Anda di halaman 1dari 16

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0-28 hari. Kehidupan pada masa
neonatus ini sangat rawan, karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di
luar kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya
angka kesakitan dan angka kematian neonatus. Diperkirakan 2/3 kematian bayi di
bawah umur satu tahun terjadi pada masa neonatus. Peralihan dari kehidupan
intrauterine ke ekstrauterin memerlukan berbagai perubahan biokimia dan fungsi.
Bidan sebagai tenaga kesehatan harus memiliki kesiapan untuk merujuk ibu
atau bayi ke fasilitas kesehatan rujukan secara optimal dan tepat waktu jika
menghadapi penyulit. Jika bidan lemah atau lalai dalam melakukannya, akan
berakibat fatal bagi keselamatan ibu dan bayi.

B.  RUMUSAN MASALAH


1.   Apaitu neonatus dengan resiko tinggi?
2.   Apa saja kategori neonatus dengan resiko tinggi?

C.  TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa itu neonatus resiko tinggi
2. Untuk mengetahui apa saja yang termasuk kategori neonatus resiko tinggi
2

BAB II
PEMBAHASAN

A. Neonatus dengan resiko tinggi

Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0-28 hari. Kehidupan pada masa
neonatus ini sangat rawan, karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di
luar kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya
angka kesakitan dan angka kematian neonatus. Diperkirakan 2/3 kematian bayi di
bawah umur satu tahun terjadi pada masa neonatus. Peralihan dari kehidupan
intrauterine ke ekstrauterin memerlukan berbagai perubahan biokimia dan fungsi.

B. Beberapa keadaan bayi baru lahir dengan resiko tinggi:

Sindroma Gawat Napas


Kegawatan pernapasan adalah keadaan kekurangan oksigen yang terjadi dalam
jangka waktu relatif lama sehingga mengaktifkan metabolism anaerob yang
menghasilkan asam laktat. Apabila keadaan asidosis memburuk dan terjadi
penurunan aliran darah ke otak maka akan terjadi kerusakan otak dan organ lain.
Selanjutnya dapat terjadi depresi pernapasan yang dimanifestasikan dengan apneu
yang memanjang dan bahkan dapat menyebabkan kematian (Yu dan Monintja,
1997).
Kegawatan pernapasan dapat terjadi pada bayi aterm maupun pada bayi preterm,
yaitu bayi dengan berat lahir cukup maupun dengan berat lahir rendah (BBLR). Bayi
dengan BBLR yang preterm mempunyai potensi kegawatan lebih besar karena be;um
maturnya fungsi organ-organ tubuh.
Kegawatan pernapasan ini menimbulkan dampak negatif bagi tubuh bayi berupa
terjadinya kekurangan oksigen pada tubuh (hipoksia). Tubuh bayi akan beradaptasi
dengan cara mengaktifkan metabolism anaerob yang menghasilkan asam laktat.
Apabila hipoksia berlanjut, gerakan akan berhenti, denyut jantung mulai menurun
dan tonus otot neuromuskuler berkurang secara berangsur-angsur. Pada fase ini akan
terjadi apneu primer. Apabila hipoksia berlanjut, denyut jantung terus menurun,
3

tekanan darah akan semakin menurun, bayi tidak bereaksi terhadap rangsangan dan
tidak menunjukkan upaya pernapasan secara spontan. Pada fase iniakan terjadi apneu
sekunder dan akan terjadi kematian bila tidak segera dilakukan resusitasi dengan
pernapasan buatan (Syaifuddin, 2002).
Secara klinis keadaan apneu primer atau apneu sekunder sulit dibedakan. Hal ini
berarti bahwa dalam menghadapi bayi dengan kondisi apneu, harus dianggap bahwa
bayi mengalami apneu sekunderdan harus segera dilakukan resusitasi.
Resusitasi bertujuan memberikan ventilasi yang adekuat, pemberian oksigen dan
curah jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen ke otak, jantung dan alat vital
lainnya. Tindakan resusitasi mengikuti tahapan yang dikenal sebagai ABC Resusitasi
yaitu:
Airway, mempertahankan saluran napas terbuka melliputi kegiatan meletakkan bayi
dengan posisi sedikit ekstensi, menghisap mulut dan hidung bayi.
Breathing, memberikan napas buatan meliputi kegiatan melakukan rangsang taktil
untuk memulai pernapasan, melakukan ventilasi tekanan positif dengan sungkup dan
balon.
Circulation, mempertahankan sirkulasi (peredaran) darah meliputi kegiatan
mempertahankan sirkulasi darah dengan cara kompres dada.

Etimologi Towel dalam Jumiarni, dkk (1995) menggolongkan penyebab kegagalan


pernapasan pada neonatus yang terdiri dari faktor ibu, faktor plasenta, faktor janin
dan faktor persalinan.

Faktor ibu
Meliputi hipoksia pada ibu, usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun,
gravida empat atau lebih, sosial ekonomi rendah, maupun penyakit pembuluh darah
ibu yang mengganggu pertukaran gas janin seperti hipertensi, penyakit jantung,
diabetes mellitus dan lain-lain.

Faktor plasenta
Meliputi solusio plasenta, perdarahan plasenta, plasenta kecil, plasenta tipis, plasenta
tida menempel pada tempatnya.
4

Faktor janin atau neonatus


Meliputi tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher, kompresi tali pusat antara
janin dan jalan lahir, gemeli, prematur, kelainan kongenital pada neonatus dan lain-
lain.

Faktor persalinan
Meliputi partus lama, partus dengan tindakan dan lain-lain.

C. Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia adalah berlebihnya kadar bilirubin dalam darah lebih dari 10 mg
% pada minggu pertama yang mengakibatkan jaundice, warna kuning yang terlihat
jelas pada kulit, mukosa, sklera dan urin, serta organ lain, sedangkan pada bayi
normal kadar bilirubin serum totalnya 5mg%.

D. Etiologi
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh bermacam-macam keadaan. Penyebab
yang tersering ditemukan disini adalah hemolisis yang timbul akibat inkompatibilitas
golongan darah ABO atau defisiensi enzim G6PD. Hemolisis ini dapat timbul karena
adanya perdarahan tertutup (sefal hematoma, perdarahan subaponeoratik) atau
inkompatilibitas golongan darah Rh. Infeksi memegang peranan penting dakam
terjadinya hiperbilirubinemia: keadaan ini terutama terjadi pada penderita sepsis dan
gastroenteritis. Beberapa faktor lain yag juga nmerupakan penyebab
hiperbilirubinemia adalah hipoksia atau anoksia, dehidrasi dan asidosis, hipoglikemia
dan polisitemia.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin
pada sel hepar yang terlalu berlebihan. Halini dapat ditemukan bila terdapat
peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin
atau bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain atau terdapatnya peningkatan
sirkulasi enterohepatik.
Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila
ditemukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukoronil transferase) atau
5

bayi yang menderita gangguan eksresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau
sumbatan saluran empedu intra atau ekstra hepatik.
Pada derajat tertentu, bilirubin iniakan bersifat toksit dan merusak jaringan tubuh.
Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut
dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek
patologik pada sel otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris.
Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila pada bayi terdapat
keadaan imaturitas, berat badan lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia dan
kelainan susunan saraf pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi.

E. Klasifikasi
1. Ikterus fisiologis
Ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga serta tidak mempunyai dasar
patologis dan tidak ada kemungkinan menjadi kernikterus. Ikterus akan menghilang
dengan sendirinya pada minggu pertama kelahiran bayi atau pada hari ke 10.
Bayi dapat diklasifikasikan pada ikterus fisiologis jika:
a.    Iktrus timbul pada hari kedua dan ketiga
b.    Kadar bilirubin indirek tidak melebihi dari 10 mg% pada bayi cukup bulan
dan 12,5 mg% pada bayi kurang bulan
c.    Peningkatan kecepatan kadar bilirubin idak melebihi 5 mg% per hari
d.   Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 1 mg%
e.    Tidak berhubungan pada keadaan patologis

2.    Ikterus patologis


Bayi dapat diklasifikasikan pada ikterus patologis jika:
a.    Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama setelah kelahiran
b.    Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada bayi cukup bulan atau 12,5 mg%
pada bayi kurang bulan
c.    Peningkatan kadar bilirubin lebih dari 5 mg% per hari. Ikterus menetap
setelah dua minggu pertama
d.   Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%
e.    Berkaitan dengan proses hemolitik
6

3. Penatalaksanaan
Hiperbilirubinemia ringan tidak memerlukan pengobatan. Bayi dianjurkan untuk
lebih banyak menyusu sehingga mempercepat pembuangan isi usus dan dapat
mengurangi penyerapan kembali bilirubin dari usus sehingga menurunkan kadar
bilirubin dalam darah. Jika kadar bilirubin sangat tinggi dianjurkan dengan terapi
tukar yaitu darah bayi ditukar dengan darah segar untuk membuang bilirubin
dalam darah bayi pada darah sebelumnya.

F. Hipotermia dan hipertermia

Hipotermia
Suhu normal pada neonatus berkisar antara 360C-37,500C pada suhu ketiak. Gejala
awal hipotermia apabila suhu <360C atau kedua kaki dan tangan teraba dingin. Bila
seluruh tubuh bayi teraba dingin, maka bayi sudah mengalami hipotermia sedang
(suhu 320C - <360C). Disebut hipotermia berat bila suhu tubuh <320C. Untuk
mengukur suhu tubuh pada hipotermia diperlukan thermometer ukuran rendah (low
reading thermometer) sampai 250C. Disamping sebagai suatu gejala, hipotermia
dapat merupakan awal penyakit yang berakhir dengan kematian.
Yang menjadi prinsip kesulitan sebagai akibat hipotermia adalah meningkatnya
konsumsi oksigen (terjadi hipoksia), terjadinya metabolik asidosis sebagai
konsekuensi glikolisis dengan akibat hipoglikemia. Hilangnya kalori tampakdengan
turunnya berat badan yang dapat ditanggulangi dengan meningkatkan intake kalori.

Etiologi dan faktor presipitasi


Prematuritas, asfiksia, sepsis, kondisi neurologil seperti meningitis dan perdarahan
cerebral, pengeringan yang tidak adekuat setelah kelahiran, eksposure suhu
lingkungan yang dingin.
7

G. Tanda-tanda klinis hipotermia :

Hipotermia sedang
Kaki teraba dingin, kemampuan menghisap lemah, tangisan lemah, kulit
berwarna tidak rata atau disebut kutis marmorata.

Hipotermia berat
Sama dengan hipotermia sedang, ditambah dengan pernapasan lambat dan tidak
teratur, bunyi jantung lambat, kadang timbul asidosis metabolic

Stadium lanjut hipotermia


Muka, ujung kaki dan tangan berwarna merah terang, bagian tubuh lainnya
pucat, kulit mengeras, merah dan timbul edema terutama pada punggung, kaki
dan tangan (sklerema)

Penanganan
Penanganan hipotermia ditujukan untuk:
a. Mencegah hipotermia
b. Mengenal bayi dengan hipotermia
c. Mengenal resiko hipotermia
d. Tindakan pada hipoermia

Hipertermia
Keadaan ini terjadi bila bayi diletakkan dekat dengan sumber panas, dalam ruangan
yang udaranya panas, terlalu banyak pakai dan selimut.

Gejala hipertermia pada bayi baru lahir:


Suhu tubuh bayi >37,50C frekuensi panas bayi lebih 60 kali permenit terdapatnya
tanda-tanda dehidrasi seperti berat badan menurun, tugor kulit kurang, jumlah urin
berkurang
8

H. Asfiksia

Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat bernapas secara
spontan dan teratur dalam 1 menit setelah lahir.
a. Faktor ibu
b. Biasanya terjadi pada bayi yang dilahirkan ibu dengan komplikasi, seperti
diabetes mellitus, preeklamsia berat, eritroblastosis fetalis, kelahiran kurang
bulan.
c. Faktor janin
d. Faktor yang terdapat pada janin atau bayi seperti adanya gangguan aliran ke
tali pusat yang menumbung atau tali pusat melilit leher.
a. Terjadinya depresi pernapasan pada bayi karena obat atau analgetik
yang diberikan pada ibu
b. Adanya gangguan tumbuh kembang intrauterin dan kelainan bawaan
(aplasia paru, atresia saluran nafas)

Asfiksia neonatus akan terjadi apabila saat lahir mengalami gangguan


pertukaran gas dan transport O2 sehingga bayi kekurangan persediaan O2 dan
kesulitan pengeluaran CO2
Pada bayi dengan asfiksia bisa terjadi sindrom gangguan napas. Aspirasi
mekonium, infeksi dan kejang merupakan komplikasi yang sering terjadi pasca
asfiksia. Pada bayi dengan asfiksia dapat pula ditemukan komplikasi lain yaitu
gangguan fungsi jantung, renjatan neonatus, gangguan fungsi ginjal, lebih
merupakan indikator maturitas tumbuh kembang bayi.
Akibat yang mungkin muncul pada bayi asfiksia secara keseluruhan
mengalami kematian 10-20%, sedangkan 20-45% dari yang hidup mengalami
kelainan neurologi, kira-kira 60%-nya dengan gejala sisa berat. Sisa normal. Gejala
sisa neurologik berupa cerebral palsy, mental retardasi, epilepsi, microceflus,
hidrocefalus dan lain-lain.
Resusitasi dengan langkah mengikuti ABC yaitu:
A: pertahankan perjalanan napas bebas, jika perlu dengan intubasi endotrakeal.
B: bangkitkan napas spontan dengan stimulasi taksil dan tekanan positif
menggunakan ambu bag and mask atau lewat pipa endotrakeal
9

C: pertahankan sirkulasi jika perlu dengan konpresi dada dan obat-obatan

Pada asfiksia ringan, berikan bantuan napas dengan oksigen 100% melalui bag and
mask selama 15-30 detik.
Pada asfiksia berat dapat terjadi syok kardiogenik. Pada keadaan ini diberikan
dopamin per infus 5-20 mg/KgBB/mnt.
Bila terdapat riwayat pemberian analgesik narkotik pada ibu hamil berika narcan 0,1
mg/KgBB dapat diberikan secara subkutan intramuskular, intravena atau melalui
pipa endotrakeal.

Pemeriksaan penunjang
Laboratorium biasanya ditemukan penurunan kadar hematokrit dan peninggian
trombosit akibat hiperaktivitas sumsum tulang
Fungsi lumbal untuk menunjukan adanya cairan spinal yang bercampur darah
disertai dengan peninggian jumlah sel darah merah dan protein, serta penurunan
glukosa. Untuk memantau berbagai perubahan yang terjadi akibat pendarahan.

1. Kejang
Kejang pada neonatus didefinisikan sebagai suatu gangguan terhadap fungsi
neurilogis seperti tingkah laku, motorik, atau fungsi otonom. Kebanyakan kejang
pada BBL timbul selama beberapa hari. Sebagian kecil dari bayi tersebut akan
mengalami kejang lanjutan dalam kehidupan kelak. Kejang pada neonatus relatif
sering dijumpai dengan manifestasi klinis yang bervariasi. Timbulnya sering
merupakan gejala awal dari gangguan neurologi dan dapat terjadi gangguan pada
kognitif dan perkembangan jangka panjang.

Ada banyak penyebab kejang pada neonatus, yaitu:


a.      Bayi tidak menangis pada waktu lahir adalah penyebab yang paling sering.
Timbul dalam 24 jam kehidupan pada kebanyakan kasus.
b.      Pendarahan otak, dapat timbul sebagai akibat dari kekurangan oksigen atau
trauma pada kepala. Pendarahan subdural yang biasanya diakibatkan oleh
trauma dapat menimbulkan kejang.
10

2.    Gangguan metabolik.

a. Kekurangan kadar gula darah (Hipoglikemia), sering timbul dengan


gangguan pertumbuhan daam kandungan dan pada bayi dengan ibu penderita
diabetes melitus (DM). Jangka waktu antara hipoglikemia dan waktu sebelum
pemberian awal pengobatan merupakan waktu timbulnya kejang.
b. Kekurangan kalsium (hipokalsemia), sering ditemukan pada bayi berat badan
lahir rendah, bayi dengan ibu penderita DM, bayi asfiksia, bayi dengan ibu
penderitqa hiperparatiroidisme.
c. Kekurangan natrium (Hiponatremia)
d. Kelebihan natrium (Hipernatremia), biasanya timbul bersamaan dengan
dehidrasi atau pemakaian bikarbonat berlebihan.
e. Kelainan metabolik lain seperti:
a. Ketergantungan piridoksin mengakibatkan kejang yang resistan
terhadap antikonvulsan. Bayi dengan kelainan ini mengalami kejang
intrauterin dan lahir dengan meconium staining.
b. Gangguan asam amino
f. Kejang pada bayi dngan gangguan asam amino sering disertai dengan
manivestasi neurologi. Hyperamonemia dan asidosis sering timbul pada
gangguan asam amino.
g. Infeksi sekunder akibat bakteri atau nonbakteri dapat timbul pada bayi
dalam kandungan, selama persalinan, atau pada periode perinatal.
h. Meningitis akibat infksi group B streptococus, escherechcoli, atau listeria
monocytogenes sering menyertai kejang selama minggu pertama kehidupan

Penatalaksanaan:
Bayi yang mengalami kejang dapat dilakukan tindakan diantaranya:
a. Memasukkan tong spatel atau sudip lidah yang telah dibungkus dengan kassa
steril pada saat bayi kejang agar jalan napas tidak tertutup oleh lidah
b. Mengurangi rangsangan pada bayi seperti cahaya
c. Memberikan pengobatan anti kunvulsan
11

d. Untuk menghindari infeksi dapat diberikan antibiotik serta perawatan tali


pusat dengan menggunakan teknik septik

3. Kelainan atau cacat bawaan

a. Labioskizis
Labioskizis adalah suatu kelainan bawaan terdapatnya celah pada bibir atau
ketidaksempurnaan penyambungan bibir selama masa perkembangan janin
dimasa kehamilan.

Faktor penyebab:
a. Faktor herediter
Faktor ini menyangkut dengan mutasi gen, kelainan kromosom pada saat
pembentukan bibir dalam masa kehamilan pada saat embrio, biasanya terjadi
pada trimester I kehamilan. Resiko lebih tinggi pada bayi yang memiliki
saudara kandung atau orang tua yang mengalami kelainan ini, dapat
diturunkan baik melewati ayah maupun ibu.
b. Faktor lingkungan
Faktor ini berkaitan dengan usia ibu, ibu mengkonsumsi obat-obatan pada
saat kehamilan seperti fenstitin, flufenamat, nutrisi ibu yang jelek pada saat
kehamilan, infeksi oleh virus rubella pada saat kehamilan, terpapar radiasi,
strees emosional yang tinggi, trauma pada trimester I kehamilan serta pada
ibu yang mengalami hyperemesis gravidarum berat.

Penanganan:
Pada bayi dengan kelainan bawaan bibir sumbing harus menjalani operasi.
Operasi dapat dilakukan jika telah memenuhi syarat, yaitu berat badan bayi lebih dari
5 kg, haemoglobin lebih dari 10 gr% serta umur harus lebih dari 10 minggu atau 3
bulan. Penanganan bayi dengan bibir sumbing melibatkan banyak multi disiplin ilmu
dan tenaga ahli diantaranya ahli bedah plasik, ahli THT, dokter gigi untuk memantau
kelainan pertumbuhan gigi, terapi untuk memanau perkembangan berbicara anak,
12

psikolog untuk mengatasi masalah psikologi anak terutama menyangkut rasa rendah
diri pada anak.
Bayi yang mengalami bibir sumbing akan mengalami gangguan fungsi berupa
kesulitan menghisap ASI, terutama jika kelainan mencapai langi-langi mulut. Jika
keadaan demikian penanganan dalam memenuhi kebutuhan ASI ibu dapat dilakukan
dengan memompa ASI terlebih dahulu, kemudian diberikan dengan sendok atau
dengan botol berlubang pada bayi dengan posisi tubuhnya ditegakkan serta
menempel pada dada ibu.

b.    Labiopalatoskizis
Labiopalatoskizis adalah suatu kelainan bawaan terdapatnya celah bibir serta pada
garis tengah palato atau ketidaksempurnaan penyambungan bibir sampai ke langit-
langit selama masa perkembangan janin dimasa kehamilan.

Faktor penyebab:
Faktor penyebab hampir sama dengan labiokizis yaiu terjadinya kegagalan pada fase
embrio dimasa kehamilan. Faktor hereditas (mutasi gen dan kromosom) serta faktor
lingkungan.

Penanganan:
Bayi akan menjalani operasi setelah memenuhi persyaratan yang sama dengan
labioskizis, serta melibatkan banyak atau multi disiplin ilmu. Pembedahan pada
palato dilakukan pada waktu 6 bulan atau 5 tahun, atau dapat juga dilakukan pada
usia 6 bulan dan 2 tahun tergantung pada derajat kecacatan awal.

4. Hydrocephalus

Hydrocephalus adalah keadaan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya


cairan serebro spinal (CSS) dengan atau penuh tekanan intrakranial yang meninggi
sehingga terjadi pelebaran ruangan tempat mengalirnya cairan serebro spinal
tersebut. (IKA FKUI, 1985)
13

Klasifikasi:
a. Hydrocephalus yang didapat secara kongenital
Merupakan hydrocephalus yang diderita bayi sejak bayi dilahirkan. Keadaan
ini mengakibatkan otak bayi terbentuk kecil pada saat lahir karena desakan
oleh banyaknya cairan didalam kepala bayi yang mengakibatkan tingginya
tekanan intrakranial sehingga pertumbuhan sel otak bayi menjadi terganggu.
b. Hydrocephalus yang didapat setelah bayi lahir
Merupakan hydrocephalus yang didapat oleh bayi setelah lahir yang
disebabkan oleh penyaki-penyakit tertentu seperti TBC yang menyerang otak.
Pada hydrocephalus yang didapat setelah lahir, pembentukan otak telah
sempurna, tetapi kemudian terjadi tekanan intrakranial sehingga pertumbuhan
dan perkembangan otak terganggu.

Penanganan:
a. Non pembedahan
Pemberian asetazolamida dan isosorbide atau furasemid untuk mengurangi
cairan serebro spinal.
b. Pembedahan
Pengangkatan yang menyebabkan obstruksi seperti neoplasma,
kistahematoma. Sebagian besar bayi dengan hydrocephalus memerlukan
pemasangan shunt. Pemasangan shunt yang bertujuan untuk mengalirkan
cairan serebro spinal yang berlebihan dari ventikel ke ruang ekstra kranial,
misal ke rongga peritonium, atrium kanan dan rongga pleura.

5. Berat badan lahir rendah (BBLR)

Bayi berat badan lahir rendah (BBLR), menurut dr. Keumal Pringgardani, SpA
adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gr. Umumnya bayi yang
normal berat badannya telah mencapai 2500 gr pada usia kehamilan sekitar 38
minggu.
Penyebab:
14

Bayi berat badan lahir rendah terjadi karena adanya gangguan pertumbuhan bayi
sewaktu dalam kandungan yang disebabkan oleh penyakit ibu, seperti adanya
kelainan plasenta, infeksi hypertensi dan keadaan-keadaan lain yang mengakibatkan
suplai makan ke bayi jadi berkurang.

Bayi berat badan lahir rendah dan penatalaksaannya terbagi atas:

Prematuritas murni
Yaitu bayi dengan berat badan lahir rendah dengan masa gestasi kurang dari 37
minggu:
a. Berat lahir kurang dari 1500 gr
Dirawat dalam inkubator, pertahankan suhu tubuh antara 36,5 – 370C. Bila
tidak ada SGNN dapat diberi minum peroral susu rendah laktosa/ ASI dengan
menghisap sendiri atau dengan pipa nasogastrik
b. Berat lahir lebih dari 1500 gr
Tanpa asfiksia, tidak ada tanda-tanda sindroma gawat napas neonatus
(SGNN) dan reflek isap baik rawat gabung dengan metode kangguru dan
langsung diberi ASI/LLM
15

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0-28 hari. Kehidupan pada
masa neonatus ini sangat rawan, karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar
bayi di luar kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Hal ini dapat dilihat dari
tingginya angka kesakitan dan angka kematian neonatus.
Beberapa keadaan neonatus dengan resiko tinggi:
a. Sindroma gawat napas
b. Hyperbilirubinemia
c. Hypotermia dan hypertermia
d. Asfiksia
e. Kejang
f. Kelainan atau cacat bawaan
g. Labioskizis dan labiopalatoskizis
h. Hydrocephalus
i. Berat badan lahir rendah (BBLR)

B.  Saran

Diharapkan pembaca dapat memperoleh manfaat dari makalah yang kami


sajikan. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca unuk perbaikan
makalah kami berikutnya.
16

DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Vivian Nanny Lia. 2013. ASUHAN NEONATUS BAYI DAN ANAK BALITA,
Salemba Medika
Wahab, Samik. 2012. Nelson Ilmu Kesehatan Anak, EGC: Jakarta
Bobak, dkk. 2005. Buku Ajar KEPERAWATAN MATERNITAS, EGC: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai