Laporan Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Praktik Profesi Ners Keperawatan Medikal
Bedah
Disusun Oleh :
Cindi Novita Arianto Eneng erna purnama
Desy isnaeni Kurnia Fadlilatun Nurus Su’udah
Dewi Andini Saptaningrum Fathiyatin Nurwatsiqah
Dwi lestari
JAKARTA
DESEMBER/2022
A. Definisi
Spondilitis tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi
granulomatosis di sebabkan oleh kuman spesifik yaitu mycobacterium tuberculosa
yang mengenai tulang vertebra (Abdurrahman, et al 2015; 144 ). TBC atau
tuberkulosis (TB) tulang belakang dikenal juga dengan nama penyakit Pott, yaitu
tuberkulosis yang terjadi di luar paru-paru, di mana menjangkiti tulang belakang.
Penyakit ini umumnya menginfeksi tulang belakang pada area toraks (dada belakang)
bagian bawah dan vertebra lumbalis (pinggang belakang) atas.
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal dengan sebutan Spondilitis TB
merupakan kejadian TB ekstrapulmonal ke bagian tulang belakang tubuh (Brunner,
Suddart, & Smeltzer, 2012). Spondilitis TB merupakan infeksi tulang belakang yang
disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis (Paramarta et al., 2008). Tulang
belakang tubuh manusia terdri dari 7 ruas cervikal, 12 ruas thorakal, 5 ruas lumbal dan
5 ruas sakrum (Bono & Garfin, 2004). Pada masing- masing ruas tulang belakang
terdiri rangkaian saraf spinal yang mengatur sistem kerja beberapa bagian tubuh lain
(Brunner, Suddart, & Smeltzer, 2012). Lokalisasi yang paling sering terjadi yaitu pada
daerah vertebra torakal bawah dan daerah lumbal (T8-L3), kemudian daerah torakal
atas, servikal dan daerah sakrum (Garfin & Vaccaro, 1997 dalam Azwar, 2012).
Ruas tulang belakang mengatur sistem kerja pada bagian tubuh lain. Ruas servikal
mengatur kerja melebar dan mengerutkan mata dan pengeluaran air liur serta
ekstremitas. Ruas thorakal berfungsi mengatur mengerutkan bronkiolus, mempercepat
dan melambatkan denyut jantung dan meningkatkan sekresi asam lambung (Vaccaro
& Albert, 2009 dalam Brunner, Suddart, & Smeltzer, 2012). Ruas lumbal mengatur
menurunkan dan meningkatkan gerak peristaltik usus (Bono & Garfin, 2004). lima
ruas sakrum mengatur dalam pengosongan kandung kemih.
B. Klasifikasi
a. Pada umumnya penderita TB pada diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi
penyakit dan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis yaitu meliputi sebagai berikut.
Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit: Pada umumnya kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Maka dari
itu,TB dapat dibedakan menjadi dua, yaitu TB Paru dan TB Ekstra Paru (WHO,
2014). TB Paru adalah TB yang menyerang parenkim (jaringan) paru, tidak
termasuk pleura. Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB
ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru (Kemenkes RI, 2014). TB
Ekstra Paru adalah TB yang menyerang organ lain selain paru. TB ekstra paru
dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu TB ekstra paru
ringan dan TB ekstra paru berat. TB ekstra paru ringan yaitu meliputi TB kelenjar
limfe, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal, sedangkan TB
ekstra paru berat yaitu meliputi meningitis, milier,perikarditis peritonitis, pleuritis
eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat
kelamin (Werdhani, 2008).
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, TB Paru dibagi menjadi TB
Paru BTA positif, dengan kriteria minimal 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya
BTA positif, sedangkan TB Paru BTA negatif yaitu dengan kriteria semua hasil
dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif (Kemenkes RI, 2014).
c. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit: Pada umumnya kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Maka dari itu,
TB dapat dibedakan menjadi dua, yaitu TB Paru dan TB Ekstra Paru (WHO,
2014). TB Paru adalah TB yang menyerang parenkim (jaringan) paru, tidak
termasuk pleura. Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB
ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru (Kemenkes RI, 2014).TB
Ekstra Paru adalah TB yang menyerang organ lain selain paru. TB ekstra paru
dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu TB ekstra paru
ringan dan TB ekstra paru berat. TB ekstra paru ringan yaitu meliputi
TB kelenjar limfe, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal,
sedangkan TB ekstra paru berat yaitu meliputi meningitis, milier, pericarditis
peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran
kemih dan alat kelamin (Rasdjad. 2020)
C. Etiologi
Spondilitis TB disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri
ini merupakan bakteri basilus aerobik tahan asam. Spondilitis TB merupakan
tuberkulosis sekunder yang umumnya disebabkan oleh penyebaran hematogen dari
tuberkulosis paru. Spondilitis tuberculosis atau tuberculosis tulang belakang
merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain, 90 – 95% disebabkan
oleh mikobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin)
dan 5 – 10% oleh mikobakterium tuberkulosa atipik. Kuman mycobacterium
tuberkulosa bersifat tahan asam, dan cepat mati apabila terkena matahari langsung.
Beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan angka kejadian spondilitis TB
adalah:
- Memiliki riwayat penyakit tuberculosis sebelumnya
a. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologis sangat membantu dalam menemukan tuberkulosis
ekstraparu terutama pada kasus spondilitis TB. Pemeriksaan radiologis yang dapat
digunakan untuk menunjang diagnosis spondilitis TB yaitu sinar-X, Computed
Tomography Scan (CTscan), dan Magnetic Resonance Imaging (MRI).
Tulang belakang merupakan sisi tulang yang sering terlibat pada tuberkulosis
tulang, rata-rata didapatkan 50% kasus dari seluruh kasus skeletal TB. L1
merupakan lokasi paling sering terjadi, melibatkan lebih dari satu corpus vertebra,
dengan didapatkan penyempitan jarak antar diskus intervertebralis, erosi dan
iregularitas corpus vertebra. Proses penyakit sering berawal di sisi anterior dari
corpus vertebra yang berdekatan dengan sisi end plate. Tahap lebih lanjut
kerusakan terjadi sepanjang ligamentum longitudinal anterior dan posterior serta
melalui end plate sehingga terjadi kolaps corpus vertebra ke segmen anterior
menyerupai akordion (concertina) yang disebut juga dengan concertina collaps
menghasilkan bentuk kifosis.
b. Sinar X
Hanya 50% pasien dengan tuberkulosis tulang dan sendi didapatkan gambaran
infeksi TB pada radiografi foto toraksnya, yang selanjutnya juga dapat
mengaburkan diagnosisnya. Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien
untuk mencari bukti adanya tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto
rontgen yang abnormal). Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik pada bagian
anterior badan vertebra dan osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus
intervertebralis menandakan terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan
lunak sekitarnya memberikan gambaran fusiformis.
Pada fase lanjut, kerusakan bagian anterior semakin memberat dan membentuk
angulasi kifotik (gibbus). Bayangan opak yang memanjang paravertebral dapat
terlihat, yang merupakan cold abscess. Namun, sayangnya sinar-X tidak dapat
mencitrakan cold abscess dengan baik. dengan proyeksi lateral, klinisi dapat
menilai angulasi kifotik diukur dengan metode Konstam.
c. CT Scan
CT scan terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio torakal dan
keterlibatan iga yang sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung saraf
posterior seperti pedikel tampak lebih baik dengan CT Scan.
CT-scan dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang, destruksi badan
vertebra, abses epidural, fragmentasi tulang, dan penyempitan kanalis spinalis. CT
myelography juga dapat menilai dengan akurat kompresi medula spinalis apabila
tidak tersedia pemeriksaan MRI. Selain hal yang disebutkan di atas, CT scan dapat
juga berguna untuk memandu tindakan biopsi perkutan dan menentukan luas
kerusakan jaringan tulang.
d. MRI
MRI merupakan modal diagnostik yang terbaik untuk spondilitis TB, karena
lebih sensitif dari radiografi dan lebih spesifik daripada pemeriksaan CT. Pola
anatomi akan tampak dengan MRI, terutama jaringan lunak dan keterlibatan
diskus, memberikan hasil spesifitas yang lebih besar. MRI juga dapat
menampilkan diagnosis spinal TB 4–6 bulan lebih awal daripada metode
konvensional, sehingga memberikan keuntungan deteksi dan terapi lebih dini.
MRI memungkinkan untuk lebih cepat menentukan adanya kompresi neurologis
serta dapat membedakan tulang dan lesi jaringan lunak (tuberculoma).
MRI juga dapat digunakan untuk mengevaluasi perbaikan jaringan.
Peningkatan sinyal T1 pada sumsum tulang mengindikasikan pergantian jaringan
radang granulomatosa oleh jaringan lemak dan perubahan MRI ini berkorelasi
dengan gejala klinis.
e. Pemeriksaan Laboratorium
PCR digunakan untuk mendeteksi keberadaan agen infeksi terutama DNA
kuman tuberkulosis walau hanya ada terlalu sedikit organisme yang hadir yang
mungkin dapat negatif apabila dideteksi dengan cara lain. Smear bisa negatif pada
50% sampel, terutama pada individu imunosupresi sementara kultur dapat
memakan waktu yang lama, sehingga membuat pendekatan diagnostik bermasalah.
PCR memberikan hasil yang cepat dan akurasi diagnostik yang baik (M.
tuberkulosis dari mikobakteria nontuberkulosis) dan dalam waktu singkat. PCR
hanya membutuhkan waktu 24 jam. Kekhasan tes berbasis PCR ini sangat baik
dengan spesifitas 98%, dan sensitivitas setidaknya 80%. Meskipun tes ini tidak
dapat menggantikan kultur mikobakteri, kemampuannya secara cepat untuk
menentukan adanya M. tuberculosis langsung dari spesimen telah memungkinkan
lebih cepat pemberian terapi yang efektif dan pelaksanaan pengendalian infeksi.
Pada spondilitis tuberkulosis, pewarnaan tahan asam dan kultur kurang sensitif
dibandingkan pada sampel pernapasan. Nucleic acid amplification assay (NAA)
memainkan peran penting dalam diagnosis, dengan sensitivitas dalam sampel
nonrespirasi untuk Mycobacterium Tuberculosis Direct Test dari 67% menjadi
100%. Untuk sampel BTA negatif, sensitivitas berkisar dari 52–100% dalam studi
yang berbeda.
Untuk pemeriksaan hematologis yang paling sering ditemukan adalah anemia
normokrom normositik, trombositosis, peningkatan laju endap darah (LED) tapi
tidak spesifik menunjukkan adanya infeksi radang kronis granulomatosa TB.
(Samsuhidajat, Wim de Jong. 2014).
H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah kiposis berat. Hal ini terjadi oleh karena
kerusakan tulang yang terjadi sangat hebat sehingga tulang yang mengalami destruksi
sangat besar. Hal ini juga akan mempermudah terjadinya paraplegia pada ekstremitas
inferior yang dikenal dengan istilah Pott’s paraplegia. (Samsuhidajat, Wim de Jong.
2014).
a. Kerusakan pada Tulang dan Sendi
Komplikasi pada tulang dan sendi menjadi salah satu kasus komplikasi yang
paling sering terjadi akibat penyebaran bakteri penyebab TB yang tidak terkendali.
Sebagian besar kasus komplikasi TB tulang dan sendi menyerang tulang belakang
sehingga mengakibatkan gangguan kesehatan serius, kerusakan saraf, hingga
rusaknya bentuk tulang belakang.
b. Kerusakan Fungsi Hati
Hati menjadi bagian tubuh yang rawan terkena komplikasi bakteri penyebab
tuberkulosis. Aliran darah yang terkontaminasi dapat menyebabkan hepatic
tuberculosis dan menyebabkan berbagai gangguan kesehatan lain, mulai dari
pembengkakan pada hati hingga menguningnya kulit dan lapisan mukosa akibat
ketidakseimbangan bilirubin.
c. Kerusakan pada Ginjal
Komplikasi tuberkulosis kerap menyerang ginjal melalui infeksi bagian luar
(cortex) yang secara perlahan menginfeksi hingga ke bagian yang lebih dalam
(medula).
I. Pengkajian Keperawatan
a. Identitas Pasien
Identitas pasien meliputi nama, jenis kelamin, umur, nomor rekam medis,
pekerjaan, alamat, nama penanggung jawab dan hubungan dengan pasien.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Merupakan keluhan yang menjadi alasan masuk pasien ke rumah sakit.
Biasanya klien datang ke rumah sakit dengan perdarahan, hemetemesis,
kelelahan, disfagia.
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Merupakan keluhan yang dirasakan pasien pada saat melakukan pengkajian.
Keluhan yang biasanya adalah nyeri pada bagian perut, BAB berdarah,
kelelahan, merasa kenyang.
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Merupakan riwayat kesehatan terdahulu pasien yang memiliki hubungan
dengan kesehatan sekarang. Biasanya pasien memiliki riwayat diet yang hanya
serat, protein hewani dan lemak dan riwayat menderita kelainan pada colon
kolitis ulseratif (polip kolon), menderita tumor lambung, dan gangguan pada
saluran pencernaan lainnya.
4) Riwayat penyakit keluarga
Merupakan riwayat penyakit pada keluarga pasien. Perlu di kaji mungkin ada
anggota keluarga sedarah yang pernah mengalami riwayat penyakit gangguan
pencernaan , perdarahan, kanker dan sebagainya.
c. Pengkajian Pola Fungsional Gordon
1) Persepsi kesehatan dan penanganan Kesehatan
Pada pola ini yang dikaji adalah pandangan pasien terhadap penyakit,
kesehatan dan penatalaksanaan kesehatan . Biasanya pasien tidak mengetahui
tentang factor resiko yang menyebabkan pasien menderita suatu penyakit .
Perlu dikaji juga bagaimana prilaku sehat pasien sehari-hari dan seperti apa
pencegahan penyakit yang dilakukan. Terjadi perubahan persepsi dan
penanganan kesehatan karena kurang pengetahuan tentang dampak sehingga
menimbulkan persepsi negatif terhadap diri, stres, perubahan perilaku, mudah
tersinggung
2) Nutrisi dan metabolic
Pada pola ini yang dikaji adalah diet atau suplemen yang dikonsumsi pasien,
instruksi diet sebelumnya, nafsu makan, jumlah makan atau jumlah minum
serta cairan yang masuk, ada tidaknya mual-muntah, stomatitis, berat badan
selama 6 bulan terakhir apakah ada penurunan, adakah kesulitan menelan,
penggunaan gigi palsu atau tidak, adakah riwayat masalah pada kulit seperti
ruam, kekeringan serta kebutuhan jumlah zat gizinyaa. Selain itu, perlu dikaji
juga bagaimana intake dan output makanan serta keseimbangan cairan tubuh
pasien. Pada pola ini biasanya pasien memiliki kebiasaan diet buruk (rendah
serat, tinggi lemak), anoreksia, mual/muntah. Penurunan nafsu makan,
perubahan pada berat badan, berkurangnya massa otot yang ditandai dengan
perubahan padaa kelembaban/turgor kulit, edema.
3) Eliminasi
Pada pola ini yang dikaji adalah jumlah buang air besar perhari, ada atau
tidaknya konstipasi, diare, inkontinensia, alvi, disuria, nuktoria, urgensi,
hematuri, retensi, jika menggunakan kateter apakah kateter indwing atau
eksternal. Selain itu perlu dikaji juga bagaimana frekurnsi, konsistensi dari
eliminasi pasien. Biasanya pasien dengan GIST mengalami perubahan pada
pola defekasi, darah pada feses, nyeri pada defekasi. Perubahan eliminasi
urinarius, nyeri saat berkemih , hematuria,sering berkemih. Selain itu juga
terjadi perubahan pada bising usus, distensi abdomen.
4) Aktivitas dan latihan
Pada pola ini yang dikaji adalah kemampuan pasien dalam aktivitas sehari-hari
seperti makan, mandi, berpakaian, tingkat mobilitas di tempat tidur, berpindah,
berjalan. Gejala menunjukkan adanya kesukaran untuk beraktivitas karena
kelemahan dan nyeri yang dirasakan.
5) Kognitif dan perseptual
Pada pola ini yang dikaji adalah keadaan mental pasien, bagaimana cara
berbicara, apakah normal atau tidak, kemampuan berkomunikasi, kekuatan
sensori dan penginderaan (penglihatan pendengaran, pengecapan, penghidu),
nyeri dan kemampuan fungsional kognitif. Biasanya pasien tidak meiliki
masalah dengan pola ini.
6) Istirahat dan tidur
Pada pola ini yang dikaji adalah kebiasaan tidur dan istirahat pasien, seperti
jumlah jam tidur dalam 24 jam, apakah ada masalah selama tidur, seperti
insomnia kemudian tanyakan jam efektif istirahat pasien. Pasien ini biasanya
mengalami kelemahan, kelelahan, insomnia, gelisah dan ansietas
7) Persepsi diri dan konsep diri
Pada pola ini yang dikaji adalah pandangan pasien tentang dirinya dari
masalah-masalah , apakah ada merasa cemas/takut atau penilaian terhadap diri
mulai dari peran, ideal diri, konsep diri, gambaran diri dan identitas tentang
dirinya. Biasanya klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah,
tidak kooperatif.
8) Peran dan hubungan
Pada pola yang perlu dikaji adalah pekerjaan, status pekerjaan, kemampuan
bekerja, hubungan dengan pasien atau keluarga dan gangguan terhadap peran
yang dilakukan. Biasanya pada pasien ini akan terjadi perubahan peran yang
dapat mengganggu hubungan interpersonal.
9) Seksualitas dan reproduksi
Pada pola ini yang dikaji adalah kepuasan atau ketidakpuasan yang dirasakan
oleh pasien dengan seksualitas, tahap dan pola reproduksi.
10) Koping dan toleransi stress
Pada pola ini yang dikaji adalah pola koping umum, toleransi stress, sistem
pendukung, dan kemampuan yang dimiliki untuk mengendalikan
situasi.Biasanya pasien akan mengalami cemas, gelisah karena penyakit yang
dideritanya. Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit, perasaan tidak
berdaya karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif
dapat menyebabkan penderita tidak mampu menggunakan mekanisme koping
yang kontruksif dan adaptif.
11) Nilai dan keyakinan
Pada pola ini yang dikaji adalah pendekatan spritual klien serta perlu atanu
tidaknya dengan rohaniawan. Biasanya klien lebih mendekatkan diri pada
Yang Maha Kuasa untuk kesembuhan penyakit.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
Keadaan umum meliputi kesan pasien pada keadaan sakit seperti ekspresi
wajah dan posisi pasien, serta kesadaran pasien seperti komposmentis, apatis,
somnolen, sopor, koma dan delirium. Pada
pasien ini biasanya dalam keadaan lemah.
2) Pemeriksaan tanda vital
Pemeriksaan ini meliputi tekanan darah, nadi (frekuensi, irama, kualitas),
pernafasan (frekuensi, irama, kedalaman, pola pernafasan) dan suhu tubuh.
Pada pasien ini biasanya terjadi peningkatan pada tanda-tanda vitalnya.
3) Berat badan dan Tinggi badan
Pada pasien ini biasanya mengalami penurunan kadang sampai 10% dari BB
normal, sedangkan tinggi badannya tetap.
4) Pemeriksaan kepala
Pemeriksaan ini menilai bentuk dan ukuran kepala, distribusi rambut dan kulit
kepala, ubun-ubun (fontanel), wajah simetris atau tidak, atau ada/tidaknya lesi
pembengkakan dan nyeri tekan.
5) Mata
Pemeriksaan ini melihat visus, alis bulu mata, konjungtiva anemis/tidak, sklera
ikterik/tidak, pupil, lensa dan adanya udem palpebra/tidak. Biasanya
ditemukan konjungtiva anemis, sclera ikhterik/kekuningan , pupil isokor,
reflek pupil terganggu.
6) Telinga
Pemeriksaan ini yaitu pada liang telinga, membran timpani, mastoid,
ketajaman pendengaran. Biasanya tidak ada kelainan atau msalah pada telinga
pasien.
7) Hidung
Pemeriksaan ini melihat ada atau tidaknya polip, sumbatan, pernafasan cuping
hidung dan nyeri tekan. Biasanya tidak ditemukan kelainan pada hidung
pasien.
8) Mulut
Pemeriksaan ini melihat ada tidaknya kesukaran membuka mulut (trismus),
mukosa bibir, gusi, lidah, salivasi, ada tidaknya peradangan dan karies pada
gigi. Biasanya tidak ada kelainan pada mulut pasien ini.
