Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN PASIEN KELOLAAN DENGAN SPONDILITIS TB

(TUBERKULOSIS TULANG BELAKANG)

Laporan Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Praktik Profesi Ners Keperawatan Medikal
Bedah

Dosen Pengampu: Ernawati, SKp, M.Kep, Sp.KMB


Dosen Pembimbing : Ns. Adelina Vidya Ardiyati, M.Kep

Disusun Oleh :
Cindi Novita Arianto Eneng erna purnama
Desy isnaeni Kurnia Fadlilatun Nurus Su’udah
Dewi Andini Saptaningrum Fathiyatin Nurwatsiqah
Dwi lestari

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

DESEMBER/2022
A. Definisi
Spondilitis tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi
granulomatosis di sebabkan oleh kuman spesifik yaitu mycobacterium tuberculosa
yang mengenai tulang vertebra (Abdurrahman, et al 2015; 144 ). TBC atau
tuberkulosis (TB) tulang belakang dikenal juga dengan nama penyakit Pott, yaitu
tuberkulosis yang terjadi di luar paru-paru, di mana menjangkiti tulang belakang.
Penyakit ini umumnya menginfeksi tulang belakang pada area toraks (dada belakang)
bagian bawah dan vertebra lumbalis (pinggang belakang) atas.
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal dengan sebutan Spondilitis TB
merupakan kejadian TB ekstrapulmonal ke bagian tulang belakang tubuh (Brunner,
Suddart, & Smeltzer, 2012). Spondilitis TB merupakan infeksi tulang belakang yang
disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis (Paramarta et al., 2008). Tulang
belakang tubuh manusia terdri dari 7 ruas cervikal, 12 ruas thorakal, 5 ruas lumbal dan
5 ruas sakrum (Bono & Garfin, 2004). Pada masing- masing ruas tulang belakang
terdiri rangkaian saraf spinal yang mengatur sistem kerja beberapa bagian tubuh lain
(Brunner, Suddart, & Smeltzer, 2012). Lokalisasi yang paling sering terjadi yaitu pada
daerah vertebra torakal bawah dan daerah lumbal (T8-L3), kemudian daerah torakal
atas, servikal dan daerah sakrum (Garfin & Vaccaro, 1997 dalam Azwar, 2012).
Ruas tulang belakang mengatur sistem kerja pada bagian tubuh lain. Ruas servikal
mengatur kerja melebar dan mengerutkan mata dan pengeluaran air liur serta
ekstremitas. Ruas thorakal berfungsi mengatur mengerutkan bronkiolus, mempercepat
dan melambatkan denyut jantung dan meningkatkan sekresi asam lambung (Vaccaro
& Albert, 2009 dalam Brunner, Suddart, & Smeltzer, 2012). Ruas lumbal mengatur
menurunkan dan meningkatkan gerak peristaltik usus (Bono & Garfin, 2004). lima
ruas sakrum mengatur dalam pengosongan kandung kemih.
B. Klasifikasi
a. Pada umumnya penderita TB pada diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi
penyakit dan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis yaitu meliputi sebagai berikut.
Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit: Pada umumnya kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Maka dari
itu,TB dapat dibedakan menjadi dua, yaitu TB Paru dan TB Ekstra Paru (WHO,
2014). TB Paru adalah TB yang menyerang parenkim (jaringan) paru, tidak
termasuk pleura. Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB
ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru (Kemenkes RI, 2014). TB
Ekstra Paru adalah TB yang menyerang organ lain selain paru. TB ekstra paru
dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu TB ekstra paru
ringan dan TB ekstra paru berat. TB ekstra paru ringan yaitu meliputi TB kelenjar
limfe, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal, sedangkan TB
ekstra paru berat yaitu meliputi meningitis, milier,perikarditis peritonitis, pleuritis
eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat
kelamin (Werdhani, 2008).
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, TB Paru dibagi menjadi TB
Paru BTA positif, dengan kriteria minimal 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya
BTA positif, sedangkan TB Paru BTA negatif yaitu dengan kriteria semua hasil
dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif (Kemenkes RI, 2014).
c. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit: Pada umumnya kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Maka dari itu,
TB dapat dibedakan menjadi dua, yaitu TB Paru dan TB Ekstra Paru (WHO,
2014). TB Paru adalah TB yang menyerang parenkim (jaringan) paru, tidak
termasuk pleura. Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB
ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru (Kemenkes RI, 2014).TB
Ekstra Paru adalah TB yang menyerang organ lain selain paru. TB ekstra paru
dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu TB ekstra paru
ringan dan TB ekstra paru berat. TB ekstra paru ringan yaitu meliputi
TB kelenjar limfe, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal,
sedangkan TB ekstra paru berat yaitu meliputi meningitis, milier, pericarditis
peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran
kemih dan alat kelamin (Rasdjad. 2020)
C. Etiologi
Spondilitis TB disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri
ini merupakan bakteri basilus aerobik tahan asam. Spondilitis TB merupakan
tuberkulosis sekunder yang umumnya disebabkan oleh penyebaran hematogen dari
tuberkulosis paru. Spondilitis tuberculosis atau tuberculosis tulang belakang
merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain, 90 – 95% disebabkan
oleh mikobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin)
dan 5 – 10% oleh mikobakterium tuberkulosa atipik. Kuman mycobacterium
tuberkulosa bersifat tahan asam, dan cepat mati apabila terkena matahari langsung.
Beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan angka kejadian spondilitis TB
adalah:
- Memiliki riwayat penyakit tuberculosis sebelumnya

- Kemiskinan dan lingkungan padat penduduk

- Kondisi medis : malnutrisi, diabetes mellitus, HIV, penyakit ginjal kronis

- Penggunaan obat-obatan : drug abuse, imunosupresan, steroid.

- Orang-orang kelompok lanjut usia

- Pecandu minuman keras atau pengguna obat-obatan terlarang.

