Anda di halaman 1dari 17

REFLEKSI PRAKTIK JURNAL

STASE KEPERAWATAN ANAK

DI RSUP DR. KARIADI KOTA SEMARANG

OLEH :

ANGGUN JULIA SYAFITRI

P1337420920019

PRODI PROFESI NERS

JURUSAN KEPERAWATAN

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG

2021
Nama : Anggun Julia Syafitri

NIM : P1337420920019

Prodi : Profesi Ners

REFLEKTIF JURNAL

Senin, 5 April 2021

Praktek Klinik Keperawatan Anak dilaksanakan pada tanggal 5 – 24 Maret


2021. Pada hari petama saya membuat studi kasus tentang hidrocepalus.
Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya
cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan intrakranial yang meninggi,
sehingga terdapat pelebaran ventrikel. Pelebaran ventrikuler ini akibat ketidakseimbangan
antara produksi dan absorbsi cairan serebrospinal. Hidrosefalus selalu bersifat sekunder,
sebagai akibat penyakit atau kerusakan otak. Adanya kelainan-kelainan tersebut
menyebabkan kepala menjadi besar serta terjadi pelebaran sutura-sutura dan ubun-ubun.
Kasus hidrocepalus yang saya temukan yaitu pada Anak Q umur 6 bulan yang
mengalami hidrocepalus sejak umur 2 bulan. Anak Q sudah menjalani operasi shunting yaitu
untuk membuat saluran baru antara aliran likuor (ventrikel atau lumbar) dengan kavitas
drainase (seperti peritoneum, atrium kanan, dan pleura). Saat ini anak Q dirawat karena
sering mengalami demam dan bekas operasi bagian perutnya keluar cairan sedikit darah
tercampur cairan warna kuning. Anak Q diprogramkan untuk menjalani Fluoroskopi untuk
mengetahui penyebab dari keluarnya cairan tersebut. Pada kamis tanggal 18 Maret 2021,
anak Q menjalani Fluoroskopi jam 08.00 sampai jam 12.00. Dalam pemeriksaan tersebut
anak Q dipuasakan terlebih dahulu selama 3 jam sebelum pemeriksaan, kemudian anak Q
diminta meminum air kontras 5 menit sebelum pemeriksaan. Pada kasus anak Q dicurigai
adanya komplikasi akibat operasi VP Shunt.
Berdasarkan jurnal penelitian komplikasi sering terjadi karena pemasangan VP shunt
adalah infeksi dan malfungsi. Malfungsi disebakan oleh obstruksi mekanik atau perpindahan
didalam ventrikel dari bahanbahan khusus (jaringan /eksudat) atau ujung distal dari
thrombosis sebagai akibat dari pertumbuhan. Obstruksi VP shunt sering menunjukan
kegawatan dengan manifestasi klinis peningkatan TIK yang lebih sering diikuti dengan status
neurologis buruk. Komplikasi yang sering terjadi adalah infeksi VP shunt. Infeksi umumnya
akibat dari infeksi pada saat pemasangan VP shunt. Infeksi itu meliputi septik, Endokarditis
bacterial, infeksi luka, Nefritis shunt, meningitis, dan ventrikulitis. Komplikasi VP shunt
yang serius lainnya adalah subdural hematoma yang di sebabkan oleh reduksi yang cepat
pada tekanan ntrakranial dan ukurannya. Komplikasi yang dapat terjadi adalah peritonitis
abses abdominal, perforasi organ-organ abdomen oleh kateter atau trokar (pada saat
pemasangan), fistula hernia, dan ilius.
Tindakan selanjutnya yang dapat dilakukan untuk anak Q adalah proses pembedahan
berulang untuk menangani komplikasi akibat dari pemasangan VP shut pada anak Q.

SUMBER :
Nuzulul. ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) HIDROSEFALUS. Melalui http://nuzulul-
fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35563.html. 2011.
Riawan, W. Hidrosefalus dan Kematian Sel-Sel Otak. http://immunotech2005.blogspot.com/.
2006
Saharso, D. Cerebral Palsy Diagnosis dan Tatalaksana. Continuing Education Ilmu Kesehatan
Anak XXXVI Kapita Selekta Ilmu Kesehatan Anak VI. 29-30 Juli 2006. Surabaya: FK Unair
RSU Dr. Soetome Surabaya; 2006.
Nama : Anggun Julia Syafitri

NIM : P1337420920019

Prodi : Profesi Ners

REFLEKTIF JURNAL

Selasa. 6 April 2021

Praktek Klinik Keperawatan Anak dilaksanakan pada tanggal 5 – 24 April 2021. Pada
hari ke dua saya membuat studi kasus tentang gizi buruk.
Gizi buruk adalah suatu kondisi yang ditandai dengan berat dan tinggi badan
balita/anak tersebut jauh di bawah rata-rata. Kondisi gizi buruk pada anak tidak terjadi secara
instan atau singkat. Artinya, anak yang masuk ke dalam kategori gizi buruk sudah mengalami
kekurangan berbagai zat gizi dalam jangka waktu yang sangat lama. Jika diukur
menggunakan Grafik Pertumbuhan Anak (GPA) yang mengacu pada WHO dengan berbagai
indikator pendukung, anak dengan kondisi gizi buruk memiliki kategori sendiri. Pada anak,
bisa dikatakan mengalami gizi buruk ketika hasil pengukuran indikator BB/TB untuk status
gizinya kurang dari 70 persen nilai median. Mudahnya, nilai cut off z score berada nilai pada
kurang dari -3 SD.
Kasus gizi buruk yang saya temukan adalah pada pasien An. G berusia 10 tahun
dengan diagnose medis febris, BRPN, dan gizi buruk dan sudah perawatan hari ke 4 di rumah
sakit. Kemudian untuk diagnose medis utama adalah defisit nutrisi. Pasien An.G memiliki
berat badan 10,7 kg dan tinggi badan 108 cm. An. G adalah anak pertama dari dua
bersaudara. Pasien An. G memiliki riwayat lahir premature yakni 8 bulan 0 hari yang
dilahirkan di bidan terdekat dengan berat lahir 1.2 kg dan panjang badan lahir 45 cm.
Pemberian ASI pada An. G sampai dengan usia 1,5 tahun dan imunisasi telah diberikan
lengkap. Kemudian saat dilakukan pengukuran z-score diperoleh bahwa IMT An. G adalah
9,17 yang apabila di lihat menurut tabel Z-Score maka berada pada posisi < -3 SD dengan
kategori sangat kurus. Saat dilakukan pengkajian pada nenek pasien mengatakan bahwa An.
G hidung tersumbat dan pusing, panas sudah mulai berangsur turun. Pada pagi hari pukul
07.00 kami melakukan pengukuran tanda-tanda vital dan diperoleh hasil Nadi 90x/menit, S :
36,7°C.
Menurut saya ini pengalaman yang pertama kali saya menjumpai pasien dengan gizi
buruk hingga termasuk kategori yang berada jauh di bawah nilai normal. Ketika melakukan
asuhan keperawatan pasien dengan gizi buruk pada anak adalah kondisi anak yang pendek
dan tidak tumbuh optimal sesuai dengan usianya. Pertumbuhan dan perkembangan anak yang
terhambat adalah dampak gizi buruk pada anak. Di masa pertumbuhan, aak-anak sangat
memerlukan zat protein yang diandalkan untuk membangun sel-sel tubuh dan karbohidrat
sebagai sumber energi utama tubuh. Bila tidak ada protein dan zat nutrisi lainnya, bukan tidak
mungkin pertumbuhan si kecil terhambat bahkan berhenti sebelum waktunya. Maka itu
penting bagi Anda untuk terus memantau kesehatan anak, apalagi jika ia masih dalam usia di
bawah lima tahun. Lewat mengetahui status gizinya, kita akan mengetahui apakah
perkembangan si kecil normal atau tidak.
Hal yang terjadi pada pengalaman saya merawat anak dengan gizi buruk dimana data
diperoleh dari nenek pasien An. G secara langsung yang mengalami penurunan nafsu makan,
uka memilih makanan. dan lesu. Anak menjadi lemas, lesu, dan tidak dapat bergerak aktif
karena kekurangan vitamin, mineral, dan nutrisi lainnya. Sedangkan asupan makanan yang
menurun apabila tidak ada protein dan zat nutrisi lainnya, maka sangat mudah pertumbuhan
anak terhambat bahkan berhenti sebelum waktunya. Kondisi yang terjadi pada pasien An. G
adalah keadaan yang memerlukan penanganan dan kolaborasi dari berbagai pihak baik tim
medis maupun juga keluarga sebagai support system utama dalam keberhasilan penanganan.
Seharusnya pada An. G dengan usia 10 tahun memiliki berat badan sebesar 28-32 kg dan
tinggi badan yakni139 cm.
Ketika menjumpai kasus gizi buruk ini, untuk menangani hal tersebut saya mencoba
belajar dari dokter dalam memberikan terapi medis terbaik dalam membantu meningkatkan
asupan nutrisi dan menumbuhkan nafsu makan pada An. G. Selain itu membantu mensupport
informasi kepada keluarga untuk selalu mendampingi, memotivasi dan menjaga asupan
nutrisi tinggi protein pada An. G untuk membangun sel-sel tubuh dan karbohidrat sebagai
sumber energi utama tubuh selama masa perawatan dan stabilisasi berat badan dan tinggi
badan pasien An. G.
Beberapa intervensi yang dapat dilakukan untuk masalah tersebut yaitu dengan cara
berkolaborasi multidisiplin ilmu bersama dokter, ahli gizi, tim laboratorium dan juga tim
radiologi dalam membantu mengetahui lebih lanjut kondisi pada pasien melalui pemeriksaan
penunjang yang dibutuhkan. Menurut Kemenkes. Sesuai dengan penatalaksanaannya,
Kementerian Kesehatan RI membagi penanganan gizi buruk pada anak dibagi atas 3 fase,
yakni :
a. Fase stabilisasi adalah keadaan ketika kondisi klinis dan metabolisme anak belum
sepenuhnya stabil. Dibutuhkan waktu sekitar 1-2 hari untuk memulihkannya, atau
bahkan bisa lebih tergantung dari kondisi kesehatan anak. Tujuan dari fase
stabilisasi yakni untuk memulihkan fungsi organ-organ yang terganggu serta
pencernaan anak agar kembali normal. Dalam fase ini, anak akan diberikan formula
khusus berupa F 75 atau modifikasinya, dengan rincian:
 Susu skim bubuk (25 gr)
 Gula pasir (100 gr)
 Minyak goreng (30 gr)
 Larutan elektrolit (20 ml)
 Tambahan air sampai dengan 1000 ml
Fase stabilisasi bisa dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Pemberian susu formula sedikit tapi sering
2. Pemberian susu formula setiap hari
Fase ini telah diterapkan oleh pasien An. G dimana pasien memasuki hari ke 2
dalam pemberian diit F 75 selama perawatan di rumah sakit.
Untuk menindaklanjuti terapi dan membantu memperbaiki kondisi pada pasien
An. G maka hal yang harus dilakukan selanjutnya adalah dengan mempertahankan
cara pemberian asupan nutrisi sesuai dengan panduan penatalaksaan gizi buruk pada
anak menurut Kemenkes dengan melanjutkan fase stabilisasi hingga pada fase
terakhir dalam membantu peningkatan gizi pada pasien. Penatalaksanaan kedua
penangan gizi buruk menurut Kemenkes antara lain
2. Fase transisi
Fase transisi adalah masa ketika perubahan pemberian makanan tidak
menimbulkan masalah bagi kondisi anak. Fase transisi biasanya berlangsung
selama 3-7 hari dengan pemberian susu formula khusus berupa F 100 atau
modifikasinya. Kandungan di dalam susu formula F 100 meliputi:
 Susu skim bubuk (85 gr)1wQ
 Gula pasir (50 gr)
 Minyak goreng (60 gr)
 Larutan elektrolit (20 ml)
 Tambahan air sampai dengan 1000 ml
Fase transisi bisa dilakukan dengan cara sebagai berikut:
 Pemberian formula khusus dengan frekuensi sering dan porsi kecil. Paling
tidak setiap 4 jam sekali.
 Jumlah volume yang diberikan pada 2 hari pertama (48 jam) tetap
menggunakan F 75.
 ASI tetap diberikan setelah anak menghabiskan porsi formulanya.
 Jika volume pemberian formula khusus tersebut telah tercapai, tandanya
anak sudah siap untuk masuk ke fase rehabilitasi.
3. Fase rehabilitasi
Fase rehabilitasi adalah masa ketika nafsu makan anak sudah kembali normal
dan sudah bisa diberikan makanan agak padat melalui mulut atau oral. Akan
tetapi, bila anak belum sepenuhnya bisa makan secara oral, pemberiannya bisa
dilakukan melalui selang makanan (NGT). Fase ini umumnya berlangsung
selama 2-4 minggu sampai indiktor status gizin BB/TB-nya mencapai -2 SD
dengan memberikan F 100. Dalam fase transisi, pemberian F 100 bisa
dilakukan dengan menambah volumenya setiap hari. Hal ini dilakukan sampai
saat anak tidak mampu lagi menghabiskan porsinya. F 100 merupakan energi
total yang dibutuhkan anak untuk tumbuh serta berguna dalam pemberian
makanan di tahap selanjutnya. Secara bertahap, nantinya porsi menu makanan
anak yang teksturnya padat bisa mulai ditambah dengan mengurangi
pemberian F 100.
Setelah menjalankan pengobatan yang disarankan, anak dapat dikatakan
sembuh bila BB/TB atau BB/PB sudah lebih dari -2 SD. Meski begitu, aturan
pemberian makan yang tepat tetap masih harus dijalankan. Bagi orangtua, bisa
menerapkan jadwal makan anak seperti:
 Memberikan makanan dengan porsi kecil dan sering sesuai dengan usia anak.
 Rutin membawa anak untuk kontrol tepat waktu. Pada bulan pertama sebanyak 1
kali seminggu, bulan kedua sebanyak 1 kali setiap 2 minggu, dan bulan ketiga
sampai keempat sebanyak 1 kali per bulan.

SUMBER :
https://hellosehat.com/parenting/kesehatan-anak/gizi-buruk-pada-anak/
Nama : Anggun Julia Syafitri

NIM : P1337420920019

Prodi : Profesi Ners

REFLEKTIF JURNAL

Rabu, 7 April 2021

Praktek Klinik Keperawatan Anak dilaksanakan pada tanggal 5 – 24 April


2021. Pada hari ketiga saya membuat Literature Review tentang anak dengan GEDS.

Gastroenteritis adalah muntah dan diare akibat infeksi atau peradangan pada dinding
saluran pencernaan, terutama lambung dan usus. Diare merupakan suatu keadaan di mana
pada balita frekuensi buang air besar lebih dari empat kali danpada anak lebih dari tiga kali
dengan konsistensifeses yang encer, berwarna hijau atau dapatjuga bercampur lendir dan
darah atau lendir saja. Setiap episodenya, diare akan menyebabkan kehilangan nutrisi yang
dibutuhkananak untuk tumbuh, sehingga diare merupakan penyebab utama malnutrisi
padaanak dan menjadi penyebab kematian kedua pada anak berusia dibawah 5 tahun.
(Ngastiyah, 1997 dalam Meivi, 2013). Pengobatan utama yang harus dilakukan terhadap
diare terutama dehidrasi diare adalah rehidrasi dan penggantian air serta elektrolit yang
hilang, upaya tersebut dikenal dengan Upaya Rehidrasi Oral (URO). Selain itu menurut
Depkes RI dalam mengobati dehidrasi perlu diketahui derajat keparahan dehidrasi karena
pengobatannya di golongkan berdasarkan derajat keparahan dehidrasi yaitu tanpa dehidrasi
(rencana A), dehidrasi ringan/sedang (rencana B), dan dehidrasi berat (rencana C).
(Ngastiyah, 1997 dalam Meivi, 2013)

Ini merupakan pengalaman saya yang beberapa kali menemui kasus GEDS pada anak
saat saya masih diploma IV. Yang saya rasakan saat dulu menemui kasus GEDS yaitu anak
akan kehilangan banyak cairan yang dikeluarkan melalui muntahan dan diarenya, disini saya
berfikir penatalkasanaan kasus GEDS harus sesuai dan harus cepat, sesuai dengan salah satu
penyebab dehidrasi karena ketidaksesuaian penatalaksanaan diare baik di pelayanan
kesehatan maupun dirumah. (Widoyono, 2011 dalam Meivi, 2013).

Keluhan yang dialami oleh Anak dengan GEDS yaitu muntah dan diare. Dengan
keadaan demikian sebagai praktikan yang belajar dari teori keperawatan dan buku referensi,
untuk mengatasi diare pada anak dengan memberikan terapi kolaborasi yaitu obat dan terapi
pemberian cairan. Dalam melakukan intervensi tersebut kemungkinan masalah dapat muncul
yaitu anak menangis karena tidak nyaman dan takut dengan perawat. Salah satu upaya yang
dapat dilakukan lagi untuk meluruskan persepsi ibu yang salah tentang pemenuhan cairan
adalah dengan pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan diberikan kepada ibu agar dapat
merawat anak dengan baik dalam kondisi sehat maupun sakit. Kebutuhan ibu terhadap
pendidikan kesehatan mencakup pengertian dasar tentang penyakit anak, perawatan anak
selama dirawat di rumah sakit, dan perawatan lanjutan untuk persiapan pulang (Supartini,
2004). Pendidikan Kesehatan yang di lakukan oleh ibu akan menjadi efektif dengan adanya
proses pengajaran dari perawat karena dengan proses pemberian pengetahuan, dan
keterampilan pada ibu maka dapat menurunkan terjadinya komplikasi penyakit (Annalia &
Insana Maria.2019).

Resiko dehidrasi pada anak balita menjadi lebih besar karena komposisi cairan tubuh
yang besar dan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri secara bebas. (Price, A.
Sylvia, Lorraine Mc. Carty Wilson, 2006), Dampak dari diare padabalita lebih berbahaya dari
pada orangdewasa, karena komposisi tubuh balita yanglebih banyak mengandung air
dibanding orangdewasa, jika terjadi diare balita lebih rentanmengalami dehidrasi dan
kompikasi lainyayang dapat merujuk pada malnutrisi ataupunkematian, dampak lain yaitu
kegagalan dalampertumbuhan.

Pengetahuan ibu untuk anak dengan GEDS sangat penting dan harus dipahami oleh
semua ibu-ibu. Tata laksana diare pada balita membutuhkan pengetahuan ibu karena dengan
pengetahuan yang baik maka ibu akan melakukan tata laksana diare dengan menggunakan
program lintas diare yang diadakan pemerintah. Program Pemerintah untuk mengatasi diare
salah satunya dengan mengadakan (Lintas Diare) Lima Langkah Tuntas Diare, yang terdiri
dari pemberian oralit osmolaritas rendah untuk mencegah terjadinya dehidrasi, pemberian
zinc untuk mengurangi lama dan tingkat keparahan diare, pemberian ASI yang bertujuan
untuk memberikan makanan yang kaya nutrisi pada anak dengan diare cair agar mendapatkan
kembali nafsu makan anak setelah dehidrasi di perbaiki,pemberian antibiotika hanya atas
indikasi, pemberian nasihat kepada ibu atau ibu sangat diperlukan (Widjaja, MC. 2002)

Untuk rencana selanjutnya, saya akan banyak belajar dan mencari informasi tentang
pengobatan herbal yang sudah ada literatur nya, banyak terapi non farmakologi juga yang
dapat di terapkan.

SUMBER :

Astuti, W. T., Marhamah, E., & Diniyah, N. (2019). Penerapan Terapi Inhalasi Nebulizer
Untuk Mengatasi Bersihan Jalan Napas Pada Pasien Brokopneumonia. Jurnal
Keperawatan Karya Bhakti, 5(2), 7–13.
Larasati, F., & Hargono, A. (2019). Perbedaan Risiko Pneumonia Berdasarkan Pola Asuh dan
Paparan Asap Rokok. Jurnal PROMKES, 7(2), 163.
https://doi.org/10.20473/jpk.v7.i2.2019.163-172
Nama : Anggun Julia Syafitri

NIM : P1337420920019

Prodi : Profesi Ners

REFLEKTIF JURNAL

Kamis, 8 April 2021

Praktek Klinik Keperawatan Anak dilaksanakan pada tanggal 5 – 24 April


2021. Pada hari ke empat saya membuat studi kasus tentang suspek keganasan CML.
Myelogenous leukemia kronis (CML) merupakan suatu jenis kanker yang disebabkan
oleh gangguan pada hematopoietic stem cell. CML adalah bentuk leukemia yang ditandai
dengan peningkatan dan pertumbuhan yang tak terkendali dari sel myeloid pada sumsum
tulang. CML merupakan gangguan stem sel sumsum tulang klonal, dimana ditemukan
proliferasi dari granulosit matang (neutrofil, eosinofil, dan basofil) dan prekursornya.
Keadaan ini merupakan jenis penyakit myeloproliferatif dengan translokasi kromosom yang
disebut dengan kromosom Philadelphia.
Pada kasus anak I umur 16 tahun sedang menjalani perawatan di ruang anak lantai
dasar dengan suspek keganasan CML. Anak I mengeluh lemas, mual, dan kepala terasa
berputar-putar sejak 4 bulan yang lalu secara bertahap. Klien juga pernah mimisan dan
pingsan di rumah. Hari ini klien diprogramkan untuk menjalani operasi biopsi pada sumsum
tulang belakang untuk mengetahui gambaran sumsum tulang belakang Anak F yang dicurigai
ada keganasan CML. Sebelum dilakukan program tersebut klien sempat mengalami anemia
sehingga perlu dilakukan perbaikan Hb dan KU untuk menjalani program biopsi. Saat
perbaikan Hb dan KU, anak F perlu waktu sekitar 6 hari dan sudah mendapatkan tranfusi
PRC sebanyak 8 kolf.
Berdasarkan jurnal penelitian menjelaskan bahwa manefastasi klinik untuk CML
terdiri dari :
a. Gejala hiperkatabolik: berat badan menurun, lemah, anoreksia, berkeringat pada
malam hari.
b. Splenomegali hampir selalu ada, sering massif.
c. Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan.
d. Gejala gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia akibat
pemecahan purin yang berlebihan dapat menimbulkan masalah.
e. Gangguan penglihatan dan priapismus.
f. Anemia pada fase awal sering tetapi hanya ringan dengan gambaran pucat, dispneu
dan takikardi.
g. Kadang-kadang asimtomatik, ditemukan secara kebetulan pada saat check up atau
pemeriksaan untuk penyakit lain.
Untuk program selanjutnya jika sudah keluar hasil dari biopsi maka klien akan
dipersiapkan menjalani perawatan kemoterapi untuk menghambat pertumbuhan kanker ke
bagian-bagian lainnya dalam tubuh.
SUMBER :
Hoffbrand A.V, Pettit J. E, Moss P.A.H. Leukemia mieloid kronik dan mielodisplasia.
Dalam: Mahanani Dewi Asih, editor. Kapita Selekta Hematologi, 4th edition. Jakarta:
EGC; 2005: 167-76
Ni Made Renny. 2017.Chornic Myeloid Leukemia.Denpasar:Fakultas Kedokteran Udayana
(Studi Kasus)
Nama : Anggun Julia Syafitri

NIM : P1337420920019

Prodi : Profesi Ners

REFLEKTIF JURNAL

Jumat, 9 April 2021

Praktek Klinik Keperawatan Anak dilaksanakan pada tanggal 5 – 24 April 2021. Pada
hari ke lima saya membuat studi kasus tentang osteosarcoma dextra .
Osteosarkoma merupakan keganasan sistem skeletal nonhematopoetik yang tersering
ditemukan yaitu sekitar 20% dari tumor ganas primer tulang. Osteosarkoma didefinisikan
sebagai suatu neoplasma dimana jaringan osteoid disintesis oleh sel-sel ganas. Tidak terdapat
batasan minimal dari jumlah matriks tulang yang diperlukan untuk menglasifikasikan suatu
tumor sebagai osteosarkoma. Penyebab osteosarkoma tidak diketahui, namun berbagai agen
dan status penyakit dihubungkan dengan perkembangan penyakit ini. Osteosarkoma
dipercaya berasal dari sel stem mesenkim atau sel osteoprogenitor yang mengalami gangguan
dalam jalur diferensiasi osteoblas. Beberapa studi membuktikan bahwa osteosarkoma
mempunyai cancer stem cells. Penyebab yang paling diketahui berhubungan dengan penyakit
ini ialah radiasi.
Pada kasus anak A umur 14 tahun dengan osteosarcoma dextra telah mengalami
perkembangbiakan yang cukup pesat, karena dalam waktu 2 bulan sudah menghasilkan luka
kanker yang bernanah dan berdarah serta membuang lubang yang cukup besar di bagian
lengan atasnya. Penyebab dari timbulnya penyakit ini belum diketahui lebih jelas karena
klien baru masuk ke ruangan Sabtu tanggal 20 Maret 2021 pukul 05.00. Anak A
diprogramkan melakukan beberapa pemeriksaan untuk mendapatkan terapi lanjutan. Untuk
pagi ini karena balutan lukanya sudah berbau dan merembes, maka perlu diganti agar tidak
menimbulkan infeksi. Dalam perawatan luka kanker tersebut menggunakan prinsip non steril
karena termasuk luka kotor. Saat diganti balutannya, anak A merasa kesakitan saat lukanya
dibersihkan dengan NaCL 0.9%. Luka klien berbau amis, berdarah, bernanah dan mudah
terlepas, sehingga perlu berhati-hati dalam membersihkan lukanya, cukup kassa dibasahi
dengan NaCL 0.9% kemudian dikompres dan ditutup kembali dengan kassa kering.
Prinsip perawatan luka yang diberikan sudah sesuai dengan perawatan luka modern,
dimana perawatan luka modern memperhatikan tiga tahap, yakni mencuci luka, membuang
jaringan mati, dan memilih balutan. Mencuci luka bertujuan menurunkan jumlah bakteri dan
membersihkan sisa balutan lama, debridement jaringan nekrotik atau membuang jaringan dan
sel mati dari permukaan luka. Perawatan luka konvensional harus sering mengganti kain kasa
pembalut luka, sedangkan perawatan luka modern memiliki prinsip menjaga kelembapan
luka dengan menggunakan bahan seperti hydrogel. Hydrogel berfungsi menciptakan
lingkungan luka tetap lembap, melunakkan serta menghancurkan jaringan nekrotik tanpa
merusak jaringan sehat, yang kemudian terserap ke dalam struktur gel dan terbuang bersama
pembalut (debridemen autolitik alami). Dalam metode perawatan luka modern, terdapat
beberapa manfaat yaitu perawatan luka bisa dilakukan 3-5 hari sekali/tergantung jenis luka
dan kotornya balutan, pasien merasa nyaman, perbaikan luka lebih cepat dan tidak bau, biaya
perawatan lebih rendah, mengefektifkan jam perawatan perawat di Rumah Sakit, bisa
mempertahankan kelembaban luka lebih lama (5-7hari), mendukung penyembuhan luka
menyerap eksudat dengan baik dan tidak menimbulkan nyeri pada saat ganti balutan serta
tidak bau.
Selama melakukan tindakan tidak mengalami kendala dan berjalan dengan lancar
sesuai SOP. Untuk tindakan selanjutnya program yang dijalankan adalah melakukan
pemeriksaan laborat, foto X-Ray dan ganti balut setiap hari.
SUMBER :
Maryunani. (n.d.). Perawatan Luka Modern (Modern Woundcare) Terkini Dan Terlengkap:
Sebagai Bentuk Tindakan Keperawatan Mandiri | OPAC Integrasi | Online Public Access
Catalog | Universitas Gadjah Mada. Retrieved April 23, 2020, from
http://opac.lib.ugm.ac.id/index.php?mod=bo ok_detail&sub=BookDetail&act=view&typ
=htmlext&buku_id=744988&unit_id=1
Nama : Anggun Julia Syafitri

NIM : P1337420920019

Prodi : Profesi Ners

REFLEKTIF JURNAL

Sabtu, 10 April 2021

Praktek Klinik Keperawatan Anak dilaksanakan pada tanggal 5 – 24 Maret 2021.


Pada hari ke enam saya membuat Literature Review tentang kasus anak yang terinfeksi virus
HIV/AIDS.
Kondisi anak terinfeksi virus HIV/AIDS menjadi isu yang sangat strategis, menurut
estimasi Word Health Organization (WHO) antara tahun 2002-2013, sebanyak 16 juta
perempuan terinfeksi HIV, 3,2 juta diantaranya adalah anak dibawah usia 15 tahun. Sebanyak
240.000 anak menderita HIV dan 700 anak terinfeksi HIV setiap harinya. Jumlah anak
meninggal karena AIDS sebanyak 190.000 anak. Menurut WHO anak di negara Asia Afrika
12,3% drop out setelah melakukan terapi ARV selama 18 bulan, 5,7% diantaranya meninggal
dunia akibat drop out. Data anak drop out terbanyak di negara Afrika Barat sebanyak 21,8%
dan 4,1% di Asia. Kasus HIV/AIDS di Indonesia terus mengalami peningkatan mulai dari
tahun 1987 sampai tahun 2014, dengan jumlah penderita HIV sebanyak 150.296 kasus,
sedangkan untuk penderita AIDS sebanyak 55.799 kasus. Batasan usia anak HIV/AIDS
menurut Departemen Kesehatan adalah 5-11 tahun.
Presentase kasus ODHA anak di Indonesia pada tahun 2013 berdasarkan kelompok
umur 5-14 tahun adalah 4493 kasus (Kemenkes RI, 2013). Penyakit HIV/AIDS pada anak,
sebagian besar terjadi akibat penularan dari ibu pada waktu kehamilan dan persalinan.
Diagnosis infeksi HIV pada bayi lebih sulit ditegakkan karena antibodi ibu kelas IgG
melewati plasenta dan dapat berada dalam sirkulasi anak selama 18 bulan. Oleh karena itu
arena itu bayi berumur dibawah 18 bulan yang mempunyai anti HIV positif belum tentu
terinfeksi HIV (Djauzi, 2003). Epidemiologi HIV/AIDS penularan HIV/AIDS terjadi melalui
cairan tubuh yang mengandung HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual
maupun heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkoba, transfusi komponen darah dan
dari ibu yang terinfeksi HIV kepada bayi yang dilahirkannya. Diagnosis HIV/AIDS pada
anak diagnosis penyakit ini dibuat berdasarkan adanya gejala serta tanda-tanda klinik dan
pemeriksaan darah serologis dan virologis. Gejala penderita AIDS dapat ringan sampai berat,
bahkan di AS ditemukan ratusan ribu orang yang dalam darahnya mengandung virus AIDS
yang menunjukkan gejala klinik. Penderita dengan gejala klinik agak ringan disebut AIDS
Related Complex (ARC).
Penderita ARC paling sedikit harus mempunyai 2 gejala klinis dan 2 kelainan
laboratorium. Kepatuhan minum obat kepatuhan adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan perilaku pasien dalam minum obat secara benar tentang dosis, frekuensi dan
waktunya. Supaya patuh, pasien dilibatkan dalam memutuskan apakah minum atau tidak,
sedangkan compliance adalah pasien mengerjakan apa yang telah diterangkan oleh dokter
atau apotekernya. Terapi ARV, data selama 5 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat
meyakinkan bahwa pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV yaitu ARV
(AntiRetroViral) bermanfaat menurunkan moebiditas dan dan mortalitas dini akibat infeksi
HIV. Orang dengan HIV/AIDS menjadi lebih sehat, dan dapat bekerja normal dan produktif.
Dukungan keluarga dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien untuk sembuh
dengan memberikan informasi tentang antiretroviral sehingga dapat mengubah perilaku
pasien menjadi lebih baik untuk mendapatkan kesehatan tubuh yang lebih optimal. Dukungan
keluarga merupakan salah satu faktor pendorong dalam Teori Lawrence Green
(Notoadmodjo, 2007). Faktor pendorong (Reinforcing factors) terwujud dalam sikap dan
perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari
perilaku masyarakat. Dalam hal ini adanya ODHA anak dalam lingkungan keluarga,
menjadikan munculnya perilaku dari anggota keluarga yang lain dengan adanya dukungan.
Dukungan berupa nasehat agar rutin melakukan terapi ARV. Hal ini mendorong perilaku
ODHA anak untuk melakukan terapi ARV, karena adanya dukungan dari orangtua maupun
keluarga (Hapsari, A.T. & Muhammad, 2017).
SUMBER :
Ernawati. 2013. Sikap Pengasuh Anak Balita Yang Terinfeksi HIV/AIDS Di Kabupaten
Temanggung dan Kudus. Jurnal Keperawatan Komunitas, 1 (1) : 62-73

Anda mungkin juga menyukai