BAB 1
PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang begitu pesat
sehingga berpengaruh terhadap lingkungan dan gaya hidup manusia yang tidak teratur.
Perubahan ini juga dapat berpengaruh pada kesehatan seseorang. Banyak masyarakat yang
masih belum tahu akan pentingnya kesehatan serta pentingnya menjaga kebersihan
lingkungan sehingga banyak sekali penyakit yang dapat ditimbulkan akibat hal yang
demikian. Salah penyakit yang disebabkan oleh lingkungan yang tidak sehat adalah
Tuberculosis tulang.
Penyakit TBC atau secara ilmiah dikenal dengan tuberculosis telah menjadi sebuah wabah
endemik dengan jumlah pasien yang sangat besar di dunia. Prosentase kematian karena
penyakit ini juga sangat tinggi; padahal penyakit ini bukanlah sebuah penyakit yang tidak
dapat disembuhkan. Penyakit yang diakui sangat sulit dibendung ini dapat disembuhkan jika
teridentifikasi secara dini dan berobat secara teratur ke puskesmas atau rumah sakit.
TB tulang merupakan penyakit infeksi akut atau kronik yang disebabkan oleh
Microbakterium tuberkulosis. Yang menjadi masalah utama baik di Indonesia maupun di
dunia pada TB tulang adalah penyakit infeksi ini menyerang tulang dan dapat menyebar
hampir kesetiap bagian tubuh termasuk ginjal, tulang dan nodus limfe. Menurut WHO
prevalensi tuberkulosis yang menular di Indonesia adalah 715.000 kasus/tahun,sedangkan
pada pencatatan dan pelaporan yang diperoleh berdasarkan registrasi di ruang perawatan paru
lantai III RSPAD Gatot Soebroto selama enam bulan terakhir sejak November 2007 – Januari
2008 diperoleh data dari 332 orang yang dirawat terdapat 20 orang pasien yang dirawat
dengan kasus TB Paru atau sebesar 16%. Jumlah penderita TB tulang dari tahu ke tahun terus
meningkat, kenyataan menangani TB Paru begitu mengkhawatirkan sehingga kita harus
waspada sejak dini agar tidakterjadi komplikasi – komplikasi yang dapat timbul akibat TB
tulang. Komplikasi tersebut dapat diminimalkan dengan mendapatkan perawatan secara benar
den tepat.
Oleh karena itu peran perawat sangat diperlukan baik dari aspek promotif yaitu dengan
penyuluhan kesehatan, preventive dengan menjaga kebersihan lingkungan rumah, kuratif
dengan cara membawa pasien yang sakit untuk berobat, serta aspek rehabilitatif . Mengingat
kompleksnya masalah – masalah yang timbul maka penulis ingin mengetahui bagaimana
asuhan keperawatan pada klien dengan Tuberkulosis tulang dengan menggunakan
pendekatan proses keperawatan.
1.2 TUJUAN
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui seluk beluk tentang TB Tulang pada para pembaca sehingga dapat
menjadi referensi untuk pembelajaran atau upaya preventif mencegah penyakit TB Tulang.
2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui secara lebih mendalam mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan
TB Tulang untuk diusahakan mencari data-data beserta pemecahanya kemudian mencocokan
berdasarkan teori yang telah diperoleh dari kuliah maupun literature.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Tuberculosis (TBC) tulang adalah penyakit yang disebabkan oleh virus mycobacterium
tuberculosa.Tuberculosa tulang adalah suatu proses peradangan kronik dan destruktif yang
disebabkan basil tuberkulosa yang menyebar secara hematogen dari focus jauh.virus ini
menyebar lewat udara. Pintu masuk pada tubuh manusia adalah lewat saluran pernafasan
/paru-paru. Perkembangan virus TBC, didalam tubuh sangat lamban, tergantung pada daya
tahan tubuh orang yang bersangkutan.
Tuberculosis tulang dapat menyerang hampir semua tulang tapi yang paling sering terjadi
adalah TB pada tulang belakang, kaki, siku, tangan dan bahu.Rahang bawah (mandibula) dan
sendi tempomandibular adalah daerah yang paling jarang terjangkit oleh kuman TBC.
Tuberculosis tulang adalah suatu proses peradangan yang kronik dan destruktif yang
disebabkan basil tuberkulosa yang menyebar secara hematogen dan fokus jauh .Basil
tuberkulosis biasanya menyangkut dalam spongiosa tulang.pada tempat infeksi timbul
osteitis,kaseasi dan likuifaksi.Berbeda dengan osteomielitis piogenik,maka pembentukan
tulang baru pada tuberkulosis tulang sangat sedikit atau tidak ada sama sekali.pada
tuberkulosis tulang ada kecenderungan terjadi perusakan tulang rawan sendi atau diskus
intervertebralis.
2.2 ETIOLOGI
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di
tubuh, 90 – 95 % disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik ( 2/3 dari tipe human dan
1/3 dari tipe bovin ) dan 5 – 10 % oleh mikobakterium tuberkulosa atipik. Lokalisasi
spondilitis tuberkulosa terutama pada daerah vertebra torakal bawah dan lumbal atas,
sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari suatu tuberkulosa traktus urinarius, yang
penyebarannya melalui pleksus Batson pada vena paravertebralis.
2.3 PATOLOGI
1. Kompleks Primer
Lesi primer biasanya pada paru – paru, faring atau usus dan kemudian melalui saluran
limfemenyebar ke limfonodulus regional dan disebut primer kompleks.