(Brunner, Suddart, & Smeltzer, 2012)


D. Manifestasi Klinis
Seperti halnya tuberkulosis, keberadaan TBC tulang belakang sulit dideteksi.
Pada umumnya, pasien mengalami nyeri punggung kronis yang tidak diketahui
penyebabnya. Maka dari itu, dokter mengalami kesulitan untuk mendiagnosis. Kondisi
semacam ini bisa berlangsung sekitar empat bulan. Selain gejala umum tuberkulosis,
TBC tulang belakang juga memiliki gejala- gejala tambahan yang mungkin dirasakan
oleh sebagian penderita, antara lain:
a. Serangan atau gejala yang muncul sifatnya bertahap.
b. Demam.
c. Berkeringat di malam hari.
d. Kehilangan berat badan.
e. Anoreksia (gangguan makan) yang memicu penurunan berat badan.
f. fSakit punggung yang terlokalisir, misalnya sakit punggung kiri atau kanan.
g. Memiliki posisi tubuh yang tegak dan kaku.
h. Tulang belakang yang melengkung keluar menyebabkan punggung menjadi
bungkuk (kifosis).
i. Pembengkakan pada tulang punggung.
j. Muncul benjolan pada pangkal paha yang menyerupai hernia.
k. Jika mengenai sistem saraf, kemungkinan akan ada gangguan saraf yang
memengaruhi organ-organ tubuh.
Manifestasi klinis spondilitis TB biasanya tanpa nyeri (indolen). Pada fase aktif
pasien menunjukkan gejala malaise, penurunan berat badan, keringat malam, kenaikan
suhu di sore hari. Nyeri punggung belakang dan kaku saat bergerak bisa sebagai
keluhan awal penyakit, terutama apabila didapatkan deformitas kifosis yang
terlokalisir dan nyeri bila dilakukan perkusi. Didapatkan juga spasme otot di
paraspinal yang melibatkan otot di sekeliling vertebra. Nyeri ini berkurang saat
istirahat atau tidur, tetapi nyeri dapat muncul karena pergerakan diantara permukaan
yang inflamasi disebut dengan typical night cries. Apabila didapatkan cold abcess,
olahraga dapat mencetus small knuckle kyphosis saat palpasi. Nyeri saat perubahan
posisi sebagai akibat weight-bearing pada sendi sering muncul, tetapi tidak spesifik.
Apabila sudah ditemukan deformitas berupa kifosis, maka patogenesis TB sudah
berjalan selama kurang lebih tiga sampai empat bulan.
Rasa nyeri dan pembengkakan lokal merupakan gejala yang sering dikeluhkan.
Suhu subfebril dan penurunan berat badan muncul pada minoritas pasien. Fistula pada
kulit, abses dan deformitas sendi yang tampak jelas akan muncul ketika proses
penyakit sedang aktif dan berjalan cukup lama. Kelenjar getah bening, gejala lokal
akan lebih menonjol daripada gejala konstitusional sistemik. Sebuah penelitian
retrospektif tentang spinal tuberkulosis menyebutkan bahwa 69,2% mengeluh
kelemahan tungkai, gibbus (46,4), selain itu juga didapatkan keluhan nyeri, adanya
masa, inkontinensia dan keluhan lain. Tabel di bawah ini menggambarkan keluhan
pada penderita.
Pada fase penyembuhan (healed), pasien tidak tampak sakit ataupun mengeluh
sakit, dengan penurunan berat badan tapi tidak didapatkan peningkatan suhu pada sore
hari. Deformitas yang terjadi pada fase akut dapat saja menetap. Gejala yang tidak
biasa mulai tampak pertama kali berupa defisit neurologis. Abses atau sinus dapat
muncul jauh dari colum vertebrae sepanjang fascia dan melibatkan bundel
neurovaskuler. Spinal disease dapat dikaitkan dengan munculnya defisit neurologis
yang disebabkan oleh kerusakan dari spinal cord, saraf maupun akar saraf.
Defisit neurologis terjadi pada 12–50 persen penderita. Defisit yang mungkin
antara lain: paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radikular dan atau sindrom kauda
equina. Nyeri radikuler menandakan adanya gangguan pada radiks (radikulopati).
Spondilitis TB servikal jarang terjadi, namun manifestasinya lebih berbahaya karena
dapat menyebabkan disfagia dan stridor, tortikollis, suara serak akibat gangguan n.
laringeus. Jika n. frenikus terganggu, pernapasan terganggu dan timbul sesak napas
(disebut juga Millar asthma). Umumnya gejala awal spondilitis servikal adalah kaku
leher atau nyeri leher yang tidak spesifik. Nyeri lokal dan nyeri radikular disertai
gangguan motorik, sensorik dan sfingter distal dari lesi vertebra akan memburuk jika
penyakit tidak segera ditangani.
Pasien-pasien dengan penyakit di daerah vertebra torakal akan menimbulkan
paraparesis atau paraplegi yang sering disebut dengan Pott’s paraplegia. insiden
paraplegia pada spondilitis TB (Pott’s paraplegia), sebagai komplikasi yang paling
berbahaya, hanya terjadi pada 4 – 38 persen penderita. Pott’s paraplegia dibagi
menjadi dua jenis: paraplegia onset cepat (early-onset) dan paraplegia onset lambat
(late-onset). Paraplegia onset cepat terjadi saat akut, biasanya dalam dua tahun
pertama. Paraplegia onset cepat disebabkan oleh kompresi medula spinalis oleh abses
atau proses infeksi. Sedangkan paraplegia onset lambat terjadi saat penyakit sedang
tenang, tanpa adanya tanda-tanda reaktifasi spondilitis, umumnya disebabkan oleh
tekanan jaringan fibrosa/parut atau tonjolan-tonjolan tulang akibat destruksi tulang
sebelumnya. Gejala motorik biasanya yang lebih dahulu muncul karena patologi
terjadi dari anterior, sesuai dengan posisi motoneuron di kornu anterior medula
spinalis, kecuali jika ada keterlibatan bagian posterior medula spinalis, keluhan
sensorik bisa lebih dahulu muncul. (Corwin, E.J. 2012).
E. Patofisiologi
Infeksi berawal dari bagian epifisial korpus vertebra. Kemudian, terjadi
hiperemia dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan pelunakan korpus.
Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus internertebra, dan vertebra
sekitarnya. Kemudain eksudat menyebar ke depan, di bawah longitudinal anterior.
Eksudap ini dapat menembus ligamen dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang
garis ligamen yang lemah. Pada daerah vertebra servikalis, eksudat terkumpul di
belakang paravertebral dan menyebar ke lateral di belakang muskulus
sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protusi ke depan dan ke dalam
faring yang dikenal sebagai abses faringeal.
Perubahan struktur vertebra servikalis menyebabkan spasme otot dan kekakuan
leher yang merupakan stimulus keluhan nyeri pada leher. Pembentukan abses faringeal
menyebabkan nyeri tenggorokan dan gangguan menelan sehingga terjadi penurunan
asupan nutrisi dan masalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan.
Kekakuan leher menyebabkan keluhan mobilitas leher dan risiko tinggi trauma
sekunder akibat tidak optimalnya cara mobilisasi. Tindakan dekompresi dan stabilisasi
servikal pada pasca bedah menimbulkan port de entree luka pasca bedah risiko tinggi
infeksi. (Corwin, E.J. 2012).
Individu rentan yang menghirup basil tuberculosis dan terinfeksi. Bakteri
dipindahkan melalui jalan nafas ke alveoli untuk memperbanyak diri, basil juga
dipindahkan melalui system limfe dan pembuluh darah ke area paru lain dan bagian
tubuh lainnya. Sistem imun tubuh berespon dengan melakukan reaksi inflamasi.
Fagosit menelan banyak bakteri, limfosit specific tuberculosis melisis basil dan
jaringan normal, sehingga mengakibatkan penumpukkan eksudat dalam alveoli dan
menyebabkan bronkopnemonia.
Massa jaringan paru/granuloma (gumpalan basil yang masih hidup dan yang
sudah mati) dikelilingi makrofag membentuk dinding protektif. Granuloma diubah
menjadi massa jaringan fibrosa, yang bagian sentralnya disebut komplek Ghon.
Bahan (bakteri dan makrofag) menjadi nekrotik, membentuk massa seperti keju.
Massa ini dapat mengalami kalsifikasi, memebentuk skar kolagenosa. Bakteri menjadi
dorman, tanpa perkembangan penyakit aktif. Individu dapat mengalami penyakit aktif
karena gangguan atau respon inadekuat system imun, maupun karena infeksi ulang
dan aktivasi bakteri dorman. Dalam kasus ini tuberkel ghon memecah, melepaskan
bahan seperti keju ke bronki. Bakteri kemudian menyebar di udara, mengakibatkan
penyebaran lebih lanjut. Paru yang terinfeksi menjadi lebih membengkak
mengakibatkan bronkopnemonia lebih lanjut. (Brunner, Suddart, & Smeltzer, 2012)
Gambar 1. Infeksi, perjalanan penyakit dan mekanisme imun pada tuberkulosis

Dikutip dari : Kaufmann S H. New Issue in tuberculosis. Ann Rheum Dis.


2004
;63(Suppl II) : ii50-ii56)
Tuberkulosis biasanya memiliki pola seperti yang diuraikan oleh Wallgreen, yang
membagi perkembangan dan resolusi penyakit menjadi 4 tahap. Tahap pertama, yang
berlangsung dari 3 hingga 8 minggu setelah Mt yang terhirup tertahan di alveoli,
bakteri tersebar melalui sirkulasi limfatik ke kelenjar limfe regional di paru,
membentuk apa yang disebut sebagai kompleks Ghon atau kompleks primer. Pada saat
ini, terdapat konversi reaktivitas tuberkulin.
Individu dengan tuberkulosa paru aktif mengeluarkan droplet yang mengandung
basil tuberkul yang dapat dihirup oleh individu lain (gambar 1). Jika droplet ini
memasuki ruang alveolar, sel dendritik paru dan makrofag akan menangkap
mikroorganisme. Beberapa makrofag yang terinfeksi akan tetap pada jaringan paru,
sedangkan beberapa sel dendritik yang terinfeksi akan bermigrasi ke kel limfe. Sel T
dikelenjar limfe akan teraktivasi dan bermigrasi untuk mengenali fokus mycobacteria
di paru. Lesi granulomatosa terbentuk dan mengandung bakteri, mencegah
perkembangan penyakit. Pada pasien dengan imunokompeten, infeksi berhenti pada
tahap ini.
Walapunbegitu, kontrol infeksi tidak lengkap dan patogen tidak dimusnahkan,
sehingga terdapat risiko reaktivasi, bahkan bertahun-tahun setelah infeksi.
Tahap kedua, berlangsung selama 3 bulan, ditandai oleh penyebaran bakteri
secara hematogen ke berbagai organ; pada saat ini pada beberapa individu, dapat
terjadi penyakit akut dan kadang-kadang fatal, dalam bentuk meningitis tuberkulosa
atau tuberkulosa milier. Inflamasi pada pleura dapat terjadi pada tahap ketiga, yang
berlangsung 3 hingga 7 bulan dan menyebabkan nyeri dada berat, namun tahap ini
dapat berlangsung hingga 2 tahun. Tahap akhir atau resolusi kompleks primer, dimana
penyakit ini tidak berkembang, dapat berlangsung hingga 3 tahun. Pada tahap ini, lesi
ekstrapulmonal yang lebih perlahan berkembang, misalnya pada tulang dan sendi,
yang sering muncul sebagai nyeri punggung kronik dapat terjadi pada beberapa
individu.
Gambar 2. Penyebaran basil tuberkel pada vertebra
McLain RF, Isada C. Spinal Tuberculosis Deserves A Place On The Radar
Screen. Cleveland ClinicJournal of Medicine.2004; 71:537-49.
F. Penatalaksanaan
Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan sesegera
mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia.
Prinsip pengobatan paraplegia Pott adalah:
1. Pemberian obat antituberkulosis
2. Dekompresi medulla spinalis
3. Menghilangkan/ menyingkirkan produk infeksi
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)
Penatalaksanaan pada pasien spondilitis TB terdiri atas:
1. Terapi konservatif berupa:
 Tirah baring (bed rest)
 Memberi korset yang mencegah gerakan vertebra /membatasi gerak vertebra
 Memperbaiki keadaan umum penderita
 Pengobatan antituberkulosa
2. Terapi operatif
Indikasi dilakukannya tindakan operasi adalah:
 Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah
semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan,
setiap spondilitis tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatik.
 Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka
dan sekaligus debrideman serta bone graft.
 Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun
pemeriksaan CT dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada
medulla spinalis.
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi
penderita tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih memegang
peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold abses (abses dingin),
lesi tuberkulosa, paraplegia dan kifosis.
a. Terapi Medikamentosa
Obat anti tuberkulosis (OAT) mempunyai peran penting dalam pemulihan dan
respons pasien. Manfaat OAT telah ditunjukkan pada beberapa studi tentang terapi
TB spinal tanpa defisit neurologis, instabilitas dan deformitas tanpa
memperhatikan adanya abses paravertebral. Terapi farmakologi awal adekuat
dapat mencegah komplikasi berat. Penggunaan OAT harus dimonitor ketat untuk
mencegah munculnya strain yang multiresisten.
American Thoracic Society merekomendasikan 9 bulan untuk terapi dengan
obat pertama yang sama dikonsumsi untuk pada 2 bulan pertama diikuti 7 bulan
terapi isoniazid dan rifampisin pada fase lanjutan, sedangkan Canadian Thoracic
Society merekomendasikan total waktu terapi selama 9–12 bulan.
The British Thoracic Society merekomendasikan 6 bulan dari terapi harian
dengan rifampisin dan isoniazid, diberikan pada 2 bulan pertama dengan
pirazinamid dan baik etambutol atau streptomisin (regimen 4 obat selama 6 bulan),
tidak berdasarkan umur. Walaupun 6 bulan terapi dipertimbangkan cukup, banyak
ahli lebih memilih durasi selama 12–24 bulan atau sampai bukti regresi dari
penyakit secara patologis atau radiologis. Untuk menghindari komplians yang
buruk, directly observed treatment dan short course regimens telah diberikan.
Peran yang pasti dari kortikosteroid pada TB spinal belum ada kecuali pada kasus
spinal arachnoiditis atau nonosseous spinal tuberculosis.
Kombinasi OAT untuk 6-9 bulan dan operasi eksisi pada lesi dengan bone
grafting sama efektifnya dengan terapi OAT selama 18 bulan. Wang dkk,
menunjukkan pemberian kemoterapi OAT yang sangat singkat, kurang dari 6
bulan telah dilaporkan sama efektifnya dengan terapi OAT standart apabila
dikombinasi dengan eksisi parsial anterior dari vertebra patologis, large iliac strut
graft, dan fiksasi instrumental internal anterior atau posterior. Setelah 4-6 minggu
terapi, gejala TB dan nyeri tulang belakang membaik pada hampir keseluruhan
pasien. Selain itu, Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR) dan C Reactive Protein
(CRP) juga menurun. ESR dan CRP merupakan parameter yang cocok untuk
mengevaluasi respon terapi dan prognosis dari TB spinal. Terapi medikamentosa
sendiri bahkan dapat memperbaiki defisit neurologis. Jadi, operasi bukan
merupakan pilihan terapi utama pada semua kasus.
b. Terapi Operatif
Terapi bedah saat ini relatif ditinggalkan yang kemudian digantikan dengan
OAT sebagai terapi utama. Indikasi operasi secara umum apabila didapatkan
defisit neurologis akut seperti paraplegia atau paraparesis, deformitas tulang
belakang yang tidak stabil atau dengan disertai nyeri seperti adanya kifosis (30°
untuk dewasa, 15° untuk anak), tidak respons kemoterpi selama 4 minggu, terdapat
abses luas, biopsi perkutan gagal untuk diagnosis dan didapatkan nyeri berat
karena kompresi abses. Pada pasien yang direncanakan operasi kemoterapi OAT
diberikan minimal 10 hari sebelum operasi.
Pada tahun 1960, pada saat terapi operatif dari TB spinal masih bersifat
kontroversi, Hodgson, et al, menggambarkan debridemen rutin melalui pendekatan
anterior, dengan 93% fusion rate. Pada tahun 1961, the French Society for
Orthopaedic Surgery and Traumatology (SOFCOT) mengukur peran predominan
untuk terapi medikamentosa bersamaan munculnya eksistensi dua strategi yaitu
operasi rutin lokal dan terapi medikamentosa sendiri dengan empat OAT dan
dengan fiksasi. Namun, studi yang dipublikasikan mengindikasikan penggunaan
kombinasi terapi medikamentosa dan operatif secara luas. Demikian, pada review
dari case- series antara 1980 dan 2011 yang dipublikasikan, didapatkan gambaran
osteolisis dan kifosis pada Computed tomography (CT) potongan sagittal view di
anterior T7-T10 fibular graft serta gambaran lain terdapat pada C–- 12), maka
operasi dilakukan pada 75% pasien.33 Saat ini, kebutuhan operasi dilakukan pada
pasien dengan adanya kompresi akar saraf spinal cord, abses yang ekstensif,
instabilitas spinal dikarenakan osteolisis dengan kifosis dan kegagalan terapi
medikamentosa.
Pada pasien dengan tanpa bukti adanya gangguan neurologis, terapi terdiri dari
OAT dan fiksasi (bracing), menyediakan kestabilan sagittal alignment of the spine.
Studi tentang gambaran radiologis harus didapatkan pada interval regular melalui
terapi untuk melihat perburukan dari kifosis. Apabila terjadi osteolisis korpus
vertebra, maka pada columna anterior akan tampak kolaps. Keberhasilan koreksi
menggunakan instrumen dan fusi untuk mengoreksi deformitas dan komplikasi
neurologis telah menunjukkan keberhasilan mengurangi keluhan dan bersifat cost
effective. Angka komplikasi neurologis diestimasi sekitar 10– 40%. Operasi
dekompresi darurat diindikasikan hanya pada pasien dengan bukti kompresi spinal
cord dan umumnya melibatkan laminektomi diikuti oleh fiksasi internal dan
penggabungan di posterior (posterior fusion) pada torakolumbar atau dengan
corporectomy pada cervical spine.
Pada pasien dengan abses yang ekstensif namun tanpa defisit neurologis,
pendekatan anterior tetap menjadi standar referensi. Pendekatan ini
memperbolehkan debridemen langsung pada fokus infeksi di prevertebral dan
intraspinal. Studi farmakokinetik menunjukkan bahwa operasi meningkatkan
efektifitas OAT saat debridemen optimal. Sebagai tambahan, same-stage anterior
grafting memainkan peran penting dalam pengisian defek litik dan penguatan
columna anterior. Pada torakolumbar, fiksasi posterior harus dilakukan untuk
memperbaiki kifosis dan memastikan stabilitas jangka panjang tulang belakang
pada garis sagital.
Terapi alternatif yang dapat dipertimbangkan pada beberapa kasus adalah aspirasi
jarum perkutan dari nekrosis kaseosa untuk menjamin dekompresi. Prosedur ini
mungkin berharga pada pasien dengan osteolisis berat yang mengakibatkan
instabilitas spinal, situasi yang membutuhkan fiksasi posterior sebagai langkah
pertama operasi. Dekompresi kanalis spinalis oleh laminektomi harus dilakukan
dengan posisi prone, dimana dapat meningkatkan tekanan pada sumsum tulang
belakang. Selanjutnya, pengenalan Keris-son forceps ke dalam ruang yang ketat
dari kanal meningkatkan risiko kompresi sumsum tulang belakang. Aspirasi dari
nekrosis kaseous di bawah panduan CT-scan menurunkan ukuran koleksi dan
menyingkirkan kebutuhan laminektomi. Sebagai tambahan, stabilisasi spinal
posterior didapat dengan risiko sedikit penyebaran infeksi di antara material
internal fiksasi. Tahap kedua video-assisted surgery (VATs) melalui pendekatan
invasif minimal anterior yang kemudian dilakukan untuk menjamin debridemen
dan bony-grafting. Wimmer menggambarkan teknik fiksasi perkutan yang
mungkin dapat menggantikan terapi alternatif yang tidak invasif. Teknik ini
diperlukan evaluasi terutama pada pasien risiko tinggi dengan TB spinal. (Brunner,
Suddart, & Smeltzer, 2012)

G. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik


Berbagai tes laboratorium yang mungkin dilakukan untuk mendiagnosis TBC
tulang belakang, antara lain:
a. Tes sedimentasi sel darah merah yang dilakukan untuk mendeteksi peradangan di
dalam tubuh.
b. Tes kulit Mantoux untuk memastikan apakah pengidap terinfeksi bakteri TBC atau
tidak.MRI dan CT scan untuk mengetahui tingkat penekanan dan perubahan
elemen tulang pada stadium awal penyakit. MRI lebih direkomendasikan
dibandingkan CT scan.
c. X-ray tulang belakang dan dada (CXR). Tes ini bertujuan untuk mendeteksi
kerusakan atau penyempitan ruang antar sendi tulang belakang. Prosedur ini juga
bisa mendeteksi apabila tuberkulosis pada saluran pernapasan sudah menyebar ke
tulang belakang.
d. Biopsi pada tulang atau jaringan sinovial untuk mendeteksi jenis bakteri penyebab
TBC tulang belakang.
Diagnosis spondilitis tuberkulosa harus dijajaki jika terdapat kecurigaan klinis,
bahkan jika tidak dijumpai gambaran radiologi paru yang mendukung. Spondilitis
tuberkulosa juga harus selalu diduga jika gambaran radiologis menunjukkan proses
destruksi vertebra.
Algoritma diagnostik untuk infeksi tulang belakang dapat dilihat pada gambar 5.
Terlepas dari agen penyebabnya, gejala klinis yang paling sering adalah nyeri
punggungdan spasme otot para vertebral.
Gambar 3. Algoritma Diagnostik Infeksi Tulang Belakang
Dapat dijumpai peningkatan laju endap darah (tidak spesifik), dari 20 sampai
lebih dari 100mm/jam. Pemeriksaan apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan
limfositosis yang bersifat relatif.

Foto polos anterior-posterior dan lateral merupakan pemeriksaan imejing awal


yang dilakukan pada tiap pasien dengan nyeri punggung kronis dan progresif. Pada
pasien dengan spondilitis tuberkulosa, gambaran radiologis bergantung pada luas dan
durasi infeksi. Gambaran radiologis awal dapat terlihat normal pada penyakit
tuberkulosis, namun seiring perjalanan waktu, penyempitan celah diskus dan reaksi
end-plate dapat menjadi gambaran yang
menonjol.
Foto polos harus dievaluasi untuk destruksi tulang, sklerosis tulang, disrupsi
end-plate,destruksi pedikel, diskus intervertebralis dan jaringan lunak paravertebral.28
Gambaran radiologis yang mendukung diagnosis tuberkulosis mencakup keterlibatan
banyak level, relatif tidak terkenanya diskus intervertebralis, abses paravertebral yang
besar, dan penyebaran subligamentosa.

a. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologis sangat membantu dalam menemukan tuberkulosis
ekstraparu terutama pada kasus spondilitis TB. Pemeriksaan radiologis yang dapat
digunakan untuk menunjang diagnosis spondilitis TB yaitu sinar-X, Computed
Tomography Scan (CTscan), dan Magnetic Resonance Imaging (MRI).
Tulang belakang merupakan sisi tulang yang sering terlibat pada tuberkulosis
tulang, rata-rata didapatkan 50% kasus dari seluruh kasus skeletal TB. L1
merupakan lokasi paling sering terjadi, melibatkan lebih dari satu corpus vertebra,
dengan didapatkan penyempitan jarak antar diskus intervertebralis, erosi dan
iregularitas corpus vertebra. Proses penyakit sering berawal di sisi anterior dari
corpus vertebra yang berdekatan dengan sisi end plate. Tahap lebih lanjut
kerusakan terjadi sepanjang ligamentum longitudinal anterior dan posterior serta
melalui end plate sehingga terjadi kolaps corpus vertebra ke segmen anterior
menyerupai akordion (concertina) yang disebut juga dengan concertina collaps
menghasilkan bentuk kifosis.
b. Sinar X
Hanya 50% pasien dengan tuberkulosis tulang dan sendi didapatkan gambaran
infeksi TB pada radiografi foto toraksnya, yang selanjutnya juga dapat
mengaburkan diagnosisnya. Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien
untuk mencari bukti adanya tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto
rontgen yang abnormal). Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik pada bagian
anterior badan vertebra dan osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus
intervertebralis menandakan terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan
lunak sekitarnya memberikan gambaran fusiformis.
Pada fase lanjut, kerusakan bagian anterior semakin memberat dan membentuk
angulasi kifotik (gibbus). Bayangan opak yang memanjang paravertebral dapat
terlihat, yang merupakan cold abscess. Namun, sayangnya sinar-X tidak dapat
mencitrakan cold abscess dengan baik. dengan proyeksi lateral, klinisi dapat
menilai angulasi kifotik diukur dengan metode Konstam.
c. CT Scan
CT scan terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio torakal dan
keterlibatan iga yang sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung saraf
posterior seperti pedikel tampak lebih baik dengan CT Scan.
CT-scan dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang, destruksi badan
vertebra, abses epidural, fragmentasi tulang, dan penyempitan kanalis spinalis. CT
myelography juga dapat menilai dengan akurat kompresi medula spinalis apabila
tidak tersedia pemeriksaan MRI. Selain hal yang disebutkan di atas, CT scan dapat
juga berguna untuk memandu tindakan biopsi perkutan dan menentukan luas
kerusakan jaringan tulang.
d. MRI
MRI merupakan modal diagnostik yang terbaik untuk spondilitis TB, karena
lebih sensitif dari radiografi dan lebih spesifik daripada pemeriksaan CT. Pola
anatomi akan tampak dengan MRI, terutama jaringan lunak dan keterlibatan
diskus, memberikan hasil spesifitas yang lebih besar. MRI juga dapat
menampilkan diagnosis spinal TB 4–6 bulan lebih awal daripada metode
konvensional, sehingga memberikan keuntungan deteksi dan terapi lebih dini.
MRI memungkinkan untuk lebih cepat menentukan adanya kompresi neurologis
serta dapat membedakan tulang dan lesi jaringan lunak (tuberculoma).
MRI juga dapat digunakan untuk mengevaluasi perbaikan jaringan.
Peningkatan sinyal T1 pada sumsum tulang mengindikasikan pergantian jaringan
radang granulomatosa oleh jaringan lemak dan perubahan MRI ini berkorelasi
dengan gejala klinis.
e. Pemeriksaan Laboratorium
PCR digunakan untuk mendeteksi keberadaan agen infeksi terutama DNA
kuman tuberkulosis walau hanya ada terlalu sedikit organisme yang hadir yang
mungkin dapat negatif apabila dideteksi dengan cara lain. Smear bisa negatif pada
50% sampel, terutama pada individu imunosupresi sementara kultur dapat
memakan waktu yang lama, sehingga membuat pendekatan diagnostik bermasalah.
PCR memberikan hasil yang cepat dan akurasi diagnostik yang baik (M.
tuberkulosis dari mikobakteria nontuberkulosis) dan dalam waktu singkat. PCR
hanya membutuhkan waktu 24 jam. Kekhasan tes berbasis PCR ini sangat baik
dengan spesifitas 98%, dan sensitivitas setidaknya 80%. Meskipun tes ini tidak
dapat menggantikan kultur mikobakteri, kemampuannya secara cepat untuk
menentukan adanya M. tuberculosis langsung dari spesimen telah memungkinkan
lebih cepat pemberian terapi yang efektif dan pelaksanaan pengendalian infeksi.
Pada spondilitis tuberkulosis, pewarnaan tahan asam dan kultur kurang sensitif
dibandingkan pada sampel pernapasan. Nucleic acid amplification assay (NAA)
memainkan peran penting dalam diagnosis, dengan sensitivitas dalam sampel
nonrespirasi untuk Mycobacterium Tuberculosis Direct Test dari 67% menjadi
100%. Untuk sampel BTA negatif, sensitivitas berkisar dari 52–100% dalam studi
yang berbeda.
Untuk pemeriksaan hematologis yang paling sering ditemukan adalah anemia
normokrom normositik, trombositosis, peningkatan laju endap darah (LED) tapi
tidak spesifik menunjukkan adanya infeksi radang kronis granulomatosa TB.
(Samsuhidajat, Wim de Jong. 2014).
H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah kiposis berat. Hal ini terjadi oleh karena
kerusakan tulang yang terjadi sangat hebat sehingga tulang yang mengalami destruksi
sangat besar. Hal ini juga akan mempermudah terjadinya paraplegia pada ekstremitas
inferior yang dikenal dengan istilah Pott’s paraplegia. (Samsuhidajat, Wim de Jong.
2014).
