Anda di halaman 1dari 35

Case Report Session

TRAUMA MEDULLA SPINALIS

oleh :

AFIDA RAZUNA AVE

1740312021

Preseptor :

Dr. Restu Susanti Sp.S M.Biomed

Bagian Ilmu Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas

Andalas Rumah Sakit Umum Pusat Dr. M. Djamil Padang

2018
KATA PENGANTAR

Dengan ini kami mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang

telah melimpahkan ilmu, sehingga penulis dapat menyelesaikan case report yang

berjudul “trauma medulla spinalus”. Case report ini merupakan salah satu

syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Saraf

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya pada dr. Restu

Susanti Sp.S selaku pembimbing dan semua pihak yang telah mendukung penulis

dalam menyelesaikan case report ini.

Padang, 10 Oktober 2018

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pusat Data Nasional Cedera Medula Spinalis (The National Spinal Cord

Injury Data Research Centre) memperkirakan ada 10.000 kasus baru cedera

medula spinalis setiap tahunnya di Amerika Serikat. Angka insidensi paralisis

komplit akibat kecelakaan diperkirakan 20 per 100.000 penduduk, dengan angka

tetraplegia 200.000 per tahunnya. Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan

6
penyebab utama cedera medula spinalis.

Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplit dan inkomplit

berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi.³ Data di

Amerika Serikat untuk kasus-kasus cedera medulla spinalis menunjukkan

frekuensi disabilitas neurologis karena cedera medula spinalis traumatika sebagai

berikut: (1) tetraplegia inkomplit (29.5%), (2) paraplegi komplit (27.3%), (3)

6
paraplegi inkomplit (21.3%), dan (4) tetraplegia komplit (18.5%).

1.2 Batasan Masalah

Case report ini membahas mengenai definisi, manifestasi klinik,

diagnosis, tatalaksana dari trauma medulla spinalis

1.3 Tujuan Penulisan

Case report ini bertujuan untuk menambah pengetahuan tentang definisi,

manifestasi klinik, diagnosis, tatalaksana dari trauma medulla spinalis

Metode Penulisan

Case report ini ditulis dengan metode studi kepustakaan yang merujuk ke

berbagai literatur.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi

Medulla spinalis adalah saraf yang tipis yang merupakan perpanjangan dari

sistem saraf pusat dari otak dan melengkungi serta dilindungi oleh tulang

belakang. Fungsi utama medulla spinalis adalah transmisi pemasukan rangsangan

antara periferi dan otak.

Medulla Spinalis merupakan bagian dari Susunan Syaraf Pusat. Terbentang

dari foramen magnum sampai dengan L1, di L1 melonjong dan agak melebar

yang disebut conus terminalis atau conus medullaris. Terbentang dibawah cornu

terminalis serabut-serabut bukan syaraf yang disebut filum terminale yang

merupakan jaringan ikat. Terdapat 31 pasang syaraf spinal: 8 pasang syaraf

servikal, 12 Pasang syaraf Torakal, 5 Pasang syaraf Lumbal, 5 Pasang syaraf

Sacral dan 1 pasang syaraf coxigeal. Akar syaraf lumbal dan sacral terkumpul

yang disebut dengan Cauda Equina. Setiap pasangan syaraf keluar melalui

Intervertebral foramina. Syaraf Spinal dilindungi oleh tulang vertebra dan ligamen

dan juga oleh meningen spinal dan CSF.


Kolumna spinal, lateral kanan dan posterior view3

Spinal cord tract3

Struktur Internal terdapat substansi abu-abu dan substansi putih. Substansi

Abu-abu membentuk seperti kupu-kupu dikelilingi bagian luarnya oleh substansi

putih. Terbagi menjadi bagian kiri dan kanan oleh anterior median fissure dan

median septum yang disebut dengan posterior median septum. Keluar dari medula

spinalis merupakan akar ventral dan dorsal dari syaraf spinal. Substansi abu-abu

mengandung badan sel dan dendrit dan neuron efferen, akson tak bermyelin,

syaraf sensoris dan motoris dan akson terminal dari neuron. Substansi abu-abu

membentuk seperti huruf H dan terdiri dari tiga bagian yaitu: anterior, posterior

dan comissura abu-abu. Bagian


Posterior sebagai input/afferent, anterior sebagai Output/efferent, comissura abu-

abu untuk refleks silang dan substansi putih merupakan kumpulan serat syaraf

bermyelin

1
Definisi

Trauma medulla spinalis (spinal cord injury) adalah kerusakan medula

spinalis karena trauma langsung atau tak langsung yang mengakibatkan gangguan

fungsi utamanya, seperti fungsi motorik, sensorik, autonomik, dan refleks, baik

komplet ataupun inkomplet.

1
Patofisiologi

Trauma medula spinalis dapat menyebabkan komosio, kontusio, laserasi,

atau kompresi medula spinalis. Patomekanika lesi medula spinalis berupa

rusaknya traktus pada medula spinalis, baik asenden ataupun desenden. Petekie

tersebar pada substansia grisea, mem besar, lalu menyatu dalam waktu satu jam

setelah trauma. Selanjutnya, terjadi nekrosis hemoragik dalam 24-36 jam. Pada

substansia alba, dapat ditemukan petekie dalam waktu 3-4 jam setelah trauma.

Kelainan serabut mielin dan traktus panjang menunjukkan adanya kerusakan

struktural luas.

Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut:

Kompresi oleh tulang, ligamen, herniasi diskus intervertebralis, dan

hematoma. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan

kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior dan

trauma hiperekstensi.
Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfl eksi. Toleransi

medula spinalis terhadap regangan akan menurun dengan bertambahnya

usia.

Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma mengganggu aliran

darah kapiler dan vena.

Gangguan sirkulasi atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior akibat

kompresi tulang

Patofisiologi trauma medulla spinalis dibagi atas primer dan sekunder.

Trauma primer merupakan gangguan direk ke elemen saraf dan terjadi saat waktu

kejadian trauma berlangsung. Ada setidaknya 4 mekanisme penyebab kerusakan

primer:

gaya impact dan kompresi persisten,

gaya impact tanpa kompresi,

tarikan medula spinalis,

laserasi dan medula spinalis terpotong akibat trauma.

Sel neuron akan rusak dan kekacauan proses intraseluler akan turut

berdampak pada selubung mielin di dekatnya sehingga menipis; transmisi saraf

terganggu, baik karena efek trauma ataupun oleh efek massa akibat

pembengkakan daerah sekitar luka. Kerusakan substansia grisea akan ireversibel

pada satu jam pertama setelah trauma, sementara substansia alba akan mengalami

kerusakan pada 72 jam setelah trauma. Kerusakan primer merupakan sebuah

nidus atau titik awal terjadinya kerusakan sekunder. Kerusakan sekunder

disebabkan, antara lain, oleh syok neurogenik, proses vaskular, seperti perdarahan

dan iskemia, eksitotoksisitas, lesi sekunder yang dimediasi kalsium, gangguan


elektrolit, kerusakan karena proses imunologi, apoptosis, gangguan pada

mitokondria, dan proses lain.


Timeline trauma medulla spinalis2

Fase trauma Proses utama


Primer Immediate < 2 jam Trauma fisik
Putusnya axon
Perdarahan & iskemiagray matter
Aktivasi makroglia
Pelepasan proinflamasi
Sekunder Early Acute <48 jam Perdarahan yang masih berlanjut, iskemia,
dan nekrosis
Invasi neutrofil
Produksi radikal bebas : preoksidasi lipid
Eksitoksisitas glutamate
Invasi neutrofil
Edema vasogenik dan sitotoksis
Kematian oligodendrosit & demelienisasi
awal
Kematian neuronal
Subakut >14 hari Respon maksimal fagositik
Inflitrasi makrofag
Inisiasi dari gliosis reaktif
Intermediate <6 bulan Pembentukan keruakan glial berlanjut
Pembentukan kista
Stabilisasi lesi
Kronik >6 bulan Degenerasi Wallerian berlanjut

3
Klasifikasi

Trauma medulla spinalis dapat diklasifikasikan berdasarkan level lesi,

severitas dari defisit neurologis AIS impairement scale, sindrom medulla spinalis

dan morfologi

Level lesi

Berdasarkan levelnya, dibagi atas lesi diatas atau dibawah T1. Trauma

pada 8 segmen servikal medulla spinalis menyebabkan quadriplegia, dan lesi

dibawah T1 menyebabkan paraplegia. Trauma level saraf ditentukan dari

pemeriksaan klinis dan dapat ditemukan diskrepansi dengan level tulang karena

saraf spinal memasuki kanal spinal melewati foramina dan mengalami ascend atau

descend didalam kanal spinal sebelum benar benar memasuki medulla


spinalis. Sehingga, semakin kaudal trauma yang terjadi, semakin jelas

diskrepansinya

Severitas dari defisit neurologis

Paraplegia inkomplet (trauma thoraksik inkomplet)

Paraplegia komplet (trauma thoraksik kompletet)

Quadriplegia inkomplet (trauma servikal inkomplet)

Quadriplegia komplet (trauma servikal kompletet)

Penting untuk dilakukan penilaian tanda preservasi dari fungsi dari

medulla spinalis. Fungsi motorik atau sensorik yang masih ada, menandakan dari

trauma inkomplet. Tanda dari trauma inkomplet berupa adanya sensasi (termasuk

posisi) atau gerakan volunter dari ekstremitas bawah, sacral sparing, kontraksi

2
spingter anal dan fleksi volunter jari kaki.

Perbandingan lesi
Karakteristik Lesi komplit Lesi inkomplit
Motorik Menghilang dibawah lesi Sering (+)
Protopatik Menghilang dibawah lesi Sering (+)
(nyeri, suhu)
Proprioseptif Menghilang dibawah lesi Sering (+)
(vibrasi, joint position)
Sacral sparing (-) (+)
Rontgen vertebra Sering dengan fraktur, luksasi, Sering normal
dan listhesis
MRI Hemoragi (54%), kompresi Edema (62%), kontusi
(25%), kontusi (11%) (26%), normal (15%)
AIS mendeskripsikan severitas SCI berdasarkan skala. Grade A

menggambarkan trauma komplit, grade B –D menujukkan trauma inkomplet, dan

grade E untuk penilaian follow up untuk menilai fungsi spinal yang kembali.
American Spinal Injury Association (ASIA) Impairment Scale (AIS)

Grade Tipe Gangguan medula spinalis ASIA


KomplitTidak ada fungsi motorik & sensorik preserved sampai S4-S5
Sensory Fungsi sensorik msh ada yang baik (light touch or pinprick at S4-S5 Inkomplit
or deep anal pressure) tapi fungsi motorik tergangu,sampai segmen sakral S4-S5
DAN tidak ada fungsi motorik lebih dari 3 level level
motor pada sisi tersebut
Motor Fungsi motorik preserved pada segmen kaudal sakal untuk kontraksi Inkomplit
volunteer anal (VAC) atau pasien ditemukan kriteria sensori inkomplet (di
segmen terkaudal (S4-S5) dan mempunyai fungsi motorik yang masih ada lebih dari
3 level dibawah level motor ipsilateral.Untuk Grading C, lebih dari fungsi otot
dibawah NLI
memilki kekuatan ≥3
Motor Definisi inkomplet motor sama dengan diatas, dengan paling tidak Inkomplit
setengah (setengah atau lebih) dari fungsi otot dibawah NLI
mempunyai kekuatan ≥ 3.
NormalJika sensasi dan fungsi motorik diuji dengan ISNSCI ditemukan normal pada semua
segmen, dan pasien memiliki defisit sebelumnya, dikatakan dengan
grade E. seseorang tanpa adanya trauma spinal sebelumnya, tidak
ditentukan AIS gradenya
Keterangan : DAP, deep anal pressure; ISNCSCI, International Standards for Neurological

Classi cation of Spinal Cord Injury; LT, light touch; NLI, neurological level of injury; PP, pin

prick; SCI, spinal cord injury.


International Standards For Neurologiccal Classification of Spinal Cord Injury

(ISNSCI)
3
Sindrom Medula Spinalis
2,4
Central cord Syndrome

Central cord syndrome mempunyai karakteristik berupa kehilangan

kekuatan motorik yang lebih besar pada ekstremitas atas dibandingkan dengan

ekstremitas bawah, dengan derajat kehilangan sensorik bervariasi. Biasanya

sindrom ini terjadi setelah trauma dengan mekanisme hiperekstensi dan diperberat

bila ada sudah ada stenosis kanal servikal. Temuan lengan dan tangan lebih berat

akibat dari serat motorik segmen servikal secara topografis menuju center dari

spinalis. Central cord syndrome seringkali terjadi dengan atau tanpa fraktur atau

dislokasi dari spina. Pemulihan seringkali dimulai dari ekstremitas bawah yang

pulih pertamakali diikuti fungsi bladder, dan ekstremitas atas proksimal dan

tangan yang terakhir.

Anterior cord Syndrome

Anterior cord syndrome dicirikan dengan paraplegia dan kehilangan

sensoris berupa nyeri dan suhu. Fungsi kolumna dorsalis yaitu posisi, vibrasi dan

deep pressure sense tetap baik. Biasanya, anterior cord syndrome diakibatkan

oleh infark dari spinalis atau daerah yang diperdarahi oleh arteri anterior spinal

Brown Sequard Syndrome

Brown- Sequard syndrome terjadi akibat adanya hemiseksi dari spinal,

biasanya akibat dari trauma penetrasi. Walaupun sindrom ini jarang ditemukan,

sindrom ini memperlihatkan kehilangan motorik ipsilateral (jaras kortikospinal)

dan kehilangan posisi (kolumna dorsalis), dan pada sisi kontralateral kehilangan

dari sensasi nyeri dan suhu mulai dari satu sampai dua level dari trauma (jaras

spinotalamus).
Posterior cord syndrome

Posterior Cord Syndrome sering kali diakibatkan oleh trauma dan infark

pada spinalis posterior dan mengakibatkan paresis ringan, gangguan

proprioreseptif bilateral dan gangguan eksteroreseptif pada leher, punggung, dan

bokong.

Spinal Cord Syndromes


Klasifikasi Sindrom Cedera Medula Spinalis 4

Sindrom Penyebab Utama Gejala Dan Tanda Klinis


Central cord syndrome Siringomelia, hypotensive - paresis anggota gerak
spinal cord ischemic (fleksi atas lebih berat
ekstensi) dan tumor spinal dibandingkan angota
gerak bawah
- gangguan sensorik
bervariasi di lengan
- disosisasi sensibilitas
- disfungsi miksi, defekasi
dan seksual
Anterior cord syndrome Infark spinalis anterior - Paraplegia
“watershed”, iskemik akut, - Gangguan sensasi
dan tumor spinal eksteroresptif
- Sensasi proprioreseptif
normal
- Disfungsi sfingter
Brown sequard syndrome cedera tembus, kompresi - Paresis UMN (dibawah
ekstrinsik lesi), LMN (setinggi lesi)
- Gangguan proprioreseptif
(raba tekan) ipsilateral
- Gangguan eksteroresptif
(nyeri suhu) kontralateral
Posterior cord syndrome Trauma dan infark spinalis - Paresis ringan
posterior - Gangguan proprioreseptif
bilateral
- Gangguan eksteroresptif
pada leher, punggung,
dan bokong

Karakteristik Central Cord Anterior Cord Brown Posterior


Sequard Cord
Klinik Syndrome Syndrome Syndrome Syndrome
Kejadian Sering Jarang Jarang Sangat Jarang
Biomekanika Hiperekstensi Hiperfleksi Penetrasi Hiperekstensi
Motorik Gangguan bervariasi; Sering paralisis komplet Kelemahan anggota Gangguan
jarang (ggn tractus desenden); gerak ipsilateral lesi; bervariasi, ggn
Paralisis komplet biasanya ggn traktus tractus
Bilateral desenden (+) Descenden
ringan
bervariasi Sering hilang Sering hilang Gangguan
tidak khas Total Total bervariasi
(Gangguan tractus (Gangguan biasanya
ascenden);bilateral tractus ringan
Protopatik ascenden)
Kontralateral
Propioseptik Jarang sekali Biasanya utuh Hilang ipsilateral; Terganggu
terganggu ggn Tractus ascenden

Perbaikan Sering nyata Dan Paling buruk diantara Fungsi buruk, NamunNA
cepat; khas kelemahan Lainnya independensi paling
tangan dan jari baik
menetap
4
Spinal Shock

Trauma Medula spinalis akut dapat mengakibatkan renjatan spinal (spinal

shock). Spinal shock merupakan sindrom klinik yang sering dijumpai pada

sebagian besar kasus cedera medulla spinalis di daerah servikal dan torakal.

Spinal shock ditandai oleh adanya gangguan menyeluruh fungsi saraf

somatomotorik, somatosensorik, dan otonomik simpatik. Gangguan somatik

berupa paralisis flaksid, hilangnya refleks kulit dan tendon, serta anastesi sampai

setinggi distribusi segmental medula spinalis yang terganggu. Sedangkan

gangguan otonomik berupa hipotensi sistemik, bradikardia, dan hiperemia pada

kulit.

Sebagian besar trauma Spinal shock terjadi di daerah servikal. Akan tetapi

yang paling sering mengakibatkan cedera berat adalah trauma di daerah torakal.

Hal ini berkaitan dengan penampang melintang kanalis spinalis di daerah torakal

yang lebih sempit dibanding servikal. Trauma MS di segmen torakal dapat

mengakibatkan paraplegia, disertai kelemahan otot interkostal yang dapat

mengganggu kemampuan inspirasi dan ekspirasi. Semakin tinggi segmen medula

spinalis yang terkena, semakin berat pula gangguan fungsi respirasi yang terjadi.

Cedera setinggi segmen servikal (C4-C8) dapat mengakibatkan tetraplegia dan

kelemahan otot interkostal yang lebih berat, sehingga otot diafragma harus bekerja

lebih keras. Cedera servikal di atas segmen C4 dapat mengakibatkan pentaplegia,

yaitu tetraplegia disertai kelumpuhan otot diafragma dan otot leher.

Spinal shock ditemukan pada fase akut pascacedera. Durasi renjatan

bervariasi tergantung pada derajat keparahan dan level cedera medulla spinalis.

dapat berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa bulan. Semakin hebat
trauma spinal shock yang terjadi, semakin lama dan semakin hebat pula spinal

shock yang terjadi. Pada sebagian besar kasus, aktivitas refleks spinal kembali

normal setelah 1-6 minggu pasca cedera.

Untuk meyakinkan pemeriksa defsit neurologis bukan karena shock spinal

maka direkomendasikan agar pemeriksa mengasumsikan bahwa defisit neurologis

sensorik dan motorik hanya berlangsung kurang dari 1 jam pasca cedera, sehingga

disimpulkan bahwa defisit sensorik dan motorik yang lebih dari 1 jam merupakan

perubahan patologis dan jarang karena shock spinal.

4
Diagnosis

Penentuan cedera medulla spinalis dilakukan setelah keadaan mengancam

nyawa telah diatasi

A. Anamnesis

Didapatkan informasi berupa mekanisme trauma, riwayat penyakit

sebelumnya, riwayat pengobatan sebelumnya , atau dikenal dengan akronim

AMPLE (Allergy, Medication, Past Illness, Last Meal, Exposure)

Pemeriksaan Fisis

Evaluasi dilakukan dengan menemukan deformitas, krepitasi, nyeri saat

palpasi, dan perlukaan kulit. Penentuan level cedera berdasarkan pemeriksaan

sensorik dan motorik. Pemeriksaan motorik dilakukan dengan memberikan

rangsangan pada nyeri dan menilai sesuai dermatom. Level cedera ditentukan dari

sensorik dengan pola dermatom terbawah yang masih berfungsi dengan baik.

Perhatian khusus diberikan pada kecurigaan cedera servikal (C1-C4). Apabila

pasien mengeluh hilangnya sensasi didaerah sekitar leher dan klavikula,

pemeriksaan harus mengonfirmasi dengan pemeriksaan sensorik.


Spinal Dermatomes3

Poin sensoris. (B) menilai respon nyeri di putting, T4.

Pemeriksaan motorik dilakukan dengan memeriksa kekuatan otot,

mengikuti pola miotom dan dibandingkan dengan kedua sisi. Level cedera juga

ditentukan dari segmen paling kaudal.

Derajat kekuatan otot


Derajat Keterangan
Paralisis total
Terdapat kontraksi saat inspeksi dan palpasi
Dapat digerakkan, namun tidak dapat melawan gravitasi
Dapat digerakkan, dapat melawan gravitasi
Dapat digerakkan, namun kekuatan berkurang
Dapat digerakkan, dapat menahan tahanan
ASIANSCSI Step Required motor & Sensory 2

Diutamakan dilakukan proteksi kolumna vertebralis pada pasien tidak

sadar agar tidak terjadi cedera sekunder selama mobilisasi dan pemeriksaan.

Proteksi ini berupa cervical collar dan meletakkan penderita pada long spine

board dan teknik log roll di tempat kejadian.

Imobilisasi. Trauma servikal membutuhkan imobilisasi dengan cervical collar, imobiliasi


kepala, backboard, dan strap sebelum di transfer3
persons log roll 3

C. Pemeriksaan Radiologis

Foto segmen servikal dilakukan pada posis lateral, anteroposterior, dan open

mouth odontoid. Foto servikal dianggap baik jika basis kranii hingga

vertebra servikal ke 7 dapat terlihat

Foto segmen torakolumbal

Diperhatikan kesegarisan korpus vertebra, jarak antara diskus, pedikel,

prosesus spinosus, dan foramen intervetebralis.

Modalitas radiologis lain seperti CT dan MRI dapat dipertimbangkan bila

pasien mengalami defisit neurologis yang jelas namun tidak ditemukan kelainan

pada pemeriksaan radiologis sebelumnya (spinal cord injury without radiological

abnormality, SCIWORA)
4
Tatalaksana

Tatalaksana pra rumah sakit diutamakan dengan cara

Imobilisasi pasien

Penjagaan jalan nafas

Kontrol perdarahan dan syok

Transfer dengan fasilitas memadai sesegera mungkin

Tatalaksana rumah sakit diutamakan dengan cara

Imobilisasi pasien

Primary Survey

Secondary Survey

Medikamentosa akut

Terapi pada cidera medulla spinalis terutama ditujukan untuk

meningkatkan dan mempertahankan funsi sensorik dan motorik. Lesi medulla

spinalis komplet yang tidak menunjukkan perbaikan dalam 72 jam pertama,

cenderung menetap dan prognosisnya buruk. Cedera medulla spinalis inkomplet

cenderung memiliki prognosis yg lebih baik. Apabila fungsi sensorik di bawah

lesi masih ada, maka kemungkinan untuk kembali berjalan adalah lebih dari 50%.

Metilprednisolon merupakan terapi yang paling umum digunakan untuk

cidera medulla spinalis traumatika dan direkomendasikan oleh National Institute

of Health di Amerika Serikat. Dalam 24 jam pertama memberikan perbaikan

fungsi motoric yang signifikan dibandingkan dengan placebo. Sesegera mungkin

(sebelum 8 jam). Kajian oleh Braken dalam Cochrane Library menunjukkan

bahwa metilprednisolon dosis tinggi merupakan satu-satunya terapi farmakologik


yang terbukti efektif pada uji klinik tahap 3 sehingga dianjurkan untuk digunakan

sebagai terapi cedera medula spinalis traumatika.Cara pemberian :

Pasien onset <3 jam diberikan methylprednisolone 30 mg/kgbb bolus

intravena sebagai loading dose selama 15 menit, ditunggu 45 menit.

Dilanjutkan dengan infus terus menerus selama 23 jam dengan dosis 5,4

mg/kgbb/jam. Dosis diturunkan (tapper) setelah 72 jam.

Pasien onset 3-8 jam, diberikan dengan cara yang sama namun dosis infus

dilakukan selam 47 jam

Bila diagnosis ditegakkan >8 jam, maka pemberian steroid tidak dianjurkan

Steroid berfungsi menstabilkan membran, menghambat oksidasi lipid,

mensupresi edema vasogenik dengan memperbaiki sawar darah medula spinalis,

menghambat pelepasan endorfin dari hipofisis, dan menghambat respons radang.

Penggunaannya dimulai tahun 1960 sebagai antiinfl amasi dan antiedema.

Metilprednisolon menjadi pilihan dibanding steroid lain karena kadar

antioksidannya, dapat menembus membrane sel saraf lebih cepat, lebih efektif

menetralkan faktor komplemen yang beredar, inhibisi peroksidasi lipid, prevensi

iskemia pascatrauma, inhibisi degradasi neurofi lamen, menetralkan penumpukan

ion kalsium, serta inhibisi prostaglandin dan tromboksan. Studi NASCIS I (The

National Acute Spinal Cord Injur Study) menyarankan dosis tinggi sebesar

30mg/kgBB sebagai pencegahan peroksidasi lipid, diberikan sesegera mungkin

setelah trauma karena distribusi metilprednisolon akan terhalang oleh kerusakan

pembuluh darah medula spinalis pada mekanisme kerusakan sekunder.


Penelitian NASCIS II membandingkan metilprednisolon dosis 30

mg/kgBB bolus IV selama 15 menit dilanjutkan dengan 5,4mg/kgBB/jam

secarainfus selama 23 jam berikutnya dengan nalokson (antireseptor opioid) 5,4

mg/kgBB bolus IV, dilanjutkan dengan 4 mg/kgBB/jam secara infus selama 23

jam. Hasilnya, metilprednisolon lebih baik dan dapat digunakan sampai jeda 8 jam

pascatrauma. Pada NASCIS III, metilprednisolon dosis yang sama diberikan

secara infus sampai 48 jam ternyata memberikan keluaran lebih baik dibanding

pemberian 24 jam. Selain itu, dicoba pula tirilazad mesilat (TM), yakni inhibitor

peroksidasi lipid nonglukokortikoid, dan ternyata tidak lebih baik dibanding

metilprednisolon. Terapi ini masih kontroversial; studi terbaru mengatakan belum

ada studi kelas 1 dan 2 yang mendasari terapi ini, serta ditemukan efek samping

berupa perdarahan lambung, infeksi, sepsis, meningkatkan lama perawatan di

1
intensive care unit (ICU), dan kematian.

Tindakan rehabilitasi medik merupakan kunci utama dalam penanganan

pasien cedera medula spinalis. Fisioterapi, terapi okupasi, dan bladder training

pada pasien ini dikerjakan seawal mungkin. Tujuan utama fisioterapi adalah untuk

mempertahankan ROM (Range of Movement) dan kemampuan mobilitas, dengan

memperkuat fungsi otot-otot yang ada. Pasien dengan Central Cord Syndrome /

CSS biasanya mengalami pemulihan kekuatan otot ekstremitas bawah yang baik

sehingga dapat berjalan dengan bantuan ataupun tidak.

Terapi okupasional terutama ditujukan untuk memperkuat dan

memperbaiki fungsi ekstremitas atas, mempertahankan kemampuan aktivitas

hidup sehari-hari/ activities of daily living (ADL). Pembentukan kontraktur harus


dicegah seoptimal mungkin. Penggunaan alat bantu disesuaikan dengan profesi

dan harapan pasien.

Prognosis

Sebuah penelitian prospektif selama 27 tahun menunjukkan bahwa rata-

rata harapan hidup pasien cedera medula spinalis lebih rendah dibanding populasi

normal. Penurunan rata-rata lama harapan hidup sesuai dengan beratnya cedera.

Penyebab kematian utama adalah komplikasi disabilitas neurologik yaitu :

pneumonia, emboli paru, septikemia, dan gagal ginjal.

Penelitian Muslumanoglu dkk terhadap 55 pasien cedera medula spinalis

traumatik (37 pasien dengan lesi inkomplet) selama 12 bulan menunjukkan bahwa

pasien dengan cedera medula spinalis inkomplet akan mendapatkan perbaikan

motorik, sensorik, dan fungsional yang bermakna dalam 12 bulan pertama.

Penelitian Bhatoe dilakukan terhadap 17 penderita medula spinalis tanpa

kelainan radiologik (menderita Central Cord Syndrome). Sebagian besar

menunjukkan hipo/isointens pada T1 dan hiperintens pada T2, mengindikasikan

adanya edema. Seluruh pasien dikelola secara konservatif, dengan hasil: 1 orang

meninggal dunia, 15 orang mengalami perbaikan, dan 1 orang tetap tetraplegia.

Pemulihan fungsi kandung kemih baru akan tampak pada 6 bulan pertama

pasca trauma pada cedera medula spinalis traumatika. Curt dkk mengevaluasi

pemulihan fungsi kandung kemih 70 penderita cedera medula spinalis; hasilnya

menunjukkan bahwa pemulihan fungsi kandung kemih terjadi pada 27% pasien

pada 6 bulan pertama.


BAB 3

LAPORAN KASUS

Primary Survey

Aiway : Bebas

Breathing : Spontan

Circulation : pulse (+)

Disability : GCS 15

Secondary Survey :

AMPLE : Allergy, Medication, Past Illness, Last Meal, Exposure

Tidak ada alergi, tidak ada medikasi yang dipakai sebelumnya, riwayat DM,

makan 2 jam yang lalu.

Identitas Pasien

Nama : Ny. R

Umur : 57 Tahun

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Alamat : Siteba

No MR : 01028013

Seorang pasien perempuan berumur 57 tahun datang ke IGD RSUP DR.M

Djamil Padang pada tanggal 12 Oktober 2018 dengan:


Anamnesis

Keluhan utama :Lemah keempat anggota gerak

Riwayat Penyakit Sekarang:

Kelemahan anggota gerak sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit, kelemahan

dengan kedua kaki sama sekali tidak dapat digerakkan sama sekali setelah

mengalami kecelakaan lalu lintas 1 jam sebelum masuk IGD. Pasien

mengendarai sepeda motor dengan kecepatan 20-30 km/jam. Mekanisme

kejadian pasien diserempet dari belakang dan kemudian terjatuh ke arah depan

dengan posisi tertelungkup dengan dagu terkena aspal dan helm terlepas.

Pasien terseret beberapa meter kedepan.

Baal dari setinggi bahu sampai tubuh bagian bawah sejak 1 jam yang lalu

Sadar dan ingat semua kejadian sebelum, saat dan sesudah kecelakaan

Darah yang keluar dari telinga dan hidung tidak ada

Benturan dikepala disangkal oleh pasien.

Nyeri hebat pada leher belakang

Riwayat Penyakit Dahulu:

Riwayat DM sejak 5 tahun yang lalu, dengan GDS tertinggi 400 mg/dl. Kontrol

tidak teratur

Riwayat HT, Stroke dan penyakit jantung sebelumnya tidak ada

Riwayat demam dan batuk-batuk lama tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga menderita penyakit yang sama dengan pasien.

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi:

Pasien seorang ibu rumah tangga dengan aktivitas fisik harian ringan-sedang.
Pemeriksaan Fisik

Vital Sign
Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : Komposmentis kooperatif (GCS 15 E4M6V5)
Kooperatif : Ya
Nadi/Irama : 88 x /menit teratur
Pernapasan : 18x/menit
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Suhu : 36,8 ˚C
Keadaan gizi : Normoweight
Turgor kulit : Baik
Kulit dan kuku : tidak ditemukan kelainan
Kelenjar getah bening
Leher : tidak ditemukan pembesaran
Aksila : tidak ditemukan pembesaran
Inguinal : tidak ditemukan pembesaran
Paru
Inspeksi : normochest, simetris kiri dan kanan
Palpasi : fremitus sulit dinilai
Perkusi : sonor
Auskultasi : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : irama reguler, bising tidak ada
Abdomen
Inspeksi : perut tidak membuncit
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Korpus Vertebrae
Inspeksi : deformitas (-), gibbus (-), tanda radang (-)
Palpasi : nyeri tekan (-)
2. Status Neurologis:

Tanda Rangsangan Selaput Otak

Kaku kuduk : (-) Brudzinski II : (-)


Brudzinski I : (-) Tanda Kernig : (-)
Tanda Peningkatan Tekanan Intrakranial

Pupil isokor, diameter 3 mm/3 mm, refleks cahaya + /+ , refleks kornea +/+

Pemeriksaan Nervus Kranialis

N I (Olfaktorius)
Penciuman Kanan Kiri
Subjektif Baik Baik
Objektif (dengan bahan) Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N II (Optikus)
Penglihatan Kanan Kiri
Tajam penglihatan Baik Baik
Lapangan pandang Baik Baik
Melihat warna Baik Baik
Funduskopi Tidak dilakukan pemeriksaan
N III (Okulomotorius)
Kanan Kiri
Bola mata Ortho Ortho
Ptosis (-) (-)
Gerakan bulbus Bebas bergerak ke Bebas bergerak ke
segela arah segala arah
Strabismus (-) (-)
Nistagmus (-) (-)
Ekso/endoftalmus (-) (-)
Pupil
Bentuk Bulat Bulat
Refleks cahaya (+) (+)
Refleks akomodasi (+) (+)
Refleks konvergensi (+) (+)
N IV (Troklearis)
Kanan Kiri
Gerakan mata ke bawah Baik Baik
Sikap bulbus Ortho Ortho
Diplopia - -
N VI (Abdusen)
Kanan Kiri
Gerakan mata ke lateral Baik Baik
Sikap bulbus Ortho Ortho
Diplopia - -
N V (Trigeminus)
Kanan Kiri
Motorik
Membuka mulut (+) (+)
Menggerakkan rahang (+) (+)
Menggigit (+) (+)
Mengunyah (+) (+)
Sensorik
Divisi Oftalmika
Refleks kornea (+) (+)
Sensibilitas (+) (+)
Divisi maksila
Refleks masseter (-) (-)
Sensibilitas (+) (+)
Divisi mandibula
Sensibilitas (+) (+)
N VII Fasialis
Kanan Kiri
Raut wajah Simetris
Sekresi air mata Normal Normal
Fisura palpebra Normal Normal
Menggerakkan dahi (+) (+)
Menutup mata (+) (+)
Mencibir/bersiul (+) (+)
Memperlihatkan gigi (+) (+)
Sensasi lidah 2/3 (+) (+)
Hiperakusis (+) (+)
N VIII (Vestibularis)
Kanan Kiri
Suara berisik Tidak dilakukan
Detik arloji Tidak dilakukan
Rinne test Tidak dilakukan
Weber test Tidak dilakukan
Swabach test Tidak dilakukan
Memanjang
Memendek
Nistagmus (-) (-)
Pendular
Vertikal
Siklikal
Pengaruh posisi kepala (-) (-)
N IX (Glossopharingeus)
Kanan Kiri
Sensasi lidah 1/3 belakang (+) (+)
Refleks muntah/Gag reflex (+) (+)
N X (Vagus)
Kanan Kiri
Arkus faring Simetris
Uvula Di tengah
Menelan (+)
Suara (+)
Nadi Teratur
N XI (Asesorius)
Kanan Kiri
Menoleh ke kanan (+) (+)
Menolah ke kiri (+) (+)
Mengangkat bahu ke kanan (+) menurun (+) menurun
Mengangkat bahu ke kiri (+) menurun (+) menurun
N XII (Hipoglosus)
Kanan Kiri
Kedudukan lidah dalam Simetris
Kedudukan lidah dijulurkan Simetris
Tremor (-)
Fasikulasi (-)
Atrofi (-)

Pemeriksaan Koordinasi dan Keseimbangan


Keseimbangan: Tidak dilakukan
Romberg test
Romberg test dipertajam
Stepping gait
Tandem gait
Koordinasi: Tidak dilakukan
Jari-jari
Hidung-jari
Pronasi-supinasi
Test tumit lutut
Rebound phenomen

Pemeriksaan Fungsi Motorik


A. Badan Respirasi Spontan
Duduk Dapat dilakukan
B. Berdiri dan Gerakan spontan (-)
berjalan
Tremor (-)
Atetosis (-)
Mioklonik (-)
Khorea (-)
C. Ekstremitas Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan aktif aktif Aktif Aktif
Kekuatan 333 333 111 111
Trofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi
Tonus Eutonus Eutonus Eutonus Eutonus
Pemeriksaan Sensibilitas
Sensibilitas taktil (-)
Sensibilitas nyeri (-)
Sensibilitas termis (-)
Sensibilitas sendi dan posisi (-)
Sensibilitas getar (-)
Sensibilitas kortikal (-)
Stereognosis (-)
Pengenalan 2 titik (-)
Pengenalan rabaan (-)

Sistem Refleks
1. Fisiologis Kanan Kiri Kanan Kiri
Kornea (+) (+) Biseps ++ ++
Berbamgkis Triseps ++ ++
Laring APR ++ ++
Maseter KPR ++ ++
Dinding perut Bulbokavernosus
Atas Cremaster
Tengah Sfingter
Bawah
2. Patologis
Lengan Tungkai
Hoffman-Tromner (-) (-) Babinski (-) (-)
Chaddoks (-) (-)
Oppenheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
Schaeffer (-) (-)
Klonus paha (-) (-)
Klonus kaki (-) (-)
3. Fungsi otonom
− Miksi : unhibited bladder (+)
− Defekasi : tidak dapat menahan
− Sekresi keringat : baik
4. Fungsi luhur
Kesadaran Tanda Dementia
Reaksi bicara Baik Refleks glabella (-)
Fungsi intelek Baik Refleks snout (-)
Reaksi emosi Baik Refleks menghisap (-)
Refleks memegang (-)
Refleks palmomental (-)
Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium Darah

Rutin
- Hb : 12,3 g/dl
- Leukosit 3
: 12.110 /mm
- Trombosit : 163.000
- Hematokrit : 38 %
Kimia Klinik
- GDS : 412 mg/dl
- Ureum/kreatinin : 106 mg/dL / 1,3 mg/dL
- Natrium/kalium/Cl : 130 mmol/L / 4,1 mmol/L / 108 mmol/L

Diagnosis

Diagnosis Klinis : Tetraparese tipe UMN

Dianosis Topik : Segmen Medula Spinalis setinggi dermatom C4

Diagnosis Etiologi : Trauma Medula Spinalis

Diagnosis Sekunder : DM Tipe II

Penatalaksanaan

Umum

IVFD Assering 12 jam/Kolf

Diet ML 1800 Kkal

Kateter balance cairan


Khusus

Metilprednisolon 4x125 mg (IV)

Ranitidin 2 x 50 mg (IV)’

Sliding Scale/4 jam

3.1. Rencana Pemeriksaan

Rontgen Servikal

MRI servikal

3.2. Prognosis:

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad sanam : dubia ad bonam

Quo ad fungsionam : dubia ad malam


BAB 4

DISKUSI

Dari anamnesis didapatkan pasien perempuan berumur 57 tahun dengan

keluhan utama lemah keempat anggota gerak sejak ± 1 jam sebelum masuk rumah

sakit. Awalnya pasien setelah mengalami kecelakaan lalu lintas 1 jam sebelum

masuk IGD. Pasien mengendarai sepeda motor dengan kecepatan 20-30 km/jam.

Mekanisme kejadian pasien diserempet dari belakang dan kemudian terjatuh ke

arah depan dengan posisi tertelungkup dengan dagu terkena aspal dan helm

terlepas. Dari hasil pemeriksaan neurologis tidak ditemukan kelainan pada syaraf

kranial namun pada pemeriksaan motorik didapatkan kekuatan pada kedua lengan

adalah 333 dan kekuatan tungkai kanan 111 serta tungkai kiri 333, disertai

penurunan sensoris serta propioseptif pada kedua tungkai mulai dari selangkangan

hingga ujung jari kaki.

Berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan,

maka diagnosis pada pasien ini terdapat level lesi di servikal inkomplit dengan

AISA Score yaitu B (sensory incomplete,fungsi sensorik masih ada yang baik

(light touch or pinprick at S4-S5 or deep anal pressure) tapi fungsi motorik

tergangu,sampai segmen sakral S4-S5, tidak ada fungsi motorik lebih dari 3 level

level motor pada sisi tersebut) mengarah kepada tetraparese tipe UMN disertai

retensi urin et alvi akibat cedera medulla spinalis. Trauma yang terjadi kurang

masih dalam golden period yaitu kurang dari 8 jam, sehingga dapat diberikan

metilprednisolon 30 mg/kgbb bolus intravena sebagai loading dose selama 15

menit, ditunggu 45 menit. Dilanjutkan dengan infus terus menerus selama 23 jam

dengan dosis 5,4 mg/kgbb/jam. Dosis diturunkan (tapper) setelah 72 jam.


DAFTAR PUSTAKA

Gandowardaja Y. Purwata ET. Trauma Medulla Spinalis: Patobiologi dan

Tatalaksana medikementosa.Continuing Medical Education. CDK-219/

vol. 41 no. 8. 2014

Vialle LR.Spinal Injury and Regenation.New York : Thieme .Aospine. 2017

American College Of Surgeons. Advanced Life Trauma Support. Edisi Ke-9

Tiara Aninditha. Buku Ajar Neurologi . Universitas Indonesia :2017

Rouanet C. Reges D. Rocha E. Gagliardi V. Silva S. Traumatic Spinal cord

injury : current concepts and treatment update. Brasil : 2017

York JE. Approach to the patient with acute nervous system trauma. Best

Practice of Medicine. September. 2000

Anda mungkin juga menyukai