Anda di halaman 1dari 14

Terapi Obat Vasospasme Serebral Setelah Perdarahan

Subaraknoid Akibat Aneurisma


Yong-fei Liu, Han-Cheng Qiu, Juan Su dan Wei-Jian Jiang

Abstrak
Vasospasme serebral (Cerebral vasospasm / CVS) adalah komplikasi umum dan berat dari
perdarahan subarachnoid aneurismal (aneurysmal subarachnoid hemorrhage / aSAH). Meskipun
terdapat peningkatan dalam pengobatan aSAH, aSAH yang berkomplikasi CVS tetap menjadi
penyebab utama kematian. CVS dimulai paling sering pada hari ketiga setelah iktal dan mencapai
tingkat maksimum pada hari ke 5 sampai 7 posictal. Beberapa modalitas terapeutik telah
digunakan untuk mencegah atau mengembalikan CVS. Tujuan dari tinjauan ini adalah untuk
merangkum semua modalitas terapi obat yang tersedia dalam mengatasi vasospasme.
Kata kunci: vasospasme serebral, perdarahan subaraknoid, aneurisma, terapi obat

Latar Belakang

Vasospasme serebral posthemoragik (Posthemorrhagic cerebral vasospasm /


PHCV) adalah penyebab utama kematian dan kecacatan permanen pada pasien dengan
perdarahan subaraknoid aneurismal (aSAH), yang dapat menyebabkan hampir 50%
kematian di antara mereka yang bertahan hidup pada masa iktal awal [1]. Meskipun
terdapat peningkatan dalam pengobatan aSAH dengan penurunan angka kematian hampir
50% selama 20 tahun terakhir [2], vasospasme serebral angiografi (angiographic
Cerebral vasospasm / CVS) sangat umum terjadi, yang mengenai hingga 70% pasien
aSAH, dan memiliki periode waktu yang dapat diprediksi: onset tertunda antara hari 3
dan 5, penyempitan maksimal antara hari ke 5 dan 14, dan kemudian resolusi bertahap
selama minggu ke 2-4. Hampir setengah dari pasien ini, yakni sekitar 30% dari semua
penderita aSAH, akan mengalami defisit neurologis iskemik tertunda (delayed ischemic
neurological deficit / DIND), juga disebut CVS simptomatik [1]. Insiden CVS simtomatik
bervariasi antara 17% dan 48% [3-5]. Meskipun perangkat endovaskular dan teknik
perawatan terus berkembang, prosedur invasif minimal tersebut masih membawa risiko
spesifik terkait pengobatan. Saat ini terapi obat masih menjadi pilihan terapi utama, dan
ulasan ini terutama memperkenalkan perkembangan terapi obat baru-baru ini.
Material dan metode

Pencarian literatur yang luas melalui database PubMed, Embase, dan SciFinder
dilakukan tanpa batasan bahasa menggunakan istilah berikut: (vasospasme serebral)
DAN (perdarahan subarachnoid aneurisma) DAN (obat atau pengobatan atau farmacon)
DAN (ulasan ATAU percobaan hewan ATAU percobaan klinis). Saat ini, obat-obatan
yang paling umum untuk mencegah dan mengobati vasospasme otak diklasifikasikan ke
dalam obat-obatan berikut ini: penghambat saluran kalsium (calcium channel blocker),
fasudil, magnesium, statin, hormon, phosphoiesterase inhibitor, antagonis endotelin-1,
oksida nitrat, heparin, dan fibrinolisis.

Pemblokir saluran kalsium (Calcium channel blocker / CCB)

Nimodipine

Nimodipine adalah agen dihydropyridine yang menghambat saluran kalsium ber


tegangan (voltage-gated calcium channels) dan memiliki efek dilator pada otot polos
arteri. Ini adalah satu-satunya agen yang disetujui FDA dalam pengobatan vasospasme
dengan waktu paruh sekitar 9 jam [6]. Efeknya yang menguntungkan pada CVS
kemungkinan besar berasal dari sifat neuroprotektif nya dibandingkan dengan sifat
relaksasi sel otot polos arteri [7]. Nimodipine dapat mencapai hasil yang baik dalam
respon angiografi dan hasil klinis serta memiliki tingkat komplikasi yang rendah. Selain
itu, nimodipine dapat mengurangi risiko iskemia serebral sekunder setelah perdarahan
aneurismal. Keamanan dan efektivitas nimodipine baru-baru ini ditunjukkan dalam
metaanalisis yang dilakukan pada tahun 2011, di mana pemberian nimodipine
berkontribusi terhadap pencegahan CVS yang signifikan setelah ruptur aneurisma (p
<0,00001) [8].

Pemberian oral 60 mg nimodipine setiap 4 jam selama 21 hari berturut-turut


direkomendasikan oleh pedoman saat ini dari American Stroke Association [9, 10].
Beberapa ahli telah mengusulkan skema 30 mg nimodipine oral setiap 2 jam yang lebih
kondusif untuk meringankan vasospasme, terutama untuk pasien dengan tekanan darah
rendah [11]. Tetapi efisiensi dan keamanannya perlu dievaluasi. Infus nimodipine intra-
arterial (IA) adalah pengobatan yang efektif dan aman untuk CVS simtomatik [12, 13].
Pada tahun 2009, satu percobaan klinis acak prospektif (prospective randomized clinical
trial ) menunjukkan tidak ada perbedaan dalam pencegahan iskemia dan peningkatan
prognosis antara pemberian intravena (IV) dan pemberian nimodipine oral [14]. Pada
2011, Onal et al. [15] melakukan percobaan pada kelinci untuk menyelidiki efek
komparatif nimodipine yang diberikan dalam beberapa jalur, dan penelitian mereka
menunjukkan bahwa pemberian selektif IA nimodipine dan injeksi intratekal (IT)
nimodipine lebih baik daripada pemberian IV dan pemberian oral untuk vasospasme
kronis setelah SAH .

Baru-baru ini sekelompok percobaan terkontrol acak (randomized controlled


experiments) menunjukkan bahwa pemberian topikal nimodipine tidak secara signifikan
meningkatkan aliran darah otak (CBF) setelah SAH [16]. Temuan ini tidak konsisten
dengan data kami sebelumnya yang menunjukkan bahwa pemberian topikal nimodipine
secara signifikan mengurangi CVS setelah aSAH yang terdeteksi oleh transcranial
Doppler (TCD).

Selama praktik klinis yang sebenarnya, kami telah menggunakan nimodipine


sebagai pengobatan aSAH, yang telah umum untuk penanganan spasme pembuluh darah.
Masalah yang belum terselesaikan adalah untuk menentukan bagaimana nimodipine
meningkatkan keluaran aSAH dan mekanismenya dalam membatasi iskemia serebral
tertunda (delayed cerebral ischemia / DCI). Di masa depan diperlukan penelitian yang
lebih mendasar untuk memperjelas mekanisme nimodipine.

Nicardipine

Nicardipine adalah agen dihydropyridine yang secara selektif menghambat aliran


ion kalsium ke otot polos, yang merupakan obat antihipertensi yang poten. Karena
selektivitas regional terhadap otot polos serebrovaskular, nicardipine juga telah diselidiki
dalam pengobatan vasospasme setelah aSAH. Namun, penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa nicardipine dikaitkan dengan keluaran yang buruk dan kematian
pada pasien dengan CVS.

Nicardipine IA paling umum digunakan dalam pengobatan CVS setelah model


subarachnoid hemorrhage (SAH), juga membawa berbagai komplikasi, termasuk edema
paru, hipotensi yang berkepanjangan, dan gagal ginjal. Menariknya, mengingat
komplikasi yang disebabkan oleh nicardipine dan hasil dari banyak penelitian yang
menyatakan bahwa nicardipine tidak memperbaiki keluaran CVS yang buruk,
penggunaannya dalam praktik klinis masih kontroversial. Haruslah hati-hati dalam
menggunakan nicardipine IA sebagai pengobatan vasospasme, dan dokter harus siap
untuk menangani potensi efek samping yang berat.

Pada 2005, Hoh et al. [17] mengungkapkan peningkatan yang signifikan dalam
studi velositas TCD (p <0,01) dan perbaikan keluaran klinis pada 42% pasien empat hari
setelah pengobatan dengan nicardipine IA, dan tidak ada komplikasi terkait obat yang
dilaporkan. Sebuah meta-analisis terbaru oleh Huang et al. menyarankan bahwa risiko
keluaran yang buruk (kematian, keadaan vegetatif, atau ketergantungan) dapat berkurang
dengan nicardipine pada pasien setelah SAH aneurysmal [18].

Nicardipine adalah CCB dihydropyridin generasi kedua yang dikembangkan


sekitar 30 tahun yang lalu. Oleh karena itu, nicardipine berperan dalam perlindungan saraf
sebagai faktor pencegahan CVS karena sifat vasodilator dan profil serebrovaskular yang
khas [18]. Namun, mengingat perbedaan individu pasien dan komplikasi hipotensi,
aplikasi klinis nicardipine masih terbatas. Oleh karena itu, uji coba Fase III besar
tambahan diperlukan sebelum pendekatan terapeutik ini dapat digunakan secara rutin.
Modifikasi kesimpulan yang disajikan dapat dibenarkan setelah publikasi uji klinis
prospektif multisenter.

Verapamil

Seperti nimodipine, CCB verapamil juga memblok aliran kalsium yang masuk ke
dalam sel-sel otot polos arteri. Namun, verapamil telah digunakan untuk mengobati
vasospasme koroner dalam waktu yang lama berdasarkan literatur. Penggunaannya dalam
pengobatan spasme koroner refraktori aman dan efektif, yang juga menguntungkan dalam
ketersediaan dan harga nya yang murah [19, 20]. Alana et al. [21] secara prospektif
mempelajari subjek dengan vasospasme yang dijadwalkan untuk angiografi serebral
dengan kemungkinan injeksi verapami IA, dan hasilnya membantah laporan sebelumnya
yang menyatakan bahwa IA verapamil tidak terkait dengan efek hemodinamik sistemik.
Mikeladze et al. [22] melaporkan kasus wanita yang diberikan administrasi verapamil
selektif IA untuk pengobatan CVS setelah perdarahan parenkim subarachnoid berat
karena aneurisma bifurkasi arteri karotis internal, dan hasilnya menunjukkan keluaran
klinis yang baik.
Meskipun verapamil adalah CCB, dia tidak selektif untuk pembuluh darah otak.
Teradapat kontroversi mengenai efek hemodinamik sistemik dari verapamil IA. Beberapa
penelitian telah menunjukkan tidak ada efek IA verapamil pada tekanan darah sistemik
atau denyut jantung [23]. Sebaliknya, Stuart et al. telah menunjukkan penurunan
signifikan dalam tekanan darah arteri rata-rata beberapa jam setelah injeksi IA verapamil
dalam studi retrospektif mereka [20]. Meskipun pemberian IA verapamil secara teoritis
dapat meringankan CVS, aplikasi klinisnya terbatas. Selain itu, durasi efek farmakologis
IA verapamil pada sirkulasi serebral masih belum diketahui. Diperlukan lebih banyak
penelitian untuk mengevaluasi manfaatnya dalam mencegah defisit neurologis iskemik
tertunda (DINDs) setelah SAH.

Fasudil

Fasudil hidroklorida adalah inhibitor Rho kinase, yang memiliki efek


penghambatan pada fosforilasi protein. Telah dilaporkan bahwa berbagai protein kinase,
seperti protein kinase C, light chain kinase dan Rho kinase, dapat memainkan peran
penting dalam jalur transduksi sinyal CVS [24]. Dengan demikian fasudil berkontribusi
pada efek anti CVS yang unik dan efektif tanpa menurunkan tekanan darah secara
signifikan. Penggunaan obat antispasme profilaksis sebelum operasi secara signifikan
mengurangi komplikasi intraoperatif dan pasca operasi [25].

Juan Liu et al. [26] menyelidiki peran fasudil dalam mencegah CVS pada stenting
arteri karotid ekstrakranial. Mereka secara retrospektif menganalisis 178 pasien dengan
angioplasti dan stenting karotid unilateral (CAS) yang diberi hidroklorida fasudil IV
selama periode perioperatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat CVS
lokal pada 80,9% pasien, vasospasme asimptomatik diamati pada 17,4% pasien dan
vasospasme simptomatis pada 1,7% pasien melalui pencitraan DSA.

Shin-ichi Satoh et al. [27] menggunakan model anjing dan tikus untuk
memverifikasi validasi efek fasudil dalam pengobatan vasospasme dan membuktikan
efektivitasnya. Dikatakan bahwa hydroxyfasudil berkontribusi pada potensi fasudil untuk
mencegah CVS dan hyperviscositas, dan potensi penggunaan hydroxyfasudil sebagai
agen terapi untuk pasien dengan SAH juga telah disarankan. Namun, Naraoka M et al.
[28] yang menggunakan model kelinci pendarahan ganda untuk menyelidiki apakah
pengobatan kombinasi, yang terdiri dari pitavastatin sebagai inhibitor RhoA dan fasudil
sebagai inhibitor Rho-kinase, mencegah CVS. Dan hasilnya menunjukkan luas
penampang arteri basilar meningkat secara signifikan hanya dengan pengobatan
kombinasi, dan penggunaan fasudil atau pitavastatin secara terpisah tidak memiliki efek
yang signifikan.

Liu Guang Jian et al. [29] melakukan penilaian sistematis dan meta-analisis pada
fasudil, yang menunjukkan bahwa terjadinya CVS dan infark serebral sangat berkurang
oleh fasudil pada pasien SAH, dan keluaran klinis pasien (sebagaimana dinilai oleh
Glasgow Outcome Scale) meningkat secara signifikan. Karena terbatasnya jumlah sampel
dan uji coba, kesimpulan ini masih memerlukan verifikasi lebih lanjut dengan uji klinis
acak terkontrol besar.

Magnesium

Magnesium sulfat pertama kali digunakan pada wanita hamil pra-eklampsia untuk
mengurangi kontraksi otot polos uterus. Ini adalah antagonis kalsium nonkompetitif
dengan beberapa efek penting vaskular dan berpotensi neuroprotektif [30]. Magnesium
memiliki efek vasodilatasi dengan menghalangi saluran kalsium yang bergantung pada
tegangan (voltage-dependent calcium channel ) dan mengurangi pelepasan glutamat serta
masuknya kalsium ke dalam sel [31]. Selain itu, magnesium juga melemahkan efek
berbagai vasokonstriktor kuat, seperti endotelin 1, dan menghambat pembentukan spesies
oksigen reaktif [32].

Efek potensial magnesium pada vasodilatasi dan konsekuensi perlindungan saraf


ini telah mendorong beberapa peneliti untuk mempelajari peran magnesium dalam
mencegah CVS dan DCI setelah SAH. Pemeliharaan tingkat magnesium normal adalah
wajar, tetapi penggunaan infus magnesium kontinu tampaknya tidak didukung oleh bukti
[33]. Sebuah uji coba yang dipublikasikan menunjukkan tren peningkatan persentase
pasien yang mencapai keluaran neurologis yang menguntungkan pada kelompok
magnesium sulfat [34]. Namun, pada 2013, satu meta-analisis menunjukkan bahwa
magnesium tidak meningkatkan kemungkinan keluaran neurologis yang baik (rasio risiko
[RR], 1,02; interval kepercayaan 95% [CI], 0,97-1,07; P = 0,49; 12 percobaan, n = 2345)
atau mengurangi risiko infark serebral [35]. Baru-baru ini uji coba terkontrol secara acak
lain menunjukkan bahwa pasien dengan konsentrasi magnesium serum yang lebih tinggi
mengalami penurunan kejadian vasospasme yang ditunjukkan oleh angiografi, tetapi
secara statistik tidak signifikan [36].

Efek magnesium sulfat dalam pengobatan AASH tidak pasti. Studi awal
menunjukkan bahwa magnesium sulfat berkontribusi terhadap keluaran AASH yang
lebih baik, tetapi penelitian terbaru menunjukkan bahwa pengobatan magnesium sulfat
tidak memiliki efek yang signifikan. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut yang berfokus
pada efek klinis, dosis dan efek samping, dll, diperlukan di masa depan.

Statin

Statin ditemukan di Jepang oleh Kuroda dan Akira pada tahun 1971 [37]. Tujuan
awalnya adalah untuk mengisolasi metabolit mikroba yang mampu menghambat 3-
hydroxy-3-methylglutaryl coenzyme A (HMG-CoA) reduktase, enzim utama yang
bertanggung jawab untuk sintesis kolesterol. Kemudian, beberapa penulis menemukan
statin tidak hanya memiliki efek penurun kolesterol tetapi juga beberapa efek pleiotropik
(misalnya, penurunan regulasi peradangan, peningkatan regulasi sintesis endotel dan
nitrit oksida) [38]. Statin adalah inhibitor HMG-CoA reduktase, yang tampaknya
memiliki peran penting dalam pencegahan vasospasme. Mekanisme aksi statin yang
diusulkan melibatkan induksi jalur NO dan pelebaran pembuluh darah otak, sehingga
menyebabkan peningkatan aliran darah otak [39].

Pada tahun 2005, dua penelitian terkontrol plasebo acak kecil (small randomized
placebo-controlled studies) dengan total 119 pasien yang menerima pravastatin atau
simvastatin menunjukkan pengurangan penyempitan arteri serebral, kejadian iskemik
serebral yang lebih tertunda dan peningkatan keluaran fungsional pasien. DIND
berkurang secara signifikan pada pasien yang diobati dengan simvastatin. Meskipun
banyak penelitian telah menunjukkan bahwa pengobatan statin dini efektif untuk CVS,
penggunaannya secara luas dalam praktik klinis masih kontroversial. Pada 2010, sebuah
studi percontohan acak, tersamar ganda, terkontrol plasebo dari simvastatin dan tinjauan
sistematis mengungkapkan tidak ada efek menguntungkan yang signifikan dari statin
pada pasien dengan aSAH [40]. Pada 2013 percobaan lain menunjukkan bahwa
simvastatin memiliki manfaat dalam pengurangan vasospasme dan mortalitas klinis serta
peningkatan keluaran fungsional, tetapi tidak signifikan secara statistik [41]. Tinjauan
sistematis dan meta-analisis untuk pasien dengan SAH tidak menunjukkan manfaat
penggunaan statin untuk mengurangi kejadian vasospasme, yang sangat berbeda dari
hasil meta-analisis sebelumnya [42]. Namun, apakah terapi statin setelah vasospasme
perdarahan subaraknoid efektif atau tidak masih harus dikonfirmasi.

Hormon

Erythropoietin (EPO)

EPO adalah sialoglycoprotein asam 165-amino. Ada beberapa studi tentang


pengobatan EPO terhadap aSAH, dan sebagian besar bertujuan untuk pengobatan anemia
setelah SAH. Penelitian pada hewan awal dan percobaan in-vitro menunjukkan bahwa
EPO memiliki peran neuroprotektif dalam iskemia serebral [43].

Semakin banyak bukti yang telah dikumpulkan mengenai penggunaan EPO dalam
manajemen CVS. Namun, mekanisme aksi EPO untuk mengurangi terjadinya
vasospasme masih kurang dipahami. Beberapa mekanisme yang berbeda seperti
pembatasan peradangan, penghambatan apoptosis, batasan kerusakan oksidatif, dan
peningkatan regulasi neurogenesis telah dipostulatkan untuk menjelaskan aksi
pelindungan saraf EPO [44, 45].

Pada tahun 2010, satu ulasan mengungkapkan bahwa penggunaan EPO mungkin
tidak selalu mengurangi kejadian vasospasme setelah SAH, tetapi dapat mengurangi
keparahan dan keluaran akhirnya [46]. Pada 2013, sebuah studi hewan terkontrol secara
acak menunjukkan bahwa aplikasi EPO tepat waktu pada SAH cukup untuk mencegah
CVS proksimal tertunda, tetapi dosisnya tidak cukup untuk meningkatkan sirkulasi mikro
atau menunjukkan efek langsung terhadap neuroprotektif [47].

Pengobatan EPO pada CVS setelah SAH masih tetap pada tingkat percobaan
hewan, dan sejumlah besar studi klinis prospektif masih kurang. Meskipun jumlah pasien
yang diselidiki lebih kecil, pendekatan pengobatan ini mungkin menjadi pilihan yang
menjanjikan dalam fase akut aSAH.

Estrogen

Estrogen, khususnya 17β-estradiol (E2), memiliki sifat vasodilatasi, antiinflamasi,


dan neuroprotektif yang kuat. Meskipun penggunaannya saat ini masih terbatas pada
model hewan SAH eksperimental in-vivo, E2 memiliki implikasi terapeutik potensial
untuk memperbaiki DIND yang mengikuti SAH aneurisma [48]. Berasal dari kolesterol,
E2 adalah vasodilator yang kuat dengan potensi untuk mencegah atau memperbaiki
vasokonstriksi yang terjadi pada CVS. Beberapa percobaan telah menunjukkan bahwa
estrogen meningkatkan vasodilatasi dalam tiga mekanisme: (1) melemahkan pengaturan
reseptor endotelin-1 setelah SAH sebagaimana dikutip di atas [49]; (2) meningkatkan
pengaturan saluran ion kalsium tipe-L sel otot polos; (3) menurunkan ekspresi SAH yang
diinduksi nitric oxide synthase (iNOS), dan ekspresi normal nitrat oksida sintase (eNOS)
endotelial [50]

Dikatakan bahwa E2 mungkin memiliki sifat neuroprotektif sebagai berikut (1)


E2 mengurangi ekspresi sitokin proinflamasi kritis, tumor necrosis factor-α (TNFα),
dengan mengurangi aktivitas c JunN-terminal kinase (JNK) [51]; (2) E2 meningkatkan
ekspresi antioksidan thioredoxin (Trx) dengan cara yang bergantung pada cGMP [52].
Trx mengurangi kerusakan oksidasi dan menghambat apoptosis; (3) Neuroglobin (Ngb)
adalah protein yang mengatur homeostasis oksigen neuron dengan mengikat oksigen
dengan afinitas yang lebih tinggi daripada hemoglobin [53]. Baru-baru ini, kami
menemukan bahwa, pada tingkat neuron, Ngb sangat penting untuk efek anti-apoptosis
yang diinduksi hormon terhadap toksisitas H2O2, yang dapat melindungi jaringan otak
dari cedera inflamasi oksidatif [54], sementara E2 meningkatkan ekspresi Ngb. (4) E2
telah diketahui meningkatkan efek antiapoptosis melalui peningkatan regulasi reseptor
adenosin A2a (A2aAR) dan ekspresi kinase yang diatur sinyal ekstraseluler 1 dan 2
(extracellular signal-regulated kinases 1 and 2 / ERK1 - 2) [55]. (5) Bukti in vivo saat ini
disajikan oleh Kao et al. [56] berimplikasi jalur pensinyalan Akt dalam perlindungan saraf
yang dimediasi E2.

Estrogen memiliki sifat vasodilatori, antiinflamasi, dan neuroprotektif yang kuat,


tetapi penggunaannya saat ini pada CVS tetap terbatas pada model hewan percobaan
SAH. E2 telah berhasil digunakan dalam perawatan klinis CVS dan DCI setelah SAH,
tetapi studi klinis lainnya masih tetap diperlukan untuk memberikan bukti kuat [48].
Inhibitor fosfodiesterase

Milrinone

Milrinone adalah inhibitor fosfodiesterase III yang memengaruhi jalur siklik


adenosin monofosfat (cAMP) dengan efek inotropik dan vasodilatasi. Milrinon pertama
kali digunakan pada CVS setelah pecahnya aneurisma intrakranial pada tahun 2001 [57].
Milrinone IA merupakan pengobatan CVS yang aman dan efektif setelah aSAH. Sebuah
penelitian yang menyelidiki efek milrinone pada 14 pasien melaporkan perbaikan
vasospasme yang signifikan yang dinilai dengan kontrol angiografi (p <0,0001) [58].

Mekanisme spesifik milrinone tidak jelas. Banyak penulis setuju bahwa milrinon
ini dapat meningkatkan sirkulasi mikro otak, tanpa mengubah curah jantung. Beberapa
penulis juga mengusulkan aksi milrinone melalui jalur anti inflamasi untuk memperbaiki
CVS [24]. Saurabh et al. [59] melaporkan seorang pasien dengan vasospasme berat yang
dirawat dengan pemberian nimodipine IA terus menerus dikombinasikan dengan
milrinone dan mencapai keluaran sempurna. Karena itu mereka mengusulkan dosis obat
ini yang lebih tinggi untuk dapat digunakan untuk secara efektif mengontrol CVS berat.

Meskipun telah ditunjukkan bahwa injeksi IA terus menerus dari milrinone,


terutama dikombinasikan dengan obat lain, efektif dalam mengurangi CVS, namun efek
samping hipotensi membuat aplikasi klinisnya sangat terbatas. Ini meningkatkan risiko
kegagalan efek vasodilatasi yang menguntungkan pada aliran darah otak. Diperlukan
lebih banyak studi prospektif untuk mempelajari dosis mana yang aman dan paling efektif
untuk pasien.

Papaverine

Seperti milrinone, papaverine adalah inhibitor fosfodiesterase. Penggunaan


papaverine sebagai vasodilator terlihat oleh pengamatan selama operasi bahwa
papaverine, ketika diterapkan langsung pada dinding arteri, meringankan vasospasme
arteri selama operasi aneurisma. Untuk waktu yang lama, papaverine telah banyak
digunakan dalam prosedur terapi vasodilator IA. Namun, dalam praktik klinis saat ini,
jarang digunakan karena kekhawatiran tentang potensi neurotoksisitas, termasuk
kebutaan monokular transien atau permanen, midriasis, transient hemiparesis, kejang,
nekrosis grey matter, disfungsi jantung, henti pernapasan [60], peningkatan tekanan
intrakranial dan kerusakan jaringan otak ireversibel [61]. Pemberian papaverin IV tidak
menguntungkan untuk CVS karena efek vasodilatorinya pada pembuluh darah perifer dan
sifat sementara dari kemanjurannya [62].

Komplikasi papaverine membuat penggunaannya dalam praktik klinis sangat


terbatas. Karena papaverine mengurangi spasme dengan lebih jelas, beberapa ahli bedah
masih menggunakannya untuk meringankan CVS selama operasi. Penggunaan klinis
papaverine di masa depan untuk mengobati CVS, dan berapa dosis papaverine yang dapat
memaksimalkan efeknya dengan komplikasi minimal masih perlu penelitian lebih lanjut.

Cilostazol

Cilostazol adalah obat anti-platelet. Obat ini menghambat aktivitas


fosfodiesterase platelet dan otot polos pembuluh darah, sehingga meningkatkan efek anti-
platelet dan efek vasodilator dari konsentrasi cAMP. Niu et al. [63] melakukan tinjauan
sistematik dan meta-analisis pada pengobatan pasien aSAH dan menemukan cilostazol
secara signifikan menurunkan tingkat gejala CVS (p <0,001), CVS berat (p = 0,007),
infark serebral terkait CVS (p = 0,001) , dan keluaran yang buruk, didefinisikan sebagai
skor Skala Rankin yang dimodifikasi minimal 3 pada saat tindak lanjut (p = 0,011).
Berdasarkan metaanalisis ini, cilostazol tampaknya mengurangi morbiditas terkait CVS
setelah aSAH tanpa mempengaruhi mortalitasnya. Cilostazol mengurangi CVS, tetapi
mekanisme spesifiknya tidak jelas. Efeknya didukung oleh studi Shimamura et al. [64] di
mana cilostazol digunakan untuk mencegah transformasi fenotip sel otot polos (SMC)
bersama dengan bukti eksperimental yang diperlukan.

Untuk menaklukkan CVS dalam kerumitannya, perlu dijelaskan mekanisme


umum yang mendasari cilostazol. Selain itu, penelitian dengan tindak lanjut yang lebih
lama dan pengukuran fungsional yang lebih rinci diperlukan untuk menentukan efek
cilostazol pada keluaran neurokognitif setelah aSAH.

Antagonis Endothelin-1: clazosentan

Secara luas diterima bahwa interaksi antara ET-1 dan NO sangat penting untuk
mempertahankan dilatasi vaskular serebral yang memadai dan aliran darah otak yang
cukup selama aSAH [65]. Clazosentan adalah salah satu agen farmakologis paling
menjanjikan yang digunakan untuk pencegahan atau perbaikan CVS. Penelitian pada
hewan telah menunjukkan bahwa clazosentan adalah antagonis reseptor endotelin-1 yang
kompetitif [66]. Dilaporkan bahwa clazosentan mencegah CVS dan meningkatkan
keluaran aSAH dengan mekanisme yang tergantung pada dosis [67].

Pada 2013, Shen et al. [68] meneliti apakah pengobatan clazosentan setelah
aneurysmal SAH secara signifikan mengurangi kejadian DINDs dan DCI dan
meningkatkan keluaran dalam studi meta-analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengobatan clazosentan setelah SAH aneurysmal secara signifikan mengurangi kejadian
DINDs terkait vasospasme dan DCI. Namun, kemudian, secara acak, double-blind, studi
terkontrol plasebo [69] menyatakan bahwa clazosentan tidak secara signifikan
mengurangi mortalitas / morbiditas terkait vasospasme dan meningkatkan keluaran
fungsional yang buruk pada pasien dengan SAH aneurisma yang menjalani kliping bedah.

Sebagai pengobatan CVS setelah aSAH, clazosentan masih kontroversial, dan


masih terdapat jalan yang panjang untuk dapat digunakan secara luas dalam praktik klinis.
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan disosiasi antara morbiditas dan
keluaran terkait vasospasme.

Heparin

Heparin adalah obat pleiotropik, yang memiliki banyak efek dalam menentang
mekanisme molekuler dari cedera otak sekunder setelah aSAH, termasuk vasokonstriksi
termediasi endothelin, aktivitas radikal bebas dan efek antifibrotik. Sebuah studi baru-
baru ini telah mengungkapkan bahwa infus heparin intravena dosis rendah pada pasien
dengan aSAH dapat mengurangi kejadian vasospasme simtomatik dan infark dengan
keamanan dan kemanjuran yang tinggi [76]. Sebuah perbandingan ganda, enoxaparin
dengan plasebo secara acak menunjukkan bahwa enoxaparin dapat mengurangi CVS dan
iskemia setelah SAH (Hunt Hess grade I - III) [77]. Namun, uji coba lebih lanjut tentang
penilaian dosis dan keamanan heparin setelah aSAH akan diperlukan untuk mengurangi
atau mencegah komplikasi terkait dan meningkatkan keluaran.

Nitric oxide (NO)

NO adalah molekul pensinyalan kunci dalam pengaturan aliran darah otak.


Berkurangnya NO dalam darah dan cairan serebrospinal adalah mekanisme yang
mungkin mendasari CVS. Hemoglobin yang dilepaskan setelah ruptur aneurisma
menghambat produksi NO oleh endotelel sintase NO dan menurunkan konsentrasi NO
untuk sel otot polos, yang menyebabkan vasokonstriksi [70]. Telah ditunjukkan bahwa
keberadaan hemoglobin dan produk-produk degradasinya mengganggu pensinyalan
antara endotelium vaskular dan lapisan otot polos yang mendasarinya [71]. Telah
ditunjukkan bahwa NO merupakan vasodilator endogen yang kuat, yang secara langsung
bekerja pada sel-sel halus pembuluh darah, menyebabkan relaksasi pembuluh darah [72].
Selain itu, NO juga memiliki fungsi neuroprotektif [73]. Penelitian sebelumnya telah
menunjukkan bahwa penurunan metabolit NO cairan serebrospinal yang diamati dalam
10 menit setelah aSAH, berhubungan dengan vasokonstriksi [74]. Ini dianggap sebagai
akibat sekunder dari penghancuran fungsi NOS nitrat oksida sintase oleh hemoglobin.
Berkurangnya bioavailabilitas NO juga disebabkan oleh reaksi serebral NO dan anion
superoksida untuk menghasilkan peroksinitrit [75].

Meskipun terdapat kontroversi tentang disfungsi NO setelah aSAH, bukti hewan


telah menunjukkan bahwa peningkatan kadar NO otak baik secara langsung
menggunakan NO inhalasi atau secara tidak langsung menggunakan NO donor memiliki
efek neuroprotektif.

Diperlukan lebih banyak eksperimen terkontrol acak prospektif di masa depan,


dan penelitian lebih mendalam tentang aplikasi klinis NO untuk memberikan dasar yang
lebih andal untuk aplikasi klinisnya.

Fibrinolisis

Tingkat keparahan CVS dapat dikaitkan dengan volume dan distribusi bekuan
darah (clots) subarachnoid. Fibrinolisis intraventrikular telah diuji secara klinis untuk
membersihkan bekuan darah subarachnoid yang lebih cepat sejak awal 1990-an.
Pemberian intrasisternal dosis rendah rt-PA untuk pencegahan CVS setelah SAH telah
terbukti aman dan efektif [78]. Baru-baru ini, sebuah studi open label secara acak, fase II
pada terapi gerak kepala frekuensi rendah yang bersamaan dan rt-PA intraventrikular
telah dilakukan pada pasien setelah perawatan bedah atau endovaskular untuk aSAH,
dengan berkurangnya bekuan darah subarachnoid yang efektif, meskipun efeknya buruk
terhadap vasospasme radiografi, infark serebral, atau keluaran neurologis [79]. Meskipun
pembersihan gumpalan darah subarachnoid untuk mencegah CVS telah diterima,
pemberian dan dosis fibrinolisis yang optimal masih perlu ditentukan.
CVS adalah komplikasi yang berpotensi menghancurkan yang terjadi pada hampir
setengah dari pasien yang bertahan dalam 24 jam pertama setelah aSAH dari ruptur
aneurisma otak. DCI dan / atau DIND selanjutnya berkontribusi terhadap kematian pada
pasien ini. Pencegahan dini dan / atau pengobatan CVS sangat penting. Saat ini, ada
banyak obat CVS, termasuk penghambat saluran kalsium, penghambat fosfodiesterase,
antagonis endotelin-1, hormon, sediaan oksida nitrat, dll. Cara pemberiannya juga
beragam, termasuk oral, injeksi intra arterial, injeksi intravena, injeksi intratekal, dll.
Namun, pemberian oral nimodipine masih merupakan pendekatan yang valid untuk
pengobatan CVS, yang juga merupakan satu-satunya agen yang disetujui FDA untuk
pengobatan vasospasme. Patogenesis CVS adalah proses yang kompleks, yang masih
belum jelas. Dengan demikian perawatannya relatif sulit. Selama praktek klinis, dokter
jarang menggunakan obat tunggal, dan kombinasi penggunaan dua atau lebih obat lebih
umum. Angioplasti balon transluminal mungkin merupakan intervensi yang lebih tahan
lama, dan arteri serebral posterior juga dapat menerima angioplasti. Angioplasti harus
dipertimbangkan sebagai pilihan komplementer untuk terapi vasodilator intraarterial;
angioplasti harus disediakan untuk pembuluh proksimal dan terapi vasodilator lebih
bermanfaat untuk penyakit distal atau difus. Meskipun vasodilator IA yang tersedia dapat
meningkatkan diameter pembuluh darah, masih terdapat kurangnya bukti yang
meyakinkan tentang peningkatan keluaran klinis pasien.

Kesimpulan

Vasospasme masih merupakan masalah yang menantang setelah aSAH.


Patogenesisnya tidak jelas, meskipun ada banyak penelitian tentang pengobatan CVS.
Ada banyak skema perawatan, tetapi hanya nimodipine oral yang terbukti efektif.
Beberapa vasodilator IA juga tersedia, tetapi kebanyakan hanya meningkatkan diameter
pembuluh darah tanpa bukti kuat untuk meningkatkan keluaran klinis pasien. Perbedaan
ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa vasospasme bukan satu-satunya faktor yang
bertanggung jawab untuk keluaran fungsional yang buruk. Diperlukan lebih banyak
penelitian mendalam tentang patogenesis CVS dan penelitian terarah dari perawatan
efektif, sehingga dapat memperbaiki keluaran yang buruk dari pasien dan mengurangi
mortalitas dan morbiditas terkait CVS.

Anda mungkin juga menyukai