2. Penyebaran Sekunder
Bila daya tahan tubuh penderita menurun, maka terjadi penyebaran melalui sirkulasi darah
yang akan menghasilkan tuberkulosis milier dan meningitis. Keadaan ini dapat terjadi setelah
beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian dan bakteri dideposit pada jaringan ekstra –
pulmoner.
3. Lesi Tersier
Tulang dan sendi merupakan tempat lesi tersier dan sebanyak 5 % dari tuberkulosis paru akan
menyebar dan akan berakhir sebagai tuberkulosis sendi dan tulang. Pada saat ini kasus –
kasus tuberkulosis paru masih tinggi dan kasus tuberkulosis tulang dan sendi juga
diperkirakan masih tinggi.
2. Spondilitis Tuberkulosa
Tuberculosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spodilitis tuberculosa merupakan
peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif oleh mikobakterium
tuberculosa.Tuberkulosis tulang belakang selalu merupakan infesi sekunder dari fokus
ditempat lain dalam tubu. Percival pott (1973) yang pertama kali menulis tentang penyakit ini
dan menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dengan deformitas tulang
belakang yang terjadi,sehingga penyakit ini disebut juga sebagai penyakit pott.
Gejala-gejala pada penyakit TBC tulang ini pastilah ada dan akan dirasakan oleh para
penderitanya. Berbeda dengan penyakit TBC yang menyerang paru-paru, penyakit TBC
tulang, memiliki ciri khas selain ciri umum TBC, bukan suatu hal aneh bila seseorang
mengalami gejala-gejala di bawah ini, karena memang itu adalah ciri bahwa dia sedang
berada di dalam serangan penyakit TBC tulang. Beberapa gejala tersebut ialah :
a. Pada awalnya penderita merasa pegal-pegal disertai rasa lelah pada sore hari. Pada tingkat
selanjutnya penderita mengalami penurunan berat badan , demam, berkeringat di malam hari,
kehilangan nafsu makan.
b. Pada sendi gejalanya mirip arthritis yaitu nyeri pada bagian sendi, bengkak, mengalami
keterbatasan gerak. Kulit diatas daerah yang terasa nyeri kadang terasa panas & kadang juga
terasa
dingin, kulit berwarna merah kebiruan.
c. Nyeri punggung atau pinggang, abses (benjolan berisi cairan), sampai patah tulang. Bahaya
patahnya tulang belakang adalah kerusakan serabut saraf sehingga terjadi kelumpuhan pada
kedua
kaki.
d. Jika tulang lutut atau tulang paha yang terkena, akan timbul sakit pada sendi, terutama jika
digerakkan, gerakan tulang menjadi terbatas, dan pembengkakan sendi.
e. Pada anak-anak gejalanya dapat ditemukan spasme otot pada saat malam hari.
f. Terkadang juga akan disertai dengan demam yang ringan. Pada kasus yang lebih berat,
kelemahan
otot bisa terjadi sedemikian cepatnya menyerupai kelumpuhan.
Secara klinik gejala tuberculosis tulang belakang hampir sama dengan gejala tuberculosis
pada umumnya yaitu badan lemah lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, suhu
sedikit meningkat ( subfebris ) terutama pada malam hari serta sakit pada punggung. Pada
tuberculosis vertebrae servikal ditemukan nyeri di daerah belakang kepala, gangguan
menelan dan gangguan pernapasan akibat adanya abses retrofaring. Kadangkala penderita
datang dengan gejala abses pada daerah paravetebral, inguinal, poplitea atau bokong, adanya
sinus pada daerah paravetebral atau penderita datang dengan gejala – gejala paraparesis,
paraplegia, keluhan gangguan pergerakan tulang belakang akibat spasme atau gibus.
Gejala atau tanda pada TB sistem skeletal bergantung pada lokasi kelainan. Kelainan pada
tulang belakang disebut gibbus, menampakan gejala benjolan pada tulang belakang yang
umumnya seperti abses tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda peradangan. Warna benjolan
sama dengan sekitarnya, tidak nyeri tekan, dan menimbulkan asbes dingin. Apabila dijumpai
kelainan pada sendi panggul biasanya pasien berjalan pincang dan kesulitan berdiri. Kelainan
pada sendi lutut dapat berupa pembengkakan di daerah lutut, pasien sulit berdiri dan berjalan,
dan kadang-kadang ditemukan atrofi otot paha dan betis.
Kerusakan pada tulang akibat serangan kuman TBC seringkali tak menimbulkan gejala.
Perkembangan virus TB di dalam tubuh sangat lamban tergantung pada daya tahan tubuh
penderita. Penderita bisa saja merasakan gejala yang sangat mirip dengan rematik. Inilah
yang akhirnya membuat kebanyakan orang tak mewaspadai adanya masalah yang lebih
serius.
2.6 PATOFISIOLOGI
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang
sangat kecil, kuman TB dalam droplet nuclei yang terhirup setelah melewati barrier mukosa
basil TB akan mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan
seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respon imunologis
spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada
individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan
memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman
TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan
akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi di tempat
tersebut yang dinamakan fokus ghon (fokus primer).
Melalui saluran limfe kuman akan menyebar menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar
limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan
terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang
terkena. Jika fokus primer terletak di bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahiler, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan
terlibat adalah kelnjar para trakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan
limfadenitis dinamakan kompleks primer.
Masa inkubasi (waktu antara masuknya kuman dengan terbentuknya komplek primer secara
lengkap) bervariasi antara 4-8 minggu. Pada saat terbentuknya komplek primer inilah, infeksi
TB primer terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein yaitu timbulnya respon positif terhadap uji tuberkulin.
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru dapat mengalami salah satu
hal sebagai berikut, mengalami resolusi secara sempurna, atau membentuk fibrosis atau
kalsifikasi setelah mengalami nekrosis pengkejuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional
juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama
bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Selama masa inkubasi sebelum terbentuknya imunitas seluler dapat terjadi penyebaran secara
hematogen dan limfogen. Pada penyebaran limfogen kuman menyebar ke kelenjar limfe
regional membentuk komplek primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB
masuk kedalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh dan disebut penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen sering tersamar (occult hematogenic spread) sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh
tubuh dan biasanya yang dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik terutama
apek paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut kuman TB akan bereplikasi dan
membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi
pertumbuhannya, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman dan bisa terjadi reaktivasi jika
daya tahan tubuh pejamu turun.
Basil TB masuk kedalam tubuh sebagian besar melalui traktus respiratoris. Pada saat terjadi
infeksi primer,karena keadaan umum yang buruk maka dapat terjadi basilemia.penyebaran
terjadi secara hematogen. Basil TB dapat tersangkut di paru,hati,limpa,ginjal dan tulang.
Enam hingga delapan minggu kemudian,respons imunologik timbul dan fokus tadi dapat
mengalami reaksi selular yang kemudian menjadi tidak aktif atau mungkin sembuh
sempurna.Vertebra merupakan tempat yang sering terjangkit tuberkulosis tulang. Penyakit ini
paling sering menyerang korpus vertebra. Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari
satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian saraf sentral,bagian depan, atau daerah epifisial
korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis
dan perlunakan korpus.Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifise.discus
intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan
menyebabkan terjadinya kifosis yang dikenal sebagai gibbus.Berbeda dengan infeksi lain
yang cenderung menetap pada vertebra yang bersangkutan,tuberculosis akan terus
menghancurkan vertebra didekatnya.
Kemudian eksudat (yang trdiri atas serum,leukosit,kaseosa,tulang yang fibrsosis serta basil
tuberkulosa ) menyebar ke depan,dibawah ligamentum longitudinal anterior dan mendesak
aliran darah vertebra didekatnya.Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke
berbagai arah di sepanjang garis ligament yang lemah.
Pada daerah servikal, eksudat terkupul dibelakang fasia paravertebralis dan menyebar ke
lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke
depan dan menonjol kedalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat
berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esophagus, atau kavum pleura. Abses pada
vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks setempat menempati daerah
paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat
menekan medulla spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat
menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada
bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat
mengikuti pembuluh darah femoralis pada trigonum skarpei atau regio glutea.
Abses tuberkulosis biasanya terdapat pada daerah vertebra torakalis atas dan tengah,tetapi
yang paling sering pada vertebra torakalis XII. Bila dipisahkan antara yang menderita
paraplegia dan nonparaplegia maka paraplegia biasanya pada vertebra torakalis X sedang
yang non paraplegia pada vertebra lumbalis. Penjelasan mengenai hal ini sebagai berikut :
arteri induk yang mempengaruhi medulla spinalis segmen torakal paling sering terdapat pada
vertebra torakal VIII sampai lumbal I sisi kiri. Trombosis arteri yang vital ini akan
menyebabkan paraplegia. Faktor lain yang perlu diperhitungkan adalah diameter relatif antara
medula spinalis dengan kanalis vertebralisnya.intumesensia lumbalis mulai melebar kira-kira
setinggi vertebra torakalis X, sedang kanalis vertebralis di daerah tersebut relatif kecil. Pada
vertebra lumbalis I, kanalis vertebralisnya jelas lebih besar oleh karena itu lebih memberikan
ruang gerak bila ada kompresi dari bagian anterior.Hal ini mungkin dapat menjelaskan
mengapa paraplegia lebih sering terjadi pada lesi setinggi vertebra torakal.
2.7 STADIUM TB TULANG
1. Stadium Implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri
akan
berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6 – 8 minggu. Keadaan ini
umumnya terjadi
pada daerah paradiskus dan pada anak – anak umumnya pada daerah sentral vertebra.
Derajat I : Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktifitas atau
setelah
berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.
Derajat II : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih dapat
melakukan
pekerjaannya.
Derajat III : kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak/aktivitas penderita
serta
hipestesi/anesthesia
Derajat IV : Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan defekasi dan
miksi.
Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung
dari
keadaan penyakitnya.
Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari
absesparavertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya
granulasi
jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif / sembuh terjadi oleh karena
tekanan pada
jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari
jaringan
granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi
destruksi
tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra. Derajat I – III disebut sebagai
paraparesis
dan derajat IV disebut sebagai paraplegia.
2.9 PENATALAKSANAAN
Kuman tuberkulosa pada umunya dapat dibunuh atau dihambat dengan pemberian obat-obat
anti tuberkulosa, misalnya kombinasi INH, etambutol, pirazinamid, dan rifampizin. Namun
karena fertebra yang terinfeksi mengalami destruksi dengan pembentukan sekuester dan
perkijuan, maka tindakan bedah menjadi pentin guntuk dapat mengevakuasi sumber infeksi
dan jaringan nekrotik, terutama sekuester.
Destruksi korpus vertebra dapat menyebabkan kompesi terhadap medulla spinalis dan
menyebabkan deficit neurologic, sehingga memerlukan tindakan bedah
Dasar penatalksaan spondylitis tuberkulosa adalah mengistirahatkan vertebra yang sakit,
obat-obat anti tuberkulosa dan pengeluaran abses.
Terapi konservatif
Pengobatan konservatif yang ketat dapat memberikan hasil yang cukup baik.
d. Terapi Operatif
Indikasi operasi :
1. Jika terapi konservatif tidak memberikan hasil yang memuaskan,secara klinis dan radilogis
memburuk.
2. Deformitas bertambah,terjadi destruksi korpus multipel
3. Terjadinya kompresi pada medula spinalis dengan atau tidak dengan degisit
neurologik,terdapat
abses paravertebral
4. Lesi terletak torakolumbal,torakal tengah dan bawah pada penderita anak.lesi pada daerah
ini
akan menimbulkan deformitas berat pada anak dan tidak dapat ditanggulangi hanya dengan
OAT.
5. Radiologis menunjukkan adanya sekuester ,kavitasi dan kaseonekrotik dalam jumlah
banyak
Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat. Kifosis mempunyai tendensi
untuk
bertambah berat terutama pada anak –anak. Tindakan operatif dapat berupa fusi posterior
atau
melalui operasi radikal.
2.10 KOMPLIKASI
Kerusakan tulang atau sendi dapat terjadi dalam beberapa minggu atau bulan jika terapi yang
tidak adekuat diberikan. Deformitas berkaitan dengan kerusakan sendi, bentukan abses yang
meluas ke tempat yang berdekatan dengan jaringan lunak, dan bentukan sinus sering
ditemukan. Paraplegia merupakan komplikasi paling serius dari tuberkulosis tulang belakang.
Sebagai bentuk penyembuhan lesi sendi yang hebat, ankilosis tulang atau jaringan fibrosa
spontan akan terjadi.
BAB 3
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan. Pengkajian di lakukan
dengan cermat untuk mengenal masalah klien, agar dapat memeri arah kepada tindakan
keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat tergantung pada kecermatan dan
ketelitian dalam tahap pengkajian. Tahap pengkajian terdiri dari tiga kegiatan yaitu :
pengumpulan data, pengelompokan data, perumusan diagnosa keperawatan. ( Lismidar 1990
: 1)
1. Identitas klien
meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, status perkawinan, agama, suku bangsa,
pendidikan, alamat, tanggal/jam MRS dan diagnosa medis.
2. Keluhan utama
Klien mengatakan nyeri punggung.
6. Riwayat psikososial
Klien akan merasa cemas terhadap penyakit yang di derita, sehingga kan kelihatan sedih,
dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit, pengobatan dan perawatan terhadapnya
maka penderita akan merasa takut dan bertambah cemas sehingga emosinya akan tidak stabil
dan mempengaruhi sosialisai penderita.
c. Pola eliminasi.
Klien akan mengalami perubahan dalam cara eliminasi yang semula bisa ke kamar mandi,
karena lemah dan nyeri pada punggung serta dengan adanya penata laksanaan perawatan
imobilisasi, sehingga kalau mau BAB dan BAK harus ditempat tidur dengan suatu alat.
Dengan adanya perubahan tersebut klien tidak terbiasa sehingga akan mengganggu proses
aliminasi.
d. Pola aktivitas.
Sehubungan dengan adanya kelemahan fisik dan nyeri pada punggung serta penatalaksanaan
perawatan imobilisasi akan menyebabkan klien membatasi aktivitas fisik dan berkurangnya
kemampuan dalam melaksanakan aktivitas fisik tersebut.
8. Pemeriksaan fisik.
a. Inspeksi.
Pada klien dengan Spondilitis tuberkulosa kelihatan lemah, pucat, dan pada tulang belakang
terlihatbentuk kiposis.
b. Palpasi.
Sesuai dengan yang terlihat pada inspeksi keadaan tulang belakang terdapat adanya gibus
pada
areatulang yang mengalami infeksi.
c. Perkusi.
Pada tulang belakang yang mengalami infeksi terdapat nyeri ketok.
d. Auskultasi.
Pada pemeriksaan auskultasi keadaan paru tidak di temukan kelainan.
(Abdurahman, et al 1994 : 145 ).
Setelah data di kumpulkan kemudian dikelompokkan menurut data subjektif yaitu data yang
didapat dari pasien sendiri dalm hal komukasi atau data verbal dan objektiv yaitu data yang
didapat dari pengamatan, observasi, pengukuran dan hasil pemeriksaan radiologi maupun
laboratorium. Dari hasil analisa data dapat disimpulkan masalah yang di alami. oleh klien. (
Mi Ja Kim,et al 1994 ).
Diagnosa keperawatan merupakan suatu pernyataan dari masalah klien yang nyata ataupun
potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan, yang pemecahannya dapat dilakukan
dalam batas wewenang perawat untuk melakukannya. ( Tim Departemen Kesehatan RI, 1991
: 17 ).
Kriteria hasil
o Klien dapat ikut serta dalam program latihan
o Mencari bantuan sesuai kebutuhan
o Mempertahankan koordinasi dan mobilitas sesuai tingkat optimal.
Rencana tindakan
1. Kaji mobilitas yang ada dan observasi terhadap peningkatan kerusakan.
2. Bantu klien melakukan latihan ROM, perawatan diri sesuai toleransi.
3. Memelihara bentuk spinal yaitu dengan cara :
o Mattress
o Bed Board ( tempat tidur dengan alas kayu, atau kasur busa yang keras yang tidak
menimbulkan
lekukan saat klien tidur.
4. Mempertahankan postur tubuh yang baik dan latihan pernapasan ;
o Latihan ekstensi batang tubuh baik posisi berdiri ( bersandar pada tembok ) maupun posisi
menelungkup dengan cara mengangkat ekstremitas atas dan kepala serta ekstremitas bawah
secara
bersamaan.
o Menelungkup sebanyak 3 – 4 kali sehari selama 15 – 30 menit
o Latihan pernapasan yang akan dapat meningkatkan kapasitas pernapasan.
5. Monitor tanda –tanda vital setiap 4 jam.
6. Pantau kulit dan membran mukosa terhadap iritasi, kemerahan atau lecet – lecet.
7. Perbanyak masukan cairan sampai 2500 ml/hari bila tidak ada kontra indikasi.
8. Berikan anti inflamasi sesuai program dokter. Observasi terhadap efek samping : bisa tak
nyaman
padalambung atau diare.
Rasional
1. Mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas.
2. Untuk memelihara fleksibilitas sendi sesuai kemampuan.
3. Mempertahankan posisi tulang belakang tetap rata.
4. Di lakukan untuk menegakkan postur dan menguatkan otot – otot paraspinal.
5. Untuk mendeteksi perubahan pada klien.
6. Deteksi diri dari kemungkinan komplikasi imobilisasi.
7. Cairan membantu menjaga faeces tetap lunak.
8. Obat anti inflamasi adalah suatu obat untuk mengurangi peradangan dan dapat
menimbulkan efek
samping.
b)Diagnosa Keperawatan II
Gangguan rasa nyaman : nyeri sendi dan otot sehubungan dengan adanya peradangan sendi.
Tujuan
o Rasa nyaman terpenuhi
o Nyeri berkurang / hilang
Kriteria hasil
o klien melaporkan penurunan nyeri
o menunjukkan perilaku yang lebih relaks
o memperagakan keterampilan reduksi nyeri yang dipelajari dengan peningkatan
keberhasilan.
Rencana tindakan
1. Kaji lokasi, intensitas dan tipe nyeri; observasi terhadap kemajuan nyeri ke daerah yang
baru.
2. Berikan analgesik sesuai terapi dokter dan kaji efektivitasnya terhadap nyeri.
3. Gunakan brace punggung atau korset bila di rencanakan demikian.
4. Berikan dorongan untuk mengubah posisi ringan dan sering untuk meningkatkan rasa
nyaman.
5. Ajarkan dan bantu dalam teknik alternatif penatalaksanaan nyeri.
Rasional.
1. Nyeri adalah pengalaman subjek yang hanya dapat di gambarkan oleh klien sendiri.
2. Analgesik adalah obat untuk mengurangi rasa nyeri dan bagaimana reaksinya terhadap
nyeri klien.
3. Korset untuk mempertahankan posisi punggung.
4. Dengan ganti – ganti posisi agar otot – otot tidak terus spasme dan tegang sehingga otot
menjadi
lemas dan nyeri berkurang.
5. Metode alternatif seperti relaksasi kadang lebih cepat menghilangkan nyeri atau dengan
mengalihkan perhatian klien sehingga nyeri berkurang.
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
Semoga kita semua dapat lebih memahami dan mengetahui tentang penyakit TB Tulang serta
dapat meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta kita dalam penanggulangan TB
Tulang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Samsuhidajat, Wim de Jong. Sistem Muskuloskeletal. Buku Ajar Ilmu Bedah.
EGC, 2003,hlm 907– 910.
2. Rasjad Chairuddin. Infeksi dan Inflamasi. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi.
Makasar : Bintang Lamumpatue; 2003. Hal. 144 – 149.
3. http://ifan050285.wordpress.com/2010/03/18/tuberkulosis-tulang/
4. http://www.meddean.luc
A. Latar Belakang
Tuberkulosis tulang belakang merupakan : Infeksi yang sifatnya kronis
berupa infeksi granulomatosis disebabkan oleh kuman spesifik, yaitu
mycobacterium tuberculosa yang mengenai tulang vertebra.
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberculosis di
tempat lain di tubuh. 90 – 95% disebabkan oleh mikobacterium tuberkulosa tipik
(2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5 – 10 % oleh mikobakterium
tuberkulosis atipik.
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
mycobacterium tuberkulosa. Pada tahun 1995 diperkirakan ada 9 juta pasien TB
baru dan 3 juta kematian akibat TB di seluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB
dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi pada negara – negara berkembang.
Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian akibat
kehamilan, persalinan dan nifas. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang
paling produktif secara ekonomis (15 – 50 tahun). Indonesia adalah kontributor
penderita TV no. 3 di dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan terdapat 583.000
kasus baru TB per tahun. Sebagian besar penderita berada alam usia produktif (15 –
54 tahun) dengan tingkat sosioekonomi dan pendidikan yang rendah. Keterlibatan
tulang belakang akan memperberat morbiditas karena adanya potensi defisit
neurologis dan deformitas yang permanen. Ironisnya tulang belakang adalah kolasi
infeksi TB tulang dan tersering, mencakup 50%, seluruh penderita TB
osteoartikular. Pertuiset, dkk mencatat pada sebuah penelitian, di Prancis tahun 1980
– 1994, spondilitis tuberkulosis merupakan 15% semua kasus TB ekstrapulmoner
dan merupakan 3-5 % semua kasus TB. Hidlago melaporkan di AS tahun 1986 –
1990 TB osteoartikular merupakan 10 % dari kasus TB ekstrapulmoner dan 1,8%
dari semua kasus TB. Hidlago dan Pertuiset, dkk melaporkan adanya predominasi
pria terhadap wanita. Didapatkan insiden lebih besar pada anak – anak terutama
pada negara dengan prevalensi TB yang tinggi. Anak – anak dibawah
usia10 tahun cenderung mengalami destruksi vertebra lebih ekstensif dan memiliki
resiko terjadinya deformitas tulang belakang yang lebih besar.
Penatalaksanaan pada tuberkolusis tulang belakang harus dilakukan sesegara
mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia,
dengan cara :
- Pemberian obat antituberkulosis
- Dekompresi medulla spinalis
- Menghilangkan produk infeksi
- Stabilisasi vertebra dengan graft tulang
B. Tujuan Penulisan
Tujuan Umum :
Mahasiswa mampu memahami Konsep Dasar Teori pada Tuberculosis tulang
Tujuan Khusus :
1. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada klien dengan tuberculosis tulang
2. Mahasiswa mampu menegakkan diagnosa keperawatan pada klien dengan
tuberculosis tulang
3. Mahasiswa mampu menentukan intervensi keperawatan pada klien dengan
tuberculosis tulang
4. Mahasiswa mampu melakukan implementasi keperawatan pada klien dengan
tuberculosis tulang
5. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi keperawatan pada klien dengan
tuberculosis tulang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. ETIOLOGI
Penyebab Tuberculosis tulang belakang adalah infeksi sekunder dari
tuberculosis di tempat lain dalam tubuh ; 90-95% di sebabkan oleh
mycobacterium tuberculosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovine)
dan 5-10% oleh mycobacterium tuberculosis atipik. (Arif Muttaqin, 2008).
3. PATOFISIOLOGI
Penyakit ini pd umumnya mengenai lebih dari satu vertebra.Infeksi berawal
dari bagian sentral, bagian depan atau daerah epifisial korpus vertebra.Kemudian
terjadi hiperemia dan eksudasi yg menyebabkan osteoporosis dan perlunakan
korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus invertebralis
dan vertebra sekitarnya.Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan
menyebabkan terjadinya kifosis. Kemudian eksudat yang terdiri
atas serum, leukosit, tulang yang fibrosis serta basil tuberculosa menyebar ke
depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior.Eksudat ini dapat menembus
ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligamen yang
lemah. Pada daerah vertebra servikalis, eksudat terkumpul di belakang
paravertebral dan menyebar ke lateral di belakang muskulus
sternokleidomastoideus.
Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan dan ke dalam faring yang di kenal
sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan mengisis tempat trakea, esofagus,
atau kavum pleura. Abses pada vertebra thorakalis biasanya tetap tinggal pada
daerah thoraks setempat menempati daerah paravertebral,berbentuk massa yang
menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medula spinalis
sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk
mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinale pada
bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan
mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoral pada trigonum skarpei atau
regio gluteal.
Kumar membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium, yaitu :
1) Stadium Implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, bila daya tahan tubuh klien menurun
bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8
minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada
anak-anak umumnya terjadi pada daerah sentral vertebra.
2) Stadium Destruksi awal
Setelah stadium implantasi terjadi destruksi korpus vertebra serta
penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6
minggu.
3) Stadium Destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra, dan terbentuk
massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses yang terjadi 2-3 bulan
setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta
kerusakan diskus invertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di
sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra yang
menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.
4) Stadium Gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi,
tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan
ini di temukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberculosa. Vertebra
thorakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan
neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.
4. GEJALA KLINIS
- Tanda awal berupa bengkak
- Nyeri dan keterbatasan lingkup gerak sendi
- Kulit di atas daerah yang terkena teraba panas
- Badan lemah, lesu
- Napsu makan berkurang
- Berat badan menurun
- Pucat, di sebabkan karena salah satu fungsi dari tulang adalah sebagai
produksi sel darah merah di mana apabila adanya invasi kuman
mycobacterium tuberculosis menyebabkan akan menghambat produksi sel
darah merah sehingga gejala yang muncul adalah pucat.
- Suhu tubuh meningkat/ febris
- Gangguan pergerakan tulang belakang akibat spasme/gibus
5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a) Laboratorium
Peningkatan LED dan mungkin di sertai dengan leukositosis
Uji mantoux positif
Pada pemeriksaan biakan kuman mungkin di temukan mycrobacterium
Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional
Pemeriksaan histopatologis dapt di temukan tuberkel
b) Radiologis
Pemeriksaan foto thoraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru
Foto polos vertebra, di temukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi
korpus vertebra di sertai penyempitan diskus invertebralis yang berada di
korpus tsb dan mungkin dapat di temukan adanya massa abses
paravertebral.
Pada foto AP, abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang
burung, di daerah thorakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses
berbentuk fusiform
Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga timbul
kifosis
Pemeriksaan foto dengan zat kontras
Pemeriksaan mielografi di lakukan bila terdapat gejala-gejala penekanan
sumsum tulang
Pemeriksaan CT scan dan MRI membantu menunjukkan perluasan infeksi
pada jaringan paraspinal.
6. PENATALAKSANAAN
Pada prinsipnya pengobatan tuberculosis tulang belakang harus di lakukan
sesegera mungkin untuk menghentikan progresifitas penyakit serta mencegah
paraplegia. Pengobatannya terdiri atas :
a. Terapi konservatif berupa :
Tirah baring
Memperbaiki keadaan umum penderita
Pemasangan brace pada penderita yang di operasi maupun yang tidak di
operasi
Pemberian obat anti tuberkulosa, terdiri dari :
INH dengan dosis oral 5 mg/kg BB per hari dengan dosis maksimal 300
mg. Dosis oral pada anak-anak 10 mg/kg BB.
Asam para-amino salisilat, dosis oral 8-12 mg/kg BB.
Etambutol, dosis oral 15-25 mg/kg BB per hari
Rifampisin, dosis oral 10 mg/kg BB untuk anak-anak dan pada orang
dewasa 300-400 mg per hari
Streptomisin, pada saat ini tidak di gunakan lagi.
b. Terapi operatif
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi
penderita tuberkulosis tulang belakang namun tindakan operatif masih
memegang peranan penting dalam beberapa hal yaitu bila terdapat cold abses,
lesi tuberkulosa, paraplegia dan kifosis.
Indikasi Operasi :
Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah
semakin berat.
Adanya abses yang besar sehingga di perlukan drainase secara terbuka dan
sekaligus debridement serta bone graft
Pada pemeriksaan Radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun
pemeriksaan CT dan MRI di temukan adanya penekanan langsung pada
medula spinalis
7. KOMPLIKASI
Paraplegia
Cold abses
Lesi tuberculosa
Kifosis
Patofisiologi b/d Penyimpangan KDM
Etiologi
oleh
pembesaran abses/tulang
yang
bergeser
Proses inflamasi : Perubahan pada vertebra
Hipertermi
Resiko kerusakan
Integritas kulit
Stimulus nyeri
Nyeri dipersepsikan
Nyeri
B2 (Blood)
Pada keadaan Tb tulang dengan komplikasi paraplegia yang lama
biasanya akan di dapatkan adanya Hipotensi ortostatik (penurunan TD
sistolik ≤ 25 mm Hg dan diastolik ≤ 10 mm Hg ketika klien bangun dari
posisi berbaring ke posisi duduk). Pada tb tulang tanpa paraplegia tidak
di dapatkan kelainan pada sistem cardiovaskular.
B3 (Brain)
Tingkat kesadaran biasanya komposmentis
B4 (Bladder)
Pada Tb tulang daerah thorakal dan servikal tidak ada kelainan tetapi
pada daerah lumbal sering di dapatkan keluhan inkontinensia urine,
ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan eliminasi urine.
B5 (Bowel)
Pada klien Tb tulang sering ditemukan penurunan nafsu makan dan
gangguan menelan karena adanya stimulus nyeri menelan dari abses
faring sehingga pemenuhan kebutuhan nutrisi menjadi berkurang.
B6 (Bone)
Look
Kurvatura tulang belakang mengalami deformitas (kifosis) terutama
pada tb tulang daerah torakal, pada daerah lumbalis adanya abses
pada daerah bokong dan pinggang, daerah servikal terdapat kekakuan
leher.
Feel
Kaji adanya nyeri tekan pada daerah spondilitis.
Move
Terjadi kelemahan anggota gerak dan gangguan pergerakan tulang
belakang. Biasanya seluruh gerakan terbatas dan usaha tersebut
menimbulkan spasme otot.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Intoleransi aktivitas b/d paraplegia, paralisis ektremitas bawah, kelemahan
fisik
2. Bersihan jalan napas in efektif b/d penumpukan sputum, ketidakmampuan
batuk efektif
3. Nyeri b/d kompresi syaraf dan refleks spasme otot sekunder pada tulang
belakang
4. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan kemampuan dalam
menelan makanan
5. Hipertermi b/d inflamasi pada tulang dan sendi
6. Resiko kerusakan integritas kulit b/d penekanan lokal paraplegia
3. INTERVENSI
Dx. II. Bersihan jalan napas inefektif b/d penumpukan sputum dan
Ketidakmampuan batuk efektif.
Tujuan : Terjadi peningkatan keefektifan pembersihan jalan napas dan
aspirasi dapat di cegah
Kriteria hasil : Frekuensi pernapasan dalam batas normal, suara napas
terdengar bersih, klien menunjukkan batuk yang efektif, tidak
ada lagi penumpukan sekret di jalan napas.
Intervensi :
1. Kaji keadaan jalan napas
R/ : Obstruksi mungkin dapat di sebabkan oleh akumulasi sekret, sisa
cairan mukus
2. Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi suara napas pada kedua paru
R/ : Pergerakan dada yang simetris dengan suara napas yang keluar dari
paru-paru menandakan jalan napas tidak terganggu.
3. Anjurkan klien untuk melakukan teknik batuk efektif
R/ : Batuk yang efektif dapat mengeluarkan sekret dari saluran napas
4. Berikan minuman hangat jika keadaan memungkinkan
R/ : Membantu pengenceran sekret dan mempermudah pengeluaran sekret
5. Atur / ubah posisi secara teratur tiap 2 jam
R/ : Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi segmen paru-paru,
mengurangi resiko atelektasis.
Dx. III. Nyeri b/d kompresi syaraf dan refleks spasme otot sekunder pada tulang
belakang.
Tujuan : Nyeri dapat berkurang atau teratasi
Kriteria hasil : Secara subjektif klien melaporkan nyeri berkurang atau dapat
teratasi, dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan
nyeri/ mengurangi nyeri, klien tidak gelisah.
Intervensi :
1) Kaji skala nyeri
R/ : Nyeri merupakan respon subjektif yang dapat di kaji dengan
menggunakan skala nyeri.
2) Bantu klien dalam mengidentifikasi faktor pencetus
R/ : Nyeri di pengaruhi oleh kecemasan, ketegangan, suhu, distensi
kansung kemih dan berbaring lama.
3) Jelaskan dan bantu klien terkait dengan tindakan pereda nyeri non
farmakologi dan noninvasif
R/ : Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi
lainnya menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri
4) Ajarkan teknik relaksasi
R/ : Akan melancarkan peredaran darah sehingga kebutuhan 02 pada
jaringan terpenuhi dan mengurangi nyeri.
5) Lakukan masase ringan di sekitar nyeri
R/ : Akan melancarkan peredaran darah sehingga kebutuhan 02 pada
jaringan terpenuhi dan merupakan salah saru teknik distraksi yang
efektif pada saat nyeri ada.
Dx. IV. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan kemampuan dalam
menelan makanan
Tujuan : Keseimbangan nutrisi dapat terpenuhi
Ktiteria hasil : Klien mendemonstrasikan asupan makanan yang adekuat, tidak
ada penurunan BB lebih lanjut.
Intervensi :
1. Pantau persentase jumlah makanan yang di konsumsi setiap kali makan,
timbang BB tiap hari.
R/ : Mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari sasaran yang di
harapkan
2. Berikan perawatan mulut tiap 6 jam, pertahankan kesegaran ruangan
R/ : Bau yang tidak menyenangkan dapat mempengaruhi napsu makan.
3. Anjurkan klien untuk mengkonsumsi makanan lunak tinggi kalori tinggi
protein
R/ : Membantu untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
4. Berikan makanan lunak dengan porsi sedikit tetapi sering yang mudah di
kunyah
R/ : Makanan lunak dengan porsi sedikit tetapi sering akan mengurangi
sensasi nyeri pada proses menelan akibat abses faring yang terjadi
pada spondilitis tuberculosa pada daerah servikal.
5. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk membantu memilih makanan yang dapat
memenuhi kebutuhan nutrisiselam sakit
R/ : Ahli gizi adalah spesialisasi dalam hal nutrisi yang dapat membantu
klien memilih makanan sehingga dapat memenuhi kebutuhan kalori
dan kebutuhan nutrisi sesuai dengan keadaan sakitnya, usia, tinggi dan
BB.
Dx. VII. Resiko kerusakan integritas kulit b/d penekanan lokal paraplegia
Tujuan : Klien mampu mempertahankan keutuhan kulit
Kriteria hasil : Klien mau berpartisipasi dalam pencegahan terjadinya
dekubitus, mengetahui penyebab dan cara pencegahan
dekubitus, tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka, kulit
kering
Intervensi :
1. Anjurkan klien untuk melakukan latihan ROM dan mobilisasi jika mungkin
R/ : Meningkatkan aliran darah ke semua daerah
2. Ubah posisi tiap 2 jam
R/ : Menghindari tekanan dan meningkatkan aliran darah
3. Gunakan bantal air atau pengganjal yang lunak di bawah daerah-daerah yang
menonjol
R/ : Menghindari tekanan yang berlebih pada daerah yang menonjol
4. Lakukan masase pada daerah yang menonjol yang baru mengalami tekanan
pada waktu berubah posisi
R/ : Menghindari kerusakan kapiler
5. Bersihkan dan keringkan kulit, jaga sprei tetap kering
R/ : Meningkatkan integritas kulit dan mengurangi resiko kelembapan
kulit.
6. Observasi adanya eritema dan kepucatan, palapasi area sekitar untuk
mengetahui adanya kehangatan dan pelunakan jaringan tiap mengubah
posisi.
R/ : Hangat dan pelunakan adalah tanda kerusakan jaringan.
7. Jaga kebersihan kulit dan seminimal mungkin hindari trauma dan panas pada
kulit
R/ : Mempertahankan keutuhan kulit.
4. IMPLEMENTASI
Sesuai dengan intervensi.
5. EVALUASI
Sesuai dengan tujuan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tuberculosis tulang belakang atau di kenal juga dengan Spondilitis tuberculosis
merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronis destruktif oleh
mycobacterium tuberculosis. Tuberculosis tulang belakang selalu merupakan infeksi
sekunder dari fokus di tempat lain dalam tubuh.Spondilitis tuberculosa terutama di
temukan pada kelompok usia 2-10 tahun dengan perbandingan yang hampir sama
antara pria dan wanita. Lokasi spondilitis tuberculosa terutama pada daerah vertebra
thorakalis bawah dan vertebra lumbalis atas.
Penatalaksanaan tuberculosis tulang belakang harus di lakukan sesegera
mungkin untuk menghentikan progresifitas penyakit serta mencegah paraplegia di
mana terdiri dari therapi konservatif dan therapi operatif.
B. Saran
1. Bagi penderita Tuberculosis tulang mengikuti program pengobatan sesuai
dengan anjuran petugas kesehatan sehingga dapat menghindari terjadinya
komplikasi yang dapat memperburuk keadaan, turut serta dalam aktivitas dan
latihan yang meningkatkan atau mempertahankan mobilitas.
2. Bagi Mahasiswa/i keperawatan agar mampu memahami Konsep dasar teori dan
Konsep dasar asuhan keperawatan pada klien dengan Tuberculosis tulang
sehingga dalam pelayanan keperawatan di masyarakat sesuai dengan kondisi dan
permasalahannya.
DAFTAR PUSTAKA