Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN MEDIKAL

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DI RUANG ASOKA RSUD Dr.


HARYOTO LUMAJANAG

OLEH:
Musrifah, S. Kep
NIM 182311101048

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Pada Pasien CHF Di Ruang


Aska RSUD Dr. Haryoto lumajang telah disetujui dan disahkan pada :

telah diperiksa dan disahkan oleh pembimbing pada:


Hari / Tanggal : Desember 2018
Tempat : Ruang Asoka RSUD Dr. Haryoto Malang

Lumajang, Desember 2018

Mahasiswa

Musrifah, S.Kep.
NIM 182311101066

TIM PEMBIMBING

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Fakultas Keperawatan Ruang 28
Universitas Jember RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... 1


LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ 2
DAFTAR ISI ........................................................................................................ 3
LAPORAN PENDAHULUAN ........................................................................... 4
A. Definisi CHF ..................................................................................................
B. Epidemiologi ..................................................................................................
C. Etiologi ...........................................................................................................
D. Tanda Gejala .................................................................................................
E. Klasifikasi .......................................................................................................
F. Patofisiologi dan Pathway ...........................................................................
G. Penetalaksanaan Medis .................................................................................
H. Pemeriksaan Penunjang ................................................................................
I. Komplikasi CHF ............................................................................................
J. Penetalaksanaan Keperawatan ...................................................................
K. Diagnosa Yang Sering Muncul .....................................................................
L. Rencana Keperawatan .................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

3
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN GAGAL JANTUNG KONGESTIF ATAU


CONGESTIF HEART FAILURE (CHF)

A. Definisi Gagal jantung kongestif atau Congestif Heart Failure (CHF)


Gagal jantung kongestif atau Congestif Heart Failure (CHF) Merupakan
sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala) yang ditandai dengan sesak nafas dan
kelelahan (saat istirahat atau saat aktivitas) karena disebabkan oleh kelainan struktur
atau fungsi jangtung. (Marulam, 2014).
Gagal jantung kongestif atau Congestif Heart Failure (CHF) yaitu suatu keadaan
dimana jantung tidak mampu memompa darah keseluruh tubuh untuk metabolisme
tubuh, sehingga gagalnya aktivitas jantung dapat menganggu pemenuhan
kebutuhan tubuh, fungsi pompa jantung menjadi tidak normal. CHF merupakan
kondisi yang sangat bahaya, meski demikian bukan berarti jantung tidak bias
bekerja sama sekali, hanya saja jantung tidak berdetak seperti yang dalam keadaan
normal. (Susanto, 2010).
Gagal jantung Kongestif atau Congestive Heart Failure (CHF) adalah
ketidakmampuan jantung untuk memompa darah keseluruh tubuh dalam jumlah
yang cukup unruk memnuhi kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan nutrisi (Andre
Saferi, 2013)
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Gagal jantung Kongestif atau
Congestive Heart Failure (CHF) adalah ketidak mampuan jantung memompa darah
keseluru tubuh yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan,
oksigen dan nutrisi.

4
B. Klasfkasi CHF
Berdasarkan American Heart Association (Yancy et al., 2013), klasifikasi dari
gagal jantung kongestif yaitu sebagai berikut : a
1. Stage A Stage
A merupakan klasifikasi dimana pasien mempunyai resiko tinggi, tetapi
belum ditemukannya kerusakan struktural pada jantung serta tanpa adanya tanda
dan gejala (symptom) dari gagal jantung tersebut. Pasien yang didiagnosa gagal
jantung stage A umumnya terjadi pada pasien dengan hipertensi, penyakit
jantung koroner, diabetes melitus, atau pasien yang mengalami keracunan pada
jantungnya (cardiotoxins)
2. Stage B Pasien dikatakan mengalami gagal jantung
stage B apabila ditemukan adanya kerusakan struktural pada jantung tetapi
tanpa menunjukkan tanda dan gejala dari gagal jantung tersebut. Stage B pada
umumnya ditemukan pada pasien dengan infark miokard, disfungsi sistolik pada
ventrikel kiri ataupun penyakit valvular asimptomatik.
3. Stage C
Stage C menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan struktural pada jantung
bersamaan dengan munculnya gejala sesaat ataupun setelah terjadi kerusakan.
Gejala yang timbul dapat berupa nafas pendek, lemah, tidak dapat melakukan
aktivitas berat

5
4. Stage D
Pasien dengan stage D adalah pasien yang membutuhkan penanganan ataupun
intervensi khusus dan gejala dapat timbul bahkan pada saat keadaan istirahat, serta
pasien yang perlu dimonitoring secara ketat.
The New York Heart Association (Yancy et al., 2013) mengklasifikasikan gagal
jantung dalam empat kelas, meliputi :
a. Kelas I
Aktivitas fisik tidak dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara normal tidak
menyebabkan dyspnea, kelelahan, atau palpitasi.
b. Kelas II
Aktivitas fisik sedikit dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara normal
menyebabkan kelelahan, dyspnea, palpitasi, serta angina pektoris (mild CHF).
c. Kelas III
Aktivitas fisik sangat dibatasi, melakukan aktivitas fisik sedikit saja mampu
menimbulkan gejala yang berat (moderate CHF).
d. Kelas IV
Pasien dengan diagnosa kelas IV tidak dapat melakukan aktivitas fisik apapun,
bahkan dalam keadaan istirahat mampu menimbulkan gejala yang berat (severe
CHF).
Klasifikasi gagal jantung baik klasifikasi menurut AHA maupun NYHA
memiliki perbedaan yang tidak signifikan. Klasifikasi menurut AHA berfokus
pada faktor resiko dan abnormalitas struktural jantung, sedangkan klasifikasi
menurut NYHA berfokus pada pembatasan aktivitas dan gejala yang
ditimbulkan yang pada akhirnya kedua macam klasifikasi ini menentukan
seberapa berat gagal jantung yang dialami oleh pasien

C. Epidemiologi
Angka kejadian gagal jantung di Amerika Serikat mempunyai insidensi yang
besar tetapi tetap stabil selama beberapa dekade terakhir yaitu >650.000 pada kasus
baru setiap tahunnya. Meskipun angka bertahan hidup telah mengalami peningkatan,
sekitar 50% pasien gagal jantung dalam waktu 5 tahun memiliki angka kematian
yang mutlak (Yancy et al., 2013)

6
Penyakit ini menjadi penyebab nomor satu kematian di dunia dengan
diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai 23,3 juta pada tahun 2030
(Yancy, 2013; Depkes, 2014). Masalah tersebut juga menjadi masalah kesehatan
yang progresif dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi di Indonesia
(Perhimpunan Dokter Kardiovaskuler, 2015). Hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) Kemenkes RI Tahun 2013, prevalensi penyakit gagal jantung di
Indonesia mencapai 0,13% dan yang terdiagnosis dokter sebesar 0,3% dari total
penduduk berusia 18 tahun ke atas. Prevalensi gagal jantung tertinggi berdasarkan
diagnosis dokter berada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu sebesar
0,25% (Depkes, RI 2014; PERKI, 2015). Prevelensinya yang terus meningkat akan
memberikan masalah penyakit, kecacatan dan masalah sosial ekonomi bagi keluarga
penderita, masyarakat, dan Negara (Depkes RI, 2014, Ziaeian, 2016). Hasil studi
pendahuluan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta didapatkan data
jumlah penderita congestive heart failure (CHF) yang dirawat pada tahun 2015 dan
2016 tanpa penyakit penyerta selain penyakit pernafasan sebanyak 328 pasien
(Rekam Medis PKU Yogya, 2017).

D. Etiologi
Etiologi Menurut Wajan Juni Udjianti (2010) etiologi gagal jantung kongestif
(CHF) dikelompokan berdasarkan faktor etiolgi eksterna maupun interna, yaitu:
1. Faktor eksterna (dari luar jantung); hipertensi renal, hipertiroid, dan anemia
kronis/berat.
2. Faktor interna (dari dalam jantung)
a. Disfungsi katup: Ventricular Septum Defect (VSD), Atria Septum Defect
(ASD), stenosis mitral, dan insufisiensi mitral.
b. Disritmia: atrial fibrilasi, ventrikel fibrilasi, dan heart block.
c. Kerusakan miokard: kardiomiopati, miokarditis, dan infark miokard. d.
Infeksi: endokarditis bacterial sub-akut
3. Faktor genetik seperti riwayat dari keluarga.

E. Tanda Gejala
Menurut Wijaya & putri 2013, tanda dan gejala yaitu :
1. Gagal Jantung Kiri

7
Menyebabkan kongestif, bendungan padsa paru dan gangguan pada
mekanisme kontrol pernafasan. Gejala :
a. Dispnea
Karena terjadi penumpukan cairan dalam alveoli yang mengganggu
pertukaran gas. Dispnea bahkan dapat terjadi saat istirahat atau cetuskan
oleh gerakan yang minimal atau sedang.
b. Orthopnea
Pasien yang mengalami orthopnea tidak akan mau berbaring, tetapi akan
menggunakan bantal agar bias tegak di tempat tidur atau duduk dikursi,
bahkan saat tidur.
c. Batuk
Disebabkan oleh gagal ventrikel bias kering dan tidak produktif, tetapi
yang sering adalah batuk basah yaitu batuk yang menghasilkan sputum
berbusa dalam jumlah banyak, yang kadang disertai dengan bercak darah.
d. Mudah lelah
Terjadi akibat curah jantung yang kurang, menghambat jaringan dari
sirkulasi normal dan oksigen seerta menutrunnya pembuangan sisa hasil
katabolisme. Juga disebabkan karena akibat meningkatnya energy yang
digunakan untuk bernafas dan insomnia yang terjadi akibat distress
pernafasan dan batuk
e. Ronki
f. Gelisah dan cemas
Akibat gangguan aoksigen jaringan, stress akibat kesakitan bernafas dan
pengetahuan bahkan jantung tidak berfungsi dengan baik.

2. Gagal jantung kanan


Dapat menyebabkan peningkatan vena sistemik, Gejala :
a. Oedema perifer
b. Peningkatan bb
c. Didtensi vena jugularis
d. Hepatomegeli
e. Asites
f. Pitting edema
g. Anoreksia
8
h. Mual

3. Secara luas peningkatan CPO dapat menyebabkan perfusi oksigen


kejaringan rendah, sehingga menimbulkan gejala :
a. Pusing
b. Kelelahan
c. Tidak toleran terhadap aktivitas dan panas
d. Ekstrimitas dingin

F. Pathway

9
Disfungsi Miokard (AMI) Beban tekanan berlebihan Beban sistolik berlebihan Keb.metabolisme Beban volume
Miokarditis berlebihan
Beban systole
Preload
Kontraktilitis
Kontraktilitas

Hambatan pengosongan
ventrikel

COP

Beban jantung meningkat

Gagal jantung
CHF

Gagal pompa ventrikel kiri Gagal pompa ventrikel kanan


11
G. Penatalaksanaan Medis
Konservatif
Diet TKRP (Tinggi Kalori Rendah Protein)
Protein dibatasi karena urea, asam urat dan asam organik merupakan hasil
pemecahan protein yang akan menumpuk secara cepat dalam darah jika terdapat
gangguan pada klirens renal. Protein yang dikonsumsi harus bernilai biologis (produk
susu, telur, daging) di mana makanan tersebut dapat mensuplai asam amino untuk
perbaikan dan pertumbuhan sel. Biasanya cairan diperbolehkan 300-600 ml/24 jam.
Kalori untuk mencegah kelemahan dari Karbohidrat dan lemak. Pemberian vitamin juga
penting karena pasien dialisis mungkin kehilangan vitamin larut air melalui darah
sewaktu dialisa.
Simptomatik
Hipertensi ditangani dengan medikasi antihipertensi kontrol volume intravaskuler.
Gagal jantung kongestif dan edema pulmoner perlu pembatasan cairan, diit rendah
natrium, diuretik, digitalis atau dobitamine dan dialisis. Asidosis metabolik pada pasien
CKD biasanya tanpa gejala dan tidak perlu penanganan, namun suplemen natrium
bikarbonat pada dialisis mungkin diperlukan untuk mengoreksi asidosis.
Anemia pada CKD ditangani dengan epogen (erytropoitin manusia rekombinan).
Anemia pada pasaien (Hmt < 30%) muncul tanpa gejala spesifik seperti malaise,
keletihan umum dan penurunan toleransi aktivitas. Abnormalitas neurologi dapat terjadi
seperti kedutan, sakit kepala, dellirium atau aktivitas kejang. Pasien dilindungi dari
kejang.

Terapi Pengganti
a. Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal adalah terapi yang paling ideal mengatasi gagal ginjal karena
menghasilkan rehabilitasi yang lebih baik disbanding dialysis kronik dan menimbulkan
perasaan sehat seperti orang normal. Transplantasi ginjal merupakan prosedur
menempatkan ginjal yang sehat berasal dari orang lain kedalam tubuh pasien gagal
ginjal. Ginjal yang baru mengambil alih fungsi kedua ginjal yang telah mengalami
kegagalan dalam menjalankan fungsinya. Seorang ahli bedah menempatkan ginjal yang
baru (donor) pada sisi abdomen bawah dan menghubungkan arteri dan vena renalis
dengan ginjal yang baru. Darah mengalir melalui ginjal yang baru yang akan membuat
urin seperti ginjal saat masih sehat atau berfungsi. Ginjal yang dicangkokkan berasal

12
dari dua sumber, yaitu donor hidup atau donor yang baru saja meninggal (donor
kadaver).
b. Cuci Darah (dialisis)
Dialisis adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi secara pasif
melalui suatu membran berpori dari satu kompartemen cair menuju kompartemen cair
lainnya. Hemodialisis dan dialysis merupakan dua teknik utama yang digunakan dalam
dialysis, dan prinsip dasar kedua teknik itu sama, difusi solute dan air dari plasma ke
larutan dialisis sebagai respons terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.

a. Dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan atau CAPD


Dialisis peritoneal adalah metode cuci darah dengan bantuan membran selaput
rongga perut (peritoneum), sehingga darah tidak perlu lagi dikeluarkan dari tubuh untuk
dibersihkan seperti yang terjadi pada mesin dialisis. CAPD merupakan suatu teknik
dialisis kronik dengan efisiensi rendah sehingga perlu diperhatikan kondisi pasien
terhadap kerentanan perubahan cairan (seperti pasien diabetes dan kardiovaskular).
b. Hemodialisis klinis di rumah sakit
Cara yang umum dilakukan untuk menangani gagal ginjal di Indonesia adalah
dengan menggunakan mesin cuci darah (dialiser) yang berfungsi sebagai ginjal buatan.

Penatalaksanaan terhadap gagal ginjal meliputi :


a. Restriksi konsumsi cairan, protein, dan fosfat.
b. Obat-obatan : diuretik untuk meningkatkan urinasi; alumunium hidroksida untuk
terapi hiperfosfatemia; anti hipertensi untuk terapi hipertensi serta diberi obat yang
dapat menstimulasi produksi RBC seperti epoetin alfa bila terjadi anemia.
c. Dialisis Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut yang
serius, seperti hiperkalemia, perikarditis dan kejang. Perikarditis memperbaiki
abnormalitas biokimia ; menyebabkan caiarn, protein dan natrium dapat dikonsumsi
secara bebas ; menghilangkan kecendurungan perdarahan ; dan membantu
penyembuhan luka.
d. Penanganan hiperkalemia
Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan masalah utama pada gagal ginjal
akut ; hiperkalemia merupakan kondisi yang paling mengancam jiwa pada gangguan ini.
Oleh karena itu pasien dipantau akan adanya hiperkalemia melalui serangkaian
pemeriksaan kadar elektrolit serum ( nilai kalium > 5.5 mEq/L ; SI : 5.5 mmol/L),
perubahan EKG (tinggi puncak gelombang T rendah atau sangat tinggi), dan perubahan

13
status klinis. Pningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian ion pengganti
resin (Natrium polistriren sulfonat [kayexalatel]), secara oral atau melalui retensi enema.
e. Mempertahankan keseimbangan cairan
Penatalaksanaan keseimbanagan cairan didasarkan pada berat badan harian,
pengukuran tekanan vena sentral, konsentrasi urin dan serum, cairan yang hilang,
tekanan darah dan status klinis pasien. Masukkan dan haluaran oral dan parentral dari
urine, drainase lambung, feses, drainase luka dan perspirasi dihitung dan digunakan
sebagai dasar untuk terapi penggantia cairan.
f. Transplantasi ginjal (Reeves, Roux, Lockhart, 2001)

H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang
1. Urine :
Volume, Warna, Sedimen, Berat jenis, Kreatinin, Protein
2. Darah :
Bun / kreatinin, Hitung darah lengkap, Sel darah merah, Natrium serum, Kalium,
Magnesium fosfat, Protein, Osmolaritas serum
3. Pielografi intravena
4. Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
5. Pielografi retrograd
Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversibel
6. Arteriogram ginjal
Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular, massa.
7. Sistouretrogram berkemih
Menunjukkan ukuran kandung kemih, refluks kedalam ureter, retensi.
8. Ultrasono ginjal
Menunjukkan ukuran kandung kemih, dan adanya massa, kista, obstruksi pada
saluran perkemihan bagian atas.
9. Biopsi ginjal
Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel jaringan untuk
diagnosis histologis
10. Endoskopi ginjal nefroskopi
Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal ; keluar batu, hematuria dan
pengangkatan tumor selektif

14
11. Foto Polos Abdomen
Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi akan memperburuk fungsi ginjal.
Menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu atau obstruksi lain.
12. Pemeriksaan Foto Dada
Dapat terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat kelebihan air (fluid overload),
efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikadial.
13. Pemeriksaan Radiologi Tulang
Mencari osteodistrofi dan kalsifikasi metastatik.
14. EKG
Mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa,
aritmia, hipertrofi ventrikel dan tanda tanda perikarditis.

I. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis antara lain :
1. Hiperkalemia
2. Perikarditis
3. Hipertensi
4. Anemia
5. Penyakit tulang (Smeltzer & Bare, 2001)

J. Hemodialisa
1. Definisi Hemodialisis
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi darah
yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan menggunakan mesin
hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk terapi pengganti ginjal (renal
replacement therapy/RRT) dan hanya menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi
ginjal. Hemodialisis dilakukan pada penderita PGK stadium V dan pada pasien dengan
AKI (Acute Kidney Injury) yang memerlukan terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur
yang dilakukan HD dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency, HD
persiapan/preparative, dan HD kronik/reguler (Daurgirdas et al., 2007).
Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam
keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisys jangka pendek (beberapa hari hingga
beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir atau end stage renal
disease (ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau permanen. Tujuan
hemodialisa adalah untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah
dan mengeluarkan air yang berlebihan (Suharyanto dan Madjid, 2009).

15
2. Tujuan Hemodialisis
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain :
a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa
metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang
lain.
b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya
dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
c. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
d. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.

3. Indikasi Hemodialisis
Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan HD kronik.
Hemodialis segera adalah HD yang harus segera dilakukan.
Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al., 2007):
1. Kegawatan ginjal
a. Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
b. Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
c. Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
d. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K >6,5 mmol/l )
e. Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
f. Uremia ( BUN >150 mg/dL)
g. Ensefalopati uremikum
h. Neuropati/miopati uremikum
i. Perikarditis uremikum
j. Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)
k. Hipertermia

16
2. Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis.
Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan seumur
hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis. Menurut K/DOQI dialisis
dimulai jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan pasien yang mempunyai GFR <15ml/menit
tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu
dari hal tersebut di bawah ini (Daurgirdas et al., 2007):

a. GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis


b. Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea dan muntah.
c. Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
d. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
e. Komplikasi metabolik yang refrakter

4. Kontra Indikasi Hemodialisis


Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah
hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom
otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari hemodialisa
adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler sulit,
instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain
diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal,
sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut (PERNEFRI, 2003)

5. Prinsip Dan Cara Kerja Hemodialisis

17
6. Mekanisme Hemodialisis
Pada hemodialisis, aliran darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen
dialihkan dari tubuh pasien ke dializer tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian
dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Sebagian besar dializer merupakan lempengan rata
atau ginjal serat artificial berongga yang berisi ribuan tubulus selofan yang halus dan
bekerja sebagai membran semipermeabel. Aliran darah akan melewati tubulus tersebut
sementara cairan dialisat bersirkulasi di sekelilingnya. Pertukaran limbah dari darah ke
dalam cairan dialisat akan terjadi melalui membrane semipermeabel tubulus (Brunner &
Suddarth, 2002).
Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen:
a. kompartemen darah
b. kompartemen cairan pencuci (dialisat)
c. ginjal buatan (dialiser).
Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut) suatu larutan
(kompartemen darah) akan berubah dengan cara memaparkan larutan ini dengan larutan
lain (kompartemen dialisat) melalui membran semipermeabel (dialiser).
a. Difusi
Adalah proses berpindahnya zat karena adanya perbedaan kadar di dalam darah,
makin banyak yang berpindah ke dialisat. Mekanisme difusi bertujuan untuk
membuang zat-zat terlarut dalam darah (blood purification),
b. Osmosis
Adalah proses berpindahnya air karena tenaga kimiawi yaitu perbedaan osmolitas
dan dialisat
c. Ultrafiltrasi
Adalah proses berpindahnya zar dan air karena perbedaan hidrostatik di dalam
darah dan dialisat. Mekanisme ultrafiltrasi bertujuan untuk mengurangi kelebihan
cairan dalam tubuh (volume control) (Roesli, 2006).

Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisa, yaitu difusi, osmosis,
ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi
dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat
dengan konsentrasi yang lebih rendah. Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit
yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kelebihan cairan dikeluarkan dari
dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan
menciptakan gradien tekanan, dimana air bergerak dari daerah dengan tekanan yang

18
lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradient ini
dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negative yang dikenal sebagai
ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negative diterapkan pada alat ini sebagai
kekuatan penghisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air (Suharayanto dan
Madjid, 2009).

a. Penggunaan antikoagulan dalam terapi hemodialisa


Selama proses hemodialisis, darah yang kontak dengan dialyzer dan selang dapat
menyebabkan terjadinya pembekuan darah. Hal ini dapat mengganggu kinerja dialyzer
dan proses hemodialisis. Untuk mencegah terjadinya pembekuan darah selama proses
hemodialisis, maka perlu diberikan suatu antikoagulan agar aliran darah dalam dialyzer
dan selang tetap lancar. Antikoagulan yang biasa digunakan untuk hemodialisa, yaitu :
1)Heparin
Heparin merupakan antikoagulan pilihan untuk hemodialisa, selain karena
mudah diberikan dan efeknya bekerja cepat, juga mudah untuk disingkirkan oleh
tubuh. Ada 3 tehnik pemberian heparin untuk hemodialisa yang ditentukan oleh
faktor kebutuhan pasien dan faktor prosedur yang telah ditetapkan oleh rumah
sakit yang menyediakan hemodialisa, yaitu :
2)Routine continuous infusion (heparin rutin)
Tehnik ini sering digunakan sehari-hari. Dengan dosis injeksi tunggal 30-50
U/kg selama 2-3 menit sebelum hemodialisa dimulai. Kemudian dilanjutkan
750-1250 U/kg/jam selama proses hemodialisis berlangsung. Pemberian heparin
dihentikan 1 jam sebelum hemodialisa selesai.
3)Routine repeated bolus
Dengan dosis injeksi tunggal 30-50 U/kg selama 2-3 menit sebelum hemodialisa
dimulai. Kemudian dilanjutkan dengan dosis injeksi tunggal 30-50 U/kg
berulang-ulang sampai hemodialisa selesai.
4)Tight heparin (heparin minimal)
Tehnik ini digunakan untuk pasien yang memiliki resiko perdarahan ringan
sampai sedang. Dosis injeksi tunggal dan laju infus diberikan lebih rendah
daripada routine continuous infusion yaitu 10-20 U/kg, 2-3 menit sebelum
hemodialisa dimulai. Kemudian dilanjutkan 500 U/kg/jam selama proses

19
hemodialisis berlangsung. Pemberian heparin dihentikan 1 jam sebelum
hemodialisa selesai.
5)Heparin-free dialysis (Saline)
Tehnik ini digunakan untuk pasien yang memiliki resiko perdarahan berat atau
tidak boleh menggunakan heparin. Untuk mengatasi hal tersebut diberikan
normal saline 100 ml dialirkan dalam selang yang berhubungan dengan arteri
setiap 15-30 menit sebelum hemodialisa. Heparin-free dialysis sangat sulit untuk
dipertahankan karena membutuhkan aliran darah arteri yang baik (>250
ml/menit), dialyzer yang memiliki koefisiensi ultrafiltrasi tinggi dan
pengendalian ultra filtrasi yang baik.
6)Regional Citrate
7)Antikoagulan sitrat jarang digunakan, namun dapat digunakan untuk
menggantikan Heparin-free dialysis. Regional Citrate diberikan untuk pasien
yang sedang mengalami perdarahan, sedang dalam resiko tinggi perdarahan atau
pasien yang tidak boleh menerima heparin. Kalsium darah adalah faktor yang
memudahkan terjadinya pembekuan, maka dari itu untuk mengencerkan darah
tanpa menggunakan heparin adalah dengan jalan mengurangi kadar ion kalsium
dalam darah. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan infuse trisodium sitrat
dalam selang yang berhubungan dengan arteri dan menggunakan cairan dialisat
yang bebas kalsium. Namun demikian, akan sangat berbahaya apabila darah
yang telah mengalami proses hemodialisis dan kembali ke tubuh pasien dengan
kadar kalsium yang rendah. Sehingga pada saat pemberian trisodium sitrat dalam
selang yang berhubungan dengan arteri sebaiknya juga diimbangi dengan
pemberian kalsium klorida dalam selang yang berhubungan dengan vena
(Swartzendruber et al., 2008)

b. Asupan makanan, cairan dan elektrolit selama proses hemodialisa


Asupan makanan pasien hemodialisa mengacu pada tingkat perburukan fungsi
ginjalnya. Sehingga, ada beberapa unsur yang harus dibatasi konsumsinya yaitu, asupan
protein dibatasi 1-1,2 g/kgBB/hari, asupan kalium dibatasi 40-70 meq/hari, mengingat
adanya penurunan fungsi sekresi kalium dan ekskresi urea nitrogen oleh ginjal.
Kemudian,jumlah kalori yang diberikan 30-35 kkal/kgBB/hari (Suwitra, 2006).

20
Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah urin yang ada ditambah dengan
insensible water loss, sekitar 200-250 cc/hari.Asupan natrium dibatasi 40-120 meq/hari
guna mengendalikan tekanan darah dan edema. Selain itu, apabila asupan natrium
terlalu tinggi akan menimbulkan rasa haus yang memicu pasien untuk terus
minum,sehingga dapat menyebabkan volume cairan menjadi overload yangmengarah
pada retensi cairan. Asupan fosfat juga harus 600-800mg/hari (Pastans dan Bailey,
1998).

c. Dosis hemodialisa dan kecukupan dosis hemodialisa


1) Dosis hemodialisa
Dosis hemodialisa yang diberikan pada umumnya sebanyak 2 kali
seminggu dengan setiap hemodialisa selama 5 jam atau sebanyak 3 kali
seminggu dengan setiap hemodialisa selama 4 jam(Suwitra, 2006).
Lamanya hemodialisis berkaitan erat dengan efisiensi dan adekuasi
hemodialisis, sehingga lama hemodialisis juga dipengaruhioleh tingkat uremia
akibat progresivitas perburukan fungsi ginjalnya dan faktor-faktor
komorbiditasnya, serta kecepatan aliran darah dan kecepatan aliran dialisat
(Swartzendruber et al., 2008). Namun demikian, semakin lama proses
hemodialisis, maka semakin lama darah berada diluar tubuh, sehingga makin
banyak antikoagulan yang dibutuhkan, dengan konsekuensi sering timbulnya
efek samping (Roesli, 2006).
Dosis waktu hemodialisis untuk 3 kali seminggu adalah 12 jam sampai
dengan 15 jam atau 5 jam setiap kali tindakan. Sedangkan target Kt/Vyang harus
dicapai adalah 1,2 dengan rasio reduksi ureum 65% (NKFDOQI, 2006).
Rekomendasi dari PERNEFRI (2003) targetKt/Vadalah 1,2 untuk hemodialisis 3
kali seminggu selama 4 jam setiap hemodialisis dan Kt/V 1,8 untuk hemodialisis
5 jam setiaphemodialisis. RRU yang ideal adalah diatas 65% setiap kali tindakan
hemodialisis (PERNEFRI, 2003). Dosis hemodialisis yang berdasarkantarget
Kt/V bisa dihitung dengan rumus generasi kedua dari rumusDaugirdas yaitu:
Kt/V =-Ln( R-0,008 x t ) + ( 4–3,5 x R ) x UF/W
Keterangan :
1) Ln adalah logaritma natural
2) R adalah BUN setelah hemodialisis dibagi BUN sebelum hemodialysis
3) T adalah lama waktu hemodialysis

21
4) UF adalah jumlah ultrafiltrasi dalam liter
5) W adalah berat badan pasien setelah hemodialisis
6) Target dosis hemodialisis disamping dengan Kt/V dapat juga
dihitungberdasarkan RRU.
2) Kecukupan dosis hemodialisa
Kecukupan dosis hemodialisa yang diberikan disebut dengan adekuasi
hemodialisis. Adekuasi hemodialisis diukur dengan menghitung urea reduction
ratio (URR) dan urea kinetic modeling (Kt/V). Nilai URR dihitung dengan
mencari nilai rasio antara kadar ureum pradialisis yang dikurangi kadar ureum
pasca dialisis dengan kadar ureum pasca dialisis. Kemudian, perhitungan nilai
Kt/V juga memerlukan kadar ureum pradialisis dan pascadialisis, berat badan
pradialisis dan pascadialisis dalam satuan kilogram, dan lama proses
hemodialisis dalam satuan jam. Pada hemodialisa dengan dosis 2 kali seminggu,
dialisis dianggap cukup bila nilai URR 65-70% dan nilai Kt/V 1,2-1,4
(Swartzendruber et al., 2008).

d. Akses pada Sirkulasi Darah Pasien


Akses pada sirkulasi darah pasien terdiri atas kateter subklavikula dan femoralis, fistula
dan tandur.
1) Kateter subklavikula dan femoralis
Akses segera ke dalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis darurat
dicapai melalui kateterisasi subklavikula untuk pemakaian sementara. Kateter
femoralis dapat dimasukkan ke dalam pembuluh darah femoralis untuk
pemakaian segera dan sementara.
2) Fistula
Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan (biasanya
dilakukan pada lengan bawah) dengan cara menghubungkan atau menyambung
(anastomosis) pembuluh arteri dengan vena secara side to side (dihubungkan
antara ujung dan sisi pembuluh darah). Fistula tersebut membutuhkan waktu 4
sampai 6 minggu menjadi matang sebelum siap digunakan. Waktu ini diperlukan
untuk memberikan kesempatan agar fistula pulih dan segmenvena fistula
berdilatasi dengan baik sehingga dapat menerima jarum berlumen besar dengan
ukuran 14-16. Jarum ditusukkan ke dalam pembuluh darah agar cukup banyak

22
aliran darah yang akan mengalir melalui dializer. Segmen vena fistula digunakan
untuk memasukkan kembali (reinfus) darah yang sudah didialisis.
3) Tandur
Dalam menyediakan lumen sebagai tempat penusukan jarum dialisis,
sebuah tandur dapat dibuat dengan cara menjahit sepotong pembuluh arteri atau
vena dari sapi, material Gore-tex (heterograft) atau tandur vena safena dari
pasien sendiri. Biasanya tandur tersebut dibuat bila pembuluh darah pasien
sendiri tidak cocok untuk dijadikan fistula.

e. Sistem Kerja Dializer


Terdapat 2 (dua) tipe dasar dializer (Suharyanto dan Madjid, 2009), yaitu :
1) Pararel plate dialyzer
Pararel plate dializer, terdiri dari dua lapisan selotan yang dijepit oleh dua
penyokong. Darah mengalir melalui lapisan-lapisan membran, dan cairan dialisa
dapat mengalir dalam arah yang sama seperti darah, atau dengan daerah
berlawanan.
2) Hollow Fiber atau capillary dialyzer
Darah mengalir melalui bagian tengah tabung-tabung kecil, dan cairan dialisa
membasahi bagian luarnya. Aliran cairan dialisa berlawanan dengan arah aliran
darah. Suatu sistem dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi
untuk cairan dialisa. Bila sistem ini bekerja, darah mengalir dari penderita
melalui tabung plastik (jalur arteri), melalui dializer hollow fiber dan kembali ke
penderita melalui jalur vena.
Dialisat kemudian dimasukkan ke dalam dializer, dimana cairan akan
mengalir di luar serabut berongga sebelum keluar melalui drainase.
Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi di sepanjang membrane dialisis
melalui proses difusi, osmosis dan ultrafiltrasi.
Komposisi cairan dialisis diatur sedemikian rupa sehingga mendekati
komposisi ion darah normal, dan sedikit dimodifikasi agar memperbaiki
gangguan cairan dan elektrolit yang sering menyertai gagal ginjal. Unsur-unsur
yang umum terdiri dari Na+, K+, Ca++, Mg++, Cl-, asetat dan glukosa. Urea,
kreatinin, asam urat, dan fosfat dapat berdifusi dengan mudah dari darah ke
dalam cairan dialisis karena unsur-unsur ini tidak terdapat dalam cairan dialisis.
Natrium asetat yang lebih tinggi konsentrasinya dalam cairan dialisis, akan
berdifusi ke dalam darah. Tujuan menambahkan asetat adalah untuk mengoreksi

23
asidosis penderita uremia. Asetat dimetabolisme oleh tubuh penderita menjadi
bikarbonat. Glikosa dalam konsentrasi yang rendah (200 mg/100 ml)
ditambahkan ke dalam bak dialisis untuk mencegah difusi glukosa ke dalam bak
dialisis yang dapat mengakibatkan kehilangan kalori.
Heparin secara terus menerus dimasukkan pada jalur arteri melalui infuse lambat
untuk mencegah pembekuan. Bekuan darah dan gelembung udara dalam jalur
vena akan menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke aliran darah. Waktu
yang dibutuhkan seseorang untuk melakukan hemodialisa adalah tiga kali
seminggu, dengan setiap kali hemodialisa 3 sampai 5 jam.

f. Komplikasi Hemodialisis
Menurut Smeltzer (2002) komplikasi hemodialisis mencakup hal-hal sebagai berikut :
1) Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan.
2) Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi jika
udara memasuki sistem vaskuler pasien
3) Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya
sirkulasi darah di luar tubuh.
4) Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme
meninggalkan kulit.
5) Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral dan
muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini memungkinkan terjadinya lebih
besar jika terdapat gejala uremia yang berat.
6) Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat
meninggalkan ruang ekstrasel.
7) Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi.

7. Nyeri dada
Frekuensi nyeri dada saat hemodialisis adalah 2-5 % dari keseluruhan
hemodialisis (Holley, 2007). Lebih lanjut daurgirdas, 2008 menyebutkan bahwa
nyeri dada hebat saat hemodialisis ferekuensinya adalah 1-4%. Nyeri dada saat
hemodialisis dapat terjadi pada pasien akibat penurunan hematokrit dan perubahan
volume darah karena penarikan cairan (Kallenbach, et all, 2005). Perubahan dalam
volume darah menyebabkan terjadinya penurunan aliran darah miokard dan

24
mengakibatkan berkurangnya oksigen miokard. Nyeri dada juga bisa menyertai
kompilkasi emboli udara dan hemolisis (Kallenbach, et all, 2005, Thomas, 2003).
Nyeri dada akibat adanya ultrafiltrasi yang cepat dan volume tinggi dapat
menyebabkan penarikan cairan yang berlebihan dan cepat ke dalam dialiser
sehingga menyebabkan penurunan volume cairan, penurunan PCO2, elektrolit
dalam tubuh yang bersama dengan terjadinya sirkulasi darah diluar tubuh dapat
mengakibatkan hipovolemik dan dapat terjadi nyeri dada pada pasien dengan CKD.
Nyeri dada saat hemodialisis dapat menimbulkan masalah keperawatan
penurunan curah jantung, gangguang rasa nyaman, dan intoleransi aktivitas. Nyeri
dada yang terjadi perlu dicegah dan diatasi perawat. Observasi monitor volume
darah dan hematokrit dapat mencegah resiko timbulnya nyeri dada. Perawat dapat
berkolaborasi memberikan nitroglisernin dan obat anti angina untuk mengurangi
nyeri dada (Kallenbach, et all, 2005). Pemberian oksigen, menurunkan Ob dan TMP
juga meringankan nyeri dada.

K. Malnutrisi Pada Pasien Dengan Ckd


Malnutrisi protein-energi atau protein-energy malnutrition (PEM) adalah kondisi
berkurangnya protein tubuh dengan atau tanpa berkurangnya lemak, atau suatu kondisi
terbatasnya kapasitas fungsional yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara asupan
dan kebutuhan nutrient, yang pada akhirnya menyebabkan berbagai gangguan
metabolik, penurunan fungsi jaringan, dan hilangnya massa tubuh. Meskipun berbagai
faktor yang terkait dengan prosedur dialisis dapat menyebabkan PEM, studi terbaru
menunjukkan bahwa kekurangan gizi sebelum dilakukannya dialisis juga umum terjadi.
Penurunan status gizi selama gagal ginjal yang progresif dapat disebabkan oleh
gangguan metabolisme pada protein dan energi, kekacauan hormonal, serta oleh
pengurangan spontan energi dalam makanan dan asupan protein. Namun perlu diingat
bahwa pasien yang diobati dengan HD untuk waktu yang lama menjadi kekurangan gizi
meskipun dosis dialisis yang memadai dan asupan protein yang cukup, beberapa kondisi
co-morbid juga dapat berkontribusi untuk PEM antara pasien dialisis. Secara khusus,
peradangan kronis, CVD, diabetes mellitus, dan penyakit lainnya dapat menyebabkan
anoreksia dan malnutrisi. Studi baru-baru ini (Menon, 2003) melaporkan bahwa nafsu
makan berkurang (anoreksia) dikaitkan dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari sitokin
proinflamasi. Bukti menunjukkan bahwa kehadiran PEM dikaitkan dengan peradangan

25
pada pasien CKD. Selain itu, PEM pada batas awal dan memburuknya PEM dari waktu
ke waktu berhubungan dengan risiko lebih besar untuk kematian kardiovaskular pada
pasien dialisis dan asosiasi yang kuat antara kekurangan gizi dan CVD telah
didokumentasikan baik dalam predialisis. Pendekatan saat ini adalah untuk
mengintegrasikan parameter yang telah terbukti memiliki relevansi gizi; yaitu, penilaian
klinis, asupan makanan, penilaian biokimia, berat badan, komposisi tubuh, dan evaluasi
psikososial.

26
a. Peran ginjal dalam metabolisme nutrisi tubuh dan kaitannya dengan CKD
Ginjal sangat penting untuk menjaga banyak aspek homeostasis metabolik. Fungsi
utama ginjal termasuk penghapusan produk limbah, pengaturan air, elektrolit dan
keseimbangan asam-basa, dan sintesis dan regulasi hormon. Selain itu, ginjal adalah
salah satu organ utama yang terlibat dalam keseimbangan gizi dalam tubuh. Untuk
pengaturan metabolisme glukosa, ginjal menunjukkan sintetis glukosa beberapa kali
lebih tinggi daripada yang diamati dalam hati. Pelepasan glukosa oleh ginjal dikenal
untuk memperhitungkan rata-rata hingga 20% dari semua glukosa dilepaskan setelah
penyerapan utama ke dalam sirkulasi. Karena ginjal biasanya menyimpan sedikit
glikogen dan sel-sel ginjal yang dapat menyimpan glikogen kekurangan glukosa-6-
fosfatase, rilis glukosa dari ginjal dianggap dominan karena gluconeogenesis.
Ginjal manusia juga memainkan peran utama dalam homeostasis dari kolam asam
amino tubuh, yang dilakukan oleh sintesis, degradasi, filtrasi, reabsorpsi dan ekskresi
asam amino dalam tubulus ginjal. Sekitar 50 - 70 g per hari asam amino yang disaring
oleh ginjal yang berfungsi normal dan mereka hampir sepenuhnya diserap kembali oleh
tubulus proksimal. Selain itu, ginjal dapat mensetting asam amino yang beredar di dalam
tubuh. Ginjal terlibat dalam pembuangan utama glutamin dan prolin dari darah dan
pelepasan beberapa asam amino seperti serin, tirosin dan arginin. Ginjal juga
melepaskan sejumlah kecil dari treonin, lisin dan leusin ke sirkulasi sistemik. Oleh
karena itu, wajar jika perubahan progresif fungsi ginjal atau metabolisme dapat
menyebabkan efek progresif dengan gizi, serta status kardiovaskular.
Setelah CKD berkembang, berbagai jenis perubahan metabolik akibat penyakit
ginjal, yang mendasari komorbiditas dan prosedur dialisis terjadi. Banyak faktor yang
menyebabkan komplikasi gizi serius bagi pasien CKD selama predialisis dan dialisis,
yang akhirnya mempengaruhi prognosis dan kualitas hidup pasien dengan CKD.

27
b. Penilaian malnutrisi pada penderita CKD
Penanda gizi yang ideal dan dapat diandalkan harus baik memprediksi outcome
klinis penting atau mengidentifikasi pasien yang harus menerima manajemen gizi.
Penanda klinis yang paling umum digunakan adalah serum albumin. Sejumlah besar
penelitian telah menunjukkan bahwa serum albumin adalah indikator yang dapat
diandalkan untuk status gizi, dan menampilkan respon penting untuk intervensi gizi.
Kriteria diagnostik untuk PEM berada ke dalam empat kategori yang berbeda: (1)
indikator biokimia, (2) berat badan rendah, berkurangnya lemak tubuh atau berat badan,
(3) penurunan massa otot, dan (4) protein rendah atau asupan energy (Jadeja, 2012)

28
c. Kebutuhan nutrisi pada penderita CKD

Sumber : Jadeja (2012)

d. Meningkatkan status nutrisi pada pasien CKD


Intervensi mulai dengan usaha untuk meningkatkan asupan oral pada pasien CKD
malnutrisi. Yaitu dengan : menghindari pembatasan makanan pada pasien dengan intake
yang kurang, memberikan supplement oral cair dan snack, mengobati gastroparesis dab

29
kondisi GI lainnya, mencapai control glikemik, koreksi abnormalitas elektrolit, evaluasi
dan pengenalan depresi.
Asupan sodium diet sering dibatasi untuk 2000 - 4000 mg per hari untuk pasien
dengan CKD, dalam upaya untuk membantu dalam mengendalikan hipertensi, dan untuk
menghindari rasa haus yang berlebihan dan konsumsi cairan pada pasien dengan
oliguria atau anuria. Garam pengganti sering mengandung kalium klorida, dan pasien
harus diinstruksikan untuk menghindari pengganti garam yang tidak disetujui oleh ahli
gizi atau dokter.
Pasien dengan CKD juga sering mengalami hyperphosphatemia.
Hyperphosphatemia dikaitkan dengan sejumlah konsekuensi merugikan, seperti
hiperparatiroidisme sekunder, kalsifikasi arteri, dan osteodistrofi ginjal. Sebuah
pembatasan fosfor diet 800 - 1000 mg per hari harus dilaksanakan ketika fosfor serum
meningkat> 4,6 mg / dL.
Energi yang direkomendasikan untuk pasien yang menjalani hemodialisis dan
dialisis peritoneal adalah 30 - 35 kkal / kg per hari. Rerata asupan yang disarankan diet
protein adalah 1,2 g / kg per hari pada pasien hemodialisis, dan 1,3 g / kg per hari pada
pasien dialisis peritoneal.
Kebanyakan pasien dengan penyakit ginjal kronis meninggal akibat kardiovaskuler
sebelum mengembangkan penyakit ginjal stadium akhir. Dalam sejumlah besar pasien,
farmakologis (yaitu, statin) pengurangan lipid serum mempertahankan GFR dan
mengurangi proteinuria. Studi menunjukkan bahwa diet vegetarian memiliki efek yang
sama pada lipid dan mengurangi proteinuria. Sumber makanan dan suplemen serat dapat
membantu untuk mengurangi penumpukan produk limbah nitrogen dalam darah yang
menyebabkan banyak gejala uremia. Serat dapat bertindak melalui beberapa mekanisme,
termasuk adsorpsi dan ekskresi limbah metabolisme dan stimulasi proliferasi bakteri
kolon dan penggabungan berikutnya senyawa nitrogen berlebih. Meskipun uji klinis
lebih lanjut diperlukan, data awal menunjukkan bahwa diet tinggi serat dan diet
suplemen serat menyebabkan hilangnya nitrogen tinja.

Secara garis besar penatalaksanaan nutrisi pada pasien dengan CKD adalah :
1) Diet: rendah protein (0,3-0,6 g / kg berat badan ideal, dan tergantung pada fungsi
ginjal residual); rendah sodium, tinggi serat, rendah lemak jenuh dan kolesterol.

30
2) Konsultasi Gizi: untuk menentukan energi dan protein dengan persyaratan yang
sesuai.
3) Olahraga yang diresepkan dan Berhenti merokok.

L. Penetalaksanaan Keperawatan

a. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
a) Identitas
Meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, status
perkawinan, alamat, No. RM, dan tanggal MRS.
b) Riwayat kesehatan
1) Keluhan Utama
Keluhan yang dirasakan pasien saat ini , kemungkinan ditemukan gangguan
tidur/istirahat , pusing-pusing/sakit kepala.
2) Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit sekarang merupakan pengalaman klien saat ini yang membentuk
suatu kronologi dari terjadinya etiologi hingga klien mengalami keluhan yang
dirasakan.
3) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit menahun seperti DM atau penyakit – penyakit lain.
Adanya riwayat penyakit jantung, obesitas, maupun arterosklerosis, tindakan medis
yang pernah di dapat maupun obat-obatan yang biasa digunakan oleh penderita.
a) Alergi
b) Imunisasi
c) Kebiasaan/Pola hidup
d) Obat yang pernah digunakan
4) Riwayat penyakit keluarga
Riwayat keluarga merupakan penyekit yang pernah dialami atau sedang dialami
keluarga, baik penyakit yang sama dengan keluhan klien atau pun penyakit lain.
Dari genogram keluarga biasanya terdapat salah satu anggota keluarga yang
menderita penyakit yang sama.
c) Genogram

d) Pengkajian Keperawatan
1) persepsi kesehatan & pemeliharaan kesehatan
menjelaskan tentang bagaimana pendapat klien maupun keluarga mengenai apakah
kesehatan itu dan bagaimana klien dan keluarga mempertahankan kesehatannya.

31
2) pola nutrisi/metabolik terdiri dari antropometri yang dapat dilihat melalui lingkar
lengan atau nilai IMT, biomedical sign merupakan data yang diperoleh dari hasil
laboratorium yang menunjang, clinical sign merupakan tanda-tanda yang diperoleh
dari keadaan fisik klien yang menunjang, diet pattern merupakan pola diet atau
intake makanan dan minuman yang dikonsumsi.
3) pola eliminasi: BAB dan BAK (frekuensi, jumlah, warna, konsistensi, bau,
karakter)
4) Pola aktivitas & latihan: Activity Daily Living, status oksigenasi, fungsi
kardiovaskuler, terapi oksigen. Gejala: lemah, letih, sulit bergerak/berjalan, kram
otot, tonus otot menurun. Tanda : penurunan kekuatan otot, serta mengenai
kurangnya aktivitas dan kurangnya olahraga pada klien.
5) Pola kognitif & perceptual : fungsi kognitif dan memori, fungsi dan keadaan indera
6) Pola persepsi diri : gambaran diri, identitas diri, harga diri, ideal diri, dan peran diri
7) Pola seksualitas & reproduksi : pola seksual dan fungsi reproduksi
8) Pola peran & hubungan
9) Pola manajemen & koping stres
10) Sistem nilai dan keyakinan : oleh pasien maupun masyarakat
e) Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum (Kesadaran secara kualitatif maupun kuantitatif), tanda-tanda vital
seperti tekanan darah, pernafasan, nadi dan suhu
2) Pengkajian Fisik (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi):
(a) Kepala
(1) Rambut, rambut berserabut, kusam,kusut,kering, Tipis ,dan kasar, penampilan,
depigmentasi.
(2) Muka/ Wajah  Simetris atau tidak? Apakah ada nyeri tekan? penampilan
berminyak, diskolorasi bersisik, bengkak; Kulit gelap di pipi Dan di bawah mata;
Tidak halus atau Kasar pada kulit Sekitar hidung dan mulut
(3) Mata, apakah penglihatan kabur / ganda, diplopia, lensa mata keruh.
(4) Telinga, Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tanda-tanda adanya infeksi
seperti pembengkakan dan nyeri di daerah belakang telinga, keluar cairan dari
telinga, melihat serumen telinga berkurangnya pendengaran, telinga kadang-kadang
berdenging, adakah gangguan pendengaran
(5) Hidung, Apakah ada pernapasan cuping hidung? Adakah nyeri tekan? Apakah
keluar sekret, bagaimana konsistensinya, jumlahnya?
(6) Mulut, lidah sering terasa tebal, ludah menjadi lebih kental, gigi mudah goyah, gusi
mudah bengkak dan berdarah

32
(7) Tenggorokan, Adakah tanda-tanda peradangan tonsil? Adakah tanda-tanda infeksi
faring, cairan eksudat?
(b) Leher  Adakah nyeri tekan, pembesaran kelenjar tiroid? Adakah pembesaran
vena jugularis?
(c) Thorax  Pada infeksi, amati bentuk dada klien, bagaimana gerak pernapasan,
frekuensinya, irama, kedalaman, adakah retraksi Intercostale? Pada auskultasi,
adakah suara napas tambahan? Adakah sesak nafas, batuk, sputum, nyeri dada.
(d) Jantung  Bagaimana keadaan dan frekuensi jantung serta iramanya? Adakah
bunyi tambahan? Adakah bradicardi atau tachycardia?
(e) Abdomen  Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada abdomen?
Bagaimana turgor kulit dan peristaltik usus? Adakah tanda meteorismus?
Adakah pembesaran lien dan hepar?
(f) Kulit  Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun warnanya? Turgor
kulit menurun, adanya luka atau warna kehitaman bekas luka, kelembaban dan
suhu kulit di daerah sekitar stoma, kemerahan pada kulit sekitar luka, tekstur
rambut dan kuku.
(g) Ekstremitas  Apakah terdapat oedema, Penyebaran lemak, penyebaran masa
otot, perubahan tinggi badan, cepat lelah, lemah dan nyeri, adanya gangren di
ekstrimitas?
(h) Genetalia  Adakah kelainan bentuk oedema, tanda-tanda infeksi? Apakah ada
kesulitan untuk berkemih?

M. Diagnosa Yang Sering Muncul


1. Ketidakefektifan Pola Nafas

2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer

3. Kelebihan volume cairan

4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

5. Intoleransi aktivitas

6. Hambatan mobilitas fisik

7. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

33
N. Rencana Keperawatan
DIAGNOSA Paraf
NO. KEPERAW TUJUAN DAN KRITERIA HASIL (NOC) INTERVENSI (NIC) &
ATAN Nama
1. Ketidakefektif Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam pasien NIC: Monitor Pernafasan (3350)
an pola napas menunjukkan hasil: a. Memonitor tingkat, irama kedalaman dan kesulitan bernafas;
(00032) Status Pernafasan (0415) b. Mencatat pergerakan dada, kesimetrisan, dan penggunaan otot
Tujuan bantu pernafasan;
No. Indikator Awal c. Memonitor suara nafas tambahan;
1 2 3 4 5
1. Frekuensi pernafasan √ d. Memonitor pola nafas;
2. Irama pernafasan √ e. Mengauskultasi suara nafas;
3. Kedalaman inspirasi √ f. Membuka jalan napas;
4. Suara auskultasi nafas √ g. Memberikan terapi oksigen.
5. Kepatenan jalan nafas √
NIC: Terapi Oksigen (3320)
Penggunaan otot bantu
6. √ h. Mempertahankan kepatenan jalan nafas;
pernafasan
i. Memberikan oksigen seperti yang diperintahkan;
Pernafasan bibir dengan ut
7. √ j. Memonitor aliran oksigen;
mulut mengeru
k. Memeriksa perangkat (alat) pemberian oksigen secara berkala
8. Dyspnea saat istirahat √ untuk memastikan bahwa konsentrasi (yang telah) ditentukan
Dyspnea dengan aktivitas telah diberikan;
9. √
ringan l. Memonitor peralatan oksigen untuk memastikan bahwa alat
10. Pernafasan cuping hidung tersebut tidak mengganggu upaya pasien untuk bernapas.

Keterangan: NIC: Manajemen Jalan Nafas (3140)


1. Keluhan ekstrime a. Memposisikan pasien semi fowler;
2. Keluhan berat b. Memotivasi pasien untuk melakukan batuk efektif;
3. Keluhan sedang c. Mengauskultasi suara nafas, mendengarkan ada atau tidak ada
4. Keluhan ringan adanya suara tambahan;
5. Tidak ada keluhan d. Memberikan pendidikan kesehatan mengenai fisioterapi dada.
- Frekuensi pernafasan dalam batas normal (16-24x/menit) (041501)
- Irama pernafasan reguler (041502)
- Kedalaman inspirasi maksimal (041503)
- Suara auskultasi kembali normal (041504)
- Jalan nafas paten (041532)

34
- Tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan (041510)
- Tidak ada pernafasan dengan bibir (041512)
- Tidak dyspnea saat istirahat (041015)
- Tidak dyspnea saat aktivitas ringan (041016)
- Tidak ada pernafasan cuping hidung (041528)
2. Ketidakefe Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam Intervensi Keperawatan Yang Disarankan Untuk Rofi
ktifan diharapkan pasien: Menyelesaikan Masalah : Syahri
Perfusi Manajemen cairan (4120) zal
Jaringan Perfusi Jaringan Perifer (0407) 1. Monitor tanda – tanda vital
Perifer Tujuan 2. Monitor makan dan minum yang dikonsumsi
(000204) No Indikator Awal 3. Berikan terapi intravena seperti yang
1 2 3 4 5
1. Pengisian kapiler jari  dianjurkan
2. Pengisian kapiler jari kaki  4. Berikan cairan dengan cara yang tepat
5. Berikan dukungan kepada pasien dan keluarga
Suhu kulit ujung kaki dan
3.  untuk membantu dalam pemberian makanan dengan baik
tangan
Kekuatan denyut nadi Terapi Oksigen (3320)
4. 
karotis 1. Pertahankan kepatenan jalan nafas;
5. Muka pucat  2. Berikan oksigen seperti yang diperintahkan;
6. Kelemahan otot  3. Monitor aliran oksigen;
4. Periksa perangkat (alat) pemberian oksigen secara berkala
Keterangan: untuk memastikan bahwa konsentrasi (yang telah) ditentukan
- Keluhan ekstrime telah diberikan;
5. Monitor peralatan oksigen untuk memastikan bahwa alat
- Keluhan berat tersebut tidak mengganggu upaya pasien untuk bernapas.
- Keluhan sedang
- Keluhan ringan Pengaturan posisi (0840)
- Tidak ada keluha 1. Tempatkan pasien pada temapt tidur
yang nyaman
1) Pengisisan kapiler jari (040715) 2. Dororng pasien untuk terlibat dalam
2) Pengisian kapiler jari kaki (040716) perubahan posisi
3) Suhu kulit ujung jari kaki dan tangan (040710) 3. Posisikan pasien sesuai dengan
4) Kekuatan denyut nadi karotis (040730) keinginan
5) Muka pucat (040743) 4. Posisikan pasien pada semi fowler

35
5. Dorong pasien untuk melakukan rom
aktof dan pasif

36
DAFTAR PUSTAKA

Asep Sumpena, (2002) , Panduan Hemodialisis Untuk Mahasiswa . Bandung Elektronik


(Internet) ( 2009 ) , Treatment Optrion For Intradialytic Hipotensin
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., Wagner, C. M. 2016. Nursing
Intervention Classification (NIC), 6th Indonesian Edition. United Kingdom:
Elseiver Global Rights.
Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologied 3. Jakarta: EGC.
Enday Suhandar, Prof ( 2006 ) , Gagal Ginjal dan Panduan Terapi Dialisis. FK UNPAD.
Bandung Kumpulan Materi ( 2010 ), Teknik Hedmodialisis. Bandung
Hidayati, T., Kushadiwijaya, H. dan Suhardi. 2008. Hubungan antara hipertensi,
merokok dan minuman suplemen energi dan kejadian penyakit ginjal kronik.
Berita Kedokteran Masyarakat 24(2).
Herdman, T. Heather. 2015. NANDA Internasional Inc. diagnosa keperawatan: definisi
& klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC
Himmelfarb, Jonathan. 2005. Core Curriculum In Nephrology Hemodialysis
Complications.National Kidney Foundation. N Eng J M. Doi : 10.1053 http : //
www.nejm.org/content/full article.htm (12 September 2015)
Jadeja YP, Kheer V. 2012. Protein energy wasting in chronic kidney disease: An update
with focus on nutritional interventions to improve outcomes. Indian J endrocinol
Metab,16 (2) : 246-251.
Menon V, Wang X, Greene T, Beck GJ, Kusek JW, Marcovina SM, Levey AS, Sarnak
MJ. 2003. Relationship between C-reactive protein, albumin, and cardiovascular
disease in patients with chronic kidney disease. Am J Kidney Dis, 42 (2) :44-52
Nursalam, M.Nurs, DR (Hons). 2006. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan
Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika
Pusat Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan Ri. Situasi Penyakit Ginjal Kronis.
2017. http://www.depkes.go.id/download.php?
file=download/pusdatin/infodatin/infodatin%20ginjal%202017.pdf
Rudianto, AMK RS. Khusus Ginjal Ny. RA Habibie Bandung
Rully M.A. Roesli, Prof ( 2008 ) Acute Kidney Injury. FK UNPAD. Bandung

37
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC
Suhardjono. 2006. Proteinuria Pada Penyakit Ginjal Kronik: Mekanisme dan
Pengelolaannya. Peranan Stres Oksidatif dan Pengendalian Faktor Risiko pada
Progresi Penyakit Ginjal Kronik serta Hipertensi, JNHC 2006; 1-7.
Sukanandar, E (2006). Gagal ginjal dan panduan terapi dialisis. Bandung: Pusat
Informasi Ilmiah (PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
UNPAD/RS. DR. Hasan Sadikin
Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.:
Balai Penerbit FKUI
Yunie Armyati ( 2009 ) , Komplikasi Intradialisis. FIK . UI. Jakarta

38

Anda mungkin juga menyukai