Anda di halaman 1dari 120

PENERAPAN FAMILIAR AUDITORY SENSORY TRAINING

PADA TINGKAT KESADARAN PASIEN STROKE DI RUANG


ICU RUMAH SAKIT PANDANARANG BOYOLALI

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

IFFAH NUR FADZILLAH


202214053

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH SURAKARTA
2023

i
PENERAPAN FAMILIAR AUDITORY SENSORY TRAINING
PADA TINGKAT KESADARAN PASIEN STROKE DI RUANG
ICU RUMAH SAKIT PANDANARANG BOYOLALI

KARYA ILMIAH AKHIR NERS


Disusun Untuk Memperoleh Gelar Ners Pada Program Studi Profesi Ners
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas ‘Aisyiyah Surakarta

IFFAH NUR FADZILLAH


202214053

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH SURAKARTA
2023

ii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH AKHIR NERS

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Karya Ilmiah Akhir Ners dengan
Judul:

PENERAPAN FAMILIAR AUDITORY SENSORY TRAINING


PADA TINGKAT KESADARAN PASIEN STROKE DI RUANG
ICU RUMAH SAKIT PANDANARANG BOYOLALI

Yang dibuat untuk melengkapi sebagian persyaratan menjadi Ners pada Program
Studi Profesi Ners Universitas ‘Aisyiyah Surakarta, sejauh yang saya ketahui
bukan merupakan tiruan atau duplikasi dari skripsi yang sudah dipublikasikan dan
atau pernah dipakai untuk mendapatkan gelar ners di lingkungan Universitas
‘Aisyiyah Surakarta maupun di Perguruan Tinggi atau Instansi manapun. Apabila
ternyata di kemudian hari penulisan karya ilmiah akhir ners ini merupakan hasil
plagiat atau penjiplakan terhadap karya orang lain, maka saya bersedia
mempertanggungjawabkan sekaligus bersedia menerima sanksi berdasarkan
aturan tata tertib Universitas ‘Aisyiyah Surakarta.

Surakarta, 20 Juli 2023

Iffah Nur Fadzillah


202214053

iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

Sebagai civitas akademik Universitas ‘Aisyiyah Surakarta, saya yang bertanda


tangan dibawah ini:

Nama : Iffah Nur Fadzillah

NIM : 202214053

Jenis Karya : Karya Ilmiah Akhir Ners

Judul : Penerapan Familiar Auditory Sensory Training Pada


Tingkat Kesadaran Pasien Stroke di Ruang ICU Rumah
Sakit Pandanarang Boyolali

Dengan ini menyetujui dan memberikan Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-
Exclusive Royalty-Free Right) kepada Universitas ‘Aisyiyah Surakarta atas karya
ilmiah saya beserta perangkat yang ada didalamnya demi pengembangan ilmu
pengetahuan. Universitas ‘Aisyiyah Surakarta berhak menyimpan, mengalih
media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (data base), merawat
dan mempublikasikan tugas akhir saya selama masih mencantumkan nama saya
sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Surakarta

Pada tanggal : 20 Juli 2023

Yang menyatakan,

Iffah Nur Fadzillah


202214053

iv
PERSETUJUAN PEMBIMBING

v
PENGESAHAN PENGUJI

Karya Ilmiah Akhir Ners dengan judul :

PENERAPAN FAMILIAR AUDITORY SENSORY TRAINING


PADA TINGKAT KESADARAN PASIEN STROKE DI RUANG
ICU RUMAH SAKIT PANDANARANG BOYOLALI

Dibuat untuk melengkapi sebagian persyaratan menjadi Ners pada Program Studi
Profesi Ners Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas ‘Aisyiyah Surakarta.
Laporan Tugas Akhir ini telah diujikan pada sidang ujian Karya Ilmiah Akhir
Ners pada tanggal 22 Juli 2023 dan dinyatakan memenuhi syarat/sah sebagai
Karya Ilmiah Akhir Ners pada Program Studi Profesi Ners Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas ‘Aisyiyah Surakarta
Surakarta, 22 Juli 2023

Mengesahkan Penguji
a. Panggah Widodo, S.Kep., Ns., M., Kep ( )
NIP. 198112112007011005

b. Hermawati,S.Pd., S.Kep., Ns., M., Kep ( )


NIDN. 0623027702

Ketua Program Studi Profesi Ners

Norman Wijaya Gati, S.Kep., Ns., M.Kep., Sp. Kep.J


NIDN.061018601

vi
PRAKATA

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Atas Rahmat dan Ridhonya penulis
berhasil menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah Akhir Ners ini dengan judul
“Penerapan Familiar Auditory Sensory Training Pada Tingkat Kesadaran Pasien
Stroke Di Ruang ICU Rumah Sakit Pandanarang Boyolali”. Penulis menyadari
penyusunan Karya Tulis Ilmiah Akhir Ners ini tidak dapat terselesaikan tanpa
adanya bantuan dari berbagai pihak. Maka dari itu penulis mengucapkan
terimakasih atas kontribusi nyata yang diberikan kepada :
1. Ibu Riyani Wulandari, S.Kep., Ns., M.Kep selaku Rektor Universitas
‘Aisyiyah Surakarta
2. Ibu Norman Wijaya Gati, M.Kep., Ns., Sp.Kep.J selaku Ketu Program
Studi Profesi Ners
3. Ibu Eska Dwi Prajayanti, S.Kep., Ns., M.Kep selaku Koodinator Program
Profesi Ners
4. Ibu Hermawati, S.Pd., S.Kep., Ns., M.Kep selaku Pembimbing Akademik
praktik stase Karya Ilmiah Akhir Ners
5. Bapak Panggah Widodo, S.Kep., Ns., M.Kep selaku Pembimbing Klinik
sekaligus Penguji stase Karya Ilmiah Akhir Ners
6. Kedua Orang Tua dan keluarga tercinta yang telah memberikan dukungan
moril dan finansial dalam menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir Ners ini
7. Teman-teman seperjuangan Profesi Ners angkatan XIII dan khususnya
sahabat-sahabat luar kampus yang sangat membantu dan memberikan
support penulis sampai saat ini.

Penulis menyadari masih ada kelemahan dalam penyusunan Karya Ilmiah Akhir
Ners ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak. Semoga Karya Ilmiah Akhir Ners ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca.

Surakarta, 15 Juli 2023

Iffah Nur Fadzillah

vii
PENERAPAN FAMILIAR AUDITORY SENSORY TRAINING
PADANTINGKAT KESADARAN PASIEN STROKE DI RUANG ICU
RUMAH SAKIT PANDANARANG BOYOLALI
Iffah Nur Fadzillah, Panggah Widodo, Hermawati
Iffah.Nurfa@gmail.com
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas ‘Aisyiyah Surakarta

ABSTRAK
Latar belakang: Penyakit stroke dapat menyebabkan pasien mengalami kondisi
penurunan kesadaran. Pasien stroke yang mengalami penurunan kesadaran
memerlukan terapi non farmakologi sebagai terapi tambahan penunjang proses
penyembuhan yakni stimulasi sensori auditori. Salah satu intervensi stimulasi
sensori auditori yaitu berupa Familiar Auditory Sensory Training (FAST).
Tujuan : Untuk mengetahui penerapan familiar auditory sensory training pada
tingkat kesadaran pasien stroke di ruang ICU Rumah Sakit Pandanarang Boyolali.
Metode: Penerapan dilakukan dengan metode deskriptif studi kasus kepada 2
pasien stroke yang mengalami penurunan kesadaran di ICU. Instrumen : Lembar
observasi Glasgow Coma Scale (GCS). Hasil: Berdasarkan hasil penerapan yang
sudah dilakukan, terdapat perkembangan tingkat kesadaran pada pasien stroke
dengan penurunan kesadaran di ICU sesudah dilakukan penerapan familiar
auditory sensory training. Kesimpulan : Familiar Auditory Sensory Training
dapat dijadikan sebagai salah satu teknik non-farmakologis untuk meningkatkan
tingkat kesadaran pada pasien stroke yang mengalami penurunan kesadaran.

Kata kunci : Stroke, Familiar Auditory Sensory Training (FAST), Glasgow


Coma Scale (GCS), Penurunan Kesadaran

viii
APPLICATION OF FAMILIAR AUDITORY SENSORY TRAINING AT
THE LEVEL OF CONSCIOUSNESS OF STROKE PATIENTS IN THE
ICU ROOM OF PANDANARANG HOSPITAL, BOYOLALI

Iffah Nur Fadzillah, Panggah Widodo, Hermawati


Iffah.Nurfa@gmail.com
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas ‘Aisyiyah Surakarta

ABSTRACT
Background: Stroke can cause patients to experience a state of decreased
consciousness. Stroke patients who experience decreased consciousness require
non-pharmacological therapy as additional therapy to support the healing process,
namely auditory sensory stimulation. One of the auditory sensory stimulation
interventions is in the form of Familiar Auditory Sensory Training (FAST)..
Objective: To determine the application of familiar auditory sensory training on
the level of consciousness of stroke patients in the ICU room of Pandanarang
Boyolali Hospital. Methods: The application was carried out using a case study
descriptive method to 2 stroke patients who experienced decreased consciousness
in the ICU. Instrument: Glasgow Coma Scale (GCS) observation sheet. Results:
Based on the results of the implementation that has been carried out, there is an
increase in the level of consciousness in stroke patients with decreased
consciousness in the ICU after implementing familiar auditory sensory training.
Conclusion: Familiar Auditory Sensory Training can be used as a non-
pharmacological technique to increase the level of consciousness in stroke
patients who experience decreased consciousness.

Keywords : Stroke, Familiar Auditory Sensory Training (FAST), Glasgow Coma


Scale (GCS), Decreased Consciousness

ix
DAFTAR ISI
SAMPUL LUAR.....................................................................................................i
SAMPUL DALAM................................................................................................ii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH AKHIR NERS....................iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...............................................iv
PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................................................v
PENGESAHAN PENGUJI..................................................................................vi
PRAKATA............................................................................................................vii
ABSTRAK...........................................................................................................viii
ABSTRACT...........................................................................................................ix
DAFTAR ISI...........................................................................................................x
DAFTAR TABEL...............................................................................................xiii
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................xiv
DAFTAR SINGKATAN......................................................................................xv
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................3
C. Tujuan..............................................................................................................3
1. Tujuan Umum............................................................................................3
2. Tujuan Khusus...........................................................................................3
D. Manfaat............................................................................................................3
BAB II TINJAUAN TEORI.................................................................................5
A. Anatomi Fisiologis Sistem Syaraf..................................................................5
B. Konsep Stroke...............................................................................................10
1. Pengertian................................................................................................10
2. Klasifikasi................................................................................................11
3. Etiologi....................................................................................................11
4. Faktor Risiko...........................................................................................12
5. Pathway...................................................................................................17
6. Tanda dan Gejala.....................................................................................18
7. Komplikasi...............................................................................................19

x
8. Penatalaksanaan.......................................................................................20
C. Tingkat Kesadaran.......................................................................................21
1. Pengertian................................................................................................21
2. Etiologi....................................................................................................22
3. Pemeriksaan Neurologis..........................................................................23
D. Konsep Familiar Auditory Sensory Training (FAST).................................27
1. Pengertian................................................................................................27
2. Tujuan Familiar Auditory Sensory Training (FAST)..............................28
3. Tahapan Prosedur Familiar Auditory Sensory Training (FAST)............28
E. Konsep Asuhan Keperawatan.....................................................................31
1. Pengkajian...............................................................................................31
2. Keluhan Utama........................................................................................31
3. Primary Survey........................................................................................32
4. Pemeriksaan Sistem Tubuh.....................................................................33
5. Pemeriksaan Penunjang...........................................................................35
6. Diagnosa Keperawatan............................................................................37
7. Intervensi Keperawatan...........................................................................38
BAB III METODE PENERAPAN DAN GAMBARAN KASUS....................42
A. Rancangan Penerapan..................................................................................42
B. Subyek Penerapan........................................................................................42
C. Gambaran Kasus..........................................................................................43
D. Definisi Operasional......................................................................................49
E. Tempat dan Waktu Penerapan....................................................................49
F. Pengumpulan Data........................................................................................49
G. Cara Pengolahan Data..................................................................................50
H. Etika Penerapan............................................................................................57
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................53
A. Hasil Penerapan............................................................................................53
1. Gambaran Lokasi Penerapan...................................................................53
2. Hasil Penerapan.......................................................................................53
B. Pembahasan...................................................................................................56

xi
1. Tingkat Kesadaran Sebelum Diberikan Intervensi Familiar Auditory
Sensory Training Pada Pasien Stroke Di Ruang ICU Rumah Sakit
Pandanarang Boyolali................................................................................56
2. Tingkat Kesadaran Sesudah Diberikan Intervensi Familiar Auditory
Sensory Training Pada Pasien Stroke Di Ruang ICU Rumah Sakit
Pandanarang Boyolali................................................................................57
3. Perkembangan Tingkat Kesadaran Pasien Stroke Sebelum dan Sesudah
Diberikan Familiar Auditory Sensory Training Di Ruang ICU Rumah
Sakit Pandanarang Boyolali.......................................................................53
4. Perbandingan Hasil Akhir Antara 2 Responden........................................59
C. Keterbatasan Penerapan..............................................................................61
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN..............................................................63
A. Kesimpulan....................................................................................................63
B. Saran..............................................................................................................63
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................65
LAMPIRAN..........................................................................................................70

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Glasgown Coma Scale (GCS)...........................................................26


Tabel 2.2 Interpretasi Status Kesadaran............................................................27
Tabel 3.2 Gambaran Kasus...............................................................................44
Tabel 3.3 Definisi Operasional..........................................................................48
Tabel 4.1 Tingkat Kesadaran Sebelum Diberikan Familiar Auditory Sensory
Training............................................................................................52
Tabel 4.2 Tingkat Kesadaran Sesudah Diberikan Familiar Auditory Sensory
Training ...........................................................................................53
Tabel 4.3 Hasil Perkembangan Tingkat Kesadaran pada 2 Responden............54
Tabel 4.4 Hasil Perbandingan Tingkat Kesadaran Sebelum dan Sesudah
Diberikan Familiar Auditory Sensory Training.................................
........................................................................................................56

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Konsultasi KIAN70


Lampiran 2 Informed Consent71
Lampiran 3 Jurnal Utama73
Lampiran 4 Jadwal Penerapan74
Lampiran 5 Observasi Glasgow Coma Scale (GCS)75
Lampiran 6 Foto Penerapan Familiar Auditory Sensory Training........................77

xiv
DAFTAR SINGKATAN

AF : Atrial Fibrilasi
ALS : Amyotrophic lateral sclerosis
Ct Scan : Computed Tomography Scan
GCS : Glasgow Coma Scale
Hb : Hemoglobin
ICH : Intracerebral Hematom
ICU : Intensive Care Unit
MRI : Magnetic Resonance Imaging
TIA : Transient Ischemic Attack
TIK : Tekanan Intra Kranial

xv
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit stroke dapat menyebabkan pasien mengalami kondisi
penurunan kesadaran (Aripratiwi, C.dkk. 2020). Pada kasus tersebut,
terdapat dua kemungkinan yaitu pasca stroke dengan kecacatan hingga
berujung kematian. Sekitar 70% kejadian penyakit stroke dan 87%
disabilitas dan kematian karena stroke terjadi di negara berpendapatan
rendah dan menengah (KEMENKES, 2018). Menurut Data World Stroke
Organization bahwa setiap tahunnya ada 13,7 kasus baru stroke dan
sekitar 5,5 juta kematian akibat penyakit stroke (KEMENKES, 2019).
Di Amerika Serikat, stroke menjadi penyakit nomor lima yang
menyebabkan kematian, setelah penyakit jantung, kanker, dan penyakit
pernafasan kronis (Alifudin & Ediati, 2019). Menurut Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2018, prevalensi stroke (permil)
berdasarkan diagnosis pada penduduk umur lebih dari 15 tahun, pada
tahun 2018 Indonesia 10,9‰. Dengan spesifikasi laki-laki 11,0‰,
perempuan 10,9‰ (Riskesdas, 2018). Prevalensi stroke di Jawa Tengah
pada tahun 2018 berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk umur ≥15
Tahun sebesar 11,80% (Riskesdas, 2018). Berdasarkan data Profil
Kesehatan Jawa Tengah Tahun 2018 diketahui bahwa Boyolali memiliki
prevalensi stroke hemoragik sebesar 454 per 4000 penduduk sedangkan
untuk stroke non hemoragik sebesar 2.819 dari 10.000 penduduk.
Sementara di Surakarta, prevalensi kasus stroke terbanyak terdapat di
Puskesmas Serabelan sejumlah 342 kasus (Dinas Kesehatan Surakarta,
2019). Berdasarkan data yang didapatkan dari rekam medis Rumah Sakit
Pandanarang Boyolali prevalensi stroke di ICU Rumah Sakit Pandanarang
Boyolali pada 1 bulan terakhir yaitu pada bulan Juni sejumlah 7 kasus.
Menurut National Stroke Association sekitar 15% dari seluruh
stroke terjadi pada usia muda dan remaja. Diperkirakan 10% stoke pada

1
usia muda terjadi dibawah usia 50 tahun. Pada dekade yang lalu
didapatkan 44%

2
3

kelompok usia muda di Amerika dirawat di rumah sakit karena stroke,


peningkatan ini dapat terjadi karena adanya obesitas yang berhubungan
gaya hidup (Pierce, 2019). Rumah sakit dengan jumlah pasien stroke
dewasa awal (18-40 tahun) terbesar di RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo
yaitu 52 orang (56,5%) (Amilia, 2022).
Pasien stroke yang mengalami penurunan kesadaran memerlukan
terapi non farmakologi sebagai terapi tambahan penunjang proses
penyembuhan, salah satu intervensi non farmakologi yakni stimulasi
sensori auditori (Hendriyanti et al., 2016). Salah satu intervensi non
farmakologi yakni stimulasi sensori auditori berupa Familiar Auditory
Sensory Training ( FAST) (Aripratiwi, C.dkk. 2020). Penerapan ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Aripratiwi, C.dkk (2020)
yang berjudul Pengaruh Familiar Auditory Sensory Training Pada Tingkat
Kesadaran Pasien Stroke di RSD dr.Soebandi Jember, didapatkan hasil
bahwa terjadi peningkatan nilai GCS pada pasien stroke yang
menunjukkan kesadaran pasien membaik setelah diberikan terapi FAST (
Familiar Auditory Sensory Training ).
Hasil penelitian lain, Parveen, Y.dkk (2015) yang berjudul Assess
the Efficacy of Auditory Stimulation on Selected Prameters of Comatose
Patients With Traumatic Brain Injury, yang diberikan 2 kali sehari selama
10 menit dan dilakukan sampai hari ke-14 didapatkan hasil bahwa total
GCS pada kelompok intervensi secara signifikan lebih tinggi. Selain itu,
hasil penelitian Mohammadi dan Mohammad (2019) yang berjudul The
Effects of Familiar Voices on The Level Consciousness in Coma Patients
With Head Injury, yang dilakukan selama 10 menit sebanyak 3 kali perhari
didapatkan hasil peningkatan kesadaran yang ditunjukkan dari hasil
perbedaan nilai GCS pada kelompok control dengan kelompok intervensi.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberian terapi Familiar Auditory
Sensory Training juga efektif diberikan untuk terapi meningkatkan status
kesadaran atau skor GCS pada pasien cedera kepala.
4

Pemberian terapi FAST pada pasien stroke dengan penurunan


kesadaran dapat dilakukan oleh perawat sebagai tindakan non-farmakologi
5

selama memberikan pelayanan di rumah sakit. Perawat juga dapat


memberdayakan keluarga inti terutama yang dekat dengan pasien
mengenai terapi FAST supaya ikut berpartisipasi aktif dalam mendukung
kesadaran pasien.
Beberapa penelitian mengungkapkan penurunan kesadaran
merupakan gambaran kondisi pada sebagian besar pasien kritis di ruang
ICU dan salah satu tindakan yang direkomendasikan untuk mengatasi
masalah ini yaitu berupa reorientasi melalui suara keluarga. Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Choirunnisa et all, (2019) bahwa
pemberian rekaman pesan reorientasi menggunakan suara keluarga dapat
menurunkan gejala delirium pada pasien di ruang ICU. Dalam studi
pendahuluan yang sudah dilakukan di ICU, didapatkan bahwa terapi
nonfarmakologi yang sudah diberikan kepada pasien dengan penurunan
kesadaran berupa kunjungan dari keluarga dan dalam waktu kunjungan
pasien saja. Sehingga penulis tertarik untuk melakukan penerapan
Familiar Auditory Sensory Training (FAST) ini karena bisa memberikan
waktu lebih untuk memperdengarkan rekaman dari keluarga untuk pasien.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk menyusun dalam
bentuk karya tulis ilmiah akhir ners dengan judul “Penerapan Familiar
Auditory Sensory Training Pada Tingkat Kesadaran Pasien Stroke di
Ruang ICU Rumah Sakit Pandanarang Boyolali”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas didapatkan rumusan masalah
“Bagaimana hasil penerapan familiar auditory sensory training pada
tingkat kesadaran pasien stroke di ruang ICU Rumah Sakit Pandanarang
Boyolali?”
C. Tujuan Penerapan
1. Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui penerapan
familiar auditory sensory training pada tingkat kesadaran pasien stroke
di ruang ICU Rumah Sakit Pandanarang Boyolali.
6

2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan tingkat kesadaran pasien stroke sebelum
diberikan familiar auditory sensory training di ruang ICU Rumah
Sakit Pandanarang Boyolali
b. Mendeskripsikan tingkat kesadaran pasien stroke sesudah diberikan
familiar auditory sensory training di ruang ICU Rumah Sakit
Pandanarang Boyolali
c. Mendeskripsikan perkembangan tingkat kesadaran pasien stroke
sebelum dan sesudah diberikan familiar auditory sensory training
di ruang ICU Rumah Sakit Pandanarang Boyolali
d. Mendeskripsikan perbandingan hasil akhir antara 2 responden.
D. Manfaat Penerapan
1. Manfaat Praktis
Memberikan manfaat pengetahuan untuk masyarakat mengenai
familiar auditory sensory training untuk pasien stroke yang mengalami
penurunan kesadaran.
2. Manfaat Teoritis
a. Bagi mahasiswa keperawatan
Familiar auditory sensory training dapat dijadikan sebagai sumber
informasi dan referensi bagi mahasiswa keperawatan dalam
mempelajari asuhan keperawatan pada pasien stroke yang
mengalami penurunan kesadaran.
b. Bagi perawat
Sebagai tenaga kesehatan yang terlibat dalam pelayanan asuhan
keperawatan gawat darurat dan kritis dapat menerapkan familiar
auditory sensory training sebagai terapi nonfarmakologi pada
pasien stroke yang mengalami penurunan kesadaran.
BAB II
TINJAUAN LITERATUR

A. Anatomi Fisiologis Sistem Syaraf


Menurut Setiadi (2016), otak merupakan suatu alat tubuh yang
sangat penting karena merupakan pusat komputer dari semua alat yang di
tubuh yang mengatur semua kegatan dan aktivitas tubuh. Otak merupakan
bagian dari saraf sentral yang terletak di dalam rongga tengkorak
(kranium) yang dibungkus oleh selaput otak yang kuat. Berat otak orang
dewasa kira-kira 1400 gram mencapai 2% dari keseluruhan berat tubuh,
mengkonsumsi 25% oksigen dan menerima 1,5% curah jantung. Adapun
secara garis besar anatomi dan fungsi adalah otak dibagi menjadi 3 bagian
yaitu (Setiadi, 2016):
1. Otak besar (hemisfer cerebral/cerebrum)
Otak besar terdiri dari dua belahan yang tidak sepenuhnya dipisahkan.
Berpasangan (kanan dan kiri) bagian atas dari otak yang mengisi lebih
dari setengah masa otak. Permukaannya berasal dari bagian yang
menonjol (gyri) dan lekukan (sulci). Cerebrum dibagi dalam 4 lobus
yaitu :
a. Lobus frontalis, menstimuli pergerakan otot, yang bertnggung
jawab untuk proses berfikir. pusat fungsi intelektual yang lebih
tinggi, seperti kemampuan berpikir abstrak dan nalar, motorik
bicara (area broca di hemisfer kiri), pusat penghirup, pusat
pengontrolan gerakan volunter di gyrus presentralis (area motorik
primer).
b. Lobus parietalis, merupakan area sensoris dari otak yang
merupakan sensasi perabaan, tekanan, dan sedikit menerima
perubahan temperatur.
c. Lobus occipitallis, mengandung area visual yang menerima sensasi
dari mata. Berfungsi juga menginterpretasi dan memproses

7
rangsang penglihatan dari nervus optikus dan mengasosiasikan
rangsang ini dengan informasi saraf lain dan memori.

8
9

d. Lobus temporalis, mengandung area auditori yang menerima sensai


dari telinga dan berperan dalam pembentukan dan perkembangan
emosi
2. Batang otak (brain stem)
Batang otak terdiri dari otak tengah,pons, dan medula oblongata. Otak
tengah menghubungkan pons dan otak kecil dengan hemisper otak; itu
terdiri dari jalur sensorik dan motorik dan berfungsi sebagai pusat
untuk refleks arteri dan visual. Saraf kranial III dan IV berasal dari
otak tengah. Pons terletak di depan serebelum antara otak tengah dan
medula dan merupakan jembatan antara dua bagian otak kecil, dan
antara medula dan otak besar. Saraf kranial V hingga VIII terhubung
ke otak di pons. Pons berisi jalur motorik dan sensorik. Porsi pons juga
mengontrol jantung, pernapasan, dan tekanan darah.
3. Otak kecil (cerebelum)
Otak kecil merupakan bagian otak yang terletak di bagian belakang
otak besar. Berfungsi sebagai pusat pengaturan koordinasi gerakan
yang disadari dan keseimbangan tubuh serta posisi tubuh. Serebelum
mempunyai dua hemisfer yang dihubungkan oleh fermis. Berat
serebelum lebih kurang 150 gram (85-9%) dari berat otak seluruhnya.
Fungsi serebelum mengembalikan tonus otot diluar kesadaran yang
merupakan suatu mekanisme syaraf yang berpengaruh dalam
pengaturan dan pengendalian terhadap
a. Perubahan ketegangan dalam otot untuk mempertahankan
keseimbangan dan sikap tubuh.
b. Terjadinya kontraksi dengan lancar dan teratur pada pergerakan
dibawah pengendalian kemauan dan mempunyai aspek ketrampilan
c. Serebelum juga berfungsi untuk mempertahankan postur. Setiap
pergerakan memerlukan koordinasi dalam kegiatan sejumlah otot.
Otot antagonis harus mengalami relaksasi secara teratur dan otot
sinergis berusaha memfiksasi sendi sesuai dengan kebutuhan yang
10

diperlukan oleh bermacam pergerakan (Setiadi, 2016). Saraf kepala


dibagi dua belas yaitu:
1. Nervus olvaktorius
Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi,
membawa rangsangan aroma (bau-bauan) dari rongga hidung
ke otak.
2. Nervus optikus
Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke
otak.
3. Nervus okulomotoris
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola
mata), menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati untuk
melayani otot siliaris dan otot iris.
4. Nervus troklearis
Bersifat motoris, mensarafi otot- otot orbital. Saraf pemutar
mata yang pusatnya terletak dibelakang pusat saraf penggerak
mata.
5. Nervus trigeminus
Bersifat majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyai tiga
buah cabang, fungsinya sebagai saraf kembar tiga, saraf ini
merupakan saraf otak besar. Diantaranya:
a. Nervus oltamikus
Sifatnya sensorik, mensyarafi kulit kepala bagian depan
kelopak mata atas, selaput lendir kelopak mata dan bola
mata.
b. Nervus maksilaris
Sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas, palatum,
batang hidung, rongga hidung dan sinus maksilaris
c. Nervus mandibula
11

Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi otot-otot


pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya mensarafi gigi
bawah, kulit daerah temporal dan dagu.
12

6. Nervus abdusen
Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai
saraf penggoyang sisi mata.
7. Nervus fasialis
Sifatnya majemuk (sensori dan motorik) serabut-serabut
motorisnya mensarafi otot-otot lidah dan selaput lendir ronga
mulut. Di dalam saraf ini terdapat serabut-serabut saraf otonom
(parasimpatis) untuk wajah dan kulit kepala fungsinya sebagai
mimik wajah untuk menghantarkan rasa pengecap.
8. Nervus Vestibulokoklearis
Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa
rangsangan dari pendengaran dan dari telinga ke otak.
Fungsinya sebagai saraf pendengar.
9. Nervus glosofaringeus
Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring,
tonsil dan lidah, saraf ini dapat membawa rangsangan cita rasa
ke otak.
10. Nervus vagus
Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf-
saraf motorik, sensorik dan para simpatis faring, laring, paru-
paru, esofagus, gaster intestinum minor, kelenjar-kelenjar
pencernaan dalam abdomen. Fungsinya sebagai saraf perasa.
11. Nervus asesorius
Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan
muskulus trapezium, fungsinya sebagai saraf tambahan.
12. Nervus hipoglosus
Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf
lidah. Saraf ini terdapat di dalam sumsum penyambung (Jeri,
2022).
13

Beberapa penyakit yang muncul dalam system persyarafan diantaranya


Situmeang, N. & Sulindawaty (2019):

1. Epilepsi
Epilepsi merupakan suatu penyakit neurologi yang ditemukan pada
semua umur yang ditandai dengan gejala khas berupa kejang berulang
yang diakibatkan oleh lepasnya muatan listrik pada neuron otak secara
berlebihan dan paroksismal (Rahmat, 2021).
2. Meningitis
Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai
piamater dan arakhnoid serta dapat juga mengenai jaringan otak dan
medula spinalis bagian superfisial (Maisuri, 2021).
3. Bell’s palsy
Bell’s palsy adalah kelumpuhan saraf fasialis perifer akibat proses
non-supuratif, non-neoplasmatik, non-degeneratif dan akibat edema di
bagian saraf fasialis foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal
dari foramen tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri
tanpa pengobatan (Yuliani, 2022).
4. Parkinson
Penyakit parkinson adalah salah satu penyakit neurodegeneratif yang
menyebabkan penderitanya mengalami gangguan fungsi otak dan
menurunnya kontrol otak yang ditandai dengan tremor, rigiditas,
bradikinesia, dan kehilangan refleks postural yang menyerang
individu diatas 65 tahun (Rifky, 2020).
5. Hidrosefalus
Kondisi dimana cairan seberospinal (CSF) mengalami penumpukan
yang mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial (TIK) dan
memberikan tekanan pada jaringan normal di sekitarnya (Permana,
2018).
14

6. Poliomielitis
Poliomyelitis adalah penyakit pada susunan saraf pusat yang
disebabkan oleh satu dari tiga virus yang berhubungan yaitu virus
polio type 1, 2, dan 3 (Indrayani, 2021).
7. Alzheimer
Sindrom neurodegeneratif yang timbul karena adanya kelainan yang
bersifat kronis progresif disertai dengan gangguan fungsi luhur
multipel seperti kalkulasi, kapasitas belajar, bahasa dan mengambil
keputusan (Basri, 2020)
8. Stroke
Stroke merupakan gangguan syaraf terjadi karena gangguan aliran
darah otak sehingga pembuluh darah di otak rusak berlangsung selama
24 jam atau lebih (Kusyani, dkk. 2022).
9. Amyotrophic lateral sclerosis (ALS)
Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) adalah penyakit neurodegeneratif
yang menyerang neuron motorik. Amyotrophy menunjukkan adanya
atrofi serat otot, yang diinervasi oleh anterior horn cell yang
mengalami degenerasi, menyebabkan kelemahan otot dan fasikulasi
(Pramaswari, 2017).
10. Migrain
Penyakit yang ditandai dengan nyeri kepala primer, bersifat berulang
manifestasi serangan selama 4-72 jam dengan karakteristiknya nyeri
kepala unilateral, berdenyut, intensitas sedang atau berat, bertambah
berat dengan aktivitas fisik yang rutin dan diikuti dengan nausea dan
ataufotofobia dan fonofobia (Elviana, 2020).
B. Konsep Stroke
1. Pengertian
Stroke didefinisikan sebagai sebuah sindrom yang memiliki
karakteristik tanda dan gejala neurologis klinis fokal dan/atau global
yang berkembang dengan cepat, adanya gangguan fungsi srebral,
dengan gejala yang berlangsung lebih dari 24 jam atau menimbulkan
15

kematian tanpa terdapat penyebab selain yang berasal dari vascular


(Mutia, 2021).
Stroke adalah suatu keadaan yang menyebabkan seseorang
mengalami kelumpuhan atau kematian karena terjadinya gangguan
perdarahan di otak yamg menyebabkan jaringan otak yang mengalami
kematian (Agustanti, dkk. 2022). Stroke merupakan gangguan syaraf
terjadi karena gangguan aliran darah otak sehingga pembuluh darah di
otak rusak berlangsung selama 24 jam atau lebih (Kusyani, dkk. 2022).
2. Klasifikasi
Stroke dibagi menjadi 2, diantaranya:
a. Stroke hemoragik
Stroke karena adanya pecahan pembuluh darah sehingga
menghambat aliran darah yang awalnya normal dan darahnya
merembes ke dalam suatu daerah otak dan merusaknya (Agustanti,
dkk. 2022).
b. Stroke non hemoragik
Stroke non hemoragik disebabkan oleh sumbatan bekuan darah,
penyempitan arteri yang mengarah ke otak, embolus yang
menyebabkan sumbatan di satu atau beberapa arteri ekstra kranium
(Kusyani, dkk. 2022).
3. Etiologi
Menurut Agustanti, dkk. (2022), stroke terjadi karena sebagai berikut
a. Trombosis
Bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher. Penyebab
utama trombosis adalah arteri sklerosis cerebral. Secara teori
umum, trombosis tidak terjadi secara tiba-tiba, kehilangan bicara
sementara, hemiplegia atau paresthesia pada setengah tubuh dapat
mendahului paralisis berat pada beberapa jam atau hari.
b. Embolisme serebral
Bekuan darah atau yang disebut material lain yang dibawa ke otak
dari bagian tubuh yang lain. Embolus biasa menyumbat arteri
16

serebral tengah atau cabang - cabangnya yang dapat merusak


sirkulasi serebral.
c. Iskemia
Penurunan aliran darah ke area otak. Iskemia terutama terjadi
karena konstriksi atheroma pada arteri yang menyuplai darah ke
otak.
d. Hemoragi serebral
Pecahnya pembunuhan darah cerebral dengan perdarahan ke dalam
jaringan otak atau sekitar otak.
4. Faktor Risiko
Faktor resiko terjadinya stroke secara garis besar dapat dikelompokkan
menjadi 2 yaitu, faktor yang dapat dimodifikasi dan faktor yang tidak
dapat dimodifikasi (Maharizky, 2021).
a. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi
Faktor resiko yang dapat diubah diantaranya adalah sebagai berikut
1) Kelainan jantung/penyakit jantung
Faktor risiko penuaan dan vaskular sistemik menyebabkan
substrat jaringan atrium yang abnormal, atau kardiopati atrium,
yang dapat menyebabkan AF dan tromboemboli. Untuk
kardiopati atrium untuk memainkan peran seperti dalam
trombogenesis akan serupa dengan kardiopati ventrikel yang
terlihat pada infark miokard dan gagal jantung, 2 penyakit di
mana tromboemboli dapat terjadi bahkan tanpa adanya
disritmia. Begitu AF berkembang, disritmia menyebabkan
disfungsi kontraktil dan stasis, yang selanjutnya meningkatkan
risiko tromboemboli. Selain itu, seiring waktu, disritmia
menyebabkan remodeling struktural atrium, sehingga
memperburuk kardiopati atrium dan meningkatkan risiko
tromboemboli lebih jauh.
Secara paralel, faktor risiko sistemik meningkatkan risiko
stroke melalui mekanisme lain di luar atrium, seperti
17

aterosklerosis arteri besar, disfungsi sistolik ventrikel, dan


oklusi pembuluh kecil serebral in situ. Setelah stroke terjadi,
perubahan
18

otonom dan inflamasi pasca stroke dapat meningkatkan risiko


AF untuk sementara. Adanya kelainan pada pembuluh darah
jantung, dapat melibatkan pembuluh darah otak.
Penyakit jantung seperti atrial fibrilasi merupakan kondisi
bilik atas jantung (atrium) tidak memompa secara efektif
sehingga menyebabkan kontraksi yang sangat cepat dan tidak
teratur (fibrilasi). Karena darah yang tidak dipompa dengan
baik dari jantung, dapat membentuk gumpalan darah. Sehingga
gumpalan ini dapat keluar dari jantung dan mengalir hingga ke
otak sehingga terjadi stroke non hemoragik.
2) Hipertensi
Peningkatan tekanan darah dapat disebabkan oleh
aterosklerosis atau sebaliknya. Proses ini dapat menimbulkan
pecahnya pembuluh darah atau timbulnya thrombus sehingga
dapat mengganggu aliran darah cerebral (Kusyani, 2022).
Tekanan darah sebaiknya tidak melebihi 140/90 mmHg.
Hipertensi memiliki pengaruh besar terhadap pembuluh darah
di otak.
3) Aneurisma pembuluh darah cerebral
Adanya penebalan pada satu tempat yang diikuti oleh penipisan
di tempat lain mengakibatkan kelainan pada pembuluh darah.
4) Diabetes melitus
Terjadinya peningkatan viskositas darah sehingga
memperlambat aliran darah serebral dan adanya kelainan
microvaskuler sehingga berdampak juga terhadap kelainan
yang terjadi pada pembuluh darah serebral. Hal ini yang
mengakibatkan penderita diabetes melitus berpotensi
mengalami stroke (Kusyani, 2022).
Ada beberapa kemungkinan mekanisme di mana diabetes
menyebabkan stroke. Termasuk disfungsi endotel vaskular,
peningkatan kekakuan arteri pada usia dini, peradangan
19

sistemik dan penebalan membran basal kapiler. Abnormalitas


pengisian
20

diastolik ventrikel kiri awal biasanya terlihat pada diabetes tipe


II. Mekanisme yang untuk gagal jantung kongestif pada
diabetes tipe II termasuk penyakit mikrovaskuler, gangguan
metabolisme, fibrosis interstisial, hipertensi dan disfungsi
otonom.
5) Peningkatan kolestrol
Peningkatan kolestrol menjadi penyebab aterosklerosis dan
terbentuknya embolus dari lemak disebut kolestrol tubuh yang
tinggi.
6) Obesitas
Berat badan seseorang yang berlebih mengakibatkan gangguan
pada pembuluh darah, salah satunya pembuluh darah di otak.
Karena pada seseorang yang mengalami obesitas dapat terjadi
hipertensi dan peningkatan kadar kolestrol.
7) Merokok
Asap yang dihirup saat merokok akan menimbulkan plaque
pada pembuluh dara oleh karena nikotin, sehingga terjadi
arterosklerosis.
8) Kurang aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik dapat mengurangi kelenturan fisik
termasuk kelenturan pembuluh darah (pembuluh darah kaku)
salah satunya pembuluh darah di otak (Kusyani, 2022).
b. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi
Faktor-faktor tersebut terdiri atas faktor genetik dan ras, usia, jenis
kelamin dan riwayat stroke sebelumnya.
1) Faktor genetik dan ras
Genetik dan ras berpengaruh karena individu yang memiliki
riwayat keluarga dengan stroke akan meminta resiko tinggi
mengalami stroke, ras kulit hitam lebih sering mengatakan
hipertensi daripada ras kulit putih sehingga ras kulit hitam
memiliki resiko lebih tinggi terkena stroke.
21

2) Usia
Adanya penambahan usia/umur pada seseorang akan terjadi
kurangnya fleksibilitas dan lebih terasa kaku pada jaringan
tubuh, termasuk dengan pembuluh darah. Pada umunya, pada
orang yang telah berumur tua lebih rentan terhadap stroke
dibandingkan dengan yang lebih muda (Kusyani, dkk. 2022).
3) Jenis kelamin
Umumnya stroke cenderung lebih sering menyerang laki-laki
dibandingkan wanita. Namun wanita memiliki prognosis yang
lebih buruk dibandingkan laki-laki jika terkena stroke. Data
dari Framingham Heart Study menunjukkan bahwa
dibandingkan dengan pria kulit putih, wanita kulit putih
berusia 45 hingga 84 tahun memiliki risiko stroke yang lebih
rendah daripada pria, tetapi hubungan ini terbalik pada wanita
yang berusia lebih dari 85 tahun, yang risikonya lebih tinggi
daripada pria. Prevalensi stroke meningkat saat wanita
mencapai transisi menopause.
Studi menunjukkan bahwa wanita dilindungi oleh estrogen
endogen. Namun, umumnya stroke yang terjadi pada wanita di
atas usia 70 tahun, yang cenderung terisolasi secara sosial,
hidup sendiri, memiliki kendala fiskal, dan tingkat penyakit
penyerta yang lebih tinggi. Jenis kelamin merupakan faktor
resiko terkena stroke (Maharisky, 2021). Laki-laki memiliki
resiko lebih tinggi terkena stroke daripada perempuan. Hal ini
terjadi karena dilihat dari kebiasaan merokok, risiko terhadap
hipertensi, hiperurisemia, hopertrigliserida lebih tinggi pada
laki-laki. (Agustanti, dkk. 2022).
4) Riwayat Stroke
Riwayat keluarga telah digunakan untuk mewakili
kecenderungan genetik, dan hubungannya terkait dengan risiko
22

pengembangan penyakit tertentu dan prognosisnya. Riwayat


penyakit kardiovaskular keluarga juga dikaitkan dengan infark
23

miokard berulang atau intervensi koroner, kejadian vaskular,


dan kejadian aterotrombotik.
Riwayat stroke orang tua sebelum usia 65 tahun dikaitkan
dengan peningkatan risiko stroke pertama kali sebanyak 3 kali
lipat pada keturunan mereka. Seseorang berisiko lebih tinggi
terkena stroke jika memiliki riwayat keluarga yang mengalami
penyakit stroke dan merupakan orang terdekat secara genetik
(Maharizky, 2021).
5. Pathway
- Faktor pencetus hipertensi, DM, penyakit jantung, merokok, stres, gaya
hidup yang tidak bagus
- Faktor obesitas dan kolesterol yang meningkat dalam darah

Penimbunan lemak / kolesterol yang meningkat dalam darah

Lemak yang sudah nekrotik dan berdegenerasi


Penyempitan pembuluh
Menjadi kapur / mengandung kolesterol dengan infiltrasi limfosit (trombus) darah

Arteriosclerosis Pembuluh darah menjadi kaku Aliran darah lambat

Turbulensi
Pembuluh darah menjadi pecah
Thrombus cerebral Mengikuti aliran darah
Eritrosit bergumpal
Emboli Stroke hemoragik Kompresi
Stroke non hemoragik jaringan otak Endotil rusak

Herniasi Cairan plasma hilang


Proses metabolisme dalam otak terganggu
Edema serebral
Risiko Perfusi Gangguan rasa nyaman : nyeri
Penurunan suplai darah & O2 ke otak Peningkatan TIK
Serebral Tidak
Efektif

Arteri vertebro Kerusakan neurocerebrospinal N.VII Kerusakan neurologis, defisit N.I Arteri cerebri media
(Fasialis), N.IX (Glossofaringeus) Penurunan fungsi N.X (Vagus), Arteri carotis
basilaris (Olfaktorius), N. II (Optikus), N.IX (Glossofaringeus)
N.XII (Hipoglosus) N.IV (Troklearis) interna
Disfungsi N. II Disfungsi N.XI
Disfungsi N.XI (Assesoris) (Optikus)
Kontrol otot fasial / oral N. XII (Hipoglossus)
Proses menelan tidak efektif
menjadi lemah
Perubahan ketajaman sensori, penghidu, Penurunan fungsi motorik
Penurunan fungsi motorik pe aliran darah ke
pengelihatan dan pengecap
retina
Kehilangan fungsi tonus Refluks
Kelemahan pada otot fasial / oral Kegagalan
satu/ keempat Ketidakmampuan Disfagia Kemampuan retina menggerakkan
anggota gerak Ketidakmampuan menghidu,melihat, mengecap untuk menangkap anggota tubuh
berbicara, menyebut obyek/bayangan P
Anoreksia
Gangguan kata-kata Defisit perawatan diri
Gangguan persepsi
mobilitas fisik Kebutaan
sensori Defisit Nutrisi
Gangguan
komunikasi verbal

Sumber : Kusyani (2022)


25

6. Tanda dan Gejala


a. Hemoragik
Akibat iritasi meningen oleh darah maka pasien menunjukkan
gejala diantaranya sebagai berikut (Kusyani, 2022):
1) Nyeri kepala mendadak (dalam hitungan detik) yang sangat
berat
2) Kejang
3) Fotofobia (takut akan cahaya)
4) Mual dan muntah
5) Muncul tanda-tanda meningismus (kaku kuduk dan tanda
kernig)
6) Pada perdarahan lebih berat dapat terjadi peningkatan tekanan
intrkranial dan gangguan kesadaran
7) Pada funduskopi dapat dilihat edema pupil dan perdarahan
retina.

Tanda neurologis fokal dapat terjadi sebagai akibat dari efek


lokalisasi palsu dari peningkatan tekanan intracranial, adanya
perdarahan intraserebral yang terjadi bersamaan, terjadinya
spasme pembuluh darah, akibat dari efek iritasi darah, bersamaan
dengan iskemia.

b. Non hemoragik
Gejala neurologis dan tanda dari stroke non hemoragik umumnya
muncul secara tiba-tiba, yang paling khas adalah serangan
hemiparesis yang tiba-tiba pada. Gejala dan tanda bervariasi
tergantung dari lokasi oklusi. Stroke jenis ini lebih sering terjadi
pada orang tua dan biasanya terjadi tanpa adanya peringatan pada
lebih 80% kasus. Tanda peringatan yang penting adalah jika
terjadinya Transient Ischemic Attack (TIA) pada pasien.
26

Serangan stroke dapat menimbulkan defisit neurologis yang


tiba-tiba, tanda dan gejalanya antara lain (Maharizky, 2021) :
1) penurunan kesadaran
2) kelumpuhan nervus VII (fasialias) dan nervus XII
(hipoglossus)
3) afasia dan demensia
4) hemianopsia
5) defisit batang otak
6) hemidefisit motorik dan sensorik.
7. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada pasien stroke antara lain (Tamam,
2020):
a. Disfagia
Pada pasien stroke sering terjadi disfagia yaitu sekitar 30−50%
pasien. Menelan adalah mekanisme yang kompleks yang
mendorong makanan melalui faring dan esofagus untuk
mencegah masuknya ke dalam saluran napas, menggunakan lidah,
mulut, otot polos dari faring dan esofagus, sistem saraf otonom,
dan beberapa saraf kranial V (trigeminal), syaraf ke VII (facialis),
syaraf ke IX (glosofaringeal), syaraf ke X (vagus), dan syaraf ke
XII (hipoglosus)
b. Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi oksigenasi
darah adekuat ke otak. Fungsi otak bergantung pada ketersediaan
oksigen yang dikirimkan ke jaringan. Pemberian oksigen
suplemen dan mempertahankan hemoglobin serta hemotokrit
pada tingkat dapat diterima akan membantu dalam
mempertahankan oksigenasi jaringan.
c. Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah
jantung, dan integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat
(cairan intravena) harus menjamin penurunan vesikositas darah
dan memperbaiki aliran darah serebral. Hipertensi atau hipotensi
27

ekstrem perlu perlu dihindari untuk mencegah perubahan pada


aliran darah serebral dan potensi meluasnya area cedera.
d. Embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard atau
fibrilasi atrium atau dari katup jantung prostetik. Embolisme akan
menurunkan aliran darah keotak dan selanjutnya menurunkan
aliran darah serebral.
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan farmakologi yang bisa diberikan untuk pasien stroke
diantaranya sebagai berikut (Rahmawati, 2020):
a. Alteplase (t-PA, aktivator plasminogen jaringan)
b. Asam asetilsalisilat (asetosal, aspirin, aspilet)
c. Clopidogrel
d. Dipiridamol
e. Cilostazol
f. Mencegah peningkatan Tekanan Intra Cranial (TIK)
g. Pemberian antihipertensi
h. Pemberian diuretika untuk menurunkan edema
i. Pemberian vasodilator perifer untuk meningkatkan aliran darah
serebral (ADS)
j. Pemberian antikoagulan untuk mencegah terjadinya atau
memberatnya thrombus
k. Pemberian diazepam untuk kejang
l. Pemberian anti tukak
m. Pemberian manitol untuk mengurangi udema otak
n. Kortikosteroid untuk mengurangi pembengkakan dan peningkatan
tekanan dalam otak
o. Pemenuhan cairan dan elektrolit.
Penatalaksanaan nonfarmakologi yang bisa dilakukan diantaranya
sebagai berikut (Rahmawati, 2020):
a. Mempertahankan kepatenan jalan nafas dengan melakukan
pengisapan lendir/suction
28

b. Pemberian oksigenasi
c. Mengendalikan tekanan darah klien dalam batas normal
d. Memperbaiki aritmia jantung
e. Perawatan kandung kemih
f. Memberikan kenyamanan pada klien dengan pemberian posisi
yang tepat dan lakukan perubahan posisi tiap 2 jam
g. Lakukan latihan gerak aktif maupun pasif
h. Kurangi asupan kolesterol dan lemak jenuh
i. Kontrol diabetes dan berat badan.
j. Koreksi adanya adanya kelainan gas darah
k. Perhatikan pemenuhan nutrisi (kalori) dan keseimbangan cairan
elektrolit.
l. Posisikan kepala dengan ditinggikan 30°
m. Terapi familiar auditory sensory training (FAST) (Aripratiwi,
C.dkk. 2020)
C. Tingkat Kesadaran
1. Pengertian
Tingkat kesadaran merupakan keadaan kesadaran seseorang terjaga
dan waspada, dimana sebagian besar manusia berfungsi saat tidur atau
salah satu tahap tidur normal yang dikenali dari mana orang tersebut
dapat segera dibangunkan (O’Callaghan, 2016). Keadaan seseorang
yang terjaga dan waspada disebut juga dengan tingkat kesadaran
dimana tingkat kesadaran menggambarkan seseorang dapat melakukan
aktivitas, komunikasi, dan mengidientifikasi lingkungan sekitar
(Dwiyanto, et al., 2022).
Tingkat kesadaran seseorang dapat menurun sehingga
mengakibatkan kewaspadaannya juga mengalami penurunan.
Penurunan tingkat kesadaran dapat mengakibatkan terjadinya hal yang
dapat mengancam jiwa yang berujung pada kematian. Tingkat
kesadaran juga dapat menjadi tanda kegawatdaruratan neurologis akut
29

yang ditandai dengan kerusakan otak dan memerlukan penanganan dan


evaluasi yang sangat cepat (Reynolds et al., 2018).
Seseorang dikatakan mengalami penurunan tingkat kesadaran jika
kemampuan dalam merespon rangsangan hanya muncul ketika
diberikan stimulasi suara ataupun nyeri, tetapi seseorang itu tidak
merespon rangsangan yang telah diberikan. Hal ini akan
mengakibatkan perburukan kondisi buruk pada dirinya (Reynolds et
al., 2018).
2. Etiologi
Gangguan kesadaran disebabkan oleh berbagai faktor etiologi, baik
yang bersifat intrakranial maupun ekstrakranial / sistemik. Penjelasan
singkat tentang faktor etiologi gangguan kesadaran adalah sebagai
berikut (Mawarti, 2020) :
a) Gangguan sirkulasi darah di otak (serebrum, serebellum, atau
batang otak)
1) Perdarahan, trombosis maupun emboli
2) Mengingat insidensi stroke cukup tinggi maka kecurigaan
terhadap stroke pada setiap kejadian gangguan kesadaran
perlu digaris bawahi.
b) Infeksi ensefalomeningitis (meningitis, ensefalitis, serebritis/abses
otak)
Mengingat infeksi (bakteri, virus, jamur) merupakan penyakit
yang sering dijumpai di Indonesia maka pada setiap gangguan
kesadaran yang disertai suhu tubuh meninggi perlu dicurigai
adanya ensefalomeningitis.
c) Gangguan metabolism
Di Indonesia, penyakit hepar, gagal ginjal, dan diabetes melitus
sering dijumpai.
d) Neoplasma
1) Neoplasma otak, baik primer maupun metastatik, sering di
jumpai di Indonesia.
30

2) Neoplasma lebih sering dijumpai pada golongan usia dewasa


dan lanjut.
3) Kesadaran menurun umumnya timbul berangsur-angsur
namun progresif/ tidak akut.
e) Trauma kepala
Trauma kepala paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu-
lintas.
f) Epilepsi
Gangguan kesadaran terjadi pada kasus epilepsi umum dan status
epileptikus
g) Intoksikasi
Intoksikasi dapat disebabkan oleh obat, racun (percobaan bunuh
diri), makanan tertentu dan bahan kimia lainnya.
h) Gangguan elektrolit dan endokrin
Gangguan ini sering kali tidak menunjukkan “identitas”nya secara
jelas; dengan demikian memerlukan perhatian yang khusus agar
tidak terlupakan dalam setiap pencarian penyebab gangguan
kesadaran.
3. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan kesadaran dengan
menggunakan GCS. Glasgow Coma Scale (GCS) adalah alat
diagnostik yang sudah sejak lama menjadi alat untuk mengevalusi
tingkat kesadaran pasien, menilai status klinis pasien, dan menjadi alat
prognosis untuk pasien yang terdapat gangguan pada kepala/cedera
kepala. Dapat menilai derajat berat ringannya cedera kepala
berdasarkan penilaian terhadap respon membuka mata, respon verbal,
dan respon motorik (Kotera, 2014). GCS terdiri dari 3 pemeriksaan,
yaitu penilaian: respons membuka mata (eye opening), respons
motorik terbaik (best motor response), dan respons verbal terbaik (best
verbal response) .
31

Adapun dibawah ini penjelasan di setiap komponen penilaian yaitu


(Christensen, B. Medscape, 2014) :
a. Eye
Penilaian komponen ini respon pasien terhadap rangsangan dengan
membuka matanya. Membuka mata menunjukkan gairah pasien.
Ada 4 nilai dalam komponen ini:
1) Nilai (4) mata spontan membuka: pasien membuka matanya
tanpa rangsangan eksternal.
2) Nilai (3) membuka mata : pasien membuka matanya ketika ia
di respon terhadap rangsangan verbal.
3) Nilai (2) membuka mata terhadap rangsangan yang
menyakitkan atau ketika diberi rangsangan nyeri: pasien
membuka mata nya setelah stimulus menyakitkan diterapkan.
4) Nilai (1) tidak ada yang membuka mata: mata tidak
pembukaan verbal atau dengan rangsangan nyeri yang
menyakitkan.
b. Verbal
Komponen ini merupakan untuk menilai respon verbal dari pasien
dengan mengajukan tiga pertanyaan orientasi. Tiga pertanyaan
tersebut adalah waktu (tahun), tempat (tempai iya berada maupun
alamatnya berada), dan orang (nama keluarga dekatnya). Ada lima
nilai di komponen ini diantaranya (Christensen, B. Medscape,
2014):
1) Nilai (5) berorientasi: Pasien mampu menjawab pertanyaan-
pertanyaan waktu, tempat, dan orang dengan benar. Beberapa
pasien yang menjawab semua pertanyaan dengan benar tiga,
namun, selama percakapan lanjutan, perawat mendapatkan
beberapa pertanyaan yang salah tetapi pasien sudah bisa
menjawab 3 pertanyaan pasien dalam keadaan baik. Karena
32

pasien mampu menjawab semua tiga pertanyaan dengan benar


maka dia masih mencetak sebagai berorientasi.
2) Nilai (4) bingung (disoriented): Pasien tidak mampu menjawab
satu atau lebih dari tiga pertanyaan orientasi (waktu, tempat,
dan
33

orang) dengan benar. Beberapa pasien tidak dapat menjawab


semua tiga pertanyaan orientasi benar tapi percakapan mereka
masih bisa walaupun cuma beberapa .
3) Nilai (3) kata-kata yang tidak tepat: Pasien memiliki acak atau
seruan diartikulasikan pidato dan tidak memiliki percakapan
dalam pertukaran percakapan berkelanjutan
4) Nilai (2) suara tidak komprehensif: mengerang pasien (tidak
ada kata-kata) dan mengerang dengan atau tanpa stimulasi
eksternal
5) Nilai (1) tidak ada respon verbal: Pasien tidak membuat suara
atau gerakan minimal bahkan ketika rangsangan nyeri yang
menyakitkan diterapkan masih tidak ada respon.
c. Motorik
Komponen ini sedang menguji respon motorik terbaik pasien
terhadap rangsangan lisan atau menyakitkan. Respon motorik
terbaik paling sedikit dipengaruhi oleh trauma. Komponen ini di
GCS adalah indikator yang paling akurat dalam memprediksi hasil-
hasil pasien 6. Ada enam nilai dalam komponen ini diantaranya
sebagai berikut (Christensen, B. Medscape, 2014) :
1) Nilai (6) mematuhi perintah: Pasien mampu melakukan tugas-
tugas sederhana seperti bertanya "menunjukkan ibu jari Anda",
atau "menunjukkan jari tangan bagian kanan anda". Jangan
meminta pasien untuk "pegangan jari-jari anda". Ini mungkin
refleks. Untuk pasien lumpuh yang tidak dapat menggerakkan
anggota mereka, perawat dapat meminta pasien untuk
tersenyum, atau julurkan lidah mereka, atau menunjukkan gigi
mereka dengan senyum ataupun mengedipkan mata.
2) Nilai (5) localized nyeri: upaya Pasien untuk menghapus
sumber rangsangan yang menyakitkan dengan menggunakan
34

nya / tangannya atau mencoba untuk memindahkan / nya


bahunya jauh dari rangsangan yang menyakitkan
35

3) Nilai (4) penarikan terhadap nyeri: Pasien mencoba untuk


memindahkan tangannya atau kaki ketika rangsangan yang
menyakitkan diterapkan pada jarijarinya atau jari-jari kakinya.
4) Nilai (3) abnormal fleksi (decortication): ketika rasa sakit
pusat diterapkan pada siku, pergelangan tangan, dan jari fleksi
dan digambar di atas dada. Kedua lengan adduksi dan ditutup
pada dinding dada.
5) Nilai (2) abnormal ekstensi (decerebration): ketika rasa sakit
sentral berlaku, pasien akan telah memperkuat siku dan rotasi
internal bahu dan fleksi pergelangan tangan dan jari. Kedua
lengan adduksi dan ditutup pada dinding dada. Pasien mungkin
memiliki ekstensi di kakinya dengan plantar fleksi.
6) Nilai (1) tidak ada respon: Pasien tidak menunjukkan dan
gerakan anggota tubuh ketika rasa sakit pusat diterapkan.

Adapun tabel Glasgown Coma Scale (GCS) yang dipakai sampai saat
ini yaitu :
Tabel 2.1 Glasgown Coma Scale (GCS)

Kategori Rangsangan
Respon Pasien Skor
Respon yang Sesuai
Perawat Membuka mata spontan 4
mendekati
pasien
Memberi Membuka mata terhadap panggilan nama atau perintah 3
perintah
Mata
verbal
Nyeri Mata tidak membuka terhadap rangsangan perinta 2
verbal, tetapi membuka bila diberi rangsangan nyeri
Mata tidak membuka terhadap rangsangan apapun 1
Tidak dapat diperiksa (Not testale) NT
Orientasi baik, fasih, identifikasi diri, tempat, tahun, 5
dan bulan dengan benar
Bingung, lancar tetapi mengalami disorientasi pada 4
satu atau lebih kalimat
Pertanyaan
Penggunaan kata-kata yang tidak sesuai atau tidak 3
Verbal verbal dengan
teratur, tidak dapat mempertahankan kecakapan bicara
pasien
Suara tidak teratur 2
Tidak ada suara, bahkan dengan rangsangan nyeri yang 1
kuat
Tidak dapat diperiksa (Not tesTabel) NT
36

Perintah Mematuhi perintah 6


Motorik
verbal
Dapat melokalisasi nyeri, tidak patuh tetapi ada usaha 5
untuk menyingkirkan rangsangan yang menyakitkan
Penarikan ekstremitas secara fleksi, fleksi lengan 4
Nyeri sebagai respon terhadap nyeri tanpa postur fleksi yang
(penekanan abnormal
pada Fleksi abnormal, fleksi dan pronasi siku-lengan, tangan 3
proksimal mengepal
kuku) Ekstensi abnormal, ekstensi lengan pada siku disertai 2
adduksi dan rotasi internal lengan-bahu
Tidak ada respon 1
Tidak dapat diperiksa (Not tesTabel) NT

Sumber : Skala Glasgown Coma Scale (GCS) (Jacob et al,2013)

Tabel 2.2 Interpretasi Status Kesadaran


Status Kesadaran Kondisi Pasien
Compos mentis Kesadaran penuh, pasien dapat menjawab semua pertanyaan tentang
(GCS 14-15) keadaan sekelilingnya.
Apatis Pasien mengalami sedikit penurunan kesadaran, segan untuk
(GCS 12-13) berhubungan dengan sekitarnya sikapnya acuh tak acuh.
Delirium Pasien gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu) memberontak,
(GCS 10-11) berteriak-teriak, berhakusinasi, kadang berkhayal.
Somnolen Kesadaran pasien menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah
(GCS 7-9) tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah
dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu member jawaban
verbal .
Stupor Keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri.
(GCS 5-6)
Semi-koma Tidak dapat memberikan respons pada rangsangan verbal dan tidak
(GCS 4) dapat dibangunkan sama sekali, respons terhadap rangsang nyeri
hanya sedikit, tetapi reflex kornea dan pupil masih baik
Koma Pasien tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan
(GCS 3) (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak
ada respon pupil terhadap cahaya).

D. Konsep Familiar Auditory Sensory Training (FAST)


1. Pengertian
Suatu intervensi dimana pasien yang menerima intervensi
mendengarkan suara yang direkam secara digital, rekaman tersebut
merupakan rekaman suara orang yang dikenal dekat dengannya,
rekaman berisi suatu kisah yang berkesan dengan pasien (Pape. et al.,
2012). Kerangka konseptual yang mendasari protokol FAST adalah
37

sintesis pengetahuan tentang prinsip-prinsip plastisitas saraf,


plastisitas saraf yang sebagian besar bergantung pada pengalaman,
dan pengetahuan tentang kemampuan otak manusia (Pape, T.L.B.dkk.
2012).
Protokol FAST dikembangkan sesuai dengan bukti otak manusia
yaitu kemampuan untuk secara otomatis menanggapi masukan
sensorik pasif, secara diam-diam memproses informasi sensorik,
secara otomatis menanggapi rangsangan pendengaran yang tidak
terduga, menyimpan informasi baru dalam jangka pendek,
menggunakan memori jangka panjang, membedakan antara kejadian
familiar dan nonfamiliar, dan berorientasi pada informasi yang masuk
(Pape, T.L.B.dkk. 2012)
2. Tujuan
Terapi Familiar Auditory Sensory Training (FAST) merupakan
terapi non farmakologi yang bertujuan untuk meningkatkan
angka Glasgow Coma Scale (GCS) (Wibowo, D.dkk. 2022)
3. Tahapan Prosedur Familiar Auditory Sensory Training (FAST)
a. Inklusi
Kriteria inklusi dalam penerapan ini adalah sebagai berikut :
1) Bersedia menjadi responden
2) Usia pasien 35-75 tahun
3) Nilai GCS pasien 3-14
4) Pendamping pasien minimal usia 18 tahun
5) Merupakan keluarga inti pasien.
b. Eksklusi
Kriteria eksklusi dalam penerapan ini adalah sebagai berikut :
1) Keluarnya darah dan pus dari telinga dan hidung
2) Dilakukan tindakan pembedahan (kraniotomi) dan
ventriculoperitoneal shunt
3) Pasien mengalami infeksi nosocomial
4) Pasien mengalami gangguan pendengaran
38

c. Sesi FAST
1) Sesi pertama selama 1 menit, menceritakan mengenai awal
dari pasien mengalami penurunan kesadaran termasuk waktu
dan tempat pasien mengalami serangan stroke.
2) Sesi dua ( 4 menit) menceritakan kenangan indah bersama
dengan pasien
3) Sesi ketiga (5 menit), keluarga diminta berbicara hal apa yang
akan dilakukan ketika pasien sadar dan mendorong pemulihan
pasien mereka diminta berbicara dengan kata-kata yang
menjanjikan
4) Waktu
FAST dilakukan tiga kali sehari selama 10 menit dengan jarak 2
jam dalam jangka waktu tiga hari berturut-turut (Pape T.L.B.dkk,
2012).
5) Alat dan Bahan
1) Recorder atau HP
2) Earphone
3) Lembar observasi GCS
6) Fase Kerja
Berikut fase kerja pemberian Familiar Auditory Sensory Training
(FAST) (Mohammadi, M.K., dkk. 2019 dan Aripratiwi, C. dkk.
2020):
1) 5 menit sebelum diberikan FAST, dilakukan pengecekan
tingkat kesadaran menggunakan lembar observasi Glasgown
Coma Scale (GCS).
2) Kemudian dilanjutkan dengan pemberian FAST tahap
pertama yang berdurasi 10 menit.
3) Lalu berikan jeda selama 2 jam sebelum dilanjutkan ke tahap
kedua.
39

4) Lakukan hal yang sama sampai pada tahap yang terakhir yaitu
tahap ketiga FAST.
5) Lakukan pengecekan tingkat kesadaran, jarak 5 menit sesudah
diberikan FAST menggunakan lembar observasi Glasgown
Coma Scale (GCS).

Diantara berbagai indera yang distimulasi, stimulasi indera


pendengaran lebih banyak berefek kepada pasien (Tavangar, dkk,
2015). Mekanisme dari auditori yakni batang otak akan aktif ketika
adanya rangsangan auditori untuk keadaan terjaga dan bangun,
kemudian nucleus genikuatum medialis thalamus menyortir serta
menyalurkan sinyal ke korteks terutama ke temporalis kiri dan kanan,
korteks pendengaran (lobus temporalis) akan mempersespsikan suara,
sementara pada korteks pendengaran yang lain akan mengitegrasikan
berbagai macam suara menjadi pola yang lebih berarti, mekanisme
inilah yang memungkinkan stimulasi auditori mencapai batang otak
dan korteks untuk diaktivasi meskipun kondisi klinis saat itu sedang
terjadi penurunan kesadaran (Safri et al., 2018).
Dalam (Aripratiwi, C.dkk. 2020) saat pasien mendengarkan
stimulasi auditori : Familiar Auditory Sensory Training (FAST) maka
gelombang akan disalurkan melalui ossicles di telinga tengah dan
berjalan menuju nervus auditory melalui cairan cochlear setelah itu
akan merangsang pengeluaran hormon endofrin yang akan
merelaksasikan tubuh. Efek yang ditimbulkann yaitu menurunkan
stimulus sistem syaraf simpatis yakni penurunan ketegangan
neuromuskolar, meningkatnya ambang kesadaran, biasanya dapat
dilihat dari HR, RR, dan penurunan tekanan darah. Jika dilihat dari
mekanisme hubungan antara system persarafan dan hormonal dengan
adanya stimulasi sensorik atau gelombang suara dapat menstimulasi
pengaktifan dopamin yang secara fisiologis dopamin berperan dalam
meningkatkan kewaspadaan seseorang.
40

Familiar Auditory Sensory Training (FAST) memberikan efek


ketenangan dengan merangsang opioid (morphin) dan serotonin di
dalam tubuh yang memungkinkan perubahan fisiologis yang
menunjukkan adanya penurunan derajat ketegangan sistem saraf
otonom (automatic nervous system) (Safri et al., 2018). Meningkatnya
pengeluaran dopamin merangsang peningkatan aktivitas reticular
activating system untuk memperbaiki kualitas kewaspadaan pasien
terhadap lingkungannya (Lumbantobing & Anna., 2015). Stimulasi
suara seperti Familiar Auditory Sensory Training (FAST) juga dapat
mempengaruhi sistem fisiologis seseorang, sehingga stimulasi suara
dapat membangkitkan aktivitas hemisfer serebri dan dinilai
memberikan efek ketenangan (Sutiyah, 2017).
Afandi (2015) juga menyebutkan hal yang sama yakni rangsangan
suara mampu mengaktivasi system limbic sehingga dapat memberikan
efek relaksasi, sehingga akan mencegah vasospasime pembuluh darah
dan dapat meningkatkan perfusi darah. Rangsangan suara juga dapat
membuka pintu komponen emosiaonal untuk kesadaran pasien yang
tidak bisa melakukan komunikasi verbal, hal ini dikarenakan suara
dapat menyentuh tingkat kesadaran fisik, psikologi, spiritual, dan
sosial.
E. Asuhan Keperawatan Stroke
1. Pengkajian
Pengkajian meliputi identitas pasien dan penanggungjawab pasien.
Identitas pasien meliputi nama, usia, tanggal lahir, jenis kelamin,
pekerjaan, pendidikan, agama, suku bangsa, waktu masuk, waktu
pengkajian, diagnose medis, no rekam medis.
2. Keluhan Utama
Keluhan yang didapatkan adalah gangguan motoric kelemahan
anggota gerak setelah badan, bicara pelo, dan tidak dapat
berkomunikasi, nyeri kepala, gangguan sensorik, kejang, gangguan
kesadaran (Upayaningsih, 2021).
41

3. Primary survey
Primary survey meliputi (Alfikasari, 2020):
a. Airway
Periksa jalan nafas dari sumbatan benda asing (padat, cair) setelah
dilakukan pembedahan akibat pemberian anestesi. Patency jalan
nafas, dengan meletakan tangan di atas mulut atau hidung.
Auscultasi paru, keadekuatan expansi paru, kesimetrisan.
b. Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama
jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman,
frekuensi maupun iramanya. Napas berbunyi, stridor, ronkhi,
wheezing (kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi
peningkatan produksi sputum pada jalan napas
(Asyifaurrohman,2017). Perubahan pernafasan (rata-rata, pola,
dan kedalaman). RR < 10 X / menit depresi narcotic, respirasi
cepat, dangkal. gangguan kardiovaskuler atau rata-rata
metabolisme yang meningkat. Pergerakan dinding dada,
penggunaan otot bantu pernafasan diafragma, retraksi sternal efek
anestesi yang berlebihan, obstruksi.
c. Circulation
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah
bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan
transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan
mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,
disritmia). Inspeksi membran mukosa : warna dan kelembaban,
turgor kulit, balutan
42

d. Disability
Berfokus pada status neurologi kaji tingkat kesadaran pasien,
tanda-tanda respon mata, respon motorik dan tanda-tanda vital.
Inspeksi respon terhadap rangsang, masalah bicara, kesulitan
menelan, kelemahan atau paralisis ekstremitas, perubahan visual
dan gelisah
e. Exposure
Adanya suatu trauma dapat mempengaruhi exposure, reaksi kulit,
adanya tusukan dan tanda-tanda lain yang harus diperhatikan.
Dalam penilaian exposure dapat diperhatikan diantaranya apakah
terjadi hipotermia, deformitas, hematoma, laserasi, contusion,
abrasi, edema dan nyeri.
4. Pemeriksaan Sistem Tubuh
Pemeriksaan system tubuh meliputi (Alfikasari, 2020):
a. Brain
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis bergantung pada
lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area
yang perfusinya tidak adekuat dan aliran darah kolateral
(sekunder atau aksesori). Lesi otak yang rusak tidak dapat
membaik sepenuhnya.
1) Tingkat Kesadaran : Pada keadaan lanjut, tingkat kesadaran
klien ICH biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan
semikomatosa.
2) Pemeriksaan Saraf Kranial
a) Saraf I : biasanya tidak terdapat kelainan pada fungsi
penciuman
b) Saraf II : disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras
sensorik primer diantara mata dan korteks visual.
Gangguan hubungan visual spasial (mendapatkan
hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering
terlihat pada klien dengan hemiplagia kiri. Klien
43

mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa bantuan


karena ketidakmampuan untuk mencocokan pakaian
kebagian tubuh.
c) Saraf III, IV, dan VI : apabila akibat ICH mengakibatkan
paralesis sesisi otototot okularos didapatkan penurunan
kemampuan gerakan konjungat unilateral disisi yang
sakit.
d) Saraf V : Pada beberapa keadaan ICH menyebabkan
paralisis saraf trigeminus, didapatkan penuruna fungsi
kordinasi gerakan mengunyah, penyimpangan rahang
bawah ke sisi lateral dan kelumpuhan sesisi otot- otot
pteigoideus internus dan eksternus.
e) Saraf VII : persepsi pengecapan normal, wajah asimetris,
otot wajah tertarik kebagian sisi yang sehat.
f) Saraf IX dan X, kemampuan menelan kurang baik,
kesukaran membuka mulut.
g) Saraf XI : tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus
dan trapezius.
h) Saraf XII : lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi
dan fasikulasi. indra pengecapan normal
b. Blood
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok)
hipovolemik yang sering terjadi pada klien ICH. TD biasanya
mengalami peningkatan.
c. Breath
Umumnya pada pasien dengan stroke hemoragic didapatkan hasil
pemeriksaan seperti Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan
produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan
peningkatan frekuensi pernapasan. Auskultasi didapatkan bunyi
napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan peningkatan
produksi sputum dan kemampuan batuk menurun yang sering
44

didapatkan pada klien stroke dengan penurunan tingkat kesadaran


koma. Pada klien dengan tingkat kesadaran composmentis pada
pengkajian inspeksi pernafasan tidak ada kelainan. Palpasi
didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi
tidak didapatkan bunyi napas tambahan
d. Bowel
Didapatkan keluhan sulit menelan, nafsu makan menurun, jual dan
muntah pada fase akut. Mual dan muntah dihubungkan dengan
peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan
masalah pemebuhan kebutuhan nutrisi.
e. Bone
Kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Gangguan
neuron motor pada salah satu sisi tubuh. Hemiparesis atau
kelemahan salah satu sisi tubuh. Kulit tampak pucat karena
kekurangan O2, turgor kulit menurun karena kekurangan cairan.
Kemungkinan ditemukannya dekubitus karena adanya gangguan
mobilitas fisik pada klien ICH.
f. Bladder
Klien mungkin mengalami inkontinensia urine sementara karena
konfusi. Kadang - kadang kontrol sfingter eksternal hilang atau
berkurang.
5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang sebagai berikut (Alfikasari, 2020) :
a. CT Scan (Computed Tomography Scan) CT Scan digunakan untuk
memperlihatkan edema, hematoma, non hemoragik dan adanya
infark.
b. MRI (Magnetic Resonance Imaging) Pemeriksaan MRI dilakukan
dengan menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan
posisi dan besar/luas terjadinya perdarahan otak.
45

c. Angiogram digunakan untuk membantu menentukan penyebab


stroke secara spesifik seperti perdarahan, obstruksi arteri, oklusi
atau ruptur.
d. Ekokardiogram merupakan pemeriksaan dengan menggunakan
gelombang suara pada jantung. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mengetahui fungsi katup- katup jantung, mengetahui ketebalan
dinding jantung dan melihat adanya gumpalan darah yang dapat
menyebakan stroke.
e. Lumbal Puncture atau Fungsi Lumbal digunakan untuk
mengidentifikasi adanya tekanan normal hemoragik, Malformasi
Arterial Artirivena (MAV).
f. Ultrasonografi Doppler adalah sebuah tes untuk mengidentifikasi
penyakit arteriovena (masalah sistem arteri karotis atau aliran
darah).
g. EEG (Electro ensefalography) Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mengidentifikasi masalah dengan melihat gelombang pada otak.
h. Pemeriksaan laboratorium meliputi :
1) Test darah koagulasi terdiri dari 4 pemeriksaan, yaitu:
prothrombin time, partial thromboplastin (PTT), International
Normalized Ratio (INR) dan agregasi trombosit. Keempat test
ini gunanya mengukur seberapa cepat darah pasien
menggumpal. Gangguan penggumpalan bisa menyebabkan
perdarahan atau pembekuan darah. Jika pasien sebelumnya
sudah menerima obat pengencer darah seperti warfarin, INR
digunakan untuk mengecek apakah obat itu diberikan dalam
dosis yang benar. Begitu pun bila sebelumnya sudah diobati
heparin, PTT bermanfaat untuk melihat dosis yang diberikan
benar atau tidak (Putri Geofani,2017).
2) Test kimia darah untuk melihat kandungan gula darah,
kolesterol, asam urat, dll. Apabila kadar gula darah atau
kolesterol berlebih, bisa menjadi pertanda pasen sudah
46

menderita diabetes dan jantung. Kedua penyakit ini termasuk


ke dalam salah satu pemicu ICH (Putri Geofani, 2017)
3) Pemeriksaan darah lengkap seperti Hb, Leukosit, Trombosit,
Eritrosit. Hal ini berguna untuk mengetahui apakah pasien
menderita anemia. Sedangkan leukosit untuk melihat sistem
imun pasien. Bila kadar leukosit diatas normal, berarti ada
penyakit infeksi yang sedang menyerang pasien (Putri Geofani,
2017).
6. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang akan muncul dengan menggunakan Standar
Diagnosis Keperawatan Indonesia dalam Tim Pokja SDKI DPP
PPNI (2017) yaitu:
a. Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif (D.0017;51)
b. Gangguan rasa nyaman (D.0074; 166)
c. Defisit perawatan diri (D.0109; 240)
d. Gangguan komunikasi verbal (D.0119;264)
e. Gangguan mobilitas fisik (D.0054; 124)
f. Defisit nutrisi (D.0019;56)
g. Gangguan persepsi sensori (D.0085; 190)
47
48

7. Intervensi Keperawatan

Diagnosa
No Waktu Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional TTD
Keperawatan
1. Selasa, 04 Risiko Perfusi Setelah diberikan asuhan keperawatan Observasi Iffah
Terapi Familiar Auditory
Juli Serebral Tidak 3x24 jam masalah Resiko perfusi serebral - Monitor tingkat kesadaran
Sensory Training (FAST)
2023/09.00 Efektif tidak efektif teratasi dengan kriteria hasil : - Monitor ingatan terakhir
merupakan terapi non
Terapeutik
farmakologi yang bertujuan
Perfusi serebral (L.02014; 86) - Berikan terapi familiar auditory sensory
untuk meningkatkan angka
- Tingkat kesadaran meningkat training
Glasgow Coma Scale (GCS)
dengan skala 5 Edukasi
(Wibowo, D.dkk. 2022)
- Tekanan intracranial menurun - Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
dengan skala 5 - Informasikan hasil pemantauan
- Sakit kepala menurun dengan (I.06197; 245)
skala 5
- Gelisah menurun dengan skala 5
- Kesadaran membaik dengan
skala 5
2. Selasa, 04 Gangguan rasa Setelah diberikan asuhan keperawatan Observasi Iffah
Juli nyaman 3x24 jam masalah gangguan rasa nyaman - Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
2023/09.00 teratasi dengan kriteria hasil : frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
- Identifikasi respon nyeri non verbal
Status kenyamanan (L.08064; 110) Terapeutik
- Keluhan tidak nyaman menurun - Berikan Teknik nonfarmakologis untuk
dengan skala 5 mengurangi rasa nyeri
- Gelisah menurun dengan skala 5 - Fasilitasi istirahat dan tidur
- Kesejahteraan fisik meningkat Edukasi
dengan skala 5 - Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Kesejahteraan psikologis - Ajarkan Teknik nonfarmakologi untuk
meningkat dengan skala 5 mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik
49

(I.08238; 201)
50

3. Selasa, 04 Gangguan Setelah diberikan asuhan keperawatan Observasi Iffah


Juli komunikasi verbal 3x24 jam masalah gangguan komunikasi - Monitor kecepatan, tekanan, kuantitas,
2023/09.00 verbal teratasi dengan kriteria hasil : volume dan diksi bicara
Terapeutik
Komunikasi verbal (L.13118; 51) - Gunakan metode komunikasi alternatif
- Aktivitas fisik yang - Modifikasi lingkungan untuk
direkomendasikan meningkat meminimalkan bantuan
dengan skala 5 Edukasi
- Strategi untuk menyeimbangkan - Anjurkan berbicara perlahan
aktivitas dan istirahat meningkat Kolaborasi
dengan skala 5 - Rujuk ke ahli patologi bicara atau terapis
- Teknik pernafasan efektif (I.13492; 373)
meningkat dengan skala 5
4. Selasa, 04 Gangguan mobilitas Setelah diberikan asuhan keperawatan Observasi Iffah
Juli fisik 3x24 jam masalah gangguan mobilitas - Monitor frekuensi jantung dan tekanan
2023/09.00 fisik teratasi dengan kriteria hasil darah sebelum memulai ambulasi
Terapeutik
Mobilitas fisik (L.05042; 65) - Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik, jika
- Pergerakan ektremitas meningkat perlu
dengan skala 5 - Libatkan keluarga untuk membantu pasien
- Kekuatan otot meningkat dengan dalam meningkatkan ambulasi
skala 5 Edukasi
- Rentang gerak (ROM) meningkat - Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
dengan skala 5 - Anjurkan melakukan amulasi dini
- Kaku sendi menurun dengan - Ajarkan ambulasi sederhana yang harus
skala 5 dilakukan (misalnya berjalan dari tempat
tidur ke kursi roda)
(I.06171; 22)
51

5. Selasa, 04 Defisit perawatan diri Setelah diberikan asuhan keperawatan Observasi Iffah
Juli 3x24 jam masalah deficit perawatan diri - Monitor tingkat kemandirian
2023/09.00 teratasi dengan kriteria hasil - Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan
Terapeutik
Perawatan diri (L.11103; 81) - Sediakan lingkungan yang terapeutik
- Kemampuan mandi meningkat - Dampingi dalam melakukan perawatan diri
dengan skala 5 sampai mandiri
- Verbalisasi keinginan melakukan Edukasi
perawatan diri meningkat dengan - Anjurkan melakukan perawatan diri secara
skala 5 konsisten sesuai kemampuan
- Kemampuan makan meningkat (I.11348; 36)
dengan skala 5
6. Selasa, 04 Defisit nutrisi Setelah diberikan asuhan keperawatan Observasi Iffah
Juli 3x24 jam masalah defisit nutrisi teratasi - Identifikasi status nutrisi
2023/09.00 dengan kriteria hasil : - Identifikasi hasil pemeriksaan laboratorium
Terapeutik
Status nutrisi (L.03030; 121) - Lakukan oral hygiene sebelum makan
- Berat badan membaik dengan - Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi
skala 5 protein
- Indeks masa tubuh (IMT) Edukasi
membaik dengan skala 5 - Ajarkan diet yang di programkan
- Bising usus membaik dengan Kolaborasi
skala 5 - Kolaborasi pemberian medikasi sebelum
- Membran mukosa membaik makan
dengan skala 5 - Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis nutrient
yang dibutuhkan
(I.03119; 200)
52

7. Selasa, 04 Gangguan persepsi Setelah diberikan asuhan keperawatan Observasi Iffah


Juli sensori 3x24 jam masalah ganguan persepsi - Periksa status sensori dan tingkat
2023/09.00 sensori teratasi dengan kriteria hasil : kenyamanan (missal nyeri)
Terapeutik
Fungsi sensori (L.06048; 28) - Batasi stimulus lingkungan
- Ketajaman pendengaran - Diskusikan tingkat toleransi terhdap beban
meningkat dengan skala 5 sensori
- Ketajaman penglihatan Edukasi
meningkat dengan skala 5 - Ajarkan cara meminimalisasi stimulus
- Persepsi stimulasi kulit Kolaborasi
meningkat dengan skala 5 - Kolaorasi pemberian obat yang
mempenaruhi persepsi stimulus
(I.08241; 233)
BAB III

METODE PENERAPAN DAN GAMBARAN KASUS

A. Rancangan Penerapan
Metode yang digunakan dalam penerapan ini adalah deskriptif studi kasus,
yaitu menggambarkan bagaimana penerapan Familiar Auditory Sensory
Training (FAST) pada tingkat kesadaran pasien stroke di ICU. Penerapan
Familiar Auditory Sensory Training (FAST) pada tingkat kesadaran pasien
stroke di ICU hanya untuk mendeskripsikan tingkat kesadaran sebelum
dan setelah diberikan Familiar Auditory Sensory Training (FAST).
B. Subyek Penerapan
Subjek dalam penerapan ini adalah pasien stroke yang mengalami
penurunan kesadaran di ICU Rumah Sakit Pandanarang Boyolali dengan
kriteria sebagai berikut :
2. Kriteria inklusi
a. Bersedia menjadi responden
b. Usia pasien 35-75 tahun
c. Nilai GCS pasien 3-14
d. Pendamping pasien minimal usia 18 tahun
e. Merupakan keluarga inti pasien.
3. Kriteria eksklusi
a. Keluarnya darah dan pus dari telinga dan hidung
b. Dilakukan tindakan pembedahan (kraniotomi) dan
ventriculoperitoneal shunt
c. Pasien mengalami infeksi nosocomial
d. Pasien mengalami gangguan pendengaran
e. Terpasangnya ventilator & penggunaan obat opiad pada pasien.

53
C. Gambaran Kasus
Tabel 3.2 Gambaran Kasus

No Responden 1 Responden 2
1. Identitas Identitas
Nama : Ny.S Nama : Ny. W
Usia : 70 Tahun/ 18 Mei 1953 Usia : 67 Tahun/ 01 Juli 1956
Jenis kelamin : Perempuan Jenis kelamin : Perempuan
Pendidikan : SD Pendidikan : SD
Pekerjaan : Tidak bekerja Pekerjaan : Tidak bekerja
Alamat : Boyolali Alamat : Boyolali
No Registrasi : 23674xxx No Registrasi : 19602xxx
Diagnosa Medis : Infark cerebri Diagnosa Medis : Stroke Non Hemoragik
Keluhan utama : Penurunan kesadaran Keluhan utama : Penurunan kesadaran
2. Primary Survey Primary Survey
Airway Bicara : Vokalisasi tidak jelas Airway Bicara : Disorientasi tempat dan waktu
Suara nafas : vesikuler Suara nafas : vesikuler
Artifisial airway : tidak terpasang OPA/ETT Artifisial airway : tidak terpasang OPA/ETT

Data Subyektif : Data Subyektif :


Tidak terkaji (pasien mengalami penurunan kesadaran) Pasien mengatakan tidak mengeluhkan sesak nafas

Sesak : Tidak Breathing Sesak : Tidak


Cuping hidung : Tidak ada Cuping hidung : Tidak ada
Breathing
Pola nafas : tidak teratur Pola nafas : Teratur
Irama : Dalam Irama : Lambat
Retraksi dada : Tidak ada Retraksi dada : Tidak ada
Sianosis : Tidak ada Sianosis : Tidak ada
Bunyi nafas tambahan : Tidak ada Bunyi nafas tambahan : Tidak ada

Data subyektif : Data subyektif :


Tidak terkaji (pasien mengalami penurunan kesadaran) Pasien mengatakan tidak sesak saat bernafas

54
Data obyektif :
Data obyektif : Respiratory rate : 18x/menit
- Respirasi rate : 18x/menit
- Pasien tampak mengunakan NRM 8 lpm Nadi : teraba
Circulation Irama : reguler
Nadi : teraba Denyut : kuat
Irama : Irreguler Akral : hangat
Denyut : Kuat Warna kulit : pucat
Akral : Hangat CRT : <1 detik
Circulation Warna kulit : Pucat
Edema : Tidak ada Data subyektif :
CRT : < 1 detik Tidak terkaji (pasien mengalami disorientasi)
Data obyektif :
Data subyektif : - Nadi : 84x/menit
Tidak terkaji (pasien mengalami penurunan kesadaran) - Tekanan darah : 153/70 mmHg
Data obyektif : - SPO2 :100%
- Nadi : 92x/menit - EKG : Sinus rhytm
- Tekanan darah : 120/56 mmHg
- Spo2 : 100% Respon :A V√ P U
- EKG : Sinus rhytm Kesadaran : Delirium
Disability Pupil : Isokor
Respon : A V P√ U GCS : E3V4M3
Kesadaran : Sopor
Pupil : Isokor Data subyektif :
GCS : E2 V2 M2 Tidak terkaji (pasien mengalami disorientasi)
Data obyektif :
Data subyektif : - Pasien membuka mata saat dipangil namanya
Disability Tidak terkaji (pasien mengalami penurunan kesadaran) - Respon verbal pasien disorientasi pada kalimat tertentu
Data obyektif : - Respon motoric pasien tangannya mengepal saat diberi
- Pasien membuka saat diberi rangsang nyeri rangsang nyeri
- Pasien hanya mengerang sesekali - GDS 280 mg/dl
- Respon motoric pasien tungkai kaki ekstensi,
telapak kaki fleksi Hipotermia : Tidak

55
- GDS 149 mg/dl Deformitas : Tidak ada
Hematoma : Ada
Hipotermia : Tidak Exposure Penetrasi : Tidak ada
Deformitas : Tidak ada Laserasi : Tidak ada
Hematoma : Tidak ada Contusio : Tidak ada
Laserasi : Tidak ada Abrasi : Tidak ada
Exposure
Contusio : Tidak ada Suhu : 36,8oC
Abrasi : Tidak ada
Suhu : 37oC
Data subyektif :
Data subyektif : Tidak terkaji (pasien mengalami disorientasi)
Tidak terkaji (pasien mengalami penurunan kesadaran) Data obyektif :
Data obyektif : - Terdapat hematoma di lutut kanan bagian dalam
- Terdapat luka decubitus di pinggul grade 1, - Luas hematoma kurang lebih 5 cm
luas kurang lebih 3 cm
3. Pemeriksaan Sistem Tubuh Pemeriksaan Sistem Tubuh
Brain Inspeksi Brain Inspeksi
- Kesadaran sopor - Keadaan delirium
- Tidak terdapat lesi - Tidak terdapat lesi
- Normosefali - Normosefali
Palpasi Palpasi
Tidak terdapat luka tekan Tidak ada luka tekan

Inspeksi Inspeksi
Blood Blood
Iktus kordis di ICS (intercostal space) VI garis aksila Iktus kordis di ICS VII garis aksila anterior sinistra
anterior sinistra
Palpasi
Palpasi Iktus kordis di ICS VII garis aksila anterior sinistra
Iktus kordis teraba di ICS (intercostal space) VI garis aksila
anterior sinistra. Perkusi
Redup
Perkusi
Redup Auskultasi

56
Bunyi jantung lup dub, tidak ada suara tambahan
Auskultasi
Bunyi jantung bunyi I–II regular
Inspeksi Inspeksi
Breath Tidak terdapat retraksi dinding dada Breath Tidak terdapat retraksi dinding dada

Palpasi Palpasi
Tidak terdapat benjolan ataupun fraktur pada dinding dada Tidak terdapat benjolan atau fraktur pada dinding dada

Perkusi Perkusi
Sonor Sonor

Auskultasi Auskultasi
Vesikuler Vesikuler

Inspeksi Inspeksi
- Tidak tampak lesi - Tidak tampak lesi
Bowel - Terpasang NGT Bowel - Tidak terpasang NGT

Auskultasi Auskultasi
Bising usus 10x/menit Bising usus 10x/menit

Perkusi Perkusi
Timpani Timpani

Palpasi Palpasi
Tidak ada benjolan, edema Tidak ada abenjolan, edema

- Kulit tampak pucat, mukosa bibir kering


- Kulit tampak kering, mukosa bibir kering - Kekuatan otot
- Kekuatan otot 33
00 Bone 33
Bone 11 - Ektremitas kanan atas terpasang infus clinimix 40 cc/jam

57
- Ektremitas kanan atas terpasang infus clinimix serta plasmonate 40 cc/jam melalui infus pump
40cc/jam melalui infus pump - Ekstremitas kiri atas terpasang infus clinoleic 40 cc/jam
- Ektremitas kanan bawah terpasang RL dan melalui infus pump
plasmanate 40 cc/jam melalui infus pump
- Terpasang urine kateter - Terpasang urine kateter 450 cc/8 jam
- Urine tampak kuning keruh, jumlah urine 500/8 - Urine berwarna kuning cerah
jam
Bladder Bladder
4. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium Hemoglobin : 7,3 g/dl Laboratorium Hemoglobin :11,9 g/dl
07 Juli 2023 Leukosit : 7940 /µL 06 Juli 2023 Leukosit : 9500 /µL
Trombosit : 263 103/ µL Trombosit : 181 103/ µL
APTT : 40,8 detik APTT : 27,6 detik
PTT : 13,3 detik PTT : 14,8 detik
Natrium : 134 mmol/L Natrium : 139 mmol/L
Ureum : 54 mg/dl Kalium : 3,9 mmol/L
Kreatinin : 1,4 mg/dl Ureum : 78 mg/dl
Albumin : 2,5 g/dl Kreatinin : 6,6 mg/dl
SGOT : 40 U/L
SGPT : 70 U/L
Albumin : 2,7 g/dl
Foto thorax Kardiomegali Foto thorax Kardiomegali
28 Juni 2023 05 Juli 2023
CT Scan - Infark cerebri di lobus frontalis kiri, corona radiata
30 juni 2023 kiri, nucleus lentiformis kiri
- Multiple lacunar infark di crus posterior
5. Terapi Terapi
Enteral Enteral
Rebamipid 3x1 Obat maag yang biasa digunakan untuk Metformin 1 x 500 mg Obat antidiabetes generik yang dapat mengontrol
mengobati tukak lambung dan gastritis. dan menurunkan kadar gula darah pada
Misoprostol 2 x 1 mg Untuk mengatasi tukak lambung atau ulkus penderita diabetes tipe 2.
duodenum Adalat oros 1 x 30 mg Obat yang di gunakan untuk mengobati

58
untuk mengobati defisiensi asam folat dan hipertensi dan angina.
Asam folat 1 x 1 mg beberapa jenis anemia (kekurangan sel Asam folat 1 x 1 mg untuk mengobati defisiensi asam folat dan
darah merah) beberapa jenis anemia (kekurangan sel darah
Untuk mengalirkan oksigen kecepatan merah)
rendah pada pasien yang bisa bernapas Nasal kanul 4 lpm
spontan.
NRM 8 lpm
Parenteral Parenteral
Vitamin K 1 gr/8 j Untuk menghilangkan efek pengencer Novorapid 3 x 4 ui Pengobatan pada diabetes melitus
darah tertentu seperti warfarin Citicolin 500 mg/12 j Untuk mengatasi gangguan kesadaran
Citicolin 500 mg/6 j Untuk mengatasi gangguan kesadaran Paracetamol 1 gr/8 jam Untuk meredakan demam dan nyeri ringan
Omeprazole 40 mg/12 j Untuk mengatasi asam lambung berlebih hingga sedang
Levofloxacin 750 mg/24 j Untuk mengatasi infeksi karena bakteri Omeprazole 40 mg/12 j Untuk mengatasi asam lambung berlebih
seperti infeksi pada kulit, infeksi saluran Cliniix 40 cc/jam Membantu mengobati gula darah rendah, ginjal,
kencing, saluran pencernaan, infeksi pada dehidrasi, penyembuhan luka, dan gigi sensitive
mata Clinoleic 40 cc/jam Sebagai sumber kalori atau asam lemak esensial
Untuk terapi syok karena luka bakar, pada pasien yang tidak dapat makan,
Plasmanate 40cc/jam
kecelakaan, kondisi nyeri berlebihan pada kontraindikasi, atau tidak mencukupi
bagian perut dan kasus lain yang Untuk terapi syok karena luka bakar,
Plasmonate 40 cc/jam
disebabkan karena kehilangan cairan kecelakaan, kondisi nyeri berlebihan pada
plasma darah, terapi syok karena bagian perut dan kasus lain yang disebabkan
pendarahan dan syok karena transfusi karena kehilangan cairan plasma darah, terapi
darah syok karena pendarahan dan syok karena
Ringer Lactat 40 cc/jam Untuk menggantikan cairan tubuh yang transfusi darah
hilang
Clinoleic 40 cc/jam Sebagai sumber kalori atau asam lemak
esensial pada pasien yang tidak dapat
makan, kontraindikasi, atau tidak
mencukupi
Clinimix 40 cc/jam Membantu mengobati gula darah rendah,

59
ginjal, dehidrasi, penyembuhan luka, dan
gigi sensitif

60
61

D. Definisi Operasional
Tabel 3.3 Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Indikator Penilaian Skala Data


Independe Suatu tindakan untuk Lembar - -
n: mendengarkan suara Familiar
Familiar rekaman dari keluarga inti Auditory
Auditory (memiliki hubungan Sensory
Sensory paling dekat dengan Training
Training pasien) yang direkam (FAST)
(FAST) menggunakan recorder
atau hp selama 10 menit
yang berisikan tentang
kondisi awal sakit pasien,
kenangan indah serta
dorongan atau kata-kata
menjanjikan untuk
pemulihan pasien
Dependen : Tingkat kesadaran Alat ukur yang - Composmentis (GCS Interval
Tingkat menggambarkan diunakan yaitu 14-15)
kesadaran seseorang dapat menggunakan - Apatis (GCS 12-13)
melakukan aktivitas, Glasgow Coma - Delirium(GCS 10-
komunikasi, dan Scale (GCS) 11)
mengidientifikasi - Somnolen (GCS 7-9)
lingkungan sekitar - Stupor (GCS 5-6)
- Semi-koma (GCS 4)
- Koma (GCS
3)

E. Lokasi dan Waktu


Penerapan Familiar Auditory Sensory Training dilakukan di ruang ICU
RSUD Pandan Arang Boyolali. Waktu penerapan dimulai pada tanggal 04-
06 Juli 2023 yang terdiri dari tahap penyusunan proposal, pengumpulan
data. Kemudian dilanjutkan dengan penyusunan laporan hasil penerapan.
F. Pengumpulan Data
Penerapan ini penulis mengambil sampel 2 pasien di ruang ICU RSUD
Pandan Arang Boyolali sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Setelah
pengambilan sampel penulis melakukan persetujuan responden dengan
memberikan lembar informed consent untuk diisi keluarga pasien. Setelah
disetujui untuk dilakukan penerapan, langkah selanjutnya yaitu dengan
62

mengisi lembar observasi pengukuran tingkat kesadaran menggunakan


Glasgow Coma Scale (GCS) kepada kedua responden sebelum dilakukan
penerapan FAST. Setelah selesai pengisian lembar observasi GCS maka
langkah selanjutnya yaitu melakukan penerapan Familiar Auditory
Sensory Training selama kurun waktu yang sudah ditentukan. Setelah
selesai penerapan maka penulis melakukan pengisian lembar observasi
pengukuran tingkat kesadaran menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS).
Setelah hasil pengukuran didapatkan selanjutnya penulis menganalisis
bagaimanakah pengaruh penerapan Familiar Auditory Sensory Training
terhadap tingkat kesadaran pada pasien stroke.
G. Pengolahan Data
Studi kasus ini menggunakan sumber data primer dan sekunder.
Sumber data primer diperoleh langsung dari pasien dan keluarga,
sedangkan data sekunder diperoleh dari rekam medis pasien untuk melihat
diagnosis pasien dan riwayat medis. Metode yang dilakukan dalam studi
kasus ini adalah :
1. Wawancara
Wawancara ini digunakan untuk mendapatkan data identitas pasien,
keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu,
riwayat kesehatan keluarga, pola fungsional kesehatan.
2. Observasi dan Pemeriksaan Fisik
Observasi dan pemeriksaan fisik meliputi keadaan umum, primary
survey, pemeriksaan system tubuh (brain, blood, breath, bowe, bone,
bladder). Focus pada data yang harus didapatkan yaitu tingkat
kesadaran (brain).
3. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi dilakukan dengan mengambil data Rekam Medis
meliputi mencatat hasil laboratorium, mencatat hasil pemeriksaan
diagnostik. Penggumpulan data ini untuk menegakkan diagnosis
maupun perkembangan status kesehatan pasien.
63
64

4. Instrumen dan Pengumpulan Data


Alat instrumen pengumpulan data menggunakan lembar observasi
tingkat kesadaran dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS).
H. Etika Penerapan
Penerapan juga memperhatikan masalah etik dengan memperhatikan
norma hukum dan teknik administrasi yang benar. Etik penerapan ini
meliputi :
1. Lembar persetujuan (Informed consent)
Lembar persetujuan berisi penjelasan mengenai penerapan yang
dilakukan, tujuan penerapan, tata cara penerapan. Manfaat yang
diperoleh responden, dan resiko yang mungkin terjadi. Pertanyaan
dalam lembar persetujuan jelas dan mudah dipahami sehingga
responden tahu bagaimana penerapan ini dijalankan. Untuk responden
yang bersedia maka mengisi dan menadatangani lembar persetujuan
secara sukarela.
2. Tanpa nama (Anonymity)
Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak mencantumkan nama
responden, tetapi lembar tersebut hanya diberi kode.
3. Kerahasiaan (Confidentiality)
Confidentiality yaitu tidak akan menginformasikan data dan hasil
penerapan berdasarkan data individual, namun data dilaporkan
berdasarkan kelompok.
4. Bermanfaat (Beneficience)
Prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan kepada
kebaikan partisipan. Peneliti memiliki kewajiban untuk
meminimalkan kerugian dan memaksimalkan keuntungan dengan
menghasilkan manfaat bagi responden.
5. Kejujuran (Veracity)
Prinsip kejujuran menekankan peneliti untuk menyampaikan
informasi yang benar. Penerapan memberikan informasi mengenai
tujuan,manfaat dan prosedur penerapan.
65
66

6. Keadilan (Justice)
Prinsip keadilan menuntun peneliti tidak melakukan diskriminasi saat
memilih responden dalam melakukan proses penerapan.
7. Tidak merugikan (Non maleficience)
Peneliti memiliki kewajiban untuk menghindari, mencegah, dan
meminimalkan bahaya bagi responden. Responden di usahakan bebas
dari rasa bahaya.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penerapan
1. Gambaran Lokasi Penerapan
Penerapan karya ilmiah ini dilakukan di Rumah Sakit Umum
Daerah Pandan Arang Boyolali yang terletak di Jalan Kantil nomor 14
Boyolali, Kelurahan Banaran, Kecamatan Boyolali, Kabupaten
Boyolali. RSUD Pandan Arang memiliki beberapa ruangan perawatan
baik itu intensif maupun non intensif. Salah satu ruangan intensif
RSUD Pandanarang Boyolali yaitu Ruang ICU. Ruang ICU
merupakan unit perawatan khusus untuk pasien dengan penyakit
serius dan butuh pemantauan ketat. Ruang ICU terdiri dari 10 bed
pasien dan 2 ruang isolasi. Tenaga kesehatan perawat yang bertugas di
Ruang ICU berjumlah 8 orang.
2. Hasil Penerapan
a. Hasil Pengukuran Tingkat Kesadaran Sebelum Diberikan
Familiar Auditory Sensory Training
Tabel 4.1 Tingkat Kesadaran Sebelum Diberikan Familiar Auditory
Sensory Training

Waktu Nama GCS Interpretasi


11.00 Ny.S 6 Sopor
Hari Ke 1
11.05 Ny.W 10 Delirium
09.30 Ny.S 6 Sopor
Hari Ke 2
09.35 Ny.W 10 Delirium
10.05 Ny.S 6 Sopor
Hari Ke 3
10.10 Ny.W 11 Delirium

Berdasarkan tabel 4.1 menunjukkan bahwa hari pertama


sebelum diberikan penerapan Familiar Auditory Sensory Training
dilakukan pengukuran tingkat kesadaran pada kedua responden
yaitu Ny.S dengan nilai 6 yang berarti tingkat kesadaran sopor
sedangkan Ny.W dengan nilai 10 yang berarti tingkat kesadaran
delirium. Pada hari kedua sebelum diberikan penerapan Familiar
Auditory Sensory Training tingkat kesadaran pada kedua
responden yaitu Ny.S dengan nilai 6 yang berarti tingkat

67
kesadaran sopor sedangkan Ny.W dengan nilai 10 tingkat
kesadaran delirium.

68
69

Pada hari ketiga sebelum diberikan penerapan Familiar


Auditory Sensory Training dilakukan pengukuran tingkat
kesadaran pada kedua responden yaitu Ny.S dengan nilai 6 yang
berarti tingkat kesadaran sopor sedangkan Ny.W dengan nilai 11
yang berarti tingkat kesadaran delirium.
b. Hasil Pengukuran Tingkat Kesadaran Sesudah Diberikan
Familiar Auditory Sensory Training
Tabel 4.2 Tingkat Kesadaran Sesudah Diberikan Familiar Auditory
Sensory Training

Waktu Nama GCS Interpretasi


15.30 Ny.S 6 Sopor
Hari Ke 1
15.35 Ny.W 10 Delirium
13.00 Ny.S 6 Sopor
Hari Ke 2
13.05 Ny.W 11 Delirium
14.35 Ny.S 7 Somnolen
Hari Ke 3
14.40 Ny.W 11 Delirium

Berdasarkan tabel 4.2 menunjukkan bahwa hari pertama


sesudah diberikan penerapan Familiar Auditory Sensory Training
dilakukan pengukuran tingkat kesadaran pada kedua responden
yaitu Ny.S dengan nilai 6 yang berarti tingkat kesadaran sopor
sedangkan Ny.W dengan nilai 10 yang berarti tingkat kesadaran
delirium. Pada hari kedua sesudah diberikan penerapan Familiar
Auditory Sensory Training dilakukan pengukuran tingkat
kesadaran pada kedua responden yaitu Ny.S dengan nilai 6 yang
berarti tingkat kesadaran sopor sedangkan Ny.W dengan nilai 11
yang berarti tingkat kesadaran delirium. Pada hari ketiga sesudah
diberikan penerapan Familiar Auditory Sensory Training
dilakukan pengukuran tingkat kesadaran pada kedua responden
yaitu Ny.S dengan nilai 7 yang berarti tingkat kesadaran
somnolen sedangkan Ny.W dengan nilai 11 yang berarti tingkat
kesadaran delirium.
70
71

c. Hasil Perkembangan Tingkat Kesadaran Pasien 1 dan Pasien 2


Yang Dilakukan Penerapan Familiar Auditory Sensory Training
Tabel 4.3 Hasil Perkembangan Tingkat Kesadaran pada 2 Responden
Tingkat
Tingkat
Waktu Nama Sebelum Sesudah Kesadara Peningkatan
Kesadaran
n
Hari Ke Ny.S 6 Sopor 6 Sopor 0
1 Ny.W 10 Delirium 10 Delirium 0
Hari Ke Ny.S 6 Sopor 6 Sopor 0
2 Ny.W 10 Delirium 11 Delirium 1
Hari Ke Ny.S 6 Sopor 7 Somnolen 1
3 Ny.W 11 Delirium 11 Delirium 1

Berdasarkan tabel 4.3 dapat disimpulkan bahwa penerapan


Familiar Auditory Sensory Training (FAST) kepada 2 pasien
yaitu Ny.S dan Ny.W selama 3 hari berturut-turut. Penerapan
Familiar Auditory Sensory Training (FAST) selama 10 menit
dalam 3 x sehari terdapat perkembangan tingkat kesadaran
pada kedua pasien. Pasien Ny.S mengalami perkembangan
tingkat kesadaran pada hari ke 3, sedangkan untuk Ny.W
mengalami peningkatan kesadaran pada hari ke 2.
d. Hasil Perbandingan Tingkat Kesadaran Sebelum Dan Sesudah
Diberikan Familiar Auditory Sensory Training
Tabel 4.4 Hasil Perbandingan Tingkat Kesadaran Sebelum dan Sesudah
Diberikan Familiar Auditory Sensory Training
Tingkat Tingkat Peningkat Perbanding
Waktu Nama Sebelum Sesudah
Kesadaran Kesadaran an an
Hari Ke Ny.S 6 Sopor 6 Sopor 0 0
1 Ny.W 10 Delirium 10 Delirium 0 0
Hari Ke Ny.S 6 Sopor 6 Sopor 0 0
2 Ny.W 10 Delirium 11 Delirium 1 1
Hari Ke Ny.S 6 Sopor 7 Somnolen 1 1
3 Ny.W 11 Delirium 11 Delirium 0 0

Berdasarkan tabel 4.4 dapat disimpulkan bahwa penerapan


Familiar Auditory Sensory Training (FAST) pada 2 pasien yaitu Ny.S
dan Ny.W selama 3 hari berturut-turut terdapat adanya perkembangan
tingkat kesadaran pada kedua pasien. Peningkatan tingkat kesadaran
yang dialami oleh kedua responden didapatkan selisih 0.
72

B. Pembahasan
1. Tingkat Kesadaran Sebelum Diberikan Intervensi Familiar
Auditory Sensory Training Pada Pasien Stroke Di Ruang ICU
Rumah Sakit Pandanarang Boyolali
Pada hari pertama, tingkat kesadaran responden Ny.S dan Ny.W
sebelum dilakukan penerapan Familiar Auditory Sensory Training
memiliki perbedaan, pada responden Ny.S memiliki nilai Glasgow
Coma Scale (GCS) 6 yang berarti tingkat kesadaran sopor dan
responden Ny.W memiliki nilai Glasgow Coma Scale (GCS) 10 yang
berarti delirium.
Penurunan kesadaran yang dialami oleh kedua pasien bisa
dikarenakan oleh penyakit penyerta atau kondisi klinis masing-masing
pasien. Penyakit penyerta tersebut selain hipertensi dan diabetes
melitus, yaitu ensefalopati uremikum pada penderita gagal ginjal
kronik seperti halnya dalam penelitian (Sirait, F.R.H. & Sari, M.I.
2017) yang menjelaskan bahwa ensefalopati uremikum merupakan
suatu kondisi disfungsi otak pada penderita gagal ginjal kronis
maupun akut yang menyebabkan terjadi perubahan kesadaran,
perubahan tingkah laku, dan kejang yang disebabkan oleh kelainan
pada otak maupun diluar otak.
Pada kondisi kedua responden, sama-sama mengalami anemia
sejalan dengan penelitian Natasya, N., dkk (2022) bahwa anemia
terjadi karena adanya perdarahan hebat saat kehilangan darah, tubuh
akan menarik cairan pada jaringan diluar pembuluh darah untuk
mempertahankan pembuluh darah tetap terisi. Akibatnya darah akan
menjadi encer serta persentase sel darah merah menurun, koma
hepatic atau sering disebut sindrom neuropsikiatrik yang ditandai
dengan perubahan kesadaran.
73

2. Tingkat Kesadaran Sesudah Diberikan Intervensi Familiar


Auditory Sensory Training Pada Pasien Stroke Di Ruang ICU
Rumah Sakit Pandanarang Boyolali
Tingkat kesadaran pada kedua responden yang sudah diberikan
Familiar Auditory Sensory Training mengalami peningkatan pada hari
ke 2 dan ke 3. Pada hari ke 2 Ny.W mengalami peningkatan tingkat
kesadaran (GCS) menjadi 11 yang berarti delirium, serta pada hari ke
3 Ny.S mengalami peningkatan tingkat kesadaran (GCS) menjadi 7
yang berarti somnolen. Penerapan ini sejalan dengan penelitian
(Aripratiwi, C.dkk., 2020) menjelaskan bahwa ada perubahan nilai
GCS pretest-postest pada kelompok intervensi sesudah diberi
Familiar Auditory Sensory Training dalam waktu total 10 menit
selama 3 hari berturut-turut.
Penerapan ini sejalan dengan penelitian Mohammadi, M.K., dkk.
(2019) yang menjelaskan file Familiar Auditory Sensory Training
yang direkam diputar untuk pasien yang dituju dalam tiga hari
berturut-turut di sore hari sebelum waktu kunjungan pasien didapatkan
hasil bahwa Familiar Auditory Sensory Training (FAST) dapat
meningkatkan tingkat kesadaran pada pasien trauma kepala setelah 3
hari. Menurut penelitian Schnakers C, Magee WL, Harris B. (2016)
menjelaskan bahwa intervensi penelitian ini tidak memiliki efek buruk
pada aktifitas otak partisipan karena sifatnya yang tidak invasive,
stimulasi pendengaran dapat meningkatkan aktifitas otak tanpa
menimbulkan efek samping yang signifikan.
Berdasarkan penelitian Kandeepana, S. dkk. (2020) bahwa evaluasi
dan pengobatan untuk pasien dengan gangguan kesadaran
menggunakan Familiar Auditory Sensory Training (FAST) didapatkan
hasil penurunan nilai sinkronisasi korelasi antarsubjek menunjukkan
ada perbaikan pada system otak. Selain itu, pada penelitian Sullivan,
E.G. (2018) menjalaskan bahwa pemberian Familiar Auditory
74

Sensory Training (FAST) untuk pasien gangguan kesadaran


didapatkan hasil perkembangan tingkat kesadaran yang signifikan.
Pada penelitian Aripratiwi, C.dkk (2020) menjelaskan setelah
diberikan intervensi berupa FAST, saat diberikan rangsangan nyeri di
area procesus xypoideus perlahan-lahan skor motorik meningkat 1-2
angka dimana semula responden hanya mampu melakukan gerakan
fleksi maupun ekstensi abnormal, responden mulai berusaha untuk
menjangkau area nyeri yang diberikan meskipun tidak mencapai
sasaran yang diberikan rangsangan nyeri. Tidak hanya pada Motorik
saja, Adapun responden yang mengalami peningkatan pada eye
dimana semula mata hanya merespon terhadap nyeri, responden mulai
berusaha untuk melakukan bukaan mata ketika dipanggil namanya
atau ketika diberi perintah untuk membuka mata walau tidak terbuka
sepenuhnya.
3. Perkembangan Tingkat Kesadaran Pasien Stroke Sebelum Dan
Sesudah Diberikan Familiar Auditory Sensory Training Di Ruang
ICU Rumah Sakit Pandanarang Boyolali
Berdasarkan tabel 4.3 menunjukkan hasil penerapan yang
dilakukan terhadap dua responden dapat meningkatkan nilai Glasgow
Coma Scale (GCS) dalam kurun waktu 10 menit selama 3 hari
berturut-turut. Familiar Auditory Sensory Training (FAST) dilakukan
dengan meminta perizinan kepada keluarga pasien. Proses awal yang
dihadapi peneliti adalah pendekatan kepada keluarga terkait intervensi
yang akan diberikan kepada pasien. Setelah intervensi dilakukan
selama 3 hari berturut-turut, kemudian didapatkan hasil adanya
perubahan perkembangan Glasgow Coma Scale (GCS) antara
responden 1 dan responden 2 mengalami perkembangan Glasgow
Coma Scale (GCS).
Ny.S mengalami perkembangan tingkat kesadaran dari sopor
menjadi somnolen, sedangkan untuk Ny.W mengalami perkembangan
tingkat kesadaran dari angka 10 menjadi 11 delirium, hal ini sejalan
75

dengan penelitian (Aripratiwi, C.,dkk. 2020) dapat disimpulkan bahwa


ada perubahan nilai GCS pretest-postest pada kelompok ntervensi
setelah diberikan Familiar Auditory Sensory Training (FAST),
dibuktikan dengan penambahan 1-2 angka pada respon motorik dan
respon mata (eye).
Pada penerapan ini terdapat perbedaan waktu perkembangan
tingkat kesadaran, hal itu dapat dilihat dari kondisi klinis masing-
masing pasien yang berbeda. Penurunan kesadaran dapat berkaitan
dengan penyakit penyerta yang dimiliki, hal ini sejalan dengan
penelitian (Kurniawati et al., 2017) bahwa pada lansia yang menderita
stroke sering ditemui akibat dari gangguan aliran darah pada
pembuluh darah yang mengalami arterosklerosis, hal ini akan semakin
parah apabila disertai dengan tekanan darah tinggi. Selain itu, juga
berkaitan dengan komplikasi penyakit diabetes melitus yaitu
ketoasidosis diabetik, hal ini sejalan dengan penelitian (Jufan, Y.A.,
dkk. 2019) bahwa komplikasi diabetes mellitus (ketoasidosis diabetik)
bisa menyebabkan dehidrasi dan syok hipovolemik akibat diuresis
osmotic hiperglikemia, penurunan elektrolit, ketidakseimbangan
metabolisme berat, penurunan kesadaran, dan koma (Jufan, Y.A., dkk.
2019). Sehubungan dengan teori tersebut membenarkan bahwasanya
pasien memiliki penyakit gagal ginjal kronis, riwayat hipertensi
dengan pengobatan tidak rutin serta diabetes melitus. Penyakit
penyerta tersebut sudah diderita pasien bertahun-tahun.
Selain itu perbedaan usia kedua pasien juga dapat mempengaruhi
tercapainya hasil penerapan yang maksimal, Ny.S berusia 70 tahun
sedangkan Ny.W berusia 67 tahun. Hal ini, sejalan dengan penelitian
Safri et,al (2018) bahwa seiring bertambahnya usia pula kemampuan
neurologis seseorang dapat menurun hal ini semakin memperparah
keadaan stroke.
Stimulasi sensori penting diberikan kepada pasien dengan
penurunan kesadaran, hal ini sejalan dengan penelitian (Shaffer, J.
76

2016) bahwa pemberian metode terapeutik stimulasi sensorik yang


merangsang system aktivasi retikuler di otak dan memfasilitasi
reorganisasi aktivitas otak melalui penciptaan hubungan syaraf baru,
Selain itu pada penelitian Mohammadi, M.K., dkk. (2019)
menjelaskan bahwa terjadi peningkatan LOC (Level Of
Consciousness) yang signifikan dari hari pertama hingga hari ketiga
pada kelompok intervensi setelah diberikan stimulasi sensorik
Familiar Auditory Sensory Training (FAST).
4. Perbandingan Hasil Akhir Antara 2 Responden
Hasil penerapan Familiar Auditory Sensory Training (FAST) yang
dilakukan pada kedua pasien yaitu Ny.S dan Ny.W sama-sama
mengalami peningkatan skor tingkat kesadaran sesudah dilakukan
intervensi. Peningkatan skor tingkat kesadaran pada kedua pasien
selama 3 hari berturut-turut dengan perbandingan 1:1.
Pada hari ke 2 Ny.W mengalami perubahan pada respon motorik
yang sebelumnya ketika diberi rangsang nyeri tangannya hanya
mengepal dengan poin 3 berubah menjadi menarik ektremitas atasnya
secara fleksi dengan poin 4. Jadi total Glasgow Coma Scale (GCS)
E3V4M4 (11) yang berarti tingkat kesadaran delirium. Pada hari ke 3
Ny.S mengalami perubahan pada respon motoric yang sebelumnya
ketika diberi rangsang nyeri tungkai kaki pasien ekstensi, telapak kaki

fleksi dengan poin 2 berubah menjadi tangannya mengepal salah satu


dengan poin 3. Jadi total Glasgow Coma Scale (GCS) E2V4M4 (11)
yang berarti tingkat kesadaran delirium.
Sejalan dengan penelitian Sutiyah (2017), stimulasi suara Familiar
Auditory Sensory Training (FAST) juga dapat mempengaruhi system
fisiologis seseorang, sehingga stimulasi suara dapat membangkitkan
aktivasi hemisfer serebri dan dinilai memberikan efek ketenangan.
Dalam kondisi penurunan kesadaran pada lansia seperti ini sangat
diperlukan dukungan dari keluarga setiap saat, hal ini sejalan dengan
penelitian (Subekti, K.E. & Dewi, S. 2022) keberadaan keluarga
77

merupakan salah satu hal terpenting untuk lansia dalam meningkatkan


kualitas hidup salah satunya dengan adanya dukungan keluarga.
Selain itu ada beberapa hal yang akan terjadi jika tidak ada
dukungan keluarga terhadap kualitas hidup lansia diantaranya dapat
menyebabkan rendahnya harapan hidup lansia, peningkatan angka
kesakitan pada lansia, tingkat kesejahteraan lansia tidak terpenuhi,
peningkatan angka kematian penelitian (Subekti, K.E. & Dewi, S.
2022).
Selama penerapan, peneliti menemukan tidak semua pasien
langsung mengalami perkembangan tingkat kesadaran setelah diberi
penerapan Familiar Auditory Sensory Traning (FAST) karena setiap
individu memiliki kondisi system syaraf yang berbeda-beda, seperti
halnya dalam penelitian (Ikbal, B., 2017) yang menjelaskan kondisi
sistem syaraf (neurogical system) dan kemampuan syaraf otak yang
berbeda akan mempengaruhi kemampuan individu dalam menyeleksi
sejumlah informasi dalam kegiatan konsentrasi.
Berdasarkan dari intervensi yang sudah dilakukan, penerapan
Familiar Auditory Sensory Training (FAST) memiliki pengaruh
terhadap perkembangan tingkat kesadaran pada pasien stroke yang
mengalami penurunan kesadaran. Hal ini dapat dilihat dari hasil
evaluasi yang telah dilakukan kepada dua responden menunjukkan
adanya perubahan tingkat kesadaran pada pasien stroke yang
mengalami penurunan kesadaran. Hasil penerapan menunjukkan
bahwa rata-rata tingkat kesadaran yang diukur menggunakan alat ukur
Glasgow Coma Scale (GCS) pada pasien stroke yang mengalami
penurunan kesadaran sebelum dan sesudah diberikan Familiar
Auditory Sensory Training (FAST) memiliki peningkatan 1 poin yang
bermakna, dari tingkat kesadaran sopor menjadi tingkat kesadaran
delirium.
Familiar Auditory Sensory Traning (FAST) memberikan efek
ketenangan dengan merangsang opioid dan serotonin di dalam tubuh
78

yang memungkinkan perubahan fisiologis yang menunjukkan adanya


penurunan derajat ketegangan system syaraf otonom (automatic
nerveous system) (Safri et al., 2018).
Berdasarkan uraian diatas tentang Familiar Auditory Sensory
Traning (FAST), maka terapi nonfarmakologis ini dapat dijadikan
alternative untuk meningkatkan nilai Glasgow Coma Scale (GCS) atau
tingkat kesadaran pada pasien stroke yang mengalami penurunan
kesadaran hal ini sejalan dengan penelitian (Mohammadi, M.K., dkk.
2017) karena rangsangan pendengaran adalah indera terakhir yang
hilang pada pasien penurunan kesadaran dan pasti akan tetap
berfungsi bahkan jika kehilangan semua Indera.
Keberhasilan penerapan ini dikembalikan lagi pada kondisi klinis
dan penyakit penyerta pasien. Pemberian stimulasi pendengaran yang
lebih lama dengan suara-suara yang familiar dapat menghasilkan efek
yang lebih signifikan pada status tingkat kesadaran (Mohammadi,
M.k., dkk. 2019).
C. Keterbatasan Penerapan
Penerapan Familiar Auditory Sensory Training ini penulis menghadapi
beberapa keterbatasan, namun mampu diatasi oleh penulis sehingga tidak
ada keterbatasan dalam penerapan ini.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan penerapan dan pembahasan yang telah dilakukan dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Sebelum diberikan penerapan Familiar Auditory Sensory Training
(FAST), tingkat kesadaran pada pasien stroke dengan penurunan
kesadaran yang diukur menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS)
menunjukkan nilai 6 (sopor) pada responden 1 (Ny.S), dan nilai 10
(delirium) pada responden 2 (Ny.W).
2. Sesudah diberikan penerapan Familiar Auditory Sensory Training
(FAST) selama 3 hari berturut-turut, tingkat kesadaran pada pasien
stroke yang mengalami penurunan kesadaran diukur menggunakan
Glasgow Coma Scale (GCS) menunjukkan nilai 7 (somnolen) pada
responden 1 (Ny.S) dan nilai 11 (delirium) pada responden 2 (Ny.W).
3. Perkembangan tingkat kesadaran sebelum dan sesudah diberikan
Familiar Auditory Sensory Training (FAST). Sebelum diberikan
Familiar Auditory Sensory Training (FAST), tingkat kesadaran Ny. S
dengan skor 6 yang berarti sonor menjadi 7 yang berarti somnolen.
Sedangkan, tingkat kesadaran Ny.W dengan skor 10 menjadi 11 yang
berarti delirium.
4. Perbandingan tingkat kesadaran sebelum dan sesudah diberikan
Familiar Auditory Sensory Training (FAST) pada Ny.S dan Ny.W
dengan selisih 0.
B. Saran
1. Bagi Institusi
Diharapkan dapat menambah referensi pada bidang keperawatan
gawat darurat dan kritis. Selain itu dapat digunakan sebagai bahan
referensi untuk melakukan penelitian selanjutnya mengenai penerapan
Familiar

79
80

Auditory Sensory Training (FAST) terhadap tingkat kesadaran pasien


stroke yang mengalami penurunan kesadaran.
2. Bagi Rumah Sakit
Diharapkan dapat menjadi bahan referensi dan masukan untuk rumah
sakit guna meningkatkan pelayanan kesehatan, selain itu perawat
dapat menerapkan Familiar Auditory Sensory Training (FAST) dalam
intervensi keperawatan nonfarmakologi untuk meningkatkan tingkat
kesadaran pada pasien stroke yang mengalami penurunan kesadaran.
81

DAFTAR PUSTAKA

Agustanti, D. dkk. (2022). Buku Ajar Keperawatan Keluarga

Alfikasari, F. (2020). Asuhan Keperawatan Gadar Dengan Diagnosa Intracerebral


Hemorrhage Post Trepanasi Hari Ke-4 Di Ruang Icu Rumkital Dr. Ramelan
Surabaya.http://repository.stikeshangtuah-sby.ac.id.Diakses Juli, 06 2023.

Alifudin, M. R., & Ediati, A. (2019). Pengalaman Menjadi Caregiver: Studi


Fenomenologis Deskriptif pada Istri Penderita Stroke. Jurnal Empati, Vol
8(1). https://doi.org/10.14710/empati.2019.23583

Aripratiwi, C. dkk. (2020). Pengaruh Familiar Auditory Sensory Training Pada


Tingkat Kesadaran Pasien Stroke Di RSD dr. Soebandi Jember. Jurnal
Pendidikan Keperawatan Indonesia. Volume 6, No 2
https://doi.org/10.17509/jpki.v6i2.26917

Geofani, P. (2017). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Stroke Hemoragik.


Bangsal Saraf RSUP Dr. M Djamil.

Hendriyanti, A., H.K, A. N., & M., I. K. (2016). Pengaruh Terapi Hipnomurotal
Terhadap Perubahan Glasgow Coma Scale Pada Pasoen Stroke Di Icu
Rsud Dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. 17, 1–12.
https://ejournal.upi.edu/index.php/JPKI/article/view/26917

Ikbal, B. (2017). Pengaruh Senam Otak Terhadap Konsentrasi Belajar Mahasiswa


Keperawatan Uin Alauddin Makassar. http://repositori.uin-
alauddin.ac.id/4398/1/

Jeri. 2022. Asuhan Keperawatan Pada Ny. H Dengan Stroke Non Hemoragik Di
Ruang Icu Rsud Curup Tahun 2022
http://repository.poltekkesbengkulu.ac.id/id/eprint/2551 . Diakses Juli, 07
2023
82

Johnson, W., Onuma, O., Owolabi, M., & Sachdev, S. (2016). Stroke: A Global
Response is Needed. In Bulletin of the World Health Organization, 94(9),
634A – 635A.https://doi.org/10.2471/BLT.16.181636

Jufan, Y.A.,dkk. (2019) Manajemen Perawatan Pasien Kritis dengan Ketoasidosis


Diabetikum di ICU. Jurnal Komplikasi Anestesi. Volume 6, No 2.
https://journal.ugm.ac.id/v3/jka/article/view/7351/2423 . Diakses Juli, 13
2023

Kandeepana, S. dkk. (2020). Modeling An Auditory Stimulated Brain Under


Altered States Of Consciousness Using The Generalized Ising Model
https://doi.org/10.1016/j.neuroimage.2020.117367

Kesumawati. (2018). Hubungan Antara Karakteristik, Tingkat Kecemasan, dan


Ketergantungan dengan Penerimaan Diri Pasien Keterbatasan Gerak
Akibat Stroke di RSUD Koja Jakarta Utara. Journal Scientific Solutem, Vol.1
No.1. journal homepage: http://ejurnal.akperbinainsan.ac.id

Kurniawati, R., R.A., W., & N., Y. (2017). Pengaruh Stimulasi Sensori Terhadap
Nilai Glasgow Coma Scale Pada Pasien Stroke Di ICU RSUD
Karanganyar. Program Studi Sarjana Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Kusuma Husada Surakarta

Kusyani, A. dkk. (2022). Asuhan Keperawatan Stroke Untuk Mahasiswa dan


Perawat Profesional. Tersedia dari Guepedia

Maharizky, C. (2021). Karakteristik Penderita Stroke Rawat Inap di RSUP DR.


Wahidin Sudirohusodo .http://repository.unhas.ac.id/id/eprint/12980/.
Diakses Juli, 04 2023.

Mohammadi M.K., Mohammad Reza Y., Aida M.E., Zahra A.R., Mostafa S.,
Moluk P. 2019. The effects of familiar voices on the level of
consciousness among comatose patients: a single-blind randomized controlled
trial. Journal of Pharmaceutical Research International 27(2): 1-8, 2019;
Article no.JPRI.48788 ISSN: 2456-9119
83

Mutiarasari, Diah. (2019). Ischemic Stroke: Symptoms, Risk Factors, And


Prevention. Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 6 No.1.
http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/MedikaTadulako/article/view/12
337/9621

Natasya, N. dkk. (2022). Asuhan Keperawatan Pada Psmba Dengan Sirosis


Hepatis : Suatu Studi Kasus. JIM FKep Volume I Nomor 2 Tahun 2022.
https://jim.usk.ac.id/FKep/article/download/19926/9884

Pape T.L.B., Joshua M.R., Brett H., Vijaya P., sAnn G., Todd P., Kathleen F.,
Catherine B., Shane M.N., Amy A. H., Bessie W., Xue W. (2012).
Preliminary framework for familiar auditory sensory training (FAST)
provided during coma recovery. JRRD, Volume 49, Number 7, 2012.
https://doi.org.10.1682/jrrd.2011.08.0154

Parveen Y. (2015). A Randomized Controlled Trial to Assess the Efficacy of


Auditorym Stimulation on Selected Parameters of Comatose Patients
With Traumatic Brain Injury. India: Indian Journal of Neurotrauma;
https://doi.org.10.1055/s-0035-1569470

Rahmawati. (2022). Manajemen Asuhan Keperawatan Kritis Pada Ny.H Dengan


Diagnosa Non Hemoragik Stroke Di Ruang Icu Rs Ibnu Sina Makassar.

https://stikespanakkukang.ac.id/assets/uploads/alumni/97c0a5a0769029f5c
8ec54a73f5d34da.pdf

Riskesdas. (2018). Hasil Utama Riset Kesehatan Dasar. Kementrian Kesehatan


Republik Indonesia, 1–100. https://doi.org/https://doi.org/10.1088/1751-
8113/44/8/085201

Safri, Irawaty, D., & Kariasa., I. M. (2018). Murottal Al-Qur`An Dapat


Meningkatkan Kesadaran Pasien Stroke Hemoragik. Repository
Universitas Riau
84

Schnakers C, Magee WL, Harris B.(2016). Stimulasi sensorik dan program terapi
musik untuk mengobati gangguan kesadaran. Psiko Depan. 2016;7:297.
https://doi.org.10.3389/fpsyg.2016.00297

Setiadi. (2016). Dasar-dasar anatomi dan fisiologi manusia. Indomedia Pustaka.

Shaffer J. (2016). Neuroplastisitas dan praktik klinis : Membangun kekuatan otak


untuk kesehatan.Psikol Depan. 2016;7:1118.
https://doi.org.10.3389/FPSYG.2016.01118

Sirait, F.R.H. & Sari, M.I. (2017) Ensefalopati Uremikum pada Gagal Ginjal
Kronis. Jurnal Medula Unila.http://repository.lppm.unila.ac.id/5039/1.pdf.
Diakses Juli, 13 2023

Subekti, K.E. & Dewi, S. (2022). Dukungan Keluarga Berhubungan Dengan


Tingkat Kualitas Hidup Lansia. Jurnal Keperawatn Jiwa : Persatuan
Perawat Indonesia. Volume 10, No 2.
https://doi.org/10.26714/jkj.10.2.2022.403-410

Surpia. (2022) Gambaran Masalah Keperawatan Pada Pasien Stroke Di Stroke


Centre Rskd Dadi Provinsi Sulawesi Selatan. Skripsi thesis, Universitas
Hasanuddin.

Suwita. S. (2015). Tatalaksana Nutrisi Pasien Stroke Hemoragik dengan


Berbagai Fraktur Risiko

Tarwoto. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sisten Persarafan.


Jakarta : Sagung Seto

Tavangar, H., Kalantary, M. S., Salimi, T., & Jarahzadeh., M. (2015). Effect of
family members ’ voice on level of consciousness of comatose patients
admitted to the intensive care unit : a single blind randomized controlled
trial. 88.215.130(1). https://doi.org.10.4103/2277-9175.157806

Wibowo, D.dkk. (2022). Pengaruh Terapi Familiar Auditory Sensory Training


(Fast) Terhadap Peningkatan Angka Glasgow Coma Scale (GCS) Pada
85

Pasien Stroke Hemoragik. Jurnal Kebidanan dan Keperawatan.


https://ojs.dinamikakesehatan.unism.ac.id/index.php/dksm/article/view/
811. Diakses Juli, 08 2023
86

LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Konsultasi KIAN


87

Lampiran 2 Informed Consent

Pasien 1
88
89

Pasien 2
90
91

Lampiran 3 Jurnal Utama


92

Lampiran 4 Jadwal Penerapan

No Kegiatan 5 Juni – 1 Juli 2023


Mgg ke-1 Mgg ke-2 Mgg ke-3 Mgg ke-4
1. Observasi Pasien
dan
penerapan Jurnal
2. Bimbingan dan
Konsultasi
3. Ujian Akhir
93

Lampiran 5 Lembar Observasi Glasgow Coma Scale (GCS)

Pasien 1
94
95
96
97
98
99

Pasien 2
100
101
102
103
104
105

Lampiran 6 Dokumentasi Penerapan Familiar Auditory Sensory Training

Anda mungkin juga menyukai