Anda di halaman 1dari 44

REFLEKSI PRAKTIK JURNAL

STASE KEPERAWATAN ANAK

DI RSUP DR. KARIADI KOTA SEMARANG

OLEH :

ANGGUN JULIA SYAFITRI

P1337420920019

PRODI PROFESI NERS

JURUSAN KEPERAWATAN

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG

2021
Nama : Anggun Julia Syafitri

NIM : P1337420920019

Prodi : Profesi Ners

REFLEKTIF JURNAL

Senin, 5 April 2021

Praktek Klinik Keperawatan Anak dilaksanakan pada tanggal 5 – 24 Maret


2021. Pada hari petama saya membuat studi kasus tentang hidrocepalus. Hidrosefalus adalah
kelainan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinal dengan atau
pernah dengan tekanan intrakranial yang meninggi, sehingga terdapat pelebaran ventrikel.
Pelebaran ventrikuler ini akibat ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi cairan
serebrospinal. Hidrosefalus selalu bersifat sekunder, sebagai akibat penyakit atau kerusakan
otak. Adanya kelainan-kelainan tersebut menyebabkan kepala menjadi besar serta terjadi
pelebaran sutura-sutura dan ubun-ubun.
Kasus hidrocepalus yang saya temukan yaitu pada Anak Q umur 6 bulan yang
mengalami hidrocepalus sejak umur 2 bulan. Anak Q sudah menjalani operasi shunting yaitu
untuk membuat saluran baru antara aliran likuor (ventrikel atau lumbar) dengan kavitas
drainase (seperti peritoneum, atrium kanan, dan pleura). Saat ini anak Q dirawat karena
sering mengalami demam dan bekas operasi bagian perutnya keluar cairan sedikit darah
tercampur cairan warna kuning. Anak Q diprogramkan untuk menjalani Fluoroskopi untuk
mengetahui penyebab dari keluarnya cairan tersebut. Pada kamis tanggal 18 Maret 2021,
anak Q menjalani Fluoroskopi jam 08.00 sampai jam 12.00. Dalam pemeriksaan tersebut
anak Q dipuasakan terlebih dahulu selama 3 jam sebelum pemeriksaan, kemudian anak Q
diminta meminum air kontras 5 menit sebelum pemeriksaan. Pada kasus anak Q dicurigai
adanya komplikasi akibat operasi VP Shunt.
Berdasarkan jurnal penelitian komplikasi sering terjadi karena pemasangan VP shunt
adalah infeksi dan malfungsi. Malfungsi disebakan oleh obstruksi mekanik atau perpindahan
didalam ventrikel dari bahanbahan khusus (jaringan /eksudat) atau ujung distal dari
thrombosis sebagai akibat dari pertumbuhan. Obstruksi VP shunt sering menunjukan
kegawatan dengan manifestasi klinis peningkatan TIK yang lebih sering diikuti dengan status
neurologis buruk. Komplikasi yang sering terjadi adalah infeksi VP shunt. Infeksi umumnya
akibat dari infeksi pada saat pemasangan VP shunt. Infeksi itu meliputi septik, Endokarditis
bacterial, infeksi luka, Nefritis shunt, meningitis, dan ventrikulitis. Komplikasi VP shunt
yang serius lainnya adalah subdural hematoma yang di sebabkan oleh reduksi yang cepat
pada tekanan ntrakranial dan ukurannya. Komplikasi yang dapat terjadi adalah peritonitis
abses abdominal, perforasi organ-organ abdomen oleh kateter atau trokar (pada saat
pemasangan), fistula hernia, dan ilius.
Tindakan selanjutnya yang dapat dilakukan untuk anak Q adalah proses pembedahan
berulang untuk menangani komplikasi akibat dari pemasangan VP shut pada anak Q.

SUMBER :
Nuzulul. ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) HIDROSEFALUS. Melalui http://nuzulul-
fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35563.html. 2011.
Riawan, W. Hidrosefalus dan Kematian Sel-Sel Otak. http://immunotech2005.blogspot.com/.
2006
Saharso, D. Cerebral Palsy Diagnosis dan Tatalaksana. Continuing Education Ilmu Kesehatan
Anak XXXVI Kapita Selekta Ilmu Kesehatan Anak VI. 29-30 Juli 2006. Surabaya: FK Unair
RSU Dr. Soetome Surabaya; 2006.
Nama : Anggun Julia Syafitri

NIM : P1337420920019

Prodi : Profesi Ners

REFLEKTIF JURNAL

Selasa. 6 April 2021

Praktek Klinik Keperawatan Anak dilaksanakan pada tanggal 5 – 24 April 2021. Pada
hari ke dua saya membuat studi kasus tentang gizi buruk.
Gizi buruk adalah suatu kondisi yang ditandai dengan berat dan tinggi badan
balita/anak tersebut jauh di bawah rata-rata. Kondisi gizi buruk pada anak tidak terjadi secara
instan atau singkat. Artinya, anak yang masuk ke dalam kategori gizi buruk sudah mengalami
kekurangan berbagai zat gizi dalam jangka waktu yang sangat lama. Jika diukur
menggunakan Grafik Pertumbuhan Anak (GPA) yang mengacu pada WHO dengan berbagai
indikator pendukung, anak dengan kondisi gizi buruk memiliki kategori sendiri. Pada anak,
bisa dikatakan mengalami gizi buruk ketika hasil pengukuran indikator BB/TB untuk status
gizinya kurang dari 70 persen nilai median. Mudahnya, nilai cut off z score berada nilai pada
kurang dari -3 SD.
Kasus gizi buruk yang saya temukan adalah pada pasien An. G berusia 10 tahun
dengan diagnose medis febris, BRPN, dan gizi buruk dan sudah perawatan hari ke 4 di rumah
sakit. Kemudian untuk diagnose medis utama adalah defisit nutrisi. Pasien An.G memiliki
berat badan 10,7 kg dan tinggi badan 108 cm. An. G adalah anak pertama dari dua
bersaudara. Pasien An. G memiliki riwayat lahir premature yakni 8 bulan 0 hari yang
dilahirkan di bidan terdekat dengan berat lahir 1.2 kg dan panjang badan lahir 45 cm.
Pemberian ASI pada An. G sampai dengan usia 1,5 tahun dan imunisasi telah diberikan
lengkap. Kemudian saat dilakukan pengukuran z-score diperoleh bahwa IMT An. G adalah
9,17 yang apabila di lihat menurut tabel Z-Score maka berada pada posisi < -3 SD dengan
kategori sangat kurus. Saat dilakukan pengkajian pada nenek pasien mengatakan bahwa An.
G hidung tersumbat dan pusing, panas sudah mulai berangsur turun. Pada pagi hari pukul
07.00 kami melakukan pengukuran tanda-tanda vital dan diperoleh hasil Nadi 90x/menit, S :
36,7°C.
Menurut saya ini pengalaman yang pertama kali saya menjumpai pasien dengan gizi
buruk hingga termasuk kategori yang berada jauh di bawah nilai normal. Ketika melakukan
asuhan keperawatan pasien dengan gizi buruk pada anak adalah kondisi anak yang pendek
dan tidak tumbuh optimal sesuai dengan usianya. Pertumbuhan dan perkembangan anak yang
terhambat adalah dampak gizi buruk pada anak. Di masa pertumbuhan, aak-anak sangat
memerlukan zat protein yang diandalkan untuk membangun sel-sel tubuh dan karbohidrat
sebagai sumber energi utama tubuh. Bila tidak ada protein dan zat nutrisi lainnya, bukan tidak
mungkin pertumbuhan si kecil terhambat bahkan berhenti sebelum waktunya. Maka itu
penting bagi Anda untuk terus memantau kesehatan anak, apalagi jika ia masih dalam usia di
bawah lima tahun. Lewat mengetahui status gizinya, kita akan mengetahui apakah
perkembangan si kecil normal atau tidak.
Hal yang terjadi pada pengalaman saya merawat anak dengan gizi buruk dimana data
diperoleh dari nenek pasien An. G secara langsung yang mengalami penurunan nafsu makan,
uka memilih makanan. dan lesu. Anak menjadi lemas, lesu, dan tidak dapat bergerak aktif
karena kekurangan vitamin, mineral, dan nutrisi lainnya. Sedangkan asupan makanan yang
menurun apabila tidak ada protein dan zat nutrisi lainnya, maka sangat mudah pertumbuhan
anak terhambat bahkan berhenti sebelum waktunya. Kondisi yang terjadi pada pasien An. G
adalah keadaan yang memerlukan penanganan dan kolaborasi dari berbagai pihak baik tim
medis maupun juga keluarga sebagai support system utama dalam keberhasilan penanganan.
Seharusnya pada An. G dengan usia 10 tahun memiliki berat badan sebesar 28-32 kg dan
tinggi badan yakni139 cm.
Ketika menjumpai kasus gizi buruk ini, untuk menangani hal tersebut saya mencoba
belajar dari dokter dalam memberikan terapi medis terbaik dalam membantu meningkatkan
asupan nutrisi dan menumbuhkan nafsu makan pada An. G. Selain itu membantu mensupport
informasi kepada keluarga untuk selalu mendampingi, memotivasi dan menjaga asupan
nutrisi tinggi protein pada An. G untuk membangun sel-sel tubuh dan karbohidrat sebagai
sumber energi utama tubuh selama masa perawatan dan stabilisasi berat badan dan tinggi
badan pasien An. G.
Beberapa intervensi yang dapat dilakukan untuk masalah tersebut yaitu dengan cara
berkolaborasi multidisiplin ilmu bersama dokter, ahli gizi, tim laboratorium dan juga tim
radiologi dalam membantu mengetahui lebih lanjut kondisi pada pasien melalui pemeriksaan
penunjang yang dibutuhkan. Menurut Kemenkes. Sesuai dengan penatalaksanaannya,
Kementerian Kesehatan RI membagi penanganan gizi buruk pada anak dibagi atas 3 fase,
yakni :
a. Fase stabilisasi adalah keadaan ketika kondisi klinis dan metabolisme anak belum
sepenuhnya stabil. Dibutuhkan waktu sekitar 1-2 hari untuk memulihkannya, atau
bahkan bisa lebih tergantung dari kondisi kesehatan anak. Tujuan dari fase
stabilisasi yakni untuk memulihkan fungsi organ-organ yang terganggu serta
pencernaan anak agar kembali normal. Dalam fase ini, anak akan diberikan formula
khusus berupa F 75 atau modifikasinya, dengan rincian:
 Susu skim bubuk (25 gr)
 Gula pasir (100 gr)
 Minyak goreng (30 gr)
 Larutan elektrolit (20 ml)
 Tambahan air sampai dengan 1000 ml
Fase stabilisasi bisa dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Pemberian susu formula sedikit tapi sering
2. Pemberian susu formula setiap hari
Fase ini telah diterapkan oleh pasien An. G dimana pasien memasuki hari ke 2
dalam pemberian diit F 75 selama perawatan di rumah sakit.
Untuk menindaklanjuti terapi dan membantu memperbaiki kondisi pada pasien
An. G maka hal yang harus dilakukan selanjutnya adalah dengan mempertahankan
cara pemberian asupan nutrisi sesuai dengan panduan penatalaksaan gizi buruk pada
anak menurut Kemenkes dengan melanjutkan fase stabilisasi hingga pada fase
terakhir dalam membantu peningkatan gizi pada pasien. Penatalaksanaan kedua
penangan gizi buruk menurut Kemenkes antara lain
2. Fase transisi
Fase transisi adalah masa ketika perubahan pemberian makanan tidak
menimbulkan masalah bagi kondisi anak. Fase transisi biasanya berlangsung
selama 3-7 hari dengan pemberian susu formula khusus berupa F 100 atau
modifikasinya. Kandungan di dalam susu formula F 100 meliputi:
 Susu skim bubuk (85 gr)1wQ
 Gula pasir (50 gr)
 Minyak goreng (60 gr)
 Larutan elektrolit (20 ml)
 Tambahan air sampai dengan 1000 ml
Fase transisi bisa dilakukan dengan cara sebagai berikut:
 Pemberian formula khusus dengan frekuensi sering dan porsi kecil. Paling
tidak setiap 4 jam sekali.
 Jumlah volume yang diberikan pada 2 hari pertama (48 jam) tetap
menggunakan F 75.
 ASI tetap diberikan setelah anak menghabiskan porsi formulanya.
 Jika volume pemberian formula khusus tersebut telah tercapai, tandanya
anak sudah siap untuk masuk ke fase rehabilitasi.
3. Fase rehabilitasi
Fase rehabilitasi adalah masa ketika nafsu makan anak sudah kembali normal
dan sudah bisa diberikan makanan agak padat melalui mulut atau oral. Akan
tetapi, bila anak belum sepenuhnya bisa makan secara oral, pemberiannya bisa
dilakukan melalui selang makanan (NGT). Fase ini umumnya berlangsung
selama 2-4 minggu sampai indiktor status gizin BB/TB-nya mencapai -2 SD
dengan memberikan F 100. Dalam fase transisi, pemberian F 100 bisa
dilakukan dengan menambah volumenya setiap hari. Hal ini dilakukan sampai
saat anak tidak mampu lagi menghabiskan porsinya. F 100 merupakan energi
total yang dibutuhkan anak untuk tumbuh serta berguna dalam pemberian
makanan di tahap selanjutnya. Secara bertahap, nantinya porsi menu makanan
anak yang teksturnya padat bisa mulai ditambah dengan mengurangi
pemberian F 100.
Setelah menjalankan pengobatan yang disarankan, anak dapat dikatakan
sembuh bila BB/TB atau BB/PB sudah lebih dari -2 SD. Meski begitu, aturan
pemberian makan yang tepat tetap masih harus dijalankan. Bagi orangtua, bisa
menerapkan jadwal makan anak seperti:
 Memberikan makanan dengan porsi kecil dan sering sesuai dengan usia anak.
 Rutin membawa anak untuk kontrol tepat waktu. Pada bulan pertama sebanyak 1
kali seminggu, bulan kedua sebanyak 1 kali setiap 2 minggu, dan bulan ketiga
sampai keempat sebanyak 1 kali per bulan.

SUMBER :
https://hellosehat.com/parenting/kesehatan-anak/gizi-buruk-pada-anak/
Nama : Anggun Julia Syafitri

NIM : P1337420920019

Prodi : Profesi Ners

REFLEKTIF JURNAL

Rabu, 7 April 2021

Praktek Klinik Keperawatan Anak dilaksanakan pada tanggal 5 – 24 April


2021. Pada hari ketiga saya membuat Literature Review tentang anak dengan GEDS.

Gastroenteritis adalah muntah dan diare akibat infeksi atau peradangan pada dinding
saluran pencernaan, terutama lambung dan usus. Diare merupakan suatu keadaan di mana
pada balita frekuensi buang air besar lebih dari empat kali danpada anak lebih dari tiga kali
dengan konsistensifeses yang encer, berwarna hijau atau dapatjuga bercampur lendir dan
darah atau lendir saja. Setiap episodenya, diare akan menyebabkan kehilangan nutrisi yang
dibutuhkananak untuk tumbuh, sehingga diare merupakan penyebab utama malnutrisi
padaanak dan menjadi penyebab kematian kedua pada anak berusia dibawah 5 tahun.
(Ngastiyah, 1997 dalam Meivi, 2013). Pengobatan utama yang harus dilakukan terhadap
diare terutama dehidrasi diare adalah rehidrasi dan penggantian air serta elektrolit yang
hilang, upaya tersebut dikenal dengan Upaya Rehidrasi Oral (URO). Selain itu menurut
Depkes RI dalam mengobati dehidrasi perlu diketahui derajat keparahan dehidrasi karena
pengobatannya di golongkan berdasarkan derajat keparahan dehidrasi yaitu tanpa dehidrasi
(rencana A), dehidrasi ringan/sedang (rencana B), dan dehidrasi berat (rencana C).
(Ngastiyah, 1997 dalam Meivi, 2013)

Ini merupakan pengalaman saya yang beberapa kali menemui kasus GEDS pada anak
saat saya masih diploma IV. Yang saya rasakan saat dulu menemui kasus GEDS yaitu anak
akan kehilangan banyak cairan yang dikeluarkan melalui muntahan dan diarenya, disini saya
berfikir penatalkasanaan kasus GEDS harus sesuai dan harus cepat, sesuai dengan salah satu
penyebab dehidrasi karena ketidaksesuaian penatalaksanaan diare baik di pelayanan
kesehatan maupun dirumah. (Widoyono, 2011 dalam Meivi, 2013).

Keluhan yang dialami oleh Anak dengan GEDS yaitu muntah dan diare. Dengan
keadaan demikian sebagai praktikan yang belajar dari teori keperawatan dan buku referensi,
untuk mengatasi diare pada anak dengan memberikan terapi kolaborasi yaitu obat dan terapi
pemberian cairan. Dalam melakukan intervensi tersebut kemungkinan masalah dapat muncul
yaitu anak menangis karena tidak nyaman dan takut dengan perawat. Salah satu upaya yang
dapat dilakukan lagi untuk meluruskan persepsi ibu yang salah tentang pemenuhan cairan
adalah dengan pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan diberikan kepada ibu agar dapat
merawat anak dengan baik dalam kondisi sehat maupun sakit. Kebutuhan ibu terhadap
pendidikan kesehatan mencakup pengertian dasar tentang penyakit anak, perawatan anak
selama dirawat di rumah sakit, dan perawatan lanjutan untuk persiapan pulang (Supartini,
2004). Pendidikan Kesehatan yang di lakukan oleh ibu akan menjadi efektif dengan adanya
proses pengajaran dari perawat karena dengan proses pemberian pengetahuan, dan
keterampilan pada ibu maka dapat menurunkan terjadinya komplikasi penyakit (Annalia &
Insana Maria.2019).

Resiko dehidrasi pada anak balita menjadi lebih besar karena komposisi cairan tubuh
yang besar dan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri secara bebas. (Price, A.
Sylvia, Lorraine Mc. Carty Wilson, 2006), Dampak dari diare padabalita lebih berbahaya dari
pada orangdewasa, karena komposisi tubuh balita yanglebih banyak mengandung air
dibanding orangdewasa, jika terjadi diare balita lebih rentanmengalami dehidrasi dan
kompikasi lainyayang dapat merujuk pada malnutrisi ataupunkematian, dampak lain yaitu
kegagalan dalampertumbuhan.

Pengetahuan ibu untuk anak dengan GEDS sangat penting dan harus dipahami oleh
semua ibu-ibu. Tata laksana diare pada balita membutuhkan pengetahuan ibu karena dengan
pengetahuan yang baik maka ibu akan melakukan tata laksana diare dengan menggunakan
program lintas diare yang diadakan pemerintah. Program Pemerintah untuk mengatasi diare
salah satunya dengan mengadakan (Lintas Diare) Lima Langkah Tuntas Diare, yang terdiri
dari pemberian oralit osmolaritas rendah untuk mencegah terjadinya dehidrasi, pemberian
zinc untuk mengurangi lama dan tingkat keparahan diare, pemberian ASI yang bertujuan
untuk memberikan makanan yang kaya nutrisi pada anak dengan diare cair agar mendapatkan
kembali nafsu makan anak setelah dehidrasi di perbaiki,pemberian antibiotika hanya atas
indikasi, pemberian nasihat kepada ibu atau ibu sangat diperlukan (Widjaja, MC. 2002)

Untuk rencana selanjutnya, saya akan banyak belajar dan mencari informasi tentang
pengobatan herbal yang sudah ada literatur nya, banyak terapi non farmakologi juga yang
dapat di terapkan.

SUMBER :

Astuti, W. T., Marhamah, E., & Diniyah, N. (2019). Penerapan Terapi Inhalasi Nebulizer
Untuk Mengatasi Bersihan Jalan Napas Pada Pasien Brokopneumonia. Jurnal
Keperawatan Karya Bhakti, 5(2), 7–13.
Larasati, F., & Hargono, A. (2019). Perbedaan Risiko Pneumonia Berdasarkan Pola Asuh dan
Paparan Asap Rokok. Jurnal PROMKES, 7(2), 163.
https://doi.org/10.20473/jpk.v7.i2.2019.163-172
Nama : Anggun Julia Syafitri

NIM : P1337420920019

Prodi : Profesi Ners

REFLEKTIF JURNAL

Kamis, 8 April 2021

Praktek Klinik Keperawatan Anak dilaksanakan pada tanggal 5 – 24 April


2021. Pada hari ke empat saya membuat studi kasus tentang suspek keganasan CML.
Myelogenous leukemia kronis (CML) merupakan suatu jenis kanker yang disebabkan
oleh gangguan pada hematopoietic stem cell. CML adalah bentuk leukemia yang ditandai
dengan peningkatan dan pertumbuhan yang tak terkendali dari sel myeloid pada sumsum
tulang. CML merupakan gangguan stem sel sumsum tulang klonal, dimana ditemukan
proliferasi dari granulosit matang (neutrofil, eosinofil, dan basofil) dan prekursornya.
Keadaan ini merupakan jenis penyakit myeloproliferatif dengan translokasi kromosom yang
disebut dengan kromosom Philadelphia.
Pada kasus anak I umur 16 tahun sedang menjalani perawatan di ruang anak lantai
dasar dengan suspek keganasan CML. Anak I mengeluh lemas, mual, dan kepala terasa
berputar-putar sejak 4 bulan yang lalu secara bertahap. Klien juga pernah mimisan dan
pingsan di rumah. Hari ini klien diprogramkan untuk menjalani operasi biopsi pada sumsum
tulang belakang untuk mengetahui gambaran sumsum tulang belakang Anak F yang dicurigai
ada keganasan CML. Sebelum dilakukan program tersebut klien sempat mengalami anemia
sehingga perlu dilakukan perbaikan Hb dan KU untuk menjalani program biopsi. Saat
perbaikan Hb dan KU, anak F perlu waktu sekitar 6 hari dan sudah mendapatkan tranfusi
PRC sebanyak 8 kolf.
Berdasarkan jurnal penelitian menjelaskan bahwa manefastasi klinik untuk CML
terdiri dari :
a. Gejala hiperkatabolik: berat badan menurun, lemah, anoreksia, berkeringat pada
malam hari.
b. Splenomegali hampir selalu ada, sering massif.
c. Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan.
d. Gejala gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia akibat
pemecahan purin yang berlebihan dapat menimbulkan masalah.
e. Gangguan penglihatan dan priapismus.
f. Anemia pada fase awal sering tetapi hanya ringan dengan gambaran pucat, dispneu
dan takikardi.
g. Kadang-kadang asimtomatik, ditemukan secara kebetulan pada saat check up atau
pemeriksaan untuk penyakit lain.
Untuk program selanjutnya jika sudah keluar hasil dari biopsi maka klien akan
dipersiapkan menjalani perawatan kemoterapi untuk menghambat pertumbuhan kanker ke
bagian-bagian lainnya dalam tubuh.
SUMBER :
Hoffbrand A.V, Pettit J. E, Moss P.A.H. Leukemia mieloid kronik dan mielodisplasia.
Dalam: Mahanani Dewi Asih, editor. Kapita Selekta Hematologi, 4th edition. Jakarta:
EGC; 2005: 167-76
Ni Made Renny. 2017.Chornic Myeloid Leukemia.Denpasar:Fakultas Kedokteran Udayana
(Studi Kasus)
Nama : Anggun Julia Syafitri

NIM : P1337420920019

Prodi : Profesi Ners

REFLEKTIF JURNAL

Jumat, 9 April 2021

Praktek Klinik Keperawatan Anak dilaksanakan pada tanggal 5 – 24 April 2021. Pada
hari ke lima saya membuat studi kasus tentang osteosarcoma dextra .
Osteosarkoma merupakan keganasan sistem skeletal nonhematopoetik yang tersering
ditemukan yaitu sekitar 20% dari tumor ganas primer tulang. Osteosarkoma didefinisikan
sebagai suatu neoplasma dimana jaringan osteoid disintesis oleh sel-sel ganas. Tidak terdapat
batasan minimal dari jumlah matriks tulang yang diperlukan untuk menglasifikasikan suatu
tumor sebagai osteosarkoma. Penyebab osteosarkoma tidak diketahui, namun berbagai agen
dan status penyakit dihubungkan dengan perkembangan penyakit ini. Osteosarkoma
dipercaya berasal dari sel stem mesenkim atau sel osteoprogenitor yang mengalami gangguan
dalam jalur diferensiasi osteoblas. Beberapa studi membuktikan bahwa osteosarkoma
mempunyai cancer stem cells. Penyebab yang paling diketahui berhubungan dengan penyakit
ini ialah radiasi.
Pada kasus anak A umur 14 tahun dengan osteosarcoma dextra telah mengalami
perkembangbiakan yang cukup pesat, karena dalam waktu 2 bulan sudah menghasilkan luka
kanker yang bernanah dan berdarah serta membuang lubang yang cukup besar di bagian
lengan atasnya. Penyebab dari timbulnya penyakit ini belum diketahui lebih jelas karena
klien baru masuk ke ruangan Sabtu tanggal 20 Maret 2021 pukul 05.00. Anak A
diprogramkan melakukan beberapa pemeriksaan untuk mendapatkan terapi lanjutan. Untuk
pagi ini karena balutan lukanya sudah berbau dan merembes, maka perlu diganti agar tidak
menimbulkan infeksi. Dalam perawatan luka kanker tersebut menggunakan prinsip non steril
karena termasuk luka kotor. Saat diganti balutannya, anak A merasa kesakitan saat lukanya
dibersihkan dengan NaCL 0.9%. Luka klien berbau amis, berdarah, bernanah dan mudah
terlepas, sehingga perlu berhati-hati dalam membersihkan lukanya, cukup kassa dibasahi
dengan NaCL 0.9% kemudian dikompres dan ditutup kembali dengan kassa kering.
Prinsip perawatan luka yang diberikan sudah sesuai dengan perawatan luka modern,
dimana perawatan luka modern memperhatikan tiga tahap, yakni mencuci luka, membuang
jaringan mati, dan memilih balutan. Mencuci luka bertujuan menurunkan jumlah bakteri dan
membersihkan sisa balutan lama, debridement jaringan nekrotik atau membuang jaringan dan
sel mati dari permukaan luka. Perawatan luka konvensional harus sering mengganti kain kasa
pembalut luka, sedangkan perawatan luka modern memiliki prinsip menjaga kelembapan
luka dengan menggunakan bahan seperti hydrogel. Hydrogel berfungsi menciptakan
lingkungan luka tetap lembap, melunakkan serta menghancurkan jaringan nekrotik tanpa
merusak jaringan sehat, yang kemudian terserap ke dalam struktur gel dan terbuang bersama
pembalut (debridemen autolitik alami). Dalam metode perawatan luka modern, terdapat
beberapa manfaat yaitu perawatan luka bisa dilakukan 3-5 hari sekali/tergantung jenis luka
dan kotornya balutan, pasien merasa nyaman, perbaikan luka lebih cepat dan tidak bau, biaya
perawatan lebih rendah, mengefektifkan jam perawatan perawat di Rumah Sakit, bisa
mempertahankan kelembaban luka lebih lama (5-7hari), mendukung penyembuhan luka
menyerap eksudat dengan baik dan tidak menimbulkan nyeri pada saat ganti balutan serta
tidak bau.
Selama melakukan tindakan tidak mengalami kendala dan berjalan dengan lancar
sesuai SOP. Untuk tindakan selanjutnya program yang dijalankan adalah melakukan
pemeriksaan laborat, foto X-Ray dan ganti balut setiap hari.
SUMBER :
Maryunani. (n.d.). Perawatan Luka Modern (Modern Woundcare) Terkini Dan Terlengkap:
Sebagai Bentuk Tindakan Keperawatan Mandiri | OPAC Integrasi | Online Public Access
Catalog | Universitas Gadjah Mada. Retrieved April 23, 2020, from
http://opac.lib.ugm.ac.id/index.php?mod=bo ok_detail&sub=BookDetail&act=view&typ
=htmlext&buku_id=744988&unit_id=1
Nama : Anggun Julia Syafitri

NIM : P1337420920019

Prodi : Profesi Ners

REFLEKTIF JURNAL

Sabtu, 10 April 2021

Praktek Klinik Keperawatan Anak dilaksanakan pada tanggal 5 – 24 April 2021. Pada
hari ke enam saya membuat Literature Review tentang kasus anak yang terinfeksi virus
HIV/AIDS.
Kondisi anak terinfeksi virus HIV/AIDS menjadi isu yang sangat strategis, menurut
estimasi Word Health Organization (WHO) antara tahun 2002-2013, sebanyak 16 juta
perempuan terinfeksi HIV, 3,2 juta diantaranya adalah anak dibawah usia 15 tahun. Sebanyak
240.000 anak menderita HIV dan 700 anak terinfeksi HIV setiap harinya. Jumlah anak
meninggal karena AIDS sebanyak 190.000 anak. Menurut WHO anak di negara Asia Afrika
12,3% drop out setelah melakukan terapi ARV selama 18 bulan, 5,7% diantaranya meninggal
dunia akibat drop out. Data anak drop out terbanyak di negara Afrika Barat sebanyak 21,8%
dan 4,1% di Asia. Kasus HIV/AIDS di Indonesia terus mengalami peningkatan mulai dari
tahun 1987 sampai tahun 2014, dengan jumlah penderita HIV sebanyak 150.296 kasus,
sedangkan untuk penderita AIDS sebanyak 55.799 kasus. Batasan usia anak HIV/AIDS
menurut Departemen Kesehatan adalah 5-11 tahun.
Presentase kasus ODHA anak di Indonesia pada tahun 2013 berdasarkan kelompok
umur 5-14 tahun adalah 4493 kasus (Kemenkes RI, 2013). Penyakit HIV/AIDS pada anak,
sebagian besar terjadi akibat penularan dari ibu pada waktu kehamilan dan persalinan.
Diagnosis infeksi HIV pada bayi lebih sulit ditegakkan karena antibodi ibu kelas IgG
melewati plasenta dan dapat berada dalam sirkulasi anak selama 18 bulan. Oleh karena itu
arena itu bayi berumur dibawah 18 bulan yang mempunyai anti HIV positif belum tentu
terinfeksi HIV (Djauzi, 2003). Epidemiologi HIV/AIDS penularan HIV/AIDS terjadi melalui
cairan tubuh yang mengandung HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual
maupun heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkoba, transfusi komponen darah dan
dari ibu yang terinfeksi HIV kepada bayi yang dilahirkannya. Diagnosis HIV/AIDS pada
anak diagnosis penyakit ini dibuat berdasarkan adanya gejala serta tanda-tanda klinik dan
pemeriksaan darah serologis dan virologis. Gejala penderita AIDS dapat ringan sampai berat,
bahkan di AS ditemukan ratusan ribu orang yang dalam darahnya mengandung virus AIDS
yang menunjukkan gejala klinik. Penderita dengan gejala klinik agak ringan disebut AIDS
Related Complex (ARC).
Penderita ARC paling sedikit harus mempunyai 2 gejala klinis dan 2 kelainan
laboratorium. Kepatuhan minum obat kepatuhan adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan perilaku pasien dalam minum obat secara benar tentang dosis, frekuensi dan
waktunya. Supaya patuh, pasien dilibatkan dalam memutuskan apakah minum atau tidak,
sedangkan compliance adalah pasien mengerjakan apa yang telah diterangkan oleh dokter
atau apotekernya. Terapi ARV, data selama 5 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat
meyakinkan bahwa pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV yaitu ARV
(AntiRetroViral) bermanfaat menurunkan moebiditas dan dan mortalitas dini akibat infeksi
HIV. Orang dengan HIV/AIDS menjadi lebih sehat, dan dapat bekerja normal dan produktif.
Dukungan keluarga dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien untuk sembuh
dengan memberikan informasi tentang antiretroviral sehingga dapat mengubah perilaku
pasien menjadi lebih baik untuk mendapatkan kesehatan tubuh yang lebih optimal. Dukungan
keluarga merupakan salah satu faktor pendorong dalam Teori Lawrence Green
(Notoadmodjo, 2007). Faktor pendorong (Reinforcing factors) terwujud dalam sikap dan
perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari
perilaku masyarakat. Dalam hal ini adanya ODHA anak dalam lingkungan keluarga,
menjadikan munculnya perilaku dari anggota keluarga yang lain dengan adanya dukungan.
Dukungan berupa nasehat agar rutin melakukan terapi ARV. Hal ini mendorong perilaku
ODHA anak untuk melakukan terapi ARV, karena adanya dukungan dari orangtua maupun
keluarga (Hapsari, A.T. & Muhammad, 2017).
SUMBER :
Ernawati. 2013. Sikap Pengasuh Anak Balita Yang Terinfeksi HIV/AIDS Di Kabupaten
Temanggung dan Kudus. Jurnal Keperawatan Komunitas, 1 (1) : 62-73

Nama : Anggun Julia Syafitri

NIM : P1337420920019

Prodi : Profesi Ners

REFLEKTIF JURNAL

Senin, 12 April 2021

Praktek Klinik Keperawatan Anak dilaksanakan pada tanggal 5 – 24 April 2021. Pada
hari pertama saya membuat Literature Review tentang anak dengan luka bakar.
Luka bakar merupakan trauma yang berdampak paling berat terhadap fisik maupun
psikologis, dan mengakibatkan penderitaan sepanjang hidup seseorang, dengan angka
mortalitas dan morbiditas yang tingg. Kegawatan psikologis tersebut dapat memicu suatu
keadaan stress pasca trauma atau post traumatic stress disorder (PTSD) (Brunner dan
Suddarth, 2010). Pada beberapa negara, luka bakar masih merupakan masalah yang berat,
perawatannya masih sulit, memerlukan ketekunan dan membutuhkan biaya yang mahal serta
waktu yang lama. Perawatan yang lama pada luka bakar sering membuat pasien putus asa dan
mengalami stress, gangguan seperti ini sering menjadi penyulit terhadap kesembuhan optimal
dari pasien luka bakar. Oleh karena itu pasien luka bakar memerlukan penanganan yang
serius dari berbagai multidisiplin ilmu serta sikap dan pemahaman dari orang-orang sekitar
baik dari keluarga maupun dari tenaga kesehatan sangat penting bagi support dan penguatan
strategi koping pasien untuk menerima serta beradaptasi dalam menjalani perawatan lukanya
juga untuk mengurangi stres psikologis sehingga mempercepat mempercepat penyembuhan
luka.
Dalam proses penyembuhan luka bakar, perlambatan penyembuhan luka (delayed
healing) dapat terjadi bila sel inflamasi dan sel imunitas yang diperlukan pada fase inflamasi,
proliferasi dan maturasi tidak dapat bekerja secara optimal. Respon inflamasi dan imun
tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya stres psikologis. Pengaruh stres
psikologis dalam penyembuhan luka sebagai berikut; stres psikologis yang buruk seperti
stres, ansietas, dan depresi menunjukkan penurunan efi siensi sistem imun dan berlanjut pada
terhambatnya penyembuhan luka. Salah satu terapi nonfarmakologis untuk penanganan stres
psikologis dengan SEFT terapi. SEFT (Spiritual Emotional freedom Technique) merupakan
terapi yang mampu menurunkan stres psikologis seperti ketakutan yang berlebihan secara
signifi kan pada penderita gangguan fobia spesifik. Dengan SEFT terapi pasien menjadi
rileks dan pikiran menjadi lebih tenang. Relaksasi yang diciptakan tersebut dapat
menstimulasi hipotalamus untuk menstimulasi kelenjar pituitari menurunkan sekresi ACTH
dan diikuti dengan penurunan kadar glukokortikoid dan kortisol yang berperan dalam
mengatur respon infl amasi, respon imun, dan pengaturan kadar gula darah yang merupakan
faktor-faktor internal ini sangat berpengaruh dalam proses penyembuhan luka.
Berdasarkan hasil penelitian tentang kombinasi alternative moiusture balance dressing
dan SEFT terapi dalam meningkatkan respon adaptasi psikologis dan proses penyembuhan
luka bakar di RSUP Dr.Sardjito dan setelah dilakukan analisa serta pembahasan, maka dapat
dirumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Respon adaptasi fisiologis fungsi proteksi proses penyembuhan luka pasien luka bakar
yang diberikan kombinasi alternative moisture balance dressing dan SEFT terapi adalah
adaptif. Proses penyembuhan luka berlangsung lebih baik dan efektif dengan hasil
penyembuhan luka sebagian besar complete, pada derajat III dan derajat II sebagian besar
(87,5%) terisi jaringan granulasi dan epitelisasai antara 75 -100 % dari luas luka.
2. Respon adaptasi psikologis fungsi konsep diri physical self pasien luka bakar yang
diberikan SEFT terapi adalah adaptif, sebagai berikut:
a. Perasaan menjadi tenang dan nyaman, ikhlas dan pasrah, suka cita dan nyeri berkurang.
b. Penerimaan terhadap kondisi fisik: tidak merasa malu, tidak merasa rendah diri, ikhlas,
tidak merasa terganggu.
c. Harapan dan motivasi responden terhadap kondisi kesehatan berharap cepat sembuh,
berkumpul dengan keluarga dan dapat bekerja lagi.
Untuk rencana selanjutnya, saya akan banyak belajar dan mencari informasi tentang
pengobatan herbal yang sudah ada literatur nya, banyak terapi non farmakologi juga yang
dapat di terapkan.

SUMBER :

Lucia Anik P., E. Maria Ros.2014. Respon Adaptasi Fisiologis dan Psikologis Pasien Luka
Bakar yang Diberikan Kombinasi Alternative Moisture Balance Dressing dan Seft Terapi
di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Muhammadiyah Journal of Nursing:Yogyakarta

Yefta, Moenajat. (2003) . Luka Bakar Pengetahuan Klinis Praktis. Edisi Revisi. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI

Zainul, Anwar. (2011). Model Terapi SEFT (Spiritual Emotional Freedom – Technique)
Untuk Mengatasi Gangguan Fobia Spesifik.

Nama : Anggun Julia Syafitri

NIM : P1337420920019

Prodi : Profesi Ners

REFLEKTIF JURNAL

Selasa, 13 April 2021

Praktek Klinik Keperawatan Anak dilaksanakan pada tanggal 5 - 24 April 2021. Pada
hari kedua saya membuat Literature Review tentang anak dengan fraktur post orif.

Kemajuan teknologi saat ini membaw a dampak positif dan negatif bagi kehidupan.
Salah satu dampak negatifnya ialah sering terjadi berbagai kecelakaan. Kecelakaan kendaraan
bermotor dan kecelakaan kerja merupakan contoh kejadian yang dapat menyebabkan fraktur.
Pasien yang mengalami fraktur diperlukan penanganan yang kompeten yaitu tidak hanya
mengandalkan pengetahuan atau teknologi saja melainkan harus ditangani oleh kombinasi
pengetahuan dan juga teknologi Menurut WHO, pada tahun 2010 angka kejadian fraktur
akibat trauma mencapai 67 juta kasus. Secara nasional, angka kejadian fraktur akibat trauma
pada tahun 2011 mencapai 1,25 juta kasus sedangkan di Provinsi Jawa Timur pada tahun
2011 tercatat 67.076 ribu kasus. Menurut hasil data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2011, sebanyak 45.987 kejadian terjatuh dan yang mengalami fraktur sebanyak 1.775 orang
atau 3,8 %. Kejadian kecelakaan lalu lintas sebanyak 20.829 dan yang mengalami fraktur
sebanyak 1.770 orang atau 8,5 % serta dari 14.127 kejadian trauma benda tajam/tumpul yang
mengalami fraktur sebanyak 236 orang atau 1,7 %. Berdasarkan data di atas dapat
disimpulkan orang yang mengalami kecelakaan beresiko tinggi mengalami fraktur Prinsip
penanganan pertama pada fraktur berupa tindakan reduksi dan imobilisasi. Tindakan reduksi
dengan pembedahan disebut dengan reduksi terbuka yang dilakukan pada lebih dari 60%
kasus fraktur, sedangkan tindakan reduksi tertutup hanya dilakukan pada simple fracture dan
pada anak-anak. Imobilisasi pada penatalaksanaan fraktur merupakan tindakan untuk
mempertahankan proses reduksi sampai terjadi proses penyembuhan. Pemasangan screw dan
plate atau dikenal dengan pen merupakan dilakukan dengan prosedur pembedahan, dikenal
dengan Open Reduction and Internal Fixation (ORIF).
Alat fiksasi yang digunakan terdiri dari beberapa logam panjang yang menembus axis
tulang dan dihubungkan oleh penjepit sehingga tulang yang direduksi dijepit oleh logam
tersebut Nyeri pasca pembedahan ORIF disebabkan oleh tindakan invasif bedah yang
dilakukan. Walaupun fragmen tulang telah direduksi, tetapi manipulasi seperti pemasangan
screw dan plate menembus tulang akan menimbulkan nyeri hebat. Nyeri tersebut bersifat
akut yang berlangsung selama berjam jam hingga berhari-hari. Hal ini disebabkan oleh
berlangsungnya fase inflamasi yang disertai dengan edema jaringan. Lamanya proses
penyembuhan setelah mendapatkan penanganan dengan fiksasi internal akan berdampak pada
keterbatasan gerak yang disebabkan oleh nyeri maupun adaptasi terhadap penambahan screw
dan plate tersebut. Kondisi nyeri ini seringkali menimbulkan gangguan pada pasien baik
gangguan fisiologis maupun psikologis Kompres dingin dapat meredakan nyeri dikarenakan
kompres dingin dapat mengurangi aliran darah ke suatu bagian dan mengurangi perdarahan
edema yang diperkirakan menimbulkan efek analgetik dengan memperlambat kecepatan
hantaran saraf sehingga impuls nyeri yang mencapai otak lebih sedikit. Pemberian kompres
dingin dapat meningkatkan pelepasan endorfin yang memblok transmisi stimulus nyeri dan
juga menstimulasi serabut saraf yang memiliki diameter besar α-Beta sehingga menurunkan
transmisi impuls nyeri melalui serabut kecil α-Delta dan serabut saraf C. Nyeri yang
dirasakan setelah prosedur pembedahan dapat diatasi dengan kompres dingin. Kompres
dingin merupakan suatu terapi es yang dapat menurunkan prostaglandin yang memperkuat
sensitivitas nyeri dan subkutan lain pada tempat cedera dengan menghambat proses inflamasi.
Kompres dingin ini menggunakan handuk yang dimasukkan ke dalam es batu yang dicampur
dengan air dan meletakkannya di kulit yang dilakukan selama 5-10 menit. Secara fisiologis,
pada 10-15 menit pertama setelah pemberian kompres dingin terjadi vasokonstriksi pada
pembuluh darah. Pemberian kompres dingin dapat meningkatkan pelepasan endorfin yang
memblok transmisi stimulus nyeri dan juga menstimulasi serabut saraf yang memiliki
diameter besar α-Beta sehingga menurunkan transmisi impuls nyeri melalui serabut kecil
Delta dan serabut saraf C.
Mekanisme penurunan nyeri dengan pemberian kompres dingin berdasarkan atas teori
gate control. Teori ini menjelaskan mekanisme transmisi nyeri. Apabila masukan yang
dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Apabila
masukan yang dominan berasal dari serabut delta-A dan serabut C, maka akan membuka
pertahanan tersebut dan pasien mempersepsikan sensasi nyeri. Alur saraf desenden
melepaskan opiat endogen seperti endorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari
tubuh. Semakin tinggi kadar endorphin seseorang, semakin ringan rasa nyeri yang dirasakan.
Produksi endorphin dapat ditingkatkan melalui stimulasi kulit. Stimulasi kulit meliputi
massase, penekanan jari-jari dan pemberian kompres hangat atau dingin.
SUMBER :

Muttaqin A. Buku saku gangguan muskuloskeletal: aplikasi pada praktik klinik keperawatan.
Jakarta: EGC; 2012
Tamsuri A. Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta: EGC; 2007
World Health Organization. Statistics of road traffic accident. Geneva: UN Publications;
2011
Nama : Anggun Julia Syafitri

NIM : P1337420920019

Prodi : Profesi Ners

REFLEKTIF JURNAL

Rabu, 14 April 2021

Praktek Klinik Keperawatan Anak dilaksanakan pada tanggal 5 - 24 April 2021. Pada
hari kedua saya membuat Literature Review tentang interveni terapi nebulizer pada
pneumonia.

Pneumonia merupakan salah satupenyakit infeksi yang ditandai dengan peradangan


pada satu atau kedua paru-paru yang dapat disebabkan oleh virus, jamur, bakteri sehingga
menyebabkan berkurangnya kemampuan kantung-kantung udara untuk menyerap oksigen.
Pneumonia disebut juga sebagai “The Forgotten Killer of Children” atau pembunuh balita
yang terlupakansebagai akibat kurang perhatiannya masyarakat dalam menangani kasus
pneumonia dimana 2 dari 9 juta kematian balita di dunia telah disebabkan oleh pneumonia.
Data hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 menunjukkan proporsi angka
kematian bayi sebesar 22,23 per mil kelahiran hidup, proporsi kematian balitasebesar 26,29
per mil kelahiran hidup, meskipun hasil ini telah memenuhi target MDG’s (32 per mil
kelahiran hidup), proporsi AKB dan AKABA ini dinilai masih cukup tinggi (Kemenkes RI,
2017). Estimasi data kematian balita tahun2012-2016 menunjukkan 16% kematian balita
dikarenakan Acute Respiratory Infection. Penyakit infeksi utama pada balita yang
menyebabkan kematian masih dikarenakan penyakit pneumonia. Data global UNICEF (2018)
menunjukkan bahwa pada tahun 2016, pneumonia masih menjadi penyebab kematian balita
di Indonesia dengan menempati urutan kedua (16%) setelah preterm (19%) (Larasati &
Hargono, 2019).

Pilihan terapi pada anak dengan pneumonia terdiri dari terapi utama dan terapi
tambahan. Terapi utama meliputi terapi antibiotik dan terapi tambahan merupakan terapi
simtomatis seperti terapi analgetik, antipiretik, terapi inhalasi bronkodilator dan mukolitik.
Namun pemberian terapi inhalasi lebih efektif diberikan pada anak dengan bronkopneumonia
karena pemberian terapi inhalasibertujuan untuk memberikan efek bronkodilatasi atau
melebarkan lumen bronkus, dahak menjadi encersehingga mempermudah dikeluarkan,
menurunkan hiperaktifitas bronkus dan dapat mengatasi infeksi (Astuti et al., 2019).

Keluhan yang dialami oleh Anak dengan pneumonia yaitu batuk dan sesak. Sehingga
dapat diambil adalah diagnosa Pola Nafas tidak Efektif. Dalam melakukan intervensi terapi
nebulizer kemungkinan masalah dapat muncul yaitu anak menangis karena tidak nyaman
dengan masker yang digunakan dan anak berusaha untuk melepaskan masker secara paksa
sehingga obat yang masuk tidak efektif. Masalah yang timbul saat pemberian obat dengan
nebulizer pada Anak yaitu anak menangis karena takut dan tidak nyaman dengan masker
yang digunakan.

Terapi inhalasi adalah pemberian obat secara inhalasi (hirupan) ke dalam saluran
respiratori. Pemberian terapi inhalasi yaitu tehnik yang dilakukan dengan pemberian uap
dengan menggunakan obat Ventolin 1 ampul dan Flexotide 1 ampul. Obat Ventolin adalah
obat yang digunakan untuk membantu mengencerkan sekret yang diberikan dengan cara
diuap dan Flexotide digunakan untuk mengencerkan secret (Astuti et al., 2019). Alat
nebulizer sangat cocok untuk anak-anak dan lansia yang mengalami gangguan pada
pernapasan terutama adanya mukus yang berlebih, batuk atau pun sesak napas. Karena obat
langsung menuju saluran napas. Prinsip kerja nebulizer adalah proses mengubah obat cair
menjadi aerosol kemudian masuk kesaluran respiratori. Aerosol tersebut dihisap klien melaui
mouthpiece atau sungkup, masuk ke paru-paru untuk mengencerkan secret. Pada klien yang
batuk dan mengeluarkan lendir (plegm/slem) di paru-paru sehingga mampu mengencerkan
dahak. Pada pasien anak-anak pilek dan hidung tersumbat sehingga mampu melancarkan
saluran pernapasan, penggunaan sama dengan obat biasa 3 kali sehari atau sesuai anjuran
dokter, campuran obat menjadiuap biasanya juga obat-obatan yang memang melancarkan
napas. Penggobatan nebulizer lebih efektif dari obat-obatan diminum karena langsung dihirup
masuk ke paru-paru, dosis yang dibutuhkan lebih kecil, sehingga lebih aman (Astuti et al.,
2019).

SUMBER :
Astuti, W. T., Marhamah, E., & Diniyah, N. (2019). Penerapan Terapi Inhalasi Nebulizer
Untuk Mengatasi Bersihan Jalan Napas Pada Pasien Brokopneumonia. Jurnal
Keperawatan Karya Bhakti, 5(2), 7–13.
Larasati, F., & Hargono, A. (2019). Perbedaan Risiko Pneumonia Berdasarkan Pola Asuh dan
Paparan Asap Rokok. Jurnal PROMKES, 7(2), 163.
https://doi.org/10.20473/jpk.v7.i2.2019.163-172

Nama : Anggun Julia Syafitri

NIM : P1337420920019

Prodi : Profesi Ners

REFLEKTIF JURNAL

Kamis, 15 April 2021

Praktek Klinik Keperawatan Anak dilaksanakan pada tanggal 5 - 24 April 2021. Pada
hari kedua saya membuat Literature Review tentang termoregulasi pada anak dengan typoid.
Demam typoid atau sering disebut dengan tifus abdominalis adalah penyakit infeksi
akut pada saluran pencernaan yang berpotensi menjadi penyakit multi sistemik yang
disebabkan oleh bakteri salmonella typhi (Muttaqin, A &Kumala, S. 2010). Pada penderita
demam typoid tanda dan gejala yang sering muncul adalah demam, baik pada orang dewasa
maupun anak-anak. Demam adalah peningkatan suhu tubuh yang lebih besar dari jangkauan
normal. Pada anakanak demam merupakan suatu hal yang membuat resah orang tua, karena
dengan adanya demam atau peningkatan suhu tubuh, anak mengalami perubahan-perubahan
sikap, prilaku, nafsu makan, dan kebiasaan. Hal ini yang membuat orang tua menjadi
khawatir akan keadaan anak yang terkena demam typoid. Demam yang tidak ditangani
dengan benar, pada anak akan berisiko mengalami kejang serta kerusakan otak, otot, darah
dan ginjal bila suhu tubuh mencapai 39-410C (Marilynn, 2012).
Untuk meminimalisir kejadian demam tifoid, menurut Marni (2016) penanganan yang
dilakukan dapat berupa terapi farmakologis dan nonfarmakologis. Terapi farmakologis
meliputi pemberian antibiotik dan pemberian terapi simptomatik. Beberapa antibiotik yang
biasanya diberikan yaitu: kloramfenikol, seftriaxon, ampisilin, dll. Adapun terapi
nonfarmakologis yang dapat diberikan untuk mengontrol demam pada anak yang dapat
dilakukan dengan berbagai macam cara, salah satunya adalah kompres. Cara melakukan
kompers bisa dengan bernbagai macam cara yaitu kompres dingin, kompres hangat dan
kompres menggunakan alkohol. Dengan terapi tersebut, perawat diharapkan mampu
mengelola, mengendalikan, dan mengontrol demam pada anak yang dapat dilakukan dengan
berbagai cara, salah satunya dengan cara water tepid sponge. Menurut ( Hidayati, 2016)
Water tepid sponge adalah salah satu tindakan untuk meningkatkan kontrol kehilangan
panastubuh melalui evaporasi dan konduksi, yang biasanya dilakukan pada pasien yang
menagalami demam tinggi ( Hidayati, 2016).
Dalam studi literature yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Anak Usia Pra
Sekolah Demam Typoid dengan Ketidakefektifan Termoregulasi di Ruang Melati V Rumah
Sakit Umum Daerah Dr Soekardjo Tasikmalaya” oleh Putri Angraini tahun 2020. Dari hasil
penelitian tersebut didapatkan bahwa pemberian tepid sponge lebih efektif dalam
menurunkan suhu tubuh anak dengan demam dibandingkan dengan kompres hangat. Hal ini
disebabkan adanya seka tubuh pada teknik tersebut akan mempercepat vasodilatasi pembuluh
darah perifer di sekujur tubuh sehingga evaporasi panas dari kulit ke lingkungan sekitar akan
lebih cepat (Anggraini,2020).
Dalam perencanaan tindakan selanjutnya bagia anak dengan demam tipoid dapat
diberikan water tepid sponge daripada penggunaan kompres hangat dalam menurunkan suhu
tubuh yang tinggi.

SUMBER :
Anggraini, Putri. 2020 .Asuhan Keperawatan Pada Anak Usia Pra Sekolah Demam Typoid
dengan Ketidakefektifan Termoregulasi di Ruang Melati V Rumah Sakit Umum
Daerah Dr Soekardjo Tasikmalaya.Bandung:Universitas Bhakti Kencana
Doenges, Marilynn. 2012 . Rencana AsuhaN Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta:EGC
Hidayati, Isnaeni Nurul.2016.Asuhan Keperawatan pada An. R dengan Demam Typhoid di
Ruang Cempaka Rumah Sakit Umum Daerah Dr. R. Goeteng Taroenadibrata
Purbalingga. Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Muttaqin, Arif. (2010). Pengkajian Keperawatan: Aplikasi pada Praktik Klinik. Jakarta:
Salemba Medika.
Marni. (2016). Asuhan keperawatan anak pada penyakit tropis. Semarang: Erlangga.

Nama : Anggun Julia Syafitri

NIM : P1337420920019

Prodi : Profesi Ners

REFLEKTIF JURNAL

Jum’at, 16 April 2021

Praktek Klinik Keperawatan Anak dilaksanakan pada tanggal 5 - 24 April 2021. Pada
hari kedua saya membuat Literature Review tentang anak dengan atresia bilier.

Atresia bilier merupakan penyakit hai yang ditandai dengan sumbatan pada saluran
bilier ekstrahepatik. Kejadian atresia bilier dilaporkan antara 1:8000 sampai 1:18000
kelahiran hidup. Atresiabilier merupakan penyebab penyakit hati terminal yang merupakan
indikasi utama transplantasi hati pada anak. Gejala awal atresia bilier seringkali sulit
dibedakan dengan ikterus neonatorum fisiologis, sehingga diagnosis dan tata laksana menjadi
terlambat. Penyebab lain keterlambatan diagnosis adalah adanya beberapa diagnosis banding
sebagai penyebab hiperbilirubinemia direk yang memerlukan waktu untuk penegakan
diagnosis. Operasi Kasai ditemukan pada tahun 1959 merupakan salah satu terobosan besar
dalam pengobatan Atresia Bilier. Operasi Kasai menjadi salah satu upaya pengobatan untuk
menambah kesempatan hidup pasien Atresia Bilier.

Melalui operasi Kasai yang diikuti keberhasilan transplantasi hati, kesempatan hidup
pasien atresia bilier menjadi lebih baik. Kesintasan keseluruhan empat tahun pascaoperasi
berkisar 87,1%-89%, sedangkan kesintasan pada sepuluh tahun 66,7%. Di negara-negara
maju, pasien dengan atresia bilier umumnya dirujuk untuk menjalani operasi Kasai pada usia
kurang dari enampuluh hari. Parameter keberhasilan jangka panjang operasi Kasai ditentukan
oleh kesintasan dengan native liver, yaitu kesintasan dengan hati asli sampai pasien
meninggal atau dilakukannya transplantasi hati. Selama beberapa dekade terakhir, operasi
Kasai telah menjadi standar operasi pasien atresia bilier di seluruh dunia. Beberapa penelitian
telah memperlihatkan kesintasan pascaoperasi Kasai yang lebih baik bila dilakukan pada usia
yang lebih muda. Tata laksana untuk pasien yang berusia lebih ‘tua’ seringkali masih menjadi
perdebatan, apakah sebaiknya menjalani operasi Kasai, atau langsung menjalani transplantasi
hati. Namun transplantasi hati juga mempunyai berbagai kekurangan.
Seorang anak yang menjalani transplantasi hati harus mendapatkan obat
imunosupresif seumur hidup, yang meningkatkan risiko terkena infeksi, keganasan, dan
kerusakan multiorgan. Faktor prognostik keberhasilan operasi Kasai pada pasien yang berusia
lebih dari enampuluh hari antara lain 1) hilangnya kuning pada enam bulan pascaoperasi, 2)
kadar bilirubin total kurang dari 2 mg/dL pada usia tiga bulan, 3) kejadian kolangitis
pascaoperasi kurang dari dua kali, 4) tipe atresia bilier, tipe 1 dan 2, atau atresia bilier jenis
yang didapat. Gambaranhistologi hati sebagai faktor prognostik keberhasilan operasi Kasai
masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Perbedaan hasil penelitian Azarow KS dkk. dan
Davenport M dkk. mungkin disebabkan oleh perbedaan dalam menginterpretasikan gambaran
histologi hati. Penelitian Davenport dkk. Tidak menganalisis gambaran inflamasi lobular,
nekrosis fokal, nekrosis jembatan, maupun gambaran empedu di zona-1 yang menurut
Azarow dkk. Memberikan prognosis lebih buruk. Penelitian di Inggris dan Perancis
memperlihatkan hasil yang menarik, yaitu peran jumlah kasus yang ditangani suatu pusat
penelitian terhadap keberhasilan operasi. Pusat penelitian yang menangani lebih dari lima
sampai duapuluh kasus per tahun memperlihatkan keberhasilan operasi dan kesintasan yang
lebih tinggi
SUMBER :
Peterson C. Pathogenesis and treatment opportunities for biliary atresia. Clin Liver Dis
2006;10: 73-88.

Shneider BL, Brown MB, Haber B, Whitington PF,Schwartz K, Squires R, dkk. A


multicenter study of the outcome of biliary atresia in the United States, 1997 to 2000. J
Pediatr 2006;148:467-74.

Schreiber R, Barker CC, Roberts EA, Martin SR, Alvarez F, Smith L, dkk. Biliary atresia: the
Canadian experience. J Pediatr 2007;151:659-65.

Hung P, Chen C, Chen W, Lai H, Hsu W, Lee P, dkk. Long-term prognosis of patients with
biliary atresia: A 25 year summary. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2006;42:190-5.

Emblem R, Stake G,Monclair T. Progress in the treatment of biliary atresia: A plea for
surgical intervention within the first two months of life in infants with persistent cholestasis.
Acta Pediatr 1993;82:971-4.

Nama : Anggun Julia Syafitri

NIM : P1337420920019

Prodi : Profesi Ners

REFLEKTIF JURNAL

Sabtu, 17 April 2021

Praktek Klinik Keperawatan Anak dilaksanakan pada tanggal 5 - 24 April 2021. Pada
hari kedua saya membuat Literature Review tentang mengenai penatalaksanaan infeksi
covid19 pada anak.

Covid-19 masih menjadi masalah yang serius yang sedang dialami oleh seluruh dunia
selama setahun ini. Tingginya angka kematian masih menjadi tantang terbesar dalam
penanganan pandemi ini. Wabah Coronavirus disease 2019 (COVID-19) ditemukan pertama
kali di Wuhan, China pada tanggal 31 Desember 2019. Menyebar dengan cepat dari berbagi
provinsi di China hingga ke negara-negara lain di Dunia. Penyebaran yang cepat menjadi
masalah darurat dunia, WHO menyatakan COVID-19 sebagai salah satu penyakit dengan
status Public health emergency of international concern (PHEIC) Covid-19 dinyatakan
sebagai salah satu pandemi pada tanggal 11 Maret 2020. Sampai bulan Juni 2020 Tercatat
sekitar 8 juta kasus yang terkonfirmasi. Dengan kasus baru sejumlah 119.759, dan jumlah
kematian sebesar 440.290 kasus di dunia. Kasus pediatrik COVID-19 pertama dilaporkan di
daerah Shenzhen pada Januari 2020. Ikatan Dokter Anak Indonesia menyatakan hingga 18
Mei 2020 terdapat 584 anak terkonfirmasi positif COVID-19. 3.324 anak berstatus PDP. 129
Anak berstatus PDP meninggal, dan 14 anak meninggal akibat COVID-19.
Umumnya gejala SARS-CoV—2 yang timbul pada anak berupa gejala ringan atau
sedang, jarang ditemukan manifestasi gejala berat seperti pada orag dewasa Cui, et al, dalam
studinya mendapatkan, dari 2597 kasus anak COVID-19, 198 (7,6%) kasus asimptomatik,
1.181 (45,5%) kasus ringan, 1.079 (41,5%) kasus sedang, dan 113 (4,4%) kasus berat; 23
(0,9%) kasus kritis dan 3 (0,1%) meninggal dunia. Tidak terdapat perbedaan pada jumlah
anak laki-laki dan perempuan yang terinfeksi COVID-19.3 Manifestasinya pada neonatus,
khususnya bayi prematur, masih belum diketahui jelas. Anak yang terinfeksi dapat
asimptomatik atau muncul gejala antara lain demam (40-59%), batuk kering (43-52%),
mialgia atau lesu (5- 7%), dan gejala saluran napas atas seperti nyeri tenggorokan (20-40%),
hidung tersumbat (5- 30%), rinore (7-20%), sesak/napas cepat (12- 28%), nyeri dada (0,4%);
juga didapati gejala sistem pencernaan, yaitu rasa tidak nyaman di perut, nyeri perut, mual,
muntah (6-12%), dan diare (6-15%). Mayoritas anak mengalami manifestasi klinis yang
ringan, tanpa demam atau gejala pneumonia, dengan prognosis baik dan sembuh dalam 1-2
minggu setelah onset. Sebagian kecil kasus dapat berlanjut menjadi infeksi saluran napas
bawah. Tatalaksana anak dengan suspek COVID-19 dilakukan berdasarkan kondisi klinis.
Anak suspek COVID-19 seharusnya diisolasi di dalam satu ruangan sendiri atau isolasi
mandiri di rumah sesuai anjuran dokter. Kasus-kasus konfirmasi dapat dirawat dalam ruangan
yang sama. Kasus kritis harus segera dirawat di ruang intensif. Dalam menghadapi era
pandemi banyak hal baik sekaligus hal buruk yang dapat diilhami, hal baiknya adalah,
masyarakat lebih bisa saling concern dengan kondisi tubuhnya, serta orang-orang tersayang
disekitarnya, sedangkan hal buruknya adalah masih banyak pula masyarakat yang
menganggap penyakit covid-19 ini adalah sebuah konspirasi elit global, sehingga masyarakat
banyak yang masih menyepelekan protokol kesehatan yang sudah dicanangkan. Pencegahan
secara umum adalah peniadaan kegiatan publik yang melibatkan anak (sekolah); menerapkan
physical distancing dengan menjaga jarak 1-2 meter; dan menerapkan perilaku hidup bersih
sehat (PHBS) dengan cara: menjaga kebersihan tangan rutin, terutama sebelum memegang
mulut, hidung dan mata, serta setelah memegang instalasi publik dengan mencuci tangan
dengan air dan sabun cair serta bilas setidaknya 20 detik atau menggunakan alkohol 70-80%
handrub, menutup mulut dan hidung dengan tisu ketika bersin atau batuk, dan jika memiliki
gejala saluran napas, gunakan masker dan periksakan anak ke fasilitas kesehatan. Semoga
pandemi ini segera berlalu, dunia bisa menjadi lebih sehat kembali.
SUMBER :
World Health Organization (WHO). Novel coronavirus (2019-nCoV) situation report-1
[Internet]. 2020 January 21 [cited 2020 June 17]. Available from:
https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/situation-reports/20200121-sitrep-
1-2019-ncov.pdf?sfvrsn=20a99c10_4
World Health Organization (WHO). Rolling updates on coronavirus disease (COVID-19)
[Internet]. 2020 [cited 2020 June 17]. Available from:
https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/events-as-they-
happen
World Health Organization (WHO). Coronavirus disease 2019 (COVID-19) Situation
Report–51 [Internet]. 2020 Mar 11 [cited 2020 June 17]. Available from:
https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/situationreports/20200311-sitrep-
51-covid-19.pdf?sfvrsn=1ba62e57_10
Chang TH, Wu JL, Chang LY. Clinical characteristics and diagnostic challenges of pediatric
COVID-19: A systematic review and meta-analysis. J Formos Med Assoc.
2020;119:982-9. https://doi.org/10.1016/j.jfma.2020.04.007

Nama : Anggun Julia Syafitri

NIM : P1337420920019

Prodi : Profesi Ners

REFLEKTIF JURNAL

Senin, 19 April 2021

Praktek Klinik Keperawatan Anak dilaksanakan pada tanggal 5 - 24 April 2021. Pada
hari kedua saya membuat Literature Review tentang Muscle Pumping dalam meningkatkan
Apgar Score pada bayi baru lahir dengan Asfiksia.
Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan gawat bayi berupa kegagalan bernafas
secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan ini disertai hipoksia, hiperkapnia dan
berakhir dengan asidosis. Kondisi tersebut dapat meningkatkan Angka Kematian Bayi baru
lahir jika tidak segera ditangani. Penanganan dengan resusitasi bayi asfiksia akan lebih efektif
dengan penambahan muscle pumping atau pompa jantung. Teknik muscle pumping
merupakan salah satu tindakan untuk meningkatkan aliran balik darah vena menuju ke
jantung, yaitu untuk mengalirkan darah yang berada di ekstremitas inferior bayi menuju ke
atrium kanan sehingga terjadi sirkulasi darah yang teratur, maka berpengaruh terhadap sistem
pernafasan. Teknik muscle pumping dapat digambarkan dengan cara menggerakan kedua
kaki bayi, posisi kedua lutut dilipat menuju kearah dada bayi. Melalui teknik muscle pumping
mampu meningkatkan curah jantung dan aliran balik vena ke jantung (Intarti, Puspitasari, &
Pradani, 2016).
Pengalaman saya dalam melihat resusitasi dan muscle pumping secara langsung,
belum pernah saya alami, sehingga saya tertarik mempelajari hal tersebut melalui studi
literature dengan judul penelitian “Efektifitas Muscle Pumping dalam Meningkatkan Score
Apgar pada Bayi Baru Lahir dengan Asfiksia” oleh Wiwit Desi Intarti, Lina Puspitasari, dan
Restu Ika Pradani tahun 2016. Dalam studi literature tersebut peneliti menggunakan 40
responden bayi asfiksia dengan apgar skor <7. Studi literature tersebut menunjukan bahwa
bayi dengan tindakan resusitasi dan muscle pumping memiliki hasil 100% mengalami
kenaikan skor APGAR yang berjumlah 20 responden. Sedangkan bayi dengan tindakan
resusitasi tanpa tindakan Muscle pumping mendapatkan hasil 11 bayi asfiksia mengalami
peningkatan skor APGAR, 8 bayi asfiksia tanpa perubahan skor APGAR dan 1 bayi asfiksia
mengalami penurunan skor APGAR (Intarti et al., 2016).

Tindakan awal penangan asfiksia bayi baru lahir adalah resusitasi efektif yang
ditambah dengan muscle pumping, hal ini dilakukan agar tidak terjadi masalah dalam
beberapa hari sesudah kelahiran, yaitu kejang, apnu yang sering terjadi sesudah asfiksia berat
saat kelahiran, ketidakmampuan mengisap ASI dan tonus motorik buruk, tungkai lemas atau
kaku (spastis). Muscle pumping bermanfaat membantu adaptasi bayi baru lahir dengan cara
memperlancar aliran darah vena yang ada di ekstremitas bawah menuju ke jantung, dimana
darah yang rendah kandungan oksigen dan tinggi karbondioksida yang berasal dari sirkulasi
sistemik dihantarkan melalui vena kava inferior menuju atrium kanan melalui katup
trikuspidalis masuk ke ventrikel kanan lalu dihantarkan melalui arteri pulmonalis menuju ke
paru-paru untuk di oksigenasi kembali. Selanjutnya darah yang telah kaya oksigen akan
masuk melalui vena pulmonalis menuju atrium kiri melalui katup bikuspidalis masuk ke
ventrikel kiri untuk dihantarkan menuju sirkulasi sistemik pembuluh aorta, dan dialirkan ke
seluruh tubuh untuk kontraksi otot pernafasan, gerakan perut, dan metabolisme bayi baru
lahir lainnya (Sloane, 2003).
Metode lain yang bisa digunakan yaitu resusitasi tanpa tindakan muscle pumping,
dalam studi literature tersebut juga dapat dilihat bahwa ada 11 bayi asfiksia yang mengalami
kenaikan apgar skor. Namun untuk rencana selanjutnya lebih baik tindakan pada bayi baru
lahir dengan asfiksia lebih baik diberikan tindakan kombinasi yaitu resusitasi dan muscle
pumping, karena terbukti efektif meningkatkan apgar skor.

SUMBER :

Intarti, W. D., Puspitasari, L., & Pradani, R. I. (2016). Efektifitas Muscle Pumping Dalam
Meningkatkan Score Apgar Pada Bayi Baru Lahir Dengan Asfiksia. Jurnal Kebidanan,
8(01), 1–13. https://doi.org/10.35872/jurkeb.v8i01.195

Sloane, Ethel. Veldman James, Palupi Widyastuti. 2003. Anantomi dan Fisiologi Untuk
Pemula. Jakarta : EGC

Nama : Anggun Julia Syafitri

NIM : P1337420920019

Prodi : Profesi Ners

REFLEKTIF JURNAL

Selasa, 20 April 2021

Praktek Klinik Keperawatan Anak dilaksanakan pada tanggal 5 - 24 April 2021. Pada
hari kedua saya membuat Literature Review tentang penatalaksanaan metode kanguru untuk
mengatasi hipotermi pada bayi BBLR.

Metode kanguru (MK) ditemukan pada tahun 1983 oleh dua orang ahli neonatologi
dari Bogota, Colombia untuk mengatasi keterbatasan jumlah inkubator. Setelah dilakukan
berbagai penelitian, ternyata MK tidak hanya sekedar menggantikan peran inkubator, namun
juga memberi banyak keuntungan yang tidak bisa diberikan oleh inkubator. Metode kanguru
mampu memenuhi kebutuhan asasi BBLR dengan menyediakan situasi dan kondisi yang
mirip dengan rahim sehingga memberi peluang BBLR untuk beradaptasi dengan baik di
dunia luar. Metode kanguru dapat meningkatkan hubungan emosi ibu-bayi, menstabilkan
suhu tubuh, laju denyut jantung dan pernapasan bayi, meningkatkan pertumbuhan dan berat
badan bayi dengan lebih baik, mengurangi stres pada ibu dan bayi, mengurangi lama
menangis pada bayi, memperbaiki keadaan emosi ibu dan bayi, meningkatkan produksi ASI,
menurunkan kejadian infeksi nosokomial, dan mempersingkat masa rawat di rumah sakit
(Sari,2000).

Pengalaman saya dalam melihat metode kanguru secara langsung, belum pernah saya
alami, sehingga saya tertarik mempelajari metode kanguru melalui studi literature dengan
judul penelitian “Hubungan Pelaksanaan Perawatan Metode Kanguru (PMK) dengan
Kejadian Hipotermi pada Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)” oleh Hj. Nurlaila, Rahmawati
Shoufiah, Sri Hazanah tahun 2015. Dalam studi literature tersebut peneliti menggunakan 30
responden, dan didapatkan hasil 11 responden melakukan metode kanguru dengan baik dan
19 responden tidak menggunakan metode kanguru dengan baik. Dari hasil penelitian
menunjukan kelompok ibu yang melaksanakan PMK dengan baik memiliki rentang nilai
yang kecil dilihat dari nilai minimum dan maksimum yaitu 36,8–37,5 sementara pada
kelompok ibu yang melaksanakan PMK tidak baik memiliki rentang nilai yang lebih lebar
dilihat dari nilai minimum dan maksimum yaitu 34,5– 37,5, artinya pada kelompok ibu yang
melaksanakan PMK dengan baik suhu tubuh bayi lebih stabil dibandingkan dengan suhu
tubuh bayi pada kelompok ibu yang melaksanakan PMK tidak baik. Hasil penelitian ini
memberikan gambaran pentingnya dukungan ibu dalam melaksanakan PMK sesuai dengan
tahapan-tahapan pelaksanaan PMK sehingga bayi BBLR terhindar dari hipotermi yang dapat
berdampak pada kesakitan atau kematian bayi (Hj. Nurlaila, Rahmawati Shoufiah, 2015).

Metode lain yang bisa digunakan untuk mengatasi hipotermi pada bayi BBLR dengan
menggunakan inkubator. Inkubator merupakan alat biomedis yang dapat memberikan
kehangatan, kelembapan dan oksigen dimana seluruh lingkunganya dapat terkontrol melalui
alat tersebut. Namun, karena penggunaan inkubator memerlukan biaya yang tinggi dan
keterbatasan alatnya maka penggunaan metode kanguru bisa menjadi tindakan alternatifnya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa metode kanguru ini merupakan metode yang efektif
murah dan banyak manfaat.
Rencana selanjutnya dalam mengatasi bayi BBLR dengan hipotermi dapat
menerapkan metode kanguru sebagai salah satu alternatif tindakan ketika penggunaan
inkubator terbatas. Namun jika bayi BBLR lebih baik diberikan di inkubator karena suhu
terlalu rendah maka melakukan metode modifikasi juga diperlukan yaitu dengan melatakan
bayi pada inkubator dan penerapan metode kanguru secara selang-seling, karena metode
kanguru dapat menghubungkan kedetakan seorang ibu dan bayinya.

SUMBER :

Hj. Nurlaila1), Rahmawati Shoufiah3), S. H. (2015). Hubungan Pelaksanaan Perawatan


Metode Kanguru ( Pmk ) Dengan Kejadian Hipotermi Pada Bayi Berat Lahir Rendah
( Bblr ). III(9), 466–472.

Sari Pediatri, 2000. Perawatan Bayi Dengan Berat Lahir Rendah. Perinasia. Jakarta Suradi,
Rulina,dr, 2000. Paket Khusus Penanganan Neonatus. Perinasia.Semarang Wong, L,
Donna, 2001. Pedoman Klinis Perawatan Pediatrik. EGC. Jakarta

Nama : Anggun Julia Syafitri

NIM : P1337420920019

Prodi : Profesi Ners

REFLEKTIF JURNAL

Rabu, 21 April 2021

Praktek Klinik Keperawatan Anak dilaksanakan pada tanggal 5 - 24 April 2021. Pada
hari kedua saya membuat Literature Review tentang Penerapan Fototerapi Terhadap
Hiperbilirubin pada Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).

Hiperbilirubin merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering terjadi pada bayi
baru lahir, biasanya ditandai peningkatan total serum bilirubin dalam darah di atas 5 mg/dl,
dimana terjadi peningkatan penghancuran sel darah merah yang berkisar 80-90 dari, dan
kadar zat besi yang tinggi dalam eritrosit. Hiperbilirubin menjadi salah satu masalah yang
sering muncul pada BBLR. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi yang baru lahir
yang mempunyai berat badan lahir kurang dari 2.500 gram tanpa memandang masa
kehamilan. Penyebab terjadinya BBLR biasanya terjadi beberapa faktor, seperti faktor ibu,
faktor plasenta, faktor janin maupun faktor yang lain. Bayi berat badan lahir rendah (BBLR)
merupakan salah satu faktor utama yang berpengaruh terhadap kematian perinatal dan
neonatal. Dalam mengatasi masalah tersebut hal ini perlu dilakukan penanganan salah
satunya dengan cara melakukan penerapan fototerapi salah satu upaya untuk pengobatan pada
pasien hiperbilirubin. Fototerapi sendiri merupakan suatu terapi cahaya dalam bentuk
pengobatan untuk kulit dengan menggunakan panjang gelombang cahaya buatan dari
ultraviolet, yaitu terapi menggunakan sinar yang dapat diamati dengan bertujuan untuk
pengobatan bayi dengan hiperbilirubinemia pada neonatus. Fototerapi di rumah sakit
merupakan tindakan yang dinilai efektif untuk mencegah kadar bilirubin tak terkonjugasi
yang tinggi atau hiperbilirubinemia
Tindakan fototerapi yang dilakukan di rumah sakit pernah menjadi pengalaman saya
saat praktek klinik di Rumah Sakit saat saya masih menempuh pendidikan Sarjana. Sekarang
saya berada di ruang BBRT dan menemukan kasus bayi BBLR dengan Hiperbilirubin. Pada
kasus By. Ny. D, warna kulit By. Ny. D sebelum diberlakukan pemberian fototerapi berada di
derajat ikterus II yaitu kekuningan dari kepala, leher sampai dada. Kemudian Bayi Ny. D
dilakukan tindakan fototerapi 1x24 jam dan kemudian akan dicek kembali apakah masih ada
jaundice pada bayi tersebut. Jika masih ada jaundice maka akan diprogramkan kembali untuk
tindakan fototerapi. Hasil laboratorium menunjukkan bahwa sebelum dilakukan fototerapi
nilai bilirubin bayi Ny. D adalah Bilirubin total 10,2 nilai normalnya 0,3-1,0 mg/dl, Bilirubin
direk 0.34 normalnya 0- 0.4 mg/dl, dan Bilirubin indireknya 9.86 mg/dl dan ikterus pada
bagian mata, pipi, leher, dada, perut, lengan, dan kaki.

Berdasarkan jurnal penelitian bahwa pemberian fototerapi sangat efektif dalam


menurunkan kadar bilirubin. Uji klinis telah divalidasi kemanjuran fototerapi dalam
mengurangi hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang berlebihan, dan implementasinya telah
secara drastis membatasi penggunaan transfusi tukar (Bhutani, 2011). Efektivitas fototerapi
tergantung pada kualitas cahaya yang dipancarkan oleh lampu, intensitas cahaya (iradiasi),
luas permukaan tubuh, dan jarak antara lampu fototerapi dengan bayi (American Academy of
Pediatrics, 2004).
Rencana selanjutnya bagi bayi D setelah dilakukan fototerapi adalah menurunkan
kadar bilirubin dengan pemberian ASI yang cukup. Jika hiperbilirubinemia tidak diatasi
dengan baik, maka akan mengakibatkan kerusakan pada otak yang disebut dengan
kernikterus.

SUMBER :

American Academy of Pediatrics. 2004. ―Subcomittee on Hyperbilirubinemia. Management


of Hyperbilirubinemia in the Newborn 35 or more weeks of Gestation‖. Journal of the
American Academy of Pediatrics, Vol. 104, No.1, PP 297-316,
http://pediatrics.aappublications.org/content/114/1/297. Diakses 26 Maret 2012

Bhutani. (2011). Phototerapy Of Prevent Servere Nonatal Hyperbilirubinemia In The New


Born Infant 35 or More Weeks Gestation. Journal Of The American Academi Of
Pediatrics , 4.XWahyuningsih, T., Astuti, W. T., & Siswanto. (2020). Penerapan
Fototerapi Terhadap Hiperbilirubin pada Bayi Ny. D dengan Berat Badan Lahir Rendah
(BBLR). Jurnal Keperawatan Karya Bhakti, 6, 8–14.

Nama : Anggun Julia Syafitri

NIM : P1337420920019

Prodi : Profesi Ners

REFLEKTIF JURNAL

Kamis, 22 April 2021

Praktek Klinik Keperawatan Anak dilaksanakan pada tanggal 5 - 24 April 2021. Pada hari
kedua saya membuat Literature Review tentang interveni posisi prone pada bayi premature
dengan RDS.
Bayi prematur adalah bayi yang lahir sebelum akhir usia gestasi 37 minggu, tanpa
memperhitungkan berat badan lahir (Bherman dan Shiono 1977,dalam Bayuningsih,2011).
Kegawatan yang terjadi pada bayi prematur pada masa pertama kelahirannya adalah
Respiratory Distress Syndrome. Kegawatan nafas pada neonatus dapat menyebabkan
terjadinya henti nafas bahkan kematian, sehingga dapat meningkatkan angka morbiditas dan
mortalitas (Kosim,2014). Respiratory Distress Syndrome adalah penyakit saluran pernafasan
pada bayi premature yang disebabkan oleh belum terbentuknya surfactan. Belum
diproduksinya surfactant pada paru- paru secara sempurna mengakibatkan bayi premature
akan mengalami sesak nafas dengan frekuensi pernafasan >60x/menit, retraksi intercostal dan
cyanosis. Pada bayi premature dengan RDS ( Respiratory distress syndrome) distribusi
oksigen keseluruh tubuh akan mengalami gangguan,dapat menyebabkan hipoksia, sehingga
memerlukan suatu intervensi yang dapat digunakan untuk meningkatan distribusi oksigen.
Salah satunya adalah dengan posisi prone. Posisi prone (tengkurap)pada bayi premature dapat
meningkatkan distribusi oksigen (Herman Das,2011).
Pengalaman saya dalam melihat intervensi posisi prone pada bayi premature dengan
RDS secara langsung, belum pernah saya alami, sehingga saya tertarik mempelajari hal
tersebut melalui studi literature dengan judul penelitian “Analisis Praktik Klinik Keperawatan
pada Bayi Premature dengan Respiratory Distress Sndrome dengan Intervensi Inovasi
Pengaturan Posisi Prone terhadap Peningkatan Pertukaran Gas diruang Nicu RSUD Taman
Husada Bontang Tahun 2016” oleh Palupi Setyo H tahun 2016 . Dalam studi literature
tersebut Posisi prone dapat meningkatkan oksigen pada pasien dengan RDS. Posisi prone
dapat meningkatkan kualitas tidur dari bayi dan dapat menurunkan stress pada bayi prematur
yang menggunakan ventilator pada minggu- minggu pertama kelahiranya. Hal ini merupakan
salah satu bentuk dari konversi energi dan mendukung adaptasi bayi pada lingkungan
ektrauterin. Secara teoritis diketahui tidur adalah periode emas bagi proses pertumbuhan dan
perkembangan seorang bayi terutama bayi prematur. Kusumaningrum (2009) menjelaskan
dalam penelitiannya bahwa SPO2 pada pasien yang dilakukan posisi prone didapatkan dalam
batas yang normal dan baik, hal ini berhubungan dengan fisiologis pernafasan. Pengaturan
posisi dengan prone akan mempengaruhi perfusi oksigen. Hal ini dikarenakan perfusi paru
sangat dipengaruhi oleh postur tubuh, dan terdapat perfusi yang lebih besar dari posisi prone.
Dampak oksigenasi posisi prone pada distribusi alveolar akan lebih homogen. Peningkatan
densitas anterior paru lebih sedikit dibandingkan dengan penurunan densitas paru pada
posterior, yang mengindikasikan pahwa pada posisi supine terjadi penekanan bagian posterior
yang lebih besar. Ukuran berat paru akan mempengaruhi distribusi ulang udara
intrapulmonal. Distribusi ulang udara intrapulmonal ini berhubungan dengan tekanan
hidrostatik, sehingga pada posisi prone kemungkinan area paru dependent yang merupakan
area ventral lebih minimal untuk menjadi kolaps (Palupi Setyo H., 2016).
Metode posisi prone pada bayi premature, terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yaitu: lakukan saat bayi terjaga, bisa dilakukan selama 30 menit, atau dapat
dibagi menjadi beberapa kesempatan, awasi selama bayi dalam posisi prone, terus ajak
komunikasi bayi saat dalam posisi prone. Untuk prematur dibutuhkan waktu tiap 3 jam untuk
perubahan posisi hal ini berkaitan dengan konversi energi pada bayi prematur terutama bayi
dengan RDS, sedangkan untuk bayi yang normal tindakan perubahan posisi dapat dilakukan
selama 30 menit dengan catatan bayi dalam kondisi baik, tindakan ini tetap melibatkan ibu
atau orang tua.
Rencana selanjutnya bayi premature dengan RDS masih diperlukan tindak lanjut
dalam mengatasinya dan juga diperlukan pengawasan yang ketat terutama pada gangguan
pertukaran gas. Pemberian posisi prone menjadi salah satu tindakan alternatif dalam
peningkatan saturasi oksigen dan dapat dilakukan dengan mudah namun tetap dalam
pengawasan.

SUMBER :
Bayuningsih,R.(2011). Efektifitas penggunaan Nesting dan posisi Prone terhadap Saturasi
Oksigen dan Frekuensi Nadi Pada Bayi Prematur di Rumah Sakit Umum Daerah(RSUD)
Kota Bekasi. Tesis, FIK UI
Herman Das,et al( 2011). Effect of prone versus supine position on oxygen saturation in
patient with respiratory with respiratory distress in neonates.Pak J Med Sci 2011;
27(5):1098-1101.
Kosim,dkk(2014). Buku Ajar Neonatologi Ikatan Dokter Anak Indonesia, Badan Penerbit
IDAI.
Kusumaningrum,A.(2009). Pengaruh Posisi Pronasi terhadap saturasi Oksigenbayi yang
menggunakan ventilasi mekanis di Ruang NICU RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Depok :Universitas Indonesia.XPalupi Setyo H. (2016). Analisis Praktik Klinik
Keperawatan Pada Bayi Premature Dengan Respiratory Distresssyndrome Dengan
Intervensi Inovasi Pengaturan Posisi Prone Terhadap Peningkatan Pertukaran Gas
Diruang Nicu Rsud Taman Husada Bontang Tahun 2016. Stikes Muhammadiyah
Samarinda, (June).
Nama : Anggun Julia Syafitri

NIM : P1337420920019

Prodi : Profesi Ners

REFLEKTIF JURNAL

Jumat, 23 April 2021


Praktek Klinik Keperawatan Anak dilaksanakan pada tanggal 5 - 24 April 2021. Pada hari
kedua saya membuat Literature Review tentang pola resistensi antibiotik pada sepsis
neonatus.
Sepsis pada neonatus memerlukan penanganan dan penegakan diagnosis yang tepat
agar dapat menurunkan angka kematian. Pemeriksaan kultur darah merupakan baku emas
diagnosis sepsis neonatus, akan tetapi hasil pemeriksaan baru dapat diketahui setelah 3-5 hari.
Kultur darah dilakukan untuk mengetahui bakteri penyebab sekaligus melakukan uji
kepekaan antibiotik. Berdasarkan hasil biakan darah (hematogen) bakteri yang paling sering
menjadi penyebab infeksi yaitu Staphylococcus sp, Pseudomonas sp dan Enterobacter sp.
Bakteri-bakteri tersebut masih sensitif terhadap vancomycin, amikacin dan meropenem,
dimana vancomycin khusus digunakan untuk terapi antimikroba bakteri Gram positif.
Vancomycin menjadi antibiotik yang paling paling sensitif (khusus bakteri Gram positif)
pada tahun 2008 dan 2009. Sedangkan amikacin merupakan antibiotik yang paling sensitif
pada tahun 2010. Semua bayi yang memiliki gejala klinis sepsis dapat diberikan antibiotik
empiris, seperti gabungan ampicillin dan gentamycin atau gabungan gentamycin dan
cefotaxim sampai hasil kultur diperoleh. Pemberian terapi empiris ini dilakukan setelah
pengambilan sampel darah. Perbedaan pola kuman ini akan mempengaruhi pemilihan
antibiotik yang akan digunakan pada pasien, serta juga akan mempengaruhi prognosis dan
kemungkinan komplikasi jangka panjang yang mungkin diderita pasien (Karina & Oyong,
2015).
Pengalaman saya dalam melihat pola risestensi antibiotik pada sepsis neonatus secara
langsung, belum pernah saya alami, sehingga saya tertarik mempelajari hal tersebut melalui
studi literature dengan judul penelitian “Pola Resistensi Staphylococcus Koagulase Negatif
Terhadap Antibiotik yang diisolasi dari Kultur Darah Neonatus tersangka Sepsis di Instalasi
Perawatan Neonatus RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau Periode 01 Januari-31 Desember
2014” oleh Karina, Dewi Anggraini dan Nazardi Oyong tahun 2015. Dalam studi literature
tersebut didapatkan bahwa Staphylococcus koagulase negatif paling sensitif terhadap
vancomycin dan linezolid masing-masing sebesar 100% dan paling tidak sensitif terhadap
amoxicillin sebesar 3,5%, serta meropenem, piperacillin/ tazobactam, ceftazidim, ceftriaxone,
cefepime dan ertapenem masingmasing sebesar 19,29%. Staphlococcus koagulase negatif
merupakan flora normal di kulit, saluran pernafasan dan saluran pencernaan. Bakteri ini
dilaporkan sebagai penyebab sepsis awitan lambat tersering meskipun angka mortalitas nya
rendah. Staphylococcus koagulase negatif merupakan penyebab terbanyak bakteremia yang
berhubungan dengan penggunaan indwelling devices. Tindakan-tindakan invasif tersebut
dapat menjadi jalan masuknya kuman ini ke dalam tubuh. Staphylococcus koagulase negatif
merupakan flora normal di kulit, oleh karena itu dibutuhkan pemeriksaan di beberapa tempat
untuk mengetahui apakah bakteri ini hanya kontaminasi atau merupakan penyebab patogen.
Pada penelitian ini Staplycoccus koagulase negatif yang ditemukan tidak dapat dibedakan
antara kontaminasi atau merupakan penyebab patogen karena di Instalasi Perawatan
Neonatus RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau hanya dilakukan satu kali pemeriksaan
dengan pengambilan sampel darah di satu tempat sebanyak satu botol (Karina & Oyong,
2015).
Rencana selanjutnya yang dapat dilakukan adalah pengambilan sampel darah pada
beberapa tempat untuk dapat membedakan patogen ataupun kontaminan dari hasil kultur
yang dilakukan pada pasien yang dirawat di Instalasi Perawatan Neonatus. Kemudian,
perlunya peningkatan upaya pencegahan transmisi infeksi bakteri pada pasien Instalasi
Perawatan Neonatus untuk meminimalisir terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik
pada pasien.

SUMBER :XKarina, D. A., & Oyong, N. (2015). Pola Resistensi Staphylococcus Koagulase
Negatif Terhadap Antibiotik Yang Diisolasi Dari Kultur Darah Neonatus Tersangka
Sepsis Di Instalasi Perawatan Neonatus Rsud Arifin Achmad Provinsi Riau Periode 01
Januari-31 Desember 2014. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9),
1689–1699.

Nama : Anggun Julia Syafitri

NIM : P1337420920019
Prodi : Profesi Ners

REFLEKTIF JURNAL

Jumat, 24 April 2021

Praktek Klinik Keperawatan Anak dilaksanakan pada tanggal 5 - 24 April 2021. Pada hari
kedua saya membuat Literature Review tentang Anemia Defisiensi Besi pada anak
Secara global pemenuhan kebutuhan zat besi pada anak masih kurang, kurangnya zat
besi pada anak akan berdampak pada tumbuh kembangnya, Defisiensi besi merupakan
penyebab anemia di seluruh dunia. Diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia dan
lebih kurang 500-600 juta menderita anemia defisiensi besi. Prevalensi yang tinggi terjadi di
negara yang sedang berkembang, disebabkan kemampuan ekonomi yang terbatas, masukan
protein hewani yang rendah, dan infestasi parasit. Insiden anemia defisiensi besi di Indonesia
40,5% pada balita, 47,2% pada anak usia sekolah, 57,1% pada remaja putri, dan 50,9% pada
ibu hamil. Dee Pee, dkk pada tahun 2002 melakukan penelitian tentang prevalensi anemia
pada bayi usia 4-5 bulan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur menunjukkan 37%
bayi memiliki kadar hemoglobin di bawah 10 g/dL dan 71% memiliki kadar Hb di bawah 11
g/dL. Di negara maju seperti Amerika Serikat prevalensi defisiensi besi pada anak umur 1-2
tahun 9% dan 3% diantaranya menderita anemia. Anemia defisiensi besi adalah anemia yang
disebabkan oleh kekurangan zat besi yang dibutuhkan, untuk sintesis hemoglobin. Menurut
Dallman, anemia defisiensi besi ialah anemia akibat kekurangan zat besi sehingga konsentrasi
hemoglobin menurun di bawah 95% dari nilai hemoglobin rata-rata pada umur dan jenis
kelamin yang sama.
Defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan respon imun sehingga rentan terhadap
infeksi, gangguan gastrointestinal, gangguan kemampuan kerja fisik, gangguan kognitif dan
tingkah laku, bahkan dapat terjadi sebelum timbul gejala anemia. Selain gangguan
perkembangan, defisiensi besi juga dapat menyebabkan kelainan neurologis. Prinsip tata
laksana anemia defisiensi besi adalah mengetahui faktor penyebab dan mengatasinya serta
memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Preparat besi dapat diberikan melalui
oral atau parenteral. Pemberian per oral lebih aman, murah, dan sama khasiatnya dengan
pemberian secara parenteral. Garam ferro di dalam tubuh diabsorbsi oleh usus sekitar tiga
kali lebih baik dibandingkan garam ferri, maka preparat yang tersedia berupa ferro sulfat,
ferro glukonat, ferro fumarat. Untuk mendapatkan respon pengobatan dosis besi yang
dianjurkan 3-6 mg besi elemental/kgBB/hari diberikan dalam 2-3 dosis sehari. Dosis obat
dihitung berdasarkan kandungan besi elemental yang ada dalam garam ferro. Garam ferro
sulfat mengandung besi elemental 20%, sementara ferro fumarat mengandung 33%, dan
ferro glukonat 12% besi elemental.
Absorbsi besi yang terbaik adalah pada saat lambung kosong, diantara dua waktu
makan, namun preparat besi dapat menimbulkan efek samping pada saluran cerna. Untuk
mengatasi hal tersebut pemberian besi dapat dilakukan pada saat makan atau segera setelah
makan meskipun akan mengurangi absorbsi obat sekitar 40%-50%. Respon terapi terhadap
pemberian preparat besi dapat diamati secara klinis atau dari pemeriksaan labo- ratorium.
Evaluasi respon terhadap terapi besi dengan melihat peningkatan retikulosit dan peningkatan
hemoglobin atau hematokrit. Terjadi kenaikan retikulosit maksimal 8%-10% pada hari
kelima sampai kesepuluh terapi sesuai dengan derajat anemia, diikuti dengan pe- ningkatan
hemoglobin (rata-rata 0,25-0,4 mg/dL/hari) dan kenaikan hematokrit (rata-rata 1% per hari)
selama 7-10 hari pertama. Kadar hemoglobin kemudian akan meningkat 0,1 mg/dL/hari
sampai mencapai 11 mg/dL dalam 3-4 minggu. Bila setelah 3-4 minggu tidak ada hasil
seperti yang diharapkan, tidak dianjurkan melanjutkan pengobatan.
Namun apabila didapatkan hasil seperti yang diharapkan, pengobatan dilanjutkan
sampai 2-3 bulan setelah kadar hemoglobin kembali normal. Pemberian suplemen preparat
besi merupakan pencegahan primer di samping pemberian ASI dan tidak memberikan susu
sapi pada tahun pertama kehidupan,serta edukasi atau penyuluhan secara rutin tentang
pentingnya diet mengandung besi yang adekuat sejak bayi sampai remaja. Bayi prematur dan
bayi berat badan lahir rendah yang mendapat ASI membutuhkan suplemen besi elemental
sekitar 2 mg/kgBB/hari yang diberikan sejak umur 1 bulan. Pada bayi dengan berat badan
1000-1500 g membutuhkan 3 mg/kgBB/hari, sementara pada bayi dengan berat badan kurang
dari 1000 g membutuhkan 4 mg/kgBB/hari
SUMBER :
Dirjen Kesmas RI. Situasi gizi terkini dan penanggulangan masalah gizi di Indonesia.
Departemen Kesehatan RI, 2000 Juli

Dee Pee S, Bloem MW, Sari M, Kiess L, Yip R, Kosen S. The high prevalence of low
hemoglobin concentration among Indonesian infants aged 3-5 months is related to maternal
anemia. J Nutr 2002;132:2215-21
Dallman PR. Nutritional anemia. Dalam: Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD,
penyunting. Rudolphs pediatrics. Edisi ke-20. Connecticut: Appleton & Lange;1996.h.1176-
80

Raspati H, Reniarti L, Susanah S. Anemia defisiensi besi. Dalam: Permono HB, Sutaryo,
Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M, penyunting. Buku ajar Hematologi Onkologi
Anak. Jakarta:BP- IDAI; 2005.h.30-43.

Anda mungkin juga menyukai