Anda di halaman 1dari 33

Presentasi Kasus Bangsal

SPONDILITIS TUBERKULOSIS

Oleh :
dr. Rony Parlindungan Sinaga

Pembimbing:
dr. Maria Belladona, SpS, Msi.,Med.

BAGIAN / SMF ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO /
RSUP DR. KARIADI SEMARANG
2019
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pendahuluan
Spondilitis tuberkulosis telah terdokumentasi pada mumi dari Mesir dan Peru dan
merupakan penyakit tertua yang diketahui pada manusia.1 Pada tahun 1779, Sir Percivall Pott,
seorang ahli bedah ortopedi kebangsaan Inggris, menggambarkan deskripsi klasik dari
tuberkulosis spinal. Dalam tulisannya yang berjudul Remarks on that Kind of Palsy of the
Lower Limbs, Pott memperkenalkan trias spondilits tuberkulosis yaitu gibbus, abses
paravertebral, dan paralisis. Karena kontribusinya, namanya diabadikan untuk menandai
penyakit ini, yaitu Pott’s Disease. Jadi, dalam istilah bahasa Inggris penyakit ini setidaknya
memiliki tiga nama ; tuberculous spondylitis, spinal tuberkulosis, dan Pott’s disease.2
Spondilitis tuberkulosis orang dewasa biasanya merupakan infeksi sekunder dengan
focus infeksi di tempat lain dan tidak selalu berasal dari paru. Namun spondilitis tuberkulosis
dapat sebagai fokus primer dari infeksi tuberkulosis. Spondilitis tuberkulosis termasuk bentuk
yang berbahaya dari infeksi tuberkulosis. Keterlambatan penegakan diagnosis dan terapi
dapat menyebabkan kompresi medula spinalis dan deformitas tulang. Semakin lama
keterlambatan terjadi, maka hasil terapi akan semakin buruk prognosisnya.3
Meskipun sejak penemuan dan pengembangan obat antituberkulosis, tuberkulosis
tulang belakang mulai jarang ditemukan di negara maju, namun masih banyak ditemukan di
negara berkembang.3 Tatalaksananya dengan kemoterapi antituberkulosis atau dengan
kombinasi antituberkulosis dan tindakan bedah, baik dengan stabilisasi menggunakan
instrumentasi maupun tanpa instrumen. Dokter harus mempertimbangkan diagnosis ini
dalam pikiran terutama pasien pada daerah endemik dengan insidensi tinggi infeksi
tuberkulosis.4,5

2.2 Epidemiologi
Secara epidemiologi tuberkulosis merupakan penyakit infeksi pembunuh nomor dua
di dunia setelah HIV.5 Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3
juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian
akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita
akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas.6
Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-3 di dunia setelah India
dan Cina (WHO, 2013).7 Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% dari total
jumlah pasien TB didunia. Diperkirakan, setiap tahun ada 429.730 kasus baru dan kematian
62.246 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 102 per 100.000 penduduk.6
Dari seluruh kasus tuberkulosis sekitar 22% adalah kasus ekstrapulmonal. 8
Tuberkulosis skeletal merupakan 10-35% dari seluruh kasus TB ekstrapulmonal, dan hampir
sekitar 2% dari keseluruhan kasus tuberkulosis. Spondilitis tuberkulosis merupakan bentuk
tuberkulosis skeletal yang paling umum. Spondilitis tuberkulosis terhitung sekitar setengah
dari kasus tuberkulosis muskuloskeletal. Angka selanjutnya diikuti oleh arthritis dan
osteomyelitis.9,10,11
2.3. Faktor resiko
Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Faktor yang
mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang
rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). Infeksi HIV
mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity) dan
merupakan faktor risiko paling kuat bagi yang terinfeksi TB untuk menjadi sakit TB (TB
Aktif). Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat,
dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.6
2.4. Patogenesis dan patofisiologi
Penyebaran dari fokus primer dapat secara hematogen dan limfogen. Infeksi korpus
vertebra biasanya dimulai pada bagian tulang yang berdekatan dengan diskus intervertebralis
atau di bagian anterior dibawah periosteum korpus vertebra, sedangkan arkus neuralis jarang
terkena, Mycobacterium tuberkulosis mengakibatkan resorpsi masif vertebra spinal.
Patogenesis penyakit Pott belum jelas, namun telah diidentifikasi sebuah protein M
tuberkulosis (Mt) chaperonin (cpri) 10 yang bertanggung jawab untuk aktifitas proteolitik
bakteri ini. Mt cpn10 rekombinan ini merupakan stimulator poten untuk resorpsi tulang dan
menginduksi rekrutmen, menginhibisi proliferasi pembentukan tulang oleh osteoblast.
Chaperonin 60 (cpn60) memiliki struktur heptamer yang homolog dengan cpn10. Cpn60 ini
akan menghambat pembentukan heptamer cpn10 sehingga diperkirakan pada masa
mendatang menjadi target terapetik untuk tuberkulosis tulang.3
Karena distribusi suplai arteri vertebralis, tulang vertebra yang berdekatan dapat
terkena. Perubahan tulang terlihat dalam 2 hingga 5 bulan setelah infeksi. Biasanya bagian
subkondral dari korpus vertebra terkena. Bila bagian anterior dan lateral korpus yang terkena
maka akan mengakibatkan terjadinya kifosis dan gibus. Bila bagian posterior korpus yang
terkena mengakibatkan kavitasi dan massa ekstradura. Selain itu didapatkan penyebaran
limfogen yang berasal dari tuberkulosis ginjal yang tidak bermanifestasi.3
Tuberkulosis menyebar dari fokus tulang belakang melalui penyebaran langsung
melalui ruang diskus. Bola abses paravertebral terbentuk, penyakit kemudian menyebar
melalui ligamentum longitudinalis anterior/posterior hingga ruang pleura, Abses dapat juga
menyebar melalui fasia menimbulkan abses psoas atau menyebar ke posterior membentuk
abses ekstradura.3
Destruksi vertebra mengakibatkan kolapsnya korpus vertebra bersamaan dengan
pembentukan baji anterior. Kompresi medula spinalis pada spondilitis terutama diakibatkan
oleh tekanan dari abses paraspinal yang berada retrofaringeal pada daerah cervical dan
terbentuk spindel pada daerah torakal dan torakolumbal. Defisit neurologis juga dapat
berasal dari invasi oleh jaringan granulasi dan kompresi dari pecahan tulang yang hancur,
destruksi intervertrebralis, atau dislokasi tulang vertebra. Penyebab yang jarang adalah
insufisiensi arteri spinalis anterior. Kelainan neurologi ini dapat terjadi pada semua stadium
dan bahkan terjadi bertahun-tahun setelah pengobatan akibat tarikan medula spinalis dalam
kanalis spinalis yang mengalami deformasi.3
Terdapat empat pola kerusakan vertebra yang terjadi pada spondilitis tuberkulosa,
yaitu :
1. Paradiscal
2. Central
3. Anterior
4. Appendiceal

Cara pengukuran sudut kifosis :

(Kiri) Pengukuran sudut kifosis menurut Dickson (1967) (Kanan) Cara pengukuran yang lain

Selain pola tipikal yang dideskripsikan di atas, terdapat pula pola spondilitis
tuberkulosis atipikal. Spondilitis tuberkulosis atipikal didefinisikan sebagai suatu kondisi
myelopati kompresif tanpa deformitas tulang belakang yang dapat teraba maupun terlihat
serta tanpa gambaran lesi vertebra yang tipikal untuk spondilitis tuberkulosis. 20,21
Lesi granuloma epidural, intradural, atau intrameduler dapat menunjukkan gejala
myelopati kompresif, sindrom tumor medulla spinalis, tanpa adanya tanda radiologi yang
jelas. 22,23

2.5. Manifestasi klinis


Diagnosis penyakit Pott sering tertunda akibat perjalanannya subakut, terutama di
daerah di mana kejadian TB yang relatif rendah.12,13 Di daerah endemik manifestasi klinis
juga cenderung relatif terlambat karena sering terkendala keterbatasan akses ke perawatan
medis, 40-70% kasus sudah menunjukkan gejala kompresi medula spinalis pada saat
penegakan diagnosis.13 Dengan demikian, keterlambatan diagnosis adalah faktor utama dalam
menentukan hasil dari penyakit ini.14
Spondilitis TB dapat memberikan gambaran yang sangat bervariasi. Gambaran yang
sering dan paling awal didapatkan adalah nyeri tulang belakang, dapat berupa nyeri lokal
maupun radikuler. Selain itu didapatkan juga gambaran manifestasi penyakit kronis seperti
penurunan berat badan rasa lemah, demam dan/ atau keringat malam. Gejala timbul antara 2
minggu hingga 3 tahun, dengan rata-rata 1 tahun.3
Gejala yang paling umum adalah nyeri lokal, yang meningkat tingkat keparahannya
dalam beberapa minggu atau bulan, kadang-kadang berkaitan dengan spasme otot dan
rigiditas. Spasme otot dapat melampaui area vertebra yang terlibat. 13 Nyeri lokal merniliki
karakteristik dalam, membosankan, dan seperti pegal (deep, boring, aching). Nyeri ini
dibangkitkan oleh stres mekanik pada vertebra. Tirah baring biasanya dapat mengurangi
nyeri. Nyeri lokal timbul sebagai akibat dari iritasi pada vertebra pada bagian yang memiliki
persarafan (periosteum, ligarnen, duramater, apophiseal joint) dan struktur-struktur
penunjangnya.3 Nyeri radikuler ditimbulkan oleh iritasi dorsalis dan diproyeksikan sesuai
dengan distribusi dermatom. Nyeri dirasakan tajam, seperti ditembak/ ditikam. Nyeri
bertambah berat dengan aktifitas yang meningkatkan kompresi pada nervus ataupun
menimbulkan regangan pada seperti batuk, bersin, hiperekstensi tulang belakang.3
Deformitas gibbus, yang merupakan bentuk kiphosis struktural, mendistorsi anatomi
kanalis vertebra. Medula spinalis kemudian beresiko terkompresi, sehingga terjadi
paraplegia.15 Kadang-kadang, paraplegia late onset terjadi karena osteofit dan perubahan
degeneratif kronis lainnya pada tempat infeksi sebelumnya. Pembentukan “abses dingin”
(suatu massa jaringan lunak ) umum terjadi. Kompresi medula spinalis oleh abses paraspinal
ataupun korpus vertebra yang kolaps dapat menimbulkan kelainan neurologis. Gambaran
klinis yang ditimbulkan tergantung pada level dari medula spinalis atau radiks yang
terkompresi.3 Kelainan neurologis terjadi pada 50% kasus dan dapat berupa kompresi
medulla spinalis dengan paraplegia, paresis, gangguan sensasi, nyeri radikuler, dan/ atau
sindrom cauda equina. Spondilitis tuberkulosis paling sering mengenai segmen thoraks
bawah dan lumbal atas; terlibatnya segmen servikal dan thoraks atas jarang terjadi.16
Pada pemeriksaan fisik ditemukan deformitas dari tulang belakang (gibus) yang
disertai spasme otot disekitarnya dan nyeri tekan. Pergerakan menjadi terbatas. Dapat pula
ditemukan massa di pangkal paha, paha ataupun panggul. Pada pemeriksaan neurologis dapat
ditemukan defisit neurologis sesuai dengan kompresi medula spinalisnya.3
Penyakit Pott yang melibatkan vertebra cervical bagian atas dapat menyebabkan
gejala progresif cepat. Abses retrofaring terjadi pada hampir semua kasus yang mengenai
vertebra cervical. Manifestasi neurologis terjadi pada awal dan dapat berspektrum dari
kelumpuhan saraf tunggal sampai hemiparesis atau tetraplegia.

2.6. Pemeriksaan penunjang

 Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium memberikan hasil peningkatan LED yang nyata ( > 100
mm/ jam) dan tuberkulin tes positif. CRP yang meningkat menunjukkan telah terbentuk
pus (abses). Pada kondisi kronis pemeriksaan darah rutin dapat menunjukkan anemia
normositik dan leukositosis. Mantoux test biasanya positif (84- 95%) namun hal ini hanya
menunjukkan riwayat pemah terpapar TB. Selain itu juga pemeriksaan ini juga tidak spesifik
karena pada orang-orang yang pemah terinfeksi mikobakterium non tuberkulosis juga akan
memberikan hasil yang positif. Kultur sampel urin pagi positif bila ada tuberkulosis renal.
Pemeriksaan sputum positif hanya bila infeksi akut paru-paru.3
Pemeriksaan laboratorium yang memastikan penyakit adalah kultur positif dari hasil
biopsi lesi vertebra. Berkenaan dengan pemeriksaan mikrobiologis yang disebutkan di atas,
sampel jaringan tulang atau abses diperoleh untuk pengecatan basil tahan asam (BTA ), dan
organisme diisolasi untuk kultur dan sensitivitas. Prosedur pengambilan sampel tulang yang
terkena atau struktur jaringan lunak secara perkutan dipandu oleh CT scanning. Temuan
pemeriksaan ini positif `hanya pada sekitar 50 % dari kasus.3,16
Karena pemeriksaan mikrobiologis mungkin gagal mendiagnosis Penyakit Pott,
pemeriksaan patologi anatomi bisa menjadi pemeriksaan yang penting. Temuan patologis
termasuk jaringan granulasi eksudatif dengan diselingi abses. Penumpukan abses terjadi di
daerah nekrosis kaseosa. Selain itu dapat ditemukan giant cell berinti banyak, sel epitel, dan
limfosit.

 X Foto rontgen

Foto polos vertebra menunjukkan gambaran destruksi korpus vertebra terutama di


bagian anterior, kolaps vertebra, diskus intervertebral menyempit atau bahkan hancur. Juga
gambaran abses paravertebra, berupa bayangan di daerah paravertebra.3 Demineralisasi end
plate dan batas tulang yang tidak jelas juga dapat terlihat.17 Selanjutnya, vertebra yang
berhadapan juga dapat ikut terlibat. Meskipun ada, jarang ada kasus dimana keterlibatan
vertebra selang-seling (skip lesions).18
Berikut ini adalah perubahan radiografi yang merupakan karakteristik
tuberkulosis spinal pada radiografi polos 19:
 Perusakan litik dari bagian anterior korpus vertebra
 Peningkatan wedging anterior
 Kolaps korpus vertebral
 Sklerosis reaktif pada proses litik progresif
 Osteoporosis vertebral end plate
 Diskus intervertebralis dapat menyusut atau hancur.
 Korpus vertebra menunjukkan beragam derajat destruksi.
 Bayangan paravertebral (paravertebral shadow) fusiform pembentukan abses.
 Pembesaran bayangan psoas (psoas shadow) dengan atau tanpa kalsifikasi
 Lesi tulang dapat terjadi pada lebih dari 1 tingkat.

Wedging ”Skip lesion” pada V.Th1, Th4, dan Th8


 Imejing

Pemeriksaan pencitraan tomografi komputer (CT Scan) menunjukkan gambaran


tulang, jaringan lunak sekitar vertebra dan dalam kanalis dengan lebih jelas. CT Scan dapat
mendeteksi kerusakan tulang yang baru timbul serta lebih efektif untuk melihat bentuk tulang
dan kalsifikasi abses paravertebra yang merupakan gambaran klasik dari penyakit Pott.
Pencitraan resonansi magnetik (MRI) merupakan pilihan pencitraan karena dapat
melihat baik tulang maupun jaringan lunak yang terkena dan penyebaran di bawah
ligamentum longitudinal anterior dan posterior, juga dapat membedakan antara tuberkulosis
dan piogenik.

Spondilodiscitis ThVIII-X dengan destruksi corpus


vertebra dan discus intervertebralis, disertai abses
paravertebral dan epidural

Abses intraosseus pada


ThXI disertai abses di
bawah ligamentum
longitudinal anterior

Kolaps corpus vertebra


dengan discus yang relatif
masih baik disertai massa
paravertebra
Tampak lesi osteolitik pada ThVII-VIII, abses
subligamentus longitudinal anterior dan kompresi
pada medulla spinalis

Abses retrofaring pada


segmen servikal
dengan gambaran lesi
tubercular bersepta

2.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ditujukan untuk eradikasi infeksi, mencegah atau memperbaiki
defisit neurologi dan deformitas tulang belakang. Penatalaksanaan primer adalah
medikamentosa. US CDC dan British Medical Research Council merekomendasikan
kombinasi OAT selarna 6-9 bulan pada spondilitis Tuberkulosis. Pada kasus yang melibatkan
beberapa vertebra dianjurkan pengobatan selama 9-12 bulan. Kombinasi yang digunakan
paling sedikit terdiri dari 3 jenis OAT dan salah satunya harus bersifat bakterisidal. Diberikan
pada 2 bulan pertama dilanjutkan dengan INH dan Rifampisin sampai masa terapi selesai.
Dosis yang digunakan adalah INH 300 mg oral, rifampisin 10 mg/KgBB, tidak melebihi 600
mg. Untuk pirazinarnid dosis yang diberikan adalah 15-30 mg/KgBB, etambutol 15-25
mg/KgBB dan Streptomisin 15 mg/KgBB, tidak melebihi 1g/hari.3
Panduan OAT yang digunakan di Indonesia
Selain OAT lini pertama yang lebih banyak dikenal seperti rifampicin, isoniazid,
pirazinamid, ethambutol, dan streptomisin, terdapat juga OAT yang berada di lini berikutnya.
Penggolongannya lebih jelas diuraikan dalam tabel di bawah ini :
Golongan Obat OAT berdasarkan lini pemakaian

Kebijakan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di


Indonesia :
 Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
 Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
 Di samping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
 Kategori Anak: 2HRZ/4HR
 Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di Indonesia terdiri
dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin, Levofloksasin, Ethionamide,
sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol.
 Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau
4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien.
Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
 Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini
disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek
samping OAT KDT.
 Jenis, sifat, dosis yang direkomendasikan OAT lini pertama :

Panduan OAT lini pertama dan peruntukannya.


a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
• Pasien baru TB paru BTA positif.
• Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
• Pasien TB ekstra paru
Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1

Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1


b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
• Pasien kambuh
• Pasien gagal
• Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2

Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2

Catatan :
 Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah
500 mg tanpa memperhatikan berat badan.
 Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
 Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
sebanyak\ 3,7 ml sehingga menjadi 4 ml. (1ml = 250 mg).

Penatalaksanaan nyeri juga penting. Pengobatan akut dapat menggunakan


antiinflamasi nonsteroid, inhibitor COX-2, opioid lemah (kodein dan tramadol). Bila masih
timbul nyeri dapat diberikan opioid yang kuat (morfin dan oksikodon). Bila timbul nyeri
kronik dapat diberikan antidepresan trisiklik atau antikonvulsi. Fisioterapi untuk mengatasi
nyeri dilakukan pemanasan, pendinginan, terapi ultrasound, massotherapy, TENS, dan
akupuntur. Pasien juga diajarkan teknik relaksasi dengan biofeedback, guided imagery,
meditasi. Kadang-kadang diperlukan konseling psikologi.3
Penatalaksanaan bedah dilakukan pada pasien bila terdapat defisit neurologi,
deformitas tulang belakang dengan instabilitas, tidak ada respon terhadap pengobatan
medikamentosa, tidak patuh minum obat, dan diagnostik belum jelas. Pembedahan
dikontraindikasikan jika prolaps tulang vertebra tidak besar (korpus vertebra yang kolaps
kurang dari 50% atau deformitas tulang belakang kurang dari 50).3
Teknik operasi yang sering digunakan adalah debridemen radikal fokal anterior dan
stabilisasi posterior, selain itu dapat juga dilakukan debridemen radikal anterior, dekompresi
dan fusi menggunakan instrurnentasi tulang belakang anterior dan penggantian dengan
allograft dari fibula. Darwish et al (2001) berpendapat bahwa dalam penatalaksanaan
penyakit ini, kombinasi kemoterapi dengan pembedahan merupakan kombinasi terbaik.24
Fisioterapi diperlukan untuk mencegah timbulnya dekubitus, pencegahan fraktur dan
deformitas tulang belakang yang lebih berat. Kadang-kadang diperlukan frame, plaster bed,
plaster jacket, dan brace. Pasien dilatih untuk mobilisasi aktif namun dengan menjaga
stabilitas tulang belakang direncanakan pemasangan korset torakolumbal.3

2.8. Diagnosis banding


Diagnosis banding spondilitis tuberkulosis adalah infestasi jamur, kanker metastasis,
abses medula spinalis tumor tulang belakang, infeksi mikobakterioum lainnya (avium,
kansasii).

2.9. Pronosis
Prognosis tergantung dari derajat penyakit. Bila tidak ada deformitas tulang belakang
berat dan defisit neurologi yang jelas maka hasil pengobatan akan baik. Prognosis juga
bergantung pada kepatuhan pasien minum obat. Paraplegia yang timbul juga mengalami
perbaikan dengan kemoterapi yang tepat, bila tidak ada perbaikan maka diperlukan
pertimbangan tindakan operatif. Paraplegi ini dapat menetap jika terjadi kerusakan medulla
spinalis yang permanen.

BAB II
LAPORAN KASUS BANGSAL SPONDILITIS TUBERKULOSIS
Oleh : Rony Parlindungan Sinaga
Moderator : dr. Maria Belladona, Sp.S, MSi.,Med.

I. Identitas Penderita
Nama : Tn G W
Umur : 39 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status perkawinan : Menikah
Pendidikan : Lulus SMA
Pekerjaan : Buruh Pabrik
Alamat : Perum Sudirman, RT 001 RW 006 kelurahan tigakarsa
Kabupaten Serang, Provinsi Banten
Tanggal masuk perawatan : 11 Oktober 2018
No CM : C717517

II. Daftar Masalah

No Masalah aktif Tgl No Masalah Tgl


Pasif
1 Paraparese inferior spastik  7 11/10/18
2 Nyeri punggung  7 11/10/18
3 Hipestesi dari kedua ujung jari s/d
dermatom Th 3-4  7 11/10/18
4 Retensio uri dan alvi 7 11/10/18
5 Anemia Normositik Normokrom 7 21/10/18
6 Leukositosis  7 21/10/18
7 Spondilitis tuberculosis 11/10/18
III. Data Subyektif
Autonamnesis dengan pasien tanggal 11 Oktober 2018
1. Keluhan utama : Lemah kedua anggota gerak bawah
2. Riwayat penyakit sekarang :
- Lokasi : kedua anggota gerak bawah
- Onset : sejak + 8 bulan SMRS, semakin lama semakin berat
- Kualitas : Kedua tungkai tidak dapat digerakan
- Kuantitas : ADL sebagian dibantu keluarga

- Kronologis :
+ 8 bulan SMRS pasien mengeluhkan lemah anggota gerak bawah. Saat itu
pasien masih dapat berjalan walaupun pasien jalannya agak menyeret. Selain itu
pasien pasien juga mengeluhkan nyeri punggung yang semakin lama semakin berat,
dan semakin nyeri apabila pasien berjalan. pasien juga mengeluhkan kesemutan,
rasa tebal, namun BAB dan BAK dalam kondisi baik. Saat itu pasien mengatakan
sudah selesei pengobatan TB kurang lebih 2 bulan lalu dan dikatakan sembuh oleh
dokter. Sebelumnya pasien mengkonsumsi obat TB selama 8 bulan.
+ 3 bulan SMRS pasien mengeluhkan lemah anggota gerak bawah yang
semakin berat, dan pasien sudah tidak dapat berjalan lagi, hanya bisa menggeserkan
kedua anggota gerak bawahnya. Pasien juga masih mengeluhkan kesemutan, rasa
tebal, dan mengeluhkan sulit BAB dan sulit BAK. Pasien juga mengeluhkan
terdapat benjolan pada punggung belakang yang dirasakan nyeri bila ditekan. Lalu
pasien pergi berobat di RSUD banten dan disarankan untuk kembali mengkonsumsi
obat tersebut namun pasien tidak melanjutkan konsumsi obat.
+ 1 bulan SMRS pasien mengeluhkan kelemahan anggota gerak bawah yang
semakin berat hingga pasien tidak dapat menggerakan kedua anggota gerak bawah
pasien sehingga pasien hanya berbaring saja di tempat tidur, pasien juga
mengeluhkan terdapat benjolan pada punggung yang dirasakan nyeri bila ditekan,
rasa tebal, kesemutan, sulit BAB dan BAK. Lalu pasien berobat ke RSUD Banten
dan pasien dirujuk ke RSDK.
- Faktor yang memperberat : (-)
- Faktor yang memperingan : (-)
- Gejala penyerta : Nyeri punggung, terdapat benjolan pada punggung,
rasa tebal, rasa kesemutan, sulit BAB dan BAK.
.
3. Riwayat penyakit dahulu :
 Pasien baru pertama kali ini sakit seperti ini
 Riwayat pengobatan TB selama 8 bulan mendapat FDC 2 tablet, 3x/ minggu.
 Riwayat trauma disangkal
 Riwayat penyakit tumor disangkal

4. Riwayat penyakit keluarga :


 Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan seperti ini.
5. Sosial ekonomi :
Pasien seorang buruh pabrik tinggal bersama istri dan memiliki 3 orang anak yang
belum mandiri, pembiayaan dengan BPJS kesan sosial ekonomi kurang.

IV. Data Obyektif

1. Status presens
Keadaan Umum : tampak lemah
Tanda Vital : TD : 120/ 80mmHg SpO2. : 98%
N : 82 kali / menit VAS : 3-5
RR : 22 kali / menit
t : 36,5 C
2. Status Internus
Kepala : simetris, mesosefal
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : kaku kuduk (-), pembesaran limfonodi (-)/(-)
Dada :
- Jantung : konfigurasi jantung normal
Bunyi jantung I-II normal, gallop (-), bising sistolik (-).
- Paru : Suara dasar vesikular, ronkhi(-)/(-), wheezing (-)/(-)
- Abdomen : Supel, nyeri tekan (-), hepar/lien tak teraba, bising usus (+) N
Ekstremitas : Edema (-), turgor cukup
TB : 165 cm
BB : 50 Kg
BMI : BB = 50 Kg = 18,36 Kg/m2 (underweight)
TB2 (1,65m)2
3. Status Psikikus
Cara berpikir : realistik
Perasaan hati : normotimik
Tingkah laku : normoaktif
Ingatan : kesan cukup
Kecerdasan : kesan cukup

4. Status Neurologis
Kesadaran : GCS: E4M6V5
Kepala : Bentuk : Mesosefal
Simetri : Simetris
Mata : pupil bulat isokor, Ф 2,5 mm/2,5 mm, reflek cahaya +/+
nistagmus -/-, gerak bola mata bebas,
visus >3/60/>3/60
Leher : Sikap : lurus
Pergerakan : Bebas
Kaku kuduk : (-)
Nn Cranialis : dalam batas normal
Motorik : Superior Inferior
Gerak +/+ ↓/↓
Kekuatan 5-5-5/5-5-5 0-0-0/0-0-0
Tonus N/N s
Trofi E/E E/E
Refleks fisiologis ++ /++ ++++ / ++++
Refleks patologis - /- + /+
Klonus + /+
Sensibilitas : Hipestesi dari kedua ujung jari kaki sampai dengan dermatom Th 3-4
Vegetatif : Retensio alvi et urin
Proprioseptif : dalam batas normal
Pemeriksaan Kolumna Vertebralis
 Pergerakan kolumna vertebralis : bebas
 Inspeksi : warna kulit sama dengan sekitar
 Palpasi : Gibus (+), panas (-)
 Palpasi : Nyeri ketok vertebra (+)
Koordinasi, Gait dan Keseimbangan
Cara berjalan : belum dapat dinilai
Tes Romberg : belum dapat dinilai
Disdiadokokinesis : (-) Ataksia : (-)
Rebound phenomen : (-) Dismetri : (-)

Gerakan-gerakan abnormal
Tremor : (-) Mioklonik : (-)
Athetose : (-) Khorea : (-)

 Hasil laboratorium darah (11/10/2018)


Laboratorium Nilai Nilai normal Satuan
Hb 15 12-15 gr%
Ht 45.6 35-47 %
Eritrosit 5.78 4,4-5,9 juta juta/mm3
MCH 26 27-32 pg
MCV 78 76-96 fL
MCHC 32.9 29-36 g/dl
Leukosit 5.7 4-11 ribu/ mm3
Trombosit 255 150-400 ribu/ mm3
Natrium 140 136-145 mmol/L
Kalium 3.7 3,5-5,1 mmol/L
Chlorida 102 98-107 mmol/L
Calcium 2.24 2,12-2,52 mmol/L
Magnesium 0,94 0,74-0,99 mmol/L
Ureum 16 15-39 mg/dL
Kreatinin 1,22 0,6-1,3 mg/dL
GDS 86 74-106 mg/dL

Kesan : anemia normositik normokromik, leukositosis

Osmolaritas : 2(140+3.7) + (86/18)+(16/6) = 287,4 + 14.3 + 2.67 = 304.37

304.37−295
Fluid deficit x 50 x 0.6=0.95 L
295

 Hasil Rő thoraks AP (11/10/2018)


Kesan :
 Cor tidak membesar
 Gambaran TB paru
 Opasitas bentuk triangular pada lapangan
atas paru kanan disertai deviasi trachea ke
kanan  cenderung gambaran atelektasi.


V. Ringkasan

Subyektif :
Seorang laki-laki, 39 tahun , + 8 bulan SMRS mengalami paraparesis inferior yang
berjalan progresif, hipestesia dari kedua ujung jari kaki sampai dengan dermatom Th3-4,
terdapat Gibus (+), nyeri tekan (+), dan retensio urin et alvi
+ 1 tahun SMRS pasien selesei mengkonsumsi obat TB selama 8 bulan dan
dinyatakan sembuh oleh dokter.
Obyektif :
GCS : E4M6V5
Tanda vital : TD: 120/80 mmHg, N: 82 kali / menit
RR: 22 kali / menit, t: 36.5 C, VAS : 2-3
Leher : kaku kuduk (-)
Nn Cranialis : dalam batas normal
Motorik : paraparesis inferior spastik
Sensibilitas : hipestesi s/d dermatom Th3-4
Vegetatif : retensio uri et alvi
VI. DIAGNOSIS :
1. Diagnosis Klinik : paraplegia inferior spastik
hipestesi dari kedua ujung jari s/d dermatom Th3-4
retensio uri et alvi
Diagnosis Topik : MS setinggi vertebra Th III-IV
Diagnosis Etiologik :Susp. spondilitis tuberkulosis
2. Riwayat Pengobatan TB
VII. RENCANA AWAL :
Susp. Spondilitis TB
Px : Konsul Rehabilitasi Medis,
MRI Thoracal dengan kontras
Konsul Bagian Interna Subpulmo
Tx : IVFD RL 20 tpm
Inj. Metilprednisolon 125mg/ 12 jam
Inj. Ranitidin 50 mg/ 12 jam
Paracetamol 500mg/8 jam/ oral
Vit B1B6B12 1 tab/ 8 jam/ oral
Mx : Keadaan umum, Tanda vital, Defisit neurologis
Ex : Menjelaskan kepada penderita dan keluarga mengenai penyakit
dan program selanjutnya

VIII. CATATAN PERKEMBANGAN


Tanggal 12-10-2018 (hari perawatan ke-1) :
S : Lumpuh kedua anggota gerak bawah (+), nyeri punggung berkurang, benjolan(+)
O : KU : Tampak Sakit sedang GCS: E4M6V5
TD : 120/80 mmHg, N : 76x/mnt, RR : 20x/mnt, t : 36,5oC, VAS : 2-3
Status neurologis : tetap

 Konsul Bagian Rehabilitasi Medis (12/11/2018)


Ass : Paraplegia inferior spastik ec lesi transversal MS Th3-4 ec Spondilitis TB
Program :
- FT : - Alih baring tiap 2 jam
- Mobilisasi bertahap
- AROM AGA Bilateral
- PROM AGS Bilateral
- Gentle massage, strechty AGB bilateral

 Konsul Bagian Interna Sub Pulmonologi (12/11/2018)


Ass : Paraparesis inferior ec Susp Spondilitis TB
Saran : Menunggu hasil MRI Thoracal

A : tetap
P :
1. Susp. Spondilitis TB
Px : Acc MRI Thoracal tanpa kontras
Tx : Tetap

Tanggal 13-10-2018 (hari perawatan ke-2) :


S : Lemah kedua anggota gerak bawah, nyeri punggung bawah hilang timbul
O : GCS: E4M6V5
TD : 130/70 mmHg, N : 86x/mnt, RR : 20x/mnt, t : 36,8oC, VAS : 2-3
Status neurologis : tetap

 Hasil MRI Thoracal dengan kontras

Kesan :
 Kompresi berat vertebra Th4 serta destruksi sebagian corpus vertebra Th5 dan diskus
intervertebralis Th4-5 yang membentu “gibbus deformity” disertai massa
paravertebral kanan kiri (terutama sisi kanan) setinggi vertebra Th3-6 (ukuran AP
3.89 x CC 5.39 x LL 6.42cm) yang meluas ke costa 3-4 posterior kanan, meluas ke
intraparenkim paru kanan sekitarnya, serta meluas ke epidural disertai pendesakan
thecal Sac dan edema medulla spinalis setinggi level tersebut sesuai gambaran
Spondilitis TB
 Bulging posterosentral diskus intervertebralis C3-4, C4-5, C5-6, Th2-3 disertai
pendesakan thecal sac setinggi level tersebut
 Bulging posterosentral dan posterolateral kanan kiri diskus intervertebralis C6-7
disertai pendesakan thecal sac dan penyempitan foramen neuralis kanan kiri setinggi
level tersebut
 Bulging posterolateral kanan diskus intervertebralis Th1-2 disertai penyempitan
foramen neuralis kanan setinggi level tersebut.

 Konsul Bedah Orthopedi (13-11-2018)


Rawat Bersama dan menunggu jadwal tindakan operasi
A : tetap
P :

1. Susp. Spondilitis TB
Px : Tunggu jadwal tindakan operasi dari orthopedi
Fisioterapi
Tx : IVFD RL 20 tpm :
Inj. Metil prednisolone 125mg/ 24 jam/ iv (tappring off)
Inj. Ranitidin 50mg/ 12 jam/ iv
Gabapentin 100mg/ 12 jam/ oral
Paracetamol 500mg/ 8 jam/ oral
Vit B1B6b12 1 tab/ 8 jam/ oral

Tanggal 14-10-2018 (hari perawatan ke-3) :

S : Lemah kedua anggota gerak bawah, nyeri punggung bawah berkurang


O : GCS: E4M6V5
TD : 130/80 mmHg, N : 72x/mnt, RR : 18x/mnt, t : 36,8oC, VAS : 2-3
Status neurologis :
Motorik : Superior Inferior
Gerak +/+ ↓/↓
Kekuatan 5-5-5/5-5-5 2-2-2/2-2-2
Tonus N/N ↑/↑
Trofi E/E E/E
Refleks fisiologis ++ /++ ++++ / ++++
Refleks patologis - /- + /+
Klonus + /+
Sensibilitas : Hipestesi dari kedua ujung jari kaki sampai dengan dermatom Th 3-4
Vegetatif : Retensio alvi et urin
A : tetap
P :
1. Susp. Spondilitis TB
Px : Tunggu jadwal tindakan operasi dari orthopedi
Fisioterapi
Tx : Tetap
Tanggal 16-10-2018 (hari perawatan ke-5) :

S : Lemah kedua anggota gerak bawah, nyeri punggung bawah berkurang


O : GCS: E4M6V5
TD : 110/70 mmHg, N : 86x/mnt, RR : 20x/mnt, t : 36,8oC, VAS : 2-3
Status neurologis :
Motorik : Superior Inferior
Gerak +/+ ↓/↓
Kekuatan 5-5-5/5-5-5 3-2-2/2-2-3
Tonus N/N ↑/↑
Trofi E/E E/E
Refleks fisiologis ++ /++ ++++ / ++++
Refleks patologis - /- + /+
Klonus + /+
Sensibilitas : Hipestesi dari kedua ujung jari kaki sampai dengan dermatom Th 3-4
Vegetatif : Retensio alvi et urin

A : tetap
P :
1. Susp. Spondilitis TB
Px : Tunggu jadwal tindakan operasi dari orthopedi
Tx : IVFD RL 20 tpm :
Inj. Metil prednisolone 125mg/ 24 jam/ iv
Inj. Ranitidin 50mg/ 12 jam/ iv
Gabapentin 100mg/ 12 jam/ oral
Paracetamol 500mg/ 8 jam/ oral
Vit B1B6b12 1 tab/ 8 jam/ oral
Lactulac Syr 1C/ 8 jam/ oral

Tanggal 19-10-2018 (hari perawatan ke-8) :


S : Lemah kedua anggota gerak bawah, nyeri punggung bawah berkurang
O : GCS: E4M6V5
TD : 120/70 mmHg, N : 86x/mnt, RR : 20x/mnt, t : 36,8oC, VAS : 2-3
Status neurologis :
Motorik : Superior Inferior
Gerak +/+ ↓/↓
Kekuatan 5-5-5/5-5-5 2-2-2/2-2-2
Tonus N/N ↑/↑
Trofi E/E E/E
Refleks fisiologis ++ /++ ++++ / ++++
Refleks patologis - /- + /+
Klonus + /+
Sensibilitas : Hipestesi dari kedua ujung jari kaki sampai dengan dermatom Th 3-4
Vegetatif : Retensio alvi et urin

A : tetap
P :
1. Susp. Spondilitis TB
Px : PSRS + Laminektomi dijadwalkan tanggal 19-10-2018
Biopsi jaringan Gibus dan Gen Expert jaringan gibus
Fisioterapi
Tx : IVFD RL 20 tpm :
Inj. Metil prednisolone 125mg/ 24 jam/ iv
Inj. Ranitidin 50mg/ 12 jam/ iv
Gabapentin 100mg/ 12 jam/ oral
Paracetamol 500mg/ 8 jam/ oral
Vit B1B6b12 1 tab/ 8 jam/ oral
Lactulac Syr 1C/ 8 jam/ oral

Tanggal 20-10-2018 (hari perawatan ke-9, Post op H-1) :


S : Lemah kedua anggota gerak bawah, nyeri pada luka operasi (+)
O : GCS: E4M6V5
TD : 120/80 mmHg, N : 80x/mnt, RR : 20x/mnt, t : 36,8oC, VAS : 2-3
Status neurologis :
Motorik : Superior Inferior
Gerak +/+ ↓/↓
Kekuatan 5-5-5/5-5-5 2-2-2/2-2-2
Tonus N/N ↑/↑
Trofi E/E E/E
Refleks fisiologis ++ /++ ++++ / ++++
Refleks patologis - /- + /+
Klonus + /+
Sensibilitas : Hipestesi dari kedua ujung jari kaki sampai dengan dermatom Th 3-4
Vegetatif : Retensio alvi et urin
Drain : 200cc

A : Diagnosis Klinik : paraplegia inferior spastik


hipestesi dari kedua ujung jari s/d dermatom Th3-4
retensio uri et alvi
Diagnosis Topik : MS setinggi vertebra Th III-IV
Diagnosis Etiologik : Post Laminektomi H-1 ec Susp. spondilitis
tuberkulosis
P :
1. Post Laminektomi ec Susp. Spondilitis TB
Px : Cek darah rutin, ureum creatinin, elektrolit GDS post operasi
Menunggu hasil biopsi jaringan gibus dan Gen Expert jaringan gibus
Fisioterapi
Tx : IVFD RL 20 tpm :
Inj. Metil prednisolone 125mg/ 24 jam/ iv
Inj. Ranitidin 50mg/ 12 jam/ iv
Inj. Ketorolac 30mg/ 12 jam/ iv (selama 2 hari)
Inj. Ceftriaxone 2gr/ 24 jam/ iv (H-2)
Gabapentin 100mg/ 12 jam/ oral
Paracetamol 500mg/ 8 jam/ oral
Vit B1B6b12 1 tab/ 8 jam/ oral
Lactulac Syr 1C/ 8 jam/ oral

Tanggal 21-10-2018 (hari perawatan ke-10, post op hari ke – 2) :


S : Lemah kedua anggota gerak bawah, nyeri pada luka operasi (+)
O : GCS: E4M6V5
TD : 110/70 mmHg, N : 74x/mnt, RR : 18x/mnt, t : 36,8oC, VAS : 2-3
Status neurologis : Tetap
Drain : 100cc
 Hasil laboratorium darah (20/10/2018)
Laboratorium Nilai Nilai normal Satuan
Hb 9.9 12-15 gr%
Ht 30.9 35-47 %
Eritrosit 3.76 4,4-5,9 juta juta/mm3
MCH 26.3 27-32 pg
MCV 82.2 76-96 fL
MCHC 32 29-36 g/dl
Leukosit 15.7 4-11 ribu/ mm3
Trombosit 269 150-400 ribu/ mm3
Natrium 143 136-145 mmol/L
Kalium 3.9 3,5-5,1 mmol/L
Chlorida 110 98-107 mmol/L
Ureum 24 15-39 mg/dL
Kreatinin 1.2 0,6-1,3 mg/dL
GDS 133 74-106 mg/dL

A:
1. Diagnosis Klinik : paraplegia inferior spastik
hipestesi dari kedua ujung jari s/d dermatom Th3-4
retensio uri et alvi
Diagnosis Topik : MS setinggi vertebra Th III-IV
Diagnosis Etiologik : Post PSRS + Laminektomi H-2 ec Susp. spondilitis
tuberculosis

2. Anemia Normositik Normokrom


3. Leukositosis

P :
1. Post Laminektomi ec Susp. Spondilitis TB
Px : Menunggu hasil biopsi jaringan gibus dan Gen Expert jaringan gibus
Fisioterapi
Tx : IVFD RL 20 tpm :
Inj. Metil prednisolone 62.5mg/ 24 jam/ iv
Inj. Ranitidin 50mg/ 12 jam/ iv
Inj. Ketorolac 30mg/ 12 jam/ iv (selama 2 hari)
Inj. Ceftriaxone 2gr/ 24 jam/ iv (H-2)
Gabapentin 100mg/ 12 jam/ oral
Paracetamol 500mg/ 8 jam/ oral
Vit B1B6b12 1 tab/ 8 jam/ oral
Lactulac Syr 1C/ 8 jam/ oral

2. Anemia Normositik Normokrom


Px :-
Tx :-
Mx : Keadaan umum dan tanda vital
Ex : Menjelaskan tentang anemia, kemungkinan penyebabnya, dan
tatakelolanya
3. Leukositosis
Px :-
Tx :-
Mx : Keadaan umum dan tanda vital
Ex : Menjelaskan tentang leukositosis, kemungkinan penyebabnya, dan
tatakelolanya

Tanggal 22-10-2018 (hari perawatan ke-11, post op hari ke – 3) :


S : Lemah kedua anggota gerak bawah, nyeri pada luka operasi (+) berkurang
O : GCS: E4M6V5
TD : 120/80 mmHg, N : 76x/mnt, RR : 19x/mnt, t : 36,8oC, VAS : 1-2
Status neurologis : Tetap
Drain : 30cc
A : Tetap

P :
1. Post Laminektomi ec Susp. Spondilitis TB
Px : Menunggu hasil biopsi jaringan gibus dan Gen Expert jaringan gibus
Fisioterapi
Menunggu TLSO
Tx : Inj. Ketorolac 30mg/ 8 jam/ iv (stop)
Terapi lain tetap

Tanggal 25-10-2018 (hari perawatan ke-14, post op hari ke – 6) :


S : Lemah kedua anggota gerak bawah, nyeri pada luka operasi (-)
O : GCS: E4M6V5
TD : 110/70 mmHg, N : 77x/mnt, RR : 20x/mnt, t : 36,8oC,
Status neurologis : Tetap
Drain : 5 cc  aff
 Hasil Gen Expert (25-10-2018)
MTB detected High
Rifampisin Resistance, Not Detected
 Hasil Patologi Anatomi biopsy jaringan gibus (25-10-18)
Kesimpulan : Radang Kronik Granulomatik yang dapat ditemukan pada proses spesifik

A:
1. Diagnosis Klinik : paraplegia inferior spastik
hipestesi dari kedua ujung jari s/d dermatom Th3-4
retensio uri et alvi
Diagnosis Topik : MS setinggi vertebra Th III-IV
Diagnosis Etiologik : Post PSRS + Laminektomi H-6 ec spondilitis
tuberculosis

2. Anemia Normositik Normokrom


3. Leukositosis

P :
1. Post Laminektomi ec Spondilitis TB
Px : Menunggu TLSO
Fisioterapi
Tx : IVFD RL 20 tpm
Inj. Metil prednisolone 62.5mg/ 24 jam/ iv  stop
Inj. Ranitidin 50mg/ 12 jam/ iv  stop
Inj. Ceftriaxone 2gr/24 jam/ iv  stop
Asam Folat 2mg/ 24 jam/ oral
Rifampisin 600mg/ 24 jam / oral
INH 400mg/ 24 jam/ oral
Pirazinamid 1750 mg/ 24 jam/ oral
Etambutol 1500mg/ 24 jam/ oral
Lansoprazole 30mg/ 24 jam/ oral
Terapi lain tetap
Tanggal 27-10-2018 (hari perawatan ke-16, post op hari ke – 8):
S : Lemah kedua anggota gerak bawah
O : GCS: E4M6V5
TD : 100/70 mmHg, N : 77x/mnt, RR : 20x/mnt, t : 36,8oC,
Status neurologis : Tetap

A : Tetap
P :
1. Post Laminektomi ec Spondilitis TB
Px : Terpasang TLSO
Fisioterapi
Tx : IVFD RL 20 tpm  aff
Terapi lain tetap

Tanggal 30-10-2018 (hari perawatan ke-19, post op hari ke – 11):


S : Lemah kedua anggota gerak bawah
O : GCS: E4M6V5
TD : 100/70 mmHg, N : 77x/mnt, RR : 20x/mnt, t : 36,8oC,
Status neurologis : Tetap

