Anda di halaman 1dari 21

Askep klien dengan fraktur kompresi

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. P DENGAN FRAKTUR KOMPRESI V Th IV Frankle A di


BANGSAL
DAHLIA
RS.
ORTOPEDI
Prof.
Dr.
SOEHARSO
SURAKARTA
LANDASAN
TEORI
A.
PENGERTIAN
Paraplegi adalah kelumpuhan kedua tungkai akibat lesi bilateral atau transversal di medula spinalis
dibawah
tingkat
cervical
(Sidharta,
1999).
Terapi latihan merupakan salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi yang pelaksanaannya
dengan menggunakan latihan-latihan gerak tubuh baik secara aktif maupun pasif (Kisner, 1996).
Fraktur kompresi terdiri dari kata fraktur dan kompresi. Fraktur artinya keadaan patah atau
diskontinuitas dari jaringan tulang, sedangkan kompresi artinya tekanan atau tindihan, jadi fraktur
kompresi adalah diskontinuitas dari jaringan tulang akibat dari suatu tekanan atau tindihan yang
melebihi
kemampuan
dari
tulang
tersebut
(Ahmad
Ramali,
1987).
Fraktur kompresi adalah suatu keretakan pada tulang yang disebabkan oleh tekanan, tindakan
menekan yang terjadi bersamaan. Fraktur kompresi pada vertebral umumnya terjadi akibat
osteoporosis.
Fraktur kompresi vertebra adalah suatu fraktur yang merobohkan ruas tulang belakang akibat
tekanan dari tulang, mendorong ke arah robohan ruas-ruas tulang belakang yang kebanyakan
seperti sebuah spons/bunga karang yang roboh di bawah tekanan tangan seseorang. Biasanya
terjadi tanpa rasa sakit dan menyebabkan seseorang menjadi lebih pendek. Fraktur kompresi
vertebra
sering
dihubungkan
dengan
osteoporosis.

B.
ETIOLOGI
Penyebab cedera medula spinalis dibedakan menjadi dua yaitu akibat trauma dan non trauma.
Delapan puluh persen cedera medula spinalis disebabkan oleh trauma (contoh : jatuh, kecelakaan
lalu lintas, tekanan yang terlalu berat pada punggung) dan sisanya merupakan akibat dari patologi
atraumatis seperti carcinoma, mielitis, iskemia, dan multipel sklerosis (Garrison, 1995).
C.
PATOFISIOLOGI
Trauma dapat mengakibatkan cedera pada medula spinalis secara langsung dan tidak langsung.
Fraktur pada tulang belakang yang menyebabkan instabilitas pada tulang belakang adalah penyebab
cedera pada medula spinalis secara tidak langsung. Apabila trauma terjadi dibawah segmen cervical
dan medula spinalis tersebut mengalami kerusakan sehingga akan berakibat terganggunya distribusi
persarafan pada otot-otot yang dsarafi dengan manifestasi kelumpuhan otot-otot intercostal,
kelumpuhan pada otot-otot abdomen dan otot-otot pada kedua anggota gerak bawah serta paralisis

sfingter pada uretra dan rektum. Distribusi persarafan yang terganggu mengakibatkan terjadinya
gangguan sensoris pada regio yang disarafi oleh segmen yang cedera tersebut.
Klasifikasi
derajat
kerusakan
medulla
spinalis
:
Frankel A = Complete, fungsi motoris dan sensoris hilang sama sekali di bawah level lesi.
Frankel B = Incomplete, fungsi motoris hilang sama sekali, sensoris masih tersisa di bawah level lesi.
Frankel C = Incomplete, fungsi motris dan sensoris masih terpelihara tetapi tidak fungsional.
Frankel D = Incomplete, fungsi sensorik dan motorik masih terpelihara dan fungsional.
Frankel E = Normal, fungsi sensoris dan motorisnya normal tanpa deficit neurologisnya.
D.
TANDA
DAN
GEJALA
PARAPLEGI
AKIBAT
SPINAL
CORD
INJURY.
a.
Gangguan
motorik
Cedera medula spinalis yang baru saja terjadi, bersifat komplit dan terjadi kerusakan sel-sel saraf
pada medula spinalisnya menyebabkan gangguan arcus reflek dan flacid paralisis dari otot-otot yang
disarafi sesuai dengan segmen-segmen medula spinalis yang cedera. Pada awal kejadian akan
mengalami spinal shock yang berlangsung sesaat setelah kejadian sampai beberapa hari bahkan
sampai enam minggu. Spinal shock ini ditandai dengan hilangnya reflek dan flacid. Apabila lesi
terjadi di mid thorakal maka gangguan refleknya lebih sedikit tetapi apabila terjadi di lumbal
beberapa otot-otot anggota gerak bawah akan mengalami flacid paralisis (Bromley, 1991). Masa
spinal shock berlangsung beberapa jam bahkan sampai 6 minggu kemudian akan berangsur - angsur
pulih dan menjadi spastik. Cedera pada medula spinalis pada level atas bisa pula flacid karena
disertai kerusakan vaskuler yang dapat menyebabkan matinya sel sel saraf
b.
Gangguan
sensorik
Pada kondisi paraplegi salah satu gangguan sensoris yaitu adanya paraplegic pain dimana nyeri
tersebut merupakan gangguan saraf tepi atau sistem saraf pusat yaitu sel-sel yang ada di saraf pusat
mengalami gangguan.(Crosbie,1993). Selain itu kulit dibawah level kerusakan akan mengalami
anaesthes,
karena
terputusnya
serabut-serabut
saraf
sensoris.
c.
Gangguan
bladder
dan
bowel
Efek gangguan fungsi bladder tergantung pada level cedera medula spinalis, derajat kerusakan
medula spinalis, dan waktu setelah terjadinya injury. Paralisis bladder terjadi pada hari-hari pertama
setelah injury selama periode spinal shock. Seluruh reflek bladder dan aktivitas otot-ototnya hilang.
Pasien akan mengalami gangguan retensi diikuti dengan pasif incontinensia.
Pada defekasi, kegiatan susunan parasimpatetik membangkitakan kontraksi otot polos sigmoid dan
rectum serta relaksasii otot spincter internus. Kontraksi otot polos sigmoid dan rectum itu berjalan
secara reflektorik. Impuls afferentnya dicetuskan oleh gangglion yang berada di dalam dinding
sigmoid dan rectum akibat peregangan, karena penuhnya sigmoid dan rectum dengan tinja.
Defekasi adalah kegiatan volunter untuk mengosongkan sigmoid dan rectum. Mekanisme defekasi
dapat dibagi dalam dua tahap. Pada tahap pertama, tinja didorong kebawah sampai tiba di rectum
kesadaran ingin buang air besar secara volunter, karena penuhnya rectum kesadaran ingin buang air
besar timbul. Pada tahap kedua semua kegiatan berjalan secara volunter. Spincter ani dilonggarkan
dan sekaligus dinding perut dikontraksikan, sehingga tekanan intra abdominal yang meningkat
mempermudah dikeluarkannya tinja. Jika terjadi inkontinensia maka defekasi tak terkontrol oleh
keinginan
(Sidharta,
1999).

d.
Gangguan
fungsi
seksual

Gangguan
seksual
pada
pria
Pasien pria dengan lesi tingkat tinggi untuk beberapa jam atau beberapa hari setelah cidera. Seluruh
bagian dari fungsi sexual mengalami gangguan pada fase spinal shock. Kembalinya fungsi sexual
tergantung
pada
level
cidera
dan
komplit/tidaknya
lesi.
Untuk dengan lesi komplet diatas pusat reflex pada conus, otomatisasi ereksi terjadi akibat respon
lokal,
tetapi
akan
terjadi
gangguan
sensasi
selama
aktivitas
seksual.
Pasien dengan level cidera rendah pusat reflek sakral masih mempunyai reflex ereksi dan ereksi
psychogenic jika jalur simpatis tidak mengalami kerusakan, biasanya pasien mampu untuk ejakulasi,
cairan akan melalui uretra yang kemudian keluarnya cairan diatur oleh kontraksi dari internal
bladder
sphincter.
Kemampuan fungsi seksual sangat bervariasi pada pasien dengan lesi tidak komplit, tergantung
seberapa berat kerusakan pada medula spinalisnya. Gangguan sensasi pada penis sering terjadi
dalam hal ini. Masalah yang terjadi berhubungan dengan locomotor dan aktivitas otot secara
volunter.
Dapat dilakukan tes untuk mengetahui potensi sexual dan fertilitas. Selain itu banyak pasangan yang
memerlukan bantuan untuk belajar teknik-teknik keberhasilan untuk hamil (Hirsch, 1990; Brindley,
1984).

Gangguan
seksual
pada
wanita
Gangguan siklus menstruasi banyak terjadi pada wanita dengan lesi komplit atau tidak komplit.
Gangguan ini dapat terjadi untuk beberapa bulan atau lebih dari setahun. Terkadang siklus
menstruasinya
akan
kembali
normal.
Pada pasien wanita dengan lesi yang komplit akan mengalami gangguan sensasi pada organ
genitalnya
dan
gangguan
untuk
fungsi
seksualnya.
Pada paraplegi dan tetraplegi, wanita dapat hamil dan mempunyai anak yang normal dengan lahir
normal atau dengan caesar (SC) jika memang indikasi. Kontraksi uterus akan terjadi secara normal
untuk cidera diatas level Th6, kontraksi uterus yang terjadi karena reflek otonom. Pasien dengan lesi
complet pada Th6 dan dibawahnya. Akan mengalami nyeri uterus untuk pasien dengan lesi komplet
Th6, Th7, Th8 perlu mendapatkan pengawasan khusus biasanya oleh rumah sakit sampai proses
kehamilan.
e.
Autonomic
desrefleksia
Autonomic desrefleksia adalah reflek vaskuler yang terjadi akibat respon stimulus dari bladder,
bowel atau organ dalam lain dibawah level cedera yang tinggi, fisioterapi harus tanggap terhadap
tanda-tanda terjadinya autonomic desrefleksia antara lain 1) keluar banyak keringat pada kepala,
leher, dan bahu, 2) naiknya tekanan darah, 3) HR rendah, 4) pusing atau sakit kepala.
Overdistension akibat terhambatnya kateter dapat meningkatkan aktifitas dari reflek ini jika tidak
cepat ditanggulangi dapat menyebabkan pendarahan pada otak, bahkan kematian. Dapat juga
disebabkan oleh spasme yang kuat dan akibat perubahan pasisi yang tiba-tiba, seperti saat tilting
table.
E.
Komplikasi

yang

sering

muncul

pada

kasus

paraplegi

adalah

KOMPLIKASI
antara lain :

a.
Chest
complication
Istirahat ditempat tidur mengakibatkan gangguan tahanan mekanik akibat dari penurunan seluruh
dan pengurangan pengembangan otot-otot intercostal, diafragma, dan abdominal saat pernafasan
supinasi. Sendi kostovertebral dan kostokondral serta otot-otot abdominal bisa jadi terfiksasi dalam
proses okspirasi. Sehingga menyebabkan penurunan inspirasi maksimal dan berakibat pada
penuruan kapasitas pernafasan vital dan fungsional. Hal ini menyebabkan perbedaan regional dalam
rasio vertilasi /perfusi di daerah yang kontilasinya buruk serta daerah yang perfusinya berlebihan
dan pirauarterio venosa. Jika terjadi peningkatan kebutuhan metabolisme maka terjadilah hipoksia.
Fungsi mukosiliaris juga terganggu maka sekresi mukus mengumpul pada bronkioli saluran nafas
yang tergantung, sehingga menimbulkan atelektasis dan pneumonia hipostatik (Garrison, 1995)
b.
Deep
vein
thrombosis
(DVT)
dan
emboli
paru
Pasien paraplegi beresiko tinggi mengalami DVT. (Garrison, 1995). DVT ditandai dengan adanya
pembengkakan pada kaki, eritema dan suhu yang cenderung rendah. Sering ditemukan oleh
fisioterapis ketika melakukan pemeriksaaan gerak pasif pada salah satu atau kedua anggota gerak
bawah. Jika DVT positif maka latihan dihentikan sampai diberikan anti koagulan sehingga sistem
vaskuler menjadi stabil kembali. Jika DVT tidak terdiagnosis maka perlu diperhatikan terjadinya
emboli yang biasanya terjadi pada hari ke 10 40 (Bromley, 1991).
c.Pressure
sore
Pressure sore disebut juga ulcus decubitus, disebabkan karena lamanya penekanan yang
menyebabkan iskemik kemudian nekrosis pada jaringan lunak diatas tonjolan-tonjolan tulang seperti
sacrum, iscium, trocanthor, dan tumit. Pembengkakan, malnutrisi, anemia, hipoalbuminemia dan
kelumpuhan
merupakan
faktor-faktor
pedukung
(Garrison,
1995).
d.
Kontraktur
Kontraktur adalah hilangnya jangkauan gerak suatu sendi. Hal ini merupakan akibat dari hilangnya
fleksibilitas jaringan lunak yang dikarenakan imobilisasi. Timbulnya kontraktur merupakan salah satu
kecacatan yang paling parah karena berpengaruh besar pada hasil akhir fungsional dan rehabilitasi
(Garrison,
1995)
e.
Osteoporosis
dan
fraktur
Dalam pembentukan tulang dan penyerapan kalsium pada tulang sangat dipengaruhi oleh
rangsangan dari tumpuan berat badan, gravitasi, dan kontraksi otot. Pada kondisi paraplegi karena
adanya kelumpuhan maka rangsangan tersebut tidak terjadi sehingga berpotensi timbulnya
osteoporisis dan bila berkepanjangan dapat menyebabkan atrofi tulang. Osteoporosis dapat
menyebabkan fraktur kompresi pada corpus vertebra dan tulang panjang penumpu berat badan
hanya dengan trauma kecil serta mempermudah pasien untuk mengalami fraktur panggul (Garrison,
1995).
f.
Heterotopic
ossification
Heteroptopic ossification merupakan pembentukan tulang pada jaringan lunak, biasanya terjadi
pada sendi besar seperti hip dan knee. Umumnya baru diketahui satu hingga empat bulan setelah
cedera dan lebih sering terjadi pada cedera komplit. Patogenesisnya tidak jelas. (Garrison, 1995).
g.
Neuropathic
atau
spinal
cord
pain
Kerusakan dari tulang vertebra, medula spinalis, saraf tepi, dan jaringan disekitarnya dapat
menyebabkan neuropatik. Rasa nyeri pada akar saraf bisa berupa nyeri tajam teriris dan menjalar

sepanjang perjalanan saraf tepinya bahkan mungkin terjadi pada phantom limb pain (Garrison,
1995).
h.
Syringomyelia
Syringomyelia merupakan pembesaran kanalis centralis dari medula spinalis pasca trauma, terjadi
pada satu hingga tiga persen pasien spinal cord injury. Resikonya adalah gangguan fungsi diatas level
cedera.(Bromley,1991).
F.
PROGNOSIS
Prognosis pada kasus paraplegi ini tergantung pada level cedera dan klasifikasi spinal cord injuri dan
prognosis ini dilihat dari segi quo ad vitam (mengenai hidup metinya penderita), segi quo ad sanam
(mengenai penyembuhan), segi quo ad cosmetican (ditinjau dari kosmetik) dan segi quo ad
fungsionam (ditinjau dari segi aktifitas fungsional). Sehingga prognosis yang terjadi kemungkinan
baik, dubia (ragu-ragu) dan jelek. Dubia dibagi menjadi 2 yaitu ragu-ragu kearah baik (dubia ad
bonam) dan dubia kearah jelek (dubia ad malam). Secara garis besar prognosis dari paraplegi akibat
cedera medula spinalis adalah jelek karena medula spinalis merupakan salah satu susunan saraf
pusat dan bila mengalami kerusakan akan terjadi kecacatan yang permanen.(Garrison,1995)

TRAUMA
MEDULA
SPINALIS
PENDAHULUAN
Trauma medulla spinalis dapat terjadi bersamaan dengan trauma pada tulang belakang yaitu
terjadinya fraktur pada tuylang belakang pada tulang belakang ,ligamentum longitudainalis posterior
dan duramater bisa robek,bahkan dapat menusuk kekanalis vertebralis serta arteri dan vena-vena
yang
mengalirkan
darah
kemedula
spinalis
dapat
ikut
terputus
.
Cedera sumsum tulang belakang merupakan kelainan yang pada masa kini yang banyak memberikan
tantangan karena perubahan dan pola trauma serta kemajuan dibidang penatalaksanaannya.kalau
dimasa lalu cedera tersebut lebih banyak disebabkan oleh jatuh dari ketionggian seperti pohon
kelapa , pada masa kini penyebabnya lebih beraneka ragam seperti lkecelakaan lalu lintas,jatuh dari
tempat
ketinggian
dan
kecelakaan
olah
raga.
Pada masa lalu kematian penderita dengan cedera sumsum tulang belakang terutama disebabkan
oleh terjadinya penyulit berupa infeksi saluran kemih gagalginjal,pneumoni/decubitus.
II.
PENYEBAB
DAN
BENTUK
Cedera sumsum tulang belakang terjadi akibat patah tulang belakang dan terbanyak mengenai
daerah servikal dan lumbal.cedera terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompressi, atau rotasi
tulang belakang.didaerah torakal tidak banyak terjadi karena terlindung dengan struktur toraks.
Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompressi, kominutif, dan dislokasi, sedangkan
kerusakan pada sumsum tulanmg belakang dapat beruypa memar, contusio, kerusakan melintang,
laserasi
dengan
atau
tanpa
gangguan
peredaran
darah,
atau
perdarahan.
Kelainan sekunder pada sumsum belakang dapat doisebabkan hipoksemia dana iskemia.iskamia
disebabkan
hipotensi,
oedema,
atau
kompressi.
Perlu disadar bahwa kerusakan pada sumsum belakang merupakan kerusakan yang permanen
karena tidak akan terjadi regenerasi dari jaringan saraf. Pada fase awal setelah trauma tidak dapat
dipastikan apakah gangguan fungsi disebabkan oleh kerusakan sebenarnya dari jaringan saraf atau
disebabkan
oleh
tekanan,
memar,
atau
oedema.
III.
PATOFISIOLOGI
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma dapat menyebabkan kerusakan pada medulla
spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi.
Efek trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis
disebut whiplash/trauma indirek. Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan anterofleksi
berlebihan
dari
tulang
belakang
secara
cepat
dan
mendadak.
Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah maupun torakalis bawah
misal; pada waktu duduk dikendaraan yang sedang cepat berjalan kemudian berhenti secara
mendadak. Atau pada waktu terjun dari jarak tinggi menyelam dan masuk air yang dapat
mengakibatkan
paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi, tekanan vertical
(terutama pada T.12sampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami medulla spinalis dapat bersifat
sementara atau menetap.akibat trauma terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat tidak
berfungsi untuk sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam
beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa oedema, perdarahan peri vaskuler dan infark
disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla spinalis yang menetap, secara makroskopis

kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi, contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di
medulla
spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang secara langsung
karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan /menggeserkan ruas tulang belakang (fraktur
dan dislokasi).lesi transversa medulla spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen
transversa, hemitransversa, kuadran transversa).hematomielia adalah perdarahan dlam medulla
spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat disubstansia grisea.trauma ini bersifat whiplash
yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau
fraktur dislokasio.kompresi medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit
oleh
penyempitan
kanalis
vertebralis.
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler traumatic dan dapat
juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip diantara duramater dan kolumna
vertebralis.gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista
dan
abses
didalam
kanalis
vertebralis.
Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat tertarik dan
mengalami jejas/reksis.pada trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat mengalami hal demikian, dan
gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran tersbut
disebut hematorasis atau neuralgia radikularis traumatik yang reversible.jika radiks terputus akibat
trauma tulang belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah radikuler
dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9 yang akan menimbulkan defisit
sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang bersangkutan dan sindroma sistema
aaanastomosis
anterial
anterior
spinal.
IV.
GAMBARAN
KLINIK
Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi.kerusakan
meningitis;lintang memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi motorik maupun sensorik kaudal
dari tempat kerusakan disertai shock spinal.shock spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum
tulang belakang karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat .peristiwa ini umumnya
berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih lama.tandanya adalah kelumpuhan flasid, anastesia,
refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi rectum dan kandung kemih, triafismus, bradikardia
dan hipotensi.setelah shock spinal pulih kembali, akan terdapat hiperrefleksi terlihat pula pada
tanda gangguan fungsi otonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi
ortostatik
serta
gangguan
fungsi
kandung
kemih
dan
gangguan
defekasi.
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik dibawah tempat
kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi
tidak
terganggu.
Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan.keadaan ini pada umumnnya terjadi akibat
cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehinnga sumsum belakang
terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang terlipat.cedera tersebut dapat terjadi pada orang
yang memikul barang berat diatas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang
mendadak sehingga beban jatuh dsan tulang belakang sekonyong-konyong dihiper
ekstensi.gambaran klinik berupa tetraparese parsial.gangguan pada ekstremitas atas lebih ringan
daripada
ekstremitas
atas
sedangkan
daerah
perianal
tidak
terganggu.

Kerusaka tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1&2 mengakibatkan anaestesia perianal,
gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal dan refleks bulbokafernosa.
V.
PERAWATAN
DAN
PENGOBATAN
Perhatian utama pada penderita cedera tulang belakang ditujukan pada usaha mencegah terjadinya
kerusakan yang lebih parah atau cedera sekunder.untuk maksud tersebut dilakukan immobilisasi
ditempat kejadian dengan memanfaatkan alas yang keras.pengangkutan penderita tidak dibenarkan
tanpa menggunakan tandu atau sarana papun yang beralas keras.selalu harus diperhatikan jalan
nafas dan sirkulasi.bila dicurigai cedera didaerah servikal harus diusahakan agar kep[ala tidak
menunduk dan tetap ditengah dengan menggunakan bantal kecil untuk menyanngga leher pada
saat
pengangkutan.
Perawatan penderita memegang peranan penting untuk mencegah timbulnya penyakit.perawatn
ditujukan
pada
pencegahan
:

Kulit
:
agar
tidak
timbul
dekubitus
karena
daerah
yang
anaestesi.

Anggota
gerak
:
agar
tiadak
timbul
kontraktur.

Traktus
urinarius
:
menjamin
pengeluaran
air
kemih.

Traktus
digestivus
:
menjamin
kelancaran
bab.
Traktus respiratorius : apabila yang terkena daerah servikal sehingga terjadi pentaplegi.
KULIT
Perawatan posisi berganti dapat mencegah timbulnya decubitus yaitu dengan cara miring kanan kiri
telentang
dan
telungkup.
ANGGOTA
GERAK
Karena kelainan saraf maka timbul pula posisi sendi akibat inbalance kekuatan otot.pencegahan
ditujukan terhadap timbulnya kontraktur sendi dengan melakukan fisioterapi, latihan dan
pergerakan
sendi
serta
meletakkan
anggota
dalam
posisi
netral.
TRAKTUS
URINARIUS
Untuk ini perlu apakah ganggua saraf menimbulkan gejala UMN dan LMN terhadap buli-buli,
karenanya maka kateterisasi perlu dikerjakan dengan baik , agar tidak menimbulkan infeksi.
TRAKTUS
DIGESTIVUS
Menjamin
kelancaran
defekasi
dapat
dikerjkaka
secara
manual
.
TRAKTUS
RESPIRATORIUS
Apabila lesi cukup tinggi (daerah servikal dimana terdapat pula kelumpuhan pernapasan
pentaplegia),
maka
resusitasi
dan
kontrol
resprasion
diperlukan.

PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Cidera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan seringkali oleh
kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah L1-2 dan/atau di bawahnya maka dapat
mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan
berkemih.
Cidera medulla spinalis diklasifikasikan sebagai komplet : kehilangan sensasi fungsi motorik volunter
total dan tidak komplet : campuran kehilangan sensasi dan fungsi motorik volunter.
Cidera medulla spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang mempengaruhi 150.000 orang di
Amerika Serikat, dengan perkiraan10.000 cedera baru yang terjadi setiap tahun. Kejadian ini lebih
dominan pada pria usia muda sekitar lebih dari 75% dari seluruh cedera. Data dari bagian rekam
medik Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati didapatkan dalam 5 bulan terakhir terhitung dari
Januari sampai Juni 2003 angka kejadian angka kejadian untuk fraktur adalah berjumlah 165 orang
yang di dalamnya termasuk angka kejadian untuk cidera medulla spinalis yang berjumlah 20 orang
(12,5%).
Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita karena olahraga,
pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan ini wanita lebih banyak dibandingkan pria
karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan perubahan hormonal (menopause).
Klien yang mengalami cidera medulla spinalis khususnya bone loss pada L2-3 membutuhkan
perhatian lebih diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan ADL dan dalam pemenuhan kebutuhan
untuk mobilisasi. Selain itu klien juga beresiko mengalami komplikasi cedera spinal seperti syok
spinal, trombosis vena profunda, gagal napas; pneumonia dan hiperfleksia autonomic. Maka dari itu
sebagai perawat merasa perlu untuk dapat membantu dalam memberikan asuhan keperawatan
pada klien dengan cidera medulla spinalis dengan cara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
sehingga masalahnya dapat teratasi dan klien dapat terhindar dari masalah yang paling buruk.
Berdasarkan uraian diatas di harapkan dengan adanya malkalah yang berjudul cedera medulla
spinalis dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk dapat meningkatkan mutu asuhan
keperawatan.
B.
RUANG
LINGKUP
Ruang lingkup pembahasan dalam makalah ini tentang pengertian cidera medulla spinalis,
etiologi,patofosiologi, tanda dan gejala,penanganan kegawatdaruratan.dan asuhan keperawatan
cedera
medulla
spinalis.
C.
TUJUAN
PENULISAN
1.
Tujuan
Umum
Agar mahasiswa mampu memahami tentang asuhan keperawatan pada cedera medulla spinalis
2.
Tujuan
Khusus
a.
Mampu
mengidentifikasi
pengertian
cedera
medulla
spinalis
b. Mampu mengerti tentang penyebab dan tanda cedera medulla spinalis
c. Mampu memberikan penanganan awal pada pasien cedera medulla spinalis
d.
Mampu
memberikan
asuhan
keperawatan
dengan
benar.

D.
SISTEMATIKA
PENULISAN
Judul
Kata
Pengantar
Daftar
isi
BAB I : Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, ruang lingkup, tujuan penulisan, dan
sistematika
penulisan.
BAB II : Pembahasan yang terdiri dari konsep dasar penyakit dan konsep dasar asuhan keperawatan
BAB
III
:
Penutup,
yang
terdiri
dari
kesimpulan
dan
saran
Daftar
Pustaka
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
KONSEP
DASAR
I.
ANATOMI
FISIOLOGI
Columna Vertebralis adalah pilar utama tubuh yang berfungsi melindungi medula spinalis dan
menunjang berat kepala serta batang tubuh, yang diteruskannya ke lubang-lubang paha dan tungkai
bawah.
Masing-masing
tulang
dipisahkan
oleh
disitus
intervertebralis.
(Gambar
1:Diagram
otak,
tulang
belakang
dan
medulla
spinalis)
Vertebralis
dikelompokkan
sebagai
berikut
:
a.
Vetebrata
Thoracalis
(atlas)
Vetebrata Thoracalis mempunyai ciri yaitu tidak memiliki corpus tetapi hanya berupa cincin tulang.
Vertebrata cervikalis kedua (axis) ini memiliki dens, yang mirip dengan pasak. Veterbrata cervitalis
ketujuh disebut prominan karena mempunyai prosesus spinasus paling panjang.
b.
Vertebrata
Thoracalis
Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus berbentuk jantung, berjumlah 12 buah
yang
membentuk
bagian
belakang
thorax.
c.
Vertebrata
Lumbalis
Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal, berjumlah 5 buah yang
membentuk daerah pinggang, memiliki corpus vertebra yang besar ukurnanya sehingga
pergerakannya
lebih
luas
kearah
fleksi.
d.
Os.
Sacrum
Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkang dimana ke 5 vertebral ini
rudimenter
yang
bergabung
yang
membentuk
tulang
bayi.
e.
Os.
Coccygis
Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalami rudimenter.
Lengkung koluma vertebralis.kalau dilihat dari samping maka kolumna vertebralis memperlihatkan
empat kurva atau lengkung antero-pesterior : lengkung vertikal pada daerah leher melengkung
kedepan daerah torakal melengkung kebelakang, daerah lumbal kedepan dan daerah pelvis
melengkung kebelakang. Kedua lengkung yang menghadap pasterior, yaitu torakal dan pelvis,
disebut promer karena mereka mempertahankan lengkung aslinya kebelakang dari hidung tulang
belakang, yaitu bentuk (sewaktu janin dengna kepala membengkak ke bawah sampai batas dada
dan gelang panggul dimiringkan keatas kearah depan badan. Kedua lengkung yang menghadap ke
anterior adalah sekunder lengkung servikal berkembang ketika kanak-kanak mengangkat

kepalanya untuk melihat sekelilingnya sambil menyelidiki, dan lengkung lumbal di bentuk ketika ia
merangkak, berdiri dan berjalan serta mempertahankan tegak. (lihat gambar A1)
Fungsi dari kolumna vertebralis. Sebagai pendukung badan yang kokoh dan sekaligus bekerja
sebagai penyangga kedengan prantaraan tulang rawan cakram intervertebralis yang lengkungnya
memberikan fleksibilitas dan memungkinkan membonkok tanpa patah. Cakramnya juga berguna
untuk menyerap goncangan yang terjadi bila menggerakkan berat badan seperti waktu berlari dan
meloncat, dan dengan demikian otak dan sumsum belkang terlindung terhadap goncangan.
Disamping itu juga untuk memikul berat badan, menyediakan permukaan untuk kartan otot dan
membentuk tapal batas pasterior yang kukuh untuk rongga-rongga badan dan memberi kaitan pada
iga.
(Eveltan.
C.
Pearah,
1997
;
56

62)
(Gambar 2:ensephalon dan sumsum tulang belakang (Latin: medulla spinalis).
Medulla spinalis atau sumsum tulang belakang bermula ada medula ablonata, menjulur kearah
kaudal melalu foramen magnum dan berakhir diantara vertebra-lumbalis pertama dan kedua. Disini
medula spinalis meruncing sebagai konus medularis, dna kemudian sebuah sambungan tipis dasri
pia meter yang disebut filum terminale, yang menembus kantong durameter, bergerak menuju
koksigis. Sumsum tulang belakang yang berukuran panjang sekitar 45 cm ini, pada bagian depannya
dibelah oleh figura anterior yang dalam, sementara bagian belakang dibelah oleh sebuah figura
sempit.
Pada sumsum tulang belakang terdapat dua penebalan, servikal dan lumbal. Dari penebalan ini,
plexus-plexus saraf bergerak guna melayani anggota badan atas dan bawah : dan plexus dari daerah
thorax membentuk saraf-saraf interkostalis. Fungsi sumsum tulang belakang : a. Mengadakan
komunikasi
antara
otak
dan
semua
bagian
tubuh
dan
bergerak
refleks.
Untuk
terjadinya
geraka
refleks,
dibutuhkan
struktur
sebagai
berikut
:
1).
Organ
sensorik
:
menerima
impuls,
misalnya
kulit
2). Serabut saraf sensorik ; mengantarkan impuls-impuls tersebut menuju sel-sel dalam ganglion
radix pasterior dan selanjutnya menuju substansi kelabu pada karnu pasterior mendula spinalis.
3). Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung menghantarkan impulsimpuls
menuju
karnu
anterior
medula
spinalis.
4). sel saraf motorik ; dalam karnu anterior medula spinalis yang menerima dan mengalihkan impuls
tersebut
melalui
serabut
sarag
motorik.
5). Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls saraf motorik.
6). Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus pada daerah torakal dan
lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis beberapa otot interkostal, paralisis pada otot
abdomen dan otot-otot pada kedua anggota gerak bawah, serta paralisis sfinker pada uretra dan
rektum.
2.
PENGERTIAN
Cedera medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan
pada
daerah
medulla
spinalis
(Brunner
&
Suddarth,
2001)
Cedera medulla spinalis adalah buatan kerusakan tulang dan sumsum yang mengakibatkan
gangguan sistem persyarafan didalam tubuh manusia yang diklasifikasikan sebagai :
komplet
(kehilangan
sensasi
dan
fungsi
motorik
total)

tidak
komplet
(campuran
kehilagan
sensori
dan
fungsi
motorik)
Cedera medullan spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan sering kali oleh
kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah servikal pada lengan, badan dan tungkai
mata penderita itu tidak tertolong. Dan apabila saraf frenitus itu terserang maka dibutuhkan
pernafasan
buatan,
sebelum
alat
pernafasan
mekanik
dapat
digunakan.
3.
ETIOLOGI
Penyebab
dari
cidera
medulla
spinalis
yaitu
:
a.
kecelakaan
otomobil,
industri
b.
terjatuh,
olah-raga,
menyelam
c.
luka
tusuk,
tembak
d.
tumor.
4.
PATOFISIOLOGI
Kerusakan medulla spinalis berkisar dari kamosio sementara (pasien sembuh sempurna) sampai
kontusio, laserasi dan kompresi substansi medulla, (lebih salah satu atau dalam kombinasi) sampai
transaksi
lengkap
medulla
(membuat
pasien
paralisis).
Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes ke ekstradul subdural
atau daerah suaranoid pada kanal spinal, segera sebelum terjadi kontusio atau robekan pada
cedera, serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke medulla spinalis
menjadi terganggu, tidak hanya ini saja tetapi proses patogenik menyebabkan kerusakan yang
terjadi
pada
cidera
medulla
spinalis
akut.
Suatu rantai sekunder kejadian-kejadian yang menimbulakn iskemia, hipoksia, edema, lesi,
hemorargi.
Kerusakan
medula
spinalis
Hemoragi
Serabutserabut
membengkak/hancur
Sirkulasi
darah
terganggu
Cidera
medulla
spinalis
dapat
terjadi
pada
lumbal
1-5
- Lesi L1 : kehilangan sensorik yaitu sama menyebar sampai lipat paha dan bagian dari bokong.
- Lesi L2 : ekstremitas bagian bawah kecuali 1/3 atas dari anterior paha.
Lesi
L3
:
Ekstremitas
bagian
bawah.
Lesi
L4
:
Ekstremitas
bagian
bawah
kecuali
anterior
paha.
Lesi
L5
:
Bagian
luar
kaki
dan
pergelangan
kaki.
5.
MANIFESTASI
KLINIS
a. nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena
b.
paraplegia
c.
tingkat
neurologik
d.
paralisis
sensorik
motorik
total
e. kehilangan kontrol kandung kemih (refensi urine, distensi kandung kemih)
f.
penurunan
keringat
dan
tonus
vasomoto
g.
penurunan
fungsi
pernafasan
h.
gagal
nafas
(Diane
C.
Baughman,
200
:
87)

6.
PEMERIKSAN
DIAGNOSTIK
a.
Sinar
X
spinal
Menentukan lokasi dan jenis cedera tulan (fraktur, dislokasi), unutk kesejajaran, reduksi setelah
dilakukan
traksi
atau
operasi
b.
Skan
ct
Menentukan
tempat
luka
/
jejas,
mengevaluasi
ganggaun
struktural
c.
MRI
Mengidentifikasi
adanya
kerusakan
saraf
spinal,
edema
dan
kompresi
d.
Mielografi.
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor putologisnya tidak jelas atau
dicurigai adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan
setelah
mengalami
luka
penetrasi).
e. Foto ronsen torak, memperlihatkan keadan paru (contoh : perubahan pada diafragma,
atelektasis)
f. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal) : mengukur volume inspirasi maksimal
khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian bawah atau pada trauma torakal dengan
gangguan
pada
saraf
frenikus
/otot
interkostal).
g.
GDA
:
Menunjukan
kefektifan
penukaran
gas
atau
upaya
ventilasi
(Marilyn
E.
Doengoes,
1999
;
339

340)
7.
KOMPLIKASI
a.
Neurogenik
shock.
b.
Hipoksia.
c.
Gangguan
paru-paru
d.
Instabilitas
spinal
e.
Orthostatic
Hipotensi
f.
Ileus
Paralitik
g.
Infeksi
saluran
kemih
h.
Kontraktur
i.
Dekubitus
j.
Inkontinensia
blader
k.
Konstipasi
8.
PENATALAKSANAAN
a.
Penatalaksanaan
Kedaruratan
Penatalaksanaan pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting, karena penatalaksanaan
yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan kehilangan fungsi neurologik.Korban kecelakaan
kendaraan bermotor atau kecelakaan berkendara , cedera olahraga kontak, jatuh,atau trauma
langsung pada kepala dan leher dan leher harus dipertimbangkan mengalami cedera medula spinalis
sampai
bukti
cedera
ini
disingkirkan.
1) Ditempat kecelakaan, korban harus dimobilisasi pada papan spinal( punggung) ,dengan kepala
dan
leher
dalam
posisi
netral,
untuk
mencegah
cedera
komplit.
2) Salah satu anggota tim harus menggontrol kepala pasien untuk mencegah fleksi, rotasi atau
ekstensi
kepala.

3) Tangan ditempatkan pada kedua sisi dekat telinga untuk mempertahankan traksi dan kesejajaran
sementara
papan
spinalatau
alat
imobilisasi
servikal
dipasang.
4) Paling sedikit empat orangharus mengangkat korban dengan hati- hati keatas papan untuk
memindahkan memindahkan kerumah sakit. Adanya gerakan memuntir dapat merusak medula
spinais ireversibel yang menyebabkan fragmen tulang vertebra terputus, patah, atau memotong
medula
komplit.
Sebaiknya pasien dirujuk kecedera spinal regional atau pusat trauma karena personel multidisiplin
dan pelayanan pendukung dituntut untuk menghadapi perubahan dekstruktif yang tejadi beberapa
jam
pertama
setelah
cedera.
Memindahkan pasien, selama pengobatan didepartemen kedaruratan dan radiologi,pasien
dipertahankan diatas papan pemindahan . Pemindahan pasien ketempat tidur menunjukkan
masalah perawat yang pasti. Pasien harus dipertahankan dalam posisi eksternal . Tidak ada bagian
tubuh yang terpuntir atau tertekuk, juga tidak boleh pasien dibiarkan mengambil posisi duduk.
Pasien harus ditempatkan diatas sebuah stryker atau kerangka pembalik lain ketika merencanakan
pemindahan ketempat tidur. Selanjutnya jika sudah terbukti bahwa ini bukan cedera medula, pasien
dapat dipindahkan ketempat tidur biasa tanpa bahaya.Sebaliknya kadang- kadang tindakan ini tidak
benar. Jika stryker atau kerangka pembalik lain tidak tersedia pasien harus ditempatkan diatas
matras
padat
dengan
papan
tempat
tidur
dibawahnya.
b.
Penatalaksanaan
Cedera
Medula
Spinalis
(
Fase
Akut)
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah cedera medula spinalis lebih lanjut dan untuk
mengobservasi gejala perkembangan defisit neurologis. Lakukan resusitasi sesuai kebutuhan dan
pertahankan
oksigenasi
dan
kestabilan
kardiovaskuler.
Farmakoterapi
Berikan steroid dosis tinggi (metilpredisolon) untuk melawan edema medulla.
Tindakan
Respiratori
1)
Berikan
oksigen
untuk
mempertahankan
PO2
arterial
yang
tinggi.
2) Terapkan perawatan yang sangat berhati-hati untuk menghindari fleksi atau eksistensi leher bila
diperlukan
inkubasi
endrotakeal.
3) Pertimbangan alat pacu diafragma (stimulasi listrik saraf frenikus) untuk pasien dengan lesi
servikal
yang
tinggi.
Reduksi
dan
Fraksi
skeletal
1) Cedera medulla spinalis membutuhkan immobilisasi, reduksi, dislokasi, dan stabilisasi koluma
vertebrata.
2) Kurangi fraktur servikal dan luruskan spinal servikal dengan suatu bentuk traksi skeletal, yaitu
teknik
tong
/capiller
skeletal
atau
halo
vest.
3)
Gantung
pemberat
dengan
batas
sehinga
tidak
menggangu
traksi
Intervensi
bedah
=
Laminektomi
Dilakukan
Bila
:
1)
Deformitas
tidak
dapat
dikurangi
dengan
fraksi
2)
Terdapat
ketidakstabilan
signifikan
dari
spinal
servikal
3)
Cedera
terjadi
pada
region
lumbar
atau
torakal
4) Status Neurologis mengalami penyimpanan untuk mengurangi fraktur spinal atau dislokasi atau

dekompres
medulla.
(Diane
C.
Braughman,
2000
;
88-89)
9.
PENCEGAHAN
Faktor faktor resiko dominan untuk cedera medula spinalis meliputi usia dan jenis kelamin.
Frekuensi dengan mana faktor- faktor resiko ini dikaitkan dengan cedera medula spinalisbertindak
untuk menekankan pentingnya pencegahan primer. Untuk mencegah kerusakan dan bencana ini ,
langkahlangkah
berikut
perlu
dilakukan
:
1)
Menurunkan
kecepatan
berkendara.
2)
Menggunakan
sabuk
keselamatan
dan
pelindung
bahu.
3)
Menggunakan
helm
untuk
pengendara
motor
dan
sepeda.
4) Program pendidikaan langsung untuk mencegah berkendara sambil mabuk.
5)
Mengajarkan
penggunaan
air
yang
aman.
6)
Mencegah
jatuh.
7)
Menggunakan
alatalat
pelindung
dan
tekhnik
latihan.
Personel paramedis diajarkan pentingnya memindahkan korban kecelakaan mobil dari mobilnya
dengan tepat dan mengikuti metode pemindahan korban yang tepat kebagian kedaruratan rumah
sakit untuk menghindari kemungkinan kerusakan lanjut dan menetap pada medula spinalis.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN CEDERA MEDULLA SPINALIS
1.
Pengkajian
a.
Pengkajian
Primer
1).
Airway.
Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat.
Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh
benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk
membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak
boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat
melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui hidung.
Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau suction jika
tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila
hembusan
napas
tidak
adekuat,
perlu
bantuan
napas.
2).
Breathing
Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat. Apabila tersedia, O2 dapat diberikan
dalam jumlah yang memadai. Jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi
yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal1,3,5,6,7,8.
3).
Circulation
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan denyut nadi
Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai
warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur,
penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik
4).
Disability
Melihat secara keseluruhan kemampuan pasien diantaranya kesadaran pasien.
5).
Exprosure

Melihat secara keseluruhan keadaan pasien. Pasien dalam keadaan sadar (GCS 15) dengan :Simple
head
injury
bila
tanpa
deficit
neurology
a)
Dilakukan
rawat
luka
b)
Pemeriksaan
radiology
c) Pasien dipulangkan dan keluarga diminta untuk observasi bila terjadi penurunan kesadaran segera
bawa
ke
rumah
sakit
b.
Pengkajian
Skunder
1).
Aktifitas
/Istirahat
Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok pada bawah lesi. Kelemahan umum /kelemahan
otot
(trauma
dan
adanya
kompresi
saraf).
2).
Sirkulasi
Hipotensi,
Hipotensi
posturak,
bradikardi,
ekstremitas
dingin
dan
pucat.
3).
Eliminasi
Retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena, emisis berwarna seperti kopi tanah
/hematemesis.
4).
Integritas
Ego
5).
Takut,
cemas,
gelisah,
menarik
diri.
6).
Makanan
/cairan
Mengalami
distensi
abdomen,
peristaltik
usus
hilang
(ileus
paralitik)
7).
Higiene
Sangat
ketergantungan
dalam
melakukan
aktifitas
sehari-hari
(bervariasi)
8).
Neurosensori
Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan pada syok spinal).
Kehilangan sensasi (derajat bervariasi dapat kembaki normak setelah syok spinal sembuh).
Kehilangan tonus otot /vasomotor, kehilangan refleks /refleks asimetris termasuk tendon dalam.
Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh yang terkena karena pengaruh
trauma
spinal.
9).
Nyeri
/kenyamanan
Mengalami
deformitas,
postur,
nyeri
tekan
vertebral.
10).
Pernapasan
Pernapasan dangkal /labored, periode apnea, penurunan bunyi napas, ronki, pucat, sianosis.
11).
Keamanan
Suhu
yang
berfluktasi
*(suhu
tubuh
ini
diambil
dalam
suhu
kamar).
12).
Seksualitas
Ereksi
tidak
terkendali
(priapisme),
menstruasi
tidak
teratur.
2.
Diagnosa
Keperawatan
a. Ketidak efektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan kelemahan /paralisis otot-otot
abdomen
dan
intertiostal
dan
ketidakmampuan
untuk
membersihkan
sekresi.
b. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan fungsi motorik dan sesorik.
c. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan penurunan immobilitas,
penurunan
sensorik.
d. Retensi urine yang berhubungan dengan ketidakmampuan untuk berkemih secara spontan.

e. Konstipasi berhubungan dengan adanya atoni usus sebagai akibat gangguan autonomik.
f. Nyeri yang berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, cedera psikis dan alt traksi
3.
Perencanaan
dan
Implementasi
Tujuan perencanaan dan implementasi dapat mencakup perbaikan pola pernapasan, perbaikan
mobilitas, pemeliharaan integritas kulit, menghilangkan retensi urine, perbaikan fungsi usus,
peningkatan
rasa
nyaman,
dan
tidak
terdapatnya
komplikasi.
4.
Intervensi
a.
Tujuan
:
Meningkatkan
pernapasan
yang
adekuat
Kriteria hasil : Batuk efektif, pasien mampu mengeluarkan seket, bunyi napas normal, jalan napas
bersih, respirasi normal, irama dan jumlah pernapasan, pasien, mampu melakukan reposisi, nilai
AGD : PaO2 > 80 mmHg, PaCO2 = 35-45 mmHg, PH = 7,35 7,45
Rencana
Tindakan
1).
Kaji
kemampuan
batuk
dan
reproduksi
sekret
R/ Hilangnya kemampuan motorik otot intercosta dan abdomen berpengaruh terhadap kemampuan
batuk.
2).
Pertahankan
jalan
nafas
(hindari
fleksi
leher,
brsihkan
sekret)
R/
Menutup
jalan
nafas.
3).
Monitor
warna,
jumlah
dan
konsistensi
sekret,
lakukan
kultur
R/
Hilangnya
refleks
batuk
beresiko
menimbulkan
pnemonia.
4).
Lakukan
suction
bila
perlu
R/
Pengambilan
secret
dan
menghindari
aspirasi.
5).
Auskultasi
bunyi
napas
R/
Mendeteksi
adanya
sekret
dalam
paru-paru.
6).
Lakukan
latihan
nafas
R/
mengembangkan
alveolu
dan
menurunkan
prosuksi
sekret.
7).
Berikan
minum
hangat
jika
tidak
kontraindikasi
R/
Mengencerkan
sekret
8).
Berikan
oksigen
dan
monitor
analisa
gas
darah
R/ Meninghkatkan suplai oksigen dan mengetahui kadar olsogen dalam darah.
9).
Monitor
tanda
vital
setiap
2
jam
dan
status
neurologi
R/
Mendeteksi
adanya
infeksi
dan
status
respirasi.
b.
Tujuan
:
Memperbaiki
mobilitas
Kriteria Hasil : Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tak adanya kontraktur, footdrop,
meningkatkan kekuatan bagian tubuh yang sakit /kompensasi, mendemonstrasikan teknik /perilaku
yang
memungkinkan
melakukan
kembali
aktifitas.
Rencana
Tindakan
1).
Kaji
fungsi-fungsi
sensori
dan
motorik
pasien
setiap
4
jam.
R/
Menetapkan
kemampuan
dan
keterbatasan
pasien
setiap
4
jam.
2). Ganti posisi pasien setiap 2 jam dengan memperhatikan kestabilan tubuh dan kenyamanan
pasien.
R/
Mencegah
terjadinya
dekubitus.
3).
Beri
papan
penahan
pada
kaki

R/
Mencegah
terjadinya
foodrop
4).
Gunakan
otot
orthopedhi,
edar,
handsplits
R/
Mencegah
terjadinya
kontraktur.
5).
Lakukan
ROM
Pasif
setelah
48-72
setelah
cedera
4-5
kali
/hari
R/
Meningkatkan
stimulasi
dan
mencehag
kontraktur.
6).
Monitor
adanya
nyeri
dan
kelelahan
pada
pasien.
R/
Menunjukan
adanya
aktifitas
yang
berlebihan.
7). Konsultasikan kepada fisiotrepi untuk latihan dan penggunaan otot seperti splints
R/
Memberikan
pancingan
yang
sesuai.
c.
Tujuan
:
Mempertahankan
Intergritas
kulit
Kriteria Hasil : Keadaan kulit pasien utuh, bebas dari kemerahan, bebas dari infeksi pada lokasi yang
tertekan.
Rencana
Tindakan
1).
Kaji
faktor
resiko
terjadinya
gangguan
integritas
kulit
R/ Salah satunya yaitu immobilisasi, hilangnya sensasi, Inkontinensia bladder /bowel.
2).
Kaji
keadaan
pasien
setiap
8
jam
R/
Mencegah
lebih
dini
terjadinya
dekubitus.
3).
Gunakan
tempat
tidur
khusus
(dengan
busa)
R/
Mengurangi
tekanan
1
tekanan
sehingga
mengurangi
resiko
dekubitas
4).
Ganti
posisi
setiap
2
jam
dengan
sikap
anatomis
R/ Daerah yang tertekan akan menimbulkan hipoksia, perubahan posisi meningkatkan sirkulasi
darah.
5). Pertahankan kebersihan dan kekeringan tempat tidur dan tubuh pasien.
R/ Lingkungan yang lembab dan kotor mempermudah terjadinya kerusakan kulit
6). Lakukan pemijatan khusus / lembut diatas daerah tulang yang menonjol setiap 2 jam dengan
gerakan
memutar.
R/
Meningkatkan
sirkulasi
darah
7). Kaji status nutrisi pasien dan berikan makanan dengan tinggi protein
R/
Mempertahankan
integritas
kulit
dan
proses
penyembuhan
8). Lakukan perawatan kulit pada daerah yang lecet / rusak setiap hari
R/
Mempercepat
proses
penyembuhan
d.
Tujuan
:
Peningkatan
eliminasi
urine
Kriteria Hasil : Pasien dpat mempertahankan pengosongan blodder tanpa residu dan distensi,
keadaan urine jernih, kultur urine negatif, intake dan output cairan seimbang
Rencana
tindakan
1).
Kaji
tanda-tanda
infeksi
saluran
kemih
R/ Efek dari tidak efektifnya bladder adalah adanya infeksi saluran kemih
2).
Kaji
intake
dan
output
cairan
R/
Mengetahui
adekuatnya
gunsi
gnjal
dan
efektifnya
blodder.
3).
Lakukan
pemasangan
kateter
sesuai
program
R/ Efek trauma medulla spinalis adlah adanya gangguan refleks berkemih sehingga perlu bantuan
dalam
pengeluaran
urine

4).
Anjurkan
pasien
untuk
minum
2-3
liter
setiap
hari
R/
Mencegah
urine
lebih
pekat
yang
berakibat
timbulnya
..
5).
Cek
bladder
pasien
setiap
2
jam
R/
Mengetahui
adanya
residu
sebagai
akibat
autonomic
hyperrefleksia
6).Lakukan
pemeriksaan
urinalisa,
kultur
dan
sensitibilitas
R/
Mengetahui
adanya
infeksi
7).
Monitor
temperatur
tubuh
setiap
8
jam
R/
Temperatur
yang
meningkat
indikasi
adanya
infeksi.
e.
Tujuan
:
Memperbaiki
fungsi
usus
Kriteria hasil : Pasien bebas konstipasi, keadaan feses yang lembek, berbentuk.
Rencana
tindakan
1).
kaji
pola
eliminasi
bowel
R/
Menentukan
adanya
perubahan
eliminasi
2).
Berikan
diet
tinggi
serat
R/
Serat
meningkatkan
konsistensi
feses
3).
Berikan
minum
1800

2000
ml/hari
jika
tidak
ada
kontraindikasi
R/
Mencegah
konstipasi
4).
Auskultasi
bising
usus,
kaji
adanya
distensi
abdomen
R/
Bising
usus
menentukan
pergerakan
perstaltik
5).
Hindari
penggunaan
laktasif
oral
R/
Kebiasaan
menggunakan
laktasif
akan
tejadi
ketergantungan
6).
Lakukan
mobilisasi
jika
memungkinkan
R/
Meningkatkan
pergerakan
peritaltik
7).
Berikan
suppositoria
sesuai
program
R/
Pelunak
feses
sehingga
memudahkan
eliminasi
8).
Evaluasi
dan
catat
adanya
perdarah
pada
saat
eliminasi
R/
Kemungkinan
perdarahan
akibat
iritasi
penggunaan
suppositoria
f.
Tujuan
:
Memberikan
rasa
nyaman
Kriteria hasil : Melaporkan penurunan rasa nyeri /ketidak nyaman, mengidentifikasikan cara-cara
untuk mengatasi nyeri, mendemonstrasikan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktifitas
hiburan
sesuai
kebutuhan
individu.
Rencana
tindakan
1). Kaji terhadap adanya nyeri, bantu pasien mengidentifikasi dan menghitung nyeri, misalnya lokasi,
tipe
nyeri,
intensitas
pada
skala
0

1R/ Pasien biasanya melaporkan nyeri diatas tingkat cedera misalnya dada / punggung atau
kemungkinan
sakit
kepala
dari
alat
stabilizer
2). Berikan tindakan kenyamanan, misalnya, perubahan posisi, masase, kompres hangat / dingin
sesuai
indikasi.
R/ Tindakan alternatif mengontrol nyeri digunakan untuk keuntungan emosionlan, selain
menurunkan kebutuhan otot nyeri / efek tak diinginkan pada fungsi pernafasan.
3). Dorong penggunaan teknik relaksasi, misalnya, pedoman imajinasi visualisasi, latihan nafas
dalam.

R/ Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol, dan dapat meningkatkan


kemampuan
koping
4). Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi, relaksasi otot, misalnya dontren (dantrium); analgetik;
antiansietis.misalnya
diazepam
(valium)
R/ Dibutuhkan untuk menghilangkan spasme /nyeri otot atau untuk menghilangkan-ansietas dan
meningkatkan
istrirahat.
5.
Evalusi
a.
Klien
dapat
meningkatkan
pernafasan
yang
adekuat
b.
Klien
dapat
memperbaiki
mobilitas
c.
Klien
dapat
mempertahankan
integritas
kulit
d.
klien
mengalami
peningkatan
eliminasi
urine
e.
Klien
mengalami
perbaikan
usus
/
tidak
mengalami
konstipasi
f.
Klien
menyatakan
rasa
nyaman
(Marilyn E. Doenges 1999 ; 340 358, Diane C Baurghman, 2000 : 91 93)
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Cidera medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan
pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth, 2001).Penyebab dari cidera medulla spinalis
yaitu :kecelakaan otomobil, industri terjatuh, olah-raga, menyelam ,luka tusuk, tembak dan tumor.
Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes ke ekstradul subdural
atau daerah suaranoid pada kanal spinal, segera sebelum terjadi kontusio atau robekan pada
cedera, serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke medulla spinalis
menjadi terganggu, tidak hanya ini saja tetapi proses patogenik menyebabkan kerusakan yang
terjadi pada cidera medulla spinalis akut. Suatu rantai sekunder kejadian-kejadian yang
menimbulakn
iskemia,
hipoksia,
edema,
lesi,
hemorargi.
Penatalaksanaan pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting, karena penatalaksanaan
yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan kehilangan fungsi neurologik.Pada kepala dan leher
dan leher harus dipertimbangkan mengalami cedera medula spinalis sampai bukti cedera ini
disingkirkan. Memindahkan pasien, selama pengobatan didepartemen kedaruratan dan
radiologi,pasien
dipertahankan
diatas
papan
pemindahan.
Asuhan Keperawatan yang diberikan pada pasien dengan cedera medula spinalis berbeda
penanganannya dengan perawatan terhadap penyakit lainnya,karena kesalah dalam memberikan
asuhan keperawatan dapat menyebabkan cedera semakin komplit dan dapat menyebabkan
kematian.
B.
SARAN
Dengan adanya makalah ini diharapkan kepada mahasiswa agar dapat menjaga kesehatannya
terutama pada bagian tulang belakang agar cedera medula spinalis dapat terhindar. Adapun jika
sudah terjadi , mahasiswa dapat melakukan perawatan seperti yang telah tertulis dalam makalah ini
DAFTAR
PUSTAKA
Doengoes, M. E, 1999, Rencana Asuham Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian
Perawatan
Pasien.
Edisi
3.
Jakarta
;
EGC

http://akhmadrapiuddin.blogspot.com/2009/06/makalah-medula-spinalis.html.
http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/04/17/trauma-medula-spinalis
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3 Jakarta
Smeltzer,Suzanna C.2001.Buku Ajar Keperawatan Medikal- Bedah Edisi 8.Jakarta: EGC

FKUI

Anda mungkin juga menyukai