9) Leher
Pemeriksaan ini untuk melihat kaku kuduk, ada tidaknya massa di leher
(ukuran, bentuk, posisi, konsistensi dan ada tidaknya nyeri telan). Selain itu
juga pemeriksaan kelenjar getah bening yang dapat dinilai dari bentuknya serta
tanda-tanda radang yang dapat dinilai di daerah servikal anterior, inguinal,
oksipital dan retroaurikuler. Biasanya tidak ada kelainan pada leher pasien ini.
10) Kulit
Pemeriksaan ini meliputi warna (pigmentasi, sianosis, ikterus, pucat, eritema
dan lain-lain), turgor, kelembaban kulit dan ada/tidaknya edema. Biasanya
pada pasien ini turgor kulit kurang baik, mukosa kering.
11) Paru
Pemeriksaan ini melihat bentuk dadanya, keadaan paru yang meliputi
simetris/tidak, pergerakan nafas, ada/tidaknya fremitus suara, krepitasi serta
pada saat perkusi bagaimana (hipersonor atau timpani), apabila udara di paru
atau pleura bertambah bunyinya redup dan apabila terjadi konsolidasi jarngan
paru maka bunyika pekak. Selain itu dilakukan auskultasi untuk mendengar
suara nafas apakah normal atau ada suara tambahan seperti ronchi (basah dan
kering) dan wezzing. Biasanya pada pasien ini menderita batuk, peningkatan
produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas, serta perubahan
kecepatan dan kedalaman pernafasan.
12) Jantung
Pemeriksaan adalah denyut apeks atau iktus kordis dan aktivitas ventrikel,
getaran bising (thriil), dan bunyi jantung. Biasanya tidak ada masalah dengan
jantung pasien.
13) Abdomen
Pemeriksaan ini tentang ukuran atau bentuk perut apakah membuncit atau
tidak, dinding perut, bising usus normal atau tidak, adanya/tidaknya
ketegangan dinding perut dan nyeri tekan. Selain itu
dilakukan palpasi untuk melihat ada tidaknya pembesaran pada organ hati,
limpa, ginjal, kandung kencing, kemudian pemeriksaan pada daerah anus,
rektum serta genetalianya. Biasanya pasien mengeluh nyeri pada bagian perut.
14) Ekstremitas
Pemeriksaan ini untuk melihat rentang gerak, keseimbangan dan gaya berjalan,
genggaman tangan, otot kaki, dan ada tidaknya udem di ekstremitas. Biasanya
terjadi kelemahan otot, tonus otot menurun, akral hangat.
J. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisiologis
2. Resiko perdarahan b.d riwayat perdarahan
3. Resiko infeksi b.d prosedur invasive
4. Defisit nutrisi b.d faktor biologis, ketidakmampuan menelan
5. Berikan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental, kelemahan
upaya batuk buruk
6. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi mukopurulen dan kekurangan
upaya batuk
7. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan efek paru.
Kerusakan membran di alveolar, kapiler, sekret kevtal dan tebal
8. Gangguan pada istirahat tidur berhubungan dengan sesak nafas dan batuk
K. Intervensi Keperawatan
L. Pathaway
DAFTAR PUSTAKA
Achjar, K.A.H. (2010). Aplikasi Praktis Asuhan Keperawatan Keluarga. Jakarta: Sagung
Seto.
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta
Azwar. (2012). Sikap Manusia: Teori Dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Brown, I., Renwick, R., Nagler, M. (1996). Conceptual approaches, issues, and applications.
Quality of Life in Health Promotion and Rehabilitation London & New York :
Chapman & Hall.
Chatman, I.J. (2012). Tuberculosis: Arresting everyone enemy, (2nded). USA: Joint
Commion Resourcer.
H. & Mukty, H. A. (2008). Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. 5th ed. Surabaya :Airlangga
University Press.
Rasjad Chairuddin. Infeksi dan Inflamasi. (2020). Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi.Makasar :
Bintang Lamumpatue
Samsuhidajat, Wim de Jong. (2014). Sistem Muskuloskeletal. Buku Ajar Ilmu Bedah.
Jakarta : EGC