Anda di halaman 1dari 30

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN INFEKSI DAN

INFLAMASI SISTEM MUSKULOSKELETAL : SPONDILITIS


TUBERKULOSA

Oleh kelompok 5 :
Fristhina Maharani

131411123009

M. Ibnu Hasan

131411123016

Anis Ernawati

131411123026

Kathleen Elvina Hasibuan

131411123046

Indriani Kencana Wulan

131411123055

Siska Septiana Handayani

131411123077

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNNIVERSITAS AIRLANGGA
2015
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit yang tergolong sangat lama
dideskripsikan menyerang manusia yang terdokumentasi pada zaman besi dan pada
mumi didapatkan di Mesir dan Peru. Pada tahun 1779, Percivall Pott (nama lain
spondilitis tuberkulosa adalah penyakit Pott) mendeskripsikan gambaran klinis klasik
penyakit ini untuk pertama kalinya, yaitu adanya hubungan antara kelemahan alat
gerak bawah dengan kurvatura tulang belakang. Namun, pada saat itu penyakit Pott
belum dihubungkan dengan basil tuberkulosa sampai ditemukannya basil tersebut
oleh Koch pada 1882. Barulah stelah itu etiologi untuk kejadian tersebut menjadi
jelas.
Sejak ditemukannya obat anti tuberkulosa (OAT), penyakit ini mulai
berkurang pada beberapa negara berkembang. Keterlibatan tuberculosis yang
menginvasi spinal memberikan dampak peningkatan morbiditas, termasuk deficit
neurologis permanen dan deformitas berat. Terapi konservatif yang diberikan pada
pasien tuberkulosa tulang belakang sebenarnya memberikan hasil yang baik, namun
pada kasus-kasus tertentu diperlukan tindakan operatif, serta tindakan rehabilitasi
yangharus dilakukan dengan baik sebelum dan setelah penderira menjalani tindaka
operatif.
Insiden spodilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya
berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia,
serta kondisi sosial di negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan
sumber

morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan sedang

berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk masih


menjadi masalah utama. Pada negara-negara yang sudah berkembang atau maju
insiden ini mengalami penurunan secara dramatis dalam kurun waktu 30tahun
terakhir.
Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan sendi
terjadi pada kurang lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi dapat

terkena, tetapi tulang yang mempunyai fungsi untuk menahan beban (weight bearing)
dan mmunyai pergerakan yang cukup besar (mobile) lebih sering terkena
dibandingkan dengan bagian yang lain. Dari seluruh kasus tersebut tulang belakang
merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang, diikuti kemudian
oleh tulang panggul, lutut, dan tulang-tulang lain di kaki, sedangkan tulang di lengan
dan tangan jarang terkena. Area torakolumbal terutama torakal bagian bawah
(umumnya T10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering terlibat
karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mecapai maksimum,
lalu diikuti dengan area servikal dan sakral.
Defisit neurologis muncul pada 10-47% kasus pasien dengan spondilitis
tuberkulosa. Di negara yang sedang berkembang penyakit ini merupakan penyebab
paling sering untuk kondisi paraplegia nontraumatik. Paraplegia terjadi lebih tinggi
pada orang dewasa dibandingkan dengan anak-anak. Hal ini berhubungan dengan
insidensi usia terjadinya infeksi tuberkulosa pada tulang belakang, kecuali pada
decade pertama (paraplegia jarang ditemukan di usia muda).

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana konsep asuhan
keperawatan pada pasien dengan spondilitis tuberkulosa?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui konsep asuhan keperawatan pada pasien spondilitis tuberkulosa.


1.3.2 Tujuan khusus
1. Mengetahui pengertian spondilitis tuberkulosa
2. Mengetahui etiologi spondilitis tuberkulosa
3. Mengetahui manifestasi klinis spondilitis tuberkulosa
4. Mengetahui patofisiologi spondilitis tuberkulosa
5. Mengetahui pemeriksaan diagnostik spondilitis tuberkulosa
6. Mengetahui penatalaksanaan medis spondilitis tuberkulosa
7. Mengetahui komplikasi spondilitis tuberkulosa
8. Mengetahui WOC spondilitis tuberkulosa
9. Mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan spondilitis
tuberkulosa

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Spondilitis tuberkulosa merupakan infeksi sekunder dari ekstraspinal.
Tuberkulosa pada tulang belakang ini dapat terjadi karena penyebaran hematogen
atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke
tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar tulang belakang.

Spondilitis tuberkulosa servikal adalah suatu proses peradangan pada vertebra


servikal yang disebabkan oleh kuman tuberkulosis. Pada kondisi klinis penyakit ini
sangat jarang dijumpai, tetapi jika ada, memberikan implikasi pada asuhan
keperawatan klien gangguan leher.
Spondilitis tuberkulosa Torakolumbal adalah suatu proses peradangan pada
kolumna vertebra yang disebabkan oleh kuman tuberkulosis yang menyebar secara
hematogen pada kolumna vertebra torakolumbal.
2.2 Etiologi
Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal dari sistem pulmoner dan
genitourinarius. Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang belakang berasal
dari fokus primer di paru-paru. Sementara pada orang dewasa, penyebaran terjadi dari
fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil). Penyebaran basil dapat terjadi melalui
arteri interkosta atau lumbal yang memberi suplai darah kedua vertebra yang
berdekatan, yaitu setengah bagian bawah vertebra diatasnya dan bagian atas vertebra
di bawahnya atau melalui pleksus Batsons yang mengelilingi kolumna vertebralis
sehingga menyebabkan banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan
pada kurang lebih 70% kasus, penyakit ini diawali dengan tertekannya dua vertebra
yang berdekatan, sementara pada 20% kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra.

2.3 Manifestasi Klinis


Infeksi di region torakal akan memberikan manifestasi keluhan adanya
kekakuan pada punggung. Keluhan dirasakan terutama pada saat berbalik dengan
menggerakkan kaki, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya. Saat mengambil
sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya sementara tetap mempertahankan
punggungnya tetap kaku (coin test). Respon dari penekanan korda pada regio ini
menyebabkan keluhan paralisis. Pada beberapa keadaan pasien mengeluh adanya
benjolan pada punggung yang berupa abses paravertebra.

Infeksi pada regio lumbar memberikan manifestasi adanya abses pada


pinggang dan dibawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui fistel
dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien tampak
berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang
belakangnya dengan meletakkan tangannya di atas paha. Adanya kontraktur otot
akan menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul.
2.4 Patofisiologi
Lesi dasar dari penyakit ini merupakan kombinasi antara osteomyelitis dan
artritis yang melibatkan satu atau lebih dari vertebra. Infeksi tuberkulosa pada
awalnya mengenai tulang cancellous dari vertebra. Area infeksi secara bertahap
bertambah besar dan meluas, berpenetrasi ke dalam korteks tipis korpus vertebra
sepanjan ligament longitudinal anterior, serta melibatkan dua atau lebih vertebra
yang berdekatan melalui perluasan dibawah ligamentum longitudinal anterior
atau secara langsung melewati diskus intervetebralis. Terkadang dapat ditemukan
fokus yng multiple yang dipisahkan oleh vertebra normal. Infeksi dapat juga
berdiseminasi ke vertebra yang jauh melalui abses paravertebral.
Proses lanjut apabila tidak mendapatkan pengobatan, maka akan terjadi proses
lanjut di mana nekrosis akan mencegah pembentukan tulang menjadi avaskular
pada diskus yang memberikan manifestasi pada penyempitan rongga diskus,
hilangnya tulang subkondral, dan kolapsnya korpus vertebra. Suplai darah juga
akan semakin terganggu dengan timbulnya endoartreritis yang menyebabkan
tulang menjadi nekrosis.
Sebagai media menahan beban, kolaps vertebra akan memberikan dampak
terhadap destruksi progresif tulang belakang terutama padabagian anterior.
Destruksi lanjut akan menyebabkan perubahan pada diskus intervertebral dan
akan timbul deformitas lesi, serta jumlah vertebra yang terlibat. Jika deformitas
ini sudah timbul, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa penyakit ini sudah
meluas.

2.5 Pemeriksaan Diagnostik


2.5.1 Laboratorium
1. Tuberculin skin test atau Tuberculine Purified Protein Derivative (PPD)
positif
2. Laju endap darah meningkat (tidak spesifik) dari 20 sampai lebih dari 100
mm/jam
3. Leukositosis
4. Kultur cairan serebrospinal menunjukkan basil tuberkel
2.5.2 Radiologi
1. Pada foto polos, kondisi tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior
superior atau sudut inferior korpus vertebra, osteoporosis regional yang
kemudian berlanjut sehingga tampak penyempitan diskus intervertebralis yang
berdekatan, serta erosi korpus vertebra anterior yang berbentuk scalloping
2.

karena penyebaran infeksi dari area subligamentous.


Computed tomography scan (CT-Scan). Terutama bermanfaat untuk
memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan iga yang sulit dilihat pada foto
polos. Keterlibatan lengkungan saraf posterior seperti pedikel tampak lebih

baik dengan CT scan.


3. Magnetic resonance imaging (MRI) mempunyai manfaat besar untuk
membedakan komplikasiyang bersifat kompresif dengan yang bersifat
nonkompresif pada tuberkulosa tulang belakang
2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Konservatif
1. Imobilisasi dengan tirah baring panjang atau dengan gips badan (body cast)
Tindakan ini biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut dan bila tidak
tersedia ketrampilan dan fasilitas yang cukup untuk melakukan operasi radikal
spinal anterior atau bila terdapat masalah teknik yang terlalu membahayakan.
Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang

belakangnya dalam posisi ekstensi teruama pada keadaan yang akut atau fase
aktif. Pemberian gips ini ditunjukkan untuk mencegah pergerakan dan
mengurangi kompresi dan deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur
dapat berlangsung 3-4 minggu sehingga dicapai keadaa yang tenang dengan
melihat tanda-tanda klinis, radiologis, dan laboratorium. Secara klinis
ditemukan berkurangnya rasa nyeri, hilangnya spasme otot paravertebral,
nafsu makan dan berat badan meningkat, serta suhu tubuh normal. Hasil
laboratorium menunjukkan penurunan laju endap darah dan tes Mantoux
umumnya

<10

mm.

pada

pemeriksaan

radiologis

tidak

dijumpai

bertambahnya destruksi tulang, kavitasi, ataupum sekuester.


Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah servikal
dapat diimobilisasi dengan jaket Minerva, pada daerah vertebra torakal ,
torakolumbal, dan lumbal atas diimobilisasi dengan body cast jacket,
sedangkan pada daerah lumbal bawah, lumbosacral, dan sakral dilakukan
imobilisasidengan body jacket atau korset dari gips yang disertai dengan
fiksasi salah satu sisi panggul.lama imobilisasi berlangsung kurang lebih
enam bulan, dimulai sejak penderita diperbolehkan berobat jalan.
Latihan ROM apada anggota gerak diakukan untuk mencegah
kontraktur dan atrofi otot. Latihan ROM secara pasif dilakukan pada pasien
spondilitis dengan keluhan pada ekstremitas bawah juga melibatkan anggota
keluarga agar tujuan dapat lebih optimal didapatkan. Latihan ROM yang
optimal dapat menurunkan atrofi otot, perbaikan sirkulasi perifer dan
mencegah kontraktur pada ekstremitas bawah yang mengalami kelemahan.
Dengan dmikian apabila masalah peradangan akibat spondilitis punggung
teratasi, pasien tidak mengalami atrofi otot dan kontraktir pada ekstremitas
bawah.
Dalam posisi netral, alat gerak bawah berada pada posisi lutut sedikit
fleksi. Oleh karena pasien cenderung melakukan ekstensi perelangan kaki,
kondisi kontraktur pergelangan kaki dan footdrop sering terjadi. Oleh sebab
itu, tindakan fleksi dapat menurunkan resiko.
2. Kemoterapi dengan OAT selama 6-9 bulan

Terapi utalam spondilitis tuberkulosa adalah kemoterapi dngan OAT.


Pemberian kemoterapi OAT dapat secara signifikan mengurangi morbiditas
dan mortalitas. Obat Anti Tuberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH),
Rifampisin (RMP), Pirazinamida (PZA), Streptomisin (SM), dan etambutol
(EMB).
3. Diet tinggi kalori tinggi protein (TKTP)
2.6.2 Terapi bedah
Terapi bedah dilakukan dengan indikasi sebagai berikut
1. Defisit neurologi (deteriorasi neurologis akut, paraparesis dan paraplegia)
2. Deformitas spina dengan ketidakstabilan dan adanya nyeri
3. Tidak ada respon pada pengobatan OAT dengan disertai adanya progesifitas
kifosis atau ketidakstabian spina
4. Abses paraspina yang besar
5. Diagnosis yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi
Pelaksanaan terapi bedah dilakukan bersama dengan pemberian
kemoterapi OAT. Pemberian kemoterapi tambahan 10 hari sebelum operasi
telah direkomendasikan. Area nekrotik dengan perkijauan yang mengandung
tulang mati dan jaringan granulasi dievakuasi yang kemudian rongga yang
ditinggalkan diisi oleh autogeneous bone graft dari tulang iga. Pendekatan
langsung secara radikal ini mendorong penyembuhan yang cepat dan
tercapainya stabilisasi dari tulang belakang dengan memfusikan vertebra yang
terkena. Fusi spinal posterior dilakukan hanya bila terdapat deskontruksi dua
atau lebih korpus vertebra, adanya instabilitas karena destruksi elemen
posterior atau konsolidasi tulang terlambat, serta tidak dapat dilakukan
pendekatan dari anterior. Pada kasus dengan kifosis berat atau defisit
neurologis, kemoterapi tambahan dan bracing merupakan terapi yang tetap
dipilih terutama pada pusat kesehatan yang tidak mempunyai perlengkapan
untuk operasi spinal anterior.
Intervensi bedah banyak bermanfaat untuk pasien yang mempunyai
lesi kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnya kelainan

neurologis. Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat di tempat


tidur selama 3-6 minggu. Tindakan operasi juga dilakukan bila setlah 3-4
minggu pemberian obat OAT dan tirah baring (terapi konservatif) tetapi tidak
memberikan respon yang baik. Jika tidak ada perbaikan, terapi paling efektif
pada lesi spinal adalah dengan operasi secara langsung dan tumpul untuk
mengevakuasi pus tuberkulosa, mengambil sekuester tuberkulosa dan tulang
yang terinfeksi, serta memfusikan segmen tulang belakang yang terlibat .
Intervensi bedah lain juga dilakukan debridemen dengan fusi dan
dekompresi dengan fiksasi internal terutama apabila terjadi perubahan dari
struktur spina disertai adanya paraplegia berat, paraplegia flasit, paraplegia
dalam

posisi

fleksi,

hilangnya

sensibilitas

secara

lengkap,

atau

hilangnyakekuatan motoric selama lebih dari 6 bulan ( insikasi operasi segera


tanpa percobaan pemberian terapi konservatif).
Tindakan laminektomi sebaiknya dihindari segabai prosedur utama
terapi paraplegia pott dengan alasan bahwa eksisi lamina dengan elemen
neural posterior akan mengangkan satu-satunya struktur penunjang yang
tersisa dari penyakit yang berjalan di anterior. Laminektomi hanya
diindikasikan pasa pasien dengan paralegia karena penyakit di laminar adanya
keterlibatan korda spinalis, paraplegia menetap meski setelah dikompresi
anterior dan fusi, serta mielografi menunjukkan adanya sumbatan.
2.7 Komplikasi
1. Cedera korda spinalis. Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural
sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuestra dari diskus
intervertebralis atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis
oleh jaringan granulasi tuberkulosa ( contoh : menigomielitis-prognosis
buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi
paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan
paraplegia karena tekanan atau karena invasi dura dan korda spinalis.
2. Empiema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di torakal ke
dalam pleura.

2.8 Diagnosa Banding


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Infeksi piogenik
Ingeksi enterik
Tumor/ penyakit keganasan
Schuermanns disease
Myeloma multiple
Kandidiasis
Artritis septik
Abses korda spina
Tuberkulosis

2.9 Prognosis
Kuman tuberkulosa
Prognosis pada pasien dengan sponditis tuberkulosa sangat bergantung pada
usia dan kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat, dan durasi defisit neurologis,
Contaminated food
AirBorne
Droplet
serta terapi yang diberikan.
2.10 WOC

Human Body
Respiratory System Gastrointestine System

Primary Infection

Alveoli

Secondary Infection

Primary Infection

Inflamasi Epifise tulang panjang


GI track Infection
Columna Vertebra

Inflamasi
Tuberkel

Weight bearing Bone

Invasi hematogen pada Cebtral /depan / daerah epifisial korpus


Arthritis Reumatoid

Ghon
Destruksi dan penjalaran vertebra berdekatan

10

Invasi ke Vertebra Servikalis

Invasi ke Vertebra Torakolumbalis

Invasi ke Vertebra
Servikalis

Perubahan struktur
Vertebra
Servikalis

Kompresi Diskus
dan radiks saraf di
sisinya
Prosedure
decompresi dan
stabilisasi
Port de entree

MK : Resiko
tinggi Infeksi

Spasme otot

Kekakuan leher

Pembentukan abses
faringeal

Nyeri tenggorokan
dan gangguan
menelan

MK : Nyeri
Kronis
MK : Hambatan
mobilitas Fisik

MK :
Ketidakseimbangan
nutrrisi kurang dari
kebutuhan

11

Invasi ke Vertebra
Thorakolumbalis

Destruksi vertebra
berdekatan

Kifosis Thorakal

Kompresi diskus
dan medula spinalis

Penurunan Ekspansi
Pernapasan dan batuk

Tidak mampu kontrol


miksi dan defekasi

Akumulasi sekret
jalan nafas

MK : Gangguan
eliminasi urine dan
alvi

MK : Bersihan
Jalan nafas tidak
efektif
Tindakan
dekompresi,
stabilisasi

Pembentukan abses
paravertebral, lumbal,
femur
MK : Nyeri
kronis

MK :
Perubahan
gambaran diri

Reaksi sistemik, laju


metabolisme naik

MK : Nyeri kronis,
nyeri punggung

Asupan nutrisi tidak


optimal

Mk : Resiko tinggi
trauma

Mk :
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan

Paraplegia
Ansietas Pre-operasi
Port de entree luka
bedah
MK : Resti Infeksi

Mk : Hambatan
mobilitas fisik

Penekanan lokal
jaringan lunak
Mk : Resiko tinggi
12
kerusakan
Dekubitus
integritas
jaringan
kulit

2.11 Asuhan Keperawatan


2.11.1 Pengkajian
Hasil pengkajian pada spodilitis tuberculosa akan dipengaruhi oleh tiga factor
berikut
1. Tahap penyakit
2. Area yang sudah terpengaruh
3. Komplikasi, seperti defisit neurologis dari cidera korda spina
Pada anamnesis, klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dari bulan hingga tahun,
keluhan sistemis biasanya lebih sering didapatkan, secara umum dapat berupa
demam yang hilang timbul, keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan.
Pada anak didapatkan keluhan orang tua seperti anak yang malas bermain keluar
rumah, hilangnya berat badan, dan berkurangnya nafsu makan. Hasil anamnesis
lain adalah adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau
berdarah. Keluhan nyeri local pada tulang belang biasanya ditemukan.
Pengkajian nyeri pada pasien spondilitis dengan PQRST
Provoking Incident
Provokator nyeri adalah bertambah apabila melakukan mobilisasi spina. Rasa nyeri ini hanya
dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri pada pasien akan menahan punggungnya menjadi
kaku.

13

Quality or Quantity of Pain


Sebagian besar pasien secara subjektif menyatakan rasa nyeri seperti menusuk tumpul
Region, Radition, Reffered
Secara umum nyeri bersifat spinal dan radikular.
Keluhan nyeri biasanya terlokalisir pada satu region tulang belakang atau berupa nyeri yang
menjalar. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampaksebagai nyeri di daerah telinga atau
yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas akan menampilkan nyeri yang terasa di dada dan
interkosta. Pada lesi di bagian torakal bawah makan nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian
perut.
Severity (scale) of Pain
Skala nyeri biasanya bervariasi dalam rentang 2-3(-4)
Time
Sifat nyeri biasanya kronis (chronic back pain) dengan durasi keluhan selama 4 bulan

Keluhan akibat abnormalitas neurologi terjadi sekitar 50% dari kasus


spondilitis tuberkulosa, berupa keluhan paraplegia, paresis, gangguan sensasi,
nyeri radikal, dan sindrom kauda ekuina. Pada gangguan lanjut biasanya akan ada
deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi posterior), skoliosis, bayonet
deformity, sublukasi, spondilolistesis, dan dislokasi.
Walaupun jarang, infeksi yang melibatkan area servikal akan memberikan
manifestasi nyeri dan kekakuan pada leher, disfagia, serta stridor. Nyeri dan
kekakuan leher dikarakteristikan dengan ketidakmampuan menoleh kepala,
mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi, dan duduk dalam posisi dagu oleh
satu tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital. Regiditas pada leher dapat
bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis tortikolis. Pasien
juga mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses,
maka tampak pembengkakan di kedua sisi leher. Abses yang besar, terutama pada
anak, akan mendorong trakea ke sternal notch memberikan dampak pada disfagia
dan stridor. Sementara kompresi medulla spinalis pada orang dewasa akan
menyebabkan tetraparesis.

14

Insidensi paraplegia pada spondilitis lebih banyak ditemukan pada infeksi di


area torakal dan servikal. Jika timbul paraplegia akan tampak kekakuan pada alat
gerak bawah dengan reflex tendon dalam yang hiperaktif, misalnya pola jalan
yang kaku dengan kelemahan motoric yang bervariasi. Selain itu, dapat pula
terjadi gangguan fungsi kandung kemih dan anorektal.
PEMERIKSAAN FISIK REGIONAL
Look : karvatura tulang belakang mengalami deformitas, terlihat adanya abses
pada daerah paravertebral, abdominal, inguinal, serta dekubitus pada bokong.
Feel : jika tedapat abses, maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit di
atasnya terasa sedikit hangat ( disebut cold abcess, berbeda dengan piogenik
yang teraba panas). Sensasi ini dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fosa iliaka,
retrofiring atau di sisi leher (di belakang otot sternokleidomastoideus),
bergantung dari level lesi. Dapat juga teraba di sekitar dinding dada. Perlu
diingat bahwa tidak ada hubungan antara ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus
dalam cold abcess. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di
segmen yang terkena.
Move : kelemahan anggota gerak (paraplegia) dan gangguan pergerakan tulang
belakang.
2.11.2 Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri yang berhubungan dengan agen cidera biologis; kompresi radiks saraf
servikal, spasme otot servikal
2. Resiko tinggi trauma berhubungan dengan perubahan sensasi; kompresi
diskus dan kompresi radiks saraf
3. Hambatan mobilisasi fisik yang berhubungan dengan tidak adekuatnya
pengiriman pesan kontrol motorik sekunder akibat kompresi radiks saraf
servikal

15

4. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan asupan nutrisi tidak adekuat sekunder akibat nyeri tenggorokan dan
gangguan menelan
5. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan port de entree luka pasca bedah
2.11.3 Rencana Keperawatan
NO
1

DIAGNOSA

KRITERIA HASIL

INTERVENSI KEPERAWATAN

KEPERAWATAN
(NOC)
Nyeri
yang Kriteria hasil yang

(NIC)
Manajemen Nyeri :

berhubungan

1. Lakukan pengkajian

diharapkan :

dengan agen cidera

Klien dapat

komprehensif pada nyeri

biologis; kompresi

mengenali durasi

termasuk lokasi, karakteristik,

radiks

nyeri
Klien dapat

durasi, frekuensi, kualitas,

menjelaskan

dan faktor presipitasi


2. Amati isyarat nonverbal pada

servikal,

saraf
spasme

otot servikal
(00132)

faktor penyebab
Klien dapat
melakukan
tindakan

pencegahan
Klien dapat
melakukan
tindakan
mengurangi nyeri

non-analgesik
Klien dapat
melaporkan gejala
nyeri pada tenaga
medis

intensitas atau keparahan nyeri,

ketidaknyamanan, khususnya
pada mereka yang tidak dapat
berkomunikasi secara efektif
3. Kurangi atau hilangkan faktor
yang dapat mencetus atau
meningkatkan pengalaman nyeri
4. Ajarkan prinsip manajemen nyeri
5. Ajarkan penggunaan teknik
nonfarmakologis (contoh:
hipnosis, terapi aktivitas, terapi
musik, acupressure, terapi
bermain) sebelum, sesudah, dan
bila mungkin selama aktivitas
terasa nyeri, sebelum terjadi nyeri
atau peningkatan, dan disertai
tindakan pereda nyeri lainnya.

16

6. Ajarkan mengenai teknik


farmakologis sebagai pereda
nyeri
7. Anjurkan klien untuk
mengungkapkan pengalaman
nyeri yang dirasakan
8. Evaluasi keefektifan tindakan
pengendalian nyeri melalui
pengkajian berkala terhadap nyeri
Manajemen Kenyamanan
Lingkungan:
1. Identifikasi sumber
ketidaknyamanan seperti pakaian
lembab, posisi saat mandi, sprei
kusut, dan lingkungan yang
mengganggu
2. Posisikan klien untuk mendukung
kenyamanan klien
3. Monitor kulit terutama pada kulit
terluar untuk melihat adanya
tanda-tanda iritasi
4. Hindari paparan kulit atau
membran mukus dari benda yang
2

Resiko

dapat mengiritasi.
tinggi Kriteria hasil yang Madarnajemen Tekanan :

trauma

diharapkan (1-5) / 1. Berikan klien pakaian yang tidak

berhubungan

(tidak ada luas) :

dengan perubahan
sensasi; kompresi

diskus
dan
kompresi
saraf

radiks

Proliferasi sel
Formasi callus
Osifikasi,
konsolidasi,
remodelling

membatasi gerakan
2. Tempatkan
dengan

benar

kasur/matras terapeutik
3. Tempatkan pada bantalan busa
polyurethane
4. Tahan
dari

tekanan

yang

mengarah pada bagian tubuh yang

17

(00038)

Sirkulasi

lengkap
Pengembalian

perifer

fungsi tulang

terkena penyakit
5. Berikan usapan punggung/leher
dengan tepat
6. Tinggikan
ekstremitas
cidera
7. Gerakkan

klien

yang

imobilisasi

setidaknya setiap 2 jam


8. Pantau area kulit dari kemerahan
dan kerusakan
9. Pantau gerakan dan aktivitas klien
10. Gunakan peralatan pengkajian
resiko

yang diciptakan untuk

memantau faktor risiko klien


11. Pantau status nutrisi klien
12. Pantau sumber tekanan dan
gesekan
Manajemen sensasi perifer:
1. Pantau

perbedaan

tajam atau

tumpul dan panas atau dingin


2. Pantau adanya paresthesia
3. Ajarkan klien atau keluarga untuk
memeriksa kulit sehari-hari untuk
perubahan dalam integritas kulit
4. Lindungi bagian tubuh dari
perubahan suhu yang ekstrim
5. Imobilisasi kepala, leher, dan
3

Hambatan
mobilisasi

Kriteria hasil yang


fisik diharapkan :

yang berhubungan

Klien mampu

dengan

tidak

mengatur

pesan

keseimbangan
Klien mampu

adekuatnya
pengiriman
kontrol

motorik

berkoordinasi
Klien mampu

punggung dengan benar.


Latihan Terapi Keseimbangan:
1. Identifikasi kemampuan pasien
berpartisipasi dalam aktivitas yag
membutuhkan keseimbangan
2. Berikan
kesempatan
untuk
mengungkapkan

faktor

mempengaruhi jatuh
3. Instruksikan klien

yang

mengenai

18

sekunder

akibat

menggerakkan

pentingnya latihan terapi dalam

kompresi

radiks

otot
Klien mampu

menjaga

saraf servikal

(00085)

keseimbangan
Latihan Terapi Pergerakan Sendi:

sendi
Klien mampu

1. Identifikasi

tubuh
Klien mampu
bergerak dengan

memperbaiki

menggerakan

memposisikan

dan

mudah
Klien mampu
berjalan

batasan

dari

pergerakan sendi dan efek pada


fungsinya
2. Kolaborasi dengan terapi fisik
dalam

mengembangkan

melakukan

sebuah

dan

program

latihan
3. Identifikasi tingkat motivasi klien
untuk

menjaga

dan

mengembalikan pergerakan sendi


4. Bantu pasien untuk posisi tubuh
yang optimal selama pergerakan
sendi aktif/pasif
5. Anjurkan latihan ROM aktif,
sesuai dengan jadwal harian
6. Instruksikan
klien/keluarga
mengenai
4

Ketidakseimbanga

pelaksanaan

latihan

PROM, AROM, atau aktif ROM


Kriteria hasil yang Manajemen Nutrisi:

n nutrisi : kurang diharapkan (1-5) / 1. Tentukan status nutrisi klien dan


dari

kebutuhan (tidak ada adekuat)

tubuh berhubungan :
dengan

asupan Jumlah

makanan

kemampuan

untuk

memenuhi

kebutuhan nutrisi
2. Identifikasi alergi dan intoleran

makanan pada klien


dimasukkan 3. Tentukan pilihan makanan yang
adekuat sekunder
per oral
disukai klien

Jumlah
makanan
akibat
nyeri
4. Bantu klien dalam menentukan
yang dimasukkan
tenggorokan dan
piramida
makanan
lebih
nutrisi

tidak

gangguan menelan

yang

melalui saluran

disesuaikan dengan

kebutuhan

19

(00002)

Jumlah cairan yang


dimasukkan
oral
Jumlah

nutrisi dan makanan yang disukai

per

klien
5. Tentukan jumlah kalori dan tipe

cairan

nutrisi yang dibutuhkan untuk

memenuhi kebutuhan nutrisi


melalui intravena
6.
Atur diet sesuai kebutuhan
Jumlah
nutrisi
7. Sediakan makanan pilihan ketika
parenteral
yang
menawarkan bimbingan ke arah
diberikan
pilihan yang lebih sehat bila
diperlukan
8. Bantu pasien untuk perawatan
mulut terlebih dahulu sebelum
makan
9. Berikan

obat

terlebih

dahulu

sebelum makan
10. Pastikan makanan tersaji dalam
keadaan menarik dan dalam
suhu yang paling sesuai untuk
dikonsumsi
11. Anjurkan
keluarga

untuk

membawa makanan kesukaan


klien saat di rumah sakit atau
fasilitas perawatan.
12. Bantu klien dengan membuka
kemasan, memotong makanan,
dan makan bila diperlukan
13. Ajarkan klien pada modifikasi
diet bila diperlukan
14. Pastikan bahwa diet termasuk
makanan

yang

mengandung

tinggi serat untuk mencegah


konstipasi
Terapi Nutrisi:

20

1. Lengkapi pengkajian nutrisi


2. Pantau makanan/cairan yang
dicerna dan hitung asupan kalori
sehari hari
3. Berikan klien dengan makanan
dan minuman tinggi protein,
tinggi kalori, bernutrisi yang
siap dikonsumsi
4. Pastikan tersedia diet terapeutik
progresif
5. Bantu pasien untuk posisi duduk
sebelum makan
6. Pantau hasil laboratorium
7. Berikan klien dan keluarga
contoh
5

Resiko

tinggi Kriteria hasil yang

penulisan

untuk

menentukan diet
Perlindungan infeksi :

infeksi

diharapkan :

1. Pantau lokasi dan alur tanda dan

berhubungan

Tidak terdapat

entree luka pasca

nyeri
Tidak terdapat

gejala daripada infeksi


2. Pertahankan teknik aseptik untuk

dengan
bedah
(00004)

port

de

demam
Kultur darah

normal
Tidak ditemukan
peningkatan

leukosit
Tidak ditemukan
malaise

klien beresiko infeksi


3. Inspeksi kulit dan
mukosa

untuk

membran
kemerahan,

demam yang ekstrim atau kering


4. Anjurkan pemenuhan cairan
sesuai kebutuhan
5. Anjurkan istirahat
6. Ambil kultur sesuai kebutuhan
7. Pantau perubahan tingkat energi
atau malaise
8. Instruksikan klien untuk minum
antibiotik sesuai aturan
9. Anjurkan
klien
meningkatkan

untuk

mobilitas

dan

latihan sesuai aturan

21

10. Jangan

memberikan

antibiotik

pada infeksi yang disebabkan


oleh virus
11. Ajarkan klien

dan

keluarga

perbedaan antara infeksi bakteri


dan virus
12. Ajarkan klien

dan

keluarga

mengenai tanda dan gejala infeksi


dan ketika melaporkannya ke
petugas medis
13. Ajarkan klien dan keluarga untuk
menghindari infeksi

22

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
Kasus :
Tn. S usia 46 tahun jatuh dalam posisi terduduk dari atap rumah setinggi 3 meter.
Kemudian dirawat di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dengan keluhan nyeri pada
tulang punggung, kedua ekstremitas bawah susah digerakkan/lemah, tidak bisa
duduk, BAK dalam batas normal. Klien didiagnosa dengan penyakit spondilitis
tuberculosa. Klien pernah dioperasi pada tulang belakang 1.5 tahun yang lalu dengan
keluhan yang sama. Hasil pemeriksaan radiologi pada tulang punggung belakang
klien terjadi penyempitan diskus intervertebralis yang berada di antara korpus dan
mungkin ditemukan adanya massa abses paravertebral. Klien mempunyai riwayat
merokok. Keaadaan umum klien TD:100/70 mmHg, T: 36.7oC, P: 80 x/i, RR: 20x/i dan
kesadaran compos mentis.
3.1 Identitas Klien
Nama
: Tn. S
Jenis Kelamin : Laki - laki
Alamat
: Jl. Pagesangan No. 51 Surabaya
Usia
: 46 tahun
Pekerjaan
: Karyawan swasta
Diagnosa
: Spondilitis TB
3.2 Pengkajian
Keluhan utama : klien mengeluh nyeri pada tulang punggung

23

Riwayat penyakit sekarang : klien mengatakan jatuh dalam posisi terduduk


dari atap rumah setinggi 3 meter, kemudian dirawat di RSUD Dr. Soetomo

Surabaya
Riwayat penyakit dahulu : Klien mengatakan pernah dioperasi pada tulang
belakang 1,5 tahun yang lalu dengan keluhan yang sama dan memiliki riwayat

merokok.
Riwayat terapi : klien mengatakan mengkonsumsi obat penghilang rasa sakit
Riwayat alergi : klien mengatakan tidak memiliki alergi
Riwayat pembedahan : klien mengatakan pernah operasi pada tulang belakang
Pengkajian ROS (Review of System)
B1 (Breathing)
Tidak ditemukan pernafasan cuping hidung, tidak ditemukan retraksi dada,
pergerakan dada simetris, RR : 20 x/menit
B2 (Blood)
TD : 100/70 mmHg, N: 80x/m, CRT < 2 detik, akral hangat, mukosa bibir
kering, konjungtiva anemis, sklera anikterik.
B3 (Brain)
Kesadaran compos mentis, t
B4 (Bladder)
BAK 3x/hari, volume urin 1500cc/24 jam
B5 (Bowel)
BAB 1x/hari, konsistensi padat, tidak ada hemoroid
B6 (Bone)
Look : Hasil pemeriksaan radiologi pada tulang punggung belakang klien
terjadi penyempitan diskus intervertebralis yang berada di antara korpus dan
mungkin ditemukan adanya massa abses paravertebral
Feel : Nyeri di daerah punggung
Move : Kedua ekstremitas bawah susah digerakkan/lemah, kllien tidak bisa
duduk

3.3 Diagnosa Keperawatan


1) Nyeri yang berhubungan dengan agen cidera biologis; kompresi radiks saraf
servikal, spasme otot servikal

24

2) Resiko tinggi trauma berhubungan dengan perubahan sensasi; kompresi


diskus dan kompresi radiks saraf
3) Hambatan mobilisasi fisik yang berhubungan dengan tidak adekuatnya
pengiriman pesan kontrol motorik sekunder akibat kompresi radiks saraf
servikal
3.4 Rencana Keperawatan
NO
1

DIAGNOSA

KRITERIA HASIL

INTERVENSI KEPERAWATAN

KEPERAWATAN
(NOC)
Nyeri
yang Kriteria hasil yang

(NIC)
Manajemen Nyeri :

berhubungan

9. Lakukan pengkajian

diharapkan :

dengan agen cidera

Klien dapat

komprehensif pada nyeri

biologis; kompresi

mengenali durasi

termasuk lokasi, karakteristik,

radiks

nyeri
Klien dapat

durasi, frekuensi, kualitas,

otot servikal

menjelaskan

(00132)

faktor penyebab
Klien dapat

dan faktor presipitasi


10. Amati isyarat nonverbal pada

servikal,

saraf
spasme

melakukan
tindakan

pencegahan
Klien dapat
melakukan
tindakan
mengurangi nyeri

non-analgesik
Klien dapat
melaporkan gejala
nyeri pada tenaga
medis

intensitas atau keparahan nyeri,

ketidaknyamanan, khususnya
pada mereka yang tidak dapat
berkomunikasi secara efektif
11. Kurangi atau hilangkan faktor
yang dapat mencetus atau
meningkatkan pengalaman nyeri
12. Ajarkan prinsip manajemen nyeri
13. Ajarkan penggunaan teknik
nonfarmakologis (contoh:
hipnosis, terapi aktivitas, terapi
musik, acupressure, terapi
bermain) sebelum, sesudah, dan
bila mungkin selama aktivitas
terasa nyeri, sebelum terjadi nyeri

25

atau peningkatan, dan disertai


tindakan pereda nyeri lainnya.
14. Ajarkan mengenai teknik
farmakologis sebagai pereda
nyeri
15. Anjurkan klien untuk
mengungkapkan pengalaman
nyeri yang dirasakan
16. Evaluasi keefektifan tindakan
pengendalian nyeri melalui
pengkajian berkala terhadap nyeri
Manajemen Kenyamanan
Lingkungan:
5. Identifikasi sumber
ketidaknyamanan seperti pakaian
lembab, posisi saat mandi, sprei
kusut, dan lingkungan yang
mengganggu
6. Posisikan klien untuk mendukung
kenyamanan klien
7. Monitor kulit terutama pada kulit
terluar untuk melihat adanya
tanda-tanda iritasi
8. Hindari paparan kulit atau
membran mukus dari benda yang
2

Resiko

dapat mengiritasi.
tinggi Kriteria hasil yang Madarnajemen Tekanan :

trauma

diharapkan (1-5) / 13. Berikan klien pakaian yang tidak

berhubungan

(tidak ada luas) :

dengan perubahan
sensasi; kompresi

diskus
dan

Proliferasi sel
Formasi callus
Osifikasi,
konsolidasi,

membatasi gerakan
14. Tempatkan
dengan

benar

kasur/matras terapeutik
15. Tempatkan pada bantalan busa
polyurethane

26

kompresi

radiks

saraf
(00038)

remodelling
16. Tahan
dari
tekanan
yang
Sirkulasi perifer
mengarah pada bagian tubuh yang
lengkap
terkena penyakit
Pengembalian
17. Berikan usapan punggung/leher
fungsi tulang

dengan tepat
18. Tinggikan
ekstremitas
cidera
19. Gerakkan

klien

yang

imobilisasi

setidaknya setiap 2 jam


20. Pantau area kulit dari kemerahan
dan kerusakan
21. Pantau gerakan dan aktivitas klien
22. Gunakan peralatan pengkajian
resiko

yang diciptakan untuk

memantau faktor risiko klien


23. Pantau status nutrisi klien
24. Pantau sumber tekanan dan
gesekan
Manajemen sensasi perifer:
6. Pantau

perbedaan

tajam atau

tumpul dan panas atau dingin


7. Pantau adanya paresthesia
8. Ajarkan klien atau keluarga untuk
memeriksa kulit sehari-hari untuk
perubahan dalam integritas kulit
9. Lindungi bagian tubuh dari
perubahan suhu yang ekstrim
10. Imobilisasi kepala, leher, dan
3

Hambatan
mobilisasi

Kriteria hasil yang


fisik diharapkan :

yang berhubungan

Klien mampu

dengan

mengatur

adekuatnya

tidak

keseimbangan

punggung dengan benar.


Latihan Terapi Keseimbangan:
4. Identifikasi kemampuan pasien
berpartisipasi dalam aktivitas yag
membutuhkan keseimbangan
5. Berikan
kesempatan
untuk

27

pesan

pengiriman
kontrol

motorik

Klien mampu

mengungkapkan

faktor

mempengaruhi jatuh
6. Instruksikan klien

yang

sekunder

akibat

berkoordinasi
Klien mampu

kompresi

radiks

menggerakkan

pentingnya latihan terapi dalam

otot
Klien mampu

menjaga

saraf servikal
(00085)

keseimbangan
Latihan Terapi Pergerakan Sendi:

sendi
Klien mampu

7. Identifikasi

tubuh
Klien mampu
bergerak dengan

memperbaiki

menggerakan

memposisikan

dan

mengenai

mudah
Klien mampu
berjalan

batasan

dari

pergerakan sendi dan efek pada


fungsinya
8. Kolaborasi dengan terapi fisik
dalam

mengembangkan

melakukan

sebuah

dan

program

latihan
9. Identifikasi tingkat motivasi klien
untuk

menjaga

dan

mengembalikan pergerakan sendi


10. Bantu pasien untuk posisi tubuh
yang optimal selama pergerakan
sendi aktif/pasif
11. Anjurkan latihan ROM aktif,
sesuai dengan jadwal harian
12. Instruksikan
klien/keluarga
mengenai

pelaksanaan

latihan

PROM, AROM, atau aktif ROM

28

DAFTAR PUSTAKA
Helmi, Zairin Noor. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba
Medika

29

Anda mungkin juga menyukai