Anda di halaman 1dari 45

Makalah TBC Tulang

Makalah TBC Tulang

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang begitu pesat
sehingga berpengaruh terhadap lingkungan dan gaya hidup manusia yang tidak teratur.
Perubahan ini juga dapat berpengaruh pada kesehatan seseorang. Banyak masyarakat yang
masih belum tahu akan pentingnya kesehatan serta pentingnya menjaga kebersihan
lingkungan sehingga banyak sekali penyakit yang dapat ditimbulkan akibat hal yang
demikian. Salah penyakit yang disebabkan oleh lingkungan yang tidak sehat adalah
Tuberculosis tulang.

Penyakit TBC atau secara ilmiah dikenal dengan tuberculosis telah menjadi sebuah wabah
endemik dengan jumlah pasien yang sangat besar di dunia. Prosentase kematian karena
penyakit ini juga sangat tinggi; padahal penyakit ini bukanlah sebuah penyakit yang tidak
dapat disembuhkan. Penyakit yang diakui sangat sulit dibendung ini dapat disembuhkan jika
teridentifikasi secara dini dan berobat secara teratur ke puskesmas atau rumah sakit.

Kebanyakan infeksi tuberkulosis di Amerika Serikat disebabkan oleh strain Mycobacterium


tuberculosis. Infeksi pada sistem muskuloskeletal disebabkan oleh penyebaran hematogen
dari lesi primer pada traktus respiratorius ; dapat timbul segera setelah lesi primer atau
mungkin bertahun-tahun sebagai reaktivasi penyakit. Tuberkulosis pada tulang dan sendi
terjadi pada 1 – 3 % pasien dengan tuberkulosis ekstraparu. Tuberkulosis pada vertebra
lumbal atau thoraks (penyakit Pott) merupakan tempat paling sering pada tulang yang
terinfeksi dan biasanya terjadi tanpa infeksi ekstraspinal. Penyakit ini terjadi pada anak-anak
di negara berkembang dan pada lanjut usia di Amerika Serikat. Jumlah osteomielitis kira-kira
20% dari tuberkulosis muskuloskeletal dan paling sering berdampak pada tulang paha dan
tibia. Tuberkulosis pada sendi perifer hampir selalu monoarthrikuler, dengan lutut sebagai
sendi paling sering.

TB tulang merupakan penyakit infeksi akut atau kronik yang disebabkan oleh
Microbakterium tuberkulosis. Yang menjadi masalah utama baik di Indonesia maupun di
dunia pada TB tulang adalah penyakit infeksi ini menyerang tulang dan dapat menyebar
hampir kesetiap bagian tubuh termasuk ginjal, tulang dan nodus limfe. Menurut WHO
prevalensi tuberkulosis yang menular di Indonesia adalah 715.000 kasus/tahun,sedangkan
pada pencatatan dan pelaporan yang diperoleh berdasarkan registrasi di ruang perawatan paru
lantai III RSPAD Gatot Soebroto selama enam bulan terakhir sejak November 2007 – Januari
2008 diperoleh data dari 332 orang yang dirawat terdapat 20 orang pasien yang dirawat
dengan kasus TB Paru atau sebesar 16%. Jumlah penderita TB tulang dari tahu ke tahun terus
meningkat, kenyataan menangani TB Paru begitu mengkhawatirkan sehingga kita harus
waspada sejak dini agar tidakterjadi komplikasi – komplikasi yang dapat timbul akibat TB
tulang. Komplikasi tersebut dapat diminimalkan dengan mendapatkan perawatan secara benar
den tepat.

Oleh karena itu peran perawat sangat diperlukan baik dari aspek promotif yaitu dengan
penyuluhan kesehatan, preventive dengan menjaga kebersihan lingkungan rumah, kuratif
dengan cara membawa pasien yang sakit untuk berobat, serta aspek rehabilitatif . Mengingat
kompleksnya masalah – masalah yang timbul maka penulis ingin mengetahui bagaimana
asuhan keperawatan pada klien dengan Tuberkulosis tulang dengan menggunakan
pendekatan proses keperawatan.

1.2 TUJUAN

Tujuan penulisan makalah ini adalah :

1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui seluk beluk tentang TB Tulang pada para pembaca sehingga dapat
menjadi referensi untuk pembelajaran atau upaya preventif mencegah penyakit TB Tulang.
2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui secara lebih mendalam mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan
TB Tulang untuk diusahakan mencari data-data beserta pemecahanya kemudian mencocokan
berdasarkan teori yang telah diperoleh dari kuliah maupun literature.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI TB TULANG

Tuberculosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosa dengan


gejala yang bervariasi dan ditandai dengan pembentukan tuberkel dan necrosis kaseosa pada
jaringan setiap organ yang terinfeksi.

Tuberculosis (TBC) tulang adalah penyakit yang disebabkan oleh virus mycobacterium
tuberculosa.Tuberculosa tulang adalah suatu proses peradangan kronik dan destruktif yang
disebabkan basil tuberkulosa yang menyebar secara hematogen dari focus jauh.virus ini
menyebar lewat udara. Pintu masuk pada tubuh manusia adalah lewat saluran pernafasan
/paru-paru. Perkembangan virus TBC, didalam tubuh sangat lamban, tergantung pada daya
tahan tubuh orang yang bersangkutan.
Tuberculosis tulang dapat menyerang hampir semua tulang tapi yang paling sering terjadi
adalah TB pada tulang belakang, kaki, siku, tangan dan bahu.Rahang bawah (mandibula) dan
sendi tempomandibular adalah daerah yang paling jarang terjangkit oleh kuman TBC.

Tuberculosis tulang adalah suatu proses peradangan yang kronik dan destruktif yang
disebabkan basil tuberkulosa yang menyebar secara hematogen dan fokus jauh .Basil
tuberkulosis biasanya menyangkut dalam spongiosa tulang.pada tempat infeksi timbul
osteitis,kaseasi dan likuifaksi.Berbeda dengan osteomielitis piogenik,maka pembentukan
tulang baru pada tuberkulosis tulang sangat sedikit atau tidak ada sama sekali.pada
tuberkulosis tulang ada kecenderungan terjadi perusakan tulang rawan sendi atau diskus
intervertebralis.
2.2 ETIOLOGI

Penyebab Tuberculosis adalah Micobacterium Tuberculosa. Kuman ini dapat menginfeksi


manusia, seperti M. bovis, M. kansasii, M. intracellular. Pada manusia paru-paru merupakan
pintu gerbang utama masuknya infeksi pada organ lain, bahkan bisa sampai menginfeksi
tulang.

Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di
tubuh, 90 – 95 % disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik ( 2/3 dari tipe human dan
1/3 dari tipe bovin ) dan 5 – 10 % oleh mikobakterium tuberkulosa atipik. Lokalisasi
spondilitis tuberkulosa terutama pada daerah vertebra torakal bawah dan lumbal atas,
sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari suatu tuberkulosa traktus urinarius, yang
penyebarannya melalui pleksus Batson pada vena paravertebralis.

Spondilitis tuberkulosa (TB Tulang Belakang) merupakan 50 % dari seluruh tuberkulosis


tulang dan sendi yang terjadi. Sering mengenai vertebra 40 – 50 %, panggul 30% dan sendi
lutut dan sendi – sendi lainnya. Dapat disertai dengan adanya tuberkulosis paru – paru.

Faktor predisposisi tuberkulosis adalah :


1. Sanitasi yang jelek
2. Gaya hidup yang berkaitan dengan nutrisi (serba instant makanan siap saji yang banyak
mengandung hormon pertumbuhan juga pencemaran)
3. Trauma pada tulang dapat merupakan lokus minoris
4. Umur : terutama ditemukan setelah umur satu tahun, paling sering pada umur 2 – 10 tahun
5. Penyakit sebelumnya yang dapat memprofokasi kuman, seperti morbili dan varisella dapat
memprovokasi kuman
6. Masa pubertas dan kehamilan dapat mengaktifkan tuberculosis
Kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma makrofag di dalam
jaringan. Makrofag yang semula memfagositosis kemudian disenanginya karena banyak
mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman
lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen
pada bagian apikal paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian apikal ini merupakan
tempat predileksi penyakit tuberkulosis
Kuman biasanya akan menyerang dengan kekuatan penuh di saat daya tahan tubuh Anda
sedang lemah. Saat menyerang, kuman akan membentuk lapisan pada tulang yang
menyebabkan tulang tak bisa dialiri darah. Akibatnya tulang menjadi keropos atau bahkan
menjadi rusak.

2.3 PATOLOGI

1. Kompleks Primer
Lesi primer biasanya pada paru – paru, faring atau usus dan kemudian melalui saluran
limfemenyebar ke limfonodulus regional dan disebut primer kompleks.

2. Penyebaran Sekunder
Bila daya tahan tubuh penderita menurun, maka terjadi penyebaran melalui sirkulasi darah
yang akan menghasilkan tuberkulosis milier dan meningitis. Keadaan ini dapat terjadi setelah
beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian dan bakteri dideposit pada jaringan ekstra –
pulmoner.

3. Lesi Tersier
Tulang dan sendi merupakan tempat lesi tersier dan sebanyak 5 % dari tuberkulosis paru akan
menyebar dan akan berakhir sebagai tuberkulosis sendi dan tulang. Pada saat ini kasus –
kasus tuberkulosis paru masih tinggi dan kasus tuberkulosis tulang dan sendi juga
diperkirakan masih tinggi.

2.4 KLASIFIKASI TB TULANG


1. Osteomielitis Tuberkulosa
Osteomielitis tuberkulosa selalu merupakan penyebaran sekunder dari kelainan tuberkulosa
di tempat lain,terutama paru-paru. Seperti pada osteomielitis hematogen akut,penyebaran
infeksi juga terjadi secara hematogen dan biasanya mengenai anak-anak. Perbedaannya,
osteomielitis hematogen akut umumnya terdapat pada daerah metafisis sementara
osteomielitis tuberkulosa mengenai tulang belakang

2. Spondilitis Tuberkulosa
Tuberculosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spodilitis tuberculosa merupakan
peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif oleh mikobakterium
tuberculosa.Tuberkulosis tulang belakang selalu merupakan infesi sekunder dari fokus
ditempat lain dalam tubu. Percival pott (1973) yang pertama kali menulis tentang penyakit ini
dan menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dengan deformitas tulang
belakang yang terjadi,sehingga penyakit ini disebut juga sebagai penyakit pott.

2.5 MANIFESTASI KLINIS

Gejala-gejala pada penyakit TBC tulang ini pastilah ada dan akan dirasakan oleh para
penderitanya. Berbeda dengan penyakit TBC yang menyerang paru-paru, penyakit TBC
tulang, memiliki ciri khas selain ciri umum TBC, bukan suatu hal aneh bila seseorang
mengalami gejala-gejala di bawah ini, karena memang itu adalah ciri bahwa dia sedang
berada di dalam serangan penyakit TBC tulang. Beberapa gejala tersebut ialah :

a. Pada awalnya penderita merasa pegal-pegal disertai rasa lelah pada sore hari. Pada tingkat
selanjutnya penderita mengalami penurunan berat badan , demam, berkeringat di malam hari,
kehilangan nafsu makan.

b. Pada sendi gejalanya mirip arthritis yaitu nyeri pada bagian sendi, bengkak, mengalami
keterbatasan gerak. Kulit diatas daerah yang terasa nyeri kadang terasa panas & kadang juga
terasa
dingin, kulit berwarna merah kebiruan.
c. Nyeri punggung atau pinggang, abses (benjolan berisi cairan), sampai patah tulang. Bahaya
patahnya tulang belakang adalah kerusakan serabut saraf sehingga terjadi kelumpuhan pada
kedua
kaki.

d. Jika tulang lutut atau tulang paha yang terkena, akan timbul sakit pada sendi, terutama jika
digerakkan, gerakan tulang menjadi terbatas, dan pembengkakan sendi.

e. Pada anak-anak gejalanya dapat ditemukan spasme otot pada saat malam hari.

f. Terkadang juga akan disertai dengan demam yang ringan. Pada kasus yang lebih berat,
kelemahan
otot bisa terjadi sedemikian cepatnya menyerupai kelumpuhan.

Secara klinik gejala tuberculosis tulang belakang hampir sama dengan gejala tuberculosis
pada umumnya yaitu badan lemah lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, suhu
sedikit meningkat ( subfebris ) terutama pada malam hari serta sakit pada punggung. Pada
tuberculosis vertebrae servikal ditemukan nyeri di daerah belakang kepala, gangguan
menelan dan gangguan pernapasan akibat adanya abses retrofaring. Kadangkala penderita
datang dengan gejala abses pada daerah paravetebral, inguinal, poplitea atau bokong, adanya
sinus pada daerah paravetebral atau penderita datang dengan gejala – gejala paraparesis,
paraplegia, keluhan gangguan pergerakan tulang belakang akibat spasme atau gibus.

Gejala atau tanda pada TB sistem skeletal bergantung pada lokasi kelainan. Kelainan pada
tulang belakang disebut gibbus, menampakan gejala benjolan pada tulang belakang yang
umumnya seperti abses tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda peradangan. Warna benjolan
sama dengan sekitarnya, tidak nyeri tekan, dan menimbulkan asbes dingin. Apabila dijumpai
kelainan pada sendi panggul biasanya pasien berjalan pincang dan kesulitan berdiri. Kelainan
pada sendi lutut dapat berupa pembengkakan di daerah lutut, pasien sulit berdiri dan berjalan,
dan kadang-kadang ditemukan atrofi otot paha dan betis.
Kerusakan pada tulang akibat serangan kuman TBC seringkali tak menimbulkan gejala.
Perkembangan virus TB di dalam tubuh sangat lamban tergantung pada daya tahan tubuh
penderita. Penderita bisa saja merasakan gejala yang sangat mirip dengan rematik. Inilah
yang akhirnya membuat kebanyakan orang tak mewaspadai adanya masalah yang lebih
serius.

2.6 PATOFISIOLOGI

Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang
sangat kecil, kuman TB dalam droplet nuclei yang terhirup setelah melewati barrier mukosa
basil TB akan mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan
seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respon imunologis
spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada
individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan
memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman
TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan
akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi di tempat
tersebut yang dinamakan fokus ghon (fokus primer).

Melalui saluran limfe kuman akan menyebar menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar
limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan
terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang
terkena. Jika fokus primer terletak di bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahiler, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan
terlibat adalah kelnjar para trakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan
limfadenitis dinamakan kompleks primer.

Masa inkubasi (waktu antara masuknya kuman dengan terbentuknya komplek primer secara
lengkap) bervariasi antara 4-8 minggu. Pada saat terbentuknya komplek primer inilah, infeksi
TB primer terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein yaitu timbulnya respon positif terhadap uji tuberkulin.
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru dapat mengalami salah satu
hal sebagai berikut, mengalami resolusi secara sempurna, atau membentuk fibrosis atau
kalsifikasi setelah mengalami nekrosis pengkejuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional
juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama
bertahun-tahun dalam kelenjar ini.

Selama masa inkubasi sebelum terbentuknya imunitas seluler dapat terjadi penyebaran secara
hematogen dan limfogen. Pada penyebaran limfogen kuman menyebar ke kelenjar limfe
regional membentuk komplek primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB
masuk kedalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh dan disebut penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen sering tersamar (occult hematogenic spread) sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh
tubuh dan biasanya yang dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik terutama
apek paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut kuman TB akan bereplikasi dan
membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi
pertumbuhannya, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman dan bisa terjadi reaktivasi jika
daya tahan tubuh pejamu turun.

Basil TB masuk kedalam tubuh sebagian besar melalui traktus respiratoris. Pada saat terjadi
infeksi primer,karena keadaan umum yang buruk maka dapat terjadi basilemia.penyebaran
terjadi secara hematogen. Basil TB dapat tersangkut di paru,hati,limpa,ginjal dan tulang.
Enam hingga delapan minggu kemudian,respons imunologik timbul dan fokus tadi dapat
mengalami reaksi selular yang kemudian menjadi tidak aktif atau mungkin sembuh
sempurna.Vertebra merupakan tempat yang sering terjangkit tuberkulosis tulang. Penyakit ini
paling sering menyerang korpus vertebra. Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari
satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian saraf sentral,bagian depan, atau daerah epifisial
korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis
dan perlunakan korpus.Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifise.discus
intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan
menyebabkan terjadinya kifosis yang dikenal sebagai gibbus.Berbeda dengan infeksi lain
yang cenderung menetap pada vertebra yang bersangkutan,tuberculosis akan terus
menghancurkan vertebra didekatnya.
Kemudian eksudat (yang trdiri atas serum,leukosit,kaseosa,tulang yang fibrsosis serta basil
tuberkulosa ) menyebar ke depan,dibawah ligamentum longitudinal anterior dan mendesak
aliran darah vertebra didekatnya.Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke
berbagai arah di sepanjang garis ligament yang lemah.

Pada daerah servikal, eksudat terkupul dibelakang fasia paravertebralis dan menyebar ke
lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke
depan dan menonjol kedalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat
berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esophagus, atau kavum pleura. Abses pada
vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks setempat menempati daerah
paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat
menekan medulla spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat
menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada
bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat
mengikuti pembuluh darah femoralis pada trigonum skarpei atau regio glutea.

