OLEH :
INSTALASI ANESTESI
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG PROVINSI JATIM
2023
LEMBAR PENGESAHAN
Hari : Kamis
Malang, 15-06-2023
Peserta Pelatihan
1.1 Pengertian
Spondilitis Tuberculosa yaitu infeksi kronis yang berupa infeksi granulomatosis yang
disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosa yang menyerang vertebra.Spondylitis TB
disebut juga penyakit pott bila disertai paraplegi atau deficit neurologis.Spondylitis ini paling
sering ditemukan pada vertebra T8 sampi L3 dan paling jarang pada C2.Spondylitis TB
biasanya mengenai korpus vertebra, sehingga jarang mengenai arkus vertebra.
1.2 Etiologi
Spondilitis TB merupakan infeksi sekunder dari tuberculosis ditempat lain ditubuh.
Penyebabnya yaitu bakteri berbentuk batang atau basil yang mempunyai sifat khusus yaitu tahan
terhadap asam pada pewarnaan.Oleh karena itu disebut sebagai Basil Tahan Asam
(BTA).Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup
beberapa jam ditempatyang gelap dan lembab.Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dorma
atau tertidur lama selama beberapa tahun.
1.3 Anatomi Vertebra
Tulang vertebra terdri dari 33 tulang yaitu 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang torakal, 5
buah tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Tulang servikal, torakal dan lumbal masih tetap
dibedakan sampai usia berapapun, tetapi tulang sakral dan koksigeus satu sama lain menyatu
membentuk dua tulang yaitu tulang sakum dan koksigeus. Kolumna vertebralis mempunyai lima
fungsi utamayaitu
1) Menyangga berat kepala dan dan batang tubuh
2) Melindungi medula spinalis
3) Memungkinkan keluarnya nervi spinalis dari kanalis spinalis
4) Tempat untuk perlekatan otot-otot
5) Memungkinkan gerakan kepala dan batang tubuh
Vertebra lumbalis terletak diregio punggung bawah antara regio torakal dan sakrum.
Vertebra pada regio ini ditandai dengan korpus vertebra yang berukuran besar, kuat dan
tiadanya costal facet. Vertebra lumbal ke 5 (VL5) merupakan vertebra yang mempunyai
pergerakan terbesar dan menanggung beban tubuh bagian atas. Ligamen-ligamen yang
memperkuat persendian di kolumna vertebralis regio lumbal adalah
1) Ligamen flavum
Ligamen flavum merupakan ligamen yang menghubungkan lamina dari dua arkus
vertebra yang berdekatan. Ligamen ini panjang, tipis dan lebar diregio servikal, lebih
tebal di regio torakal dan paling tebal di regio lumbal.
2) Ligamen interspinosus
Ligamen interspinosus merupakan ligamen yang menghubungkan prossesus spinosus
mulai dari basis hingga apex, merupakan ligamen yang lemah hampir menyerupai
membrane.
3) Ligamen intertranversus
Ligamen intertranversus adalah ligamen yang menghubungkan prossesus tranversus
yang berdekatan. Ligamen ini di daerah lumbal tipis dan bersifat membranosa
4) Ligamen supraspinosus
Ligamen supraspinosus menghubungkan prosesus spinosus di daerah apex vertebra
servikal ke 7 (VC7) sampai dengan sakrum. Ligamen ini dibagian kranial bergabung
dengan ligamen nuchae. Ligamen supraspinosus ini kuat, menyerupai tali
Diskus intervertebralis relatif resisten terhadap kegagalan menghadapi beban
kompresi.Vertebral end plate biasanya yang terlebih dahulu kalah baik pada diskus normal
maupun yang telah mengalami degenerasi terutama oleh beban torsional. Beban pada vertebra
terbukti sangat bervariasi, tergantung postur dan beban eksternal. Pada L3-L4 seseorang yang
sedang duduk, tekanan intradiskalnya lebih tinggi dibanding waktu berdiri, tetapi tekanan
paling rendah sewaktu seseorang berbaring terlentang.
1.4 Patofisiologi
Infeksi berawal dari bagian epifisial korpus vertebra.Kemudian, terjadi hiperemia dan
eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan pelunakan korpus.Selanjutnya terjadi kerusakan
pada korteks epifisis, diskus intervertebra, dan vertebra sekitarnya. Kemudain eksudat menyebar
ke depan, di bawah longitudinal anterior. Eksudat ini dapat menembus ligamen dan berekspansi
ke berbagai arah di sepanjang garis ligamen yang lemah. Pada daerah vertebra servikalis,
eksudat terkumpul di belakang paravertebral dan menyebar ke lateral di belakang muskulus
sternokleidomastoideus.
Abses pada vertebra torakalis akan tetap tinggal pada daerah toraks setempat menempati
daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol fusiform.Abses pada serah ini dapat
menekan medulla spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat
menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul dibawah ligamentum inguinal pada
bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar kedaerah krista iliaka dan mungkin dapat
mengikuti pembuluh darah femoralis pada trigonum skarpei atau regio glutea. Eksudat dapat
mengalami protusi ke depan dan ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal.
Perubahan struktur vertebra servikalis menyebabkan spasme otot dan kekakuan leher yang
merupakan stimulus keluhan nyeri pada leher.Pembentukan abses faringeal menyebabkan nyeri
tenggorokan dan gangguan menelan sehingga terjadi penurunan asupan nutrisi dan masalah
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan. Kekakuan leher menyebabkan keluhan
mobilitas leher dan risiko tinggi trauma sekunder akibat tidak optimalnya cara mobilisasi.
Tindakan dekompresi dan stabilisasi servikal pada pasca bedah menimbulkan port de entree
luka pasca bedah risiko tinggi infeksi.
1.5 Manifestasi Klinis
Secara klinis gejala spondilitis TB hampir sama dengan penyakit TB yang lain, yaitu
a. Badan lemah / lesu
b. Nafsu makan menurun
c. BB menurun
d. Suhu tubuh sedikit meningkat (sub febris) terutama pada malam hari
e. Nyeri punggung
f. Nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut
g. Deformitas tulang belakang
h. Adanya spasme otot paravertebralis
i. Bengkak pada daerah paravertebra
j. Gangguan motoric
k. Adanya gibus/kifosis
1.6 Stadium Penyakit
1) Stadium implantasi
Setelah bakteri berada pada tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita turun maka
bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu.
Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak -anak umumya
pada daerah sentral vertebra.
2) Stadium destruksi awal
Setelah stadium implantasi selanjutnya terjadi desktruksi kopus vertebra serta
penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.
3) Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif. Kolaps vertebra dan terbentuk massa
kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin) yang terjadi 2-3 bulan
setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuenstrum serta
kerusakan diskus invertebralis. Pada saat ini trebentuk tulang baji terutama disebelah
depan akibat kerusakan korpus vertebra yang menyebabkan terjadinya kifosis atau
gibbus.
4) Stadium gangguan neurologis
Ganggaun neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, terutama
ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis.Gangguan ini ditemukan 10% dari
seluruh komplikasi spondylitis TB.Vertebra torakalis mempunyai mampunyai kanalis
spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah
ini. Bila terjadi gangguan neorologis maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia,
yaitu :
a) Derajat 1
Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktifitas atauu
setelah berjalan jauh.Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.
b) Derajat 2
Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih dapat
melakukan pekerjaannya.
c) Derajat 3
Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membetasi gerak / aktifitas
penderita.
d) Derajat 4
Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris serta gangguan defekasi dan miksi.
5) Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurnag lebih 3-5 tahun setelah timbulnnya stadium miplantasi.
Kifosis atau gibbus akan bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yag massif
disebelah depan.
1.7 Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
Peningkatan LED dan mungkin disertai leukositosis
Uji Mantoux : hasil positif TB
Pada pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan Mycobacterium
Biopsy jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional
Pemeriksaan hispatologi ditemukan tuberkel. Pemeriksaan foto toraks untuk
melihat adanya tuberkulosis paru
Pungsi lumbal akan didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah
2) Pemeriksaan Radiologi
Foto polos vertebra ditemukan osteoporosis, osteolitil, dan destruksi korpus
vertebra disertai penyempitan diskus intervertebralis yang berada diantara korpus
tersebutdan mungkin dapat ditemukan adanya abses paravertebral.
Pemeriksan mielografi dilakukan bila terdapat tanda-tanda penekanan pada
sumsum tulang
CT Scan, dapat memberikan gambaran tulang secara lebih detail dari lesi
irregular, sclerosis, kolaps diskus.
1.8 Penatalaksanaan
Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan sesegera mungkin
untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia. Prinsip pengobatan
paraplegia Pott adalah:
1) Pemberian obat antituberkulosis
2) Dekompresi medulla spinalis
3) Menghilangkan/ menyingkirkan produk infeksi
4) Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)
Penatalaksanaan pada pasien spondilitis TB terdiri atas:
1) Terapi konservatif berupa:
Tirah baring (bed rest)
Memberi korset yang mencegah gerakan vertebra /membatasi gerak vertebra
Memperbaiki keadaan umum penderita
Pengobatan antituberkulosa
2) Terapi operatif
Indikasi dilakukannya tindakan operasi adalah:
a) Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah
semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan, setiap
spondilitis tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatik.
b) Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka dan
sekaligus debrideman serta bone graft.
c) Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun
pemeriksaan CT dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medulla
spinalis.
1.9 Komplikasi
1) Pott’s Paraplegia, dimana ekstremitas bawah mengalami kelumpuhan karena tekanan
ekstradural oleh pus maupun sequeter, atau invasi jaringan granulasi pada medula
spinalis bila pada stadium awal. Dan pada stadium lanjut terjadi karena terbentuknya
fibrosis dari jaringan granulasi atau perlekatan tulang diatas kanalis spinalis.
2) Empisema tuberkulosis, yang disebabkan oleh rupturnya abses paravertebra torakal ke
dalam pleura
3) Cold abses, yang disebabkan oleh pus pada vertebra lumbal yang turun ke otot
iliopsoas membentuk psoas abses
WOC (SPONDYLITIS TB)
Udara tercemar bakteri mycobacterium tuberculosa
Perusakan tulang dan penyebaran infeksi keruang doskus vertebra yang berdekatan
Spondylitis tuberculosis
Eksudasi
MK : Nutrisi kurang
dari kebutuhan
tubuh
BAB II
KONSEP DASAR ANESTESI
sehingga jalan nafas bebas hambatan dan pertukaran gas adekuat .Intubasi endotrakea
dapat dilakukan melalui beberapa lintasan antara lain melalui hidung (nasotrakeal),
mulut (orotrakeal) dan melalui tindakan trakeostomi
B. Tujuan
1) Pembebasan jalan nafas
2) Pemberian nafas buatan dengan bag and mask
3) Pemberian nafas buatan secara mekanik (respirator)
4) Memungkinkan penghisapan sekret secara adekuat
5) Mencegah aspirasi asam lambung (dengan adanya balon yang dikembangkan)
6) Mencegah distensi lambung
7) Pemberian oksigen dosis tinggi
C. Indikasi
1. Ada obstruksi jalan nafas bagian atas
2. Pasien yang memerlukan bantuan nafas dengan respirator
3. Pemberian anestesi
4. Terdapat banyak sputum (pasien tidak dapat mengeluarkan sendiri)
D. Kontra Indikasi
1) Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan
untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah
cricothyroidectomy pada beberapa kasus
2) Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical,
sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
E. Persiapan Intubasi
1. Cuci tangan
2. Posisi pasien terlentang
3. Kepala diganjal bantal kecil setinggi 10 cm
4. Tinggikan bed pasien sampai umbilikus perawat
5. Pilih ukuran ETT
a) Laki-laki : no 7-8
b) Wanita : no 6,5-7,5
c) Anak-anak : usia (th)+4
4
6. Periksa balon pipa/cuff ETT dengan spuit 20 cc
7. Pasang blade yang sesuai
8. Minta pasien nafas dalam 3x atau oksigenasi dengan bag and mask atau ambu
bag dengan O2 100% 5 menit agar pasien tidak hipoksia
9. Masukkan obat-obat sedasi dan muscle relaxan (fentanyl, midazolam, propofol)
10. Bagging dulu, masukkan relaxan
11. Ventilasi dulu 2-3 menit
12. Buka mulut dengan laringoskop sampai terlihat epiglotis
13. Dorong blade sampai pangkal epiglotis, masukkan ETT sesuai ukuran
14. Cek apakah ETT benar masuk, isi cuff lalu fiksasi
F. Kriteria Ekstubasi
1. Hipoksia
2. Hipercarbi
3. Volum tidal tercapai
4. Pernafasan reguler
5. Ada pernafasan torakal
6. Ada pergerakan tangan
7. Pasien sadar
BAB III
3.1 Pengertian
Tindakan anestesi dengan posisi telungkup sering diperlukan guna memfasilitasi akses
operasi pada berbagai tindakan bedah termasuk bedah saraf, antara lain pada tindakan
pembedahan tulang belakang. Selain perubahan fisiologis, dapat juga terjadi beberapa
komplikasi pada posisi telungkup yang harus mendapat perhatian khusus, sehingga diperlukan
pemahaman yang baik akan masalah ini.
Tindakan anestesi dengan posisi prone atau telungkup telah sejak lama dilaksanakan dan
dikembangkan guna memudahkan akses bedah. Namun, pelopor bedah tulang belakang pada
era tahun 1930 dan 1940 mengalami kendala, karena tidak ada upaya untuk menghindari
kompresi pada perut saat pasien berada dalam posisi telungkup.
Sebenarnya pada saat itu sifat valveless sistem vena telah dipahami dengan baik, yaitu
bahwa peningkatan tekanan intra-abdomen akan mendorong darah dari vena cava inferior
(IVC) masuk kedalam pleksus vena ekstradural yang akan mengakibatkan pendarahan sehingga
mengganggu lapang pandang bedah
Tindakan anestesi dengan posisi telungkup yang dilakukan pada berbagai prosedur bedah,
harus dilaksanakan secara aman yang didasarkan pada pemahaman yang mendalam atas
perubahan fisiologis dan resiko yang dapat terjadi. Sejumlah prosedur bedah yang memerlukan
posisi telungkup antara lain adalah pembedahan bagian belakang, pembedahan sinus pilonoidal
dan beberapa pembedahan di pergelangan kaki seperti repair tendoachilles.
3.2 Masalah yang Harus Diperhatikan
1) Cedera neurologis : plexus brachialis, N. Ulnaris, N. Femoralis, N.Cutaneus
2) Cedera pada mata
3) Telinga : penekanan pada telinga
4) Penekanan pada mammae dan genetalia pria
3.3 Persiapan Sebelum Perubahan Posisi
1) Induksi di branchart
2) Kurangi kedalaman anestesi sebelum merubah posisi pasien untuk mengurangi adanya
hipotensi
3) Perhatikan IV line dan alat monitor
4) Ahli anestesi melihat posisi kepala dan leher
5) Gunakan bantal untuk menyangga mammae, pelvis dan tulang yang menonjol
3.4 Hal-Hal yang Harus Diperhatikan
1) Lindungi punggung pasien ketika memposisikan pasien
2) Posisikan tangan pasien disamping atau diatas kepala pasien
3) Hindari penekanan pada mata dan telinga
4) Hindari tekanan pada perut dan vena vertebralis
5) Lindungi ETT dan gunakan obat untuk mengurangi hipersaliva
6) Hindari flexi dan extensi yang berlebihan dari vertebra cervikalis
7) Lindungi mammae dengan bantal
8) Letakkan perlengkapan monitor sebelum pasien diposisikan
3.5 Prosedur Anestesi
1) Pasien masuk kekamar operasi lalu dipasang monitor standar yaitu tekanan darah non-
invasif kontinyu, saturasi oksigen, EKG, induksi dilakukan di branchart
2) Pasien diposisikan terlentang lalu dilakukan oksigenasi 7L/menit melalui sungkup muka
selama 3-5 menit
3) Kemudiandiinduksidenganmemberikan midazolam 2 mg, fentanyl 100mcg secara
perlahan propofol 80 mg jika pasien mulai apnea segera lakukan ventilasi dilanjutkan
pemberian relaxanatracurium25 mg
4) Tunggu sampai onset obat relaxan tercapai sekitar 1-3 menit kemudian lakukan intubasi
dengan memasukkan pipa endotrakheal non kingking nomor 7 sampai pada batas yang
sesuai, cuff diisi dan sambungkan dengan breathing circuit.
5) Cek apakah ETT benar masuk pada paru dengan mendengarkan pada 5 area lapang
paru, dimulai dari dada kanan dan dada kiri apakah terdengar sama sampai pada
epigastrum.
6) Jika sudah tepat pasang plester, setting mesin ventilator sesuai kebutuhan pasien
7) Pasang peak dan anti galau, tambahkan mount chateter pada ETT plester setiap
sambungan agar tidak terlepas, mata ditutup dengan tegaderm.
8) Kemudian persiapan pasien untuk diposisikan prone (telungkup) secara bertahap dari
branchart ke bed operasi perhatikan IV line dan alat monitor
9) Ahli anestesi melihat posisi kepala dan leher
10) Pasien dimiringkan secara perlahan dan bersamaan dari atas sampai bawah sesuai
intruksi ahli anestesi yang ada dibagian atas pasien (kepala dan leher)
11) Selanjutnya pasien diposisikan telungkup dan atur semua bagian-bagian pada tubuh
pasien untuk menghindari adanya penekanan. Kepala pasien harus dipastikan posisinya
pada bantal kepala yang sudah disiapkan terutama pada area ETT pasien.
12) Jika semua dipastikan benar cek kembali hemodinamik pasien dan pasien siap untuk
dilakukan pembedahan.
3.6 Pembahasan
Anestesi dengan posisi telungkup pada beberapa prosedur tindakan pembedahan harus
dilakukan dengan aman, didasarkan pada pemahaman yang utuh atas resiko yang dapat terjadi.
Sejumlah prosedur yang memerlukan posisi telungkup antara lain adalah pembedahan bagian
belakang, pembedahan sinus pilonoidal dan beberapa pembedahan di pergelangan kaki seperti
repair tendo Achilles. Sangat penting untuk memahani perubahan fisiologis dan tentunya resiko
yang terjadi sehubungan dengan posisi telungkup ini. Perubahan fisiologis pada posisi
telungkup dapat mempengaruhi system kardiovaskular dan sistem respirasi. Pada sistem
kardiovaskuler terjadi penurunan curah jantung. Pada suatu penelitian terjadi penurunan
Cardiac Index (CI) rata-rata 24%, hal ini terutama disebabkan karena menurunnya stroke
volume dengan sedikit perubahan pada laju jantung. Pada sebagian besar pasien, tekanan arteri
rata-rata dipertahankan dengan meningkatkan resistensi vaskuler sistemik dan resistensi
vascular pulmonal. Ada tiga faktor yang mempengaruhi curah jantung, yaitu preload, after load
dan kontraktilitas. Pada posisi telungkup terjadi kompresi vena kava inferior yang
menyebabkan penurunan aliran balik vena kejantung yang selanjutnya akan mengurangi
preload. Oleh sebab itu, penurunan preload merupakan faktor yang paling berperan. Posisi
telungkup sering digunakan pada operasi spinal, hal ini menyebabkan terjadinya perdarahan
pada lapangan operasi, oleh karena itu, menurunkan tekanan langsung pada abdomen
merupakan faktor penting. Keadaan ini dapat dicapai dengan merancang meja operasi khusus
atau meletakan bantalan dibawah dada dan dibawah pelvis. Peletakan bantal ini harus
dilakukan dengan hati-hati jangan sampai bagian belakang terlalu tegang.
DATA OBYEKTIF
a. Sistem Pernafasan (B1)
Jalan Nafas : Paten / Obstruksi
Sesak nafas : Ya/ Tidak terpasang O2 nasal : -lpm
Artificial airway : Oro/Nasofaringeal tube/ ETT / Tracheocanule
RR : 18x/menit
SpO2 : 98%
Gigi : Palsu ( - ) Cakil ( - ) Tongos ( - ) Ompong ( - )
Buka Mulut : 3 jari
MALAMPATTI : 1 / 2 / 3 / 4
Jarak Mentothyroid : 6 cm
Gerak leher : Flexy / Ekstensi
Suara nafas : Vesikuler / Bronkovesikuler
Ronchi : - - Whezing : - -
- - - -
Riwayat Asthma : Ya / Tidak
Lain lain : -
a. Sistem Kardiovaskuler (B2)
Tensi : 140/86 mmHg
Nadi : 100x/menit
Suhu : 36,5’C
CRT : <2’ , >2’
Sirkulasi : S1 S2 Tunggal ( reguler / irreguler) / extra systole / Gallop
Lain2 :
Konjungtiva : Anemis / Pink pale
Sianosis : Ya / Tidak
Perfusi : AHKM
b. Sistem Persyarafan (B3)
Keadaan Umum : cukup
GCS :E4V5M6
Skala nyeri :6
Reflek pupil : Isokor / Anisokor / Miosis / Pint point / Midriasis
Reflek cahaya : +/+
Motorik : 5 5
5 5
Plegi : Ya ( Tetra D S / Hemi D S ) Tidak
Parese : Ya ( Tetra D S / Hemi D S ) Tidak
Lain lain :-
c. Sistem Perkemihan (B4)
Produksi urine : 100 cc
Keluhan : Kencing menetes ( - ), Inkontinensia ( - ), Retensi Urine ( - )
Oliguri ( - ),Anuria ( - ), Hematuri ( -),
Disuria ( - ), Poliuria ( - ), tidak ada keluhan ( √ )
Warna urine : kuning jernih
Kandung Kemih : Membesar / Tidak
Kateter : Terpasang / Tidak
Blass punctie : Terpasang / Tidak
d. Sistem Pencernaan (B5)
Mukosa bibir : Lembab / Kering
Abdomen : Supel / Distended / Nyeri tekan
Bising Usus : 16 x/menit
Terpasang NGT : Tidak /Ya
Terpasang Drain : Tidak /Ya
Diare : Tidak / Ya Frekuensi : -
Lain-lain :-
e. Sistem Muskuloskeletal dan Integumen (B6)
Pergerakan sendi : Bebas / terbatas
Fraktur : Tidak / Ya lokasi : -
Kompartemen Syndrom : Tidak / Ya lokasi :
Turgor : Baik / Kurang / Jelek
Hiperpigmentasi : Tidak / Ya
Dekubitus : Tidak / Ya
Ikterik : Tidak / Ya
Lain -lain :-
Keadaan Umum : lemah
Tanda Vital : Tensi : 140/86 mmHg Nadi : 100x/menit Suhu : 36,5’C
RR : 18x/menit SpO2 : 98%
TB / BB : 158 cm / 50 kg
Surat Persetujuan Operasi : Tidak ada / Ada
Protese dan Gigi Palsu : Tidak ada / Ada
Cat kuku dan Lensa Kontak : Tidak ada / Ada
Perhiasan : Tidak pakai / Pakai
Folley Catheter : Tidak ada / Ada produksi : 100 cc ( Ditampung / Dibuang )
NGT : Tidak ada /Ada
Persiapan Skiren / Cukur : Tidak / Ya
Huknah / Gliserin : Tidak / Ya Jam :
Persiapan darah : Tidak ada / Ada, Berapa kantong : 2 (PRC)
Contoh darah : Tidak ada / Ada
IV line : Tidak ada / Ada (TaKa / TaKi)
Lokasi : Vena perifer / Central / Lain-lain ...............
Jenis Cairan : Kristaloid / Koloid / Darah Tetesan : 20 tpm
Terakhir makan & minum : Makan : 02.00 WIB Minum : 02.00 WIB
Obat yang telah dikonsumsi : Tidak ada / Ada Jenis : -
Alergi obat : Tidak ada / Ada Jenis : -
Obat Premedikasi : Tidak ada / Ada Jenis : -
Jam : -
Status ASA : 1 2 3 4 5
Jenis Operasi : Emergency/ Elektif
Pemeriksaan Penunjang
Data Penunjang Laboratorium
Darah lengkap 14/05/2023
JENIS PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN DEWASA
NORMAL
HEMATOLOGI
Hemoglobin (HGB) 14,10 g/dL 10,85 – 14,90
Eritrosit (RBC) 4,90 Juta 4,11 – 5,55
Leukosit (WBC) 8,30 10³/mm³ 4,79 – 11,34
Hematokrit 43,50 % 34,00 – 45,10
Trombosit (PLT) 448,00 10³/mm³ 216,0 – 451,0
MCV 88,80 µm³ 71,80 – 92,00
MCH 28,80 Pg 22,60 – 31,01
MCHC 32,40 g/dL 30,80 – 35,20
RDW 14,80 % 11,30 – 14,60
PDW 8,0 fL 9 – 13
MPV 8,1 fL 7,2 – 11,1
P-LCR 10,5 % 15,0 – 25,0
PCT 0,36 % 0,150 – 0,400
NRBC Absolute 0,00 10³/µL
NRBC Percent 0,0 %
Hitung Jenis
Eusofil 2,70 % 0,70 – 5,40
Basofil 0,50 % 0,00 – 1,00
Neutrofil 78,60 % 42,50 – 71,00
Limfosit 12,20 % 20,40 – 44,60
Monosit 6,00 % 3,60 – 9,90
Eosinofil Absolut 0,22 10³/mm³ 0,04 – 0,43
Basofil Absolut 0,04 10³/mm³ 0,02 – 0,09
Neutrofil Absolut 6,53 10³/mm³ 2,72 – 7,53
Limfosit Absolut 1,01 10³/mm³ 1,46 – 3,73
NLR (Hematologi) 6,47
Monosit Absolut 0,50 10³/mm³ 0,33 – 0,91
Immature Granulosit (%) 0,40 %
Immature Granulosit 0,03 10³/µL
FAAL HEMOSTATIS
PPT
Pasien 10,30 Detik 9,4 - 11,3
Control 11,0 Detik
INR 0,99 <1,5
APTT
Pasien 32,00 Detik 24,6 – 30,6
Kontrol 24,0 Detik
KIMIA KLINIK
FAAL HATI
AST/SGOT 42 U/L 0 – 32
ALT/SGPT 37 U/L 0 – 33
15-05-2023 1. Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, dan 15-05-2023 S : pasien mengatakan nyeri sedikit Ningsih
11.00 frekuensi nyeri 11.15 berkurang
P : intervensi dilanjutkan
INTRA ANESTESI
Anestesi mulai : 11.15 WIB s/d 14.35 WIB
Jam Nama Obat/ Dosis Jam Nama Obat/ Dosis Ja Nama Obat/dosis
m
11.15 Midazolam 2 mg 11.22 Ketorolac 30 mg
11.16 Fentanyl 100 mcg 11.23 Asam traneksamat 1 gr
11.17 Propofol 80 mg
11.19 Atracurium 25 mg
11.20 Dexametason 10 mg
11.21 Ondansentron 4 mg
N TD
220
200
180 180
160 160
140 140
120 120
100 100
80 80
60 60
40
20
Keseimbangan Cairan
BALANCE CAIRAN 1 2 3 4
BB : 50 kg 1500
Kristaloid 500 700 1000
Hb : 14,1
EBV : 3.250 cc Input Koloid 0 500 800 1000
ABL (10) : 945 cc 0
Darah 0 0 0
(8) : 1.406 cc
M: 90 cc Urine 100 150 200 200
O: 150 Output Darah 50 100 150 200
M+O 240 480 720 960
Defisit / Excess Defisit / Excess Defisit / Excess Defisit / Excess
TOTAL
+10 +270 +430 +740
ANALISA DATA (INTRA ANESTESI)
P : intervensi dihentikan
POST ANESTESI
Data Subyektif : -
Data Obyektif
( √ ) KU Cukup TD : 130/60 mmHg ( -) Skala nyeri
( √ ) Sesak Nadi : 90x/mnt ( √ ) Menggigil
( √) Terpasang O2 NRBM 8 lpm SpO2 :98 % ( - ) Mual & Muntah
RR :18x/mnt ( √ ) Aldrete skore = 10
14.35 15.35 16.35
N TD
220
200
180 180
160 160
140 140
120 120
100 100
80 80
60 60
40
20
Medika
Nursalam. 2015. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan : Pendekatan Praktis Ed. 3. Jakarta :
Salemba Medika.
Perry & Potter. 2006.Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik Vol.2.Edisi 5.
Jakarta : EGC
Sarwadi & Erwanto. 2014. Buku Pintar Anatomi Tubuh Manusia. Jakarta : Dunia Cerdas
.