Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III

Dosen Pengampu : Ns. Willady Rasyid, M. Kep, Sp. Kep, Mb

Disusun Oleh

Nadya Fitria Sari


2114201008

KELAS VA
PROGRAM PENDIDDIKAN S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ALIFAH PADANG
TA. 2023
BAB I
KONSEP DASAR STROKE

A. Konsep Dasar Stroke

1. Pengertian Stroke
Stroke adalah gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda
klinis fokal atau global yang berlangsung lebih dari 24 jam tanpa tanda-tanda penyebab non
vaskuler, termasuk didalamnya tanda-tanda perdarahan subarakhnoid, perdarahan
intraserebral, iskemik atau infark serebri (Mutiarasari, 2019).
Jadi stroke adalah gangguan fungsi saraf pada otak yang terjadi secara mendadak
dengan tanda klinis yang berkembang secara cepat yang disebabkan oleh terganggunya aliran
darah dalam otak.
2. Klasifikasi Stroke
Klasifikasi dari penyakit stroke diantaranya yaitu (Yueniwati, 2016):
a. Stroke Iskemik
Stroke iskemik yaitu tersumbatnya pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah ke
otak sebagian atau keseluruhan terhenti. Stroke iskemik secara umum diakibatkan oleh
aterotrombosis pembuluh darah serebral, baik yang besar maupun yang kecil. Pada stroke
iskemik 8 penyumbatan bisa terjadi di sepanjang jalur pembuluh darah arteri yang menuju ke
otak. Darah ke otak disuplai oleh dua arteri karotis interna dan dua arteri vertebralis. Arteri-
arteri ini merupakan cabang dari lengkung aorta jantung
b. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik disebabkan oleh perdarahan di dalam jaringan otak (disebut
hemoragia intraserebrum atau hematon intraserebrum) atau perdarahan ke dalam ruang
subarachnoid, yaitu ruang sempit antara permukaan otak dan lapisan jaringan yang menutupi
otak (disebut hemoragia subarachnoid). Stroke hemoragik merupakan jenis strokeyang paling
mematikan yang merupakan sebagian kecil dari keseluruhanstroke yaitu sebesar 10-15%
untuk perdarahan intraserebrum dan sekitar5% untuk perdarahan subarachnoid. Stroke
hemoragik dapat terjadiapabila lesi vaskular intraserebrum mengalami rupture sehingga
terjadi perdarahan ke dalam ruang subarachnoid atau langsung ke dalam jaringan otak.
3. Tanda dan Gejala Stroke
Tanda dan gejala neurologis yang timbul pada stroke tergantung berat ringannya
gangguan pembuluh darah dan lokasinya, diantaranya yaitu (Gofir, 2021) :

a. Kelumpuhan wajah atau anggota badan (biasanya hemiparesis) yang timbul mendadak.
b. Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan (gangguan hemisensorik).
c. Perubahan mendadak status mental (konvusi, delirium. Letargi, stupor, atau koma).
d. Afisia (bicara tidak lancar, kurangnya ucapan, atau kesulitan memahami ucapan).
e. Disartria (bicara pelo atau cadel)
f. Gangguan penglihatan (hemianopia atau monokuler) atau diplopia.
g. Ataksia (trunkal atau anggota badan).
h. Vertigo, mual dan muntah, atau nyeri kepala.

4. Faktor Risiko Stroke Faktor risiko dari penyakit stroke yaitu terdiri dari (Mutiarasari,
2019):

a. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah usia, jenis kelamin, dan riwayat
keluarga.
b. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi adalah hipertensi, merokok, dislipidemia,
diabetes melitus, obesitas, alkohol dan atrial fibrillation.
5. Komplikasi Stroke
Stroke merupakan penyakit yang mempunyai risiko tinggi terjadinya komplikasi medis,
adanya kerusakan jaringan saraf pusat yang terjadi secara dini pada stroke, sering
diperlihatkan adanya gangguan kognitif, fungsional, dan defisit sensorik. Komplikasi medis
sering terjadi dalam beberapa minggu pertama serangan stroke. Pencegahan, pengenalan dini,
dan pengobatan terhadap komplikasi pasca stroke merupakan aspek penting. Beberapa
komplikasi stroke dapat terjadi akibat langsung stroke itu sendiri, imobilisasi atau perawatan
stroke. Hal ini memiliki pengaruh besar pada luaran pasien stroke sehingga dapat
menghambat proses pemulihan neurologis dan meningkatkan lama hari rawat inap di rumah
sakit. Komplikasi jantung, pneumonia, tromboemboli vena, demam, nyeri pasca stroke,
disfagia, inkontinensia, dan depresi adalah komplikasi sangat umum pada pasien stroke
(Mutiarasari, 2019).

6. Penatalaksaan Stroke
Tujuan terapi adalah memulihkan perfusi ke jaringan otak yang mengalami infark dan
mencegah serangan stroke berulang. Terapi dapat menggunakan Intravenous recombinant
tissue plasminogen activator (rtPA) yang merupakan bukti efektivitas dari trombolisis, obat
antiplatelet dan antikoagulan untuk mencegah referfusi pada pasien stroke iskemik
(Mutiarasari, 2019).

a. Intravenous recombinant tissue plasminogen activator (rt-PA)

Obat ini juga disebut dengan rrt PA, t-PA, tPA, alteplase (nama generik), atau aktivase
atau aktilise (nama dagang). Pedoman terbaru bahwa rt-PA harus diberikan jika pasien
memenuhi kriteria untuk perawatan. Pemberian rt-PA intravena antara 3 dan 4,5 jam setelah
onset serangan stroke telah terbukti efektif pada uji coba klinis secara acak dan dimasukkan
ke dalam pedoman rekomendasi oleh Amerika Stroke Association (rekomendasi kelas I, bukti
ilmiah level A). Penentuan penyebab stroke sebaiknya ditunda hingga setelah memulai terapi
rt-PA. Dasar pemberian terapi rt-Pa menyatakan pentingnya pemastian diagnosis sehingga
pasien tersebut benar-benar memerlukan terapi rt-PA, dengan prosedur CT scan kepala dalam
24 jam pertama sejak masuk ke rumah sakit dan membantu mengeksklusikan stroke
hemoragik.

b. Terapi antiplatelet

Pengobatan pasien stroke iskemik dengan penggunaan antiplatelet 48 jam sejak onset
serangan dapat menurunkan risiko kematian dan memperbaiki luaran pasien stroke dengan
cara mengurangi volume kerusakan otak yang diakibatkan iskemik dan mengurangi
terjadinya stroke iskemik ulangan sebesar 25%. Antiplatelet yang biasa digunakan
diantaranya aspirin, clopidogrel. Kombinasi aspirin dan clopidogrel dianggap untuk
pemberian awal dalam waktu 24 jam dan kelanjutan selama 21 hari. Pemberian aspirin
dengan dosis 81-325 mg dilakukan pada sebagian besar pasien. Bila pasien mengalami
intoleransi terhadap aspirin dapat diganti dengan menggunakan clopidogrel dengan dosis 75
12 mg per hari atau dipiridamol 200 mg dua kali sehari. Hasil uji coba pengobatan
antiplatelet terbukti bahwa data pada pasien stroke lebih banyak penggunaannya dari pada
pasien kardiovaskular akut, mengingat otak memiliki kemungkinan besar mengalami
komplikasi perdarahan.

c. Terapi antikoagulan
Terapi antikoagulan sering menjadi pertimbangan dalam terapi akut stroke iskemik,
tetapi uji klinis secara acak menunjukkan bahwa antikoagulan tidak harus secara rutin
diberikan untuk stroke iskemik akut. Penggunaan antikoagulan harus sangat berhati-hati.
Antikoagulan sebagian besar digunakan untuk pencegahan sekunder jangka panjang pada
pasien dengan fibrilasi atrium dan stroke kardioemboli. Terapi antikoagulan untuk stroke
kardioemboli dengan pemberian heparin yang disesuaikan dengan berat badan dan warfarin
(Coumadin) mulai dengan 5-10 mg per hari. Terapi antikoagulan untuk stroke iskemik akut
tidak pernah terbukti efektif. Bahkan di antara pasien dengan fibrilasi atrium, tingkat
kekambuhan stroke hanya 5-8% pada 14 hari pertama, yang tidak berkurang dengan
pemberian awal antikoagulan akut.
BAB II
TUMOR OTAK
A. Konsep Tumor Otak
1. Definisi Tumor Otak
Tumor otak terjadi karena adanya pertumbuhan sel otak yang abnormal di dalam atau
sekitar otak yang berkembang tidak terkendali. Tumor otak dalam bahasa radiologis artinya
lesi desak ruang atau Space Occupying Lesion (SOL) (YSP & Amroisa, 2015). Ada dua jenis
tumor otak yaitu tumor otak primer dan tumor otak sekunder. Tumor otak primer yaitu tumor
yang terjadi diakibatkan pertumbuhan sel yang tidak terkendali dari sel otak tersebut. Tumor
otak primer terdiri lagi dari beberapa jenis yaitu Glioma, Meningioma, medulloblastoma.
Tumor otak sekunder disebabkan oleh tumor yang menyebar dari tubuh bagian lain ke otak
(Suta et al., 2019).
Tumor otak disebut juga neoplasma yaitu pertumbuhan jaringan yang abnormal yang
tidak terkendali pada tubuh manusia. Seharusnya, sel normal pada tubuh manusia mampu
mengganti sel yang sudah tua ataupun rusak dengan sel yang baru namun adanya tumor yang
berkembang membentuk massa di ruang tengkorak sehingga terjadilah tumor otak itu sendiri
(Musadir, 2016).

2. Anatomi dan Fisiologi Otak


Otak merupakan organ yang paling rumit dan mengendalikan semua fungsi tubuh
manusia. Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan terdapat batang otak yang terbentuk oleh
mesensefalon, pons dan medulla oblongata. Terdapat kalvaria dan durameter yang apabila
disingkirkan terdapat lapisan arachnoid mater kranialis dan pia mater kranialis sehingga
terlihat adanya gyrus, sulkus dan fisura korteks serebri. Hemisper serebri didapat dari sulkus
dan fisura korteks yang mana menjadi daerah lebih kecil yang disebut lobus.

3. Anatomi otak
a. Serebrum (Otak Besar)
Serebrum terdiri atas dua hemisfer. Hemisfer kanan mengendalikan tubuh bagian kiri
begitupun sebaliknya pada hemisfer kiri. Tiap-tiap hemisfer terdiri dari empat lobus. Gyrus
merupakan bagian lobus yang menonjol serta sulkus merupakan bagian lekukan yang
menyerupai parit. Serebrum terdiri dari lobus frontal, lobus parietal, lobus oksipital dan lobus
temporal

1. Lobus Frontal
Lobus frontal yaitu lobus yang berada pada bagian depan serebrum. Lobus frontal
berfungsi mengendalikan gerakan otot, bola mata, pusat bicara (area broca) dan mengontrol
aktivitas intelektual (area asosiasi) (Yueniwati, 2017).

2. Lobus Parietal
Lobus parietal yaitu lobus yang berada pada area tengah otak besar. Lobus ini
berfungsi menerima impuls dari serabut saraf sensorik thalamus yang dikaitkan dengan
semua bentuk sensasi serta mampu mengenali jenis rangsangan somatik (Yueniwati, 2017).

3. Lobus Oksipital
Lobus oksipital berada pada bagian belakang dari lobus temporal dan parietal. Lobus ini
dapat menginterpretasikan objek yang ditangkap oleh retina mata sehingga terdapat
rangsangan visual (Yueniwati, 2017).

4. Lobus Temporal
Lobus Temporal terdapat pada bagian bawah dan posisinya dipisah dari lobus oksipital
oleh sebuah garis yang jika ditarik secara vertikal ke bawah dari ujung atas sulkus lateral.
Lobus ini memiliki beberapa fungsi seperti pemaknaan dalam penerimaan informasi,
kemampuan dalam pendengaran serta bahasa dalam bentuk suara (Yueniwati, 2017). Setiap
lobus memiliki beberapa bagian atau area sehingga terdapat fungsi masing-masing yaitu
sebagai berikut (Yueniwati, 2017)
1) Area visual (berfungsi untuk pengenalan dan persepsi gambar serta melihat objek)
2) Area asosiasi (berfungsi dalam hal memori jangka pendek, pengaturan emosi serta
keseimbangan)
3) Area fungsi motor (berfungsi untuk menggerakan otot volunteer)
4) Area Broca’s (berfungsi untuk menggerakkan otot berbicara)
5) Area auditori (berfungsi untuk mendengar)
6) Area emosi (berfungsi untuk memberikan beberapa respon seperti rasa lapar, rasa
nyeri dan respon untuk mempertahankan diri)
7) Area sensosi asosiasi
8) Area olfaktori (membantu manusia untuk mencium baubauan)
9) Area sensori (berfungsi untuk merasakan sensasi dari kulit ataupun otot)
10) Area asosiasi somatosensory (area ini berfungsi untuk membantu pengenalan objek,
temperature, melakukan evaluasi berat dan tekstur)
11) Area wernickle’s (kemampuan bahasa bicara serta menulis)
12) Area fungsi motor (kemampuan orientasi dan pergerakan bola mata)
13) Fungsi psikis yang tinggi (berfungsi untuk membantu manusia dalam hal
melakukan perencaan, keputusan, kreativitas, ekspresi terhadap emosi, konsentrasi dan
sifat untuk menahan diri)
b. Serebelum (Otak Kecil) Serebelum terletak pada bagian bawah belakang kepala,
dekat pada batang otak area belakang dan lobus oksipital bagian bawah serta dekat pada
ujung leher bagian atas. Serebelum memiliki beberapa fungsi yaitu pusat tubuh dalam
mengontrol gerakan seperti keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh.
c. Batang Otak Batang otak terletak di dalam tulang tengkorak dan memanjang hingga
medulla spinalis. Batang otak berfungsi untuk mengontrol denyut jantung, tekanan darah,
pernapasan, kesadaran, pola tidur dan makan. Batang otot terdapat tiga bagian yaitu
mesensefalon, pons dan medulla oblongata (Terry & Weaver, 2012; Yueniwati, 2017).
1. Mesensefalon
Otak tengah atau biasa disebut mesensefalon yaitu bagian paling atas dari batang otak
yang menghubungkan antara otak besar (serebrum) dan otak kecil (serebelum). Otak tengah
mengendalikan penglihatan, pergerakan bola mata, besar kecilnya pupil, mengatur
keseimbangan dan pendengaran. Selain itu, saraf kranial III (Okulomotor) dan IV (Trochlear)
juga terhubung dengan otak tengah. Saraf kranial III berfungsi untuk kontraksi pupil, dan
pergerakan extraocular. Saraf kranial IV untuk pergerakan bola mata (Terry & Weaver, 2012;
Yueniwati, 2017).
2. Pons
Pons terdapat pada bagian dari batang otak dan terletak antara otak tengah dan medulla
oblongata serta terletak di fossa kranial posterior. Saraf kranial V (Trigeminal) juga
terhubung dengan pons. Saraf kranial ini berfungsi untuk mengunyah, membuka rahang,
sensasi taktil dari wajah, kornea, oral dan mukosa hidung (Terry & Weaver, 2012; Yueniwati,
2017).
3. Medulla Oblongata
Bagian ini merupakan bagian paling bawah belakang dari batang otak dan berlanjut ke
medulla spinalis serta terletak pada fossa kranial posterior. Nervus IX (Glossopharyngeal), X
(Vagus), dan XII (Hypoglossal) terhubung dengan medulla, sedangkan nervus VI (Abdusens)
dan VIII (Akustik) terletak antara pons dan medulla. Saraf kranial IX berfungsi untuk
menelan, berbicara, refleks gag dan produksi saliva, saraf kranial X berfungsi untuk
mengontrol proses volunter dari menelan dan proses involunter terhadap aktivitas jantung,
paru dan tractus digestif. Saraf kranial XII berfungsi untuk pergerakan lidah. Untuk saraf
kranial VI berfungsi untuk pergerakan lateral dari bola mata serta saraf kranial VIII berfungsi
untuk keseimbangan dan pendengaran (Terry & Weaver, 2012; Yueniwati, 2017).
2 Fisiologi Otak
Otak manusia memiliki berat 1200-1400 gram. Saat keadaan istirahat otak memerlukan
oksigen sebanyak 20% dari seluruh kebutuhan oksigen tubuh dan memerlukan 70% glukosa
tubuh. Setiap menit, oksigen yang diperlukan oleh otak sebanyak 800 cc dan glukosa
sebanyak 100 mg
3 Etiologi Tumor
Otak Tumor otak belum diketahui secara pasti faktor penyebabnya namun terdapat
dugaan timbulnya suatu tumor yaitu bawaan, radiasi, virus, zat-zat karsinon dan embryonal
yang tertinggal.
a. Genetik
Meningioma, astrocytoma dan neurofibroma meerupakan tumor yang terjadi akibat
factor bawaan dan dapat dijumpai pada anggota keluarga.
b. Sel embryonal yang tertinggal
Tumor ini diakibatkan karena sudah terjadi keganasan, tumbuh terus menerus dan
merusak jaringan disekitarnya. Pertumbuhan abnormal ini dapat dijumpai pada
kraniofaringioma, khordoma yang berpangkal pada Ratkhe dan korda dorsalis
c. Radiasi
Jaringan pada sistem saraf pusat peka terhadap radiasi sehingga mampu terjadi
perubahan degenerasi. Jenis radiasi yang dapat menimbulkan tumor yaitu radiasi dengan
dosis sub terapeutik sehingga dapat merangsang sel-sel mesenkhimal.
d. Virus
Virus Epstein Barr menimbulkan neoplasma dan disangka berperan sebagai Burkitt;s
Lymphoma (Makmur & Siregar, 2020).
e. Zat Karsinogen
Methhyl cholanthrene dan nitroso ethyl urea merupakan zat yang diakusi sebagai zat
karsinogenik dapat memunculkan tumor. Selain itu, zat karsinogenik dpat ditemukan pada
daun kayu manis, pala, selasih, adas manis, minyak mawar, kuncup cengkeh dan lainnya.
f. Gaya hidup
Makanan yang diawetkan, daging asap atau acar berhubungan terhadap peningkatan
resiko terjadinya tumor otak.
4 Klasifikasi Tumor
Otak Tumor otak terbagi menjadi beberapa hal yaitu berdasarkan derajat keganasan
(tumor otak jinak dan tumor otak ganas), berdasarkan peletakannya (tumor intra aksial dan
ekstra aksial). Pada tumor otak ekstra aksial terbagi lagi menurut tempatnya yaitu pada
rongga subarachnoid, parenkim otak, tulang tengkorak dan meningen. Tumor intra aksial
yaitu tumor yang terletak di dalam otak sedangkan ekstra aksial adalah tumor yang berada di
luar jaringan otak seperti berada pada selaput otak (meningen)
Tumor otak pada susunan saraf telah ditetapkan oleh World Health Organization
(WHO) mengenai sistem stadium atau keganasan untuk merencanakan penatalaksanaan dan
memprediksi terhadap pertumbuhan tumor otak. Beberapa tingkatan sebagai berikut:
a. Grade I Tumor stadium grade I mampu berkembang secara lambat atau pelan dengan
ukuran sel tampak kecil ataupun normal serta jarang menyebar di sekitar jaringan lunak
lainnya. Pada stadium grade I ini, tindakan operasi dapat dilakukan untuk pengangkatan
tumor.
b. Grade II Tumor stadium grade II dapat dilihat pada jaringan lunak terdapat
penyebaran namun berkembang secara lambat. Ketika telah terjadi stadium grade II, tumor
mampu berkembang ke grade yang lebih tinggi.
c. Grade III
Tumor stadium grade III berkarakteristik cepat menyebar ke jaringan lunak lainnya
dan dapat terlihat perbedaan antara sel tumor dengan sel normal yang jelas.
d. Grade IV
Tumor stadium grade IV berkembang sangat cepat dan agresif serta sangat terlihat
dengan jelas perbedaan antara sel tumor dengan sel normal lainnya. Stadium IV ini, tumor
sudah sangat sulit untuk dilakukan terapi.
5. Manifestasi Klinis Tumor Otak
1 Gejala tumor otak secara umum
Gangguan mental ringan (psikomotor asthenia) yang dapat terjadi pada penderita
dengan tumor otak labil, pelupa, mudah tersinggung serta timbulnya ansietas dan depresi.
Selain itu terdapat beberapa gejala umum lainnya:
a. Nyeri kepala
Pada tumor otak, umumnya gejala awal pada pasien tumor otak berupa nyeri kepala.
Nyeri kepala sangat bervariasi dari ringan hingga episodik berat. Nyeri kepala pada pasien
tumor otak umumnya bertambah berat pada malam dan pagi hari saat bangun tidur serta dapat
menimbulkan peningkataan tekanan intrakranial
b. Muntah
Muntah dapat terjadi pada pasien dengan tumor otak diiringi dengan timbulnya nyeri
kepala. Umumnya muntah pada peningkatan TIK bersifat proyektil tanpa disertai rasa mual.
c. Kejang
Pasien dengan tumor otak umumnya mengalami bangkitan kejang dan dapat dicurigai
apabila baru terjadi di usia 25 tahun keatas, memiliki status epilepsi, resisten terhadap obat
epilepsi dan bangkitan disertai dengan gejala Tekanan Intra Kranial (TIK) (Yueniwati, 2017).
2 Gejala Tekanan Intrakranial
Tekanan Intra Kranial timbul dengan keluhan adanya nyeri kepala pada area otak
frontal dan oksipital yang muncul pada malam atau pagi hari disertai 15 dengan muntah
proyektil dan kesadaran menurun. Gejala yang timbul juga terdapat parase pada nervus VI
(Yueniwati, 2017). Peningkatan TIK juga dapat dilihat dari deskripsi nyeri pasien, seperti
nyeri muncul apabila dalam posisi supinasi, batuk atau mengejan (Haq et al., 2019).
3 Gejala-gejala tumor otak yang spesifik
Gejala tumor otak yang spesifik sebagai berikut (Komite Penanggulangan Kanker
Nasional, 2015):
a. Gejala Tumor Otak pada Lobus Frontal
1. Timbulnya gejala perubahan kepribadian seperti penderita menunjukkan gejala
depresi atau masalah psikiatrik
2. Timbulnya kejang fokal akibat jaras motorik tertekan oleh tumor hemiparase kontra
lateral
3. Tumor yang menekan pada permukaan media akan menimbulkan gejala
inkontinentia
4. Tumor yang berada pada lobus dominan akan menimbulkan gejala afasia
b. Gejala Tumor Otak pada Lobus Temporal
1. Timbulnya gejala hemianopsia
2. Timbulnya gejala neuropsikiatrik seperti dejavu, amnesia dan hypergraphia
3. Jika terdapat lesi pada lobus yang dominan menimbulkan afasia
c. Gejala Tumor Otak pada Lobus Parietal
1. Timbulnya gangguan motorik dan sensorik yang kontra lateral
2. Ditemukan gejala homonymous hemianopia (hanya melihat satu sisi)
3. Jika terdapat lesi pada yang dominan di lobus parietal menimbulkan gejala disfasia
dan jika terdapat lesi pada lobus yang tidak dominan menimbulkan gejala geographic agnosia
dan dressing apraxia
d. Gejala Tumor Otak pada Lobus Oksipital
1. Pergerakan kontra lateral dari homonymous hemianopia
2. Timbulnya gangguan penglihatan menjadi object agnosia
3. Gejala Tumor Otak di Tumor di Cerebello Pontin Angle
4. Pasien mengalami gangguan pada fungsi pendengaran
e. Gejala Tumor Otak di Glioma Batang Otak Timbulnya gejala neuropati kranial
seperti diplopia, kelemahan pada area wajah dan dysarthria.
f. Gejala Tumor Otak pada Area Serebelum
1. Adanya gangguan berjalan dan timbulnya tekanan intracranial (mual, muntah dan
timbul nyeri kepala hebat)
2. Nyeri kepala pada area oksipital hingga ke leher dan terdapat spasme pada otot
servikal
6 Pemeriksaan Penunjang Tumor Otak
a. Pemeriksaan Laboratorium: Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat secara umum
keadaan pasien dan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam terapi yang akan diberikan.
Pemeriksaan dapat berupa pemeriksaan darah lengkap LDH, hemostasis, fungsi ginjal dan
hati, kadar gula darah serta elektrolit lengkap
b. Pemeriksaan Radiologi
1. Pemeriksaan Computered Tomography (CT) Scan
Pemeriksaan ini bertujuan ntuk melihat adanya tumor pada langkah awal penegakan
diagnosa, dapat melihat adanya kalsifikasi, timbulnya lesi atau destruksi pada tulang
tengkorak
2. Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemeriksaan ini menggunakan teknik pencitraan untuk pemeriksaan otak dan
mempunyai resolusi kontras serta spasial yang tinggi. Pemeriksaan MRI dpat mengdiagnosis
tumor otak dan dapat memberikan informasi jika ditambahkan dengan Magnetic Resonance
Spectroscopy (MRS).
3. Pemeriksaan Diffusion Weighted Imaging (DWI)
Pemeriksaan ini merupakan model pencitraan echoplanar yang mengukur gerakan acak
molekul air. Saat melakukan diagnosis tumor otak, DWI dapat mendiagnosis abses, nekrotik
dan metastasis serta menilai usia iskemik otak (Yueniwati, 2017).
4. Pemeriksaan Digital Substraction Angiography (DSA)
Teknik ini menggunakan sinar-X bertujuan untuk mendeteksi pembuluh darah yang
memberikan suplai ke tumor otak serta mengontrol embolisasi tumor hipervaskular
7 Patofisiologi Tumor Otak
Tumor otak terbagi menjadi dua yaitu tumor otak primer dan sekunder atau adanya
metastasis. Tumor otak primer timbul dari jaringan intrakranial termasuk dari sel glial,
neuron, meningen dan astrosit. Proses terjadinya tumor otak primer terkait dengan adanya
mutase yang telah terpapar radiasi sehingga menyebabkan rusaknya struktural sel otak.
Akibat adanya paparan, sel-sel mengalami mekanisme adaptasi seluler sehingga terdapat
perubahan morfologi pada sel otak. Perubahan ireversibel dapat terjadi karena sel otak terus
menerus terkena radiasi atau mutagen yang dapat menyebabkan mutase DNA. Inaktivasi
tumor supresor gen dan aktivasi onkogen akan terjadi sehingga pembelahan sel otak tidak
normal disertai adanya penurunan mekanisme kematian sel (apoptosis). Berdasarkan runtutan
kejadian akan memicu perkembangbiakan sel-sel otak yang dapat berkembang menjadi tumor
otak.
Tumor otak menimbulkan gangguan neurologis secara bertahap. Gangguan ini
disebabkan dua faktor yaitu gangguan fokal dan kenaikan tekanan intracranial. Gangguan
fokal terjadi karena adanya jaringan otak 18 tertekan dan infiltrasi sehingga terjadi invasi
langsung pada parenkim otak. Akibat adanya penekanan sehingga terjadi perubahan suplai
aliran darah ke jaringan otak. Hal inilah yang dapat memunculkan serangan kejang. Selain
itu, peningkatan tekanan intrakranial karena beberapa faktor seperti bertambahnya massa
dalam tengkorak, timbulnya edema disekitar tumor dan perubahan sirkulasi cairan
serebrospinal. Akibatnya, terjadi peregangan pada meningens sehingga terjadi proses aktivasi
mekanoreseptor yang mempengaruhi kemoresptor. Hal ini menimbulkan gejala mual dan
muntah.
8 Penatalaksanaan Tumor Otak
1 Penatalaksanaan Medis
Pasien dengan tumor otak yang mengalami penurunan kesadaran, pupil anisokor,
lateralisasi apabila mengalami kejang dapat diberikan diazepam, fenitoin. Jika terjadi Edema
dapat diberikan dexametason, diuretik. Dexametason sebagai steroid dapat menjadi pilihan
untuk mengatasi masalah neurologi dengan dosis besar 10-20 mg secara intravena. Dosis
harian dapat naik hingga 100 mg jika perlu. Apabila pasien tumor otak kejang dapat
diberikan diazepam dengan dosis 0.3-0.5 mg/kgBB secara intravena dengan kecepatan 0.5-1
mg/menit (3-5 menit). Jika, kejang tetap ada berikan fenitoin dengan dosis 10-20 mg/KgBB
secara intravena dengan kecepatan 0.5-1 mg/kgBB/menit. Pasien tumor otak yang mengalami
muntah dapat diberikan Omeprazole 40 mg/12 jam dengan jalur intravena atau obat Ranitidin
dengan dosis 150 mg/6-8 jam dengan jalur intravena
2 Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan kegawatdaruratan umumnya dengan pendekatan “ABCDE” (Airway,
Breathing, Circulation, Disability dan Exposure). Pertama, masalah jalan napas yang
mengancam jiwa dapat terkaji dan ditangani, Kedua, masalah pernapasan yang mengancam
jiwa juga dapat ditangani begitupun seterusnya.
a. Airway (Jalan napas)
Pasien yang dapat merespon dengan suara yang normal artinya jalan napasnya paten.
Jalan napas yang tidak paten dapat diakibakan karena adanya obstruksi parsial atau
kompleks. Pasien dengan penurunan kesadaran umumnya dikarenakan adanya obstruksi jalan
napas dan mengeluarkan suara snoring. Jalan napas yang tidak paten dapat diatasi dengan
melakukan suction untuk menghilangkan obstruksi dan dapat melakukan posisi head-tilt chin-
lift (Krarup & Grove, 2013). Pengkajian jalan napas dikaji berupa pasien dapat berbicara
dengan normal, kaji warna kulit, waspada terhadap ketidaknormalan (wheezing, snoring,
gurgling atau snoring bahkan tidak mengeluarkan suara), inspeksi mulut dan kaji
kemungkinan adanya cedera tulang belakang.
b. Breathing (Pernapasan)
Pada semua kasus, kita dapat membandingkan jumlah pernapasan, melihat pergerakan
dinding dada, penggunaan otot bantu napas untuk melihat apakah pernapasan pasien
memadai. Jika, pernapasan tidak memadai dapat dibantu dengan ventilasi berupa pemberian
rescue breathing serta bisa menggunakan Bag Valve Mask (BVM) (Krarup & Grove, 2013).
Pengkajian pernapasan dapat dilakukan dengan menggunakan pulse oximetry dan kaji
saturasi, dengarkan suara paru, kaji respiratory rate, waspada terhadap penggunaan otot bantu
napas dan inspeksi pergerakan dinding dada.
c. Circulation (Sirkulasi)
Inspeksi warna kulit, tes Capillary Refill Time (CRT) dan ukur denyut jantung pasien
untuk mengetahui apakah terdapat masalah pada 20 sirkulasi. Perubahan warna kulit,
berkeringat dan penurunan kesadaran merupakan gejala dari penurunan perfusi. Monitoring
Electrocardiography (EKG) dan pengukuran tekanan darah harus dilakukan. Akses Intravena
harus segera dilakukan dengan memposisikan supine atau mengangkat kaki pasien (Krarup &
Grove, 2013). Pengkajian sirkulasi dapat dilakukan dengan mengukur tekanan darah, denyut
jantung, CRT dan ritme dari jantung. Kaji suhu kulit dan kelembaban, inspeksi JVD dan
palpasi nadi perifer.
d. Disability (Disabilitas)
Tingkat kesadaran pasien dapat dengan cepat diukur dengan metode AVPU ataupun
Glasgow Coma Scale (GCS). Alert (A), Voice Responsive (V), Pain Responsive (P) atau
Unresponsive (U). Pergerakan ekstremitas juga perlu dilakukan inspeksi untuk mengevaluasi
tanda gejala potensial dari adanya laterasi. Selain itu, periksa reflek pupil dan glukosa darah
karena penurunan kesadaran juga dapat terjadi karena rendahnya kadar gula. Tatalaksana
pada permasalahan pasien yang bermasalah di area serebral yaitu melakukan stabilisasi jalan
napas, pernapasan dan sirkulasi. Jika, pasien hanya memberikan respon dari pemberian nyeri
ataupun pasien tidak responsif, jalan napas perlu dipastikan, posisikan pasien pada posisi
recovery (Krarup & Grove, 2013). Pengkajian disabilitas dapat dilakukan dengan mengkaji
tingkat kesadaran, kaji fungsi motorik dari ekstremitas, evaluasi bentuk pupil dan refleks
cahaya.
e. Exposure
Lihatlah tanda trauma, perdarahan, reaksi kulit. Jika menemukan pasien dengan
permasalahan tertentu, lepaskan pakaian dan lakukan pengkajian head to toe. Ukur suhu
tubuh dengan menggunakan thermometer (Krarup & Grove, 2013). Pengkajian exposure
dapat dilakukan dengan mengukur suhu tubuh, pengkajian head to toes, reaksi kulit dan
gejala Deep Venous Thrombosis
3 Penanganan Gejala dari Tumor Otak Berdasakan Aspek Keperawatan
a. Kejang
Pasien tumor otak disertai dengan kejang dapat diatasi dengan sikap tenang dan paham
terhadap kondisi. Pastikan lingkungan aman, tidak di restrain ataupun terdapat sesuatu yang
berbahaya di area mulutnya. Hitung waktu kejadian saat kejang, jika kejang > 5 menit segera
lakukan tindakan keperawatan. Jika ditemukan pasien kejang dengan penurunan kesadaran
diatasi dengan letakkan bantal pada area kepala, hilangkan benda-benda tajam, miringkan
pasien untuk menghindari terjadiny aspirasi karena saliva atau emesis.
b. Nyeri Kepala
Perawat dapat membantu pemberian terapi obat-obatan yaitu dengan pemberian Non-
Steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDS). Apabila terjadi adanya edema akibat
peningkatan tekanan intra kranial, obat kortikosteroid dapat diberikan. Perawat dapat
memantau efek samping seperti perubahaan mood, insomnia, hiperglikemia, perubahan
warna kulit dan lainnya
9 Komplikasi Tumor Otak
Tumor otak dapat menimbulkan beberapa komplikasi yaitu:
a. Edema serebral
Edema serebral terjadi karena adanya cairan yang secara berlebih pada otak sehingga
terjadi penumpukan di sekitar lesi akibatnya massa semakin bertambah
b. Hidrosefalus
Hidrosefalus dapat timbul karena peningkatan intrakranial akibat adanya perkembangan
massa di dalam rongga cranium.
c. Herniasi
otak Herniasi otak adalah perpindahan jaringan serebral dari lokasi semula atau normal
namun jaringan tersebut mendesak area disekitarnya sehingga dapat membahayakan
keselamatan jiwa penderita. Herniasi otak dapat menimbulkan kerusakan otak, menekan saraf
kranial dan 22 pembuluh darah yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan atau iskemik
ataupun obstruksi pada cairan serebrospinal yang dapat memproduksi atau terjadinya
hidrosefalus. Herniasi diakibatkan peningkatan TIK. Oleh karena itu dapat terjadi kerusakan
otak secara permanen bahkan kematian. Herniasi terdapat tanda trias cushing yaitu
bradikardi, hipertensi dan pernafasan tidak teratur merupakan tanda herniasi yang
mengancam.
d. Epilepsi
e. Metastase ke tempat lainnya.
10. Aspek Kegawatdaruratan Tumor Otak
Faktor resiko kegawatdaruratan Tumor Otak:
a. Hiponatremia
Hiponatremia setelah terjadinya cedera kepala dapat mengalami gangguan homeostasis
pada system saraf pusat. Cedera kepala memberikan respons stress dan mengaktivasi aksis
gipotalamushipofisis-adrenal sehingga meningkatkan atrial natriuretic peptide (ANP), brain
natriuretic peptide (BNP) dan arginin vasopressin yang memunculkan terjadinya
hiponatremia.
b.Anemia
Otak memerlukan oksigen dan hemoglogin sebagai pengangkut utama oksigen untuk
memenuh kebutuhan jaringan serta mampu melepaskan lebih banyak oksigen saat pasokan
oksigen kurang memadai. Anemia artinya terjadi penurunan jumlah sel darah merah yang
beredar dalam pembuluh darah dan merupakan salah satu penyebab terjadinya cedera
sekunder pada otak. Apabila anemia terjadi dapat membahayakan jiwa.
c. Hemodilusi
Hemodilusi dapat mengurangi kekentalan darah dan dapat meningkatkan aliran darah
ke otak.
d.Kejang
Kejang memiliki hubungan langsung dalam terjadinya tumor otak. Kejang dapat
muncul akibat adanya lesi pada intrakranial. Kejang menjadi patokan penting dalam menilai
kualitas hidup dan menjadi patokan dalam prognosis pasien. Kejang dapat membahayakan
karena jaringan tumor mengiritasi otak disebabkan perubahan kelistrikan.
BAB III
MENINGITIS

A. Konsep Dasar Meningitis

1. Pengertian meningitis
Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal
column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat.Pengertian lain juga
menyebutkan bahwa meningitis adalah inflamasi arakhnoid dan pia mater yang mengenai
CSS (Cairan Serebro Spinal). Infeksi menyebar ke subarachnoid dari otak dan medula
spinalis biasanya dari ventrikel.
Dapat disimpulkan bahwa meningitis adalah suatu reaksi yang terjadi dari peradangan
yang terjadi akibat infeksi karena bakteri, virus, maupun jamur pada selaput otak (araknoidea
dan piamater) yang ditandai dengan adanya sel darah putih dalam cairan serebrospinal dan
menyebabkan perubahan pada struktur otak.
2. Penyebab meningitis
Terdapat beberapa penyebab yang terjadi pada masalah meningitis yaitu bakteri, faktor
predisposisi, faktor maternal, dan faktor imunologi. Menurut (Suriadi & Rita Yuliani 2006)
penyebab meningitis antara lain.
a. Bakteri : Haemophilus influenza (tipe B), streptococcus pneumonia, Neisseria
meningitis, hemolytic streptococcus, staphylococcus aureu, e. coli
b. Faktor predisposisi : jenis kelamin laki-laki lebih sering dibandingkan dengan wanita
c. Faktor maternal : ruptur membrane fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir kehamilan
d. Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi immunoglobulin, anak
yang mendapat obat obat imunosupresi
e. Anak dengan kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan
dengan sistem persarafan
3. Gambaran klinis meningitis Menurut gambaran klinis yang muncul pada anak
dengan meningitis antara lain :
1. Pada fase akut gejala yang muncul antara lain :
a. Lesu
b. Mudah terangsang
c. Hipertermia
d. Anoreksia
e. Sakit kepala
2. Peningkatan tekanan intrakranial. Tanda-tanda terjadinya tekanan intrakranial:
a. Penurunan kesadaran
b. Muntah yang sering proyektil (menyembur)
c. Tangisan yang merintih
d. Sakit kepala
3. Kejang baik secara umum maupun lokal
4. Kelumpuhan ekstremitas (paresis atau paralisis)
5. Gangguan frekwensi dan rama pernafasan (cepat dengan irama kadang dangkal dan
kadang dalam)
6. Munculnya tanda-tanda rangsangan meningeal seperti ; kaku kuduk, regiditas umum,
refleksi Kernig dan Brudzinky positif.
4. Patofisiologi meningitis
Meningitis terjadi akibat dari penyebaran penyakit di organ atau jaringan tubuh yang
lain. Virus atau bakteri menyebar secara hematogen sampai ke selaput otak, misalnya
penyakit Faringitis, Tonsilitis, Pneumonia, dan Bronchopneumonia. Masuknya organisme
melalui sel darah merah pada blood brain barrier. Penyebaran organisme bisa terjadi akibat
prosedur pembedahan, pecahnya abses serebral atau kelainan sistem saraf pusat. Otorrhea
atau rhinorrhea akibat fraktur dasar tengkorak yang dapat menimbulkan meningitis, dimana
terjadinya hubungan antara CSF (Cerebro-spinal Fluid) dan dunia luar. Penumpukan pada
CSF akan bertambah dan mengganggu aliran CSF di sekitar otak dan medulla spinalis.
Mikroorganisme masuk ke susunan saraf pusat melalui ruang pada subarachnoid sehingga
menimbulkan respon peradangan seperti pada via, arachnoid, CSF, dan ventrikel. Efek
peradangan yang di sebabkan oleh mikroorganisme meningitis yang mensekresi toksik dan
terjadilah toksekmia, sehingga terjadi peningkatan suhu oleh hipotalamus yang menyebabkan
suhu tubuh meningkat atau terjadinya hipertermi.
5. Manifestasi klinis
meningitis Gejala klinis yang timbul pada meningitis bakterial berupa sakit kepala,
lemah, menggigil, demam, mual, muntah, nyeri punggung, kaku kuduk, kejang, peka pada
awal serangan, dan kesadaran menurun menjadi koma. Gejala meningitis akut berupa
bingung, stupor, semi-koma, peningkatan suhu tubuh sedang, frekuensi nadi dan pernapasan
meningkat, tekanan darah biasanya normal, klien biasanya menunjukkan gejala iritasi
meningeal seperti kaku pada leher, 11 tanda Brudzinksi (Brudzinki’s sign) positif, dan tanda
Kernig (Kernig’s sign) positif
6. Komplikasi meningitis Menurut (Riyadi & Sukarmin, 2009) komplikasi yang dapat
muncul pada anak dengan meningitis antara lain :
a. Munculnya cairan pada lapisan subdural (efusi subdural). Cairan ini muncul karena
adanya desakan pada intrakranial yang meningkat sehingga memungkinkan lolosnya
cairan dari lapisan otak ke daerah subdural.
b. Peradangan pada daerah ventrikuler otak (ventrikulitis). Abses pada meningen dapat
sampai ke jaringan kranial lain baik melalui perembetan langsung maupun hematogen
termasuk ke ventrikuler.
c. Hidrosepalus. Peradangan pada meningen dapat merangsang kenaikan produksi
Liquor Cerebro Spinal (LCS). Cairan LCS pada meningitis lebih kental sehingga
memungkinkan terjadinya sumbatan pada saluran LCS yang menuju medulla spinalis.
Cairan tersebut akhirnya banyak tertahan di intracranial.
d. Abses otak. Abses otak terjadi apabila infeksi sudah menyebar ke otak karena
meningitis tidak mendapat pengobatan dan penatalaksanaan yang tepat.
e. Epilepsi.
f. Retardasi mental. Retardasi mental kemungkinan terjadi karena meningitis yang
sudah menyebar ke serebrum sehingga mengganggu gyrus otak anak sebagai tempat
menyimpan memori.
g. Serangan meningitis berulang. Kondisi ini terjadi karena pengobatan yang tidak
tuntas atau mikroorganisme yang sudah resisten terhadap antibiotik yang digunakan
untuk pengobatan.
7. Penatalaksanaan medis meningitis Menurut (Riyadi & Sukarmin, 2009)
penatalaksanaan medis yang secara umum yang dilakukan di rumah sakit antara lain :
a. Pemberian cairan intravena. Pilihan awal yang bersifat isotonik seperti asering atau
ringer laktat dengan dosis yang dipertimbangkan melalui penurunan berat badan anak atau
tingkat degidrasi yang diberikan karena pada anak yang menderita meningitis sering datang
dengan penurunan kesadaran karena kekurangan cairan akibat muntah, pengeluaran cairan
melalui proses evaporasi akibat hipertermia dan intake cairan yang kurang akibat kesadaran
yang menurun.
b. Pemberian diazepam apabila anak mengalami kejang. Dosis awal diberikan
diazepam 0,5 mg/Kg BB/kali pemberian melalui intravena. Setelah kejang dapat diatasi maka
diberikan fenobarbital dengan dosis awal pada neonates 30m, anak kurang dari 1 tahun 50 mg
sedangkan anak yang lebih dari 1 tahun 75 mg. Untuk rumatannya diberikan fenobarbital 8-
10 mg/Kg BB/ di bagi dalam dua kali pemberian diberikan selama dua hari. Sedangkan
pemberian fenobarbital dua hari berikutnya dosis diturunkan menjadi 4-5 mg/Kg BB/ dibagi
dua kali pemberian. Pemberian diazepam selain untuk menurunkan kejangjuga diharapkan
dapat menurunkan suhu tubuh karena selain hasil toksik kumanpeningkatan suhu tubuh
berasal dari kontraksi otot akibat kejang.
c. Pemberian antibiotik yang sesuai dengan mikroorganisme penyebab. Antibiotik yang
sering dipakai adalah ampisilin dengan dosis 300-400 mg/KgBB dibagi dalam enam dosis
pemberian secara intravena dikombinasikan dengan kloramfenikol 50 mg/KgBB dibagi
dalam empat dosis pemberian. Pemberian antibiotik ini yang paling rasional melalui kultur
dari pengambilan cairan serebrospinal melalui pungsi lumbal.
d. Penempatan pada ruang yang minimal rangsangan seperti rangsangan suara, cahaya
dan rangsangan polusi. Rangsangan yang berlebihan dapat membangkitkan kejang pada anak
e. Pembebasan jalan napas dengan menghisap lendir melalui suction dan memposisikan
anak pada posisi kepala miring hiperekstensi. Tindakan pembebasan jalan napas dipadu
dengan pemberian oksigen untuk mendukung kebutuhan metabolism yang meningkat selain
itu mungkin juga terjadi depresi pusat pernapasan karena peningkatan tekanan intracranial
sehingga peril diberikan oksigen bertekanan lebih tinggi yang lebih mudah masuk ke saluran
pernapasan. Pemberian oksigen pada anak meningitis dianjurkan konsentrasi yang masuk
bisa tinggi melalui masker oksigen.
BAB IV
DIAGNOSA SISTEM SARAF

A. Lima Diagnosa Sistem Saraf

Diagnosa yang muncul :

1. Nyeri akut atau kronis


2. Hambatan komunikasi verbal
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan : serebral
4. Gangguan menelan
5. Gangguan Memori

NYERI KRONIS

Definisi : Pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan akibat adanya
kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, atau di gambarkan dengan istilah seperti
(International Association for the Study of Pain); awitan yang tiba-tiba atau perlahan
dengan intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang dapat di antisipasi atau dapat
diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan.

N DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI TT


O KEPERAWATAN KRITERIA HASIL D
1. Nyeri Kronis b.d  Tingkat Observasi
kerusakan jaringan kenyamanan
 Pengendalian  Indentifikasi faktor
aktual atau
nyeri
pencetus dan pereda
fungsional  Tingkat nyeri
nyeri
Setelah dilakukan  Monitor kualitas
tindakan keperawatan
nyeri (mis. Terasa
selama.... Nyeri akut
teratasi dengan KH : tajam, tumpul,
diremas-remas,
 Kemampuan
ditimpa beban berat).
mengenali
onset nyeri  Monitor lokasi dan
 Kemampuan penyebaran nyeri
menggunakan
 Monitor intensitas
teknik non-
farmakologis nyeri dengan
 Melaporkan menggunakan skala
nyeri terkontrol
 Dukungan orag  Monitor durasi dan
terdekat frekuensi nyeri.
 Keluhan nyeri
 Penggunaan
Terapeutik
analgesik

 Atur interval
waktu
pemantauan
sesuai dengan
kondisi pasien
 Dokumentasi
hasil pemantauan

Edukasi

 Jelaskan tujuan dan


prosedur pemantauan
 Informasikan hasil
pemantauan, jika
perlu

2. GANGGUAN KOMUNIKASI VERBAL

Definisi : Penurunan,hambatan,keterlambatan, atau tidak adanya kemampuan untuk


menerima, memproses, menghantarkan, dan menggunakan sistem simbol(segala sesuatu yang
memiliki atau menghantarkan makna

NO DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI TTD


KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
2. Gangguan komunikasi Setelah dilakukan Observasi
verbal b.d hambatan tindakan keperawatan
fisik selama.... gangguan  Monitor
komunikasi teratasi kecepatan,
dengan KH : tekanan, kuantitas,
volume, dan diksi
 Kemampuan bicara
berbicara  Monitork proses
 Kemampuan kognitif, anatomis,
mendengar dan fisiologis yang
 Kesulitan berkaitan dengan
ekspresi bicara (mis
wajah/tubuh memori,
 Kontak mata pendengaran, dan
 Respons bahasa)
perilaku  Monitor frustrasi,
 Pemahaman marah, depresiatau
komunikasi hal lain yang
mengganggu
bicara
 Identifikasi
perilaku emosional
dan fisik sebagai
bentuk komunikasi

Terapeutik

 Gunakan metode
komunikasi
alternatif (mis,
menulis, berkedip,
papan komunikasi
dengan gambar
dan huruf, isyarat
tangan, dan
komputer.)
 Sesuaikan gaya
komunikasi
dengan kebutuhan
(nis, berdiri di
depan pasien,
dengarkan dengan
seksama,
tunjukkan satu
gagasan atau
pemikiran
sekaligus,
berbicara dengan
perlahan sambil
menghindari
terlakan, gunakan
komunikasi
tertulis, atau
meminta bantuan
keluarga untuk
memahami ucapan
pasien)
 Modifikasi
lingkungan untuk
meminimalkan
bantuan
 Ulangi apa yang
disampaikan
pasien
 Berikan dukungan
psikologis
 Gunakan juru
bicara, jika perlu

Edukasi

 Anjurkan berbicara
perlahan
 Ajarkan pasien dan
keluarga proses
kognitif anatomis,
dan fisiologis yang
berhubungan
dengan
kemampuan bicara

Kalaborasi

 Rujuk ke ahli
patalogi bicara
atau terapis

3. RESIKO PERFUSI SEREBRAL TIDAK EFEKTIF

Definisi : Beresiko mengalami penurunan sirkulasi darah ke otak.


NO DIAGNOSA UJUAN DAN INTERVENSI TTD
KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
3. Resiko perfusi Setelah dilakukan Observasi
serebral tidak efektif tindakan keperawatan
selama.... teratasi dengan  Identifikasi
KH : peningkatan TIK
(mis, lesi,
 Tingkat kesadaran gangguan
meningkat metabolisme,
 Tekanan intra edema serebral)
kranial kepala  Monitor
menurun tanda/gejala
 Gelisah menurun peningkatakn
 Nilai rata-rata TIK (mis,
tekanan darah tekanan darah
membaik meningkat,
 Tekanan darah tekanan nadi
sistolik membaik melebar,
 Tekanan darah bradikardia, pola
diastolik membaik nafas ireguler,
kesadaran
menurun)
 Monitor MAP
(Mean Arterial
Pressure)
 Monitor CVP
(Central Venous
Pressure) jika
perlu
 Monitor PAWP,
jika perlu
 Monitor PAP,
jika perlu
 Monitor ICP
(Intra Cranial
Pressure) jika
tersedia
 Monitor CCP
(Celebral
Perfusion
pressure)
 Monitor
gelombang ICP
 Monitor status
pernapasan
 Monitpr intrake
dan outpot cairan
 Monitor cairan
serebro-spinalis
(mis, warna,
konsistensi)

Terapeutik

 Menimalkan
stimulus dengan
menyediakan
lingkungan yang
tenang
 Berikan posisi
semi fowler
 Hindari manuver
valsava
 Cegah terjadinya
kejang
 Hindari
penggunaan
PEEP
 Hindari
pemberian cairan
IV hipotonik
 Atur ventilator
agar PaCO2
optimal
 Pertahankan
suhu tubuh
normal

Kalaborasi

 Kalaborasi
pemberian sedasi
dan anti
kunvulsan, jika
perlu
 Kalaborasi
pemberian
diuretik osmosis,
jika perlu
 Kalaborasi
pemberian
pelunak tinja,
jika perlu

4. GANGGUAN MENELAN

Defenisi : fumgsi menelan abnormal akibat defisit struktur ataufungsi oral, faring atau
esofagus

NO DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI TTD


KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
4. Gangguan menelan Setelah dilakukan tindakan Observasi
b.d gangguan saraf keperawatan selama....
kranialis gangguan menelan teratasi  Identifikasi diet
dengan KH : yang di anjurkan
 Monitor
Ekspektasi :membaik kemampuan
menelan
 Mempertahankan  Monitor status
makanan dimulut hidrasi pasien,
 Reflek menelan jika perlu
 Kemampuan
mengosongkan Terapeutik
mulut
 Kemampua  Ciptakan
mengunyah lingkungan yang
meningkat menyenangkan
 Usaha menelan selama makan
meningkat  Atur posisi yang
 Frekuensi tersedak nyaman untuk
 Batuk makan/minum
 Refluks lambung  Lakukan oral
 Penerimaan hygine sebelum
makanan makan, jika perlu
 Letakkan
makanan di sisi
mata yang sehat
 Sediakan sedotan
untuk minum,
sesuai kebutuhan
 Siapkan makanan
dengan suhu
yang
meningkatkan
nafsu makan
 Sediakan
makanan dan
minuman yang
disukai
 Berikan bantuan
saat makan/
minum sesuai
tingkat
kemandirian, jika
perlu
 Motivasi untuk
makan di ruang
maka, jika
tersedia

Edukasi

 Jeleskan posisi
makanan pada
pasien yang
mengalami
gangguan
penglihatan
dengan
menggunakan
arah jarum jam
(mis, sayur di
jam 12, rendang
di jam 3)

Kalaborasi

 Kalaborasi
pemberian obat
(mis, analgesik,
antiemetik),
sesuai indikasi.
5. GANGGUAN MEMORI

Defenisi : ketidakmampuan mengingat beberapa informasi atau perilaku.

NO DIAGNOSA TUJUAB DAN INTERVENSI TTD


KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
5. Gangguan memori Setelah dilakukan Observasi
b.d gangguan tindakan keperawatan
sirkulasi ke otak selama.... gangguan  Identifikasi
memori teratasi dengan masalah memori
KH: yang di alami
 Identifikasi
Ekspektasi : membaik kesalahan terhadap
orientasi
 Verbalisasi  Monitor perilaku
kemampua dan perubahan
mempelajari hal memori selama
baru terapi
 Verbalisasi
kemampuan Terapeutik
menginggat
informasi faktual  Rencanakan
 Verbalisasi metode mengajar
kemampuan sesuai kemampuan
menginggat pasien
perilaku tertentu  Stimulasi memori
yang pernah dengan mengulang
dilakukan pikiran yang
 Verbalisasi terakhir kali di
kemampuan ucapkan, jika perlu
menginggat  Koreksi kesalahan
peristiwa orientasi
 Melakukan  Fasilitasi
kemampuan yang menginggat
dipelajari kembali
 Verbalisasi pengalaman masa
pengalaman lupa lalu, jika perlu
 Verbalisasi lupa  Fasilitasi tugas
jadwal pembelajar (mis,
 Verbalisasi menginggat
mudah lupa informasi verbal
dan gambar)
 Fasilitasi
kemampuan
konsemtrasi (mis,
bermain kartu
pasangan ) jika
perlu
 Stimulasi
menggunnakan
memori pada
peristiwa yang baru
terjadi (mis,
bertanya kemana
saja ia pergi akhir-
akhir ini), jika
perlu

Edukasi

 Jelaskan tujuan dan


prosedur latihan
 Ajarkan teknik
memori yang tepat
(mis, imajinasi
visual, perngkat
memori,permainan
memori, isyarat
memori, teknik
asosiasi, membuat
daftar komputer,
papan nama)

Kalaborasi

 Rujuk pada terapi


okupasi, jika perlu
BAB V
TELAAH JURNAL

A. Telaah Jurnal Internasional

A. Alasan memilih jurnal


Alas an saya memilih jurnal karena angka kejadian tumor otak meningkat pesat
terutama pada generasi muda. O;eh karena itu metode klasifikasi otomatis diperlukan,karena
bisa mengurangi beban pengamat manusia.
B. Nama peneliti
Nikita V Chavan
BD Jadhav
PM Patil
C. Tempat dan waktu penelitian
Sekolah Tinggi Teknik, pune, India
D. Tujuan penelitian
Jurnal ini bertujuan untuk menguraikan upaya deteksi & klasifikasi tumor pada stadium
jinak dengan menggunakan algoritma pembelajaran mesin yang diawasi (k-NN) digunakan
untuk memperoleh klasifikasi gambar dalam dua kategori, baik otak normal atau otak
patologis (gambar abnormal)
E. Metode penelitian
Metodologi yang digunakan adalah metode pengujian langsung untuk “Deteksi &
Klasifikasi gambar tumor otak. Metode ini melibatkan pemrosesan gambar MRI yang
dipengaruhi oleh tumor otak untuk mendeteksi dan mengklasifikasikan tumor otak. Teknik
pengolahan citra seperti Pre-processing, Image Enhancement digunakan untuk mendeteksi
tumor dan kemudian metode ekstraksi fitur tekstur digunakan untuk mengekstraksi fitur dari
citra MRI. Fitur diekstraksi menggunakan Matriks Kejadian Gray Level Co. Setelah ekstraksi
fitur K-NN Classifier digunakan untuk mengklasifikasikan otak menjadi normal

Analisa Jurnal
F. Populasi dan sampel
Klasifikasi adalah proses di mana sampel tes tertentu ditetapkan kelasnya berdasarkan
pengetahuan yang diperoleh pengklasifikasi selama pelatihan. Tugasnya adalah menetapkan
pola masukan yang diwakili oleh vektor ke salah satu dari banyak kelas yang telah ditentukan
sebelumnya
G. Output Hasil
Tingkat pengenalan atau akurasi klasifikasi secara keseluruhan dicapai hingga 96,15%
lebih tinggi dari metode yang ada dalam survei literatur. Kedepannya akurasi klasifikasi
dapat dihitung dengan menggunakan teknik terawasi seperti Support vector Machine (SVM)
& teknik tanpa pengawasan seperti peta organisasi mandiri (SOM)

H. Hubungan hasil penelitian dengan dilapangan


Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode yang digunakan dapat meningkatkan
klasifikasi dan hasil pengliatan pada deteksi & klasifikasi tumor pada stadium jinak dengan
menggunakan algoritma pembelajaran mesin yang diawasi (k-NN)
I. Kesimpulan
Gambar MRI adalah salah satu metode terbaik pada tumor otak deteksi, dengan hanya
mengamati gambar MRI, para spesialis tidak dapat mengikuti diagnosis. Oleh karena itu,
diagnosis berbasis komputerdiperlukan untuk klasifikasi tumor otak yang benar. Untuk
implementasi tersebut, metode ekstraksi fitur tekstur GLCM digunakan. Fitur yang
diekstraksi digunakan untuk mengenali kelas tumor sebagai normal & abnormal

Telaah Jurnal
Angka kejadian tumor otak meningkat pesat terutama pada generasi muda. Tumor
dapat secara langsung menghancurkan semua sel otak yang sehat. Manual (Fisik)
klasifikasi dapat menyebabkan kesalahan manusia. Otomatis.Metode klasifikasi
diperlukan karena mengurangi beban pengamat manusia, akurasi tidak terpengaruh
karena jumlah gambar yang banyak. Makalah ini menguraikan upaya deteksi &
klasifikasi tumor pada stadium jinak. Metode yang diusulkan terdiri dari dua tahap
yaitu ekstraksi fitur dan klasifikasi. Pada tahap pertama diperoleh fitur-fitur yang
berkaitan dengan citra MRI menggunakan metode berbasis Gray Level
Cooccurence Matrix (GLCM), yang merupakan salah satu alat untuk
mengekstraksi fitur tekstur dan tahap kedua, pengklasifikasian citra diklasifikasi
menggunakan K-nearest neighbor (K -NN) pengklasifikasi. Tingkat pengenalan
atau akurasi klasifikasi secara keseluruhan dicapai hingga 96,15% lebih tinggi dari
metode yang ada dalam survei literatur. Kedepannya akurasi klasifikasi dapat
dihitung dengan menggunakan teknik terawasi seperti Support vector Machine
(SVM) & teknik tanpa pengawasan seperti peta organisasi mandiri (SOM)
DAFTAR PUSTAKA

[1] Atiq Islam et al. “Multifractal Texture Estimation for Detection and Segmentation of
Brain Tumors”, IEEE Transaction on biomedical engg. Vol- 60, No. 11 November -2013.

[2] Nadir Kucuk et al. “Tumor-Cut: Segmentation of Brain Tumors on Contrast Enhanced
MR Images for Radio surgery Applications”, IEEE Transaction on medical image, Vol -31,
No.3, March -2012.

[3] Matthew C. Clark et al. “Automatic Tumor Segmentation Using Knowledge-Based


Techniques”, IEEE Transaction on medical image, Vol -17, No.2, April -1998.

[4] Chunlin Li et al.” Knowledge base classification & Tissue labelling of MRI of human
brain”, IEEE Transaction on medical image, Vol -12, No.4,December - 1993.

https://citeseerx.ist.psu.edu/document?repid=rep1&type=pdf&doi=a29d3a976c393425ff7e
8865aa4c30a398b31876 diakses pada minggu, 1oktober 2023
http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/7167/3/BAB%20II%20Tinjauan%20Pustaka.pdf
diakses pada minggu, 1oktober 2023
https://eprints.umm.ac.id/91191/3/BAB%20II.pdf diakses pada minggu, 1oktober 2023
http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/2364/3/BAB%20II_1.pdf diakses pada minggu,
1oktober 2023
https://academia.edu/resource/work/10957844 diakses pada minggu, 1oktober 2023

Anda mungkin juga menyukai