A : Tetap
P :
Px : Acc Rawat Jalan
Tx : Gabapentin 100mg/ 12 jam/ oral
Vit B1B6B12 1 tab/ 8 jam/ oral
Lactulac Syr 1C/8 jam/ oral
Asam Folat 2mg/ 24 jam/ oral
Rifampisin 600mg/ 24 jam / oral
INH 400mg/ 24 jam/ oral
Pirazinamid 1750 mg/ 24 jam/ oral
Etambutol 1500mg/ 24 jam/ oral
Lansoprazole 30mg/ 24 jam/ oral
Ex : kontrol ke poli saraf
kontrol ke poli penyakit dalam
Rutin mengikuti program rehabilitasi medis
25/10/ 2018 (HP 14,
Post op H6)
12/10/2018 (HP 1) S : Lemah kedua
S : kelemahan anggota gerak bawah,
anggota gerak bawah, nyeri punggung bawah
nyeri punggung berkurang.
berkurang, BAGAN ALUR O : TD 110/70 mmHg N
benjolan(+) 77x/mnt RR 20 S
O : GCS 15, TD 36 C,
120/80 mmHg; N 76 Status neurologi : Tetap
x/mnt; RR 20 x/mnt; S Hasil Gen expert : MTB
36,5 C VAS =2-3. Nn.
19/10/ 2018 (HP 8) High detected hasil
Cranialis : dbn,
S : Lemah kedua patologi anatomi biopsi
motorik: paraplegia
inferior spastik. anggota gerak bawah, jaringa :radang kronik
14/10/2018 (HP 3) nyeri punggung bawah granulomatik
Sensorik : hipestesi
S : Tetap berkurang. A : Tetap
dari ibu jari kaki
O : TD 130/80 mmHg O : TD 120/80 mmHg N P: Menunggu TLSO
sampai hingga
setinggi dermatom N 72 x/mnt RR 18 88x/mnt RR 20 S
20/10/2018 (Hp 9, Fisioterapi
Post
Th 13/10/2018 3-4. (HP S:36 C, Motorik : 36 C, Op H 1) IVFD RL 20 tpm Inj. Metil
30/10/2018 (Hp 19,
Vegetatif:retensio
2) urin Paraplegia inferior Status neurologi S :: Lemah prednisolone 62.5mg/
Tetap kedua anggota 24
et alvi jam/ iv stop Post Op H 11)
S : kelemahan perbaikan (222/222) A : Tetapgerak bawah, nyeri luka
Konsul anggota Bagiangerak S : Lemah kedua anggota
sensibilitas, vegetatif P: PSRS + laminektomi operasi (+) Inj. Ranitidin 50mg/ 12
Rehabilitasi Medik :nyeri gerak bawah,
bawah, tetap dijadwalkan tanggalO : TD19-
120/80 mmHg jam/N iv stop
Paraplegiapunggung
inferior ec O : TD 120/80 mmHg N
bawah A: Susp Spondilitis TB 10-2018 + Biopsi
84x/mnt RR 20 S 37 C Inj. Ceftriaxone 2gr/24
spondylitis(+)TBhilang
Saran timbul
: jam/ 84x/mnt RR 20 S 37 C
P : Tetap jaringan dan Gen expert Status neurologi : iv stop Asam Folat
Fisioterapidan berkurang
Konsul 2mg/ 24 jam/ oral Status neurologi :
jaringan gibus tetap
bagian interna
O :Tetap sub tetap
Pulmonologi A: Post laminektomiRifampisin
Th. lain tetap ec 600mg/ 24
HasilKesan : MRI jam / oral
susp spondilitis TB
A: Post laminektomi ec
paraparesis inferior: ec
Thoracal 16/10/2018 (HP 5) susp spondilitis TB
S : Tetap P :  Cek darah rutin, INH 400mg/ 24 jam/ oral
susp. Spondilitis
Kesan TB gambaran
Saran menunggu hasil TB O : TD 110/70 mmHg N ureum Pirazinamid 1750P:mg/
creatinin,
Gabapentin
24 100mg/12
spondylitis jam/ oral
MRI Thoracal
Hasil Konsul 86x/mnt RR 20 elektrolit GDS jam/ postoral
Etambutol 1500mg/ Vit B1B6B12
24 1 tab/ 8jam/
A : susp spondilitis
Bedah TB S 37 C operasi
oral
P : Terapiorthopedic
tetap : Motorik, sensibilitas, Menunggu hasil biopsi jam/ oral
Lactulac
24 syr 1 C / 8 jam/
Rawat Bersama vegetatif tetap jaringan gibus dan Lansoprazole
Gen 30mg/
A: Susp Spondilitis TB oral
dan menunggu Expert jaringan gibusjam/ oral
jadwal tindakan P :Lactulac Syr IC/8 jam/ Terapi lain tetapAsam folat 2mg/ 24 jam/
IVFD RL 20 tpm: Inj. Metil
oral Th. Lain tetap oral
operasi prednisolone 125mg/ 24
Rifampisin 600mg/ 24
A : susp jam/ iv
jam/ oral
spondilitis TB Inj. Ranitidin 50mg/ 12
P : Inj. Metil INH 400mg/24 jam / oral
jam/ iv Inj. Ketorolac
prednisolon Pirazinamid 1750mg/24
30mg/ 12 jam/ iv (selama
125mg/ 24 jam/ jam/ oral
2 hari) Inj. Ceftriaxone
iv (Tappring off) Etambutol 1500mg/ 24
2gr/ 24 jam/ iv (H-2)
Terapi lain Tetap jam/ oral Lansoprazole
Gabapentin 100mg/ 12
30mg/ 24 jam/ oral
jam/ oral
rawat jalan kontrol ke
Paracetamol 500mg/ 8
poli saraf
jam/ oral
Kontrol ke poli penyakit
Vit B1B6b12 1 tab/ 8
dalam rutin mengikuti
jam/ oral
program rehabilitasi
Lactulac Syr 1C/ 8 jam/
medis  
oral
Drain 200cc
DECISION MAKING
DAFTAR PUSTAKA

1. Muller I. Mistakes in the diagnosis and treatment o tuberculous spondylitis. A case


study. Scripta Medica. 2000;73(3):157-160.
2. Macnab I, Mc Culloch J. Spondylogenic back pain: Osseous lesions. In: Macnab I,
McCulloch J, eds.Backache. Williams & Wilkins, Baltimore; 1990:55-60.
3. Buku Modul Induk. Kolegium neurologi Indonesia. Perhimpunan dokter spesialis
saraf Indonesia
4. Jain AK, Dhammi IK. Tuberculosis of the spine: a review. Clin Orthop Relate Res
2007;460:39—49.
5. Turgut M. Spinal tuberculosis (Pott’s disease): its clinical presentation, surgical
management, and outcome. A survey study on 694 patients. Neurosurg Rev
2001;24(1):8—13.
6. Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan
Lingkungan; 2011.
7. Global tuberculosis report 2013. Genewa: World Health Organization; 2013.
8. CDC. Reported Tuberculosis in the United States, 2010. CDC; US Department of
Health and Human Services, Atlanta, GA 2011.
9. Sharma SK, Mohan A. Extrapulmonary tuberculosis. Indian J Med Res 2004;
120:316.
10. Teo HE, Peh WC. Skeletal tuberculosis in children. Pediatr Radiol 2004; 34:853.
11. Peto HM, Pratt RH, Harrington TA, et al. Epidemiology of extrapulmonary
tuberculosis in the United States, 1993-2006. Clin Infect Dis 2009; 49:1350.
12. Fuentes Ferrer M, Gutiérrez Torres L, Ayala Ramírez O, et al. Tuberculosis of the
spine. A systematic review of case series. Int Orthop 2012; 36:221.
13. Nussbaum ES, Rockswold GL, Bergman TA, et al. Spinal tuberculosis: a diagnostic
and management challenge. J Neurosurg 1995; 83:243.
14. Kamara E, Mehta S, Brust JC, Jain AK. Effect of delayed diagnosis on severity of
Pott's disease. Int Orthop 2012; 36:245.
15. Khoo LT, Mikawa K, Fessler RG. A surgical revisitation of Pott distemper of the
spine. Spine J 2003; 3:130.
16. Backer AI, Mortele KJ, Vanschoubroeck IJ,et al. Tuberculosis of the spine: CT and
MR Imaging Feature. JBR-BTR. 2005 Mar-Apr;88(2):92-7.
17. Yao DC, Sartoris DJ. Musculoskeletal tuberculosis. Radiol Clin North Am 1995;
33:679.
18. Yalniz E, Pekindil G, Aktas S. Atypical tuberculosis of the spine. Yonsei Medical
Journal. 2000;41(5):657-661.
19. Ridley N, Shaikh MI, Remedios D, et al. Radiology of skeletal
tuberculosis. Orthopedics. Nov 1998;21(11):1213-20
20. Pande KC, Babhulkar SS. Atypical spinal tuberculosis. Clin Orthop 2002;398:67-74.
21. Babhulkar SS, Tayade WB, Babhulkar SK. Atypical spinal tuberculosis. J Bone Joint
Surg [Br] 1984;66-B:239-42.
22. Kumar S, Jan AK, Dhammi IK, Aggarwal AN. Treatment of intraspinal tuberculoma.
Clin Orthop 2007;460:62-6.
23. Jain AK, Singh S, Sinha S, Dhammi IK, Kumar S. Intraspinal tubercular granuloma:
an analysis of 17 cases. Indian J Orthop 2003;37:182-5.
24. Darwish, B; Blackmore, T; Hunn, M. Intracranial and spinal tuberculosis requiring
neurosurgical intervention.The Wellington Hospital experience 1998-2001. NZ MED
J, 2001; 114:445-447.

Anda mungkin juga menyukai