a. Kerusakan pada Tulang dan Sendi
Komplikasi pada tulang dan sendi menjadi salah satu kasus komplikasi yang
paling sering terjadi akibat penyebaran bakteri penyebab TB yang tidak terkendali.
Sebagian besar kasus komplikasi TB tulang dan sendi menyerang tulang belakang
sehingga mengakibatkan gangguan kesehatan serius, kerusakan saraf, hingga
rusaknya bentuk tulang belakang.
b. Kerusakan Fungsi Hati
Hati menjadi bagian tubuh yang rawan terkena komplikasi bakteri penyebab
tuberkulosis. Aliran darah yang terkontaminasi dapat menyebabkan hepatic
tuberculosis dan menyebabkan berbagai gangguan kesehatan lain, mulai dari
pembengkakan pada hati hingga menguningnya kulit dan lapisan mukosa akibat
ketidakseimbangan bilirubin.
c. Kerusakan pada Ginjal
Komplikasi tuberkulosis kerap menyerang ginjal melalui infeksi bagian luar
(cortex) yang secara perlahan menginfeksi hingga ke bagian yang lebih dalam
(medula).
I. Pengkajian Keperawatan
a. Identitas Pasien
Identitas pasien meliputi nama, jenis kelamin, umur, nomor rekam medis,
pekerjaan, alamat, nama penanggung jawab dan hubungan dengan pasien.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Merupakan keluhan yang menjadi alasan masuk pasien ke rumah sakit.
Biasanya klien datang ke rumah sakit dengan perdarahan, hemetemesis,
kelelahan, disfagia.
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Merupakan keluhan yang dirasakan pasien pada saat melakukan pengkajian.
Keluhan yang biasanya adalah nyeri pada bagian perut, BAB berdarah,
kelelahan, merasa kenyang.
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Merupakan riwayat kesehatan terdahulu pasien yang memiliki hubungan
dengan kesehatan sekarang. Biasanya pasien memiliki riwayat diet yang hanya
serat, protein hewani dan lemak dan riwayat menderita kelainan pada colon
kolitis ulseratif (polip kolon), menderita tumor lambung, dan gangguan pada
saluran pencernaan lainnya.
4) Riwayat penyakit keluarga
Merupakan riwayat penyakit pada keluarga pasien. Perlu di kaji mungkin ada
anggota keluarga sedarah yang pernah mengalami riwayat penyakit gangguan
pencernaan , perdarahan, kanker dan sebagainya.
c. Pengkajian Pola Fungsional Gordon
1) Persepsi kesehatan dan penanganan Kesehatan
Pada pola ini yang dikaji adalah pandangan pasien terhadap penyakit,
kesehatan dan penatalaksanaan kesehatan . Biasanya pasien tidak mengetahui
tentang factor resiko yang menyebabkan pasien menderita suatu penyakit .
Perlu dikaji juga bagaimana prilaku sehat pasien sehari-hari dan seperti apa
pencegahan penyakit yang dilakukan. Terjadi perubahan persepsi dan
penanganan kesehatan karena kurang pengetahuan tentang dampak sehingga
menimbulkan persepsi negatif terhadap diri, stres, perubahan perilaku, mudah
tersinggung
2) Nutrisi dan metabolic
Pada pola ini yang dikaji adalah diet atau suplemen yang dikonsumsi pasien,
instruksi diet sebelumnya, nafsu makan, jumlah makan atau jumlah minum
serta cairan yang masuk, ada tidaknya mual-muntah, stomatitis, berat badan
selama 6 bulan terakhir apakah ada penurunan, adakah kesulitan menelan,
penggunaan gigi palsu atau tidak, adakah riwayat masalah pada kulit seperti
ruam, kekeringan serta kebutuhan jumlah zat gizinyaa. Selain itu, perlu dikaji
juga bagaimana intake dan output makanan serta keseimbangan cairan tubuh
pasien. Pada pola ini biasanya pasien memiliki kebiasaan diet buruk (rendah
serat, tinggi lemak), anoreksia, mual/muntah. Penurunan nafsu makan,
perubahan pada berat badan, berkurangnya massa otot yang ditandai dengan
perubahan padaa kelembaban/turgor kulit, edema.
3) Eliminasi
Pada pola ini yang dikaji adalah jumlah buang air besar perhari, ada atau
tidaknya konstipasi, diare, inkontinensia, alvi, disuria, nuktoria, urgensi,
hematuri, retensi, jika menggunakan kateter apakah kateter indwing atau
eksternal. Selain itu perlu dikaji juga bagaimana frekurnsi, konsistensi dari
eliminasi pasien. Biasanya pasien dengan GIST mengalami perubahan pada
pola defekasi, darah pada feses, nyeri pada defekasi. Perubahan eliminasi
urinarius, nyeri saat berkemih , hematuria,sering berkemih. Selain itu juga
terjadi perubahan pada bising usus, distensi abdomen.
4) Aktivitas dan latihan
Pada pola ini yang dikaji adalah kemampuan pasien dalam aktivitas sehari-hari
seperti makan, mandi, berpakaian, tingkat mobilitas di tempat tidur, berpindah,
berjalan. Gejala menunjukkan adanya kesukaran untuk beraktivitas karena
kelemahan dan nyeri yang dirasakan.
5) Kognitif dan perseptual
Pada pola ini yang dikaji adalah keadaan mental pasien, bagaimana cara
berbicara, apakah normal atau tidak, kemampuan berkomunikasi, kekuatan
sensori dan penginderaan (penglihatan pendengaran, pengecapan, penghidu),
nyeri dan kemampuan fungsional kognitif. Biasanya pasien tidak meiliki
masalah dengan pola ini.
6) Istirahat dan tidur
Pada pola ini yang dikaji adalah kebiasaan tidur dan istirahat pasien, seperti
jumlah jam tidur dalam 24 jam, apakah ada masalah selama tidur, seperti
insomnia kemudian tanyakan jam efektif istirahat pasien. Pasien ini biasanya
mengalami kelemahan, kelelahan, insomnia, gelisah dan ansietas
7) Persepsi diri dan konsep diri
Pada pola ini yang dikaji adalah pandangan pasien tentang dirinya dari
masalah-masalah , apakah ada merasa cemas/takut atau penilaian terhadap diri
mulai dari peran, ideal diri, konsep diri, gambaran diri dan identitas tentang
dirinya. Biasanya klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah,
tidak kooperatif.
8) Peran dan hubungan
Pada pola yang perlu dikaji adalah pekerjaan, status pekerjaan, kemampuan
bekerja, hubungan dengan pasien atau keluarga dan gangguan terhadap peran
yang dilakukan. Biasanya pada pasien ini akan terjadi perubahan peran yang
dapat mengganggu hubungan interpersonal.
9) Seksualitas dan reproduksi
Pada pola ini yang dikaji adalah kepuasan atau ketidakpuasan yang dirasakan
oleh pasien dengan seksualitas, tahap dan pola reproduksi.
10) Koping dan toleransi stress
Pada pola ini yang dikaji adalah pola koping umum, toleransi stress, sistem
pendukung, dan kemampuan yang dimiliki untuk mengendalikan
situasi.Biasanya pasien akan mengalami cemas, gelisah karena penyakit yang
dideritanya. Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit, perasaan tidak
berdaya karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif
dapat menyebabkan penderita tidak mampu menggunakan mekanisme koping
yang kontruksif dan adaptif.
11) Nilai dan keyakinan
Pada pola ini yang dikaji adalah pendekatan spritual klien serta perlu atanu
tidaknya dengan rohaniawan. Biasanya klien lebih mendekatkan diri pada
Yang Maha Kuasa untuk kesembuhan penyakit.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
Keadaan umum meliputi kesan pasien pada keadaan sakit seperti ekspresi
wajah dan posisi pasien, serta kesadaran pasien seperti komposmentis, apatis,
somnolen, sopor, koma dan delirium. Pada
pasien ini biasanya dalam keadaan lemah.
2) Pemeriksaan tanda vital
Pemeriksaan ini meliputi tekanan darah, nadi (frekuensi, irama, kualitas),
pernafasan (frekuensi, irama, kedalaman, pola pernafasan) dan suhu tubuh.
Pada pasien ini biasanya terjadi peningkatan pada tanda-tanda vitalnya.
3) Berat badan dan Tinggi badan
Pada pasien ini biasanya mengalami penurunan kadang sampai 10% dari BB
normal, sedangkan tinggi badannya tetap.
4) Pemeriksaan kepala
Pemeriksaan ini menilai bentuk dan ukuran kepala, distribusi rambut dan kulit
kepala, ubun-ubun (fontanel), wajah simetris atau tidak, atau ada/tidaknya lesi
pembengkakan dan nyeri tekan.
5) Mata
Pemeriksaan ini melihat visus, alis bulu mata, konjungtiva anemis/tidak, sklera
ikterik/tidak, pupil, lensa dan adanya udem palpebra/tidak. Biasanya
ditemukan konjungtiva anemis, sclera ikhterik/kekuningan , pupil isokor,
reflek pupil terganggu.
6) Telinga
Pemeriksaan ini yaitu pada liang telinga, membran timpani, mastoid,
ketajaman pendengaran. Biasanya tidak ada kelainan atau msalah pada telinga
pasien.
7) Hidung
Pemeriksaan ini melihat ada atau tidaknya polip, sumbatan, pernafasan cuping
hidung dan nyeri tekan. Biasanya tidak ditemukan kelainan pada hidung
pasien.
8) Mulut
Pemeriksaan ini melihat ada tidaknya kesukaran membuka mulut (trismus),
mukosa bibir, gusi, lidah, salivasi, ada tidaknya peradangan dan karies pada
gigi. Biasanya tidak ada kelainan pada mulut pasien ini.
9) Leher
Pemeriksaan ini untuk melihat kaku kuduk, ada tidaknya massa di leher
(ukuran, bentuk, posisi, konsistensi dan ada tidaknya nyeri telan). Selain itu
juga pemeriksaan kelenjar getah bening yang dapat dinilai dari bentuknya serta
tanda-tanda radang yang dapat dinilai di daerah servikal anterior, inguinal,
oksipital dan retroaurikuler. Biasanya tidak ada kelainan pada leher pasien ini.
10) Kulit
Pemeriksaan ini meliputi warna (pigmentasi, sianosis, ikterus, pucat, eritema
dan lain-lain), turgor, kelembaban kulit dan ada/tidaknya edema. Biasanya
pada pasien ini turgor kulit kurang baik, mukosa kering.
11) Paru
Pemeriksaan ini melihat bentuk dadanya, keadaan paru yang meliputi
simetris/tidak, pergerakan nafas, ada/tidaknya fremitus suara, krepitasi serta
pada saat perkusi bagaimana (hipersonor atau timpani), apabila udara di paru
atau pleura bertambah bunyinya redup dan apabila terjadi konsolidasi jarngan
paru maka bunyika pekak. Selain itu dilakukan auskultasi untuk mendengar
suara nafas apakah normal atau ada suara tambahan seperti ronchi (basah dan
kering) dan wezzing. Biasanya pada pasien ini menderita batuk, peningkatan
produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas, serta perubahan
kecepatan dan kedalaman pernafasan.
12) Jantung
Pemeriksaan adalah denyut apeks atau iktus kordis dan aktivitas ventrikel,
getaran bising (thriil), dan bunyi jantung. Biasanya tidak ada masalah dengan
jantung pasien.
13) Abdomen
Pemeriksaan ini tentang ukuran atau bentuk perut apakah membuncit atau
tidak, dinding perut, bising usus normal atau tidak, adanya/tidaknya
ketegangan dinding perut dan nyeri tekan. Selain itu
dilakukan palpasi untuk melihat ada tidaknya pembesaran pada organ hati,
limpa, ginjal, kandung kencing, kemudian pemeriksaan pada daerah anus,
rektum serta genetalianya. Biasanya pasien mengeluh nyeri pada bagian perut.
14) Ekstremitas
Pemeriksaan ini untuk melihat rentang gerak, keseimbangan dan gaya berjalan,
genggaman tangan, otot kaki, dan ada tidaknya udem di ekstremitas. Biasanya
terjadi kelemahan otot, tonus otot menurun, akral hangat.
J. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisiologis
2. Resiko perdarahan b.d riwayat perdarahan
3. Resiko infeksi b.d prosedur invasive
4. Defisit nutrisi b.d faktor biologis, ketidakmampuan menelan
5. Berikan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental, kelemahan
upaya batuk buruk
6. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi mukopurulen dan kekurangan
upaya batuk
7. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan efek paru.
Kerusakan membran di alveolar, kapiler, sekret kevtal dan tebal
8. Gangguan pada istirahat tidur berhubungan dengan sesak nafas dan batuk
K. Intervensi Keperawatan

