun menandakan bahwa
anemia yang terjadi bersifat mikrositik hipokrom. Anemia mikrositik hipokrom ini khas pada
anemia defisiensi besi.
Pada pasien ini trombosit mengalami kenaikan yang cukup besar (trombositosis).
Trombositosis pada kasus ini bersifat reaktif, yaitu peningkatan trombosit yang diakibatkan
adanya infeksi. Adanya anemia defisiensi besi pada pasien ini juga dapat menyebabkan
trombositosis, walaupun mekanismenya belum diketahui dengan jelas.
Pada perjalanan penyakit anak MN, diakhir masa perawatan pasien mengalami
leukopenia. Leukopenia yang terjadi dapat diakibatkan infeksi yang sudah berhenti dan juga
pemakaian obat farmadol drip terus menerus selama masa perawatan. Salah satu efek
samping farmadol adalah leukopenia.

Penatalaksanaan
a. IVFD KAEN I B 1200 cc/ 24 jam
- Dipakai sebagai larutan awal bila status elektrolit pasien belum diketahui.
Contohnya adalah kasus demam.
- Dosis 500 ml untuk sekali pemberian, kecepatan 50-100 ml/jam pada anak-
anak.
- Terdiri dari sodium chloride, anhydrous dextrose, natrium, clorida, air.
- Penghitungan berdasarkan Holliday Segar :
(untuk berat badan 10-14 kg) :

39
Rumus : 1000 + (50 x sisa BB)
BB = 14 kg
Kebutuhan : 1000 + (50 x 4) = 1200 ml / 24 jam.
b. Drip ceftriaxon 1 x 500 I.V
- Merupakan golongan sefalosporin spektrum luas dengan waktu paruh
eliminasi 8 jam. Efektif terhadap mikroorganisme gram positif dan gram
negatif. Sangat stabil terhadap enzim laktamase.
- Efektif untuk infeksi seperti infeksi sal. Pernafasan, infeksi sal. Kemih, infeksi
gonoreal, septikemia bakteri, infeksi tulang dan jaringan, infeksi kulit.
- Cara kerjanya adalah bakterisid yaitu antibiotik bekerja dengan cara
merusak dinding sel bakteri. Menghambat sintesis dinding sel bakteri sehingga
terjadi kebocoran sel bakteri dan bakteri lisis.
c. Paracetamol syrp 4 x 7,5 ml (1 cth) jika suhu 38o C
- Digunakan sebagai obat anti demam.
- Cara kerja : paracetamol menghambat pengeluaran prostaglandin di sistem
saraf pusat. Nantinya prostaglandin akan mempengruhi termoregulator di
hipotalamus. Selain itu paracetamol sebagai antipiresis, dengan cara mengatur
hipotalamus untuk memproduksi vasodilator perifer untuk meningkatkan
aliran darah ke kulit, dan pengeluaran panas.
- Waktu paruh : 1 4 jam.
- Penghitungan dosis :
(dosis pct 10 15 mg/kgbb/x)
Rentang dosis pasien : 140 210 mg/x
Sediaan : 5 ml syrup = 120 mg
Dosis yang diambil : 180 mg
Jumlah yang diberikan : 7,5 ml (diberikan 1 cth) *1 cth : 5 ml
Pemberian per hari : 4 x sehari 1 cth jika demam
d. Diazepam 3 x 1 P.O jika kejang lagi
- Bekerja pada sistem GABA, yaitu dengan memperkuat fungsi hambatan
neuron GABA. Reseptor Benzodiazepin dalam seluruh sistem saraf pusat,
terdapat dengan kerapatan yang tinggi terutama dalam korteks otak frontal dan
oksipital, di hipokampus dan dalam otak kecil. Pada reseptor ini,
benzodiazepin akan bekerja sebagai agonis. Terdapat korelasi tinggi antara
aktivitas farmakologi berbagai benzodiazepin dengan afinitasnya pada tempat
ikatan. Dengan adanya interaksi benzodiazepin, afinitas GABA terhadap
reseptornya akan meningkat, dan dengan ini kerja GABA akan meningkat.
Dengan aktifnya reseptor GABA, saluran ion klorida akan terbuka sehingga
ion klorida akan lebih banyak yang mengalir masuk ke dalam sel.
Meningkatnya jumlah ion klorida menyebabkan hiperpolarisasi sel

40
bersangkutan dan sebagai akibatnya, kemampuan sel untuk dirangsang
berkurang.
- Saat demam akan menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30-60% kasus.
- Penghitungan dosis :
(dosis diazepam oral 0,3 mg/ kgbb/ x)
Pemberian : tiap 8 jam.
Dosis yang diberikan : 0,3 mg x 14 kg = 4,2 mg 5 mg/x.
Sediaan : tab 2 mg, 5 mg, 10 mg.
Pemberian : 3 x sehari 1 tablet sediaan 5 mg.
e. Farmadol drip 4 x 150 mg I.V
- Komposisi farmadol terdiri dari paracetamol 500 mg, codein phospate 10 mg,
doxylamine succinate 5 mg, caffein 30 mg.
- Indikasi : Sakit kepala, demam, nyeri otot dan sakit gigi. Untuk pengobatan
jangka pendek nyeri sedang (terutama sesudah operasi) dan demam. Jika
pemberian secara IV sangat diperlukan secara klinis untuk mengobati nyeri
dan hipertermia dan atau jika cara pemberian lainnya tidak dapat dilakukan
- Penghitungan :
(dosis farmadol anak usia 1-5 tahun : 120 250 mg single dose)
Sediaan : 50 mg/ml cairan untuk I.V
Maksimum pemberian 4 x sehari
Dosis yang diberikan 150 mg
Pemberian : 4 x sehari 3 ml injeksi tiap pemberian.
f. Puyer (ambroxol 6 mg, cetirizine 1 mg, salbutamol 0,4 mg) 3 x 1 pulveres
- Obat untuk keluhan rhinofaringitis yang dialami.
- Ambroxol :
Obat yang masuk ke dalam golongan mukolitik, yaitu obat yang fungsinya
adalah mengencerkan dahak. Ambroxol umumnya digunakan untuk mengatasi
gangguan pernapasan akibat produksi dahak yang berlebihan
- Cetirizine :
obat antihistamin dengan fungsi untuk meredakan gejala alergi seperti mata
berair, pilek, mata/hidung gatal, dan gatal-gatal. Obat ini bekerja dengan
menghalangi zat alami tertentu (histamin) yang diproduksi tubuh selama reaksi
alergi.
- Salbutamol :
adalah obat golongan beta-adrenergik yang berfungsi melebarkan saluran
napas.
g. Nabulisasi NaCl = berotech 9 gtt + atrovent d 9 gtt 3 x 1
- Nebulisasi berfungsi sebagai bronkodilator, sehingga dahak yang sulit keluar
dapat mudah dikeluarkan oleh anak tersebut.
h. Anemia defisiensi besi belum diberikan pengobatan
- Karena masih dalam fase infeksi.

41
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Nelson.2000. Ilmu Kesehatan Anak, edisi 15. Jakarta: Penerbit buku kedokteran
EGC.

Hassan Ruspeno, et all. Kejang Demam. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid II.
Ed.11. 2007. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia

Abdul Latief, et all. Pemeriksaan Neurologis. Diagnosis Fisis pada Anak. Ed.2. 2009.
Jakarta: CV Sagung Seto

Kee JL. Pedoman pemeriksaan laboratorium dan diagnostik. Edisi 6. Jakarta: EGC;
2007.

Faizi M. kejang demam. www.pediatrik.com. 2009. diakses tanggal 24 Januari 2011.

Gracia Lilihata, Setyo Handryastuti. 2001. Metabolik Endokrin. Dalam : Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. hal 102-105

42

Anda mungkin juga menyukai