Abses tuberkulosis biasanya terdapat pada daerah vertebra torakalis atas dan tengah,tetapi
yang paling sering pada vertebra torakalis XII. Bila dipisahkan antara yang menderita
paraplegia dan nonparaplegia maka paraplegia biasanya pada vertebra torakalis X sedang
yang non paraplegia pada vertebra lumbalis. Penjelasan mengenai hal ini sebagai berikut :
arteri induk yang mempengaruhi medulla spinalis segmen torakal paling sering terdapat pada
vertebra torakal VIII sampai lumbal I sisi kiri. Trombosis arteri yang vital ini akan
menyebabkan paraplegia. Faktor lain yang perlu diperhitungkan adalah diameter relatif antara
medula spinalis dengan kanalis vertebralisnya.intumesensia lumbalis mulai melebar kira-kira
setinggi vertebra torakalis X, sedang kanalis vertebralis di daerah tersebut relatif kecil. Pada
vertebra lumbalis I, kanalis vertebralisnya jelas lebih besar oleh karena itu lebih memberikan
ruang gerak bila ada kompresi dari bagian anterior.Hal ini mungkin dapat menjelaskan
mengapa paraplegia lebih sering terjadi pada lesi setinggi vertebra torakal.
2.7 STADIUM TB TULANG

Perjalanan penyakit ini terbagi dalam 5 stadium yaitu:

1. Stadium Implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri
akan
berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6 – 8 minggu. Keadaan ini
umumnya terjadi
pada daerah paradiskus dan pada anak – anak umumnya pada daerah sentral vertebra.

2. Stadium Destruksi Awal


Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta penyempitan
yang
ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3 – 6 minggu.

3. Stadium Destruksi Lanjut


Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra dan terbentuk massa kaseosa
serta
pus yang berbentuk cold abses ( abses dingin ), yang terjadi 2 – 3 bulan setelah stadium
destruksi
awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada
saat ini
terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan ( wedging anterior ) akibat kerusakan korpus
vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.

4. Stadium gangguan neurologis


Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi terutama
ditentukan
oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi
spondilitis tuberkulosa. vertebra thorakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil
sehingga
gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini. Bila terjadi gangguan neurologis,
maka
perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu :

Derajat I : Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktifitas atau
setelah
berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.
Derajat II : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih dapat
melakukan
pekerjaannya.
Derajat III : kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak/aktivitas penderita
serta
hipestesi/anesthesia
Derajat IV : Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan defekasi dan
miksi.
Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung
dari
keadaan penyakitnya.
Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari
absesparavertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya
granulasi
jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif / sembuh terjadi oleh karena
tekanan pada
jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari
jaringan
granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi
destruksi
tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra. Derajat I – III disebut sebagai
paraparesis
dan derajat IV disebut sebagai paraplegia.

5. Stadium deformitas residual


Stadium ini terjadi kurang lebih 3 – 5 tahun setelah timbulnya stadium implantasi. Kifosis
atau gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang masif di sebelah depan
(Savant,2007).
Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran hematogen atau
penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke tulang dari
fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar tulang belakang. Pada penampakannya,
fokus infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat tenang. Sumber infeksi yang paling sering
adalah berasal dari sistem pulmoner dan genitourinarius.
Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang belakang berasal dari focus primer di
paru-paru sementara pada orang dewasa penyebaran terjadi dari focus ekstrapulmoner (usus,
ginjal, tonsil). Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbar yang
memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah bagian bawah
vertebra diatasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batson’s yang
mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang terkena.

2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG

2.8.1 PEMERIKSAAN LABORATORIUM

1. Peningkatan LED dan mungkin disertai dengan leukositosis


2. Uji mantoux positif
3. Pada pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mikrobakterium
4. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional
5. Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel

2.8.2 PEMERIKSAAN RADIOLOGIS

1. Pemeriksaan foto thorax untuk melihat adanya tuberkulosis paru


2. Foto polos vertebrae, ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus vertebrae,
disertai
penyempitan diskus intervertebralis yang berada di antara korpus tersebut dan mungkin dapat
ditemukan adanya massa abses paravetebral.
3. Pada foto AP, abses paravetebral di daerah servikal berbentuk sarang burung ( bird’s nets ),
di
daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses berbentuk fusiform
4. Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebrae yang hebat sehingga timbul kifosis
5. Pemeriksaan foto dengan zat kontras
6. Pemeriksaan melografi dilakukan bila terdapat gejala – gejala penekanan sumsum tulang
7. Pemeriksaan CT scan atau CT dengan mielografi
8. Pemeriksaan MRI
Memiliki kelebihan dalam menggambarkan jaringan lunak dan aman digunkan. MRI juga
memiliki kelebihan dalam mendiagnosa penyakit pada masa dini atau lesi multiple di
bandingan dengan CT dan pemeriksaan radiologic konvensional. Gambaran lesi pada T1
weighted image adalah hypoitense sedangkan pada T2 weight image adalah hipertense. Lesi
juga dapat menjadi lebih jelas dengan injeksi gadolinium DTPA intravena.
Pada spondilitis tuburculosa akan didapat gambaran dengan lingkaran inflamasi dibagian luar
dan sekuester ditengah yang hipointens: tetapi gambaran ini mirip dengan infksi piogenik dan
neuplasma sehingga tidak spesifik untuk spondylitis tuberkulosa.

2.9 PENATALAKSANAAN

Kuman tuberkulosa pada umunya dapat dibunuh atau dihambat dengan pemberian obat-obat
anti tuberkulosa, misalnya kombinasi INH, etambutol, pirazinamid, dan rifampizin. Namun
karena fertebra yang terinfeksi mengalami destruksi dengan pembentukan sekuester dan
perkijuan, maka tindakan bedah menjadi pentin guntuk dapat mengevakuasi sumber infeksi
dan jaringan nekrotik, terutama sekuester.
Destruksi korpus vertebra dapat menyebabkan kompesi terhadap medulla spinalis dan
menyebabkan deficit neurologic, sehingga memerlukan tindakan bedah
Dasar penatalksaan spondylitis tuberkulosa adalah mengistirahatkan vertebra yang sakit,
obat-obat anti tuberkulosa dan pengeluaran abses.

 Terapi konservatif

Pengobatan konservatif yang ketat dapat memberikan hasil yang cukup baik.

a. Istirahat ditempat tidur


Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips terutamapada keadaan akut atau fase aktif.
Istirahat ditempt tidur dapat berlangsung 3-4 minggu, sampai dicapai keadaan yang tenang
secara klinis, radiologi dan laboratoris. Nyeri akan berkurang, sepasme otot-otot
paravertebral menghilang, nafsu makan pulih dan berat badan meningkat, suhu tubuh normal.
Secara laboratoris, laju endap darah menurun, test mantoux diameter kurang 10 mm. pada
pemeriksaan radiologis tidak dijumpai penambahan destruksi tulang, kavitasi ataupun
sekuester.

b. Kemoterapi anti tuberkulosa


Tujuan pemberian obat anti tuberkulosa (OAT) secara umum adalah :
- Menyembuhkan penderita dalam waktu singkat dengan gangguan yang minimal
- Mencegah kematian akibat penyakit atau oleh efek lanjutannya.
- Mencegah kekambuhan
- Mencegah timbulnya kuman yang resisten
- Melindungi masyarakat dari penularan

Pemberian OAT harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:


- Terapi sedini mungkin
- Obat-obat dalam bentuk kombinasi
- Diberikan secara teratur
- Dosis harus cukup
- Diberikan sesuai jangka waktu pemberiannya.

WHO memberikan panduan penggunaan OAT berdasarkan berat ringannya penyakit.


1. Kategori I adalah tuberkulosa yang berat, termasuk tuberculosis paru yang luas,
tuberculosis milier, tuberculosis disseminate, tuberculosis disertaidiabetes militus dan
tuberculosis ekstra pulmonal termasuk spondylitis tuberkulosa.
2. Kategori II adalah tuberculosis paru yang kambuh atau gagal pengobatan
Katogori III adalah tuberculosis paru tersangka aktif.
Panduan OAT untuk spondylitis tuberkulosa sesuai dengan kategori I seperti dalam table I.
INH diberikan sampai 12 bulan. Streptomisin hanya sebagai kombinasi terakhir atau
tambahan pada regimen yang ada. Disamping itu ada OAT tambahan.
panduan OAT untuk setiap kategori
c. Immobilisasi
Pemasangan gips bergantung pada level lesi, pada daerah servikal dapat dilakukan
immobilisasi dengan jaket minerva,pada daerah torakal, torakallumbal dan lumbal atas
immobilisasi dengan body jacket atau gips korset disertai fiksasi pada salah satu
panggul.immobilisasi pada umumnya berlangsung 6 bulan,dimulai sejak penderita diizinkan
rawat jalan.
Selama pengobatan penderita menjalani kontrol berkala dan dilakukan pemeriksaan klinis,
radiologis dan laboratoris.Bila dalam pegamatan tidak tampak kemajuan, maka perlu
difikirkan kemungkinan resistensi obat, adanya jaringan kaseonekrotik dan sekuester, nutrisi
yang kurang baik, makan obat tidak berdisplin.

d. Terapi Operatif

Tujuan terapi operatif adalah menghilangkan sumber infeksi ,mengkoreksi


deformitas,menghilangkan komplikasi neurologik dan kerusakan lebih lanjut.Salah satu
tindakan bedah yang penting adalah debridement yang bertujuan menghilangkan sumber
infeksi dengan cara membuang semua debri dan jaringan nekrotik,benda asing dan
mikroorganisme

Indikasi operasi :

1. Jika terapi konservatif tidak memberikan hasil yang memuaskan,secara klinis dan radilogis
memburuk.
2. Deformitas bertambah,terjadi destruksi korpus multipel
3. Terjadinya kompresi pada medula spinalis dengan atau tidak dengan degisit
neurologik,terdapat
abses paravertebral
4. Lesi terletak torakolumbal,torakal tengah dan bawah pada penderita anak.lesi pada daerah
ini
akan menimbulkan deformitas berat pada anak dan tidak dapat ditanggulangi hanya dengan
OAT.
5. Radiologis menunjukkan adanya sekuester ,kavitasi dan kaseonekrotik dalam jumlah
banyak
Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat. Kifosis mempunyai tendensi
untuk
bertambah berat terutama pada anak –anak. Tindakan operatif dapat berupa fusi posterior
atau
melalui operasi radikal.

2.10 KOMPLIKASI

Kerusakan tulang atau sendi dapat terjadi dalam beberapa minggu atau bulan jika terapi yang
tidak adekuat diberikan. Deformitas berkaitan dengan kerusakan sendi, bentukan abses yang
meluas ke tempat yang berdekatan dengan jaringan lunak, dan bentukan sinus sering
ditemukan. Paraplegia merupakan komplikasi paling serius dari tuberkulosis tulang belakang.
Sebagai bentuk penyembuhan lesi sendi yang hebat, ankilosis tulang atau jaringan fibrosa
spontan akan terjadi.

BAB 3
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan. Pengkajian di lakukan
dengan cermat untuk mengenal masalah klien, agar dapat memeri arah kepada tindakan
keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat tergantung pada kecermatan dan
ketelitian dalam tahap pengkajian. Tahap pengkajian terdiri dari tiga kegiatan yaitu :
pengumpulan data, pengelompokan data, perumusan diagnosa keperawatan. ( Lismidar 1990
: 1)

3.1.1 Pengumpulan data.


Secara tehnis pengumpulan data di lakukan melalui anamnesa baik pada klien, keluarga
maupun orang terdekat dengan klien.
Pemeriksaan fisik di lakukan dengan cara , inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.

1. Identitas klien
meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, status perkawinan, agama, suku bangsa,
pendidikan, alamat, tanggal/jam MRS dan diagnosa medis.

2. Keluhan utama
Klien mengatakan nyeri punggung.

3. Riwayat penyakit sekarang.


Klien Spodilitis tuberkulosa terdapat nyeri pada punggung bagian bawah, sehingga
mendorong klien berobat kerumah sakit. Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang
mengelilingi dada atau perut. Nyeri dirasakan meningkat pada malam hari dan bertambah
berat terutama pada saat pergerakan tulang belakang. Selain adanya keluhan utama tersebut
klien bisa mengeluh, nafsu makan menurun, badan terasa lemah, sumer-sumer (Jawa) ,
keringat dingin dan penurunan berat badan.

4. Riwayat penyakit dahulu


Tentang terjadinya penyakit Spondilitis tuberkulosa biasany pada klien di dahului dengan
adanya riwayat pernah menderita penyakit tuberkulosis paru. ( R. Sjamsu hidajat, 1997 : 20).

5. Riwayat kesehatan keluarga.


Pada klien dengan penyakit Spondilitis tuberkulosa salah satu penyebab timbulnya adalah
klien pernah atau masih kontak dengan penderita lain yang menderita penyakit tuberkulosis
atau pada lingkungan keluarga ada yang menderita penyakit menular tersebut.

6. Riwayat psikososial
Klien akan merasa cemas terhadap penyakit yang di derita, sehingga kan kelihatan sedih,
dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit, pengobatan dan perawatan terhadapnya
maka penderita akan merasa takut dan bertambah cemas sehingga emosinya akan tidak stabil
dan mempengaruhi sosialisai penderita.

7. Pola - pola fungsi kesehatan

a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat.


Adanya tindakan medis serta perawatan di rumah sakit akan mempengaruhi persepsi klien
tentang kebiasaan merawat diri , yang dikarenakan tidak semua klien mengerti benar
perjalanan penyakitnya.Sehingga menimbulkan salah persepsi dalam pemeliharaan
kesehatan. Dan juga kemungkinan terdapatnya riwayat tentang keadaan perumahan, gizi dan
tingkat ekonomi klien yang mempengaruhi keadaan kesehatan klien.

b. Pola nutrisi dan metabolisme.


Akibat dari proses penyakitnya klien merasakan tubuhnya menjadi lemah dan amnesia.
Sedangkan kebutuhan metabolisme tubuh semakin meningkat, sehingga klien akan
mengalami gangguan pada status nutrisinya. ( Abdurahman, et al 1994 : 144)

c. Pola eliminasi.
Klien akan mengalami perubahan dalam cara eliminasi yang semula bisa ke kamar mandi,
karena lemah dan nyeri pada punggung serta dengan adanya penata laksanaan perawatan
imobilisasi, sehingga kalau mau BAB dan BAK harus ditempat tidur dengan suatu alat.
Dengan adanya perubahan tersebut klien tidak terbiasa sehingga akan mengganggu proses
aliminasi.

d. Pola aktivitas.
Sehubungan dengan adanya kelemahan fisik dan nyeri pada punggung serta penatalaksanaan
perawatan imobilisasi akan menyebabkan klien membatasi aktivitas fisik dan berkurangnya
kemampuan dalam melaksanakan aktivitas fisik tersebut.

e. Pola tidur dan istirahat.


Adanya nyeri pada punggung dan perubahan lingkungan atau dampak hospitalisasi akan
menyebabkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan tidur dan istirahat.

f. Pola hubungan dan peran.


Sejak sakit dan masuk rumah sakit klien mengalami perubahan peran atau tidak mampu
menjalani peran sebagai mana mestinya, baik itu peran dalam keluarga ataupun masyarakat.
Hal tersebut berdampak terganggunya hubungan interpersonal.

g. Pola persepsi dan konsep diri.


Klien dengan Spondilitis tuberkulosa seringkali merasa malu terhadap bentuk tubuhnya dan
kadang - kadang mengisolasi diri.

h. Pola sensori dan kognitif.


Fungsi panca indera klien tidak mengalami gangguan terkecuali bila terjadi komplikasi
paraplegi.

i. Pola reproduksi seksual.


Kebutuhan seksual klien dalam hal melakukan hubungan badan akan terganggu untuk
sementara waktu, karena di rumah sakit. Tetapi dalam hal curahan kasih sayang dan perhatian
dari pasangan hidupnya melalui cara merawat sehari - hari tidak terganggu atau dapat
dilaksanakan.

j. Pola penaggulangan stres.


Dalam penanggulangan stres bagi klien yang belum mengerti penyakitnya , akan mengalami
stres.Untuk mengatasi rasa cemas yang menimbulkan rasa stres, klien akan bertanya - tanya
tentangpenyakitnya untuk mengurangi stres.

k. Pola tata nilai dan kepercayaan.


Pada klien yang dalam kehidupan sehari - hari selalu taat menjalankan ibadah, maka semasa
dia sakitia akan menjalankan ibadah pula sesuai dengan kemampuannya. Dalam hal ini
ibadah bagi mereka dijalankan pula sebagai penaggulangan stres dengan percaya pada
tuhannya.

8. Pemeriksaan fisik.
a. Inspeksi.
Pada klien dengan Spondilitis tuberkulosa kelihatan lemah, pucat, dan pada tulang belakang
terlihatbentuk kiposis.

b. Palpasi.
Sesuai dengan yang terlihat pada inspeksi keadaan tulang belakang terdapat adanya gibus
pada
areatulang yang mengalami infeksi.

c. Perkusi.
Pada tulang belakang yang mengalami infeksi terdapat nyeri ketok.

d. Auskultasi.
Pada pemeriksaan auskultasi keadaan paru tidak di temukan kelainan.
(Abdurahman, et al 1994 : 145 ).

9. Hasil pemeriksaan medik dan laboratorium.


a. Radiologi
• Terlihat gambaran distruksi vertebra terutama bagian anterior, sangat jarang menyerang
area
posterior.
• Terdapat penyempitan diskus.
• Gambaran abses para vertebral ( fusi form ).
b. Laboratorium
• Laju endap darah meningkat
c. Tes tuberkulin.
• Reaksi tuberkulin biasanya positif.
3.1.2 Analisa

Setelah data di kumpulkan kemudian dikelompokkan menurut data subjektif yaitu data yang
didapat dari pasien sendiri dalm hal komukasi atau data verbal dan objektiv yaitu data yang
didapat dari pengamatan, observasi, pengukuran dan hasil pemeriksaan radiologi maupun
laboratorium. Dari hasil analisa data dapat disimpulkan masalah yang di alami. oleh klien. (
Mi Ja Kim,et al 1994 ).

3.1.3 Diagnosa Keperawatan.

Diagnosa keperawatan merupakan suatu pernyataan dari masalah klien yang nyata ataupun
potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan, yang pemecahannya dapat dilakukan
dalam batas wewenang perawat untuk melakukannya. ( Tim Departemen Kesehatan RI, 1991
: 17 ).

1. Diagnosa keperawatan yang timbul pada pasien Spondilitis tuberkulosa adalah:


a) Gangguan mobilitas fisik
b) Gangguan rasa nyaman ; nyeri sendi dan otot.
( Susan Martin Tucker, 1998 : 445 )

2. Perencanaan Keperawatan.Perencanaan keperawatan adalah menyusun rencana tindakan


keperawatan yang akan di laksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa
keperawatan yang telah di tentukan dengan tujuan terpenuhinya kebutuhan klien.( Tim
Departemen
Kesehatan RI, 1991 :20 ).

Adapun perencanaan masalah yang penulis susun sebagai berikut :


a) Diagnosa Perawatan I

Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal dan nyeri.


Tujuan
o Klien dapat melakukan mobilisasi secara optimal.

Kriteria hasil
o Klien dapat ikut serta dalam program latihan
o Mencari bantuan sesuai kebutuhan
o Mempertahankan koordinasi dan mobilitas sesuai tingkat optimal.

Rencana tindakan
1. Kaji mobilitas yang ada dan observasi terhadap peningkatan kerusakan.
2. Bantu klien melakukan latihan ROM, perawatan diri sesuai toleransi.
3. Memelihara bentuk spinal yaitu dengan cara :
o Mattress
o Bed Board ( tempat tidur dengan alas kayu, atau kasur busa yang keras yang tidak
menimbulkan
lekukan saat klien tidur.
4. Mempertahankan postur tubuh yang baik dan latihan pernapasan ;
o Latihan ekstensi batang tubuh baik posisi berdiri ( bersandar pada tembok ) maupun posisi
menelungkup dengan cara mengangkat ekstremitas atas dan kepala serta ekstremitas bawah
secara
bersamaan.
o Menelungkup sebanyak 3 – 4 kali sehari selama 15 – 30 menit
o Latihan pernapasan yang akan dapat meningkatkan kapasitas pernapasan.
5. Monitor tanda –tanda vital setiap 4 jam.
6. Pantau kulit dan membran mukosa terhadap iritasi, kemerahan atau lecet – lecet.
7. Perbanyak masukan cairan sampai 2500 ml/hari bila tidak ada kontra indikasi.
8. Berikan anti inflamasi sesuai program dokter. Observasi terhadap efek samping : bisa tak
nyaman
padalambung atau diare.

Rasional
1. Mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas.
2. Untuk memelihara fleksibilitas sendi sesuai kemampuan.
3. Mempertahankan posisi tulang belakang tetap rata.
4. Di lakukan untuk menegakkan postur dan menguatkan otot – otot paraspinal.
5. Untuk mendeteksi perubahan pada klien.
6. Deteksi diri dari kemungkinan komplikasi imobilisasi.
7. Cairan membantu menjaga faeces tetap lunak.
8. Obat anti inflamasi adalah suatu obat untuk mengurangi peradangan dan dapat
menimbulkan efek
samping.

b)Diagnosa Keperawatan II

Gangguan rasa nyaman : nyeri sendi dan otot sehubungan dengan adanya peradangan sendi.

Tujuan
o Rasa nyaman terpenuhi
o Nyeri berkurang / hilang

Kriteria hasil
o klien melaporkan penurunan nyeri
o menunjukkan perilaku yang lebih relaks
o memperagakan keterampilan reduksi nyeri yang dipelajari dengan peningkatan
keberhasilan.

Rencana tindakan
1. Kaji lokasi, intensitas dan tipe nyeri; observasi terhadap kemajuan nyeri ke daerah yang
baru.
2. Berikan analgesik sesuai terapi dokter dan kaji efektivitasnya terhadap nyeri.
3. Gunakan brace punggung atau korset bila di rencanakan demikian.
4. Berikan dorongan untuk mengubah posisi ringan dan sering untuk meningkatkan rasa
nyaman.
5. Ajarkan dan bantu dalam teknik alternatif penatalaksanaan nyeri.
Rasional.
1. Nyeri adalah pengalaman subjek yang hanya dapat di gambarkan oleh klien sendiri.
2. Analgesik adalah obat untuk mengurangi rasa nyeri dan bagaimana reaksinya terhadap
nyeri klien.
3. Korset untuk mempertahankan posisi punggung.
4. Dengan ganti – ganti posisi agar otot – otot tidak terus spasme dan tegang sehingga otot
menjadi
lemas dan nyeri berkurang.
5. Metode alternatif seperti relaksasi kadang lebih cepat menghilangkan nyeri atau dengan
mengalihkan perhatian klien sehingga nyeri berkurang.

BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Tuberculosis (TBC) tulang adalah penyakit yang disebabkan oleh virus


mycobacterium tuberculosa.Tuberculosa tulang adalah suatu proses peradangan kronik dan
destruktif yang disebabkan basil tuberkulosa yang menyebar secara hematogen dari focus
jauh.virus ini menyebar lewat udara. Pintu masuk pada tubuh manusia adalah lewat saluran
pernafasan /paru-paru. Perkembangan virus TBC, didalam tubuh sangat lamban, tergantung
pada daya tahan tubuh orang yang bersangkutan.

4.2 Saran

Semoga kita semua dapat lebih memahami dan mengetahui tentang penyakit TB Tulang serta
dapat meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta kita dalam penanggulangan TB
Tulang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Samsuhidajat, Wim de Jong. Sistem Muskuloskeletal. Buku Ajar Ilmu Bedah.
EGC, 2003,hlm 907– 910.
2. Rasjad Chairuddin. Infeksi dan Inflamasi. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi.
Makasar : Bintang Lamumpatue; 2003. Hal. 144 – 149.
3. http://ifan050285.wordpress.com/2010/03/18/tuberkulosis-tulang/
4. http://www.meddean.luc

Asuhan Keperawatan Dengan Tuberculosis


Tulang
AB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberkulosis tulang belakang merupakan : Infeksi yang sifatnya kronis
berupa infeksi granulomatosis disebabkan oleh kuman spesifik, yaitu
mycobacterium tuberculosa yang mengenai tulang vertebra.
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberculosis di
tempat lain di tubuh. 90 – 95% disebabkan oleh mikobacterium tuberkulosa tipik
(2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5 – 10 % oleh mikobakterium
tuberkulosis atipik.
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
mycobacterium tuberkulosa. Pada tahun 1995 diperkirakan ada 9 juta pasien TB
baru dan 3 juta kematian akibat TB di seluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB
dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi pada negara – negara berkembang.
Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian akibat
kehamilan, persalinan dan nifas. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang
paling produktif secara ekonomis (15 – 50 tahun). Indonesia adalah kontributor
penderita TV no. 3 di dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan terdapat 583.000
kasus baru TB per tahun. Sebagian besar penderita berada alam usia produktif (15 –
54 tahun) dengan tingkat sosioekonomi dan pendidikan yang rendah. Keterlibatan
tulang belakang akan memperberat morbiditas karena adanya potensi defisit
neurologis dan deformitas yang permanen. Ironisnya tulang belakang adalah kolasi
infeksi TB tulang dan tersering, mencakup 50%, seluruh penderita TB
osteoartikular. Pertuiset, dkk mencatat pada sebuah penelitian, di Prancis tahun 1980
– 1994, spondilitis tuberkulosis merupakan 15% semua kasus TB ekstrapulmoner
dan merupakan 3-5 % semua kasus TB. Hidlago melaporkan di AS tahun 1986 –
1990 TB osteoartikular merupakan 10 % dari kasus TB ekstrapulmoner dan 1,8%
dari semua kasus TB. Hidlago dan Pertuiset, dkk melaporkan adanya predominasi
pria terhadap wanita. Didapatkan insiden lebih besar pada anak – anak terutama
pada negara dengan prevalensi TB yang tinggi. Anak – anak dibawah
usia10 tahun cenderung mengalami destruksi vertebra lebih ekstensif dan memiliki
resiko terjadinya deformitas tulang belakang yang lebih besar.
Penatalaksanaan pada tuberkolusis tulang belakang harus dilakukan sesegara
mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia,
dengan cara :
- Pemberian obat antituberkulosis
- Dekompresi medulla spinalis
- Menghilangkan produk infeksi
- Stabilisasi vertebra dengan graft tulang

B. Tujuan Penulisan
Tujuan Umum :
Mahasiswa mampu memahami Konsep Dasar Teori pada Tuberculosis tulang
Tujuan Khusus :
1. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada klien dengan tuberculosis tulang
2. Mahasiswa mampu menegakkan diagnosa keperawatan pada klien dengan
tuberculosis tulang
3. Mahasiswa mampu menentukan intervensi keperawatan pada klien dengan
tuberculosis tulang
4. Mahasiswa mampu melakukan implementasi keperawatan pada klien dengan
tuberculosis tulang
5. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi keperawatan pada klien dengan
tuberculosis tulang

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP DASAR TEORI


1. DEFENISI
 Tuberculosis Tulang adalah : Peradangan granulomatosa yang bersifat
kronis destruktif oleh Mycobacterium
tuberculosis dan merupakan infeksi sekunder
dari fokus jauh di tempat lain dalam tubuh. (Arif
Muttaqin, 2008)
 Tuberkulosis Tulang adalah : Infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi
granulomatosis di srebabkan oleh kuman
spesifik yaitu Mycobacterium tuberculosis yang
mengenai tulang vertebra. (Abdurrahman, 1994)

2. ETIOLOGI
Penyebab Tuberculosis tulang belakang adalah infeksi sekunder dari
tuberculosis di tempat lain dalam tubuh ; 90-95% di sebabkan oleh
mycobacterium tuberculosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovine)
dan 5-10% oleh mycobacterium tuberculosis atipik. (Arif Muttaqin, 2008).
3. PATOFISIOLOGI
Penyakit ini pd umumnya mengenai lebih dari satu vertebra.Infeksi berawal
dari bagian sentral, bagian depan atau daerah epifisial korpus vertebra.Kemudian
terjadi hiperemia dan eksudasi yg menyebabkan osteoporosis dan perlunakan
korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus invertebralis
dan vertebra sekitarnya.Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan
menyebabkan terjadinya kifosis. Kemudian eksudat yang terdiri
atas serum, leukosit, tulang yang fibrosis serta basil tuberculosa menyebar ke
depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior.Eksudat ini dapat menembus
ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligamen yang
lemah. Pada daerah vertebra servikalis, eksudat terkumpul di belakang
paravertebral dan menyebar ke lateral di belakang muskulus
sternokleidomastoideus.
Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan dan ke dalam faring yang di kenal
sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan mengisis tempat trakea, esofagus,
atau kavum pleura. Abses pada vertebra thorakalis biasanya tetap tinggal pada
daerah thoraks setempat menempati daerah paravertebral,berbentuk massa yang
menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medula spinalis
sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk
mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinale pada
bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan
mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoral pada trigonum skarpei atau
regio gluteal.
Kumar membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium, yaitu :
1) Stadium Implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, bila daya tahan tubuh klien menurun
bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8
minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada
anak-anak umumnya terjadi pada daerah sentral vertebra.
2) Stadium Destruksi awal
Setelah stadium implantasi terjadi destruksi korpus vertebra serta
penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6
minggu.
3) Stadium Destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra, dan terbentuk
massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses yang terjadi 2-3 bulan
setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta
kerusakan diskus invertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di
sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra yang
menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.
4) Stadium Gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi,
tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan
ini di temukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberculosa. Vertebra
thorakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan
neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.

5) Stadium Deformitas residual


Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium
implantasi. Kifosis atau gibus bersifat permanen karena kerusakan vertebra
yang masif di sebelah depan.(Arif Muttaqin, 2008)

4. GEJALA KLINIS
- Tanda awal berupa bengkak
- Nyeri dan keterbatasan lingkup gerak sendi
- Kulit di atas daerah yang terkena teraba panas
- Badan lemah, lesu
- Napsu makan berkurang
- Berat badan menurun
- Pucat, di sebabkan karena salah satu fungsi dari tulang adalah sebagai
produksi sel darah merah di mana apabila adanya invasi kuman
mycobacterium tuberculosis menyebabkan akan menghambat produksi sel
darah merah sehingga gejala yang muncul adalah pucat.
- Suhu tubuh meningkat/ febris
- Gangguan pergerakan tulang belakang akibat spasme/gibus

5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a) Laboratorium
 Peningkatan LED dan mungkin di sertai dengan leukositosis
 Uji mantoux positif
 Pada pemeriksaan biakan kuman mungkin di temukan mycrobacterium
 Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional
 Pemeriksaan histopatologis dapt di temukan tuberkel
b) Radiologis
 Pemeriksaan foto thoraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru
 Foto polos vertebra, di temukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi
korpus vertebra di sertai penyempitan diskus invertebralis yang berada di
korpus tsb dan mungkin dapat di temukan adanya massa abses
paravertebral.
 Pada foto AP, abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang
burung, di daerah thorakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses
berbentuk fusiform
 Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga timbul
kifosis
 Pemeriksaan foto dengan zat kontras
 Pemeriksaan mielografi di lakukan bila terdapat gejala-gejala penekanan
sumsum tulang
 Pemeriksaan CT scan dan MRI membantu menunjukkan perluasan infeksi
pada jaringan paraspinal.

6. PENATALAKSANAAN
Pada prinsipnya pengobatan tuberculosis tulang belakang harus di lakukan
sesegera mungkin untuk menghentikan progresifitas penyakit serta mencegah
paraplegia. Pengobatannya terdiri atas :
a. Terapi konservatif berupa :
 Tirah baring
 Memperbaiki keadaan umum penderita
 Pemasangan brace pada penderita yang di operasi maupun yang tidak di
operasi
 Pemberian obat anti tuberkulosa, terdiri dari :
 INH dengan dosis oral 5 mg/kg BB per hari dengan dosis maksimal 300
mg. Dosis oral pada anak-anak 10 mg/kg BB.
 Asam para-amino salisilat, dosis oral 8-12 mg/kg BB.
 Etambutol, dosis oral 15-25 mg/kg BB per hari
 Rifampisin, dosis oral 10 mg/kg BB untuk anak-anak dan pada orang
dewasa 300-400 mg per hari
 Streptomisin, pada saat ini tidak di gunakan lagi.
b. Terapi operatif
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi
penderita tuberkulosis tulang belakang namun tindakan operatif masih
memegang peranan penting dalam beberapa hal yaitu bila terdapat cold abses,
lesi tuberkulosa, paraplegia dan kifosis.
Indikasi Operasi :
 Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah
semakin berat.
 Adanya abses yang besar sehingga di perlukan drainase secara terbuka dan
sekaligus debridement serta bone graft
 Pada pemeriksaan Radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun
pemeriksaan CT dan MRI di temukan adanya penekanan langsung pada
medula spinalis

7. KOMPLIKASI
Paraplegia
Cold abses
Lesi tuberculosa
Kifosis
Patofisiologi b/d Penyimpangan KDM

Etiologi

Perubahan pada vertebra Mycobakterium tuberculosa


servikalis

Kerusakan korpus vertebra Infeksi secara haemotogen TB paru


Dan terjadi angulasi vertebra Pada bagian sentral/depan
Ke depan atau daerah epifisial korpus vertebra

Perubahan diskus Hiperemi dan eksudasi


Intervertebralis servikal

Mobilitas leher terganggu Osteoporosis & perlunakan

Leher menjadi kaku dan Perusakan tulang & penjalaran


Pembentukan abses pada infeksi ke ruang diskus &
Faring vertebra yang berdekatan
Gangguan dalam proses Perkijuan jaringan tulang & pembentukan Perubahan pada
menelan abses dingin menjalar ke bagian vertebra
lumbalis lunak paravertebra

Asupan nutrisi tidak adekuat Penekanan korda


TUBERKULOSIS TULANG

& radiks saraf

Nutrisi kurang dari


Kebutuhan tubuh

oleh
pembesaran abses/tulang
yang
bergeser
Proses inflamasi : Perubahan pada vertebra

Hiperemi, pembengkakan thorakalis Paraplegia,


stimulus nyeri

Merangsang hipotalamus Kerusakan korpus vertebra pada pinggang


Dan terjadi angulasi vertebra
Pelepasan pirogen/endogen ke depan kelemahan fisik
Intoleransi aktivitas

Demam Perubahan vertebra menjadi


kifosis

Hipertermi

Penurunan kemampuan maksimal


Dalam melakukan respirasi, batuk Penekanan Lokasl
Efektif paraplegia

Kompresi radiks syaraf Akumulasi sekret meningkat

Resiko kerusakan
Integritas kulit

pada vertebra thorakalis


Bersihkan jalan nafas
inefektif

Stimulus nyeri

Nyeri dipersepsikan

Nyeri

B. KONSEP DASAR ASKEP


1. PENGKAJIAN
1) Anamnesis
a) Identitas klien, meliputi nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register,
asuransi kesehatan dan diagnosis medis.
b) Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan
kesehatan adalah paraparesis, gejala paraplegia, keluhan gangguan
pergerakan tulang belakang dan adanya nyeri tulang belakang. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang nyeri klien dapat
menggunakan metode PQRST.
 Proviking incident
Hal yang menjadi faktor presipitasi nyeri adalah adanya peradangan
pada tulang belakang
 Quality of pain
Nyeri yang di rasakan klien bersifat menusuk dan nyeri sering di
sertai dengan parestesia
 Region
Kaji apakah nyeri dapat reda, apakah nyeri menjalar atau menyebar
karena pada beberapa kasus nyeri sering menjalar dari tulang
belakang ke pinggul dan menjalar ke tungkai. Selain itu kaji di mana
nyeri terjadi, apakah nyeri terlokalisasi dan sebatas apa
 Severity (scale) of pain
Nyeri biasanya 1-3 pada penilaian skala nyeri 0-4
 Time
Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah kondisi nyeri
berlangsung terus menerus atau hilang timbul.
c) Riwayat penyakit sekarang
Keluhan yang di dapat : tanda awal berupa bengkak, napsu makan
berkurang, berat badan menurun, nyeri dan keterbatasan lingkup gerak
sendi, kulit di atas daerah yang terkena teraba panas, badan lemah lesu,
pucat, suhu tubuh meningkat, gangguan pergerakan akibat spasme atau
gibus

d) Riwayat penyakit dahulu


Ada keluhan riwayat TB paru dan penggunaan obat antituberkulosis
(OAT). Penyakit lain seperti hipertensi, DM perlu juga di kaji untuk
mengidentifikasi penyulit pada penatalaksanaan dan implementasi
keperawatan
e) Pengkajian psikososiospiritual
Mengkaji mekanisme koping yang di gunakan klien untuk menilai respon
emosi terhadap penyakit yang di deritanya dan perubahan peran klien
dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga/masyarakat. Selain itu kaji
apakah memeberi dampak pada status ekonomi klien.
2) Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada kebutuhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya di lakukan per sistem (B1-B6)
dengan fokus pemeriksaan B6 yang terarah dan di hubungkan dengan
kebutuhan klien.
 Keadaan umum
Pada keadaan tuberculosis tulang, klien umumnya tidak mengalami
penurunan kesadaran. Adanya perubahan TTV yang meliputi bradikardi
dan hipotensi sering berhubungan dengan penurunan aktivitas secara
umum akibat adanya hambatan dalam melakukan mobilitas ekstremitas.
 B1 (Breathing)
Pada fase awal biasanya tidak di dapatkan kelainan pada sistem
pernapasan. Sedangkan hasil pemeriksaan fisisk dengan fase penurunan
aktivitas yang parah pada inspeksi di apatkan bahwa klien batuk,
peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu
napas, peningkatan frekuensi pernapasan. Pada palpasi ditemukan taktil
fremitus seimbang kanan dan kiri, pada perkusi di temukan adanya
resonan pada seluruh lapang paru. Pada auskultasi didapatkan suara
napas tambahan seperti ronki pada klien dengan peningkatan produksi
sekret dan kemampuan batuk yang menurun pada klien dengan
penurunan tingkat kesadaran/koma.

 B2 (Blood)
Pada keadaan Tb tulang dengan komplikasi paraplegia yang lama
biasanya akan di dapatkan adanya Hipotensi ortostatik (penurunan TD
sistolik ≤ 25 mm Hg dan diastolik ≤ 10 mm Hg ketika klien bangun dari
posisi berbaring ke posisi duduk). Pada tb tulang tanpa paraplegia tidak
di dapatkan kelainan pada sistem cardiovaskular.
 B3 (Brain)
Tingkat kesadaran biasanya komposmentis
 B4 (Bladder)
Pada Tb tulang daerah thorakal dan servikal tidak ada kelainan tetapi
pada daerah lumbal sering di dapatkan keluhan inkontinensia urine,
ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan eliminasi urine.
 B5 (Bowel)
Pada klien Tb tulang sering ditemukan penurunan nafsu makan dan
gangguan menelan karena adanya stimulus nyeri menelan dari abses
faring sehingga pemenuhan kebutuhan nutrisi menjadi berkurang.
 B6 (Bone)
 Look
Kurvatura tulang belakang mengalami deformitas (kifosis) terutama
pada tb tulang daerah torakal, pada daerah lumbalis adanya abses
pada daerah bokong dan pinggang, daerah servikal terdapat kekakuan
leher.
 Feel
Kaji adanya nyeri tekan pada daerah spondilitis.
 Move
Terjadi kelemahan anggota gerak dan gangguan pergerakan tulang
belakang. Biasanya seluruh gerakan terbatas dan usaha tersebut
menimbulkan spasme otot.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Intoleransi aktivitas b/d paraplegia, paralisis ektremitas bawah, kelemahan
fisik
2. Bersihan jalan napas in efektif b/d penumpukan sputum, ketidakmampuan
batuk efektif
3. Nyeri b/d kompresi syaraf dan refleks spasme otot sekunder pada tulang
belakang
4. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan kemampuan dalam
menelan makanan
5. Hipertermi b/d inflamasi pada tulang dan sendi
6. Resiko kerusakan integritas kulit b/d penekanan lokal paraplegia

3. INTERVENSI

Dx. I. Intoleransi aktivitas b/d paraplegia, paralisis ekstremitas bawah,


kelemahan
Fisik
Tujuan : Klien dapat menunjukkan cara melakukan mobilisasi secara
optimal sesuai dengan kondisi daerah spondilitis
Ktiteria hasil : Klien mampu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai
dengan tingkat kemampuan, mengidentifikasi individu yang
dapat membantu, klien terhindar dari cidera.
Intervensi :
1. Kaji kemampuan dan tingkat penurunan dalam melakukan mobilisasi
R/ : Membantu dalam mengantisispasi dan merencanakan pertemuan
untuk kebutuhan individual
2. Hindari apa yang tidak dapat di lakukan oleh klien dan bantu bila perlu
R/ : Klien dalam keadaan cemas dan tergantung sehingga hal ini di
lakukan untuk mencegah frustasi dan menjaga harga diri klien.
3. Atur posisi telentang dan letakkan gulungan handuk/bantal di area bawah
bagian punggung yang sakit dengan menjaga kondisi kurvatura tu;lang
belakang dalam kondisi optimal
R/ : Mengurangi kemungkinan stimulus nyeri, kontraktur sendi, dan
memungkinkan untuk pergerakan optimal pada ekstremitas atas.
4. Sokong kaki bawah yang mengalami paraplegia dengan bantal dalam posisi
jari-jari kaki menghadap langit
R/ : Adanya bantal akan mencegah terjadinya rotasi luar kaki dan
mengurangi tekanan pada jari-jari kaki

5. Lakukan latihan ROM


R/ : Latihan yang efektif dan berkesinambungan akan mencegah terjadinya
kontraktur sendi dan atrofi otot yang sering terjadi pada pasien
spondilitis tuberkulosa
6. Ajak klien untuk berpikir positif terhadap kelemahan yang dimilikinya
R/ : Klien memerlukan empati tetapi perawat perlu mengetahui perawatan
yang konsisten dalam menangani klien.
7. Kolaborasi pemberian OAT
R/ : Pemberian regimen OAT sesuai panduan akan mengatasi masalah
utama pada klien spondilitis tuberculosa

Dx. II. Bersihan jalan napas inefektif b/d penumpukan sputum dan
Ketidakmampuan batuk efektif.
Tujuan : Terjadi peningkatan keefektifan pembersihan jalan napas dan
aspirasi dapat di cegah
Kriteria hasil : Frekuensi pernapasan dalam batas normal, suara napas
terdengar bersih, klien menunjukkan batuk yang efektif, tidak
ada lagi penumpukan sekret di jalan napas.
Intervensi :
1. Kaji keadaan jalan napas
R/ : Obstruksi mungkin dapat di sebabkan oleh akumulasi sekret, sisa
cairan mukus
2. Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi suara napas pada kedua paru
R/ : Pergerakan dada yang simetris dengan suara napas yang keluar dari
paru-paru menandakan jalan napas tidak terganggu.
3. Anjurkan klien untuk melakukan teknik batuk efektif
R/ : Batuk yang efektif dapat mengeluarkan sekret dari saluran napas
4. Berikan minuman hangat jika keadaan memungkinkan
R/ : Membantu pengenceran sekret dan mempermudah pengeluaran sekret
5. Atur / ubah posisi secara teratur tiap 2 jam
R/ : Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi segmen paru-paru,
mengurangi resiko atelektasis.

6. Ajarkan klien tentang metode yang tepat untuk pengontrolan batuk


R/ : Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif
menyebabkan frustasi.
7. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian therapi mukolitik dan
ekspectoran
R/ : Mukolitik merupakan agens untuk mobilisasi sekret, ekspektoran
untuk memudahkan pengeluaran atau mobilisasi lendir dan
mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

Dx. III. Nyeri b/d kompresi syaraf dan refleks spasme otot sekunder pada tulang
belakang.
Tujuan : Nyeri dapat berkurang atau teratasi
Kriteria hasil : Secara subjektif klien melaporkan nyeri berkurang atau dapat
teratasi, dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan
nyeri/ mengurangi nyeri, klien tidak gelisah.
Intervensi :
1) Kaji skala nyeri
R/ : Nyeri merupakan respon subjektif yang dapat di kaji dengan
menggunakan skala nyeri.
2) Bantu klien dalam mengidentifikasi faktor pencetus
R/ : Nyeri di pengaruhi oleh kecemasan, ketegangan, suhu, distensi
kansung kemih dan berbaring lama.
3) Jelaskan dan bantu klien terkait dengan tindakan pereda nyeri non
farmakologi dan noninvasif
R/ : Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi
lainnya menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri
4) Ajarkan teknik relaksasi
R/ : Akan melancarkan peredaran darah sehingga kebutuhan 02 pada
jaringan terpenuhi dan mengurangi nyeri.
5) Lakukan masase ringan di sekitar nyeri
R/ : Akan melancarkan peredaran darah sehingga kebutuhan 02 pada
jaringan terpenuhi dan merupakan salah saru teknik distraksi yang
efektif pada saat nyeri ada.

6) Ciptakan suasana lingkungan yang tenang


R/ : Untuk mengurangi stimulus nyeri eksternal
7) Hadirkan keluarga atau orang terdekat pada saat episode nyeri
R/ : Apabila tidak ada keluarga/ teman sering kali pengalaman nyeri
membuat klien semakin tertekan.
8) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian therapi analgetik
R/ : Analgesik memblok lintasan nyeri dehingga nyeri akan berkurang

Dx. IV. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan kemampuan dalam
menelan makanan
Tujuan : Keseimbangan nutrisi dapat terpenuhi
Ktiteria hasil : Klien mendemonstrasikan asupan makanan yang adekuat, tidak
ada penurunan BB lebih lanjut.
Intervensi :
1. Pantau persentase jumlah makanan yang di konsumsi setiap kali makan,
timbang BB tiap hari.
R/ : Mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari sasaran yang di
harapkan
2. Berikan perawatan mulut tiap 6 jam, pertahankan kesegaran ruangan
R/ : Bau yang tidak menyenangkan dapat mempengaruhi napsu makan.
3. Anjurkan klien untuk mengkonsumsi makanan lunak tinggi kalori tinggi
protein
R/ : Membantu untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
4. Berikan makanan lunak dengan porsi sedikit tetapi sering yang mudah di
kunyah
R/ : Makanan lunak dengan porsi sedikit tetapi sering akan mengurangi
sensasi nyeri pada proses menelan akibat abses faring yang terjadi
pada spondilitis tuberculosa pada daerah servikal.
5. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk membantu memilih makanan yang dapat
memenuhi kebutuhan nutrisiselam sakit
R/ : Ahli gizi adalah spesialisasi dalam hal nutrisi yang dapat membantu
klien memilih makanan sehingga dapat memenuhi kebutuhan kalori
dan kebutuhan nutrisi sesuai dengan keadaan sakitnya, usia, tinggi dan
BB.

Dx. V. Hipertermi b/d inflamasi pada tulang dan sendi


Tujuan : Suhu tubuh dal;am batas normal, bebas dari kedinginan
Kriteria hasil : Tidak mengalami komplikasi yang berhubungan dengan
spondilitis tuberculosa.
Intervensi :
1. Observasi tanda-tanda vital khususnya suhu pasien, perhatikan adanya
menggigil/ diaforesis
R/ : Suhu 38,9 – 41,1 menunjukkan proses penyakit infeksius akut, pola
demam dapat membantu dalam menentukan diagnosis.
2. Pantau suhu lingkungan, batasi/ tambahkan linen tempat tidur sesuai indikasi
R/ : Suhu ruangan atau jumlah selimut harus di ubah untuk
mempertahankan suhu mendekati normal
3. Berikan komres hangat, hindari penggunaan alkohol
R/ Dapat membantu mengurangi demam. Penggunaan air es atau alkohol
mungkin menyebabkan kedinginan dan dapat mengeringkan kulit.
4. Kolaborasi dengan tim medis dlam pemberian therapi Antipiretik
R/ : Untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus

Dx. VII. Resiko kerusakan integritas kulit b/d penekanan lokal paraplegia
Tujuan : Klien mampu mempertahankan keutuhan kulit
Kriteria hasil : Klien mau berpartisipasi dalam pencegahan terjadinya
dekubitus, mengetahui penyebab dan cara pencegahan
dekubitus, tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka, kulit
kering
Intervensi :
1. Anjurkan klien untuk melakukan latihan ROM dan mobilisasi jika mungkin
R/ : Meningkatkan aliran darah ke semua daerah
2. Ubah posisi tiap 2 jam
R/ : Menghindari tekanan dan meningkatkan aliran darah
3. Gunakan bantal air atau pengganjal yang lunak di bawah daerah-daerah yang
menonjol
R/ : Menghindari tekanan yang berlebih pada daerah yang menonjol
4. Lakukan masase pada daerah yang menonjol yang baru mengalami tekanan
pada waktu berubah posisi
R/ : Menghindari kerusakan kapiler
5. Bersihkan dan keringkan kulit, jaga sprei tetap kering
R/ : Meningkatkan integritas kulit dan mengurangi resiko kelembapan
kulit.
6. Observasi adanya eritema dan kepucatan, palapasi area sekitar untuk
mengetahui adanya kehangatan dan pelunakan jaringan tiap mengubah
posisi.
R/ : Hangat dan pelunakan adalah tanda kerusakan jaringan.
7. Jaga kebersihan kulit dan seminimal mungkin hindari trauma dan panas pada
kulit
R/ : Mempertahankan keutuhan kulit.

4. IMPLEMENTASI
Sesuai dengan intervensi.

5. EVALUASI
Sesuai dengan tujuan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tuberculosis tulang belakang atau di kenal juga dengan Spondilitis tuberculosis
merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronis destruktif oleh
mycobacterium tuberculosis. Tuberculosis tulang belakang selalu merupakan infeksi
sekunder dari fokus di tempat lain dalam tubuh.Spondilitis tuberculosa terutama di
temukan pada kelompok usia 2-10 tahun dengan perbandingan yang hampir sama
antara pria dan wanita. Lokasi spondilitis tuberculosa terutama pada daerah vertebra
thorakalis bawah dan vertebra lumbalis atas.
Penatalaksanaan tuberculosis tulang belakang harus di lakukan sesegera
mungkin untuk menghentikan progresifitas penyakit serta mencegah paraplegia di
mana terdiri dari therapi konservatif dan therapi operatif.

B. Saran
1. Bagi penderita Tuberculosis tulang mengikuti program pengobatan sesuai
dengan anjuran petugas kesehatan sehingga dapat menghindari terjadinya
komplikasi yang dapat memperburuk keadaan, turut serta dalam aktivitas dan
latihan yang meningkatkan atau mempertahankan mobilitas.
2. Bagi Mahasiswa/i keperawatan agar mampu memahami Konsep dasar teori dan
Konsep dasar asuhan keperawatan pada klien dengan Tuberculosis tulang
sehingga dalam pelayanan keperawatan di masyarakat sesuai dengan kondisi dan
permasalahannya.
DAFTAR PUSTAKA

Arif Muttaqin, 2008. BUKU AJAR ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN GANGGUAN


SISTEM MUSKULOSKELETAL, EGC ; Jakarta.

Arif Mansjoer, 2000. KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN EDISI 3 JILID 2, Media


Aesculapius; Jakarta

Doenges E. Marylin, 2000. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN EDISI 3, EGC :


Jakarta.

Price A. Sylvia, 2005. PATOFISIOLOGI KONSEP KLINIS PROSES – PROSES


PENYAKIT EDISI 6. VOLUME 2, EGC ; Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai