Oleh:
Linda Dwi Safitri 18710149
Rafiqa Zulfi Ummiah 18710127
Puji Oktavi Sumantiasa 18710175
Tommy Gunarko 18710120
Dokter Pembimbing:
dr. Handi Sembodo, Sp. Rad
2.1. Definisi
2.2 Epidemiologi
Di Amerika keterlibatan tulang dan jaringan lunak terjadi sekitar 10% dari
seluruh kejadian TB ekstra paru, dan dari jumlah tersebut 40–50% merupakan
kasus pott’s disease. Penyakit ini sering terjadi pada pria dengan perbandingan
pria dengan wanita 1,5–2:1. Di Amerika dan beberapa negara berkembang, pott’s
disease dilaporkan sering terjadi pada usia dewasa, karena penderita usia muda
lebih rentan terhadap spondilitis TB daripada usia tua. Sedangkan di negara belum
berkembang, pott’s disease juga terjadi pada dewasa muda dan predominan pada
anak-anak menjelang remaja (15 tahun). Gejala klinis TB yang tampak pada
pasien dengan HIV sama dengan yang bukan HIV, tetapi kejadian pott’s disease
ini lebih sering didapatkan pada pasien dengan HIV. Pada pasien dengan HIV
positif, insiden TB bisa meningkat 500 kali lebih tinggi daripada yang HIV
negatif.
2. 4 Klasifikasi Spondilitisi TB
2. Palpasi
Pada posisi tengkurap atau duduk, dokter dapat meraba gibus,
abses, rasa panas atau hangat, dan menentukan dimana level temuan
itu. Pada saat bersamaan, dokter mengamati ekspresi pasien apakah
tampak nyeri atau tidak.
Gambar 2. Palpasi pada pasien
3. Gerakan
Meminta pasien untuk bungkuk (fleksi anterior), fleksi lateral,
dan rotasi badannya. Pemeriksaan ini dapat menilai dampak proses
infeksi pada gangguan neurologis. Pasien diminta duduk, berdiri, dan
berjalan, kemudian hasilnya dinyatakan dalam skala Frankel, yakni A
(tidak bisa sama sekali) hingga E (normal).
B. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium :
a. Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari
100mm/jam.
b. Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein
Derivative (PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi
pemaparan dahulu maupun yang baru terjadi oleh mycobacterium.
Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak area berindurasi,
kemerahan dengan diameter ≥ 10mm di sekitar tempat suntikan 48-72
jam setelah suntikan. Hasil yang negatif tampak pada ± 20% kasus
(Tandon and Pathak 1973; Kocen 1977) dengan tuberkulosis berat
(tuberkulosis milier) dan pada pasien yang immunitas selulernya
tertekan (seperti baru saja terinfeksi, malnutrisi atau disertai penyakit
lain)
c. Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan
ginjal), sputum dan bilas lambung (hasil positif bila terdapat
keterlibatan paruparu yang aktif)
d. Hapusan darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis
yang bersifat relatif.
e. Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin
haemolysins, typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-
kasus yang sulit dan pada pusat kesehatan dengan peralatan yang
cukup canggih) untuk menyingkirkan diagnosa banding.
f. Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan
meningitis tuberkulosa). Normalnya cairan serebrospinal tidak
mengeksklusikan kemungkinan infeksi TBC. Pemeriksaan cairan
serebrospinal secara serial akan memberikan hasil yang lebih baik.
Cairan serebrospinal akan tampak:
Xantokrom
Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal.
Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada
tahap akut responnya bisa berupa neutrofilik seperti pada
meningitis piogenik (Kocen and Parsons 1970; Traub et al
1984).
Kandungan protein meningkat.
Kandungan gula normal pada tahap awal tetapi jika gambaran
klinis sangat kuat mendukung diagnosis, ulangi pemeriksaan.
Pada keadaan arachnoiditis tuberkulosa (radiculomyelitis),
punksi lumbal akan menunjukkan genuine dry tap. Pada pasien
ini adanya peningkatan bertahap kandungan protein
menggambarkan suatu blok spinal yang mengancam dan sering
diikuti dengan kejadian paralisis. Pemberian steroid akan
mencegah timbulnya hal ini (Wadia 1973). Kandungan protein
cairan serebrospinal dalam kondisi spinal terblok spinal dapat
mencapai 1-4g/100ml.
Kultur cairan serebrospinal. Adanya basil tuberkel merupakan
tes konfirmasi yang absolut tetapi hal ini tergantung dari
pengalaman pemeriksa dan tahap infeksi.
2. Pemeriksaan Radiologi
A. X-Ray
Foto polos X-ray, modalitas yang paling direkomendasikan,
mengambil gambar sesuai level tulang belakang yang sesuai. Pada
tahap awal spondilitis TB, pencitraan tampak normal. Selanjutnya, foto
polos digunakan untuk skrining ketika dicurigai terdapat spondilitis
infeksi. Foto polos dapat menilai struktur tulang dan kondisi jaringan
lunak di sekitar tulang. Kerusakan yang dapat dilihat, antara lain
kompresi, burst atau pecah, pergeseran, gibus, pendorongan struktur
tulang ke kanal spinalis, abses di daerah paravertebral (paravertebral
abses). Selain itu, dapat juga digunakan untuk mengevaluasi struktur di
posterior tulang belakang (prosesus spinosus dan lamina). Pada foto
rontgen, proyeksi anteroposterior dan lateral digunakan untuk melihat
adanya gambaran infeksi di satu atau lebih ruas vertebra, kerusakan
tulang vertebra, gibus, kifosis, dan abses. Pada daerah servikal,
biasanya digunakan foto anteroposterior dan lateral. Pada daerah
torakal foto diambil dari lateral. Untuk melihat infeksi pada
lumbosakral, foto diambil setinggi torakolumbal dari anteroposterior
dan lateral.
Temuan awal pada foto polos adalah gambaran radiolusen dan
hilangnya plate margin, destruksi korpus vertebra terutama di anterior,
hilangnya ketinggian diskus, erosi lempeng akhir, geode vertebra,
sekuestrasi tulang, massa skeloris dan paravertebral. Adanya kalsifikasi
pada paraspinal dapat dicurigai disebabkan TB. Selanjutnya, infeksi
dapat berlanjut hingga ke segmen vertebra lainnya sehingga tampak
beberapa level vertebra terlibat. Ketinggian diskus yang berkurang
dapat menetap. Pada tahap akhir, dapat ditemukan sclerosis, ankilosis
tulang, kolaps vertebra, dan pelebaran anterior yang menyebabkan
terjadinya kifosis dan gibus.
B. CT-Scan
Modalitas selanjutnya yang dapat digunakan adalah pemeriksaan
CT yang dapat memperlihatkan struktur tiga dimensi kerusakan tulang
belakang akibat proses infeksi dengan lebih detail disbanding foto polos
X-ray. Selain itu, pemeriksaan CT juga menggambarkan ekstensi lesi
karena resolusinya yang kontras. Pemeriksaan CT dilakukan untuk melihat
gambaran dekstruksi pada tulang belakang, osteoporosis, penyempitan
kanal yang mengakibatkan penekanan saraf, abses, dan deformitas, serta
keterlibatan infeksi tulang dan jaringan lunak. Fase awal penyakit dapat
ditemukan massa paraspinal dan abses yang berada di anterolateral korpus
vertebra dan menyebar ke jaringan dan epidural. Pada pemeriksaan CT,
dilakukan deskripsi terhadap destruksi tulang (fragmentasi, osteolitik,
subperiosteal, atau terlokalisir). Kombinasi foto polos dan pemeriksaan CT
dapat membuat klinisi yakin bahwa terdapat suatu kelainan pada tulang.
C. MRI
MRI, modalitas dengan sensitivitas tinggi (namun tidak spesifik),
adalah modalitas yang digunakan untuk menggambarkan kelainan struktur
dan jaringan lunak pada tulang dengan lebih detail. MRI sangat
direkomendasikan terutama pada awal kasus dengan kecurigaan spondilitis
tanp komplikasi spinal dan neurologis. Adapun MRI juga membantu
dalam mengidentifikas komplikasi yang terjadi. Setiap perubaha pada
perkembangan penyakit dapat tertangkap MRI saat modalitas lain tidak
dapat menggambarkannya. MRI dapat menggambarkan ukuran abses serta
kerusakan otot dan medulla spinalis. Dengan pemeriksaan MRI, dapat
diperoleh gambaran lebih detail struktur anatomi dan jaringan lunak yang
terkena, misalnya medula spinalis, ligamentum flavum, diskus
intervertebra, ligamentum longitudinal, dan jaringan lunak lain
disekitarnya. MRI mampu melokalisir lokasi lesi dan deteksi awal
destruksi tulang. MRI juga dapat menggambarkan struktur di sekitar tulang
belakang, antara lain pembuluh darah dan perluasan abses ke
paravertebral.
Spondilitis TB pasien umur 17 tahun dengan keluhan low back pain,
dengan gambaran MRI potongan sagital T1 (a) menunjukkan
penurunan intensitas sinyal fokal (panah), MRI menunjukkan
peningkatan intensitas sinyal (panah).
BAB III
KESIMPULAN