3 Data Objektif :
Pasien tampak batuk yang tidak efektif
Pasien tampak menggunakan oksigen tambahan dengan nasal kanul 3 lpm
TTV: TD: 140/80 mmHg, HR: 84 kali/menit, RR: 24 kali/menit, SpO2: 98% dengan nasal kanul 3 lpm, S: 36,6oC
Pemeriksaan fisik: Inspeksi: Pasien tampak menggunakan otot sternocleidomastoid saat bernafas, pola nafas tidak teratur,
nafas dangkal. Palpasi: tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembengkakan atau benjolan pada dada. Perkusi: sonor. Auskultasi:
rhonki +/+
Xray Thorax menunjukkan: efusi pleura kanan, aorta knob prominen disertai aortosklerosis
Terapi: RL 500ml/12jam
Cravit IV 750mg OD
Pumpisel IV 40 mg BD
KSR PO TDS
Combivent nebu/8 jam
4 Langkah-langkah tindakan keperawatan :
Mengecek IMR pasien*
Mempersiapkan obat dengan prinsip 6 benar dan melakukan double check dengan perseptor*
Mencuci tangan dengan handrub
Melakukan identifikasi pasien (menanyakan nama dan tanggal lahir)*
Menjelaskan tujuan dan prosedur diberikannya nebulizer*
Memberikan posisi fowler pada pasien*
Memasukkan combivent 1 resp ke dalam tabung obat nebulizer
Menghubungkan tabung obat dengan masker oksigen dan menyambungkan selang ke oksigen dinding
Mengalirkan oksigen sebanyak 6 lpm dan memastian uap sudah keluar
Melepas nasal kanul yang dipakai pasien dan memasang masker oksigen hingga menutup hidung dan mulut pasien.
Menginstruksikan pasien untuk menghirup nafas panjang dan perlahan
Setelah obat habis, oksigen berhenti dialirkan dan mengganti masker oksigen dengan nasal kanul 3 lpm
Membuang sisa obat dari dalam tabung dan mengeringkan dengan tisu*
Menanyakan respon pasien dan mengkaji frekuensi nafas*
Membantu pasien kembali ke posisi nyaman
Merapikan alat dan lingkungan pasien
Mencuci tangan dengan handrub
5 Dasar pemikiran :
Tujuan dilakukannya tindakan adalah untuk membantu mengeluarkan dahak, mengobati peradangan saluran nafas dan
melegakan saluran nafas.
Menurut Hidayat (2008), dispnea merupakan perasaan sesak dan berat saat bernafas. Dispnea dapat disebabkan karena
perubahan kadar gas dalam darah atau jaringan, kerja berat atau berlebihan, serta karena faktor psikologis. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi dispnea menurut Mutaqqin (2008) antara lain adalah faktor psikis, faktor peningkatan kerja pernafasan, otot
pernafasan yang abnormal dan kapasitas fungsional. Faktor yang ditemukan terjadi pada pasien adalah faktor peningkatan kerja
pernafasan yang disebabkan oleh pneumonia. Pneumonia adalah salah satu penyakit infeksi saluran pernafasan bawah akut dengan
batuk dan disertai sesak nafas disebabkan agen infeksius seperti virus, bakteri, fungi dan aspirasi substansi asing, berupa radang
paru-paru yang disertai eksudasi dan konsolidasi (Nurarif & Kusuma, 2013). Saat infeksi masuk dan menyebabkan peradangan
membran paru, paru-paru akan dipenuhi sel radang dan cairan dimana sebenarnya merupakan reaksi tubuh untuk membunuh
patogen. Namun dengan adanya dahak yang menjadi tahanan saluran nafas, maka otot pernafasan memerlukan tenaga yang lebih
besar untuk memberikan perubahan volume serta tambahan tenaga yang diperlukan untuk kerja sistem pernafasan. Hal tersebut
akan meningkatkan kebutuhan oksigen, jika paru-paru tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen, akan timbul sesak nafas.
Menurut Francis (2008), salah satu penatalaksanaan dispnea adalah dengan pemberian bronkodilator untuk mempermudah
mengeluarkan dahak dan juga untuk melebarkan lumen bronkus. Pemberian bronkodilator dapat menggunakan nebulizer untuk
mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi aerosol sehingga dapat dihirup pasien dengan menggunakan mouthpiece atau
masker.
Combivent aerosol adalah kombinasi dari ipratropium bromide (sebagai monohydrate) dan albuterol sulfate. Ipratropium bromide
adalah bronchodilator antikolinergik yang secara kimia digambarkan sebagai 8-azoniabicyclo [3.2.1] oktan, 3-(3-hidroksi-1-okso-2-
fenilpropoksi) -8-metil8- (1-methylethyl) , bromide monohydrate, (3-endo, 8-syn), quaternary sintetis Senyawa amonium yang
secara kimia terkait dengan atropin. Ipratropium bromide berwarna putih untuk zat kristal yang tidak berwarna putih, mudah larut
dalam air dan metanol, sedikit larut dalam etanol, dan tidak larut dalam pelarut lipofilik seperti eter, kloroform, dan fluorocarbon
(MIMS, 2015). Combivent diharapkan memaksimalkan respon terhadap pengobatan pada pasien dengan obstruksi paru obstruktif
kronik (PPOK) dengan mengurangi bronkospasme melalui dua mekanisme yang jelas berbeda, antikolinergik (parasympatholytic)
dan simpatomimetik. Administrasi simultan dari keduanya antikolinergik (ipratropium bromide) dan beta 2-sympathomimetic
(albuterol sulfat) dirancang untuk bermanfaat bagi pasien dengan menghasilkan efek bronkodilator yang lebih besar daripada ketika
salah satu obat digunakan sendiri dengan dosis yang dianjurkan.
6 Prinsip Tindakan :
Nebulizer merupakan tindakan keperawatan dengan prinsip bersih karena bukanlah tindakan invasif.
7 Analisa Tindakan Keperawatan :
- Mampu mengkritisi tindakan yang dilakukan apakah sudah sesuai dengan teori
Pemberian nebulizer seharusnya menggunakan alat nebulizer namun tidak terdapat alat nebulizer di ruangan sehingga
menggunakan oksigen dinding. Secara teori menurut Santosa (2017), bila nebulizer menggunakan alat khusus yang disebut jet
nebulizer, mekanisme kerjanya adalah dengan mengubah obat cair menjadi aerosol, partikel aerosol yang dihasilkan jet nebu
berukuran antara 2-5 mikron (μ), sehingga dapat dapat langsung dihirup pasien dan menempel pada trakeobronkial. Ukuran
partikel yang dihasilkan jet nebu pun sangat tepat menuju organ target yaitu bronkus. Teori yang menjelaskan bahwa oksigen
digunakan sebagai alat nebulizer tidak ditemukan dalam referensi, sehingga tidak bisa menjelaskan berapa micron partikel
penguapan obat yang dihasilkan dari bantun oksigen. Besar kemungkinan partikel penguapan obat yang dihasilkan dari tekanan
oksigen ukuranya lebih dari 5μ sehingga obat hanya menempel pada trakea atau oral sehingga efek terapeutik obat tidak
maksimal. Aliran udara yang kuat dari tekanan oksigen akan membuat banyak partikel obat keluar lewat lubang sungkup
sehingga hanya sedit obat yang masuk kedalam saluran napas yang juga menyebabkan efek terapeutik obat tidak maksimal.
Aliran udara yang kuat juga akan menyebabkan tabrakan antara O2 dan CO2 di paru-paru, sehingga menyebabkan banyak CO2
yang masih terperangkap di dalam rongga paru. Secara keseluruhan parameter yang diteliti dalam penelitian ini, nebulizer
dengan menggunakan oksigen sebagai penghasil gas masih efektif digunakan, namun dari referensi yang ada lebih baik
mengganti oksigen sebagai penghasil gas untuk nebulizer dengan menggunkan jet nebulizer.
Pencegahan :
Terapi diberikan dengan oksigen yang dialirkan 6 lpm.
Austin, A. & Michael. (2010). Effect of High Flow Oxygen on Mortality in Chronic obstructive Pulmonary Disease Patients in
Prehospital Setting: Randomised Controlled Trial. Retrieved from https://www.bmj.com/content/341/bmj.c5462
Carima, A. (2016). Studi Penggunaan Obat Golongan 2-Agonis Pada Pasien Asma. Retrieved from
http://Repository.Unair.Ac.Id/54831/13/FF.FK.%2019-16%20Car%20s-Min.Pdf
Herdman, T. H. & Kamitsuru, S. (2017). NANDA International Inc. Nursing Diagnoses: Definitions & Classification, 2018–2020
(11th ed). New York: Thieme
Hidayat, A. Aziz Alimul. (2008). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Nurarif, A. & Kusuma, H. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA (North American
Nursing Diagnosis Association) NIC-NOC. Yogyakarta: Mediaction Publishing.
Pati, R. A. E. (2013). Evaluasi Pengobatan Pada Pasien Gangguan Saluran Pernafasan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta
Periode Januari – Juli 2012 (Kajian: Efektivitas Obat). Retrieved from https://repository.usd.ac.id/7910/1/098114084_Full.pdf
Santosa, A. (2017). Evaluasi Penggunaan Oksigen Sebagai Penghasil Uap Terapi Nebulizer Pada Pasien Asma. Retrieved from
http://ojs.akbidylpp.ac.id/index.php/Prada/article/download/248/173
Total