Anda di halaman 1dari 22

SARI PUSTAKA

IDIOPATHIC PULMONARY FIBROSIS

Penyusun :
Juardy Malik Wijaya (160100174)
William Alexander (160100098)
Mikha Martyasari Putri Allagan (160100104)
Nichitri Agina Br Ginting (160100210)

Pembimbing:
dr. Andhika Kesuma Putra, Sp.P(K)

KEPANITERAAN KLINIK RSUP HAJI ADAM MALIK


DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan pada tanggal :

Nilai :

Pembimbing

dr. Andhika Kesuma Putra, Sp.P(K)


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan sari
pustaka ini yang berjudul “Idiopathic Pulmonary Fibrosis”.
Penulisan sari pustaka ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Pulmonologi dan Respiratori Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dalam penyusunan dan penyelesaian sari pustaka ini, banyak pihak yang
memberikan kontribusi baik sumbangan waktu, ide, pendapat, tenaga dan
dukungan sehingga sari pustaka ini dapat selesai tepat pada waktunya. Untuk itu,
tidak ada yang dapat kami sampaikan selain rasa terimakasih yang mendalam
kepada semua pihak yang telah turut membantu dan tak lupa pula kepada
pembimbing kami, dr. Andhika Kesuma Putra, Sp.P(K) yang telah memberikan
masukan dan nasihatnya.
Kami menyadari sari pustaka ini masih jauh dari kata sempurna, oleh sebab
itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan sari pustaka
selanjutnya. Semoga sari pustaka ini dapat bermanfaat kedepannya, akhir kata
penulis mengucapkan terimakasih.

Medan, 14 Maret 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman
Kata Pengantar................................................................................................... i
Daftar Isi .......................................................................................................... ii
Daftar Gambar ................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2. Tujuan Penulisan ........................................................................... 2
1.3. Manfaat Penelitian ......................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi............................................................................................. 3
2.2 Patofisiologi..................................................................................... 5
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko............................................................... 7
2.3.1 Merokok........................................................................................... 7
2.3.2 Pajanan Lingkungan......................................................................... 7
2.3.3 Agen Mikroba.................................................................................. 7
2.3.4 Refluks Gastroesofagus.................................................................... 8
2.3.5 Genetik............................................................................................. 8
2.4 Gejala Klinis..................................................................................... 9
2.5 Diagnosis.......................................................................................... 9
2.6 Tatalaksana....................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 15

ii
DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


2.1 Klasifikasi penyakit paru interstisial................................................ 4
2.2 Ilustrasi IPF............................................................................................................. 5

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Idiopathic pulmonary fibrosis (IPF) adalah penyakit paru restriktif yang
ditandai oleh fibrosis interstitial progresif parenkim paru, yang memengaruhi
sekitar 100.000 pasien di Amerika Serikat. Fibrosis interstitial yang berhubungan
dengan IPF ini menyebabkan hilangnya fungsi paru-paru secara progresif, yang
berakibat kematian karena kegagalan pernapasan pada sebagian besar pasien.
Kelangsungan hidup rata-rata dari saat diagnosis adalah 2-3 tahun (Abbas et al.,
2019).
Idiopathic pulmonary fibrosis biasanya bermanifestasi dengan sesak napas
saat aktivitas, meningkatkan batuk dan dyspnoea, radang saluran pernapasan
bibasilar dan fungsi paru yang memburuk tes, serta jari tabuh, 50% dari pasien.
Penurunan pernapasan bisa lambat dan progresif (fenotip klinis paling sering),
dengan atau tanpa eksaserbasi akut, atau cepat dan dipercepat, menghasilkan pola
bertahan hidup yang berbeda. Diagnosis biasanya dibuat 6 hingga 24 bulan setelah
gejala awal (Nalysnyk et al., 2012).
Etiologinya tidak diketahui, namun beberapa faktor risiko yang diduga
menjadi penyebab penyakit ini adalah merokok, obat-obatan, faktor pekerjaan,
dan paparan infeksi atau lingkungan. Riwayat alami IPF sangat bervariasi dan
perjalanan penyakit pada seorang pasien sulit diprediksi, karena beberapa pasien
mengalami penurunan paru-paru yang cepat sementara yang lain berkembang jauh
lebih lambat; dengan demikian, mereka dapat diklasifikasikan dalam kelompok
yang berbeda dengan perilaku dan evolusi yang berbeda (fenotip) (Sauleda et al.,
2018).
Dalam tinjauan sistematis studi dari tahun 2000 dan seterusnya, kisaran
kejadian tahunan konservatif 3-9 kasus per 100.000 populasi diperkirakan untuk
Eropa dan Amerika Utara, Data dari Swedia mencatat 71 pasien dari 11 klinik
pernapasan dalam tahun pertama peluncurannya. Dalam sebuah studi nasional di
Finlandia yang menggunakan catatan rumah sakit dikombinasikan dengan

1
skrining keluarga untuk deteksi kasus, prevalensi IPF diperkirakan 16-18 per
100.000 populasi (Ferrara et al., 2019).

1.2 TUJUAN PENULISAN


Penyusunan sari pustaka ini dilakukan untuk memenuhi persyaratan
pelaksanaan kegiatan Program Profesi Dokter (P3D) di Departemen Pulmonologi
dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara serta
memahami tinjauan ilmu teoritis, diagnosis serta penatalaksanaan yang tepat pada
Idiopathic Pulmonary Fibrosis.

1.2 MANFAAT PENULIAN

Sari Pustaka ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap penulis dan
pembaca terutama yang terlibat dalam bidang medis dan juga memberikan
wawasan kepada masyarakat umum agar lebih mengetahui dan memahami tentang
Idiopathic Pulmonary Fibrosis.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Idiopathic Pulmonary Fibrosis (IPF), disebut juga alveolitis kriptogenik fibrosis,


didefinisikan sebagai bentuk spesifik interstisial pneumonia fibrosis kronis dan
progresif dengan penyebab yang tidak diketahui, mengenai terutama dewasa tua,
dengan karakteristik batuk yang kronis progresif dan sesak, dan berhubungan dengan
pola histopatologis dan/atau radiologis UIP (usual interstitial pneumonia). Definisi
IPF memerlukan eksklusi dari bentuk lain pneumonia interstisial termasuk
pneumonia interstisial idiopatik yang lain dan interstitial lung disease (ILD) yang
berhubungan dengan pajanan lingkungan, medikasi, atau penyakit sistemik. IPF
merupakan bentuk paling sering dari pneumonia interstisial idiopatik dan memiliki
prognosis yang paling buruk (Raghu et al, 2011; Franquet, 2012; Das & Chakraborty,
2015).

IPF adalah penyakit fibroproliferatif dengan sebab yang tidak diketahui,


terkait dengan histopatologis dan/atau gambaran high-resolution computed
tomography (HRCT) dari usual interstitial pneumonia (UIP). Keberadaan pola
UIP yang berasal dari gambaran radiologis dan histologis diperlukan untuk
menegakkan diagnosis dari IPF. Untuk membedakan IPF dengan penyakit
lainnya, klasifikasi dipermudah berdasarkan pembagiannya menurut asosiasi
kedokteran thoraks pada tahun 2014(Saha, 2014).

3
Gambar 2.1 Klasifikasi penyakit paru interstisial(Saha, 2014).

Pembagian penyakit paru interstisial yang baru dibagi menjadi 4, yakni ILD
dengan sebab yang diketahui seperti obat-obatan atau penyakit kolagen, idiopatik
pneumonia interstisial (IIP), ILD granulomatosa, dan ILD lainnya sesuai
gambaran histopatologis yang spesifik. IPF masuk pada idiopatik pneumonia
interstisial dengan sub bagian fibrosis kronis (Saha, 2014).

Pada kriteria yang lama, pembagian idiopatik pneumonia interstisial dibagi


menjadi IPF dan IIP selain IPF dengan bentuk IIP selain IPF diklasifikasikan
menjadi satu tanpa membedakan penyebab dan onset kejadian. Pada kriteria yang
baru, IIP mayor dibedakan menjadi 3 kategori dimana salah satunya terdapat IPF
didalam sub fibrosis kronik (Saha, 2014).

4
2.2 PATOFISIOLOGI

Walaupun patogenesis IPF masih tidak diketahui secara jelas, penelitian


selama beberapa dekade menunjukkan beberapa mekanisme yang mungkin
menyebabkan IPF. Awalnya diduga bahwa inflamasi memainkan peran kunci
dalam perkembangan IPF, namun respon yang buruk terhadap pengobatan anti
inflamasi menyebabkan perlunya memikirkan faktor-faktor kausatif lainnya
(Horowitz & Thannickal, 2006). Fibrosis akibat kerusakan sel epitel alveoli kronis
dan apoptosis menyebabkan kondisi pro-fibrotik dengan temuan proliferasi
fibroblas sehingga berdampak pada sekresi kolagen dan protein lain yang
berlebihan (Scotton et al, 2009; King et al, 2011; Gunther et al, 2012).

Gambar 2.2 Ilustrasi IPF(Horowitz & Thannickal, 2006).

Pada Gambar 2.2, terdapat ilustrasi yang menggambarkan beberapa


mekanisme fibrosis paru pada pasien dengan IPF. Sementara mekanisme yang
pasti tidak diketahui, tampaknya bahwa kerusakan pada sel epitel alveoli tipe II
(AECIIs) dengan mekanisme perbaikan yang terganggu memainkan peran

5
penting. Pada gambar A secara kronis dirusak oleh stressor seperti perubahan usia
dan genetik, AECIIs mengalami hiperplasia dan menjadi terlalu reaktif pada paru
IPF yang menyebabkan pelepasan zat-zat pro-fibrotik seperti faktor X. Kerusakan
AECIIs ini merupakan akibat dari apoptosis. Pada gambar B faktor-faktor seperti
Xa mendorong diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas, suatu fenotip yang
lebih berbahaya yang menyebabkan sebagian besar matriks protein terdeposit di
membran ekstraseluler. Pada gambar C, Fibroblas dan miofibroblas terakumulasi
untuk membentuk “fibroblastic foci” yang terdiri dari kolagen padat dan protein
matriks di matriks ekstraseluler yang menyebabkan fibrosis dan jaringan parut.
Pada gambar D, Hipotesis TH1/TH2 menunjukkan keseimbangan sitokin TH2
yang memiliki respon yang tidak adaptif terhadap stimulus yang berbahaya. Teori
ini didukung dengan tingginya ekspresi reseptor sitokin TH2 pada fibroblas dari
paru yang mengalami IPF (Horowitz & Thannickal, 2006; Scotton et al, 2009;
King et al, 2011; Loomis-King et al, 2013).

Sel epitel alveoli tipe II (AECIIs) merupakan komponen sistem imun alamiah
dan terletak pada permukaan dinding alveoli. Salah satu dari perannya yaitu
memproduksi dan melepaskan surfaktan. Pada pasien dengan IPF, sel-sel ini
mengalami kerusakan kronis yang menyebabkan gangguan pada epitel dan
apoptosis yang berlebihan (Horowitz dan Thannickal, 2006; Gunther et al, 2012).
Gangguan pada epitel alveoli ini tidak mengalami perbaikan seperti seharusnya
dan AECIIs menjadi hiperplasia dan mensekresi konten profibrotiknya secara
profuse (Selman et al, 2001). Penyebab kerusakan kronis tidak diketahui namun
diduga akibat toksin lingkungan seperti rokok, infeksi virus dan abnormalitas
genetik seperti mutasi telomere dan protein permukaan (King et al, 2011).

Fibroblas berperan penting dalam kerusakan jaringan paru pada IPF.


Sementara mekanisme fibroblas yang berlebihan ditemukan pada IPF tidak jelas,
diperkirakan bahwa kerusakan AECII kronis dengan gangguan mekanisme
perbaikan menyebabkan meningkatnya jumlah fibroblas. Fibroblas tersebut dapat
berdiferensiasi menjadi miofibroblas, yang mana juga mensekresi kolagen secara
agresif dan membentuk fibrosis pada daerah sekitar. Fibroblas terakumulasi untuk

6
membentuk “fibroblast foci”, yang terdiri dari fibroblas, kolagen dan protein
matriks ekstraseluler. Jaringan paru yang menebal dan mengalami fibrosis
menyebabkan kerusakan arsitektur paru dan mengakibatkan penyakit paru
restriktif (Selman et al, 2001; King et al, 2011; Gunther et al, 2012).

2.3 ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

Meskipun IPF dari definisinya merupakan penyakit dengan etiologi yang tidak
diketahui, sejumlah faktor risiko yang potensial telah diidentifikasi.

2.3.1 Merokok

Merokok berhubungan erat dengan IPF, baik IPF familial dan sporadik,
khususnya pada individu dengan riwayat merokok lebih dari 20 tahun. Pada pasien
yang merokok, perkembangan penyakit terjadi lebih cepat (Raghu, 2011).

2.3.2 Pajanan Lingkungan

Peningkatan risiko IPF berkaitan dengan variasi pajanan lingkungan. Peningkatan


risiko yang signifikan telah diamati setelah pajanan terhadap serbuk logam (kuningan,
timah hitam, dan baja) dan serbuk kayu (pinus). Pertanian, memelihara burung,
penataan rambut, pemotongan dan pelapisan batu dan pajanan terhadap debu sayuran
dan binatang juga berhubungan dengan IPF. Mendukung etiologi lingkungan,
peningkatan jumlah partikel anorganik telah dideteksi di limfonodi pasien dengan
fibrosis paru pada studi autopsi (Kitamura et al, 2007). Observasi ini harus
diinterpretasikan secara hati-hati, karena studi epidemiologi dari faktor risiko
lingkungan memiliki variasi bias dan keterbatasan (Raghu, 2011).

2.3.3 Agen Mikroba

Beberapa penelitian telah menginvestigasi kemungkinan hubungan infeksi virus


kronis dengan IPF. Kebanyakan penelitian memfokuskan pada virus Epstein-Barr
(EBV) dan hepatitis C. Baik protein dan DNA EBV telah diidentifikasi pada jaringan
paru pasien dengan IPF, biasanya pada sel epitel alveoli. Tang dkk menguji adanya 8

7
virus herpes, termasuk EBV, pada spesimen paru dari 33 pasien dengan IPF, dan
menemukan bahwa satu atau lebih virus herpes dideteksi pada hampir semua paru
dengan IPF dibandingkan dengan sepertiga dari paru kontrol (Tang et al, 2003).
Virus yang positif termasuk EBV, sitomegalovirus, human herpesvirus (HHV)-7, dan
HHV-8. Namun, studi yang menunjukkan hubungan yang negatif juga telah
dilaporkan (Zamo et al, 2005).

2.3.4 Refluks Gastroesofagus

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa refluks gastroesofagus merupakan


faktor risiko terjadinya IPF. Pada studi case control Veterans Administration, GER
yang berhubungan dengan esofagitis erosif berkaitan dengan sejumlah penyakit
respirasi, termasuk fibrosis paru. GER secara klinis tampak tenang pada sebagian
besar pasien IPF, dan gejala tipikal rasa terbakar di dada dan regurgitasi tidak
membedakan antara seseorang yang menderita GER dan tidak menderita GER. GER
alkali (non asam) juga mungkin terjadi pada pasien IPF. Tidak diketahui bila
perubahan tekanan intra toraks, sebagai akibat dari compliance paru yang buruk,
menyebabkan GER (Gribbin et al, 2009).

2.3.5 Genetik

2.3.5.1 Fibrosis Paru Familial

Kriteria yang digunakan untuk mendefinisikan IPF pada kasus familial dan
sporadik tetap sama. IPF familial dan sporadik secara klinis dan histologis sulit
untuk dibedakan, walaupun bentuk familial dapat berkembang pada usia dini dan
tampak memiliki pola yang berbeda pada transkripsi gen (Yang, 2007). Hasil dari
pencarian genome secara luas menunjukan bahwa ELMOD2, gen yang tidak
diketahui fungsi biologis terletak pada kromosom 4q31, diperkirakan sebagai gen
yang bertanggung jawab terhadap IPF familial (Hodgson, 2006).

8
Transmisi genetik dari fibrosis pulmonal pada kasus familial adalah autosomal
dominan dengan alel yang bervariasi. Asosiasi yang lebih kuat pada idiopatik
interstisial pneumonia (IIP) familial ditemukan berkaitan dengan mutasi pada gen
surfaktan protein C, tetapi hubungan ini tidak didapatkan pada bentuk penyakit
yang sporadik. Mutasi yang jarang pada gen yang mengode protein surfaktan A2
(SFTPA2), terkait dengan fibrosis pulmonal familial dan kanker paru (Raghu,
2011).

Laporan terbaru dari beberapa investigator telah didokumentasikan bahwa


varian genetik didalam human telomerase reverse transcriptase (hTERT) atau
human telomerase RNA (hTR) yang merupakan komponen dari gen telomerase
terkait dengan fibrosis pulmonal familial dan muncul pada beberapa pasien
dengan IPF sporadis. Polimorfisme pada gen yang mengkode sitokin (IL-1α,
TNF- α, lymphotoxin α, IL-4, IL-6, IL-8, IL-10, dan IL-12), enzim α1 antitripsin
dan enzim pengubah angiotensin, molekul probiotik, gen yang bertanggung jawab
pada faktor koagulasi, gen surfaktan protein A dan B, gen imunomodulator
(NOD2/CARD15) dan matrix metalloproteinase (MMP)-1 dilaporkan mengalami
peningkatan frekuensi pada pasien dengan IPF sporadik. Keterkaitan HLA-1 dan
HLA-2 juga memainkan peran dalam menentukan luaran pasien. Diharapkan
kedepannya dengan mengetahui patogenesis pada peran genetik ini akan
memudahkan klasifikasi dan membantu terapi yang adekuat (Raghu, 2011).

2.3.5.2 Faktor Genetik pada IPF Sporadik

Polimorfisme gen yang mengkode sitokin (interleukin (IL)-1 α, TNF- α,


limfotoksin α, IL-4, IL-6, IL-8, IL-10, dan IL-12, enzim (α1-antitripsin dan
angiotensin-converting enzim, molekul profibrotik (mengubah growth factor-β1),
gen jalur koagulasi (plasmino-gen activator inhibitors-1 dan 2), gen untuk protein
surfaktan A dan B, gen imunomodulasi (reseptor komplemen 1, NOD2/CARD15),
dan matriks metalloproteinase (MMP)-1 telah dilaporkan frekuensinya meningkat
pada pasien dengan IPF sporadik dan berkaitan dengan perkembangan penyakit.

9
Namun, tidak ada dari temuan tersebut yang telah divalidasi pada penelitian
berikutnya (Checa et al, 2008).

2.4 GEJALA KLINIS

Diagnosis dari Idiopathic Pulmonary Fibrosis (IPF) didasarkan pada kriteria


diagnosis yang terdiri dari anamnesis mengenai eksklusi penyebab Interstisial Lung
Disease (ILD), adanya hasil CT scan dan biopsi pada jaringan parenkim paru. Sulit
untuk mengenali klinis dari IPF karena IPF sendiri sering tumpang tindih pada tanda
dan gejala dari penyakit paru interstisial maupun penyakit paru kronis lainnya
(Raghu, 2011).

Dalam mendiagnosis IPF, eksklusi dari etiologi alternatif melalui diksusi


multidisiplin diantara pulmonologis, radiologis, dan patologis yang berpengalaman
dalam mendiagnosis ILD yang penting untuk menegakkan diagnosis yang akurat.
Gejala yang muncul pada IPF meliputi perburukan pernapasan akut intermiten yang
sebabnya tidak jelas seperti sesak dan batuk kering yang memberat dengan aktivitas.
Adanya gejala ini menandakan telah terjadi keterlambatan dalam mendiagnosis
penyakit ini (Cottin, 2014). Apabila pasien memiliki komorbid lain seperti emfisema
atau hipertensi pulmonal dapat mempengaruhi luaran penyakit (Raghu, 2011). Pada
pemeriksaan fisik, dapat ditemukan clubbing finger pada 50% kasus, khas pada IPF
terdapat rhonki inspirasi bibasilar (rhonki velcro) yang konstan dan sering muncul
pada awal penyakit (Raghu, 2011; Bohadana, 2014). Sianosis dan tanda gagal jantung
kanan muncul jika penyakit sudah masuk dalam stadium lanjut dengan insufisiensi
respirasi (Cottin, 2014),

2.5 DIAGNOSIS

Diagnosis pada Idiopathic Pulmonary Fibrosis dapat melalui:

-Anamnesis

Pada anamnesis pasien dengan fibrosis paru idiopatik memiliki keluhan batuk
(biasanya nonproduktif) dan sesak napas (dispnea). Seiring waktu, batuk dapat

10
menjadi paroksisimal, sesak napas makin memburuk dan adanya keterbatasan
aktivitas. Kelemahan atau fatique, kehilangan selera makan, penurunan berat
badan, batuk kering, perasaan tak enak di dada juga sering dijumpai. Umumnya,
pasien fibrosis paru idiopatik berumur 60 tahun ke atas. Prevalensi laki laki lebih
dominan daripada perempuan. Pasien yang ditemukan dengan kecurigaan fibrosis
paru harus dievaluasi lengkap untuk kemungkinan penyakit lain, karena infeksi
(terutama pada imunodefisiensi dan transplantasi) bisa mempunyai gambaran
yang mirip penyakit paru intertisial lainnya. Demikian pula metastasis keganasan
yang difus serta gagal jantung kongestif harus dipikirkan bila latar belakang
kliniknya mendukung. Riwayat faktor lingkungan (misalnya paparan biomass,
asbes dan lain lain), riwayat pekerjaan, riwayat merokok, penggunaan obat dan
riwayat keluarga perlu ditanyakan. Hal ini disebabkan riwayat tersebut dapat
menjadi pencetus fibrosis paru.

-Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik mengungkapkan adanya ronkhi (rales) pada akhir-inspirasi


(sering dengan kualitas "Velcro") pada 85% pasien pada fibrosis paru idiopatik.
Clubbing fingers tercatat pada 25% pasien. Keterlibatan di luar paru umumnya
tidak dijumpai dan penyakit tertentu, seperti jantung iskemia penyakit, trombosis
vena dalam, diabetes mellitus, dan gastroesophageal reflux disease lebih sering
dijumpai pada pasien dengan fibrosis paru idiopatik. Timbulnya onset penyakit
biasanya lamban dan progresivitas penyakit ini dapat berbulan-bulan hingga
bertahun-tahun.

-Pemeriksaan Laboratorium

Hasil uji laboratorium dalam fibrosis paru idiopatik tidak ada spesifik.
Meskipun demikian, pemeriksaan darah perifer lengkap, hitung jenis leukosit, laju
endap darah, fungsi ginjal dan fungsi hati, elektrolit (Na, K, Cl, Ca), dan urinalisis
tetap dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding. Beberapa penelitian
menemukan tingkat sedimentasi eritrosit meningkat pada 60% hingga 94% pasien
fibrosis paru idiopatik; antibodi antinuklear atau faktor reumatoid dapat juga

11
ditemukan pada 10% hingga 26%. Pemeriksan fungsi paru (spirometri) sebaiknya
dilakukan dan biasanya pada pasien fibrosis paru tampak gambaran restriktsi.
Adapun penelitian mengungkapkan adanya peningkatan glikoprotein KL-6,
peningkatan protein surfaktan paru A dan D dalam serum dan analisis cairan
Bronco Alveolar Lavage (BAL) ditemukan memiliki nilai prognostik. Namun, tes
ini hanya tersedia di beberapa laboratorium penelitian, dan studi tambahan
diperlukan untuk menilai spesifik dan peran klinisnya.

-Pemeriksaan Radiologis

Foto toraks dalam fibrosis paru idiopatik biasanya menunjukkan infiltrat


intertitial yang bilateral dengan predileksi dominan pada daerah basilar dan perifer
(subpleural) paru-paru. Dalam perkembangan penyakitnya, semua lapang paru
paru akan mengalami jaringan parut yang menyebabkan volume paru dan
pertukaran gas di alveolus berkurang. Gambaran seperti juga dapat dijumpai pada
asbestosis dan penyakit CTD yang berkaitan dengan fibrosis paru. Hipertensi dan
kor pulmonal dapat dilihat pada kasus lebih lanjut. Foto toraks pada fibrosis paru
memiliki nilai prognostik terbatas, tetapi foto toraks serial dapat dipakai untuk
melihat progresivitas penyakit.

Pemeriksaan dengan HRCT (High Resolution Computed Tomography) jauh


lebih akurat dari pemeriksaan foto toraks. HRCT memiliki nilai diagnostic dan
prognostik, sehingga harus menjadi bagian dari evaluasi awal pada pnderita yang
dicurigai fibrosis paru. Gambaran fibrosis paru idiopatik pada HRCT bersifat
stereotip dan prediktif, tampak bercak halus heterogen, radiolusen kistik kecil
seperti sarang lebah, opak retikular atau linear, permukaan pleura yang kasar,
penebalan dinding bronkus dan pembuluh darah paru, dan bronkiektasis.

12
2.6 TATALAKSANA

Saat ini, tidak ada pengobatan yang telah terbukti efektif dalam menghentikan
perkembangan fibrosis paru idiopatik. Chest Foundation mengemukan jenis obat
yang dapat digunakan untuk fibrosis paru idiopatik :
1. Kortikosteroid (Prednison) : obat untuk menekan sistem kekebalan tubuh
dan mengurangi peradangan, yang mungkin berdampak pada jaringan
paru-paru yang belum sepenuhnya fibrosis.
2. Siklofosfamid : obat kemoterapi yang juga dapat menekan peradangan.
3. Mycophenolate mofetil dan Azathioprine : anti-inflamasi yang telah
digunakan dalam mengobati penyakit autoimun, termasuk rheumatoid
arthritis.
4. Nintedanib : obat antifibrosis intraselular yang menghambat faktor
pembentukkan fibrosis dengan menargetkan reseptor tyrosine kinase. Obat
ini telah disetujui untuk mengobati fibrosis paru idiopatik di Amerika
Serikat dan telah ditunjukkan dalam uji klinis untuk memperlambat
penurunan fungsi paru-paru, yang diukur dengan tes fungsi paru.
5. Pirfenidone : obat anti-fibrosis dan anti inflamasi dengan meregulasi
komponen penting profibrotik dan sitokin proinflamsasi. Obat telah
ditunjukkan dalam uji klinis untuk memperlambat perkembangan fibrosis
paru ringan dan sedang. Obat ini disetujui dan dipakai untuk pengobatan
fibrosis paru idiopatik di Amerika Serikat, Kanada, Uni Eropa, dan Asia.
6. Inhibitor Pompa Proton atau Histamin-2 bloker reseptor antagonist : obat
antiacid pada lambung. Gastroesophageal reflux telah terbukti sebagai
faktor pencetus dan memperburuk fibrosis paru.
7. N-acetylcyseine atau Bromhexine hydrochloride: obat inhalasi
antioksidan. Penelitian di Jepang mendapati penggunaan jenis ini selama
12 bulan memberikan manfaat pada pengurangan fibrosis paru.

13
British Thoracic Society Associtioan dan American Thoraccic Society
menganjurkan menggabungkan prednisolon (0,5 mg / kg / hari, dengan lancip)
dengan azathioprine (2-3 mg/kg/hari) atau siklofosfamid ( 2 mg/kg/hari ) sebagai
terapi awal selama 6 bulan. Untuk pasien tidak dapat menggunakan
kortikosteroid, azathioprine atau siklofosfamid saja digunakan.

Selain obat-obatan, perawatan gejala fibrosis paru memerlukan terapi oksigen


untuk membantu meningkatkan tingkat oksigen dalam aliran darah, yang
dikurangi dengan retriksi dan gangguan difusi oleh fibrosis paru. Penderita
fibrosis paru idiopatik juga memerlukan rehabilitasi paru. Rehabilitasi Paru adalah
program latihan formal untuk meningkatkan kekuatan otot yang terlibat dalam
pernapasan. Selain berolahraga, program rehabilitasi juga dapat mencakup
manajemen stres, konseling kecemasan dan komponen pendidikan lainnya.
Penyedia layanan kesehatan harus meresepkan rehabilitasi paru dan menentukan
tingkat aktivitas tertentu yang sesuai untuk pasien.

Sampai saat ini, transplantasi paru-paru merupakan terapi defenitif pada


penyakit fibrosis paru idiopatik. Transplantasi paru meningkatkan kelangsungan
hidup dan kualitas hidup pada pasien dengan fibrosis paru. American Thoracic
Society merekomendasikan tranplantasi paru-paru pada fibrosis paru sedang dan
parah.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A.R., Arron, J.R., Chandriani, S., Jia, G., Lewin-Koh, N.J. and DePianto,
D., Genentech Inc, 2016. Methods of prognosing, diagnosing and treating
idiopathic pulmonary fibrosis. U.S. Patent Application 14/493,649.

Bohadana, A., Izbicki, G. and Kraman, S.S., 2014. Fundamentals of lung


auscultation. New England Journal of Medicine, 370(8), pp.744-751.

Checa, M., Ruiz, V., Montaño, M., Velázquez-Cruz, R., Selman, M. and Pardo,
A., 2008. MMP-1 polymorphisms and the risk of idiopathic pulmonary
fibrosis. Human genetics, 124(5), pp.465-472.

Cottin, V., Crestani, B., Valeyre, D., Wallaert, B., Cadranel, J., Dalphin, J.C.,
Delaval, P., Israel-Biet, D., Kessler, R., Reynaud-Gaubert, M. and
Aguilaniu, B., 2014. Diagnosis and management of idiopathic pulmonary
fibrosis: French practical guidelines. European Respiratory Review, 23(132),
pp.193-214.

Das S dan Chakraborty K. Review paper of idiopathic pulmonary fibrosis.


International Journal of Advanced Research.2015:vol 3:5:1565-1570

Ferrara, G., Arnheim-Dahlström, L., Bartley, K., Janson, C., Kirchgässler, K.U.,
Levine, A. and Sköld, C.M., 2019. Epidemiology of pulmonary fibrosis:
a cohort study using healthcare data in Sweden. Pulmonary Therapy, 5(1),
pp.55-68.

Franquet, T. and Giménez, A., 2012. Idiopathic interstitial pneumonias. Radiología


(English Edition), 54(6), pp.479-489.

Günther, A., Korfei, M., Mahavadi, P., von der Beck, D., Ruppert, C. and
Markart, P., 2012. Unravelling the progressive pathophysiology of
idiopathic pulmonary fibrosis. European Respiratory Review, 21(124),
pp.152-160.

15
Gribbin, J., Hubbard, R. and Smith, C., 2009. Role of diabetes mellitus and
gastro-oesophageal reflux in the aetiology of idiopathic pulmonary
fibrosis. Respiratory medicine, 103(6), pp.927-931.

Kitamura, H., Ichinose, S., Hosoya, T., Ando, T., Ikushima, S., Oritsu, M. and
Takemura, T., 2007. Inhalation of inorganic particles as a risk factor for
idiopathic pulmonary fibrosis—elemental microanalysis of pulmonary
lymph nodes obtained at autopsy cases. Pathology-Research and
Practice, 203(8), pp.575-585.

Hodgson, U., Pulkkinen, V., Dixon, M., Peyrard-Janvid, M., Rehn, M., Lahermo,
P., Ollikainen, V., Salmenkivi, K., Kinnula, V., Kere, J. and Tukiainen,
P., 2006. ELMOD2 is a candidate gene for familial idiopathic pulmonary
fibrosis. The American Journal of Human Genetics, 79(1), pp.149-154.

Horowitz, J.C. and Thannickal, V.J., 2006. Idiopathic Pulmonary


Fibrosis. Treatments in respiratory medicine, 5(5), pp.325-342.

King Jr, T.E., Pardo, A. and Selman, M., 2011. Idiopathic pulmonary fibrosis. The
Lancet, 378(9807), pp.1949-1961.

Loomis-King, H., Flaherty, K.R. and Moore, B.B., 2013. Pathogenesis, current
treatments and future directions for idiopathic pulmonary
fibrosis. Current opinion in pharmacology, 13(3), pp.377-385.

Nalysnyk, L., Cid-Ruzafa, J., Rotella, P. and Esser, D., 2012. Incidence and
prevalence of idiopathic pulmonary fibrosis: review of the
literature. European Respiratory Review, 21(126), pp.355-361.

Raghu, G., Collard, H.R., Egan, J.J., Martinez, F.J., Behr, J., Brown, K.K., Colby,
T.V., Cordier, J.F., Flaherty, K.R., Lasky, J.A. and Lynch, D.A., 2011.
An official ATS/ERS/JRS/ALAT statement: idiopathic pulmonary
fibrosis: evidence-based guidelines for diagnosis and

16
management. American journal of respiratory and critical care
medicine, 183(6), pp.788-824.

Saha, K., 2014. Interstitial lung disease: diagnostic approach. The Journal of


Association of Chest Physicians, 2(1), p.3.

Sauleda, J., Núñez, B., Sala, E. and Soriano, J.B., 2018. Idiopathic pulmonary
fibrosis: epidemiology, natural history, phenotypes. Medical Sciences, 6(4),
p.110.

Selman, M., King, T.E. and Pardo, A., 2001. Idiopathic pulmonary fibrosis:
prevailing and evolving hypotheses about its pathogenesis and
implications for therapy. Annals of internal medicine, 134(2), pp.136-151.

Scotton, C.J., Krupiczojc, M.A., Königshoff, M., Mercer, P.F., Lee, Y.G.,
Kaminski, N., Morser, J., Post, J.M., Maher, T.M., Nicholson, A.G. and
Moffatt, J.D., 2009. Increased local expression of coagulation factor X
contributes to the fibrotic response in human and murine lung injury. The
Journal of clinical investigation, 119(9), pp.2550-2563.

Tang, Y.W., Johnson, J.E., Browning, P.J., Cruz-Gervis, R.A., Davis, A., Graham,
B.S., Brigham, K.L., Oates Jr, J.A., Loyd, J.E. and Stecenko, A.A., 2003.
Herpesvirus DNA is consistently detected in lungs of patients with
idiopathic pulmonary fibrosis. Journal of clinical microbiology, 41(6),
pp.2633-2640.

Yang, I.V., Burch, L.H., Steele, M.P., Savov, J.D., Hollingsworth, J.W.,
McElvania-Tekippe, E., Berman, K.G., Speer, M.C., Sporn, T.A., Brown,
K.K. and Schwarz, M.I., 2007. Gene expression profiling of familial and
sporadic interstitial pneumonia. American journal of respiratory and critical
care medicine, 175(1), pp.45-54.

17

Anda mungkin juga menyukai