Anda di halaman 1dari 21

NEUROLOGI

“ Aksi Potensial Saraf ”

Disusun Oleh :
Amanda Friska Pradina P27228023065

Deswita Mila Agustin P27228023077

Efradinata Elyariananto P27228023080

Estiningsih Citra Prasasti P27228023082

Fauzia umi Rahmawati P27228023084

Ramadani Okta Silvia P27228023104

Risma Puspita Sari P27228023108

Salsabila Nur Ramadhani P27228023109

Zein Putri Permatasari P27228023119

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Menyelesaikan Mata Kuliah Neurologi

PROGRAM STUDI DIII TERAPI OKUPASI


JURUSAN TERAPI OKUPASI POLTEKKES KEMENKES SURAKARTA
TAHUN 2024
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Aksi potensial syaraf adalah sinyal listrik yang dikirimkan oleh sel syaraf atau
neuron. Proses ini terjadi ketika ada perubahan tegangan di sepanjang membran sel
syaraf, yang menghasilkan gelombang listrik yang melintasi neuron. Aksi potensial ini
penting dalam pengiriman informasi dari satu bagian tubuh ke bagian lain melalui
sistem saraf. Proses terjadinya aksi potensial syaraf dapat dirangkum sebagai berikut:
Polarisasi: Pada kondisi istirahat, membran sel syaraf memiliki polarisasi dengan
muatan listrik negatif di dalam sel dan muatan positif di luar sel.
Depolarisasi: Ketika ada rangsangan atau stimulus yang mencapai neuron,
misalnya sentuhan atau suara, saluran ion tertentu di membran sel syaraf akan terbuka,
memungkinkan ion positif masuk ke dalam sel. Hal ini mengubah potensial membran
menjadi lebih positif, yang dikenal sebagai depolarisasi.
Puncak Aksi Potensial: Depolarisasi mencapai ambang tertentu, yang menyebabkan
terjadinya puncak aksi potensial. Pada titik ini, sel syaraf melepaskan impuls listrik
yang kuat dan cepat.
Repolarisasi: Setelah puncak aksi potensial, membran sel syaraf menjadi
kembali polarisasi, dengan muatan negatif di dalam sel dan muatan positif di luar sel.
Hal ini terjadi karena saluran ion tertutup kembali atau mengalami hambatan.
Hipopolarisasi: Pada beberapa kasus, setelah repolarisasi, potensial membran bisa
menjadi lebih negatif dari biasanya sebelum kembali ke nilai polarisasi istirahat. Ini
dikenal sebagai hiperpolarisasi.Aksi potensial syaraf memainkan peran penting dalam
berbagai proses fisiologis, termasuk persepsi sensorik, pengaturan motorik, dan
pengiriman sinyal antar neuron dalam sistem saraf.

Kemudian untuk salah satu gangguan aksi potensial syaraf yaitu stroke. Stroke
adalah penyebab utama kecacatan dan kematian di seluruh dunia. Beberapa faktor
risiko yang dapat meningkatkan kemungkinan seseorang mengalami stroke meliputi
tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, merokok, diabetes, obesitas, kurangnya aktivitas
fisik, dan riwayat keluarga dengan riwayat stroke. Pemahaman tentang faktor-faktor
risiko ini dan kampanye kesadaran masyarakat telah menjadi fokus utama dalam upaya
pencegahan stroke. Selain itu, perawatan medis yang cepat dan efektif setelah terjadi
stroke sangat penting untuk mengurangi kerusakan otak dan memaksimalkan peluang
pemulihan. Ini termasuk penggunaan obat-obatan, terapi fisik, terapi wicara, dan
rehabilitasi untuk membantu pasien pulih sebanyak mungkin fungsi yang hilang.
Pemantauan jangka panjang juga penting untuk mencegah stroke berulang dan
mengelola kondisi kesehatan yang mungkin memperburuk risiko stroke.

B. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui gangguan pada aksi potensial syaraf khususnya stroke.
2. Memahami pengertian klasifikasi etiologi, patofisiologi, diagnosis, dan intervensi
terapi okupasi dalam stroke.
3. Mampu menganalisis gangguan stroke dalam tinjauan kasus pada aksi potensial
syaraf.
4. Mengetahui intervensi terapi okupasi gangguan stroke pada aksi potensial syaraf.

C. Metode Penulisan
1. Pengumpulan Data dan Informasi
Data dan informasi diperoleh dari penelusuran literatur literatur maupun sumber
sumber yang relevan dan pencarian data melalui internet, yang nantinya literatur
literatur dan sumber sumber tersebut akan digabungkan dan akan menjadi acuan dalam
menulis papper ini.

2. Sumber dan Jenis Data


Sumber data data yang digunakan dalam menyusun papper ini berasal dari beberapa
literatur yang relevan dan sesuai dengan topik yang dibahas pada papper ini.
BAB II
KONSEP DASAR

A. Pengertian
Stroke merupakan kondisi hilangnya fungsi neurologis secara cepat karena
adanya gangguan perfusi pembuluh darah otak . Stroke umumnya diklasifikasikan
menjadi dua macam, yaitu iskemik dan hemoragik (perdarahan). Stroke iskemik terjadi
akibat adanya sumbatan pada lumen pembuluh darah otak dan memiliki prevalensi
tertinggi, yaitu 88% dari semua stroke dan sisanya adalah stroke hemoragik (stroke
perdarahan) yang terjadi akibat pecahnya pembuluh darah otak .
WHO mendefinisikan stroke sebagai gangguan fungsi otak yang berlangsung
lebih dari 24 jam atau penyebab kematian tanpa sebab lain selain pembuluh darah.
Definisi secara konvensional ini termasuk dalam stroke iskemik, hemoragik
intraserebral dan subarachnoid. (Canavan, McGrath, & O'Donnel, 2013) Stroke juga
dapat didefinisikan sebagai cidera vaskular yang mengurangi aliran darah otak pada
bagian tertentu. Gejala stroke ini terjadi secara tibatiba dengan kerugian sementara atau
permanen pada fungsi neurologis.

B. Klasifikasi
1. Ischemia stroke
Terjadi akibat suplai darah ke otak terhambat atau terhenti. Tipe penyakit ini
yang disebabkan karena sumbatan atau ischemic. Ischemic dapat terjadi jika
pembuluh darah mengalami penyempitan yang disebabkan karena hiperlipidemia
atau penumpukan lemak.
2. Hemorrhagic stroke
Terjadi akibat perdarahan atau rusaknya pembuluh darah otak. Tipe penyakit
ini bisa terjadi ketika pembuluh darah arteri atau nadi di dalam otak pecah yang
biasanya dipicu oleh hipertesi secara terus-menerus atau terjadi aneurisma. Jika tidak
terkontrol akan pecah dan otomatis darah dari pembuluh darah otak akan keluar ke
jaringan otak. Dampaknya akan memberi penekanan ke jaringan otak dan otomatis
tekanan tersebut tidak dapat bekerja dengan normal dan oksigen tidak tersuplai.
Selain itu, akan mengalami permasalahan atau bagian-bagian di sekitar dari
perdarahan tersebut berisiko kematian.
C. Etiologi
Sistem klasifikasi, yang berfokus pada mekanisme patofisiologis stroke
iskemik berdasarkan gambaran klinis dan hasil investigasi diagnostik. Lima subkategori
etiologi dalam sistem kualifikasi Trial of Org 10172 in Acute Stroke Treatment
(TOAST) stroke arteri besar, cardioembolism, oklusi arteri kecil, stroke iskemik dari
etiologi lain, dan Stroke of Undetermined Etiology.
Stroke Arteri Besar, Stroke arteri besar biasanya konsekuensi dari
aterosklerosis di ekstrakranial (karotis atau vertebralis) dan/atau arteri intrakranial
(misalnya, arteri serebral atau basilar), dengan pecahnya plak dan pembentukan
thrombus. Cardioembolism, Mekanisme ini bertanggung jawab sekitar 14% sampai
30% dari semua stroke iskemik. Ada sejumlah kondisi yang mempengaruhi
cardioembolism yaitu, emboli yang mungkin berasal dari sumber-sumber precardiac
dalam sistem vena, sumber intracardiac atau sumber postcardiac.
Oklusi Arteri Kecil. Sekitar 20% dari semua stroke iskemik yang disebabkan
lacunar atau infark vessel kecil. Infark lacunar adalah hasil dari oklusi kecil, menembus
ke dalam arteri, Patofisiologi terminal mekanisme oklusi arteri kecil diyakini menjadi
thrombosis lokal sekunder untuk microatheroma dan lipohyalinosis (tahap peralihan
antara nekrosis fibrinoid dan microatheroma).
Stroke Iskemik dari Etiologi Lain. Cerebral Venous Sinus Thrombosis
menyumbang kurang dari 1% stroke iskemik dan biasanya terjadi pada usia muda.
Sagital superior, sinus transverses dan cavernous adalah yang paling sering terkena
thrombosis. Thrombosis vena pada kasus ini menghasilkan edema dan infark vena,
yang sering terjadi hemoragik yang meningkatkan tekanan intakranial.
Intraserebral hemoragik, terjadi sekitar 10% sampai 15% dari semua stroke
dan diklasifikasikan menjadi primer dan sekunder. Intraserebral hemoragik primer
merupakan hasil dari pecahnya pembuluh darah kecil intraserebral yang diakibatkan
oleh hipertensi kronis atau angiopati amiloid. Intraserebral hemoragik sekunder terjadi
sebagai akibat dari kelainan pembuluh darah. Subarachnoid hemoragik, yaitu
perdarahan yang terjadi dalam ruang subarachnoid. Terjadi sekitar 5% dari semua
stroke. Subarachnoid hemoragik paling sering disebabkan oleh pecahnya aneurisma
intrakranial.
Stroke of Undetermined Etiology. Dalam beberapa kasus, penyebab stroke
tidak dapat di jabarkan ditentukan dan diklasifikasi sebagai “Stroke of Undetermined
Etiology.” Dalam kategori ini, stroke di klasifikasikan ke dalam dua kondisi. Yaitu
pertama, evaluasi luas yang negatif termasuk vessel besar dan kelengkapan asesmen
dari kardiovaskular. Kedua, evaluasi diagnostik tidak lengkap. Sebagai faktor penentu
yang paling penting dari proporsi pasien sebagai kriptogenik sejauh mana tes
diagnostik. (Canavan, McGrath, & O'Donnel, 2013)

D. Patofisiologi
Pembuluh darah otak mensuplai otak dengan aliran darah yang kaya oksigen
dan glukosa yang diperlukan untuk fungsi otak normal. Ketika terjadi stroke ada
perubahan langsung dalam Cerebral Blood Flow (CBF) dan perubahan luas dalam
homeostasis seluler. CBF normal adalah sekitar 40 sampai 60 mL/100 g otak per menit.
Ketika CBF turun di bawah 15 sampai 18 mL/100 g otak per menit, beberapa perubahan
fisiologis terjadi. Otak kehilangan aktivitas listrik, menjadi elektrik “diam” meskipun
integritas membran neuronal dan fungsi tetap utuh. Secara klinis, area otak
mempertahankan keheningan listik mengakibatkan defisit neurologis, meskipun sel
otak viable. Ketika CBF di bawah 10 mL/100 g otak per menit, terjadi kegagalan
membran dengan peningkatan kalium ekstraseluler dan kalsium intraseluler yang
akhirnya terjadi kematian sel.
Uji coba stroke iskemik biasanya berfokus pada beberapa jam pertama setelah
onset gejala. Dalam ICH, pecah pembuluh akut paling sering disebabkan oleh penyakit
pembuluh kecil, yang menyebabkan cedera pada beberapa mekanisme. Pertama, ada
efek massa dari hematoma, diikuti oleh aktivasi dari kaskade koagulasi, melepaskan
inflamasi sitokin, dan gangguan penghalang darah otak. Hal ini menyebabkan
pembentukan edema dan kerusakan otak sekunder. Akhirnya, perdarahan berlanjut dari
sumber perdarahan primer atau sekunder pada tepi dari perdarahan. (Crocco &
Goldstein, 2014)

E. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik merujuk pada gejala atau tanda yang muncul sebagai hasil
dari suatu penyakit atau kondisi medis pada seseorang. Hal tersebut dapat diketahui dan
dirasakan oleh pasien atau ditentukan oleh profesioal medis melalui pemeriksaan fisik,
tes laboratorium, atau metode diagnostik lainnya. Manifestasi klinik dari aksi potensial
saraf pada penderita stroke dapat meliputi :
 Hemiparesis atau Hemiplegia
Kelemahan atau kelumpuhan pada satu sisi tubuh, seringkali lebih dominan
pada sisi tubuh yang berlawanan dengan lokasi stroke.
 Gangguan Sensorik
Kesemutan, mati rasa, atau hilangnya sensasi pada satu sisi tubuh. Pasien
mungkin tidak merasakan sentuhan, rasa sakit, atau suhu dengan benar.
 Afasia
Gangguan dalam kemampuan berbicara, memahami, atau menghasilkan kata-
kata. Ini dapat mencakup afasia ekspresif (kesulitan dalam mengucapkan kata-kata)
atau afasia reseptif (kesulitan dalam memahami bahasa yang didengar)
 Gangguan Penglihatan
Penglihatan ganda (diplopia), kehilangan penglihatan pada satu sisi
(hemianopsia), atau gangguan lainnya seperti kehilangan lapangan pandang atau
kesulitan dalam mengidentifikasi objek.
 Ataksia
Gangguan koordinasi gerakan otot, menyebabkan ketidakmampuan untuk
melakukan gerakan dengan tepat dan stabil.
 Gangguan Fungsi Kognitif
Kelemahan dalam fungsi kognitif, termasuk kebingungan, penurunan
kemampuan berpikir, atau kesulitan memproses informasi.
 Gangguan Fungsi Kandung Kemih dan Usus
Masalah seperti inkontinensia urin atau fese, atau kesulitan dalam
mengendalikan buang air kecil atau besar.
 Disfungsi Motorik Halus
Kesulitan melakukan gerakan halus dan terkoordinasi, seperti menulis atau
mengikat sepatu.
 Perubahan emosi
Depresi, kecemasan, atau perubahan suasana hati yang dapat terjadi sebagai
respons terhadap kerusakan otak.
 Sindrom Perubahan Perilaku
Perubahan kepribadian yang drastis, seperti impulsif, apatis, atau agresif.
Manifestasi klinik ini dapat bervariasi dalam tingkat keparahan dan persistensi
tergantung pada faktor-faktor seperti lokasi, ukuran, dan jenis stroke. Manifestasi klinik
pada kondisi stroke sangat diperlukan karena beberapa alasan yaitu :
 Diagnosis : dengan memahami manifestasi klinik yang terjadi pada pasien, dokter
dapat mengidentifikasi apakah pasien mengalami serangan stroke dan jenis stroke
apa yang terjadi (ischemic atau hemoragik)
 Penilaian Keparahan : membantu dokter dalam menilai seberapa parah serangan
stroke tersebut.
 Penentuan Rencana Perawatan : membantu dokter untuk merancang perawatan
yang sesuai untuk pasien stroke. Termasuk obat-obatan, intervensi medis, terapi
fisik, terapi bicara, atau intervensi lainnya.
 Pengelolaan Kedepan : Membantu tim medis dalam merencanakan pengelolaan
jangka panjang bagi pasien. Termasuk rehabilitasi, perawatan jangka panjang,
pencegahan stroke berulang, dan manajemen faktor resiko yang mendasari.
 Pendidikan / Pembelajaran Pasien dan Keluarga : membantu dalam mengelola
harapan, mempersiapkan diri untuk perawatan dan rehabilitasi, serta
mengidentifikasi tanda-tanda peringatan yang perlu segera dilaporkan kepada tim
medis. Dengan memahami dan mengindentifikasi manifestasi klinik dengan tepat,
tim medis dapat memberikan perawatan yang holistik dan efektif kepada pasien
stroke, membantu meminimalkan komplikasi dan memperbaiki hasil klinis.

F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara lengkap merujuk pada serangkaian tindakan atau
intervensi yang dilakukan untuk mengelola suatu kondisi medis atau penyakit dengan
tujuan meminimalkan dampak negatifnya, memperbaiki kualitas hidupnya, dan
mendukung pemulihan yang optimal. Penatalaksanaan aksi potensial saraf pada stroke
bertujuan untuk meminimalkan kerusakan otak, mengurangi resiko komplikasi, dan
mendukung pemulihan pasien. Berikut adalah beberapa langkah dalam
penatalaksanaan aksi potensial saraf pada stroke :
A. Penanganan Awal
Setelah tim medis mengidentifikasi tanda-tanda stroke, pasien harus segera
diberikan perawatan medis darurat. Mungkin termasuk pemberian obat pengencer
darah (jika stroke ischemic), pemantauan tanda vital, dan penilaian cepat untuk
menentukan jenis stroke.
B. Perawatan di Unit Stroke
Pasien mungkin memerlukan perawatan di unit stroke atau unit perawatan
intensif, tergantung pada tingkat keparahan stroke dan kondisi medis lainnya.
Pasien akan dipantau secara ketat dan diberikan perawatan yang sesuai.
C. Terapi Reperfusi
Jika stroke disebabkan oleh penyumbatan pembuluh darah (ischemic stroke),
terapi reperfusi seperti trombolisis intravena atau prosedur endovaskular dapat
dilakukan untuk mengembalikan alran darah ke area yang terkena.
D. Pengobatan
Pasien mungkin diberikan obat-obatan untuk mengontrol tekanan sarah, gula
darah, dan kolesterol, serta untuk mencegah pembekuan darah atau komplikasi
lainnya.
E. Rehabilitasi
Program rehabilitasi yang komprehensif sangat penting dalam memfasilitasi
pemulihan pasien setelah stroke. Ini mungkin meliputi terapi fisik, terapi okupasi,
terapi bicara, dan dukungan psikososial.
F. Pengelolaan Komplikasi
Tim medis akan memantau dan mengelola komplikasi yang timbul, seperti
infeksi, penurunan fungsi organ, atau masalah medis lainnya.
G. Managemen Faktor Resiko
Pasien dan tim medis harus bekerja sama untuk mengidentifikasi dan
mengontrol faktor resiko yang dapat meningkatkan resiko stroke berulang, seperti
tekanan darah tinggi, diabetes, merokok, dan obesitas.
H. Pendidikan dan Dukungan
Pasien dan keluarga perlu tau dan diberikan edukasi tentang pentingnya
kepatuhan terhadap rencana perawatan, tanda-tanda peringatan yang perlu
diperhatikan, dan cara mengelola dampak fisik, emosional, dan sosial dari stroke.
Perlu dicatat bahwa penatalaksanaan kondisi stroke harus dipersonalisasi
sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setiap individu. Kolaborasi antara pasien,
keluarga, dan tim media sangat penting dalam memastikan perawatan yang efektif dan
pemulihan setelah stroke.
G. Komplikasi
Komplikasi pada aksi potensial saraf merujuk pada gangguan dalam
pembentukan, transmisi, atau fungsi potensial aksi dalam sistem saraf. Komplikasi pada
aksi potensial saraf penderita stroke dapat meliputi berbagai gangguan neurologis
seperti :
A. Kelemahan Otot (Paresis atau Paralisis)
Stroke dapat menyebabkan kerusakan pada bagian otak yang mengatur
gerakan tubuh, menyebabkan kelemahan otot pada salah satu sisi tubuh. Hal ini
dapat membuat penderita sulit untuk bergerak atau melakukan aktivitas sehari-hari.
B. Gangguan Berbicara dan Bahasa
Stroke yang memengaruhi area otak yang mengatur bahasa dan berbicara dapat
menyebabkan kesulitan dalam berbicara, memahami kata-kata, atau
mengungkapkan pikiran dengan benar.
C. Gangguan Penglihatan
Stroke dapat merusak bagian otak yang mengatur penglihatan, menyebabkan
gangguan penglihatan seperti kehilangan penglihatan sebagian (hemianopsi) atau
gangguan lainnya.
D. Gangguan Koordinasi dan Keseimbangan
Kerusakan pada bagian otak yang mengatur koordinasi gerakan dan
keseimbangan dapat menyebabkan kesulitan dalam berjalan atau melakukan
gerakan yang halus dan terkoordinasi.
E. Gangguan Sensorik
Stroke dapat menyebabkan gangguan sensorik seperti kebas, kesemutan, atau
rasa sakit yang tidak wajar pada bagian tubuh tertentu.
F. Spasme Otot (Spasticity)
Beberapa penderita stroke mengalami spasme otot yang tidak terkendali, yang
dapat menyebabkan kekakuan dan ketegangan otot yang mengganggu gerakan
tubuh.
Penanganan komplikasi ini biasanya melibatkan program rehabilitasi yang
disesuaikan dengan kebutuhan individu, termasuk terapi fisik, terapi wicara, terapi
okupasi, dan dukungan psikologis untuk membantu pemulihan dan meningkatkan
kualitas hidup penderita stroke.
H. Diagnosis OT
Diagnosis terapi okupasi merupakan suatu pernyataan yang mengambarkan
keadaan multi dimensi pasien yang dihasilkan dari analisis hasil pemeriksaan dan
pertimbangan klinis, yang dapat menunjukkan adanya disfungsi/gangguan komponen
kinerja okupasional dan area okupasional. Diagnosis terapi okupasi dapat berupa
adanya gangguan komponen kinerja okupasional dan area okupasional. Diagnosa terapi
okupasi dituliskan pada lembar rekam medis pasien baik pada lembar rekam medis
terintegrasi dan/atau pada lembar kajian khusus terapi okupasi.
Diagnosis okupasi terapi berdasarkan hasil penelitian Alice Gabrielle de SC
dkk pada 121 pasien stroke, didapatkan hasil 90% atau 109 orang pasien stroke
menunjukkan masalah hambatan mobilitas fisik. Diagnosis ini didefinisikan sebagai
keterbatasan dalam melakukan pergerakan fisik pada satu atau lebih ekstremitas secara
mandiri dan terarah. Komplikasi lanjut pada stroke adalah ulkus dekubitus, kontraktur,
nyeri bahu (shoulder hand syndrom terjadi pada 27%), osteopenia, berbicara pelo atau
sulit. komunikasi atau tidak paham pembicaraan, kehilangan kemampuan menelan,
gangguan kognitif, dan gangguan psikologis (Black & Hawks, 2014; Riskesdas, 2013).
Menurut State of the Nation Stroke statistics (2016), insiden perubahan fisik
pasien stroke meliputi: hemiparese anggota gerak atas 77%, hemiparese anggota gerak
bawah 72%, penurunan fungsi visual 60%, gangguan bicara 50%, penurunan kontrol
kandung kemih 50%, gangguan menelan 45%, aphasia 33%, depresi 33%, penurunan
kontrol buang air besar (BAB) 33%, dementia 30%, apatis/kurang perhatian 28%,
gangguan emosi dalam 6 bulan 20%, gangguan emosi setelah 8 bulan 10%. Perubahan
fisik yang dialami pasien stroke akan berdampak pada kemampuan pasien dalam
melakukan perawatan diri seharihari, seperti makan, berpakaian, kebersihan diri dan
lainnya. Ketidakmampuan ini dapat dialami pasien setelah serangan stroke mulai 6
minggu hingga 8 minggu osteoporosis, dan depresi (25-30%). Keadaan tersebut dapat
menyebabkan penurunan kemandirian pasien dalam aktifitas perawatan diri. Defisit
motorik mengakibatkan perubahan mobilisasi dan mengganggu fungsi tubuh.
Disabilitas akibat stroke menyebabkan perubahan pada status kesehatan fungsional
(Lemone, Burke, Bauldoff, 2017).
I. Intervensi Okupasi Terapi
Intervensi yang diberikan dalam Okupasi Terapi berperan dalam remedial,
compensator, adaptasi lingkungan, dan pencegahan dengan tujuan untuk
mengembalikan dan mengoptimalkan kemandirian pasien dalam AKS, produktifitas,
dan pemanfaatan waktu luang. Perawatan diri, Mengajarkan pasien untuk
menggunakan sisi yang sehat sebagai pengganti dari sisi sakit dengan mendesain
adaptasi alat yang dapat membantu dalam perawatan diri dan aktivitas kehidupan
sehari-hari. Produktifitas, adaptasi lingkungan yang memungkinkan pasien dalam
beraktivitas secara fungsional, menyarankan aktivitas alternatif lainnya yang
memungkinkan atau sesuai dengan kondisi pasien. Pemanfaatan waktu luang,
membantu pasien untuk menemukan aktivitas lain yang dapat dimanfaatkan dan
dinikmati di waktu luang dengan atau tanpa modifikasi dari lingkungan.
Untuk menentukan intervensi okupasi terapi, harus dilakukan analisis
komponen peran OT yang dapat dilakukan (Reed, 2001) yaitu:
a. Sensorimotor
Meningkatan kontrol postural dan keseimbangan, khususnya stabilitas tulang
belakang. Meningkatkan kekuatan otot (MMT), khususnya otot-otot pada tulang
belakang. Meningkatkan lingkup gerak sendi dan kelenturan. Meningkatkan
ketahanan fisik. Melatih keterampilan jari-jari dan tangan, khususnya meraih,
menggenggam, dan melepas. Meningkatkan kemampuan koordinasi motorik kasar.
Meningkatkan kemampuan motorik halus, manipulasi, dan kecepatan.
Meningkatkan kemampuan koordinasi dua tangan dan perencanaan gerak.
Meningkatkan level aktivitas jika individu terlalu pasif. Meningkatkan kemampuan
visual, mengacak, dan mencari secara cepat.
b. Kognitif
Meningkatkan perilaku baik dan meningkatkan konsentrasi, fokus, serta
mempertahankan atensi/perhatian dengan mengurangi stimulus distraksi/yang
mengganggu. Meningkatkan kemampuan dalam mengikuti perintah/instruksi dari
orang lain.
c. Intrapersonal
Meningkatkan kepercayaan diri melalui kreativitas seperti seni, kerajinan
tangan, drama, menari, musik, dan permainan. Meningkatkan kemampuan untuk
interaksi sosial dalam grup kecil. Meningkatkan kemampuan dalam komunikasi
dengan mengajarkan simbol-simbol keseharian.
d. Interpersonal
Meningkatkan kepercayaan diri untuk berinteraksi dengan orang lain melalui
permainan. dalam grup kecil. Meningkatkan kesadaran terhadap orang lain dan
lingkungan.
e. Perawatan Diri
Memberikan bantuan minimal atau mendampingi individu untuk
meningkatkan kemampuan dalam merawat diri di kehidupan seharihari. Melatih
kemandirian dalam aktivitas kehidupan sehari-hari.
f. Produktivitas
Mengembangkan kemampuan bermain, khususnya permaian yang melibatkan
adanya interaksi dan gerakan fisik. Mengeksplor ketertarikan/minat dalam
pekerjaan. Mengengembangkan kebiasaan dan kemampuan untuk bekerja dan
memanajemen rumah.
g. Pemanfaatan Waktu Luang
Mengekplorasi dan mengembangkan minat untuk mencari tahu
hobi/kesukaan. Mengekplorasi dan meningkatkan potensi yang dimiliki.

 Contoh intervensi Okupasi terapi pada occupational


1. Kemampuan Menggunakan Beha
Aktivitas kehidupan sehari-hari merupakan suatu kegiatan yang berorientasi
dalam perawatan tubuh yang disebut juga sebagai kegiatan dasar dan pribadi
kehidupan sehari-hari yang mendasari untuk hidup di dunia sosial yang
memungkinkan dalam kelangsungan dan kesejahteraan hidup. (AOTA, 2014)
Salah satu bagian penting untuk seorang wanita dalam kehidupan sehari-hari
adalah berpakaian menggunakan beha. Menurut KBBI (2008) Menggunakan berarti
“memakai” dan beha berarti “kutang”. Beha merupakan pakaian yang menutupi dada
dengan berbagai macam fungsi. Menurut Yullistara, 2013 dalam sebuah artikel salah
satu fungsi beha yaitu: Melindungi payudara dari gesekan yang mungkin terjadi saat
sedang beraktivitas. Penyangga payudara untuk menjaga payudara tetap berada pada
tempatnya. Menjaga elastisitas payudara, Lebih percaya diri.
2. Kemampuan Menyikat Gigi
Aktivitas-aktivitas ini merupakan “Prinsip untuk kehidupan di dunia sosial;
mereka dapat menjadi dasar kelangsungan hidup dan kesejahteraan” (Christiansen
dan Hammecker, 2001, hal 156). Menurut AOTA (2014), menyikat gigi merupakan
kategori dari personal hygiene (kebersihan diri) dan grooming (berhias). Personal
hygiene dan grooming adalah mendapatkan dan menggunakan persediaan alat dan
bahan yang digunakan; menghilangkan rambut tubuh yang perlu dihilangkan
(contoh, menggunakan pisau cukur, pinset, pelembut.); memakai dan menghapus
kosmetik; mencuci, mengeringkan, menyisir, styling, menyikat gigi, dan
memangkasan rambut; merawat kuku (tangan dan kaki); merawat kulit, telinga,
mata, dan hidung; memakai deodoran; pembersih mulut; menyikat gigi dan flossing
gigi; dan menghapus, membersihkan, dan memasang orthotik dan prosthetik pada
gigi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, menyikat artinya membersihkan
dengan sikat. Sedangkan gigi adalah tulang keras dan kecil-kecil berwarna putih
yang tumbuh tersusun berakar di dalam gusi dan kegunaannya untuk mengunyah
atau menggigit. Persamaan lain dari menyikat gigi yaitu menggosok gigi,
menggosok yaitu melicinkan (membersihkan, menggilapkan, dan sebagainya)
dengan tangan atau barang yang digeser-geserkan berkali-kali. Adapun langkah-
langkah menyikat gigi yaitu menyalakan keran air, mengisi cangkir dengan air,
membuka penutup pasta gigi (pegang pasta gigi menggunakan tangan yang tidak
dominan), ambil sikat gigi dan basahkan (pegang sikat gigi menggunakan tangan
yang dominan), pencet wadah pasta gigi hingga pastanya keluar dan letakan di atas
sikat gigi, letakan pasta gigi, sikat semua permukaan gigi, letakan sikat gigi, ambil
cangkir berisi air dan kumur-kumur, letakan cangkir, bersihkan mulut dengan
handuk/kain, ambil sikat gigi dan cuci sampai bersih, letakan sikat gigi, matikan
keran air, tutup kembali pasta gigi, letakan cangkir pada tempatnya, letakan pasta
gigi dan sikat gigi pada tempatnya, dan cuci tangan (Copeland, Ford, dan Solon,
1976).
Berdasarkan langkah-langkah di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap
individu mempunyai caranya sendiri untuk menyikat gigi, tergantung dari kebiasaan
individu, budaya, alat dan bahan yang digunakan, maupun lingkungan tempat untuk
menyikat gigi. secara menyeluruh, misalnya kemampuan kognitif, bahasa, motorik,
dan sosial.
BAB III
TINJAUAN KASUS
Stroke
Stroke adalah gangguan fungsi saraf lokal dan/atau global pada otak, yang
munculnya mendadak, progresif, dan cepat. Merupakan gangguan fungsi syaraf pada
otak disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik (Riskesdas, 2013).
Terjadinya stroke bila ada aliran darah yang tidak adekuat ke bagian atau ruang
subaraknoid, dan pada stroke iskemik disebabkan karena adanya penyumbatan
trombosis atau embolik di dalam pembuluh darah otak (Black dan Hawks, 2014).
WHO mendefinisikan stroke sebagai gangguan fungsi otak yang berlangsung
lebih dari 24 jam atau penyebab kematian tanpa sebab lain selain pembuluh darah.
Definisi secara konvensional ini termasuk dalam stroke iskemik, hemoragik
intraserebral dan subarachnoid. (Canavan,McGrath,& O'Donnel, 2013). Stroke
merupakan penyebab kematian ketiga di negara maju, dengan insiden tahunannya
adalah dua per 1.000. populasi di Amerika setiap tahunnya 500.000 orang terserang
stroke, 400.000 diantaranya terkena stroke iskemik dan 100.000 stroke hemoragik.
Menurut WHO, perkiraan penyakit serebrovaskular di Asia Tenggara adalah
1.073.569 jiwa dengan penyebab kematian 5,7 juta pada tahun 2005. Di Indonesia, satu
dari tujuh orang yang meninggal disebakan oleh stroke. Berdasarkan laporan WHO,
kasus stroke di Indonesia menyebabkan terjadinya kematian lebih dari 123.000 orang.
(WHO) mengungkapkan sebanyak 6 juta orang terkena stroke per tahun dan
diperkirakan 8 juta orang meninggal pada tahun 2030 (WHO, 2012).
Stroke juga dapat didefinisikan sebagai cidera vaskular yang mengurangi
aliran darah otak pada bagian tertentu. Gejala stroke ini terjadi secara tibatiba dengan
kerugian sementara atau permanen pada fungsi neurologis. Berdasarkan penyebabnya
stroke dibagi menjadi dua, yaitu ischemia stroke dan hemorrhagic stroke. Ischemia
stroke merupakan hasil dari penyumbatan cerebral vessel yang disebabkan oleh
thrombosis atau embolism. Hemorrhagic stroke terjadi akibat pecahnya pembuluh
darah otak, beberapa jenis hemorrhagic diantaranya intraserebral (perdarahan yang
terjadi di dalam otak itu sendiri), atau subarachnoid (perdarahan pada suatu daerah yang
mengelilingi otak), dan juga dapat disebabkan oleh hipertensi, aneurisma atau
malformasi arteriovenouse. (Glen, 2011).
Dua penyebab utama Intracerebral Hemorrhagic (ICH) adalah vaskulopati
hipertensi (yang disebabkan oleh hipertensi berkepanjangan) dan cerebral amyloid
angiopathy (biasanya ditemukan pada orang tua, hasil deposisi amiloid pada dinding
vessel). Hasil perdarahan hipertensi dari perubahan degeneratif di penetrasi kecil arteri
dan arteriol, yang mengarah ke lopohialinosis kecil menembus ke dalam arteri.
Perdarahan pada umumnya terjadi di daerah yang mendalam termasuk basal ganglia
dan thalamus. (Canavan, McGrath, & O'Donnel, 2013)
1. Stroke iskemik
Stroke istemik terjadi akibat adanya sumbatan pada lumen pembuluh darah
otak dan memiliki prevalensi tertinggi, yaitu 88% dari semua stroke dan sisanya
adalah stroke hemoragik (stroke perdarahan) yang terjadi akibat pecahnya
pembuluh darah otak (6). Gangguan vaskularisasi otak ini memunculkan berbagai
manifestasi klinis seperti kesulitan berbicara, kesulitan berjalan dan
mengkoordinasikan bagianbagian tubuh, sakit kepala, kelemahan otot wajah,
gangguan penglihatan, gangguan sensori, gangguan pada proses berpikir dan
hilangnya kontrol terhadap gerakan motorik yang secara umum dapat
dimanifestasikan dengan disfungsi motorik seperti hemiplegia (paralisis pada salah
satu sisi tubuh) atau hemiparesis (kelemahan yang terjadi pada satu sisi tubuh).
Disfungsi motorik yang terjadi mengakibatkan pasien mengalami keterbatasan
dalam menggerakkan bagian tubuhnya sehingga meningkatkan risiko terjadinya
komplikasi. Komplikasi akibat imobilisasi menyebabkan 51% kematian pada 30
hari pertama setelah terjadinya serangan stroke iskemik. Imobilitas juga dapat
menyebabkan kekakuan sendi (kontraktur), komplikasi ortopedik, atropi otot, dan
kelumpuhan saraf akibat penekanan yang lama (nerve pressure palsies)
2. Stroke Hemiparesis
Kata “hemi” berarti satu sisi dan “paresis” berarti kelemahan. Sekitar 80% dari
orang yang mengalami stroke memiliki beberapa tingkat kesulitan bergerak satu
sisi, atau menderita kelemahan pada satu sisi tubuh mereka. Kondisi ini disebut
hemiparesis, yang disebabkan oleh stroke dan cerebral palsy. Namun, hemiparesis
juga dapat disebabkan oleh tumor otak, multiple sclerosis, dan penyakit lain dari
otak atau sistem saraf. Orang dengan hemiparesis mengalami kesulitan untuk
menggerakkan tangan atau kaki, kesulitan berjalan dan kehilangan keseimbangan.
Aktivitas sehari-hari yang sederhana bisa menjadi sulit untuk seseorang dengan
hemiparesis. Seperti, meraih benda, berpakaian, makan, dan mandi. Hilangnya
kemampuan pada penderita stroke tergantung pada area otak yang rusak.
Hemiparesis sisi kanan melibatkan cedera pada otak sisi kiri, yang mengontrol
bahasa dan berbicara, orang dengan hemiparesis kanan memiliki masalah dalam
berbicara dan/atau memahami apa yang orang lain katakan. Mereka juga mungkin
mengalami kesulitan dalam membedakan kiri dan kanan.
Hemiparesis sisi kiri melibatkan cedera pada otak sisi kanan, yang mengontrol
proses belajar, komunikasi non-verbal dan perilaku tertentu. Kerusakan pada otak
bagian ini juga dapat menyebabkan orang untuk berbicara secara berlebihan,
memiliki masalah dengan memori dan pemusatan perhatian.
Jenis hemiparesis dibagi menjadi dua, yaitu: Pure Motor Hemiparesis, Ini
adalah jenis yang paling umum, orang dengan hemiparesis motor murni ini
memiliki kelemahan pada wajah, lengan dan kaki yang dapat mempengaruhi
bagian tubuh yang sama , tetapi dalam beberapa kasus mungkin mempengaruhi
lebih dari bagian tubuh yang lain. Ataxic Hemiparesis Syndrome, Adalah kondisi
yang paling sering terjadi, dengan adanya kelemahan di satu sisi dari tubuh dan
biasanya lebih berdampak pada kaki dibanding lengan. (National Stoke
Association, 2006).
Jadi dari hasil analisis ke-5 jurnal yang diambil menunjukan bahwa stroke
adalah penyebab kematian terbanyak setiap tahunnya. Stroke atau Gangguan fungsi
saraf merupakan serangan otak yang disebabkan oleh gangguan aliran darah ke
otak yang timbul secara mendadak atau secara cepat dengan gejala atau tanda yang
sesuai dengan daerah yang terganggu. Stroke menyebabkan penderita mengalami
kesulitan dalam Lingkup gerak sendi (LGS) dan Kekuatan Otot (KO) yang
mengakibatkan penderitanya kesulitan untuk melakukan aktivitas kehidupan
sehari-hari serta aktivitas perawatan diri. Untuk memulihkan kondisi pasien stroke
di butuhkkan pendampingan dari okupasi terapi yang dapat memberikan intervensi
melalui kegiatan/aktivitas sesuai dengan kondisi pasien masing-masing serta tujuan
yang ingin dicapai oleh pasien. Bentuk intervensi setiap pasien stroke dapat
berbeda-beda tergantung dengan kondisi fisik, gangguan anggota tubuh yang di
alami dan masih banyak factor lain. Sebelum dilakukan intervensi oleh seorang
terapis, harus dilakukan diagnosis okupasi terapi yang bertujuan untuk menentukan
intervensi apa yang paling tepat untuk diberikan pada pasien.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sistem klasifikasi, yang berfokus pada mekanisme patofisiologis stroke
iskemik berdasarkan gambaran klinis dan hasil investigasi diagnostik. Lima subkategori
etiologi dalam sistem kualifikasi Trial og Org 10172 in Acute Stroke Treatment stroke
arteri besar, cardioembolism, oklusi arteri besar, stroke arteri besar biasanya
konsekuensi dari aterosklerosis di ekstrakranial atau arteri intrakranial, dengan
pecahnya plak dan pembentukan thrombus. Cardioembolism, mekanisme ini
bertanggungjawab sekitar 14% sampai 30% dari semua stroke iskemik.
Sekitar 20% dari semua stroke iskemik yang disebabkan lacunar atau infark
vessel kecil. Stroke iskemik dari etiologi lain, Cerebral venous sinus thrombosis
menyumbang kurang dari 1% stroke iskemik dan biasanya terjadi pada usia muda.
Intracerebral hemoragik, terjadi sekitar 10% sampai 15% dari semua stroke dan
diklasifikasikan menjadi primer dan sekunder.
Dalam beberapa kasus, penyebab stroke tidak dapat di jabarkan, ditentukan
dan diklasifikasikan sebagai stroke of undetermined etiology. Dalam kategori ini, stroke
di klasifikasikan ke dalam dua kondisi. Ketika terjadi stroke ada perubahan langsung
dalam cerebral blood flow dan perubahan luas dalam homeostasis seluler.
Uji coba stroke iskemik biasanya berfokus pada beberapa jam pertama setelah
onset gejala. Termasuk rehabilitasi, perawatan jangka panjang, pencegahan stroke
berulang, dan manajemen faktor resiko yang mendasari. Dengan memahami dan
mengidenfitikasi manifestasi klinik dengan tepat, tim medis dapat memberikan
perawatan yang holistik dan efektif kepada pasien stroke, membantu meminimalkan
komplikasi dan memperbaiki hasil klinis. Penatalaksanaan aksi potensial saraf pada
sroke bertujuan untuk meminimalkan kerusakan otak, mengurangi resiko komplikasi,
dan mendukung pemulihan pasien. Setelah tim medis mengidentifikasi tanda-tanda
stroke, pasien harus segera diberikan perawatan medis darurat.
Pasien dan tim medis harus bekerja sama untuk mengidentifikasi dan
mengontrol faktor resiko yang dapat meningkatkan resiko stroke berulang, seperti
tekanan darah tinggi, diabetes, merokok dan obesitas. Pasien dan keluarga perlu tau
tentang pentingnya kepatuhan terhadap rencana perawatan, tanda-tanda peringatan dan
cara mengelola dampak fisik, emosional, dan sosial dari stroke.
Stroke dapat menyebabkan kerusakan pada bagian otak yang mengatur
gerakan tubuh, menyebabkan kelemahan otot pada salah satu sisi tubuh. Stroke yang
memengaruhi area otak yang mengatur bahasa dan berbicara dapat menyebabkan
kesulitan dalam berbicara, memahami kata-kata, atau mengungkapkan pikiran dengan
benar. Stroke dapat merusak bagian otak yang mengatur penglihatan, menyebabkan
gangguan penglihatan seperti kehilangan penglihatan sebagian atau gangguan
lainnya. Stroke dapat menyebabkan gangguan sensorik seperti kebas, kesemutan, atau
rasa sakit yang tidak wajar pada bagian tubuh tertentu.
Beberapa penderita stroke mengalami spasme otot yang tidak terkendali, yang
dapat menyebabkan kekakuan dan ketegangan otot yang mengganggu gerakan
tubuh. Penanganan komplikasi ini biasanya melibatkan program rehabilitasi yang
disesuaikan dengan kebutuhan individu, termasuk terapi fisik, terapi wicara, terapi
okupasi, dan dukungan psikologis untuk membantu pemulihan dan meningkatkan
kualitas hidup penderita stroke. Diagnosis okupasi terapi berdasarkan hasil penelitian
Alice Gabrielle de SC dkk pada 121 pasien stroke, didapatkan hasil 90% atau 109 orang
pasien stroke menunjukkan masalah hambatan mobilitas fisik. Komplikasi lanjut pada
stroke adalah ulkus dekubitus, kontraktur, nyeri bahu , osteopenia, berbicara pelo atau
sulit.
Perubahan fisik yang dialami pasien stroke akan berdampak pada kemampuan
pasien dalam melakukan perawatan diri sehari-hari, seperti
makan, berpakaian, kebersihan diri dan lainnya. Ketidakmampuan ini dapat dialami
pasien setelah serangan stroke mulai 6 minggu hingga 8 minggu osteoporosis, dan
depresi . Disabilitas akibat stroke menyebabkan perubahan pada status kesehatan
fungsional . Intervensi yang diberikan dalam Okupasi Terapi berperan dalam
remedial, compensator, adaptasi lingkungan, dan pencegahan dengan tujuan untuk
mengembalikan dan mengoptimalkan kemandirian pasien dalam
AKS, produktifitas, dan pemanfaatan waktu luang.
Perawatan diri, Mengajarkan pasien untuk menggunakan sisi yang sehat
sebagai pengganti dari sisi sakit dengan mendesain adaptasi alat yang dapat membantu
dalam perawatan diri dan aktivitas kehidupan sehari-hari. Produktifitas, adaptasi
lingkungan yang memungkinkan pasien dalam beraktivitas secara
fungsional, menyarankan aktivitas alternatif lainnya yang memungkinkan atau sesuai
dengan kondisi pasien. Pemanfaatan waktu luang, membantu pasien untuk menemukan
aktivitas lain yang dapat dimanfaatkan dan dinikmati di waktu luang dengan atau tanpa
modifikasi dari lingkungan. Meningkatkan kekuatan otot , khususnya otot-otot pada
tulangbelakang.

Meningkatkan perilaku baik dan meningkatkan konsentrasi, fokus, serta


mempertahankan atensi/perhatian dengan mengurangi stimulus distraksi/yang
mengganggu. Mengembangkan kemampuan bermain, khususnya permaian yang
melibatkan adanya interaksi dan gerakan fisik. Mengekplorasi dan meningkatkan
potensi yang dimiliki.

B. Saran
Dalam konteks laporan mengenai aksi potensial saraf, diperlukan penelitian
lebih lanjut untuk mengeksplorasi peran yang lebih mendalam dalam transmisi sinyal
di dalam sistem saraf manusia. Aspek penting yang memerlukan perhatian adalah
penekanan pada pemahaman mekanisme dan regulasi yang mendasarinya.
Selanjutnya, penelitian juga harus berfokus pada penyelidikan tentang bagaimana
gangguan dalam pembentukan atau transmisi aksi potensial saraf dapat menjadi faktor
kontributor utama dalam berbagai gangguan neurologis, seperti epilepsi, neuropati,
dan gangguan motorik. Dengan mengintegrasikan temuan terkini dalam bidang
neurofarmakologi dan neurobiologi, diharapkan kita dapat memperoleh pemahaman
yang lebih komprehensif tentang dampak obat-obatan dan zat kimia tertentu terhadap
pembentukan serta modulasi aksi potensial saraf. Selanjutnya, sangatlah penting
untuk mempertimbangkan kemungkinan aplikasi teknologi mutakhir, seperti
optogenetika atau stimulasi saraf non-invasif, sebagai potensi pendekatan terapeutik
untuk mengatasi berbagai gangguan neurologis. Perlu dilakukan penelitian lanjutan
untuk mengeksplorasi bagaimana aksi potensial saraf dapat dipengaruhi oleh faktor-
faktor eksternal, seperti lingkungan atau pola hidup, serta bagaimana intervensi yang
sesuai dapat memengaruhi kesehatan dan fungsi sistem saraf secara keseluruhan.
Melalui pendekatan yang cermat dan komprehensif ini, laporan diharapkan dapat
memberikan wawasan yang lebih holistik tentang peran dan potensi aksi potensial
saraf dalam konteks neurologi.
DAFTAR PUSTAKA

Arifianto, D., Liamassari, A. M., Ain, K., & Astuti, D. S. (2021). Functional Electrical
Stimuation dengan Pulsa Biphasic Untuk Membantu Fungsi Ekstremitas Atas Pasien
Pasca Stroke . Jurnal Biosains Pascasarjana Universitas Airlangga.
Dewi, p. L., Astrid, M., & Supardi, S. (2020). ANALISIS PENGARUH LATIHAN
RENTANG GERAK TERHADAP PENINGKATAN KEKUATAN OTOT DAN
AKTIFITAS PERWATAN DIRI PASIEN STROKE DI RSUD KOTA DEPOK. Edu
Dharma Journal.
Firmansyah, H., Wuandari, I., & Ernawati, E. (n.d.). PENGARUH HAFI GYM PADA
KEKUATAN OTOT PASIEN STROKE ISKEMIK.
Hidayati, Pratiwi, A., & Aliya, R. (2018). Penatalaksanaan Okupasi Terapi Dalam Aktivitas
Menggunakan Beha Dengan Konsep Bobath Pada Pasien Stroke Hemiparesis Sinistra
Di Klinik Sasana Husada. Jurnal Vokasi Indonesia.
Sari, H. S., Agianto, & Wahidd, A. (2015). BATASAN KARAKTERISTIK DAN FAKTOR
YANG BERHUBUNGAN (ETIOLOGI) DIAGNOSA KEPERAWATAN:
HAMBATAN MOBILITAS FISIK PADA PASIEN STROKE.

Anda mungkin juga menyukai