Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

TUBERKULOSIS EKSRAPULMONAL SPINE

Oleh:
Linda Dwi Safitri 18710149
Rafiqa Zulfi Ummiah 18710127
Puji Oktavi Sumantiasa 18710175
Tommy Gunarko 18710120

Dokter Pembimbing:
dr. Handi Sembodo, Sp. Rad

KSM/LAB RADIOLOGI RSD DR. SOEBANDI JEMBER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Pott’s disease adalah


penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang
mengenai tulang belakang. Spondilitis TB telah ditemukan pada mumi dari
Spanyol dan Peru pada tahun 1779. Infeksi Mycobacterium tuberculosis pada
tulang belakang terbanyak disebarkan melalui infeksi dari diskus. Mekanisme
infeksi terutama oleh penyebaran melalui hematogen. Secara epidemiologi
tuberkulosis merupakan penyakit infeksi pembunuh nomor satu di dunia, 95%
kasus berada di negara berkembang. Organisasi kesehatan dunia (WHO) pada
tahun 2000 memperkirakan 2 juta penduduk terserang dan 3 juta penduduk di
seluruh dunia meninggal oleh karena TB. Komplikasi spondilitis TB dapat
mengakibatkan morbiditas yang cukup tinggi yang dapat timbul secara cepat
ataupun lambat. Paralisis dapat timbul secara cepat disebabkan oleh abses, se-
dangkan secara lambat oleh karena perkembangan dari kiposis, kolap vertebra
dengan retropulsi dari tulang dan debris.

Pemeriksaan radiologi pada tulang belakang sangat mutlak dilaksanakan


untuk melihat kolumna vertebralis yang terinfeksi pada 25% - 60% kasus.
Vertebra lumbal I paling sering terinfeksi. Pemeriksaan radiologi dapat ditemukan
fokus infeksi pada bagian anterior korpus vertebre dan menyebar ke lapisan
subkondral tulang. Pada beberapa kasus infeksi terjadi di bagian anterior dari
badan vertebrae sampai ke diskus inter-vertebrae yang ditandai oleh destruksi dari
end plate. Elemen posterior biasanya juga terkena. Penyebaran kediskus
intervertebrae terjadi secara langsung sehingga menampakkan erosi pada badan
vertebra anterior yang disebabkan oleh abses jaringan lunak. Ketersediaan
computerized tomography scan (CT scan) yang tersebar luas dan magnetic
resonance scan (MR scan) telah meningkat penggunaannya pada manajemen TB
tulang belakang pemeriksaan CT scan diindikasikan bila pemeriksaan radiologi
hasilnya meragukan. Gambaran CT scan pada spondilitis TB tampak kalsifikasi
pada psoas disertai dengan adanya kalsifikasi periperal. Magnetic resonance
imaging (MRI) dilaksanakan untuk mendeteksi massa jaringan, appendicular TB,
luas penyakit, dan penyebaran subligamentous dari debris tuberculous.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Spondilitis TB adalah penyakit radang granulomatosa pada tulang


belakang yang bersifat kronik yang disebabkan bakteri Mycobacterium
tuberculosis. Sebanyak 50 % penderita spondilitis TB mempunyai lesi di tulang
belakang dan 10-45% diantaranya mengalami defisit neurologis. Keterlibatan
infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis di tulang belakang ini akan
mempersulit penatalaksanaan dan memperberat kondisi klinis karena adanya
potensi defisit neurologis dan deformitas yang permanen. Ironisnya, tulang
belakang adalah lokasi infeksi tuberkulosis tulang yang paling sering, yakni
sekitar 50% kasus tuberkulosis osteoartrikular.

Apabila infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis ini mengenai korpus


vertebra, maka kerusakan yang terjadi menimbulkan instabilitas tulang belakang
dan gangguan struktur di sekitarnya. Pasien dapat lumpuh akibat kompresi pada
medula spinalis. Kelumpuhan yang menetap (ireversibel) tidak hanya
mengganggu dan membebani penderita itu sendiri, tetapi juga keluarga dan
masyarakat.

Spondilitis TB dapat berasal dari infeksi langsung (primer), yaitu bakteri


langsung menginfeksi korpus, ataupun infeksi tidak langsung (sekunder), yaitu
bakteri menyebar secara hematogen atau limfogen dari lokasi infeksi di tempat
lain ke korpus tulang belakang. Kebanyakan spondilitis TB merupakan infeksi
sekunder dari paruparu, tetapi pada beberapa kasus merupakan infeksi primer.

2.2 Epidemiologi

TB sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia,


walaupun upaya pengendalian dengan menggunakan strategi DOTS telah banyak
diterapkan di berbagai negara sejak tahun 1995. Dalam laporan WHO tahun 2013
diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012 di mana 1,1 juta (13%)
diantaranya adalah merupakan TB dengan HIV positif. Data dari WHO di tahun
2015 menyatakan diperkirakan di Indonesia prevalensi tuberkulosis mencapai 647
per 100.000 penduduk, dan sekitar 10 persennya merupakan tuberkulosis ekstra
paru. Satu hingga lima persen penderita tuberkulosis mengalami TB
osteoartikuler, dan separuhnya adalah spondilitis tuberkulosis.

Walaupun belum ada data akurat epidemiologi spondilitis TB di Indonesia,


diperkirakan spondilitis TB menyumbang 25–50% dari seluruh kasus tuberkulosis
tulang. Berdasarkan data dari Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM),
spondilitis TB menunjukkan angka tertinggi pada populasi penderita TB ekstra
paru, yakni sekitar 71% dari populasi

Di Amerika keterlibatan tulang dan jaringan lunak terjadi sekitar 10% dari
seluruh kejadian TB ekstra paru, dan dari jumlah tersebut 40–50% merupakan
kasus pott’s disease. Penyakit ini sering terjadi pada pria dengan perbandingan
pria dengan wanita 1,5–2:1. Di Amerika dan beberapa negara berkembang, pott’s
disease dilaporkan sering terjadi pada usia dewasa, karena penderita usia muda
lebih rentan terhadap spondilitis TB daripada usia tua. Sedangkan di negara belum
berkembang, pott’s disease juga terjadi pada dewasa muda dan predominan pada
anak-anak menjelang remaja (15 tahun). Gejala klinis TB yang tampak pada
pasien dengan HIV sama dengan yang bukan HIV, tetapi kejadian pott’s disease
ini lebih sering didapatkan pada pasien dengan HIV. Pada pasien dengan HIV
positif, insiden TB bisa meningkat 500 kali lebih tinggi daripada yang HIV
negatif.

Pada spondilitis tuberkulosis umumnya melibatkan vertebra torakal dan


lumbosakral. Vertebra torakal bawah merupakan daerah paling banyak terlibat
(40–50%), vertebra lumbal merupakan tempat kedua terbanyak (35–45%), dan
sekitar 10% kasus melibatkan vertebra servikal.

2.3 Manifestasi dan Gejala Klinis

Manifestasi klinis spondilitis TB biasanya tanpa nyeri (indolen). Pada fase


aktif pasien menunjukkan gejala malaise, penurunan berat badan, keringat malam,
kenaikan suhu di sore hari. Nyeri punggung belakang dan kaku saat bergerak bisa
sebagai keluhan awl penyakit, terutama apabila didapatkan deformitas kifosis
yang terlokalisir dan nyeri bila dilakukan perkusi. Didapatkan juga spasme otot di
paraspinal yang melibatkan otot di sekeliling vertebra. Nyeri ini berkurang saat
istirahat atau tidur, tetapi nyeri dapat muncul karena pergerakan diantara
permukaan yang inflamasi disebut dengan typical night cries. Apabila didapatkan
cold abcess, olahraga dapat mencetus small knuckle kyphosis saat palpasi. Nyeri
saat perubahan posisi sebagai akibat weight-bearing pada sendi sering muncul,
tetapi tidak spesifik. Apabila sudah ditemukan deformitas berupa kifosis, maka
patogenesis TB sudah berjalan selama kurang lebih tiga sampai empat bulan.

Rasa nyeri dan pembengkakan lokal merupakan gejala yang sering


dikeluhkan. Suhu subfebril dan penurunan berat badan muncul pada minoritas
pasien. Fistula pada kulit, abses dan deformitas sendi yang tampak jelas akan
muncul ketika proses penyakit sedang aktif dan berjalan cukup lama. Kelenjar
getah bening, gejala lokal akan lebih menonjol daripada gejala konstitusional
sistemik. Sebuah penelitian retrospektif tentang spinal tuberkulosis menyebutkan
bahwa 69,2% mengeluh kelemahan tungkai, gibbus, selain itu juga didapatkan
keluhan nyeri, adanya masa, inkontinensia dan keluhan lain. Di tabel 1
menggambarkan keluhan pada penderita.

Tabel. 1. Gejala spondilitis tuberkulosis


Pada fase penyembuhan (healed), pasien tidak tampak sakit ataupun
mengeluh sakit, dengan penurunan berat badan tapi tidak didapatkan peningkatan
suhu pada sore hari. Deformitas yang terjadi pada fase akut dapat saja menetap.
Gejala yang tidak biasa mulai tampak pertama kali berupa defisit neurologis.
Abses atau sinus dapat muncul jauh dari colum vertebrae sepanjang fascia dan
melibatkan bundel neurovaskuler. Spinal disease dapat dikaitkan dengan
munculnya defisit neurologis yang disebabkan oleh kerusakan dari spinal cord,
saraf maupun akar saraf.

Defisit neurologis terjadi pada 12–50 persen penderita. Defisit yang


mungkin antara lain: paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radikular dan atau
sindrom kauda equina. Nyeri radikuler menandakan adanya gangguan pada radiks
(radikulopati). Spondilitis TB servikal jarang terjadi, namun manifestasinya lebih
berbahaya karena dapat menyebabkan disfagia dan stridor, tortikollis, suara serak
akibat gangguan n. laringeus. Jika n. frenikus terganggu, pernapasan terganggu
dan timbul sesak napas (disebut juga Millar asthma). Umumnya gejala awal
spondilitis servikal adalah kaku leher atau nyeri leher yang tidak spesifik. Nyeri
lokal dan nyeri radikular disertai gangguan motorik, sensorik dan sfingter distal
dari lesi vertebra akan memburuk jika penyakit tidak segera ditangani.

Pasien-pasien dengan penyakit di daerah vertebra torakal akan


menimbulkan paraparesis atau paraplegi yang sering disebut dengan Pott’s
paraplegia. insiden paraplegia pada spondilitis TB (Pott’s paraplegia), sebagai
komplikasi yang paling berbahaya, hanya terjadi pada 4 – 38 persen penderita.
Pott’s paraplegia dibagi menjadi dua jenis: paraplegia onset cepat (early-onset)
dan paraplegia onset lambat (late-onset). Paraplegia onset cepat terjadi saat akut,
biasanya dalam dua tahun pertama. Paraplegia onset cepat disebabkan oleh
kompresi medula spinalis oleh abses atau proses infeksi. Sedangkan paraplegia
onset lambat terjadi saat penyakit sedang tenang, tanpa adanya tanda-tanda
reaktifasi spondilitis, umumnya disebabkan oleh tekanan jaringan fibrosa/parut
atau tonjolan-tonjolan tulang akibat destruksi tulang sebelumnya. Gejala motorik
biasanya yang lebih dahulu muncul karena patologi terjadi dari anterior, sesuai
dengan posisi motoneuron di kornu anterior medula spinalis, kecuali jika ada
keterlibatan bagian posterior medula spinalis, keluhan sensorik bisa lebih dahulu
muncul.

Tabel. 2. Klasifikasi Pott’s paraplegia

2. 4 Klasifikasi Spondilitisi TB

Spondilitis tuberkulosis diklasifikasikan berdasarkan Gulhane Askeri Tip


Akademisi (GATA) menjadi 5 kelompok. Sistem klasifikasi ini dibuat
berdasarkan kriteria klinis dan radiologis antara lain: formasi abses, degenerasi
diskus, kolaps vertebra, kifosis, angulasi sagital, instabilitas vertebra, dan defisit
neurologis. Sedangkan untuk menilai derajat keparahan, memantau perbaikan
klinis, dan memprediksi prognosis pasien spondilitis TB dengan adanya cedera
medulla spinalis maka American Spinal Injury Association (ASIA) memodifikasi
sistem klasifikasi oleh Frankle.
Tabel 3. Klasifikasi berdasarkan GATA

Tabel 4. Klasifikasi spondilitis TB berdasarkan ASIA


2.5 Diagnosis

Diagnosis dini spondilitis TB sulit ditegakkan dan sering disalahartikan


sebagai neoplasma spinal atau spondilitis piogenik lainnya. Ironisnya, diagnosis
biasanya baru dapat ditegakkan pada stadium lanjut, saat sudah terjadi deformitas
tulang belakang dan defisit neurologis. Secara klinis gejala dari tuberkulosa tulang
dan sendi adalah non-spesifik dan secara klinis sering lamban, sehingga sering
menimbulkan keterlambatan yang signifikan dalam mendiagnosis dan yang
dihasilkan adalah destruksi tulang dan sendi.

A. Anamnesis dan pemeriksaan fisik


Pada kasus spondilitis TB, anamnesis dilakukan untuk mengetahui
keluhan nyeri pada tulang belakang, gangguan neurologis, deformitas
(bongkok, benjolan, atau gibus), adanya sinus/fistula di punggung, pinggang,
atau lipat paha, hingga kelumpuhan. Untuk memudahkan anamnesis, gejala-
gela tersebut dapat dieksplorasi secara berkelompok menjadi gejala sistemik
TB (penurunan berat badan dan/atau tidak adanya kenaikan berat badan pada
anak), gejala lokal akibat destruksi vertebra (deformitas, nyeri punggung
akibat unstable spine), dan gejala neurologis akibat keterlibatan saraf (nyeri
ekstremitas, deficit neurologis, lesi UMN). Tanda-tanda spondilitis TB dapat
muncul secara gradual atau mendadak akibat kolapsnya vertebra. Gejala awal
dapat berupa nyeri radikuler di sekitar tulang belakang yang menjalar ke dada
atau perut, kemudian diikuti paraparesis yang lambat laun semakin memberat
menjadi paraplegia, spastisitas, klonus, hiperrefleks, dan refleks Babinski
positif bilateral. Nyeri ketuk dan gangguan motorik dapat ditemukan pada
kasus spondilitis TB yang telah melibatkan deformitas dan adanya penekanan
saraf.
Untuk mendapatkan diagnosis yang akurat tentunya perlu anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang cermat sehingga memperoleh gambaran utuh
bagaimana bakteri Mycobacterium tuberculosis masuk ke tubuh hingga
menetap di lingkungan mikro tubuh, seperti di tulang belakang ataupun organ
lainnya. Seluruh proses itu akan diikuti oleh keluhan keluhan subjektif yang
dirasakan oleh pasien seperti panas, rasa tidak enak badan, menggigil, nyeri,
dan sebagainya. Berikut ini adalah beberapa hal yang dilakukan pada
pemeriksaan fisik pasien spondilitis TB:
1. Inspeksi

Inspeksi ini dilakukan saat pasien dalam posisi berdiri, berjalan,


duduk, dan tidur (posisi terkelungkup dan miring ke kanan atau kiri).
Pertamatama didahului dengan inspeksi umum untuk melihat apakah
pasien dalam kondisi baik, apakah tampak kurus, apakah cara berjalannya
normal, dan sebagainya. Selanjutnya, inspeksi lokal dilakukan untuk
melihat adanya benjolan, gibus, abses, sinus, asimetri kiri-kanan atau atas-
bawah.

gambar 1. Hal-hal yang harus diperhatikan saat inspeksi pasien

2. Palpasi
Pada posisi tengkurap atau duduk, dokter dapat meraba gibus,
abses, rasa panas atau hangat, dan menentukan dimana level temuan
itu. Pada saat bersamaan, dokter mengamati ekspresi pasien apakah
tampak nyeri atau tidak.
Gambar 2. Palpasi pada pasien

3. Gerakan
Meminta pasien untuk bungkuk (fleksi anterior), fleksi lateral,
dan rotasi badannya. Pemeriksaan ini dapat menilai dampak proses
infeksi pada gangguan neurologis. Pasien diminta duduk, berdiri, dan
berjalan, kemudian hasilnya dinyatakan dalam skala Frankel, yakni A
(tidak bisa sama sekali) hingga E (normal).

Gambar 3. Berbagai macam gerakan yang dilakukan pada saat


pemeriksaan fisik.
Tabel 5. Frankel Grading for Spinal Cord Injury
4. Pemeriksaan Sensorik

Pemeriksaan sensorik menilai rabaan halus, kasar, panas,


dan dingin. Hasilnya kemudian dibandingkan atas dan bawah,
Apabila ada gangguan, tentukan level dermatom yang terlibat.
Lakukan tes sensasi propioseptif untuk menentukan apakah pasien
dapat menentukan arah gerakan jempol oleh dokter saat matanya
tertutup.

Gambar 4. Prosedur tes pin prick


Gambar 5. Pemeriksaan sensorik sesuai dermatom

B. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium :
a. Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari
100mm/jam.
b. Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein
Derivative (PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi
pemaparan dahulu maupun yang baru terjadi oleh mycobacterium.
Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak area berindurasi,
kemerahan dengan diameter ≥ 10mm di sekitar tempat suntikan 48-72
jam setelah suntikan. Hasil yang negatif tampak pada ± 20% kasus
(Tandon and Pathak 1973; Kocen 1977) dengan tuberkulosis berat
(tuberkulosis milier) dan pada pasien yang immunitas selulernya
tertekan (seperti baru saja terinfeksi, malnutrisi atau disertai penyakit
lain)
c. Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan
ginjal), sputum dan bilas lambung (hasil positif bila terdapat
keterlibatan paruparu yang aktif)
d. Hapusan darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis
yang bersifat relatif.
e. Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin
haemolysins, typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-
kasus yang sulit dan pada pusat kesehatan dengan peralatan yang
cukup canggih) untuk menyingkirkan diagnosa banding.
f. Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan
meningitis tuberkulosa). Normalnya cairan serebrospinal tidak
mengeksklusikan kemungkinan infeksi TBC. Pemeriksaan cairan
serebrospinal secara serial akan memberikan hasil yang lebih baik.
Cairan serebrospinal akan tampak:
 Xantokrom
 Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal.
 Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada
tahap akut responnya bisa berupa neutrofilik seperti pada
meningitis piogenik (Kocen and Parsons 1970; Traub et al
1984).
 Kandungan protein meningkat.
 Kandungan gula normal pada tahap awal tetapi jika gambaran
klinis sangat kuat mendukung diagnosis, ulangi pemeriksaan.
 Pada keadaan arachnoiditis tuberkulosa (radiculomyelitis),
punksi lumbal akan menunjukkan genuine dry tap. Pada pasien
ini adanya peningkatan bertahap kandungan protein
menggambarkan suatu blok spinal yang mengancam dan sering
diikuti dengan kejadian paralisis. Pemberian steroid akan
mencegah timbulnya hal ini (Wadia 1973). Kandungan protein
cairan serebrospinal dalam kondisi spinal terblok spinal dapat
mencapai 1-4g/100ml.
 Kultur cairan serebrospinal. Adanya basil tuberkel merupakan
tes konfirmasi yang absolut tetapi hal ini tergantung dari
pengalaman pemeriksa dan tahap infeksi.
2. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologis sangat membantu dalam menemukan


tuberkulosis ekstraparu terutama pada kasus spondilitis TB. Pemeriksaan
radiologis yang dapat digunakan untuk menunjang diagnosis spondilitis TB
yaitu sinar-X, Computed Tomography Scan (CTscan), dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI). Tulang belakang merupakan sisi tulang yang
sering terlibat pada tuberkulosis tulang, rata-rata didapatkan 50% kasus dari
seluruh kasus skeletal TB. L1 merupakan lokasi paling sering terjadi,
melibatkan lebih dari satu corpus vertebra, dengan didapatkan penyempitan
jarak antar diskus intervertebralis, erosi dan iregularitas corpus vertebra.
Proses penyakit sering berawal di sisi anterior dari corpus vertebra yang
berdekatan dengan sisi end plate. Tahap lebih lanjut kerusakan terjadi
sepanjang ligamentum longitudinal anterior dan posterior serta melalui end
plate sehingga terjadi kolaps corpus vertebra ke segmen anterior
menyerupai akordion (concertina) yang disebut juga dengan concertina
collaps menghasilkan bentuk kifosis.
Terdapat dua prinsip pencitraan pada tulang belakang, antara lain
membantu visualisasi kelainan tulang belakang serta melihat dampak atau
kerusakan akibat proses infeksi yang menyebabkan perubahan struktur di
sekitar tulang belakang, antara lain pada korda spinalis, medula spinalis,
pembuluh darah, otot, dan paravertebral. Terdapat tiga modalitas utama
yang digunakan dalam pencitraan struktur tulang belakang, antara lain:

A. X-Ray
Foto polos X-ray, modalitas yang paling direkomendasikan,
mengambil gambar sesuai level tulang belakang yang sesuai. Pada
tahap awal spondilitis TB, pencitraan tampak normal. Selanjutnya, foto
polos digunakan untuk skrining ketika dicurigai terdapat spondilitis
infeksi. Foto polos dapat menilai struktur tulang dan kondisi jaringan
lunak di sekitar tulang. Kerusakan yang dapat dilihat, antara lain
kompresi, burst atau pecah, pergeseran, gibus, pendorongan struktur
tulang ke kanal spinalis, abses di daerah paravertebral (paravertebral
abses). Selain itu, dapat juga digunakan untuk mengevaluasi struktur di
posterior tulang belakang (prosesus spinosus dan lamina). Pada foto
rontgen, proyeksi anteroposterior dan lateral digunakan untuk melihat
adanya gambaran infeksi di satu atau lebih ruas vertebra, kerusakan
tulang vertebra, gibus, kifosis, dan abses. Pada daerah servikal,
biasanya digunakan foto anteroposterior dan lateral. Pada daerah
torakal foto diambil dari lateral. Untuk melihat infeksi pada
lumbosakral, foto diambil setinggi torakolumbal dari anteroposterior
dan lateral.
Temuan awal pada foto polos adalah gambaran radiolusen dan
hilangnya plate margin, destruksi korpus vertebra terutama di anterior,
hilangnya ketinggian diskus, erosi lempeng akhir, geode vertebra,
sekuestrasi tulang, massa skeloris dan paravertebral. Adanya kalsifikasi
pada paraspinal dapat dicurigai disebabkan TB. Selanjutnya, infeksi
dapat berlanjut hingga ke segmen vertebra lainnya sehingga tampak
beberapa level vertebra terlibat. Ketinggian diskus yang berkurang
dapat menetap. Pada tahap akhir, dapat ditemukan sclerosis, ankilosis
tulang, kolaps vertebra, dan pelebaran anterior yang menyebabkan
terjadinya kifosis dan gibus.

A, lateral tulang belakang lumbal tampak erosi fokal (panah) di aspek


anterosuperior dari tubuh vertebral L4. Erosi anteroinferior yang halus
juga ada Endplate vertebral L3.
B, Foto polos diperoleh 3 bulan kemudian menunjukkan perubahan
erosif lebih lanjut di tulang belakang, sklerosis endplate vertebral,
hilangnya ruang disk yang berdekatan, massa jaringan lunak yang samar.

B. CT-Scan
Modalitas selanjutnya yang dapat digunakan adalah pemeriksaan
CT yang dapat memperlihatkan struktur tiga dimensi kerusakan tulang
belakang akibat proses infeksi dengan lebih detail disbanding foto polos
X-ray. Selain itu, pemeriksaan CT juga menggambarkan ekstensi lesi
karena resolusinya yang kontras. Pemeriksaan CT dilakukan untuk melihat
gambaran dekstruksi pada tulang belakang, osteoporosis, penyempitan
kanal yang mengakibatkan penekanan saraf, abses, dan deformitas, serta
keterlibatan infeksi tulang dan jaringan lunak. Fase awal penyakit dapat
ditemukan massa paraspinal dan abses yang berada di anterolateral korpus
vertebra dan menyebar ke jaringan dan epidural. Pada pemeriksaan CT,
dilakukan deskripsi terhadap destruksi tulang (fragmentasi, osteolitik,
subperiosteal, atau terlokalisir). Kombinasi foto polos dan pemeriksaan CT
dapat membuat klinisi yakin bahwa terdapat suatu kelainan pada tulang.

A, CT scan aksial menunjukkan pola tulang yang terfragmentasi. B,


Abses besar jaringan lunak paraspinal dengan dinding awal
kalsifikasi (panah)
Terlihat pada lesi massa jaringan lunak paravertebral yang
memanjang dari tingkat vertebra T7-T10 dengan perubahan sklerotik
litik terkait pada vertebra T7-T9 dan kolapsnya vertebra T8 (panah).
Lesi menyusup ke kanal tulang belakang setinggi vertebra T8 dan
melibatkan sumsum tulang belakang (panah kecil). Lesi terlihat
memanjang sepanjang margin kosta kiri, dengan serapan 18F-FDG
samar dan fokus kalsifikasi, kemungkinan mewakili abses.

C. MRI
MRI, modalitas dengan sensitivitas tinggi (namun tidak spesifik),
adalah modalitas yang digunakan untuk menggambarkan kelainan struktur
dan jaringan lunak pada tulang dengan lebih detail. MRI sangat
direkomendasikan terutama pada awal kasus dengan kecurigaan spondilitis
tanp komplikasi spinal dan neurologis. Adapun MRI juga membantu
dalam mengidentifikas komplikasi yang terjadi. Setiap perubaha pada
perkembangan penyakit dapat tertangkap MRI saat modalitas lain tidak
dapat menggambarkannya. MRI dapat menggambarkan ukuran abses serta
kerusakan otot dan medulla spinalis. Dengan pemeriksaan MRI, dapat
diperoleh gambaran lebih detail struktur anatomi dan jaringan lunak yang
terkena, misalnya medula spinalis, ligamentum flavum, diskus
intervertebra, ligamentum longitudinal, dan jaringan lunak lain
disekitarnya. MRI mampu melokalisir lokasi lesi dan deteksi awal
destruksi tulang. MRI juga dapat menggambarkan struktur di sekitar tulang
belakang, antara lain pembuluh darah dan perluasan abses ke
paravertebral.
Spondilitis TB pasien umur 17 tahun dengan keluhan low back pain,
dengan gambaran MRI potongan sagital T1 (a) menunjukkan
penurunan intensitas sinyal fokal (panah), MRI menunjukkan
peningkatan intensitas sinyal (panah).

Pembentukan gibus 'di daerah torako-lumbar pasien dengan


tuberkulosis tulang belakang (kiri). Resonansi magnetik
menunjukkan tuberkulosis tulang belakang di T10-T12. Tuberkulosis
tulang belakang menyebabkan kerusakan, runtuhnya tulang
belakang, dan angulasi kolom tulang belakang (kanan)
Pada potongan sagital MRI kontras T1- dengan kontras
menunjukkan peningkatan heterogen (panah) dari tubuh vertebral
T9-T10.

BAB III
KESIMPULAN

Tulang belakang merupakan sisi tulang yang sering terlibat pada


tuberkulosis tulang, rata-rata didapatkan 50% kasus dari seluruh kasus skeletal
TB. Pemeriksaan radiologis sangat membantu dalam menemukan tuberkulosis
ekstraparu terutama pada kasus spondilitis TB. Pemeriksaan radiologis yang dapat
digunakan untuk menunjang diagnosis spondilitis TB yaitu sinar-X, Computed
Tomography Scan (CTscan), dan Magnetic Resonance Imaging (MRI).
pemeriksaan CT scan diindikasikan bila pemeriksaan radiologi hasilnya
meragukan. Magnetic resonance imaging (MRI) dilaksanakan untuk mendeteksi
massa jaringan, appendicular TB, luas penyakit, dan penyebaran subligamentous
dari debris tuberculous.

Anda mungkin juga menyukai