No. Diagnosa Keperawatan


Tujuan Rencana Tindakan
& Data Penunjang
1. Nyeri akut b.d Agen Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri
pencedera fisiologis d.d keperawatan 3x24 jam Observasi
klien tampak meringis, diharapkan tingkat nyeri  Identifikasi lokasi,
bersikap protektif (posisi menurun dengan kriteria karakteristik, durasi,
menghindari nyeri), hasil : frekuensi, kualitas, intensitas
gelisah sulit tidur, nafsu  Keluhan nyeri nyeri
makan berubah dan klien
mengatakan mengeluh menurun  Identifikasi skala nyeri
nyeri.  Meringis menurun  Identifikasi respons nyeri non
 Sikap protektif verbal
menurun  Identifikasi faktor yang
 Gelisah menurun memperberat dan
 Kesulitan tidur memperingan nyeri
menurun  Identifikasi pengetahuan dan
 Nafsu makan keyakinan tentang nyeri
membaik  Identifikasi pengaruh nyeri
 Pola tidur membaik pada kualitas hidup
 Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah
diberikan
 Monitor efek samping
penggunaan analgetik
Terapeutik
 Berikan Teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
 Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
 Fasilitasi istirahat dan tidur
 Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan
nyeri
Edukasi
 Jelaskan penyebab, periode,
dan pemicu nyeri
 Jelaskan strategi meredakan
nyeri
 Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
 Anjurkan menggunakan
analgetic secara tepat
 Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
analgetic, jika perlu

2. Resiko infeksi, Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Infeksi


berhubungan dengan keperawatan selama …x24 Observasi
pembedahan (prosedur jam diharapakan tingkat  Monitor tanda dan gejala
invasive) infeksi menurun dengan infeksi lokal dan sistemik
kriteria hasil: Terapeutik
 Kemerahan menurun  Batasi jumlah pengunjung
 Nyeri menurun  Berikan perawatan kulit pada
 Bengkak menurun area edema
 Cuci tangan sebelum dan
sesudah kontak dengan
pasien dan lingkungan pasien
 Pertahankan teknik aseptik
pada pasien beresiko tinggi
Edukasi
 Jelaskan tanda dan gejala
infeksi
 Ajarkan cara mencuci tangan
dengan benar
 Ajarkan etika batuk
 Ajarkan cara memeriksa
kondisi luka operasi
 Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
Anjurkan meningkatkan asupan
cairan

L. Pathaway
DAFTAR PUSTAKA

Achjar, K.A.H. (2010). Aplikasi Praktis Asuhan Keperawatan Keluarga. Jakarta: Sagung
Seto.

Ali, Z. (2010). Pengantar Keperawatan Keluarga. Jakarta: EGC

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta

Azwar. (2012). Sikap Manusia: Teori Dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Brooker, C. (2008). Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta: EGC.

Brown, I., Renwick, R., Nagler, M. (1996). Conceptual approaches, issues, and applications.
Quality of Life in Health Promotion and Rehabilitation London & New York :
Chapman & Hall.

Chatman, I.J. (2012). Tuberculosis: Arresting everyone enemy, (2nded). USA: Joint
Commion Resourcer.

Corwin, E.J. (2012). Handbook of pathophysiology, (3rd ed). Philadelphia:Lippincott


Williams & Wilkins.

H. & Mukty, H. A. (2008). Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. 5th ed. Surabaya :Airlangga
University Press.

Rasjad Chairuddin. Infeksi dan Inflamasi. (2020). Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi.Makasar :
Bintang Lamumpatue

Samsuhidajat, Wim de Jong. (2014). Sistem Muskuloskeletal. Buku Ajar Ilmu Bedah.
Jakarta : EGC

Smeltzer&Suzanne (2012). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai