SKIZOFRENIA PARANOID
Pembimbing :
dr. Aliyah Sukmawati R, Sp.KJ
Disusun Oleh :
1
BIG CASE
SKIZOFRENIA PARANOID
Diajukan Oleh :
Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Pembimbing Ilmu Kedokteran Jiwa Bagian
Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Pembimbing:
dr. Aliyah Sukmawati R, Sp.KJ (...............................)
Dipresentasikan dihadapan:
dr. Aliyah Sukmawati R, Sp.KJ (...............................)
2
BAB I
PENDAHULUAN
Post traumatic stress disorder atau gangguan stres pasca trauma adalah
suatu gangguan kecemasan yang timbul setelah mengalami atau menyaksikan
suatu ancaman kehidupan atau peristiwa-peristiwa trauma seperti perang militer,
serangan dengan kekerasan atau suatu kecelakaan yang serius peristiwa trauma ini
menyebabkan reaksi ketakutan. Gejala-gejala umum tersebut antara lain kenangan
yang muncul pertama kali berulang-ulang sangat mendalam dan mengganggu
akibat peristiwa tersebut berusaha menghindari keadaan- keadaan yang
mengingatkan pada peristiwa tersebut menjadi mati rasa secara emosional dan
suka menyendiri, sulit tidur, dan konsentrasi, ketakutan. Bila gejala-gejala
gangguan stres pasca trauma menjadi parah gangguan tersebut berkembang
menjadi gangguan stres pasca trauma setelah mengalami peristiwa yang sama.
Resiko akan mengalami gangguan stres pasca trauma meningkat oleh karena
banyak faktor, termasuk intensitas beratnya peristiwa yang dialami, sejauh mana
anda terlibat didalamnya, dan seberapa hebatnya reaksi. Semetara itu penyebab
sebenarnya dari gangguan stres pasca trauma tidak diketahui. Kemungkinan lain
adalah dilepaskannya hormon- hormon tertentu oleh otak seperti kortisol dan zat-
zat kimia lainnya sebagai respon terhadap rasa takut, hormon–hormon dan zat
kimia ini akan membangkitkan kenangan- kenangan tersebut
Setelah suatu peristiwa traumatik, seseorang dapat merasakan sesuatu yang
mengganggu kehidupannya, dapat juga diikuti stres, ketakutan, dan kemarahan.
Mereka juga sering mendapati bahwa mereka sulit untuk tidak memikirkan apa
yang telah terjadi. Merasakan reaksi stres adalah hal yang sering terjadi pada
kebanyakan orang dan tidak ada hubungannya dengan kelemahan pribadinya.
Banyak orang juga akan menunjukkan kewaspadaan yang berlebihan. Yang paling
sering, jika gejala ikutannya muncul, akan menurun seiring berjalannya waktu.
Orang-orang yang selamat dari suatu trauma (misalnya veteran, anak-anak,
penyelamat bencana atau pekerja sosial) mengalami reaksi stres yang umum.
Memahami bahwa apa yang terjadi ketika kita atau seseorang yang kita kenal
bereaksi terhadap peristiwa traumatik akan membantu kita agar tidak terlalu takut
dan lebih baik dalam menanganinya.
3
BAB II
Post Traumatic Stress Disorder
1. DEFINISI
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan sindrom kecemasan,
labilitas otonomik, dan mengalami kilas balik dari pengalaman yang amat pedih
setelah stres fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa.
Selain itu, PTSD dapat pula didefinisikan sebagai keadaan yang melemahkan fisik
dan mental secara ekstrem yang timbul setelah seseorang melihat, mendengar,
atau mengalami suatu kejadian trauma yang hebat dan atau kejadian yang
mengancam kehidupannya (Sadock, B.J. & Sadock, V.A., 2007).
Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, (DSM-
IVTR), PTSD didefinisikan sebagai suatu kejadian atau beberapa kejadian trauma
yang dialami atau disaksikan secara langsung oleh seseorang berupa kematian
atau ancaman kematian, cidera serius, ancaman terhadap integritas fisik atas diri
seseorang. Kejadian tersebut harus menciptakan ketakutan yang ekstrem, horor,
rasa tidak berdaya (Sadock, B.J. & Sadock, V.A., 2010). Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD) merupakan reaksi dari individu terhadap kejadian yang luar
biasa akibat dari pengalaman seseorang pada suatu peristiwa yang bersifat amat
hebat dan luar biasa, jauh dari pengalaman yang normal dialami oleh seseorang
tersebut (Depkes RI, 1993).
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa PTSD merupakan
gangguan yang diakibatkan satu atau lebih kejadian traumatik yang dialami atau
disaksikan oleh seseorang baik ancaman kematian, kematian, cidera fisik yang
mengakibatkan ketakutan ekstrem, horor, rasa tidak berdaya hingga berdampak
mengganggu kualitas hidup individu dan apabila tidak ditangani dengan benar
dapat berlangsung kronis dan berkembang menjadi gangguan stres pascatrauma
yang kompleks dan gangguan kepribadian.
2. ETIOLOGI
Stresor atau kejadian trauma merupakan penyebab utama dalam
perkembangan PTSD. Ketika kita dalam keadaan takut dan terancam, tubuh kita
mengaktifkan respon fight or flight. Dalam reaksi ini tubuh mengeluarkan
adrenalin yang menyebabkan peningkatan tekanan darah, denyut jantung,
4
glikogenolisis. Setelah ancaman bahaya itu mulai hilang maka tubuh akan
memulai proses inaktivasi respon stres dan proses ini menyebabkan pelepasan
hormon kortisol. Jika tubuh tidak melepaskan kortisol yang cukup untuk
menginaktivasi reaksi stres maka kemungkinan kita masih akan merasakan efek
stres dari adrenalin. Pada korban trauma yang berkembang menjadi PTSD
seringkali memiliki hormon stimulasi (katekolamin) yang lebih tinggi bahkan
pada saat kondisi normal. Hal ini mengakibatkan tubuh terus berespon seakan
bahaya itu masih ada. Setelah sebulan dalam kondisi ini, dimana hormon stres
meningkat dan pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya perubahan fisik
(Paige, S.R., 2005).
Stresor dapat berasal dari bencana alam, bencana yang diakibatkan oleh
ulah manusia, ataupun akibat kecelakaan. Stresor akibat bencana alam antara lain:
menjadi korban yang selamat dari tsunami, gempa bumi, badai. Kejadian trauma
akibat ulah manusia antara lain: menjadi korban banjir, penculikan, perkosaan,
kekerasan fisik, melihat pembunuhan, perang, dan kejahatan kriminal lainnya di
mana ia tinggal. Kejadian trauma juga dapat terjadi akibat kecelakaan baik, yang
menyebabkan cidera fisik maupun yang tidak. Akan tetapi tidak semua orang akan
mengalami PTSD setelah suatu peristiwa traumatik, karena walaupun stresor
diperlukan, namun stresor sendiri tidaklah cukup untuk menyebabkan suatu
gangguan. Maka dari itu, menurut Kaplan & Sadock (2007), terdapat beberapa
faktor lain yang harus dipertimbangkan, diantaranya:
a. Faktor biologis
Teori biologis pada PTSD telah dikembangkan dari penelitian praklinik
model stres pada binatang yang didapatkan dari pengukuran variabel biologis
populasi klinis dengan PTSD. Banyak sistem neurotransmitter telah
dilibatkan dalam kumpulan data tersebut. Model praklinik pada binatang
tentang ketidakberdayaan, pembangkitan, dan sensitisasi yang dipelajari telah
menimbulkan teori tentang norepinefrin, dopamin, opiate endogen, dan
reseptor benzodiazepine dan sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal. Pada
populasi klinis, data telah mendukung hipotesis bahwa sistem noradrenergic
dan opiate endogen, dan juga sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal, adalah
hiperaktif pada beberapa pasien dengan gangguan stres pascatraumatik.
5
b. Faktor psikologi
Classical dan operant conditioning dapat diimplikasikan pada perkembangan
terjadinya PTSD. Stresor yang ekstrem secara tipikal menimbulkan emosi
yang negatif (sedih, marah, takut) sebagai bagian dari gejala hiperarousal
akibat aktivasi dari sistem saraf simpatis (fight or flight response). Classical
conditioning terjadi pada saat seseorang yang mengalami peristiwa trauma
kembali ke tempat terjadinya trauma maka akan timbul reaksi psikologi yang
tidak disadari dan merupakan respon refleks yang spesifik. Misalnya, pada
anak yang mengalami kecelakaan mobil yang serius akan timbul respon
berupa ketakutan, berkeringat, takikardi setiap kali dia melewati tempat
kejadian tersebut. Operant conditioning terjadi sebagai hasil dari pengalaman
kejadian trauma yang dialaminya sehingga didapatkan tingkah laku yang
tidak disukai dan tidak akan diulangi. Misalnya, pada anak yang mengalami
kecelakaan mobil maka ia akan berusaha untuk menghindari berada di dalam
mobil. Modelling merupakan mekanisme psikologikal lainnya yang turut
berperan dalam perkembangan gejala PTSD. Respon emosional orang tua
terhadap pengalaman traumatik anak merupakan prediksi terhadap keparahan
gejala PTSD anak.
c. Faktor sosial
Dukungan sosial yang tidak adekuat dari keluarga dan lingkungan
meningkatkan risiko perkembangan PTSD setelah seseorang mengalami
kejadian traumatik. Penyebab gangguan bervariasi, tetapi stresor harus
sedemikian berat sehingga cenderung menimbulkan trauma psikologis pada
kebanyakan orang normal, walaupun tidak berarti bahwa semua orang harus
mengalami gangguan akibat trauma ini.
Macam-macam stresor traumatik:
1) Menyaksikan peristiwa yang berakibat luka fisik atau kematian yang
menakutkan seperti korban tergulung ombak, tertimpa tanah longsor,
terlindas kendaraan, penganiayaan, terkena granat atau bom, kepala
terpancung, tertembak, pembunuhan masal atau tindakan brutal di luar batas
kemanusiaan.
6
2) Pengalaman berada dalam situasi terancam kematian atau keselamatan
jiwanya, misalnya huru-hara kerusuhan, bencana, tsunami, air bah atau
gunung meletus, peperangan, berbagai tindak kekerasan, usaha pembunuhan,
penganiayaan fisik dan mental-emosional, penyanderaan, penculikan,
perampokan ataupun kecelakaan.
3) Mengalami tindak kekerasan dalam keluarga.
4) Mengalami secara aktual atau terancam mengalami perkosaan, pelecehan,
seksual yang mengancam integritas fisik dan harga diri seseorang.
5) Dipaksa atau terpaksa melakukan tindak kekerasan.
6) Kematian mendadak/berpisah dari anggota keluarga/orang yang dikasihi.
7) Berhasil selamat dari tindak kekerasan, bencana alam/kecelakaan hebat.
8) Terpaksa pindah atau terusir dari kampung halaman.
9) Mendadak berada dalam keadaan terasing, tercabut dari lingkungan fisik,
budaya, kerabat, teman sebaya yang dikenal.
10) Terputusnya hubungan dengan dunia luar, dilarang melakukan berbagai adat
istiadat atau kebiasaan.
11) Kehilangan harta benda, sumber penghidupan, privasi (hak pribadi).
12) Berada dalam kondisi serba kekurangan pangan, tempat tinggal, kesehatan.
3. FAKTOR RISIKO
a) Jenis kelamin perempuan, 2 hingga 4 kali lipat dibandingkan pada laki-laki
meskipun laki-laki lebih cenderung mengalami kejadian traumatik.
b) Gangguan jiwa sebelumnya (preexisting anxiety disorder atau preexisting
major depression) beresiko 2 kali lipat dibandingkan mereka yang tidak
mengalami gangguan jiwa.
c) Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada individu yang
bersangkutaan maupun keluarganya.
d) Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual.
e) Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependent, atau antisosial.
f) Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi sosial; adanya
problem menyesuaikan diri.
g) Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara bermakna.
7
h) Terpapar oleh kejadian-kejadian dalam kehidupan yang luar biasa sebelumnya
baik tunggal maupun ganda dan dirasakan secara subjektif oleh suatu kondisi
atau peristiwa yang menimbulkan penderitaan bagi dirinya.
4. GEJALA KLINIS
Ada tiga kelompok dari gejala yang diperlukan untuk mendiagnosis
suatu PTSD, yaitu:
5. DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk PTSD merinci bahwa gejala
mengalami, menghindari, dan terus terjaga lebih dari 1 bulan. Untuk pasien yang
gejalanya ada, tetapi kurang dari 1 bulan, diagnosis yang sesuai adalah gangguan
stres akut. Kriteria diagnosis DSM-IV-TR, PTSD memungkinkan klinisi untuk
merinci apakah gangguan tersebut akut (jika gejala kurang dari 3 bulan) atau
kronis (jika gejala telah ada selama 3 bulan atau lebih). DSM-IV-TR juga
memungkinkan klinisi merinci bahwa gangguan tersebut adalah dengan awitan
8
yang tertunda jika awitan gejala 6 bulan atau lebih setelah peristiwa
yangmemberikan stres (Sadock, B.J. & Sadock, V.A., 2010).
Berikut adalah kriteria diagnostic untuk Gangguan Stres Pascatraumatik menurut
DSM-IV:
A. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari
berikut ini terdapat:
1) Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu
kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian
atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius, atau
ancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain.
2) Respon orang tersebut berupa takut yang kuat, rasa tidak berdaya,
atau horror. Catatan: pada anak-anak hal ini dapat diekspresikan
dengan perilaku yang kacau atau teragitasi.
B. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau
lebih) cara berikut:
1) Rekoleksi yang menderitakan, rekuren, dan mengganggu tentang
kejadian, termasuk bayangan, pikiran, atau persepsi. Catatan:
pada anaka kecil, dapat menunjukkan permainan berulang dengan
tema atau aspek trauma.
2) Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian. Catatan:
pada anak-anak, mungkin terdapat mimpi menakutkan tanpa isi
yang dapat dikenali.
3) Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi
kembali (termasuk perasaan penghidupan kembali pengalaman,
ilusi, halusinasi, dan episode kilas balik disosiatif, termasuk yang
terjadi selama terbangun atau saat terintoksikasi). Catatan: pada
anak kecil, dapat terjadi penghidupan kembali yang spesifik
dengan trauma.
4) Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda
internak atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai
suatu aspek kejadian traumatik.
9
5) Reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau
eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek
kejadian traumatik.
C. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma
dan kaku karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma),
seperti yang ditujukan oleh tiga (atau lebih) berikut ini:
1) Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang
berhubungan dengan trauma.
2) Usaha untuk menghndari aktivitas, tempat, atau orang yang
menyadarkan rekoleksi dengan trauma.
3) Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma.
4) Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang
bermakna.
5) Perasaan terlepas atau asing dari orang lain.
6) Rentang afek yang terbatas (misalnya, tidak mampu untuk
memiliki perasaan cinta)
7) Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek (misalnya, tidak
berharap memiliki karir, menikah, anak-anak, atau panjang
kehidupan normal)
D. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan sebelum
trauma), seperti yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih) berikut:
1) Kesulitan untuk tidur atau tetap tertidur.
2) Iritabilitas atau ledakan kemarahan.
3) Sulit berkonsentrasi.
4) Kewaspadaan berlebihan.
5) Respon kejut yang berlebihan.
E. Lama gangguan (gejala dalam kriteria A, B, C, dan D) adalah lebih dari
satu bulan.
F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi social, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
Sementara itu kriteria diagnostik untuk gangguan stres pascatraumatik menurut
PPDGJ III (F 43.1) adalah sebagai berikut:
10
1. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun
waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar
antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui
6 bulan).
Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya
waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan,
asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif
kategori gangguan lainnya.
2. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang
atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang
kembali (flashbacks).
3. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya
dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.
4. Suatu “sequelae” menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar
biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasikan
dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama
setelah mengalami katastrofa).
6. PERJALANAN PENYAKIT
Gejala PTSD biasanya timbul beberapa waktu setelah trauma. Penundaan
dapat selama 1 minggu atau hingga 30 tahun. Gejala dapat fluktuasi dari waktu ke
waktu dan menjadi paling intens selama periode stres. Jika tidak diobati, sekitar
30% pasien akan pulih sempurna. Empat puluh persen akan terus mengalami
gejala ringan, sekitar 10% tetap tidak berubah atau bertambah buruk. Setelah satu
tahun, sekitar 50% pasien akan pulih (Sadock, B.J. & Sadock, V.A., 2010).
7. PENATALAKSANAAN
Skrining gangguan psikiatrik yang timbul bersamaan dan lakukan penilaian
resiko (bunuh diri/pengabaian diri).
Rujukan kepada kelompok-kelompok pendukung misalnya yayasan medis
untuk korban penyiksaan.
Psikoterapi
11
Ada dua tipe psikoterapi utama yang dapat digunakan. Yang
pertama adalah terapi paparan.Pasien dihadapkan pada keadaan traumatis
secara perlahan-lahan dan bergradasi untuk mencapai desensitisasi. Yang
kedua manajemen stress.Tipe yang kedua ini adalah mengajari pasien cara
menangani stress termasuk teknik relaksasi dan pendekatan kognitif untuk
mengatasi masalah. Data menunjukkan bahwa manajemen stress lebih
cepat mengatasi PTSD namun hasil dari terapi paparan berlangsung lebih
lama. Dalam beberapa kasus, katarsis dapat berguna, namun hal ini dapat
menjadi sangat tidaknyaman bagi pasien.
Farmakoterapi
12
Obat-obat anti anxietas sebaiknya digunakan untuk waktu yang singkat
karena ditakutkan akan terjadi ketergantungan, meskipun banyak obat yang efektif
untuk meredakan anxietas.
3. Benzodiazepin
4. Obat-obat lainnya
13
Selain itu juga terdapat laporan kasus yang menunjukkan keberhasilan dari
alfa-agonis Guanfacine pada wanita muda.
Dosis 60 mg/hari atau lebih dapat efketif, trauma untuk gejala hyperarousal.
Naltrexone (50 mg/hari) dilaporkan efektif dalam mengurangi kilas balik pada
pasien dengan gangguan stress pascatrauma. Tetapi tidak terdapat controlled
studies dengan opiat agenda pada gangguan stress pascatrauma.
14
4. Exposure therapy (terapi pemaparan) merupakan terapi dengan
pendekatan psikososial terbaik yang dianjurkan dan sebaiknya
dilanjutkan selama 6 bulan (Kaplan,Sadock,& Grebb,2010).
15
8. PROGNOSIS
Prognosis yang baik dapat dicapai apabila terjadi onset gejala yang cepat,
durasi gejala yang singkat (kurang dari enam bulan), dukungan sosial yang kuat,
dan tidak adanya gangguan psikiatrik, medis, atau berhubungan zat lainnya.
Pada umumnya, orang yang sangat muda atau sangat tua memiliki lebih
banyak kesulitan dengan peristiwa traumatik dibandingkan mereka yang dalam
usia paruh baya. Kemungkinan, anak-anak belum memiliki mekanisme mengatasi
kerugian fisik dan emosional akibat trauma. Demikian juga dengan orang lanjut
usia, jika dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih muda, kemungkinan
memiliki mekanisme mengatasi yang lebih kaku dan kurang mampu melakukan
pendekatan fleksibel untuk mengatasi efek trauma. Kecacatan psikiatrik yang ada
sebelumnya, apakah suatu gangguan kepribadian atau suatu kondisi yang lebih
serius, juga meningkatkan efek stresor tertentu. Tersedianya dukungan sosial juga
mempengaruhi perkembangan, keparahan, dan durasi gangguan stres
pascatraumatik. Pada umumnya, pasien yang memiliki jaringan dukungan sosial
yang baik, kemungkinan tidak menderita gangguan atau tidak mengalami
gangguan dalam bentuk yang parahnya (Utama & Hendra, 2010).
16
BAB III
KESIMPULAN
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan, Sadock, Grebb, MD, 2010. Sinopsis Psikiatri. Jilid ke-2, Binapura
Angkasa, Jakarta: 68-75.
3. Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri edisi 6. EGC : Jakarta PPDGJ
III
4. Mansjoer, Arif, dkk. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius
: Jakarta
18