Anda di halaman 1dari 12

TUGAS ASNEO

NEONATUS DENGAN RESIKO TINGGI

HENDRIYANI
NIM 13211350
TINGKAT IIA

DOSEN PEMBIMBING:
PUTRI NELLY SYOFIAH, S.Si.T

STIKes MERCUBAKTIJAYA PADANG


PRODI D III KEBIDANAN
2014/2015

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah yang maha kuasa karena atas rahmat dan karunianya kita
dapat mengenal ilmu, pengetahuan, tidak lupa kita haturkan shalawat beserta salam atas
junjungan alam Nabi besar kita yaitu nabi Muhammad saw. Dan kami mengucapkan terimakasih
kepada ibu dosen yang telah mengajari kami ilmu yang sangat banyak, berkat ilmu itu juga kami
mampu menyelesaikan makalah ini pada waktunya.
Dalam menyusun makalah ini, kami menyadari masih banyak kekurangan karena
keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan makalah kami selanjutnya.

Padang, September 2014

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0-28 hari. Kehidupan pada masa neonatus ini
sangat rawan, karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di luar kandungan dapat
hidup sebaik-baiknya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka kesakitan dan angka kematian
neonatus. Diperkirakan 2/3 kematian bayi di bawah umur satu tahun terjadi pada masa neonatus.
Peralihan dari kehidupan intrauterine ke ekstrauterin memerlukan berbagai perubahan biokimia
dan fungsi.
Bidan sebagai tenaga kesehatan harus memiliki kesiapan untuk merujuk ibu atau bayi ke
fasilitas kesehatan rujukan secara optimal dan tepat waktu jika menghadapi penyulit. Jika bidan
lemah atau lalai dalam melakukannya, akan berakibat fatal bagi keselamatan ibu dan bayi.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apaitu neonatus dengan resiko tinggi?
2. Apa saja kategori neonatus dengan resiko tinggi?

1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa itu neonatus resiko tinggi
2. Untuk mengetahui apa saja yang termasuk kategori neonatus resiko tinggi

BAB II
PEMBAHASAN
A. Neonatus dengan resiko tinggi
Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0-28 hari. Kehidupan pada masa neonatus ini sangat
rawan, karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di luar kandungan dapat hidup
sebaik-baiknya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka kesakitan dan angka kematian
neonatus. Diperkirakan 2/3 kematian bayi di bawah umur satu tahun terjadi pada masa neonatus.
Peralihan dari kehidupan intrauterine ke ekstrauterin memerlukan berbagai perubahan biokimia
dan fungsi.
B. Beberapa keadaan bayi baru lahir dengan resiko tinggi:
1. Sindroma Gawat Napas
Kegawatan pernapasan adalah keadaan kekurangan oksigen yang terjadi dalam jangka waktu
relatif lama sehingga mengaktifkan metabolism anaerob yang menghasilkan asam laktat. Apabila
keadaan asidosis memburuk dan terjadi penurunan aliran darah ke otak maka akan terjadi
kerusakan otak dan organ lain. Selanjutnya dapat terjadi depresi pernapasan yang
dimanifestasikan dengan apneu yang memanjang dan bahkan dapat menyebabkan kematian (Yu
dan Monintja, 1997).
Kegawatan pernapasan dapat terjadi pada bayi aterm maupun pada bayi preterm, yaitu bayi
dengan berat lahir cukup maupun dengan berat lahir rendah (BBLR). Bayi dengan BBLR yang
preterm mempunyai potensi kegawatan lebih besar karena be;um maturnya fungsi organ-organ
tubuh.
Kegawatan pernapasan ini menimbulkan dampak negatif bagi tubuh bayi berupa terjadinya
kekurangan oksigen pada tubuh (hipoksia). Tubuh bayi akan beradaptasi dengan cara
mengaktifkan metabolism anaerob yang menghasilkan asam laktat.
Apabila hipoksia berlanjut, gerakan akan berhenti, denyut jantung mulai menurun dan tonus
otot neuromuskuler berkurang secara berangsur-angsur. Pada fase ini akan terjadi apneu primer.
Apabila hipoksia berlanjut, denyut jantung terus menurun, tekanan darah akan semakin menurun,
bayi tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak menunjukkan upaya pernapasan secara
spontan. Pada fase iniakan terjadi apneu sekunder dan akan terjadi kematian bila tidak segera
dilakukan resusitasi dengan pernapasan buatan (Syaifuddin, 2002).
Secara klinis keadaan apneu primer atau apneu sekunder sulit dibedakan. Hal ini berarti
bahwa dalam menghadapi bayi dengan kondisi apneu, harus dianggap bahwa bayi mengalami
apneu sekunderdan harus segera dilakukan resusitasi.
Resusitasi bertujuan memberikan ventilasi yang adekuat, pemberian oksigen dan curah
jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen ke otak, jantung dan alat vital lainnya. Tindakan
resusitasi mengikuti tahapan yang dikenal sebagai ABC Resusitasi yaitu:
A: Airway, mempertahankan saluran napas terbuka melliputi kegiatan meletakkan bayi dengan posisi
sedikit ekstensi, menghisap mulut dan hidung bayi.
B: Breathing, memberikan napas buatan meliputi kegiatan melakukan rangsang taktil untuk memulai
pernapasan, melakukan ventilasi tekanan positif dengan sungkup dan balon.
C: Circulation, mempertahankan sirkulasi (peredaran) darah meliputi kegiatan mempertahankan
sirkulasi darah dengan cara kompres dada.

Etiologi
Towel dalam Jumiarni, dkk (1995) menggolongkan penyebab kegagalan pernapasan pada
neonatus yang terdiri dari faktor ibu, faktor plasenta, faktor janin dan faktor persalinan.
Faktor ibu
Meliputi hipoksia pada ibu, usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, gravida empat
atau lebih, sosial ekonomi rendah, maupun penyakit pembuluh darah ibu yang mengganggu
pertukaran gas janin seperti hipertensi, penyakit jantung, diabetes mellitus dan lain-lain.
Faktor plasenta
Meliputi solusio plasenta, perdarahan plasenta, plasenta kecil, plasenta tipis, plasenta tida
menempel pada tempatnya.
Faktor janin atau neonatus
Meliputi tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan
lahir, gemeli, prematur, kelainan kongenital pada neonatus dan lain-lain.
Faktor persalinan
Meliputi partus lama, partus dengan tindakan dan lain-lain.

2. Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia adalah berlebihnya kadar bilirubin dalam darah lebih dari 10 mg% pada
minggu pertama yang mengakibatkan jaundice, warna kuning yang terlihat jelas pada kulit,
mukosa, sklera dan urin, serta organ lain, sedangkan pada bayi normal kadar bilirubin serum
totalnya 5mg%.
Etiologi
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh bermacam-macam keadaan. Penyebab yang tersering
ditemukan disini adalah hemolisis yang timbul akibat inkompatibilitas golongan darah ABO atau
defisiensi enzim G6PD. Hemolisis ini dapat timbul karena adanya perdarahan tertutup (sefal
hematoma, perdarahan subaponeoratik) atau inkompatilibitas golongan darah Rh. Infeksi
memegang peranan penting dakam terjadinya hiperbilirubinemia: keadaan ini terutama terjadi
pada penderita sepsis dan gastroenteritis. Beberapa faktor lain yag juga nmerupakan penyebab
hiperbilirubinemia adalah hipoksia atau anoksia, dehidrasi dan asidosis, hipoglikemia dan
polisitemia.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel
hepar yang terlalu berlebihan. Halini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran
eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin atau bayi, meningkatnya bilirubin dari
sumber lain atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan
gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukoronil transferase) atau bayi yang menderita
gangguan eksresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra atau
ekstra hepatik.
Pada derajat tertentu, bilirubin iniakan bersifat toksit dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas ini
terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut
dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak ini disebut
kernikterus atau ensefalopati biliaris.
Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila pada bayi terdapat keadaan
imaturitas, berat badan lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia dan kelainan susunan
saraf pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi.

Klasifikasi
1. Ikterus fisiologis
Ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga serta tidak mempunyai dasar patologis dan tidak
ada kemungkinan menjadi kernikterus. Ikterus akan menghilang dengan sendirinya pada minggu
pertama kelahiran bayi atau pada hari ke 10.
Bayi dapat diklasifikasikan pada ikterus fisiologis jika:
a. Iktrus timbul pada hari kedua dan ketiga
b. Kadar bilirubin indirek tidak melebihi dari 10 mg% pada bayi cukup bulan dan 12,5 mg% pada
bayi kurang bulan
c. Peningkatan kecepatan kadar bilirubin idak melebihi 5 mg% per hari
d. Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 1 mg%
e. Tidak berhubungan pada keadaan patologis
2. Ikterus patologis
Bayi dapat diklasifikasikan pada ikterus patologis jika:
a. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama setelah kelahiran
b. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada bayi cukup bulan atau 12,5 mg% pada bayi kurang bulan
c. Peningkatan kadar bilirubin lebih dari 5 mg% per hari. Ikterus menetap setelah dua minggu
pertama
d. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%
e. Berkaitan dengan proses hemolitik

Penatalaksanaan
Hiperbilirubinemia ringan tidak memerlukan pengobatan. Bayi dianjurkan untuk lebih banyak
menyusu sehingga mempercepat pembuangan isi usus dan dapat mengurangi penyerapan
kembali bilirubin dari usus sehingga menurunkan kadar bilirubin dalam darah. Jika kadar
bilirubin sangat tinggi dianjurkan dengan terapi tukar yaitu darah bayi ditukar dengan darah
segar untuk membuang bilirubin dalam darah bayi pada darah sebelumnya.

3. Hipotermia dan hipertermia


a) Hipotermia
Suhu normal pada neonatus berkisar antara 36 0C-37,500C pada suhu ketiak. Gejala awal
hipotermia apabila suhu <360C atau kedua kaki dan tangan teraba dingin. Bila seluruh tubuh bayi
teraba dingin, maka bayi sudah mengalami hipotermia sedang (suhu 32 0C - <360C). Disebut
hipotermia berat bila suhu tubuh <320C. Untuk mengukur suhu tubuh pada hipotermia diperlukan
thermometer ukuran rendah (low reading thermometer) sampai 250C. Disamping sebagai suatu
gejala, hipotermia dapat merupakan awal penyakit yang berakhir dengan kematian.
Yang menjadi prinsip kesulitan sebagai akibat hipotermia adalah meningkatnya konsumsi
oksigen (terjadi hipoksia), terjadinya metabolik asidosis sebagai konsekuensi glikolisis dengan
akibat hipoglikemia. Hilangnya kalori tampakdengan turunnya berat badan yang dapat
ditanggulangi dengan meningkatkan intake kalori.

Etiologi dan faktor presipitasi


Prematuritas, asfiksia, sepsis, kondisi neurologil seperti meningitis dan perdarahan cerebral,
pengeringan yang tidak adekuat setelah kelahiran, eksposure suhu lingkungan yang dingin.

Tanda-tanda klinis hipotermia:


a. Hipotermia sedang
Kaki teraba dingin, kemampuan menghisap lemah, tangisan lemah, kulit berwarna tidak rata atau
disebut kutis marmorata.
b. Hipotermia berat
Sama dengan hipotermia sedang, ditambah dengan pernapasan lambat dan tidak teratur, bunyi
jantung lambat, kadang timbul asidosis metabolic
c. Stadium lanjut hipotermia
Muka, ujung kaki dan tangan berwarna merah terang, bagian tubuh lainnya pucat, kulit
mengeras, merah dan timbul edema terutama pada punggung, kaki dan tangan (sklerema)
d. Penanganan
Penanganan hipotermia ditujukan untuk:
Mencegah hipotermia
Mengenal bayi dengan hipotermia
Mengenal resiko hipotermia
Tindakan pada hipoermia

b) Hipertermia
Keadaan ini terjadi bila bayi diletakkan dekat dengan sumber panas, dalam ruangan yang
udaranya panas, terlalu banyak pakai dan selimut.

Gejala hipertermia pada bayi baru lahir:


Suhu tubuh bayi >37,50C frekuensi panas bayi lebih 60 kali permenit terdapatnya tanda-tanda
dehidrasi seperti berat badan menurun, tugor kulit kurang, jumlah urin berkurang

4. Asfiksia
Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat bernapas secara spontan
dan teratur dalam 1 menit setelah lahir.

Etiologi
a. Faktor ibu
Biasanya terjadi pada bayi yang dilahirkan ibu dengan komplikasi, seperti diabetes mellitus,
preeklamsia berat, eritroblastosis fetalis, kelahiran kurang bulan.
b. Faktor janin
Faktor yang terdapat pada janin atau bayi seperti adanya gangguan aliran ke tali pusat yang
menumbung atau tali pusat melilit leher.
Terjadinya depresi pernapasan pada bayi karena obat atau analgetik yang diberikan pada ibu
Adanya gangguan tumbuh kembang intrauterin dan kelainan bawaan (aplasia paru, atresia
saluran nafas)
Asfiksia neonatus akan terjadi apabila saat lahir mengalami gangguan pertukaran gas dan
transport O2 sehingga bayi kekurangan persediaan O2 dan kesulitan pengeluaran CO2
Pada bayi dengan asfiksia bisa terjadi sindrom gangguan napas. Aspirasi mekonium,
infeksi dan kejang merupakan komplikasi yang sering terjadi pasca asfiksia. Pada bayi dengan
asfiksia dapat pula ditemukan komplikasi lain yaitu gangguan fungsi jantung, renjatan neonatus,
gangguan fungsi ginjal, lebih merupakan indikator maturitas tumbuh kembang bayi.
Akibat yang mungkin muncul pada bayi asfiksia secara keseluruhan mengalami kematian
10-20%, sedangkan 20-45% dari yang hidup mengalami kelainan neurologi, kira-kira 60%-nya
dengan gejala sisa berat. Sisa normal. Gejala sisa neurologik berupa cerebral palsy, mental
retardasi, epilepsi, microceflus, hidrocefalus dan lain-lain.
Penatalaksaan
Resusitasi dengan langkah mengikuti ABC yaitu:
A: pertahankan perjalanan napas bebas, jika perlu dengan intubasi endotrakeal.
B: bangkitkan napas spontan dengan stimulasi taksil dan tekanan positif menggunakan ambu bag
and mask atau lewat pipa endotrakeal
C: pertahankan sirkulasi jika perlu dengan konpresi dada dan obat-obatan
Pada asfiksia ringan, berikan bantuan napas dengan oksigen 100% melalui bag and mask
selama 15-30 detik.
Pada asfiksia berat dapat terjadi syok kardiogenik. Pada keadaan ini diberikan dopamin per infus
5-20 mg/KgBB/mnt.
Bila terdapat riwayat pemberian analgesik narkotik pada ibu hamil berika narcan 0,1 mg/KgBB
dapat diberikan secara subkutan intramuskular, intravena atau melalui pipa endotrakeal.
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium biasanya ditemukan penurunan kadar hematokrit dan peninggian trombosit akibat
hiperaktivitas sumsum tulang
Fungsi lumbal untuk menunjukan adanya cairan spinal yang bercampur darah disertai dengan
peninggian jumlah sel darah merah dan protein, serta penurunan glukosa. Untuk memantau
berbagai perubahan yang terjadi akibat pendarahan.
5. Kejang
Kejang pada neonatus didefinisikan sebagai suatu gangguan terhadap fungsi neurilogis
seperti tingkah laku, motorik, atau fungsi otonom. Kebanyakan kejang pada BBL timbul selama
beberapa hari. Sebagian kecil dari bayi tersebut akan mengalami kejang lanjutan dalam
kehidupan kelak. Kejang pada neonatus relatif sering dijumpai dengan manifestasi klinis yang
bervariasi. Timbulnya sering merupakan gejala awal dari gangguan neurologi dan dapat terjadi
gangguan pada kognitif dan perkembangan jangka panjang.
Ada banyak penyebab kejang pada neonatus, yaitu:
1. Bayi tidak menangis pada waktu lahir adalah penyebab yang paling sering. Timbul dalam 24 jam
kehidupan pada kebanyakan kasus.
2. Pendarahan otak, dapat timbul sebagai akibat dari kekurangan oksigen atau trauma pada kepala.
Pendarahan subdural yang biasanya diakibatkan oleh trauma dapat menimbulkan kejang.

3. Gangguan metabolik.
a. Kekurangan kadar gula darah (Hipoglikemia), sering timbul dengan gangguan pertumbuhan
daam kandungan dan pada bayi dengan ibu penderita diabetes melitus (DM). Jangka waktu
antara hipoglikemia dan waktu sebelum pemberian awal pengobatan merupakan waktu
timbulnya kejang.
b. Kekurangan kalsium (hipokalsemia), sering ditemukan pada bayi berat badan lahir rendah, bayi
dengan ibu penderita DM, bayi asfiksia, bayi dengan ibu penderitqa hiperparatiroidisme.
c. Kekurangan natrium (Hiponatremia)
d. Kelebihan natrium (Hipernatremia), biasanya timbul bersamaan dengan dehidrasi atau
pemakaian bikarbonat berlebihan.
e. Kelainan metabolik lain seperti:
Ketergantungan piridoksin mengakibatkan kejang yang resistan terhadap antikonvulsan. Bayi
dengan kelainan ini mengalami kejang intrauterin dan lahir dengan meconium staining.
Gangguan asam amino
Kejang pada bayi dngan gangguan asam amino sering disertai dengan manivestasi neurologi.
Hyperamonemia dan asidosis sering timbul pada gangguan asam amino.
4. Infeksi sekunder akibat bakteri atau nonbakteri dapat timbul pada bayi dalam kandungan, selama
persalinan, atau pada periode perinatal.
a. Infeksi bakteri
Meningitis akibat infksi group B streptococus, escherechcoli, atau listeria monocytogenes sering
menyertai kejang selama minggu pertama kehidupan
b. Infeksi non bakterial
Penyebab non bakterial seperti toxoplasmosis dan infeksi oleh herpes simpleks,
cytomegalovirus dan rubella dapat menyebabkan infeksi intrakranial dan kejang.

Penatalaksanaan:
Bayi yang mengalami kejang dapat dilakukan tindakan diantaranya:
1. Memasukkan tong spatel atau sudip lidah yang telah dibungkus dengan kassa steril pada saat
bayi kejang agar jalan napas tidak tertutup oleh lidah
2. Mengurangi rangsangan pada bayi seperti cahaya
3. Memberikan pengobatan anti kunvulsan
4. Untuk menghindari infeksi dapat diberikan antibiotik serta perawatan tali pusat dengan
menggunakan teknik septik

6. Kelainan atau cacat bawaan


a. Labioskizis
Labioskizis adalah suatu kelainan bawaan terdapatnya celah pada bibir atau ketidaksempurnaan
penyambungan bibir selama masa perkembangan janin dimasa kehamilan.

Faktor penyebab:
1) Faktor herediter
Faktor ini menyangkut dengan mutasi gen, kelainan kromosom pada saat pembentukan bibir
dalam masa kehamilan pada saat embrio, biasanya terjadi pada trimester I kehamilan. Resiko
lebih tinggi pada bayi yang memiliki saudara kandung atau orang tua yang mengalami kelainan
ini, dapat diturunkan baik melewati ayah maupun ibu.
2) Faktor lingkungan
Faktor ini berkaitan dengan usia ibu, ibu mengkonsumsi obat-obatan pada saat kehamilan seperti
fenstitin, flufenamat, nutrisi ibu yang jelek pada saat kehamilan, infeksi oleh virus rubella pada
saat kehamilan, terpapar radiasi, strees emosional yang tinggi, trauma pada trimester I kehamilan
serta pada ibu yang mengalami hyperemesis gravidarum berat.

Penanganan:
Pada bayi dengan kelainan bawaan bibir sumbing harus menjalani operasi. Operasi dapat
dilakukan jika telah memenuhi syarat, yaitu berat badan bayi lebih dari 5 kg, haemoglobin lebih
dari 10 gr% serta umur harus lebih dari 10 minggu atau 3 bulan. Penanganan bayi dengan bibir
sumbing melibatkan banyak multi disiplin ilmu dan tenaga ahli diantaranya ahli bedah plasik,
ahli THT, dokter gigi untuk memantau kelainan pertumbuhan gigi, terapi untuk memanau
perkembangan berbicara anak, psikolog untuk mengatasi masalah psikologi anak terutama
menyangkut rasa rendah diri pada anak.
Bayi yang mengalami bibir sumbing akan mengalami gangguan fungsi berupa kesulitan
menghisap ASI, terutama jika kelainan mencapai langi-langi mulut. Jika keadaan demikian
penanganan dalam memenuhi kebutuhan ASI ibu dapat dilakukan dengan memompa ASI
terlebih dahulu, kemudian diberikan dengan sendok atau dengan botol berlubang pada bayi
dengan posisi tubuhnya ditegakkan serta menempel pada dada ibu.
b. Labiopalatoskizis
Labiopalatoskizis adalah suatu kelainan bawaan terdapatnya celah bibir serta pada garis tengah
palato atau ketidaksempurnaan penyambungan bibir sampai ke langit-langit selama masa
perkembangan janin dimasa kehamilan.

Faktor penyebab:
Faktor penyebab hampir sama dengan labiokizis yaiu terjadinya kegagalan pada fase embrio
dimasa kehamilan. Faktor hereditas (mutasi gen dan kromosom) serta faktor lingkungan.

Penanganan:
Bayi akan menjalani operasi setelah memenuhi persyaratan yang sama dengan labioskizis, serta
melibatkan banyak atau multi disiplin ilmu. Pembedahan pada palato dilakukan pada waktu 6
bulan atau 5 tahun, atau dapat juga dilakukan pada usia 6 bulan dan 2 tahun tergantung pada
derajat kecacatan awal.

7. Hydrocephalus
Hydrocephalus adalah keadaan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan serebro
spinal (CSS) dengan atau penuh tekanan intrakranial yang meninggi sehingga terjadi pelebaran
ruangan tempat mengalirnya cairan serebro spinal tersebut. (IKA FKUI, 1985)

Klasifikasi:
a. Hydrocephalus yang didapat secara kongenital
Merupakan hydrocephalus yang diderita bayi sejak bayi dilahirkan. Keadaan ini mengakibatkan
otak bayi terbentuk kecil pada saat lahir karena desakan oleh banyaknya cairan didalam kepala
bayi yang mengakibatkan tingginya tekanan intrakranial sehingga pertumbuhan sel otak bayi
menjadi terganggu.
b. Hydrocephalus yang didapat setelah bayi lahir
Merupakan hydrocephalus yang didapat oleh bayi setelah lahir yang disebabkan oleh penyaki-
penyakit tertentu seperti TBC yang menyerang otak. Pada hydrocephalus yang didapat setelah
lahir, pembentukan otak telah sempurna, tetapi kemudian terjadi tekanan intrakranial sehingga
pertumbuhan dan perkembangan otak terganggu.

Penanganan:
1) Non pembedahan
Pemberian asetazolamida dan isosorbide atau furasemid untuk mengurangi cairan serebro spinal.
2) Pembedahan
Pengangkatan yang menyebabkan obstruksi seperti neoplasma, kistahematoma. Sebagian besar
bayi dengan hydrocephalus memerlukan pemasangan shunt. Pemasangan shunt yang bertujuan
untuk mengalirkan cairan serebro spinal yang berlebihan dari ventikel ke ruang ekstra kranial,
misal ke rongga peritonium, atrium kanan dan rongga pleura.

8. Berat badan lahir rendah (BBLR)


Bayi berat badan lahir rendah (BBLR), menurut dr. Keumal Pringgardani, SpA adalah bayi yang
lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gr. Umumnya bayi yang normal berat badannya telah
mencapai 2500 gr pada usia kehamilan sekitar 38 minggu.
Penyebab:
Bayi berat badan lahir rendah terjadi karena adanya gangguan pertumbuhan bayi sewaktu dalam
kandungan yang disebabkan oleh penyakit ibu, seperti adanya kelainan plasenta, infeksi
hypertensi dan keadaan-keadaan lain yang mengakibatkan suplai makan ke bayi jadi berkurang.
Bayi berat badan lahir rendah dan penatalaksaannya terbagi atas:
a. Prematuritas murni
Yaitu bayi dengan berat badan lahir rendah dengan masa gestasi kurang dari 37 minggu:
Berat lahir kurang dari 1500 gr
Dirawat dalam inkubator, pertahankan suhu tubuh antara 36,5 37 0C. Bila tidak ada SGNN
dapat diberi minum peroral susu rendah laktosa/ ASI dengan menghisap sendiri atau dengan pipa
nasogastrik
Berat lahir lebih dari 1500 gr
Tanpa asfiksia, tidak ada tanda-tanda sindroma gawat napas neonatus (SGNN) dan reflek isap
baik rawat gabung dengan metode kangguru dan langsung diberi ASI/LLM
b. Dismatur
Yaitu berat badan lahir rendah dengan masa kehamilannya atau masa gestasinya lebih dari 37
minggu:
Berat lahir kurang dari 1500 gr.
Dirawat dalam inkubator, pertahankan suhu tubuh antara 36,5 370C. Bila refleks hisap baik dan
tidak ada SGNN dan refleks hisap baik langsung diberi minum LLM/ASI peroral lebih dini (2
jam setelah lahir). Bila refleks hisap kurang diberikan minum melalui pipa nasogastrik.
Berat lahir lebih dari 1500 gr
Tanpa asfiksia, tidak ada tanda-tanda SGNN dan reflek hisap baik rawat gabung dan langsung
diberi LLM/ASI lebih dini (2 jam setelah lahir).
c. Bayi dengan masa gestasi kurang dari 37 minggu dan kecil untuk masa kehamilan
Penatalaksanaannya sama dengan bayi prematur dengan berat lahir kurang dari 1500 gr. Tindak
lanjut:
Observasi ketat TTV dan kemampuan minum serta pertambahan berat badan
Awasi komplikasi yang mungkin timbul:
Hypotermia, hypoglemia, hypokalsemia, polisitemia, hyperbilirubinea, pendarahan peri-intra
ventikuler, perdarahan paru dan enterokolitis nekrotikan dan infeksi.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0-28 hari. Kehidupan pada masa neonatus
ini sangat rawan, karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di luar kandungan dapat
hidup sebaik-baiknya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka kesakitan dan angka kematian
neonatus.
Beberapa keadaan neonatus dengan resiko tinggi:
1. Sindroma gawat napas
2. Hyperbilirubinemia
3. Hypotermia dan hypertermia
4. Asfiksia
5. Kejang
6. Kelainan atau cacat bawaan
7. Labioskizis dan labiopalatoskizis
8. Hydrocephalus
9. Berat badan lahir rendah (BBLR)

B. Saran
Diharapkan pembaca dapat memperoleh manfaat dari makalah yang kami sajikan.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca unuk perbaikan makalah kami
berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Vivian Nanny Lia. 2013. ASUHAN NEONATUS BAYI DAN ANAK BALITA, Salemba
Medika
Wahab, Samik. 2012. Nelson Ilmu Kesehatan Anak, EGC: Jakarta
Bobak, dkk. 2005. Buku Ajar KEPERAWATAN MATERNITAS, EGC: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai