oleh :
1740312021
Preseptor :
2018
KATA PENGANTAR
Dengan ini kami mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan ilmu, sehingga penulis dapat menyelesaikan case report yang
berjudul “trauma medulla spinalus”. Case report ini merupakan salah satu
syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Saraf
Susanti Sp.S selaku pembimbing dan semua pihak yang telah mendukung penulis
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
Pusat Data Nasional Cedera Medula Spinalis (The National Spinal Cord
Injury Data Research Centre) memperkirakan ada 10.000 kasus baru cedera
6
penyebab utama cedera medula spinalis.
berikut: (1) tetraplegia inkomplit (29.5%), (2) paraplegi komplit (27.3%), (3)
6
paraplegi inkomplit (21.3%), dan (4) tetraplegia komplit (18.5%).
Metode Penulisan
Case report ini ditulis dengan metode studi kepustakaan yang merujuk ke
berbagai literatur.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi
Medulla spinalis adalah saraf yang tipis yang merupakan perpanjangan dari
sistem saraf pusat dari otak dan melengkungi serta dilindungi oleh tulang
dari foramen magnum sampai dengan L1, di L1 melonjong dan agak melebar
yang disebut conus terminalis atau conus medullaris. Terbentang dibawah cornu
Sacral dan 1 pasang syaraf coxigeal. Akar syaraf lumbal dan sacral terkumpul
yang disebut dengan Cauda Equina. Setiap pasangan syaraf keluar melalui
Intervertebral foramina. Syaraf Spinal dilindungi oleh tulang vertebra dan ligamen
putih. Terbagi menjadi bagian kiri dan kanan oleh anterior median fissure dan
median septum yang disebut dengan posterior median septum. Keluar dari medula
spinalis merupakan akar ventral dan dorsal dari syaraf spinal. Substansi abu-abu
mengandung badan sel dan dendrit dan neuron efferen, akson tak bermyelin,
syaraf sensoris dan motoris dan akson terminal dari neuron. Substansi abu-abu
membentuk seperti huruf H dan terdiri dari tiga bagian yaitu: anterior, posterior
abu untuk refleks silang dan substansi putih merupakan kumpulan serat syaraf
bermyelin
1
Definisi
spinalis karena trauma langsung atau tak langsung yang mengakibatkan gangguan
fungsi utamanya, seperti fungsi motorik, sensorik, autonomik, dan refleks, baik
1
Patofisiologi
rusaknya traktus pada medula spinalis, baik asenden ataupun desenden. Petekie
tersebar pada substansia grisea, mem besar, lalu menyatu dalam waktu satu jam
setelah trauma. Selanjutnya, terjadi nekrosis hemoragik dalam 24-36 jam. Pada
substansia alba, dapat ditemukan petekie dalam waktu 3-4 jam setelah trauma.
struktural luas.
hematoma. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan
trauma hiperekstensi.
Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfl eksi. Toleransi
usia.
Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma mengganggu aliran
Gangguan sirkulasi atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior akibat
kompresi tulang
Trauma primer merupakan gangguan direk ke elemen saraf dan terjadi saat waktu
primer:
Sel neuron akan rusak dan kekacauan proses intraseluler akan turut
terganggu, baik karena efek trauma ataupun oleh efek massa akibat
pada satu jam pertama setelah trauma, sementara substansia alba akan mengalami
disebabkan, antara lain, oleh syok neurogenik, proses vaskular, seperti perdarahan
3
Klasifikasi
severitas dari defisit neurologis AIS impairement scale, sindrom medulla spinalis
dan morfologi
Level lesi
Berdasarkan levelnya, dibagi atas lesi diatas atau dibawah T1. Trauma
pemeriksaan klinis dan dapat ditemukan diskrepansi dengan level tulang karena
saraf spinal memasuki kanal spinal melewati foramina dan mengalami ascend atau
diskrepansinya
medulla spinalis. Fungsi motorik atau sensorik yang masih ada, menandakan dari
trauma inkomplet. Tanda dari trauma inkomplet berupa adanya sensasi (termasuk
posisi) atau gerakan volunter dari ekstremitas bawah, sacral sparing, kontraksi
2
spingter anal dan fleksi volunter jari kaki.
Perbandingan lesi
Karakteristik Lesi komplit Lesi inkomplit
Motorik Menghilang dibawah lesi Sering (+)
Protopatik Menghilang dibawah lesi Sering (+)
(nyeri, suhu)
Proprioseptif Menghilang dibawah lesi Sering (+)
(vibrasi, joint position)
Sacral sparing (-) (+)
Rontgen vertebra Sering dengan fraktur, luksasi, Sering normal
dan listhesis
MRI Hemoragi (54%), kompresi Edema (62%), kontusi
(25%), kontusi (11%) (26%), normal (15%)
AIS mendeskripsikan severitas SCI berdasarkan skala. Grade A
grade E untuk penilaian follow up untuk menilai fungsi spinal yang kembali.
American Spinal Injury Association (ASIA) Impairment Scale (AIS)
Classi cation of Spinal Cord Injury; LT, light touch; NLI, neurological level of injury; PP, pin
(ISNSCI)
3
Sindrom Medula Spinalis
2,4
Central cord Syndrome
kekuatan motorik yang lebih besar pada ekstremitas atas dibandingkan dengan
sindrom ini terjadi setelah trauma dengan mekanisme hiperekstensi dan diperberat
bila ada sudah ada stenosis kanal servikal. Temuan lengan dan tangan lebih berat
akibat dari serat motorik segmen servikal secara topografis menuju center dari
spinalis. Central cord syndrome seringkali terjadi dengan atau tanpa fraktur atau
dislokasi dari spina. Pemulihan seringkali dimulai dari ekstremitas bawah yang
pulih pertamakali diikuti fungsi bladder, dan ekstremitas atas proksimal dan
sensoris berupa nyeri dan suhu. Fungsi kolumna dorsalis yaitu posisi, vibrasi dan
deep pressure sense tetap baik. Biasanya, anterior cord syndrome diakibatkan
oleh infark dari spinalis atau daerah yang diperdarahi oleh arteri anterior spinal
biasanya akibat dari trauma penetrasi. Walaupun sindrom ini jarang ditemukan,
dan kehilangan posisi (kolumna dorsalis), dan pada sisi kontralateral kehilangan
dari sensasi nyeri dan suhu mulai dari satu sampai dua level dari trauma (jaras
spinotalamus).
Posterior cord syndrome
Posterior Cord Syndrome sering kali diakibatkan oleh trauma dan infark
bokong.
Perbaikan Sering nyata Dan Paling buruk diantara Fungsi buruk, NamunNA
cepat; khas kelemahan Lainnya independensi paling
tangan dan jari baik
menetap
4
Spinal Shock
shock). Spinal shock merupakan sindrom klinik yang sering dijumpai pada
sebagian besar kasus cedera medulla spinalis di daerah servikal dan torakal.
berupa paralisis flaksid, hilangnya refleks kulit dan tendon, serta anastesi sampai
kulit.
Sebagian besar trauma Spinal shock terjadi di daerah servikal. Akan tetapi
yang paling sering mengakibatkan cedera berat adalah trauma di daerah torakal.
Hal ini berkaitan dengan penampang melintang kanalis spinalis di daerah torakal
spinalis yang terkena, semakin berat pula gangguan fungsi respirasi yang terjadi.
kelemahan otot interkostal yang lebih berat, sehingga otot diafragma harus bekerja
bervariasi tergantung pada derajat keparahan dan level cedera medulla spinalis.
dapat berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa bulan. Semakin hebat
trauma spinal shock yang terjadi, semakin lama dan semakin hebat pula spinal
shock yang terjadi. Pada sebagian besar kasus, aktivitas refleks spinal kembali
sensorik dan motorik hanya berlangsung kurang dari 1 jam pasca cedera, sehingga
disimpulkan bahwa defisit sensorik dan motorik yang lebih dari 1 jam merupakan
4
Diagnosis
A. Anamnesis
Pemeriksaan Fisis
rangsangan pada nyeri dan menilai sesuai dermatom. Level cedera ditentukan dari
sensorik dengan pola dermatom terbawah yang masih berfungsi dengan baik.
mengikuti pola miotom dan dibandingkan dengan kedua sisi. Level cedera juga
sadar agar tidak terjadi cedera sekunder selama mobilisasi dan pemeriksaan.
Proteksi ini berupa cervical collar dan meletakkan penderita pada long spine
C. Pemeriksaan Radiologis
Foto segmen servikal dilakukan pada posis lateral, anteroposterior, dan open
mouth odontoid. Foto servikal dianggap baik jika basis kranii hingga
pasien mengalami defisit neurologis yang jelas namun tidak ditemukan kelainan
abnormality, SCIWORA)
4
Tatalaksana
Imobilisasi pasien
Imobilisasi pasien
Primary Survey
Secondary Survey
Medikamentosa akut
lesi masih ada, maka kemungkinan untuk kembali berjalan adalah lebih dari 50%.
Dilanjutkan dengan infus terus menerus selama 23 jam dengan dosis 5,4
Pasien onset 3-8 jam, diberikan dengan cara yang sama namun dosis infus
Bila diagnosis ditegakkan >8 jam, maka pemberian steroid tidak dianjurkan
antioksidannya, dapat menembus membrane sel saraf lebih cepat, lebih efektif
ion kalsium, serta inhibisi prostaglandin dan tromboksan. Studi NASCIS I (The
National Acute Spinal Cord Injur Study) menyarankan dosis tinggi sebesar
jam. Hasilnya, metilprednisolon lebih baik dan dapat digunakan sampai jeda 8 jam
secara infus sampai 48 jam ternyata memberikan keluaran lebih baik dibanding
pemberian 24 jam. Selain itu, dicoba pula tirilazad mesilat (TM), yakni inhibitor
ada studi kelas 1 dan 2 yang mendasari terapi ini, serta ditemukan efek samping
1
intensive care unit (ICU), dan kematian.
pasien cedera medula spinalis. Fisioterapi, terapi okupasi, dan bladder training
pada pasien ini dikerjakan seawal mungkin. Tujuan utama fisioterapi adalah untuk
memperkuat fungsi otot-otot yang ada. Pasien dengan Central Cord Syndrome /
CSS biasanya mengalami pemulihan kekuatan otot ekstremitas bawah yang baik
Prognosis
rata harapan hidup pasien cedera medula spinalis lebih rendah dibanding populasi
normal. Penurunan rata-rata lama harapan hidup sesuai dengan beratnya cedera.
traumatik (37 pasien dengan lesi inkomplet) selama 12 bulan menunjukkan bahwa
adanya edema. Seluruh pasien dikelola secara konservatif, dengan hasil: 1 orang
Pemulihan fungsi kandung kemih baru akan tampak pada 6 bulan pertama
pasca trauma pada cedera medula spinalis traumatika. Curt dkk mengevaluasi
menunjukkan bahwa pemulihan fungsi kandung kemih terjadi pada 27% pasien
LAPORAN KASUS
Primary Survey
Aiway : Bebas
Breathing : Spontan
Disability : GCS 15
Secondary Survey :
Tidak ada alergi, tidak ada medikasi yang dipakai sebelumnya, riwayat DM,
Identitas Pasien
Nama : Ny. R
Umur : 57 Tahun
Alamat : Siteba
No MR : 01028013
Kelemahan anggota gerak sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit, kelemahan
dengan kedua kaki sama sekali tidak dapat digerakkan sama sekali setelah
kejadian pasien diserempet dari belakang dan kemudian terjatuh ke arah depan
dengan posisi tertelungkup dengan dagu terkena aspal dan helm terlepas.
Baal dari setinggi bahu sampai tubuh bagian bawah sejak 1 jam yang lalu
Sadar dan ingat semua kejadian sebelum, saat dan sesudah kecelakaan
Riwayat DM sejak 5 tahun yang lalu, dengan GDS tertinggi 400 mg/dl. Kontrol
tidak teratur
Tidak ada anggota keluarga menderita penyakit yang sama dengan pasien.
Pasien seorang ibu rumah tangga dengan aktivitas fisik harian ringan-sedang.
Pemeriksaan Fisik
Vital Sign
Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : Komposmentis kooperatif (GCS 15 E4M6V5)
Kooperatif : Ya
Nadi/Irama : 88 x /menit teratur
Pernapasan : 18x/menit
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Suhu : 36,8 ˚C
Keadaan gizi : Normoweight
Turgor kulit : Baik
Kulit dan kuku : tidak ditemukan kelainan
Kelenjar getah bening
Leher : tidak ditemukan pembesaran
Aksila : tidak ditemukan pembesaran
Inguinal : tidak ditemukan pembesaran
Paru
Inspeksi : normochest, simetris kiri dan kanan
Palpasi : fremitus sulit dinilai
Perkusi : sonor
Auskultasi : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : irama reguler, bising tidak ada
Abdomen
Inspeksi : perut tidak membuncit
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Korpus Vertebrae
Inspeksi : deformitas (-), gibbus (-), tanda radang (-)
Palpasi : nyeri tekan (-)
2. Status Neurologis:
Pupil isokor, diameter 3 mm/3 mm, refleks cahaya + /+ , refleks kornea +/+
N I (Olfaktorius)
Penciuman Kanan Kiri
Subjektif Baik Baik
Objektif (dengan bahan) Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N II (Optikus)
Penglihatan Kanan Kiri
Tajam penglihatan Baik Baik
Lapangan pandang Baik Baik
Melihat warna Baik Baik
Funduskopi Tidak dilakukan pemeriksaan
N III (Okulomotorius)
Kanan Kiri
Bola mata Ortho Ortho
Ptosis (-) (-)
Gerakan bulbus Bebas bergerak ke Bebas bergerak ke
segela arah segala arah
Strabismus (-) (-)
Nistagmus (-) (-)
Ekso/endoftalmus (-) (-)
Pupil
Bentuk Bulat Bulat
Refleks cahaya (+) (+)
Refleks akomodasi (+) (+)
Refleks konvergensi (+) (+)
N IV (Troklearis)
Kanan Kiri
Gerakan mata ke bawah Baik Baik
Sikap bulbus Ortho Ortho
Diplopia - -
N VI (Abdusen)
Kanan Kiri
Gerakan mata ke lateral Baik Baik
Sikap bulbus Ortho Ortho
Diplopia - -
N V (Trigeminus)
Kanan Kiri
Motorik
Membuka mulut (+) (+)
Menggerakkan rahang (+) (+)
Menggigit (+) (+)
Mengunyah (+) (+)
Sensorik
Divisi Oftalmika
Refleks kornea (+) (+)
Sensibilitas (+) (+)
Divisi maksila
Refleks masseter (-) (-)
Sensibilitas (+) (+)
Divisi mandibula
Sensibilitas (+) (+)
N VII Fasialis
Kanan Kiri
Raut wajah Simetris
Sekresi air mata Normal Normal
Fisura palpebra Normal Normal
Menggerakkan dahi (+) (+)
Menutup mata (+) (+)
Mencibir/bersiul (+) (+)
Memperlihatkan gigi (+) (+)
Sensasi lidah 2/3 (+) (+)
Hiperakusis (+) (+)
N VIII (Vestibularis)
Kanan Kiri
Suara berisik Tidak dilakukan
Detik arloji Tidak dilakukan
Rinne test Tidak dilakukan
Weber test Tidak dilakukan
Swabach test Tidak dilakukan
Memanjang
Memendek
Nistagmus (-) (-)
Pendular
Vertikal
Siklikal
Pengaruh posisi kepala (-) (-)
N IX (Glossopharingeus)
Kanan Kiri
Sensasi lidah 1/3 belakang (+) (+)
Refleks muntah/Gag reflex (+) (+)
N X (Vagus)
Kanan Kiri
Arkus faring Simetris
Uvula Di tengah
Menelan (+)
Suara (+)
Nadi Teratur
N XI (Asesorius)
Kanan Kiri
Menoleh ke kanan (+) (+)
Menolah ke kiri (+) (+)
Mengangkat bahu ke kanan (+) menurun (+) menurun
Mengangkat bahu ke kiri (+) menurun (+) menurun
N XII (Hipoglosus)
Kanan Kiri
Kedudukan lidah dalam Simetris
Kedudukan lidah dijulurkan Simetris
Tremor (-)
Fasikulasi (-)
Atrofi (-)
Sistem Refleks
1. Fisiologis Kanan Kiri Kanan Kiri
Kornea (+) (+) Biseps ++ ++
Berbamgkis Triseps ++ ++
Laring APR ++ ++
Maseter KPR ++ ++
Dinding perut Bulbokavernosus
Atas Cremaster
Tengah Sfingter
Bawah
2. Patologis
Lengan Tungkai
Hoffman-Tromner (-) (-) Babinski (-) (-)
Chaddoks (-) (-)
Oppenheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
Schaeffer (-) (-)
Klonus paha (-) (-)
Klonus kaki (-) (-)
3. Fungsi otonom
− Miksi : unhibited bladder (+)
− Defekasi : tidak dapat menahan
− Sekresi keringat : baik
4. Fungsi luhur
Kesadaran Tanda Dementia
Reaksi bicara Baik Refleks glabella (-)
Fungsi intelek Baik Refleks snout (-)
Reaksi emosi Baik Refleks menghisap (-)
Refleks memegang (-)
Refleks palmomental (-)
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium Darah
Rutin
- Hb : 12,3 g/dl
- Leukosit 3
: 12.110 /mm
- Trombosit : 163.000
- Hematokrit : 38 %
Kimia Klinik
- GDS : 412 mg/dl
- Ureum/kreatinin : 106 mg/dL / 1,3 mg/dL
- Natrium/kalium/Cl : 130 mmol/L / 4,1 mmol/L / 108 mmol/L
Diagnosis
Penatalaksanaan
Umum
Ranitidin 2 x 50 mg (IV)’
Rontgen Servikal
MRI servikal
3.2. Prognosis:
DISKUSI
keluhan utama lemah keempat anggota gerak sejak ± 1 jam sebelum masuk rumah
sakit. Awalnya pasien setelah mengalami kecelakaan lalu lintas 1 jam sebelum
masuk IGD. Pasien mengendarai sepeda motor dengan kecepatan 20-30 km/jam.
arah depan dengan posisi tertelungkup dengan dagu terkena aspal dan helm
terlepas. Dari hasil pemeriksaan neurologis tidak ditemukan kelainan pada syaraf
kranial namun pada pemeriksaan motorik didapatkan kekuatan pada kedua lengan
adalah 333 dan kekuatan tungkai kanan 111 serta tungkai kiri 333, disertai
penurunan sensoris serta propioseptif pada kedua tungkai mulai dari selangkangan
maka diagnosis pada pasien ini terdapat level lesi di servikal inkomplit dengan
AISA Score yaitu B (sensory incomplete,fungsi sensorik masih ada yang baik
(light touch or pinprick at S4-S5 or deep anal pressure) tapi fungsi motorik
tergangu,sampai segmen sakral S4-S5, tidak ada fungsi motorik lebih dari 3 level
level motor pada sisi tersebut) mengarah kepada tetraparese tipe UMN disertai
retensi urin et alvi akibat cedera medulla spinalis. Trauma yang terjadi kurang
masih dalam golden period yaitu kurang dari 8 jam, sehingga dapat diberikan
menit, ditunggu 45 menit. Dilanjutkan dengan infus terus menerus selama 23 jam
York JE. Approach to the patient with acute nervous system trauma. Best